You are on page 1of 25

MENINGOKEL

Dokter Pembimbing:
Dr. dr. Agus Yunianto, Sp.BS

Disusun oleh:
Mohammad Fajar A
11 2016 038

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA “UNIVERSITAS KRIDA
WACANA”
PERIODE 16 OKTOBER 2017 – 23 DESEMBER 2017
RS KEPRESIDENAN RSPAD GATOT SUBROTO
BAB I

KASUS PASIEN
KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA “UNIVERSITAS
KRIDA WACANA”

STATUS ILMU BEDAH RS KEPRESIDENAN RSPAD GATOT SOEBROTO

Nama Mahasiswa : Mohammad Fajar A Tanda Tangan


NIM : 11 2016 038 .......................
Dr. Pembimbing / Penguji : dr. Agus Yunianto, SpBS
.......................
IDENTITAS PASIEN
Nama : An A
Umur : 7 Bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Status pernikahan : -
Alamat :-

ANAMNESIS
Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan keluarga pasien,
Keluhan Utama:
Pasien datang di bawa orang tua nya dengan keluhan tedapat benjolan di kepala yang
semakin lama bertambah-besar

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien di bawa orang tua nya ke poli bedah saraf dengan keluhan terdapat benjolan
berisi cairan pada kepala regio parietal. Orang tua pasien mengatakan benjolan di
kepala anaknya berukuran sebesar bola tenis, awalnya benjolan pada kepala anaknya
sebesar kelereng namun benjolan di rasa semakin hari semakin betambah besar dengan,
teraba seperti ada cairan di dalam benjolan dan tidak kemerahan. Benjolan di rasa tidak
terlalu mengganggu aktivitas anaknya hanya mengganggu dari segi penampilan. Orang
tua pasien menyangkal adanya demam, menangis menjerit, muntah, kejang, sesak,
maupun riwayat trauma.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat penyakit sebelumnya dengan keluhan yang sama di sangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Keluarga tidak ada yang memiliki penyakit serupa dengan pasien

Riwayat Kehamilan Dan Kelahiran


1. Kehamilan
 Perawatan antenatal : Setiap bulan selama kehamilan

 Tempat perawatan : Bidan

 Penyakit kehamilan : Hipertensi

2. Kelahiran
 Tempat kelahiran :-

 Penolong persalinan : dokter obsgyn

 Cara persalinan : Seksio sesarea

 Masa gestasi : 37-38 minggu

 Anak ke : 2 dari 2 bersaudara

 Keadaan bayi

o Berat badan lahir : 2800 gram

o Panjang badan lahir : 50 cm

o Langsung menangis : ya

o Pucat/Biru/Kuning/Kejang :-

o Nilai APGAR :-

o Kelainan bawaan :-

Riwayat Perkembangan
 Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan
 Psikomotor
- Tengkurap : 3 bulan
- Duduk :
- Berdiri :
- Berbicara :
- Membaca dan menulis :
 Perkembangan pubertas
- Rambut pubis : tidak ada
- Perubahan suara : tidak ada
 Gangguan perkembangan (jelaskan bila ada)
Mental/emosi : tidak ada

Riwayat Imunisasi

VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)

BCG 0
bln
DPT/DT 2 4 bln 6 bln
bln
POLIO 0 2 bln 4 bln 6 bln
bln
CAMPAK

HEPATITIS 0 1 bln 6 bln


B bln

PEMERIKSAAN FISIK
28 Agustus 2017, pukul 13.00
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Baik (Bergerak aktif menangis kuat)
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-Tanda Vital
Suhu : 36,5°C
Frrekuensi Nadi : 122x/mnt
Frekuensi Pernafasan : 30x/mnt
Data Antropometri
Berat Badan : 10,2 kg
Tinggi Badan : 70cm
IMT : 20,4 kg/m2 Normal/ideal
Status Gizi :(SD)
PEMERIKSAAN SISTEMATIS
PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan : 28 Agustus 2017
Keadaan Umum
Kesadaran : Kompos mentis
Nadi : 129 x/menit
Pernapasan : 34 x/menit
Suhu : 36,8°c
Berat Badan : 10,2 kg
Tinggi Badan : 70 cm
Lingkar Kepala :

Keadaan Spesifik
 Kepala
Bentuk : Normosefali, simetris, Terdapat benjolan sebesar bola tennes dengan
ukuran diameter 7 cm
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
Mata : Cekung (- ), Pupil bulat isokor ø 3mm, reflek cahaya +/+,
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).
Hidung : Sekret (-), napas cuping hidung (-).
Telinga : Sekret (-).
Mulut : Mukosa mulut dan bibir kering (-), sianosis (-).
Tenggorokan : Faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat.
 Thorak
Paru-paru
 Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi -/-
 Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
 Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-).
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Thrill tidak teraba
 Auskultasi : HR: 129 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, bising (-)
 Abdomen
 Inspeksi : Datar
 Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, turgor baik
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
 Lipat paha dan genitalia : Pembesaran KGB (-)
 Anggota Gerak
 Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah
 Pergerakan bebas +/+ +/+
 Akral hangat +/+ +/+
 Edema -/- -/-
 Sianosis -/- -/-
 Clubbing Finger -/- -/-
 Atrofi otot -/- -/-
 Tonus otot Baik/baik Baik/baik

Pemeriksaan Neurologis
Kesadaran : GCS 15
Motoric : Ekstremitas atas dan bawah aktif, kuat. Kanan dan kiri
simetris
Sensibilitas : Responsif terhadap stimuli. Kanan dan kiri simetris
Refleks
Moro : Positif
Root : Positif
Suck : Positif
Plantar grasp : Kanan dan kiri positif
Palmer grasp : Kanan dan kiri positif

Inspeksi : Terdapat benjolan sebesar bola teenes di regio parietal, berisi cairan
transluminasi test positif

Palpasi : sutura cranium tidak teraba.

Perkusi / Auskultasi: (tidak dilakukan) Cracked pot percussion sign /


Macewen sign (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kesan : Tidak tampak kelainan pada jantung dan paru

Ct scan kepala

RESUME
Seorang anak perempuan berusia 7 bulan datang di antar orang tuanya ke poli
bedah saraf RSPAD GATOT SOEBROTO dengan keluhan terdapat benjolan berisi
cairan di kepala regio parietal sebesar bola tennes dengan ukuran diameter 7 cm,
konsistensi kenyal dengan perabaan immobile, ketika di sinari tembus cahaya, benjolan
di temukan saat berusia kurang lebih 1-2 bulan sebesar kelereng dan di rasa semakin
lama semakin membesar. Riwayat kehamilan, pasien rutin memeriksakan kandungan
nya ke bidan riwayat mengkonsumsi vitaminDari pemeriksaan fisik di dapatkan.

Keadaan Umum : Baik


Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 129 x/menit
Pernapasan : 30 x/menit
Suhu : 36,8°c
Berat Badan : 10,2 kg
Tinggi Badan : 70 cm
ASSESSMENT
MENINGOKEL
PLANNING

 Observasi TTV
 Rencana persiapan operasi

LAPORAN OPERASI RESEKSIT


Tanggal pembedahan : 17 November 2017
Cara Pembiusan : Umum
Posisi pasien : Supine

Mulai : 11:30 WIB

Selesai : 13:00 WIB

Lama pembedahan : 1 Jam, 30 Menit

1. Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis


2. Dilakukan infiltrasi sesuai marking
3. Dilakukan drapping untuk membatasi lapangan operasi
4. Dilakukan inseksi tajam lapis demi lapis
5. Dilakukan diseksi tumpul untuk memisahkan kulit dengan celle
6. Di dalam kantong kelenjar di dapatkan cairan
7. Di dapatkan massa keputihan
8. Kapsul berbatas tegas dan dapat dipisahkan dari tulang
9. Di dapatkan tulang kranial yang intake tidak ada defek
10. Luka di tutup lapis demi lapis

Komplikasi : Tidak ada, Perdarahan 10 cc

INSTRUKSI POST OP
-

STATUS PERKEMBANGAN PASIEN


- Telah dilakukan operasi reseksi pada tanggal 17 november 2017
- Pasien di rawat di IKA post op dari tangal 17 – 21 november 2017
- Kondisi pasien baik , pasien post op rewel tidak ada keluhan lain

PROGNOSIS
- Ad vitam : bonam
- Ad fungsionam : bonam
- Ad sanactionam : bonam

Tinjauan Pustaka

Meningokel

I. Definisi

Istilah cephalocele mengacu kepada sebuah defek atau kelainan pada kranium dan
dura dimana struktur intrakranial keluar dari kranium melalui defek tersebut.
Cephalocele dapat dibagi dalam empat tipe: meningoencephalocele, meningocele,
atretic encephalocele and gliocele1. Meningoencephalocele terdiri atas cairan
serebrospinal, jaringan otak, serta meningens yang mengalami herniasi keluar dari
defek kranium dan membentuk suatu bangunan yang menyerupai sebuah kantong,
atau sac2. Jika isi di dalam sac ini terdapat jaringan meningen, maka kelainannya
disebut meningocele. Sedangkan, jika di dalam kantong defek ini terdapat jaringan
meningen beserta jaringan parenkim otak, maka dikenali sebagai
meningoencephalocele atau encephalocele saja. Meningoensefalokel ini merupakan
sebuah anomali kongenital yang berasal dari peristiwa postneuralation, yaitu proses
perkembangan sistem syaraf yang mengakibatkan jaringan neural yang normal
berherniasi melalui defek mesenkim, atau dikenal sebagai bony defect3. Kelainan
kongenital ini disebut sebagai sebuah neural tube defect yang di akibatkan oleh
perkembangan yang abnormal pada sistem tabung syaraf pada masa janin. Kelainan
ini dibagi sesuai dengan letaknya di kranium dan biasanya terjadi pada bagian
skuamosa pada tulang kranium yang mengalami defek4.

Ensefalokel diklasifikasikan berdasarkan isi dari sac dan juga lintasan dimana sac
tersebut berherniasi keluar kranium3. Defek pada kranium yang lebih sering
ditemukan adalah pada regio tulang oksipital, frontal, atau nasofrontal4. Hal ini dapat
membagi encephalocele menjadi occipital encephaloceles, anterior atau sincipital
encephaloceles, temporal encephaloceles, dan seterusnya sesuai letak defeknya3, 4.
Pada Ensefalokel oksipital, terdapat massa yang globular dengan peduncle yang
keluar dari garis tengah regio parietooccipital. Ensefalokel yang anterior dapat dibagi
lagi dalam subdivisi nasofrontal, nasoethmoidal, nasoorbital, and basal
encephaloceles3.

Etiologi

Encephalocele merupakan suatu kelainan kongenital dimana nueral tube tidak


terbentuk dengan sempurna. Walaupun penyebab pada defek neural tube ini tidak
diketahui secara pasti, beberapa literatur mengatakan bahwa kelainan ini memiliki
penyebab yang multifaktorial8. Faktor-faktor yang terlibat dalam terjadinya kelainan
kongenital ini dapat dibagikan dalam dua kelompok besar yaitu faktor genetik dan
faktor lingkungan. Dua faktor ini dapat berperan secara independen maupun secara
bersamaan. Akan tetapi, seringkali faktor resiko dua ini bekerja secara kombinasi
dalam timbulnya meningoensefalokel.
Pada umumnya, bayi dengan kelainan ini lahir dari orang tua yang tidak
memiliki faktor family history, atau riwayat kelainan neural tube defect dalam
keluarga8. Walaupun seperti ini, sejumlah penelitian mengatakan bahwa terdapat
beberapa komponen genetik yang berperan dalam timbulnya penyakit yang di
sebabkan oleh defek tabung saraf secara umum. Majoritas pada gen-gen ini terlibat
dalam pengaturan jalur metabolik yang spesifik pada tubuh. Jika terdapat kelainan
pada gen tersebut, metabolic pathway pada janin tidak dapat berfungsi secara normal,
maka janin tidak dapat berkembang dengan yang seharusnya. Hal ini akan terjadi
karena pathway,atau jalur metabolik tersebut,berperan dalam mengatur penggunaan
mikronutrien dengan cukup dalam proses kehamilan. Kelompok gen ini terdiri dari
gen MTHFR (677TT, C677T dan A1298C), CBS, MS/MTR/MTRR, PDFRA,
Apolipoprotein E (apoE) dan Apoliprotien B (apoB)8.
Asam folat, suatu mikronutrien, telah diteliti memiliki peran yang signifikan
dalam menurunkan resiko terjadinya defek pada tabung saraf. Konsumsi asam folat
maternal sebelum dan selama masa kehamilan dapat menurunkan resiko terjadinya
defek tabung saraf pada janin. Hal ini dibuktikan dalam beberapa studi yang meneliti
folic acid antagonists seperti aminopterin dan ditemukan bahwa antagonis asam folat
ini dapat meningkatkan resiko terjadinya neural tube defect. Mikronutrien ini sangat
dibutuhkan dalam sintesis beberapa asam amino (methionine synthesis, histidine
metabolism, dan serine-glycine metabolism) serta sintesis asam nukleat untuk
pembentukan DNA (thymidylate synthesis dan purine synthesis) dan juga berperan
dalam tiga metabolic pathways8. Ketika jalur metabolik ini terganggu atau malfungsi
akibat kelainan gen, perkembangan sel juga akan terganggu. Selain ini, diabetes juga
merupakan kelainan metabolik yang memiliki dasar genetik yang dapat berperan
dalam timbulnya defek pada neural tube. Literatur menunjukkan bahwa diet dengan
indeks glikemi dan konten sukrosa yang tinggi merupakan faktor resiko terhadap
defek tabung saraf, sedangkan diet tinggi fruktosa atau glukosa tidak merupakan
faktor resiko dalam timbulnya defek ini. Maka, beberapa studi telah menjelaskan
bahwa glukosa darah maternal yang tinggi dapat mengganggu jalur metabolik antara
ibu dan janin, maka merupakan salah satu faktor resiko pada kelainan kongenital ini8.
Thalassemia juga merupakan suatu penyakit akibat kelainan genetik yang dapat
berperan dalam peningkatan resiko defek tabung saraf. Ini dikaitkan dengan kadar
asam folat yang rendah pada mayoritas karier talesemia.
Kelompok faktor resiko kedua adalah komponen lingkungan yang
menerlibatkan berbagai paparan dan zat teratogen. Sensitivitas terhadap faktor-faktor
lingkungan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor genetik, maka setiap orang akan
memiliki respond yang berbeda. Yang pertama, paparan terhadap stres maternal dapat
berperan dalam kejadian defek tabung saraf. Hal ini dikaitkan dengan terjadi
peningkatan pada kadar kortisol dan adrenokortikotropin saat tingkat stres ibu tinggi.
Beberapa studi menjelaskan bahwa peningkatan pada hormon ini dapat
mempengaruhi perkembangan janin secara negatif sehingga dapat timbulnya oral cleft
dan neural tube defects. Paparan yang kedua adalah hipertermia. Walaupun hasilnya
tidak konsisten, literatur mengatakan bahwa hipertermia akibat penggunaan sauna
atau hot tubs dikaitkan dengan peningkatan resiko untuk defek tabung saraf, terutama
spina bifida.
Yang ketiga, paparan paternal terhadap zat-zat pada pekerjaan seperti petani,
pelukis, cleaning service, dan perkebunan juga dapat meningkatkan resiko pada
kelainan ini. Paparan pada radiasi, solvents, pesticide, dan mercury juga memiliki
peran dalam kelainan pada tabung saraf8. Penggunaan obat-obat seperti asam
valproat dan nitrosatable drugs dapat meningkatkan resiko terjadinya spina bifida,
sehingga mungkin memiliki peran dalam timbul defak tabung saraf lainnnya.
Aflatoxin sudah diketahui memiliki afek teratogenik terhadap timbulnya ensefalokel.
Toksin ini dihasilkan oleh suatu jenis mold, atau jamur, yang tumbuh dalam kacang-
kacangan, dan beberapa macam sayuran11. Terdapat beberapa penelitian yang telah
menguji efek aflatoksin terhadap janin tikus dan ditemukan bahwa toksin ini dapat
menyebabkan kelain pada organ-organ janin, termasuk kelainan otak. Akan tetapi
patogenesanya masih belum dipahami dengan jelas12. Diet yang buruk secara
keseluruhan (diet rendah besi, vitamin B6, vitamin A, kalsium, folat, dan tinggi gula
serta lemak) sudah jelas merupakan faktor resiko terhadap defek tabung saraf. Selain
ini, consanguinity, hubungan darah antara kedua orang tua juga ditemukan hubungan
dalam meningkatkan resiko kejadian defek ini.
Walaupun hubungannya belum jelas, maternal smoking juga ditemukan
memiliki hubungan dalam peningkatan resiko defek tabung saraf. Saat ini, belum
ditemukan hubungan antara alkohol, infeksi maternal, aspirin, kafein, vitamin A, oral
contraceptives, contraceptive spermacides, obat-obat yang menginduksi ovulasi,
maupun obat-obat terlarang dengan meningkatnya prevalensi neural tube defects.
Faktor resiko yang telah dibahas hanya berupa faktor resiko terhadap terjadinya
kelainan pada tabung saraf tetapi hubungannya secara direk terhadap timbulnya
ensefalokel masih belum diketahui secara pasti. Literatur mengatakan bahwa faktor
lingkungan dapat mempengaruhi kedua orang tua dan efek pada paparan tidak hanya
terbatas pada ibu. Dengan mengingat ini, hampir 90% pada kasus neural tube defects

terjadi pada bayinya wanita yang sama sekali tidak memiliki faktor resiko yang telah
dibahas di atas8.
Proses Neuralasi
Proses neuralation, atau proses pembentukan tabung saraf, berjalan pada hari
ke-18 hingga ke-27 setelah konsepsi8. Semakin dini terjadi proses neuralasi pada
masa janin, kehamilan pada saat ini biasanya belum diketahui. Secara umum, proses
ini terjadi pada minggu kehamilan ke-3, dimana notochord mulai berkembang dan
menyebabkan ektoderm dibawahnya berdiferensiasi menjadi neural plate, atau
lempeng saraf. Pada proses neuralasi, lempeng saraf akan mulai melipat ke atas
sehingga kedua ujung akan bertemu dan membentuk tabung saraf. Setelah peristiwa
ini, ectoderm yang mengelilingi tabung saraf akan berdiferensiasi menjadi kulit. Saat
ini juga, sel-sel mesoderm akan bermigrasi ke darah sekitar tabung saraf dan
berdiferensiasi menjadi sel otot, tulang, dan saraf dalam spinal column8. Proses ini
akan berakhir pada hari ke-27 atau minggu ke-empat kehamilan.
Ensefalokel disebabkan oleh gangguan pada penutupan tabung saraf pada
masa janin. Maka, kelainan ini menerlibatkan jaringan otak2. Kelainan ini timbul
setelah tabung saraf gagal mengalami midline fusion dengan normal, sehingga
bermanifestasi sebagai bony defect dimana meningen beserta otak akan berherniasi
melewati defek tersebut9. Jika defek ini cukup kecil, hanya meningens yang akan
menonjol keluar defek pada tulang. Hal ini disebabkan oleh karena dura sangat
adheren dengan ketat pada kranium. Dengan adanya defek pada tulang kranium, dura
akan melemah pada bagian tersebut dan akan terjadi dehisens dural, yaitu penonjolan
pada dura keluar defek tanpa mengalami robekan6. Jika defeknya besar, korteks
cerebri akan ikut berpenetrasi melalui defek ke dalam kantung meningens tersebut9.
Jika kelainan pada saat lahir ditutupi oleh kulit, maka hal ini menunjukkan
bahwa tabung saraf telah menutup secara normal saat proses neuralasi. Pada kasus-
kasus seperti ini, penyebabnya adalah kegagalan pada pemisahan primer pada
neuroektoderm dan ektoderm permukaan, dimana step akhir ini pada proses neuralasi
terjadi pada minggu kehamilan ke-empat2.
Manifestasi klinis pada ensefalokel sangat bergantung pada lokasinya.
Ensefalokel frontoetmoidalis dapat terlihat sebagai suatu massa di muka. Ensefalokel
nasofrontalis dapat muncul sebagai massa pada hidung di atas tulang nasalis.
Ensefalokel nasoetmoidalis berupa suatu massa inferior dari tulang nasalis, sedangkan
ensefalokel basalis tidak dapat terlihat secara langsung. Ensefalokel naso-orbitalis
dapat disertai proptosis dan displacement pada bola mata10. Ensefalokel oksipitalis
sering disertai gangguan penglihatan dan kejang4. Ensefalokel secara umum
seringkali disertai anomali pada otak lainnya seperti agenesis of corpus callosum,
hydrocephalus, dan cortical atrophy. Abnormalitas lainnya dapat berupa kelainan
kongenital seperti foot deformities (club foot)9, cardiac defects, chest deformity,
polycystic kidneys, atau cleft palate10.

Diskusi

Dalam mendiagnosis meningocele, terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat


dilakukan dalam masa kehamilan dan setelah bayi lahir. Selama masa kehamilan,
dapat dilakukan pemeriksaan terhadap alpha fetoprotein (AFP). AFP merupakan
suatu antigen janin yang terbentuk secara alami. Peningkatan pada kadar AFP dapat
menunjukkan adanya abnormalitas pada tabung saraf. Pemeriksaan pada AFP dapat
dilakukan terhadap serum janin dengan melakukan cordocentesis, cairan amnion
melalui amniocentesis, atau serum maternal dengan melakukan pengambilan darah.
Dari ketiga pilihan tersebut, pemeriksaan terhadap serum maternal adalah pilihan
yang memiliki resiko yang paling rendah. Pemeriksaan ini lebih baik dilakukan pada
minggu kehamilan ke- 16 -18 karena penelitian menunjukkan bahwa perbedaan antara
kelompok normal dengan kelompok dengan defek tabung saraf dapat dilihat dengan
jelas pada saat ini. Pada saat masa kehamilan, juga dapat dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi (USG). Pemeriksaan USG prenatal dapat langsung memeriksa kepala
dan korda spinalis janin secara spesifik, sehingga memainkan peran yang sangat
signifikan dalam menentukan anomali pada CNS janin9. Pemeriksaan ini dapat
memperlihatkan adanya suatu pedunculated cyst-like structure dari kranium4. Setelah
lahir, pemeriksaan yang paling aman dilakukan adalah transillumination pada massa
yang terdapat di kranium. Pemeriksaan dengan cahaya ini dapat memperlihatkan
bahwa massa tersebut terisi dengan cairan. Jika jaringan parenkim otak yang
berherniasi kedalam kantung meningen cukup besar, maka gambarannya dapat
terlihat. Jika terdapat massa padat dalam kantung massa, harus dicurigai bahwa massa
tersebut adalah jaringan otak sampai terbukti bukan6. Pemeriksaan CT scan dan MRI
juga dapat dilakukan. CT scan lebih dipilih untuk melihat defek internal dan eksternal
pada tulang. MRI dapat digunakan untuk melihat isi yang berherniasi kedalam sac dan
dapat mendeteksi anomali lainnya pada otak9. Selain melihat jika massa mengandung
jaringan otak, MRI juga dapat menentukan tipe pada ensefalokel4. MRI juga sangat
bermanfaar dalam memberikan informasi untuk menilai prognosis serta
merencanakan tindakan pembedahan yang harus dilakukan9. Pemeriksaan radiologi
lainnya seperti rontgen polos kranium dan cervial spine juga sebaiknya dilakukan
untuk memastikan anatomi yang normal.
Dalam merencanakan penatalaksanaan terhadap meningoensefalokel lebih
rumit di bandingkan meningokel, faktor-faktor seperti jumlah pada jaringan otak yang
masuk kedalam sac, adanya anomali intrakranial lainnya, dan adanya anomali
kongenital lainnya harus dipertimbangkan1. Jika meningoensefalokel dibiarkan,
parenkim otak yang sedang berkembang akan berlanjut keluar dari defek kranium dan
terdapat terjadinya microcephaly2. Kebanyakan, ensefalokel yang besar
membutuhkan tindakan pembedahan yang darurat agar mencegah terjadinya
kerusakan pada sac. Jika terdapt leakage atau robekan pada kantung ensefalokel,
tindakan pembedahan harus segera dilakukan karena resiko terjadinya infeksi
(meningitis) sangat besar. Pada kasus yang tidak darurat, tindakan pembedahan secara
elektif dapat memberikan waktu kepada pasien untuk meningkatkan berat badan,
menguatkan fisik, dan juga memberikan waktu kepada ahli bedah untuk menentukan
teknik yang terbaik10.
Secara umum, prinsip pada tindakan pembedahan terhadap meningocele
adalah eksisi pada sac, reparasi defek pada dura, dan mengkoreksi abnormalitas pada
tulang3. Prosedur ini dapat dilakukan dalam satu tahap atau dalam beberapa tahap,
multistaged procedure. Tindakan pembedahan biasanya dilakukan dalam posisi lateral
pada occipital meningoencephalocele dan posisi supine pada encephalocele lainnya10.
Pada pasien ini, tindakan operatif dilakukan dalam posisi supine dengan kepala
dimiringkan ke lateral. Hal ini memudahkan tim anastesi dalam mengatur pernafasan
pasien. Kemudian, insisi dilakukan pada pertemuan kulit normal dan kulit yang
displastik. Jika kulit secara keseluruhan masih normal, maka insisi dilakukan dengan
cara dimana luka dapat ditutup kembali nantinya. Jika kantung ensefalokelnya sangat
besar dengan cairan serebrospinal (CSF ) yang banyak, CSF dapat dikeluarkan
perlahan-lahan terlebih dahulu dengan berbagai cara (sebelum insisi dengan cara
aspirasi dengan spuit atau setelah insisi). Tungkai pada kantung harus ditemukan dan
di oklusi dengan benang silk. Setelah oklusi, katung ensefalokel di eksisi termasuk
dengan jaringan otak yang displastik yang berada di dalamnya. Setelah ini, defek
pada dura dan tulang dapat direparasi dan kulit ditutup kembali pada akhirnya10. Ini
hanya merupakan salah satu teknik pada tindakan pembedahan yang dapat dilakukan.
Pada beberapa kasus dengan defek tulang yang luas, harus dipertimbangkan untuk
melakukan bone graft untuk mengkoreksi defek. Pada kasus-kasus ensefalokel
oksipital, kantung massa dapat mengandung organ-organ vital seperti struktur neural
dan vaskular. Reparasi pada kerusakan struktur-struktur tersebut tidak dapat
dilakukan4. Pada kasus ini, struktur tersebut biasanya telah mengalami degenerasi7
atau nekrosis6 hingga dianggap non-viable tissues dan di eksisi saat pembedahan.
Ketika jaringan otak di dalam sac ditemukan masih normal, dapat dilakukan beberapa
teknik seperti expansion cranioplasty dan ventricular volume reduction dalam
mempertahankan otak yang mengalami herniasi7. Akan tetapi, pada kebanyakan kasus
ini, jaringan otak yang berherniasi dieksisi.
Terdapat beberapa komplikasi pada tindakan pembedahan. Salah satu adalah
saat pembuluh intrakranial yang masuk kedalam kantung ensefalokel dieksisi, dapat
resiko terjadinya infark pada jaringan otak yang sehat10. Dengan ini, fungsi kognitif
pada pasien juga dapat terganggu berdasarkan jumlah normal jaringan otak yang
dieksisi dan besarnya infark yang terjadi. Pada pembedahan pertama maupun kedua,
tidak ditemukan komplikasi praoperatif. Setelah operasi, terdapat resiko terjadinya
hidrosefalus. Hidrosefalus dapat terjadi karena, dengan menutupnya defek, CSF tidak
dapat lagi mengalir keluar sehingga terjadi akumulasi yang berlebihan intrakranial
seperti yang ditemukan pada pasien. Dengan mengingat ini, harus dilakukan observasi
ketat post operasi karena hidrosefalus merupakan salah satu faktor resiko terhadap
prognosis yang buruk10. Maka, tindakan harus segera dilakukan dalam mengkoreksi
hidrosefalus post operasi. Untuk mengatasi hidrosefalus post operatif,
ventriculoperitoneal shunt dapat dilakukan sebagai one/ two stage procedures10.
Tindakan ini berupa pemasangan selang dari ventrikel lateral ke peritoneum, sehingga
cairan CSF yang tidak dapat ditampung intrakranial akan mengalir ke dalam rongga
peritoneal.
Pada dasarnya, anak-anak dengan meningokel memiliki prognosis yang baik,
sedangkan anak-anak dengan meningoensefalokel memiliki resiko untuk mengalami
gangguan penglihatan, mikrosefali, mental retardation, dan kejang4. Outcome pada
pembedahan sangat bergantung pada lokasi dan banyaknya jaringan otak yang masih
terdapat didalam cranial vault. Faktor yang menentukan prognosis pada pasien
dengan meningoensefalokel oksipital termasuk ukuran pada massa9, neural tissue
didalamnya, hidrosefalus, infeksi, dan anomali pada otak lainnya yang sering
mengikuti2. Pada umumnya occipital meningoencephalocele sering dihubungkan
dengan hidrosefalus dan outcome kognitif yang lebih rendah, sehingga memiliki
prognosis yang paling buruk (sebelum maupun setelah operasi)4. Pada pasien yang
bertahan post operasi, angka mortalitas ditemukan sekitar 44% dengan gangguan
intelektual yang berkisar antara 40-91%9.

Patofisiologi
Meningoensefalokel adalah suatu kelainan tabung saraf yang ditandai dengan
adanya penonjolan meningens (selaput otak) dan otak yang berbentuk seperti kantung
melalui suatu lubang pada tulang tengkorak. Meningoensefalokel disebabkan oleh
kegagalan penutupan tabung saraf selama perkembangan janin.
Ada dua bentuk disrafisme utama yang mempengaruhi tulang kranial, dan
menghasilkan protrusi jaringan melalui defek linea mediana tulang yang disebut
cranium bifidum. Mielomeningokel cranium terdiri dari kantong meninges yang terisi
hanya cairan serebrospinal dan meningoensefalokel mengandung kantung dan korteks
serebri, serebelum, atau bagian batang otak. Defek kranium paling lazim pada daerah
oksipital pada atau di bawah sambungan, dan sebagian terjadi frontal atau nasofrontal.
Kelainan ini adalah sepersepuluh dari defek penutupan tuba neuralis yang melibatkan
spina. Etiologi ini dianggap sama dengan etiologi anensefali dan mielomeningokel.
Komplikasi
Meningoensefalokel sering disertai dengan kelainan kranium fasial atau kelainan
otak lainnya, seperti hidrochephalus atau kelainan kongenital lainnya (Syndrome
Meckel, syndrome dandy-walker). Kelainan kepala lainnya yang dapat dideteksi
dengan USG adalah kista otak, miensefalus (fusi tulang occiput vertebrata sehingga
janin dalam sikap hiperekstensi), huloprokensefalus (hanya berbentuk sebuah rongga
ventrikel yang berdilatasi), hindranensefalus (destruksi total jaringan otak sehingga
kepala hanya berisi cairan), kelainan bentuk kepala (dulikochephaluskh, branchi
chpalusk) dan sebagainya.12 Berikut adalah beberapa komplikasi dari
meningoensefalokel, yaitu:
a. Kelumpuhan keempat anggota gerak (kuadri plegia spastik)
b. Gangguan perkembangan
c. Mikrosefalus
d. Hidrosefalus
e. Gangguan penglihatan
f. Keterbelakangan mental dan pertumbuhan
g. Ataksia
h. Kejang.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meningoensefalokel tergantung dari isi dan luas dari anomali.
Pada meningokel oksipital, di mana kantung tidak mengandung jaringan saraf, hasil
dari pembedahan hampir selalu baik. Tetapi pada meningoensefalokel yang berisi
jaringan otak biasanya diakhiri dengan kematian dari anak. Hampir semua
meningoensefalokel memerlukan intervensi bedah saraf, kecuali massanya terlalu
besar dan dijumpai mikrosefali yang jelas. Bila mungkin, tindalan bedah sedini
mungkin untuk menghindari infeksi, apalagi bila ditemui kulit yang tidak utuh dan
perlukaan di kepala. Pada neonatus apabila dijumpai ulkus pada meningoensefalokel
atau tidak terjadi kebocoran cairan serebrospinal, operasi segera dilakukan. Pada
meningoensefalokel yang ditutupi kulit kepala yang baik, operasi dapat ditunda
sampai keadaan anak stabil. Tujuan operasi adalah menutup defek (watertight dural
closure), eksisi masa otak yang herniasi serta memelihara fungsi otak. Defek tulang
yang cukup besar dapat diperbaiki dengan wire mesh, plastik atau tulang, tetapi jarang
diperlukan. Hasil akhir operasi sukar dipastikan oleh karena bervariasinya kasus. Pada
tindakan bedah terhadap 40 penderita didapati 15 orang (38%) meninggal dan dari 25
orang yang hidup 14 orang (56%) intelegensianya normal meskipun sering dijumpai
gangguan motorik dan pada 11 orang (44%) dijumpai gangguan intelektual dan
motorik.
1. Penanganan Pra Bedah
Segera setelah lahir daerah yang terpakai harus dikenakan kasa steril
yang direndam salin yang ditutupi plastik, atau lesi yang terpapar harus
ditutupi kasa steril yang tidak melekat untuk mencegah jaringan saraf yang
terpaparmenjadi kering.
Perawatan pra bedah neonatus rutin dengan penekanan khusus pada
saat mempertahan suhu tubuh yang dapat menurun dengan cepat. Pada
beberapa pusat tubuh bayi ditempatkan dalam kantong plastik untuk
mencegah kehilangan panas yang dapat terjadi akibat permukaan lesi yang
basah. Lingkaran occipito frontalis kepala diukur dan dibuat grafiknya.
Diperlukan pemeriksaan X-Ray kepala AP/LAT dan diambil photografi dari
lesi.

2. Perawatan Pasca Bedah


Pemberian makan per oral dapat diberikan 4 jam setelah pembedahan.
Jika ada drain penyedotan luka maka harus diperiksa setiap jam untuk
menjamin tidak adanya belitan atau tekukan pada saluran dan terjaganya
tekanan negatif dan wadah. Lingkar kepala diukur dan dibuat grafik sekali
atau dua kali seminggu. Sering kali terdapat peningkatan awal dalam
pengukuran setelah penutupan luka operasi dan jika peningkatan ini berlanjut
dan terjadi perkembangan hidrochephalus maka harus diberikan terapi yang
sesuai.

Pencegahan

Bagi ibu yang berencana hamil, ada baiknya mempersiapkan jauh jauh hari.Misalnya,
mengonsumsi makanan bergizi serta menambah supfemen yang mengandung asam
folat.Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya beberapa kelainan yang bisa
menyerang bayi. Resiko terjadinya spina bifidabisa dikurangi dengan mengkonsumsi
asam folat. Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus dikoreksi sebelum
wanita tersebut hamil, karena kelainan ini terjadi sangat dini. Kepada wanita
yang berencana untuk hamil dianjurkan untuk mengkonsumsi asam folat sebanyak 0,4
mg/hari. Kebutuhan asam folat pada wanita hamil adalah 1mg/hari8.
Salah satu cara menangani kasus, encephalocele atau ensefalokel. Biasanya dilakukan
pembedahan untuk mengembalikan jaringan otak yang menonjol ke dalam tulang
tengkorak, membuang kantung dan memperbaiki kelainan kraniofasial yang terjadi.
Untuk hidrosefalus mungkin perlu dibuat suatu shunt. pengobatan lainnya bersifat,
simtomatis dan suportif. Prognosisnya tergantung kepada jaringan otak yang terkena,
lokasi kantung dan kelainan otak yang menyertainya.

KESIMPULAN
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan bayi yang timbul sejak
kehidupan hasiI konsepsi. Defek tuba neuralis menyebabkan kebanyakan kongenital
anomali Sistem Saraf Sentral (SSS) akibat dari kegagalan tuba neuralis menutup
secara spontan antara minggu ke-3 dan ke-4 dalam perkembangan di uterus. Spina
bifida merupakan suatu anomali perkembangan yang ditandai dengan defek
penutupan selubung tulang pada medulla spinalis sehingga medulla spinalis dan
selaput meningen dapat menonjol keluar (spina bifida cystica), atau tidak menonjol
(spina bifida occulta). Resiko terjadinya spina bifida bisa dikurangi dengan
mengkonsumsi asam folat. Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus
dikoreksi sebelum wanita tersebut hamil, karena kelainan ini terjadi sangat dini.
Manajemen pengawasan anak serta keluarga dengan spina bifida memerlukan
pendekatan multidisiplin (ahli bedah, dokter dan ahli terapi).

Daftar Pustaka

1. Cevik et al . (2012). Anesthetic management of a newborn with giant


meningocele: Case report. International Journal of Case Reports and
Images [IJCRI], Vol . 3 No. 8, August
2. Mishra, et al. (2014). Large vertex meningocele with schizencephaly: An
interesting case with neurosurgical challenge. Case Report. 136 / Journal
of Pediatric Neurosciences / Volume 9 / May-Aug

3. Blount J.P., Gordon A.S., Foreman P.M., and John h. GrAnt (2013)
Multidisciplinary staged surgical management of bifrontal meningocele
with long-term follow-up. Case report. J Neurosurg Pediatrics 11:478–
484.

4. Hassan, A. (2013). A Giant Occipital Encephalocele. Universal Journal of


Applied Science 1(1): 8-10

5. Singhal, Tarun and Nagagopal Venna. (2013). Mystery Case: Frontal


meningoencephalocele causing recurrent bacterial. American Academy
of Neurology. Neurology 80;e250.

6. Chen KP, Chen PR, and Yu-Fu Chou. (2006). Meningoencephalocele of the
Temporal Bone Repaired with a Free Temporalis Muscle Flap — Case
Report. Tzu Chi Med J 2006 / 18 / No. 2.

7. Arora P et al. (2012). Occipital meningoencephalocele in a preterm


neonate. BMJ Case Reports.

8. Department of State Health Services (DSHS). (2006) Birth Defect Risk


Factor Series: NEURAL TUBE DEFECTS. Birth Defect Epidemiology and
Surveillance.

9. Choudhury et al. (2014). Meningoencephalocele- A Case Report. British


Biomedical Bulletin. 2/ pp. 385-387. Feb.

10. Raja AR, et al. (2008). PATTERN OF ENCEPHALOCELES: A Case


Series. J Ayub Med Coll Abbottabad 2008;20(1)

11. Agthong S and Viroj Wiwanitkit (2002). Encephalomeningocele cases


over 10 years in Tahiland: a case series. Biomed Central Ltd. BMC
Neurology, 2:3 May

12. Wangikar P.B. et al. (2004). Effect in in rats of simultaneous prenatal


exposure to Ochratoxin A and Aflatoxin B1. II. Histopathological features
of teratological anomalies induced in fetuses. Birth defects research. Part
B, Developmental and Reproductive Toxicology.

You might also like