You are on page 1of 14

BAB 1

ASUHAN KEPERAWATAN TB PARU PADA ANAK

A. Pengertian
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculusis dan micobacterium bovis( Ngastiyah. 2005).
Penyakit TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh mikrobakterium
tuberkulosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini dapat merupakan organisme
patogen maupun saprofit. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainya (Maryunani anik. 2010).

B. Etiologi
Tuberkulosis anak merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini menyebar dari satu orang ke orang lain
melalui percikan dahak (droplet nuclei) yang dibatukkan.( Ngastiyah. 2005)
Faktor resiko TBC pada anak

1. Resiko infeksi TBC pada anak


Anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TBC aktif, daerah
endemis, penggunaan obat-obat intravena, kemiskinan serta lingkungan yang tidak
sehat. Pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius. Resiko timbulnya transmisi
kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut
mempunyai BTA sputum yang positif, terdapat infiltrat luas pada lobus atas atau
kavitas produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat serta terdapat
faktor lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
Pasien TBC anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa
disekitarnya, karena TBC pada anak jarang infeksius, hal ini disebabkan karena
kuman TBC sangat jarang ditemukan pada sekret endotracheal, dan jarang
terdapat batuk. Walaupun terdapat batuk tetapi jarang menghasilkan sputum.
Bahkan jika ada sputum pun, kuman TBC jarang sebab hanya terdapat dalam
konsentrasi yang rendah pada sektret endobrokial anak. ( Ngastiyah. 2005)
2. Resiko penyakit TBC pada anak
Anak ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami progresi infeksi
menjadi sakit TBC, mungkin karena imunitas selulernya belum berkembang
sempurna (imatur). Namun, resiko sakit TBC ini akan berkurang secara bertahap
seiring pertambahan usia. Pada bayi < 1 tahun yang terinfeksi TBC, 43% nya akan
menjadi sakit TBC, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit
hanya 24%, pada usia remaja 15% dan pada dewasa 5-10%. Anak < 5 tahun
memiliki resiko lebih tinggi mengalami TBC diseminata dengan angka kesakitan
dan kematian yang tinggi . Konversi tes tuberkulin dalam 1- 2 tahun terakhir,
malnutrisi, keadaan imunokompromis, diabetes melitus, gagal ginjal kronik dan
silikosis. Status sosial ekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan
hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah. ( Ngastiyah. 2005)
Berdasarkan tipe infeksi, Tuberkulosis pada anak dibagi menjadi 3 macam yaitu:
1) Infeksi primer.
TBC paru primer (infeksi pertama dengan bakteri TBC). Pada anak yang
usianya lebih dewasa, biasanya tidak menimbulkan tanda atau gejala, dan hasil
foto rontgen dada tidak terlihat adanya tanda infeksi. Sangat jarang terjadi
pembengkakan kelenjar limfe dan kemungkinan sedikit batuk.
Infeksi primer ini biasanya sembuh dengan sendirinya karena anak telah
membentuk kekebalan tubuh selama periode waktu 6 hingga 10 minggu.
Namun pada beberapa kasus, jika tidak ditangani dengan benar, infeksi ini
dapat berkembang menjadi penyakit dan menyebar ke seluruh paru-paru
(disebut TBC progresif). ( Maryunani anik. 2010)
2) Infeksi progresif (TB progresif)
Infeksi primer yang berkembang menjadi penyakit dan menyebar ke seluruh
paru-paru, atau ke organ tubuh lainnya. Hal ini ditandai dengan demam,
kehilangan berat badan, kelelahan, kehilangan selera makan, kesulitan
bernafas, dan batuk. ( Maryunani anik. 2010)
3) Infeksi reaktivasi (TB reaktivasi)
Dalam hal ini infeksi primer sudah teratasi, namun bakteri TBC masih dalam
keadaan tidur atau hibernasi. Ketika kondisi memungkinkan (misalnya
kekebalan tubuh menurun), bakteri menjadi aktif. TBC pada anak yang lebih
tua dan orang dewasa mungkin saja termasuk tipe ini. Gejala yang paling jelas
adalah demam terus-menerus, diiringi dengan keringat pada malam hari.
Kelelahan dan kehilangan berat badan juga mungkin terjadi. Jika penyakit
bertambah parah dan terbentuk lubang-lubang pada paru-paru, penderita TBC
akan mengalami batuk dan mungkin terdapat darah pada produksi air liur atau
dahak. ( Maryunani anik. 2010)
C. Patofisiologi
Penyakit tuberkulosis pada anak terdiri atas :
1. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di
alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil
berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan
peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar
limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer predileksinya
disemua lobus, 70% terletak subpelura. Fokus primer dapat mengalami
penyembuhan sempurna, kalsifikasi atau penyebaran lebih lanjut. Waktu antara
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6
minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang
masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya
reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman
TBC2. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman
persister atau dormant (tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang
diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.(
Maryunani anik. 2010)
2. TBC Pasca Primer (Post Primary TBC)
TBC pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah
infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV
atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari TBC pasca primer adalah kerusakan
paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.( Maryunani anik)
D. Pathway

Miobacterium tubercolosis

Airbone / inbalasi droplet

Saluran pernafasan

Saluran pernafasan Saluran pernafasan


bawah
atas

Paru-paru
Bakteri yg besar bertahan
di bronkus
alveolus

Peradangan bronkus
Alveolus mengalami
konsolidasi dan eksudasi
Penumpukan sekret

MK : Gangguan pertukaran gas

efektif Tidak efektif

Anoreksiamalaese,
Sekret keluar Sekret tidak mual muntah Penyebaran infeksi secara
saat batuk keluar saat batuk limfa hematogen

MK : Perubahan
Batuk terus MK : Bersihan jalan
nutrisi kurang
menerus nafas tidak efektif demam
dari kebutuhan

Terhirup Peningkatan suhu tubuh


MK : Gangguan pola
orang sehat
istirahat tidur

MK :
MK : Resiko Hipertermi
penyebaran infeksi
E. Manifestasi Klinis
Gejala umum:
Batuk terus menerus lebih dari 4 minggu atau lebih dengan atau tanpa sputum
Badan lemah
Gejala flu
Demam derajat rendah
Nyeri dada
Gejala yang sering jumpai:
 Dahak bercampur darah
 Batuk darah
 Sesak nafas dan rasa nyeri dada
 Badan lemah, nafsu makan menurun

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji Tuberkulin merupakan uji paling penting untuk menentukan apakah anak
sudah terinfeksi tuberkel basilus atau tidak. Prosedur yang dianjurkan adalah Uji
Mantoux, yang menggunakan derifat protein murni (PPD, Purified protein
derifatif). Dosis standar adalah 5 unit tuberkulin dalam 0,1 ml larutan, di injeksi
secara intradermal
2. Pemeriksaan Radiologis (rongten paru)
3. Uji BCG
Di Indonesia BCG diberikan secara langsung tanpa didahului uji tuberkulin. Bila
ada anak yang mendapat BCG langsung terdapat reaksi lokal yang besar dalam
waktu kurang dari 7 hari setelah penyuntikan berarti perlu dicurigai adanya
tuberkulosis. Pada anak dengan tuberkulosis BCG akan menimbulkan reaksi lokal
yang lebih cepat dan besar oleh karena itu, reaksi BCG dapat dijadikan alat
diagnostik.
Petunjuk WHO Untuk Diagnosis Tuberkulosis Anak
1) Dicurigai tuberculosis
Anak sakit dengan riwayat kontak penderita tuberkulosis dengan
diagnosis pasti (BTA positif)
Anak dengan :
 Keadaan klinik tidak membaik setelah menderita campak atau
batuk rejan
 Berat badan menurun, batuk dan mengi yang tidak membaik
dengan pengobatan antibiotik untuk penyakit pernapasan
 Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit
2) Pasti tuberkulosis (confirmed TB)
Ditemukan basil tuberculosis pada pemeriksaan langsung atau biakan.
Identifikasi Mycobacterium tuberculosis pada karakteristik biakan
3) Screening TBC
Dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis (TB) pada pasien anak, sebaiknya
menggunakan berbagai prosedur diagnostik. Apabila terdapat keterbatasan sarana
diagnostik maupun biaya, dapat menggunakan suatu pendekatan diagnostik lain, yaitu
sistem skoring. Sistem skoring dikembangkan oleh para ahli dari Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI), Kemenkes RI, dan WHO. Sistem ini mempermudah penegakan
diagnosis TB anak, terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Apa yang
sebaiknya dilakukan?
Penilaian atau pembobotan pada sistem skoring menurut Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2013, meliputi hasil pemeriksaan tuberkulin (Uji Mantoux)
dan kontak erat dengan pasien dewasa TB menular mempunyai skor (nilai) tertinggi,
yaitu 3. Namun demikian, seperti dapat dilihat pada lampiran tulisan ini, uji
tuberkulin bukan merupakan pemeriksaan penentu utama, untuk menegakkan
diagnosis TB anak. Selain itu, pasien anak dengan jumlah skor ≥6, dapat didiagnosis,
harus ditatalaksana sebagai pasien TB, dan mendapat OAT (Obat Anti Tuberkulosis).
Beberapa keadaan klinis khusus pada pasien, memerlukan pemeriksaan lebih lanjut di
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Misalnya ditemukan gibbus atau koksitis TB,
juga tanda bahaya TB saraf pusat, yaitu kejang, kaku kuduk, dan penurunan
kesadaran. Selain itu, juga adanya tanda kegawatan lain, misalnya sesak napas atau
pada pemeriksaan foto Rontgen polos dada atau toraks menunjukan gambaran efusi
pleura, milier, atau kavitas.
Pada sistem skoring, beberapa parameter memerlukan penjelasan khusus. Kontak
dengan pasien pasien dewasa TB BTA positif diberi skor 3, hanya bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari orang dewasa sebagai sumber penularan. Data ini
dapat diperoleh dari formulir TB 01 atau dari hasil laboratorium. Penentuan status
gizi anak dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U dengan Berat Badan,
Panjang atau Tinggi Badan, dan Umur diukur saat pasien datang (moment opname).
Penentuan status gizi untuk anak usia <5 tahun menggunakan panduan buku KIA
terbitan Kemenkes RI, sedangkan untuk anak usia >5 tahun menggunakan kurva
CDC terbitan tahun 2000. Apabila BB kurang, anak juga harus diberikan upaya
perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.

Gejala klinis demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) lama, dapat bernilai apabila
tidak membaik setelah diberikan pengobatan, sesuai baku terapi di fasilitas pelayanan
kesehatan dasar. Selain itu, gambaran foto toraks yang mendukung TB dapat berupa
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat, atelektasis,
konsolidasi segmental atau lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, ataupun
tuberkuloma. Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
Diagnosis TB pada anak dengan sistem skoring sebaiknya ditegakkan oleh dokter.
Apabila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak ada dokter, pelimpahan wewenang
terbatas dapat diberikan kepada petugas kesehatan lainnya. Namun demikian,
seharusnya hanya kepada petugas yang sudah dilatih tentang strategi DOTS, untuk
menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak. Dalam sistem skoring ini, anak
didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6, dengan skor maksimal 13.
Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari poin kontak dengan pasien BTA positif dan
hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka pada anak tersebut
belum perlu diberikan OAT. Anak tersebut cukup dilakukan observasi atau diberi
INH profilaksis, tergantung dari umur anak.
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka
pasien tersebut dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan, untuk evaluasi lebih
lanjut . Anak dengan skor 5 yang terdiri dari poin kontak BTA positif dan 2 gejala
klinis lain, pada fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka
dapat didiagnosis, diterapi ,dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan
selama 2 bulan terapi awal, dan apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT
dilanjutkan sampai selesai 6 bulan. Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu)
setelah pemberian imunisasi BCG, seharusnya dicurigai telah terinfeksi TB, dan
harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas, yaitu tidak
tersedianya uji tuberkulin dan atau foto toraks, maka evaluasi dengan sistem skoring
tetap boleh dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥ 6. Pada anak
yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis berarti, sebaiknya
diperiksa lebih lanjut. Pemeriksaan lanjutan bertujuan untuk mencari faktor penyebab
lain, misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB-MDR,
maupun masalah ketidakkepatuhan berobat pasien. Yang dimaksud dengan perbaikan
klinis adalah perbaikan dari gejala yang ditemukan pada anak tersebut, saat diagnosis
ditegakkan.
Sistem skoring ini diharapkan dapat mengurangi terjadinya ‘under’ maupun
‘overdiagnosis’ TB anak. Tentunya agar pelayanan kesehatan untuk semua pasien
anak di Indonesia, termasuk TB anak, akan semakin efisien dan dapat dijangkau oleh
BPJS Kesehatan, sebagai penjaminan biaya pasien (universal health coverage).
ditulis oleh: fx. wikan indrarto, dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta
Catatan : dimuat di harian Kedaulatan Rakyat Minggu, 4 Januari 2015
G. Penatalaksanaan Medis
1. Rifampisin, dengan dosis 10-15 mg/kgBB/hari, diberikan satu kali sehari per oral,
diminum dalam keadaan lambung kosong, diberikan selama 6-9 bulan
2. INH (isoniazid), bekerja bakterisidal terhadap basil yang berkembang aktif
ekstraseluler dan basil didalam makrofag. Dosis INH 10-20/kgBB/hari per oral,
lama pemberian 18-24 bulan
3. Pirazinamid, bekerja bakterisidal terhadap basil intraseluler, dosis 30-35
mg/kgBB/hari per oral, 2 kali sehari selama 4-6 bulan.
4. Etambutol, dosis 20 mg/kgBB/hari dalam keadaan lambung kosong, 1 kali sehari
selama 1 tahun
5. Kortikosteroid, diberikan bersama-sama dengan obat antituberkulosis yang masih
sensitif, diberikan dalam bentuk kortison dengan dosis 10-15 mg/kgBB/hari.
Kortikosteroid di berikan sebagai antiflogistik dan ajuvan pada tuberkulosis
milier, meningitis serosa tuberkulosa, pleuritis tuberkulosa, penyebaran
bronkogen, atelektasis, tuberkulosis berat atau keadaan umum yang buruk (
Maryunani anik. 2010)
BAB 2
Konsef Asuhan Keperawatan Tb Paru pada Anak

1. Pengkajian
a. Identitas Data Umum (selain identitas klien, juga identitas orangtua; asal kota dan
daerah, jumlah keluarga)
b. Keluhan Utama (penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit)
c. Riwayat kehamilan dan kelahiran
d. Riwayat penyakit terdahulu
e. Riwayat Penyakit Sekarang (Tanda dan gejala klinis TB serta terdapat
benjolan/bisul pada tempat-tempat kelenjar seperti: leher, inguinal, axilla dan sub
mandibula)
f. Riwayat Keluarga (adakah yang menderita TB atau Penyakit Infeksi lainnya,
Biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit yang sama)
g. Pola fungsi kesehatan.
Keadaan umum: alergi, kebiasaan, imunisasi.
Pola nutrisi – metabolik. Anoreksia, mual, tidak enak diperut, BB turun,
turgor kulit jelek, kulit kering dan kehilangan lemak sub kutan, sulit dan
sakit menelan, turgor kulit jelek.
Pola aktifitas-latihan Sesak nafas, fatique, tachicardia, aktifitas berat
timbul sesak nafas (nafas pendek).
Pola tidur dan istirahat : sulit tidur, berkeringat pada malam hari.
Pola kognitif perseptual. Kadang terdapat nyeri tekan pada nodul limfa,
nyeri tulang umum, takut, masalah finansial, umumnya dari keluarga tidak
mampu
Pola persepsi diri. Anak tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah.
Pola peran hubungan Anak menjadi ketergantungan terhadap orang lain
(ibu/ayah)/tidak mandiri.
h. Pemeriksaan fisik
o Demam: sub fibril, fibril (40-41°C)
o Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang/
mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk
purulen (menghasilkan sputum).
o Sesak nafas: terjadi bila sudah lanjut, dimana infiltrasi radang sampai
setengah paru.
o Nyeri dada: ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai
ke pleura.
o Malaise: ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala,
nyeri otot dan kering diwaktu malam hari.
o Pada tahap dini sulit diketahui. Ronchi basah, kasar dan nyaring.
Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi
memberi suara limforik. Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan
lanjut dan fibrosis. Bila mengenai pleura terjadi efusi pleura (perkusi
memberikan suara pekak).

2. Diagnosa keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sputum
b. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan nafsu makan

3. Perencanaan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sputum
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan jalan nafas kembali efektif
dalam waktu 3×24 jam.
Kriteria hasil :Sekret berkurang sampai dengan hilang, pernafasan dalam batas
normal 40-60x/menit
Intervensi:
1) Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, kedalaman dan penggunaan
otot aksesori.
R : untuk mengetahui tingkat sakit dan tindakan apa yang harus dilakukan
2) Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat
karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
R : untuk mengetahui perkembangan kesehatan pasien
3) Berikan pasien posisi semi atau fowler
R: semi fowler memudahkan pasien untuk bernafas
4) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.
R : untuk mencegah penyebaran infeksi
5) Berikan terapi oksigen
R : pemberian oksigen dapat memudahkan pasien untuk bernafas
b. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak demam dalam
waktu 3×24 jam.
kriteria hasil : tidak terjadi penyebaran infeksi
Intervensi:
1) Mengidentifikasi orang-orang yang beresiko untuk terjadinya infeksi seperti
anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan. Memberitahukan
kepada mereka untuk mempersiapkan diri untuk mendapatkan terapi
pencegahan.
R : Pengetahuan dan terapi dapat meminimalkan kerentanan terjadinya
penyebaran
2) Anjurkan klien menampung dahaknya jika batuk
R : Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
3) Gunakan masker setiap melakukan tindakan
R : Masker dapat mengurangi resiko penyebaran infeksi
4) Monitor temperature
R : untuk mengetahui adanya indikasi terjadinya infeksi. Febris merupakan
indikasi terjadinya infeksi.
5) Kolaborasi Pemberian terapi untuk anak
R : Kerja sama akan mempercepat proses penyembuhan
6) Monitor sputum BTA. Klien dengan 3 kali pemeriksaan BTA negatif, terapi
diteruskan sampai batas waktu yang ditentukan.
R : Pemantauan untuk terapi yang akan dilaksanakan selanjutnya

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


penurunan nafsu makan
Tujuan : setelah dilakukan tndakan keperawatn 3x24 jam nutrisi pasien
adekuat.
Kriteria hasil : Keluarga klien dapat menjelaskan penyebab gangguan nutrisi
yang dialami klien, pemulihan kebutuhan nutrisi, susunan menu dan pengolahan
makanan sehat seimbang. Dengan bantuan perawat, keluarga klien dapat
mendemonstrasikan pemberian diet (per sonde/per oral) sesuai program diet.
Intervensi:
1) Tekankan pentingnya asupan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan
intake cairan yang adekuat.
R: agar pemenuhan nutrisi terpenuhi sehingga penyembuhan bisa lebih cepat
2) Tunjukkan cara pemberian makanan per sonde, beri kesempatan keluarga
untuk melakukannya sendiri.
R : Meningkatkan partisipasi keluarga dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi
klien, mempertegas peran keluarga dalam upaya pemulihan status nutrisi
klien.
3) Laksanakan pemberian roborans sesuai program terapi.
R : Roborans, meningkatkan nafsu makan, proses absorbsi dan memenuhi
defisit yang menyertai keadaan malnutrisi.
4) Timbang berat badan, ukur lingkar lengan atas dan tebal lipatan kulit setiap
pagi.
R : Menilai perkembangan masalah klien.
5) Memberi makan lewat parenteral ( D 5% )
R : Mengganti zat-zat makanan secara cepat melalui parenteral

4. Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data
subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan
sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal
dari identifikasi dan analisa masalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A.A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan.
Cetakan I. Yakarta : Penerbit salemba Medika
http://puskesmasbamban.wordpress.com/. Diakses tanggal 16 MEI 2012
Reuters Health , (2007). Merokok pasif dikaitkan dengan risiko TB pada anak-anak
http://spiritia.or.id/news/bacanews.php?nwno=0159. Diakses tanggal 16 MEI 2012
Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC
Suriadi dan Yuliani, R. (2001). Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan Keperawatan Anak.
Edisi 1. Jakarta : Penerbit CV Sagung Seto

You might also like