You are on page 1of 49

LAPORAN KASUS

RINITIS ALERGI PERSISTEN RINGAN DAN


RINOSINUSITIS KRONIS EKSASERBASI AKUT

Disusun Oleh:
Vinsensia Dini Bayuari (112017054)

Pembimbing: dr. Stivina Azrial, Sp.THT-KL

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RSUD Tarakan Jakarta Pusat
Periode 1 Januari 2018 – 3 Februari 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

NAMA : Vinsensia Dini Bayuari (112017054)

PERIODE : 1 Januari – 3 Februari 2018

JUDUL : Rinitis Alergi Persisten Ringan dan Rinosinusitis

Kronis Eksaserbasi Akut

TANGGAL PRESENTASI : 22 Januari 2018

NAMA PEMBIMBING/PENGUJI : dr. Stivina Azrial, Sp. THT-KL

Jakarta, 22 Januari 2018


Yang Mengesahkan,

dr. Stivina Azrial, Sp. THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan ridho-NYA
saya dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul ” Rinitis Alergi Persisten
Ringan dan Rinosinusitis Kronis Eksaserbasi Akut”.

Laporan kasus yang berjudul “Rinitis Alergi Persisten Ringan dan


Rinosinusitis Kronis Eksaserbasi Akut” ini bertujuan untuk mengetahui dengan
lebih mendalam mengenai infeksi pada hidung dan sinus paranasal serta
penatalaksanaanya.

Saya menyadari dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak


kekurangan dan masih banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, penyusun
mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna menambah ilmu dan
pengetahuan penyusun dalam ruang lingkup Ilmu Telinga, Hidung dan
Tenggorokan, khususnya yang berhubungan dengan laporan kasus ini.

Saya mengucapkan terima kasih pada seluruh pembimbing di Departemen


THT RSUD Tarakan Jakarta Pusat, atas ilmu dan bimbingannya selama ini. Semoga
laporan kasus ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, 22 Januari 2018

3
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................. 1

Lembar Pengesahan ......................................................................................... 2

Kata Pengantar ................................................................................................ 3

Daftar Isi ........................................................................................................... 4

BAB I. Pendahuluan ..................................................................................... 5

BAB II. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 6

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung ................................................ 6

2.2 Rinitis Alergi ............................................................................ 14

2.3 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal.................................... 28

2.4 Rinosinusitis ............................................................................. 33

BAB III. Laporan Kasus ................................................................................... 39

Pembahasan ...................................................................................... 47

BAB IV. Kesimpulan ....................................................................................... 48

Daftar Pustaka .................................................................................................... 49

4
BAB I
PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
1
diperantarai oleh IgE. Alergi adalah respons jaringan yang berubah terhadap
antigen spesifik atau allergen. Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis
antigen, frekuensi paparan, polesan genetik dari individu tersebut, dan kepekaan
relatif tubuh pejamu.
Rinosinusitis cukup sering dijumpai pada praktek sehari-hari, baik dokter
umum maupun dokter spesialis THT. Sinusitis adalah peradangan pada satu atau
lebih mukosa sinus paranasal dengan gejala berupa sumbat pada hidung, nyeri fasial
dan pilek kentall purulen. Rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi sinus
paranasal yang dipicu oleh terjadinya peradangan pada hidung atau rhinitis.
Sinus paranasal meliputi sinus maksilaris yang terletak di pipi, sinus etmoidalis
yang terletak di antara mata dan hidung, sinus frontalis yang terletak di bawah
dahi, dan sinus sfenoidalis yang terletak di bawah hipofisis.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

Anatomi Hidung

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Bentuk hidung
luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal
hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala
nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior).2 Hidung terhubung dengan
os frontale dan maksila melalui pangkal hidung yang dibentuk ossa nasalia. Kulit
pembungkus hidung tertambat erat pada dasar hidung dan memiliki kelenjar
sebasea, yang dapat mengalami hipertrofi pada keadaan rhinophyma.

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 2

1. tulang hidung (os nasalis),

2. prosesus frontalis os maksila dan

3. prosesus nasalis os frontal

6
Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu: 2

1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,

2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),

3. beberapa pasang kartilago alar minor dan

4. tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai
dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum
ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang yang disebut vibrise. 2

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os
etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang
rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.

7
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian
depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat
konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema disebut juga rudimenter. 2

Gambar 3. Anatomi Hidung Bagian Dalam

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila


dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga
meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di
antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum
etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana
terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding

8
inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. 2

Kompleks ostiomeatal (KOM) Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan


celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi
dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid
anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan
terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.2

Perdarahan

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal
dari a.karotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang


a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. 2

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.


Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang
disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.2

9
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. 2

Gambar 4. Vaskularisasi hidung

Persarafan

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. 2

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga


memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. 2

Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung. 1

10
Gambar 5. Persarafan hidung

Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar
epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. 2

Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan
normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut
lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh
kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong
ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. 2

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul


dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-
obatan. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung
pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. 2

11
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas.
Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun
secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman
kapiler perigalnduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini
membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh
jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai
sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena
yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa
hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah
mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini
dipengaruhi oleh saraf otonom dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajang
dengan antigen banteri.2

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi


fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:

Fungsi Respirasi

Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran


tekanan dan mekanisme imunologik local. Udara inpirasi masuk ke hidung menuju
system respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan
kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk
lengkungan atau arkus.2

Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan
udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya. 2

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius.
Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.

Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring dihidung oleh: 2

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

12
b. Silia

c. Palut lender

Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel yang
besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.

Fungsi Penghidu

Terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung


stimulus penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap
dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan
cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. 1

Gambar 6. Fungsi Penghidu

Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan


rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis
strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal
dari cuka dan asam jawa. 2

Fungsi Fonetik

Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan


mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi oleh hidung
penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau
(rinolalia).

13
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses
pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka
dan palatum mole turun untuk aliran udara.2

Fungsi Statik dan Mekanik

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan


saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan
refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan
sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.2

2.2 RINITIS ALERGI

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.1
Alergi adalah respons jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau
allergen. Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi
paparan, polesan genetic dari individu tersebut, dan kepekaan relative tubuh
pejamu. Rinitis alergik terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien telah
mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung:
reseptor histamin H1, adrenoseptor-alfa, adrenoseptor-beta2, kolinoseptor, reseptor
histamin H2 dan reseptor iritan. Dari semua ini yang terpenting adalah reseptor
histamin H1, dimana bila terangsang oleh histamine akan meningkatkan tahanan
jalan napas hidung, meneybabkan bersin, gatal, dan rinore.3

Etiologi Rinitis Alergi


Etiologi rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi

14
tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada
anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.
Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan
rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi
perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama
tungau yaitu Dermatophagoidesfarinae dan Dermatophagoides pteronyssinus,
jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk
terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi,
dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko
untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi
udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca. 1
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
 Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
 Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan dan udang.
 Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase
Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. 1
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan

15
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th
0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.Th 2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang
sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan
Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT
D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan
berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC). 1
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular
Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan
molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan
berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti
IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya

16
seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini,
selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat
gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembapan
udara yang tinggi.1
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran
yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa
kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten)
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu
terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa
hidung menebal.1
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari:1
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai.
Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik,
maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi
ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi
Ag oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe,
yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau
reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi

17
tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan
yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.

Klasifikasi Rinitis Alergi


Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di
negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah
polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah
gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).1
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus,
tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang
paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan
alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah
(indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering
merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala
alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan
golongan musimantetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih
sering ditemukan.1
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi: 1

1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau


kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari
4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

18
1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
di atas.

Gejala Klinik Rinitis Alergi


Gejala klinik rinitis alergi, yaitu: Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang
normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar
debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri
(self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali
setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin
patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi).3
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.
Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada
tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan
pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat
muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair.
Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam
dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran
timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda
faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan
limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara.3

Diagnosis Klinis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan

19
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama
pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal
ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri
(self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC
dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine.
Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi pada pasien. Gejala lain
ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada
anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna
pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala
persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi
dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena
gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute.
Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit
yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah
tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).1
3. Pemeriksaan Penunjang
In vitro:
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test)
seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien

20
lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik
dengan RAST (Radio Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1
In Vivo:
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-
point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi
serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.1
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak
dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT),
namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan
provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari
tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang
dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali
dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang
dengan meniadakan suatu jenis makanan.1

Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance)
dan eliminasi.1

21
Gambar 7. Logaritma penatalaksanaan Rhinitis Alergi menurut WHO inititif ARIA.

2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja
secara inhibitorkomppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama
pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2
golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2
(non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis
adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa
kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara
tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya
rinitis medikamentosa.1
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung
akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang
sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid,
flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat
antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel
efektor.1

22
3. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.1
4. Imunoterapi
Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk IgG blocking antibody dan penurunan IgE.
Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan
hasil pengobatan lain belum memuaskan.1

Komplikasi Rinitis Alergi


1. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan
limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia
skuamosa,
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Rinosinusitis. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau
lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis
dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi
penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus.

Diagnosis Banding

Rhintis Vasomotor

Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didianosis tanpa


adanya infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan hormone dan pajanan obat. Pada
rhinitis vasomotor terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa hidung yang
disebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. Penyakit ini termasuk dalam
penyakit rinitis kronis selain rinitis alergika.4,5
Rinitis vasomotor adalah inflamasi kronis lapisan mukosa hidung yang
disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan
simpatis. Parasimpatis menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan
pembangkakan pembuluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa hidung

23
tersumbat, bersin dan ingus yang encer. Rinitis vasomotor dikatakan juga
sebagaikondisi dimana pembuluh darah yang terdapat di hidung menjadi
membengkak sehingga menyebabkan hidung tersumbat dan kelenjar mukus
menjadi hipersekresi.5

Patofisiologi
Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang
menyebabkan terjadinya rhinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan.
Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi
mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf
parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan mengurangi tingkat kekentalannya,
serta menekan efek dari pembuluh darah (kapiler). Efek dari hipoaktivitas saraf
simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh
darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan
akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat.
Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang
menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif.4
Teori lain menyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang
dikeluarkan sel-sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien,
prostaglandin, dan kinin. Peningkatan peptida vasoaktif ini tidak hanya mengontrol
diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, hidung tersumbat, juga
meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem saraf parasimpatis pada sekresi
nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida ini bukan
diperantarai oleh IgE seperti pada rhinitis alergik. Pada beberapa kasus rhinitis
vasomotor, eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada mukosa
hidung. Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada terjadinya rhinitis
vasomotor. Banyak kasus rhinitis vasomotor berkaitan dengan agen spesifik atau
kondisi tertentu. Contoh beberapa agen atau kondisi yag mempengaruhi kondisi
tersebut adalah perubahan temperatur, kelembaban udara, parfum, aroma masakan
yang terlalu kuat, asap rokok, debu, polusi udara, dan stres (fisik dan psikis).4
Mekanisme terjadinya rhinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi
secara langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan
merangsang sel-sel olfaktorius terdapat pada mukosa olfaktori. Kemudian berjalan

24
melalui traktus olfaktorius dan berakhir secara primer maupun sesudah merelay
neuron pada dua daerah utama otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan olfaktoris
lateral. Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian anterior hipotalamus. Jika
bagian anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta emosi,
maka akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi dominasi
fungsi syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di hidung yang dapat menimbulkan
manifestasi klinis berupa rhinitis vasomotor.4

Gejala Klinis
Gejala penderita rhinitis alergi atau rhinitis vasomotor kadang-kadang sulit
dibedakan karena gejala-gejalanya mirip, yaitu obstruksi hidung, rinorea dan
bersin. Biasanya penderita rhinitis alergik lebih merasakan gatal dan bersin
berulang seperti “staccato“. Biasanya ia tidak ditemukan atau tidak jelas pada rinitis
vasomotor. Reaksi bisa disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom, tetapi
disamping itu, obstruksi hidung, rinorea dan bersin dapat disebabkan oleh faktor
iritasi, fisik, endokrin dan faktor lain. Hidung mungkin sensitif terhadap pengaruh
hormon, oleh karena itu reaksi rhinitis vasomotor mungkin berhubungan dengan
kehamilan atau kontrasepsi per oral, tetapi rhinitis vasomotor pada kehamilan
segera menyembuh setelah melahirkan dan mungkin berhubungan dengan
keseimbangan hormon.
Biasanya penderita rhinitis vasomotor tidak mempunyai riwayat alergi pada
keluarganya. Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya dimulai di usia dewasa.
Jarang terjadi bersin dan rasa gatal. Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan,
tergantung pada posisi pasien. Terdapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang
agak banyak. Jarang disertai bersin dan tidak disertai gatal di mata. Gejala
memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang ekstrim,
udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya.

25
Tabel 1. Perbedaan rhintis alergi dengan rhinitis vasomotor.

Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan
adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesa
dicari faktor yang mempengaruhi timbunya gejala. Rinitis vasomotor dibuat dengan
menyingkirkan kemungkinan lainnya dengan anamnesa, pemeriksaan fisik pada
hidung dengan rinoskopi anterior didapatkan konka nasalis berwarna merah gelap
atau merah tua, tetapi dapat pula pucat, edema mukosa hidung dan permukaan
konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat
sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore sekret yang
ditemukan serosa yang banyak jumlahnya.1
Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan rhinitis
alergik karena dapat ditemukan eosinofil di dalam sekresi hidung, akan tetapi dalam
jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negative, kadar IgE spesifik tidak
meningkat. Perubahan foto rontgen, penebalan membrana mukosa sinus tidaklah
spesifik dan tidak bernilai untuk diagnosis. Rhinitis vasomotor bisa terjadi bersama-
sama dengan rhinitis alergik.5

Penatalakasanaan
 Non Farmakologik
Menghindari penyebab. Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik
adalah dengan pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui,
pembersihan mukosa nasal secara periodik mungkin bisa membantu. Bisa

26
dilakukan dengan menggunakan semprotan larutan saline atau alat irigator
seperti Grossan irigator.1,4
 Farmakologik
Pengobatan simtomatis, dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci hidung
dengan larutan garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan
AgNO3 25% atau triklor-asetat pekat. Dapat juga diberikan kortikosteroid
topikal 100-200 mikrogram. Dosis dapat ditingkatkan sampa 400
mikrogram sehari. Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit
selama 2 minggu. Saat ini terdapat kortikosteroid topikal baru dalam larutan
aqua seperti flutikason proprionat dan mometason furoat dengan pemakaian
cukup satu kali sehari dengan dosis 200 mcg. Pada kasus dengan rinore yang
berat, dapat ditambahkan antikolinergik topikal (ipatropium bromida).1 Efek
samping dengan steroid yaitu edema mukosa dan eritema ringan.
Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala
utama hidung tersumbat. Untuk gejala yang multipel, penggunan
dekongestan yang diformulasikan dengan antihistamin dapat digunakan.
Obat yang disarankan seperti Pseudoefedrin, Phenilprophanolamin dan
Phenilephrin serta Oxymetazoline (semprot hidung). Obat ini merupakan
agonis reseptor α dan baik untuk meringankan serangan akut. Pada
penggunaan topikal yang terlalu lama (> 5 hari) dapat terjadi rhinitis
medikamentosa yaitu rebound kongesti yang terjadi setelah penggunaan
obat topikal > 5 hari. Kontraindikasi pemakaian dekongestan adalah
penderita dengan hipertensi yang berat serta tekanan darah yang labil.
 Bedah
Jika rhinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas,
prosedur pembedahan dapat dilakukan antara lain dengan Cryosurgery /
Bedah Cryo yang berpengaruh pada mukosa dan submukosa. Operasi ini
merupakan tindakan yang cukup sukses untuk mengatasi kongesti, tetapi
ada kemungkinan untuk terjadinya hidung tersumbat post operasi yang
berlangsung lama dan kerusakan dari septum nasi. Neurectomi n.vidianus
merusak baik hantaran simpatis and parasimpatis ke mukosa sehingga dapat
menghilangkan gejala rinorea. Kauterisasi dengan AgNO3 atau elektrik

27
cauter dapat dilakukan tetapi hanya pada lapisan mukosa. Cryosurgery lebih
dipertimbangkan daripada kauterisasi karena dapat mencapai lapisan
submukosa. Reseksi total atau parsial pada konka inferior berhasil baik.

Komplikasi
Biasanya komplikasi yang sering terjadi dari rinitis vasomotor ini adalah
polip hidung dan terjadinya sinusitis.

2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL


Anatomi
Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berada di dalam tulang
wajah dan di sekitar rongga hidung dan mata. Manusia mempunyai sekitar 12
rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga hidung. Jumlah, bentuk, ukuran
dan simetri dapat bervariasi antara individu. Sinus-sinus ini diberi nama yang sesuai
posisi anatominya pada tengkorak manusia seperti sinus maksilaris, sinus
sfenoidalis, sinus frontalis dan sinus etmoidalis. Sinus etmoidalis ini terdiri
daripada sel-sel etmoidalis anterior dan posterior yang saling berhubungan dan
masing-masing kelompok bermuara ke dalam kavum nasi. Seluruh sinus ini dilapisi
oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi dan mampu
menghasilkan mukus dan bersilia; dan sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam
kavum nasi melalui muara-muaranya.6 Sinus maksilaris dan sinus etmoid telah
terbentuk pada saat lahir, sedangkan sinus frontalis berkembang dari sinus etmoid
anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian posterior superior rongga
hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18
tahun.1

28
Gambar 8. Sinus Paranasal
Fungsi sinus tidak jelas. Diperkirakan bahwa mereka dapat berkontribusi
pada pelembab udara yang terinspirasi, resonansi suara, regulasi tekanan udara
intranasal dan juga mengurangi berat tengkorak.1,6 Permukaan bagian dalam sinus
dilapisi oleh epitelium respiratorius (epitel berlapis kolumnar bersilia).6

Gambar 9. Muara-muara Sinus Paranasal di Kavum Nasi

Sinus frontalis adalah rongga yang terletak di dalam tulang dahi di atas fossa
orbitalis superior. Sinus frontalis bervariasi dalam ukuran, tapi selalu berbentuk
segitiga. Mukus yang terbentuk mengalir ke rongga hidung melalui saluran
frontonasal, yang terbuka pada hiatus semilunaris di dinding lateral kavum nasi.1,6

Sinus etmoidalis terdiri dari 2 kelompok sinus-sinus kecil didalam tulang


etmoid yaitu sinus ethmoidalis anterior dan posterior.6 Sinus etmoidalis anterior

29
bermuara di meatus nasi medius dan sinus etmoidalis posterior bermuara di meatus
nasi superior. Sinus etmoidalis terletak di bagian bawah sudut dalam tulang setiap
mata dan terdiri dari 6-12 sinus-sinus kecil.1,6

Sinus sfenoidalis juga terletak relatif superior, pada setinggi tulang


sfenoethmodialis. Sinus ini ditemukan lebih posterior dari sinus etmoidalis, dan
bagian superior dan lateralnya berhubungan ke rongga kranial. Sinus sfenoidalis
bermuara di atap rongga hidung melalui meatus nasi superior. Sinus ini sangat
penting secara klinis karena kelenjar hipofisis dapat diakses melalui atap hidung
melalui tulang sfenoidalis. Untuk ketiga sinus frontalis, etmoidalis dan sfenoidalis
dipersarafi oleh N. trigeminus cabang oftalmikus.6

Sinus sinus maksilaris terletak di dalam tulang pipi kiri dan kanan. Ini
merupakan sinus paranasal terbesar, berada di bawah mata, di atas tulang rahang
atas dan bermuara di hiatus semilunaris atau meatus nasi medius. Ini adalah jalur
potensial untuk penyebaran infeksi karena cairan dari sinus frontalis dapat
memasuki sinus maksilaris melalui hiatus semilunaris. Sinus ini diinervasi oleh N.
trigeminus cabang maksilaris. Oleh karena gigi rahang atas juga dipersarafi oleh
saraf ini, dapat timbul sakit gigi pada penderita sinus maksilaris.1,6

Karena sinus paranasal berlanjut dengan rongga hidung, infeksi saluran


pernapasan bagian atas dapat menyebar ke sinus. Infeksi sinus menyebabkan
radang, terutama nyeri dan pembengkakan mukosa, dan kondisi ini dikenal sebagai
sinusitis. Jika semua sinus terpengaruh, ia disebut sebagai pansinusitis. Kompleks
osteomeatal merupakan suatu struktur kompleks yang terdiri daripada
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus
frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium
sinus maksilaris.1,6

30
Gambar 10. Sinus-sinus Paranasal dan Kompleks Osteomeatal

Fisiologi
Seperti di mukosa hidung, di dalam sinus terdapat mukosa bersilia yang
berfungsi untuk mengeluarkan lendir dari rongga sinus melalui muaranya dan
mengalir ke kavum nasi. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport
mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang
bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba
eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus
sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Dari ruang
hidung lendir masuk ke nasofaring dan ditelan. Oleh sebab itulah, pada sinusitis
didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga
hidung. Dengan adanya penyakit itu adalah karena gangguan dari proses dasar ini,
biasanya dengan mengurangi aktivitas siliaris atau obstruksi, yang menimbulkan
gejala. Ostia dari etmoid anterior, sinus frontal dan maksilaris bermuara pada
meatus nasi medius, sehingga apabila timbul peradangan yang terkait dengan hiatus
semilunaris atau meatus medius akan sering melibatkan lebih dari satu sinus.6,7
Lapisan mukus yang terbentuk disamping menangkap dan mengeluarkan
partikel lemah, juga merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri.1 Lisozim
yang terdapat pada lapisan mukus bersifat destruktif terhadap dinding bakteri.1
Fagositosis aktif dalam membrane hidung merupakan bentuk proteksi dibawah
permukaan. Membrane sel pernafasan juga memberikan imunitas induksi seluler.
Sejumlah immunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sebagian dari sel

31
plasma yang normal terdapat dalam jaringan tersebut. Sesuai kebutuhan fisiologik,
telah diamati bahwa terdapat IgG, IgA dan IgE di mukosa hidung.6

Ada beberapa teori mengenai fisiologi sinus paranasal; antara lain adalah
fungsi sinus paranasal yaitu (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai
insulator suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara,
(5) peredam perubahan tekanan udara, dan (6) membantu produksi mukus untuk
membersihkan rongga hidung.1

Untuk pengaturan kondisi udara, sinus berfungsi sebagai ruangan tambahan


untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara terinspirasi.1,6 Namun teori ini
masih diperdebatkan karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif
antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus
kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Dan tambahan lagi, mukosa
sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan mukosa sebanyak mukosa hidung.1

Sinus paranasal juga berfungsi untuk penahan panas atau insulator;


melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
Selain itu, terbentuknya sinus paranasal ini membantu dalam mengurangi berat
tulang kepala dan secara tidak langsung membantu keseimbangan kepala.6

Fungsi lain dari sinus paranasal ini adalah untuk resonansi udara serta
mempengaruhi kualitas suara dan sebagai peredam tekanan udara; misalnya apabila
terjadi perubahan tekanan yang mendadak sewaktu bersin atau membuang ingus.1,6

Fungsi yang pasti dari sinus paranasal adalah membantu produksi mukus.
Mukus yang diproduksi oleh sinus paranasal memang jumlahnya sedikit
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara terinspirasi karena mukus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.1,6

32
2.4 RINOSINUSITIS

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polys


(EPOS) 2012, rhinosinusitis didefinisikan sebagai suatu radang dari hidung
dan sinus paranasal, yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, yang salah satunya
harus ada berupa obstruksi (hidung tersumbat) atau nasal discharge (sekret hidung
baik anterior atau posterior nasal drip): nyeri pada wajah dan berkurangnya
sensitivitas pembau. Pada rhinosinusitis akut gejala berlangsung ≤ 12 minggu dan
rhinosinusitis kronis berlangsung ≥ 12 minggu.8
Diagnosis rhinosinusitis ditegakkan berdasarkan European Position Paper
On Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS) tahun 2012 adanya dua atau lebih
gejala, salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung tersumbat /
pembengkakan / keluarnya cairan dari hidung ( cairan hidung yang menetes
keluar bisa melalui anterior maupun posterior) disertai ± rasa sakit pada wajah /
rasa tertekan pada wajah atau ± berkurang / hilangnya penciuman dan salah satu
dari temuan nasoendoskopi yaitu:8,9
 Polip dan/ atau
 Sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
 Edema/ obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau
 Gambaran tomografi computer (CT scan) : perubahan mukosa di
kompleks osteomeatal dan/atau sinus.

Patofisiologi Rinosinusitis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium - ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks
osteomeatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernafasan. Struktur yang membentuk KOM letaknya berdekatan
dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia
tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Sumbatan di ostium sinus dapat
diakibatkan edema yang terjadi sekunder karena adanya inflamasi traktus
respiratorius atas (hidung).8,9

33
Akibatnya terjadi penurunan aerasi sinus, penurunan tekanan O2 dalam
sinus, hipooksigenasi dan akhirnya terjadi vasodilatasi kapiler sebagai mekanisme
kompensasi. Proses ini memicu terjadinya transudasi. Sebagian cairan transudat
akan masuk ke sub mukosa sehingga menyebabkan edema, sebagian lagi menuju
ekstra vaskuler, menembus epitel hingga masuk ke rongga sinus. Akibatnya akan
terdapat cairan transudat di rongga sinus yang mula-mula serous. Kondisi ini bisa
dianggap sebagai rhinosinusitis non bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa
hari tanpa pengobatan.9
Bila kondisi menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media
yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen yang
berwarna kuning kehijauan. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut
bacterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya
karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri
anaerob berkembang. Keadaan sinus yang hipooksigen juga dapat mengganggu
gerakan silia sehingga mekanisme klirens mukosiliar terganggu. Akibatnya cairan
transudat tidak dapat didrainase dan semakin tertimbun di dalam sinus. Keadaan ini
membuat pH sinus menjadi asam dan mendukung aktivitas multiplikasi bakteri.9
Jika proses ini berlanjut, mukosa semakin bengkak dan menjadi siklus yang
terus berputar hingga perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid
atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan
operasi.

Klasifikasi Rinosinusitis
Rhinosinusitis diklasifikasikan berdasarkan beratnya serangan dan lama
serangan. Berdasarkan beratnya penyakit, penyakit ini dapat dibagi menjadi ringan,
sedang dan berat berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) dengan skor
0-10 cm:
 Ringan = VAS 0-3
 Sedang= VAS > 3-7
 Berat= VAS > 7-10

34
Gambar 11. Visual Analog Scale

Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS
jawaban dari pertanyaan “berapa besar gangguan dari gejala rhinosinusitis
saudara?” Nilai VAS >5 mempengaruhi kualitas hidup pasien. Berdasarkan
lamanya penyakit, rhinosinusitis diklasifikasikan menjadi akut maupun kronik.
Dikatakan akut apabila lamanya penyakit <12 minggu dan terjadi resolusi komplit
gejala sedangkan dikatakan kronik apabila lama penyakit >12 minggu dan tanpa
resolusi gejala komplit termasuk kronik eksaserbasi akut.

Rhinosinusitis kronik

Pada rhinosinusitis kronik, dapat dijumpai polip hidung namun tidak selalu
disertai polip hidung. Gejala lebih dari 12 minggu dan terdapat dua atau lebih
gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek
(sekret hidung anterior/ posterior) disertai:8
 nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
 penurunan/ hilangnya penghidu

Dan dari anamnesis didapatkan gejala alergi, ingus seperti air, hidung gatal,
mata gatal dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan pemeriksaan alergi.
(Foto polos sinus paranasal/tomografi komputer tidak direkomendasikan).
Berdasarkan EPOS, faktor yang dihubungkan dengan kejadian rhinosinusitis kronik
tanpa polip nasi yaitu “ciliary impairment, alergi, asma, keadaan
immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal,
mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan
refluks laringofaringeal”.

35
Penatalaksaaan Rhinosinusitis Kronik
Prinsip penatalaksanaan rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang
dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan
pembedahan. Pada rhinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan
mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya
latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung
memerlukan terapi yang berlainan juga.

Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan
rhinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan
penderita, membantu dalam diagnosis rhinosinusitis kronik (apabila terapi
medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan menjadi rhinosinusitis kronik)
dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan. Pada dasarnya
yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi
drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung. Jenis
terapi medikamentosa yang digunakan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi
pada orang dewasa antara lain:
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rhinosinusitis kronik
mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan
adalah antibiotika spektrum luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason.
a. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rhinosinusitis kronik
dengan polip nasi dan rhinosinusitis fungal alergi.
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik

36
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap
iritan dan nutrisi yang cukup

Terapi Pembedahan

Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana


dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih
endoskopi. Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk
rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:8,10
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) dipublikasikan pertama kali
oleh Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan BSEF/FESS adalah:
a. Sinusitis kronis yang tidak membaik setelah terapi adekuat
b. Sinusitis kronis disertai kista atau kelainan yang irreversible
c. Polip ekstensif
d. Adanya komplikasi sinusitis

37
e. Sinusitis jamur

Gambar 12. Skema Penanganan Rhinosinusitis Kronis pada Dewasa untuk Pelayanan Kesehatan
Primer.

Komplikasi
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan
seringkali membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya
teknologi diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.10
Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi komplikasi
orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.

1. Komplikasi orbita :
a. Selulitis periorbita
b. Selulitis orbita
c. Abses subperiosteal
d. Abses orbita
2. Komplikasi oseus/tulang :
a. Osteomielitis (maksila dan frontal)
3. Komplikasi intrakranial:
a. Abses epidural / subdural
b. Abses otak
c. Meningitis
d. Serebritis
e. Trombosis sinus kavernosus

38
BAB III
LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta-Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Selasa/ 22 Januari 2018
SMF PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

Nama : Vinsensia Dini Bayuari Tanda tangan


Nim : 112017054

Dr. Pembimbing/ penguji : dr. Stivina Azrial, Sp.THT-KL

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. FMV Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 15 tahun Agama : Katolik
Pekerjaan : Pelajar Pendidikan : SMP
Alamat : Jln. Pembangunan III No.11 Status :Belum
menikah

ANAMNESA
Diambil secara : Autoanamnesis
Pada tanggal : 15 Januari 2018 Jam : 10.00 WIB

39
Keluhan utama
Hidung tersumbat sejak 2 hari SMRS.

Keluhan tambahan
Keluhan disertai bersin-bersin dan sakit kepala.

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat sejak 2 hari SMRS disertai
pilek. Hidung sering gatal dan tersumbat, unilateral dan bergantian, tidak
tergantung dari posisi pasien. Terdapat lendir bening dan encer, tidak ada darah
keluar dari hidung. Sering bersin terutama saat pagi hari dan saat berada diruangan
ber-AC. Pasien mengatakan pilek sering berulang sejak kecil. Pasien menyangkal
adanya cairan yang keluar berbau tidak enak dan kental dari hidung. Apabila
keluhan seperti ini kambuh, pasien mengatakan tidak mengganggu aktivitas harian.
Adanya cairan yang menetes di tenggorokan disangkal.

Pasien juga mengeluh sering sakit kepala, terutama di dahi seperti


berdenyut-denyut yang semakin terasa sejak 2 minggu SMRS. Pasien menyangkal
adanya demam dan nyeri di daerah pipi dan dibagian pangkal hidung, gangguan
penghidu disangkal. Riwayat perdarahan dari hidung dan keluhan gigi berlubang
juga disangkal. Pasien mengatakan seperti mendengar suara detak jantung pada
telinga kiri sejak 2 minggu SMRS. Pasien mengatakan tidak ada riwayat trauma
telinga, tidak ada riwayat keluarnya cairan dari telinga, pendengaran tidak
terganggu. Pasien juga mengatakan tidak ada bunyi berdenging dan nyeri pada
telinga. Keluhan pusing seperti berputar disangkal.

Keluhan batuk, suara serak, nyeri tenggorokan, sering mendehem, rasa


mengganjal di leher, nyeri menelan, sulit menelan, mulut berbau, dan nyeri ulu hati
disangkal pasien. Tidak ada lendir yang mengalir di tenggorokan. Pasien menyangkal
sering minum alkohol dan pasien mengatakan tidak pernah merokok.

Riwayat Penyakit Dahulu


Alergi (+). Riwayat maag, asma, trauma, kencing manis, darah tinggi,
kolesterol, dan batuk kronis disangkal.

40
Pemeriksaan Fisik
TELINGA
Dextra Sinistra

Bentuk daun Mikrotia (-), makrotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-),
telinga anotia (-), atresia (-), fistula (- anotia (-), atresia (-),
), bat’s ear (-), lop’s ear (-), fistula (-), bat’s ear (-),
cryptotia (-), satyr ear (-) lop’s ear (-), cryptotia (-),
satyr ear (-)
Tanda Radang, Nyeri (-), massa (-), hiperemis Nyeri (-), massa (-),
Tumor (-), edema (-) hiperemis (-), edema (-)
Nyeri tekan Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
tragus
Penarikan daun Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
telinga
Kelainan pre-, Fistula pre-aurikula (-), Fistula pre-aurikula (-),
infra-, hematoma (-), laserasi (-), hematoma (-), laserasi (-),
retroaurikuler abses (-), sikatriks (-), massa (- abses (-), sikatriks (-),
), hiperemis (-), nyeri (-), massa (-), hiperemis (-),
edema (-) nyeri (-), edema (-)
Region mastoid Hiperemis (-), massa (-), nyeri Massa (-), hiperemis (-),
(-), edema (-), abses (-) odem (-), nyeri (-), abses
(-)
Liang telinga Lapang (+) Lapang (+)

Membran Intak (+), suram(-), Reflek Intak (+), suram (-),


Timpani cahaya (+) arah jam 5, Reflek cahaya (+) arah
hiperemis (-),retraksi (-), jam 7, hiperemis (-
buldging (-) ),retraksi (-), buldging (-)

41
Tes Penala
Dextra Sinistra

Rinne Positif Positif

Weber Tidak ada lateralisasi

Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa

Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz

Kesan : Tidak ada kelainan tuli sensorineural dan konduktif pada tes penala
dengan frekuensi 512 Hz pada kedua telinga pasien.

HIDUNG

Bentuk Saddle nose (-), hump nose Saddle nose (-), hump nose
(-), agenesis (-), hidung (-), agenesis (-), hidung
bifida (-), atresia nares bifida (-), atresia nares
anterior (-), tidak ada anterior (-), tidak ada
deformitas. deformitas.

Tanda peradangan Hiperemis (-), nyeri (-), Hiperemis (-), nyeri (-),
massa (-) massa (-),

Daerah sinus frontalis dan Nyeri tekan (-), nyeri ketuk Nyeri tekan (-), nyeri ketuk
maxillaris (-), krepitasi (-) (-), krepitasi (-)

Vestibulum Tampak bulu hidung (+), Tampak bulu hidung (+),


laserasi (-), sekret (-), laserasi (-), sekret (-),
furunkel (-), krusta (-), furunkel (-), krusta (-),
hiperemis (-), nyeri (-), hiperemis (-), nyeri (-),
massa (-), benda asing (-) massa (-), benda asing (-)

Cavum Nasi Sempit (+) Sekret (+) Sempit (+) Sekret (+)
serosa (+), massa (-), serosa (+), massa (-),
krusta (-), benda asing (-), krusta (-), benda asing (-),

42
edema (-), pendarahan edema (-), pendarahan aktif
aktif (-), clotting (-) (-), clotting (-)

Konka inferior Hipertrofi (-), atropi (-), Hipertrofi (-), atropi (-),
hiperemis (-), livide (+), hiperemis (-), livide (+),
edema (+) edema (+)

Meatus nasi inferior Sekret (-), massa (-), Sekret (-), massa (-),
sempit (-) sempit (-)

Konka Medius Edema (+), atropi (-), Edema (+), atropi (-),
hipertrofi (-), hiperemis (-), hipertrofi (-), hiperemis (-),
livide (+), konka bulosa (-) livide (+), konka bulosa (-)

Meatus nasi medius Sekret (-), massa (-), Sekret (-), massa (-),
sempit (-) sempit (-)

Septum nasi Deviasi (+), spina (-), Deviasi (-), spina (-),
hematoma (-), abses (-), hematoma (-), abses (-),
perforasi (-), crista (-) perforasi (-), crista (-)

RINOPHARING

 Koana : Tidak dilakukan


 Septum nasi posterior : Tidak dilakukan
 Muara tuba eustachius : Tidak dilakukan
 Torus tubarius : Tidak dilakukan
 Post nasal drip : Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI

 Sinus frontalis kanan : Tidak dilakukan


 Sinus frontalis kiri : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kanan : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kiri : Tidak dilakukan

FARING

43
Dinding faring posterior : Hiperemis (+), granula (-), ulkus (-), perdarahan
aktif (-), clotting (-), post nasal drip (-), massa (-).
Arcus faring : Pergerakan simetris, hiperemis (-), edema
(-), ulkus (-), laserasi (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis (-), kripta (-), detritus (-),
pseudomembran (-), abses (-)
Uvula : di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-
), memanjang (-), edema (-).
Gigi : caries (-).

LARING
Epiglottis : Tidak dilakukan

Plica aryepiglotis : Tidak dilakukan

Arytenoids : Tidak dilakukan

Ventricular band : Tidak dilakukan

Pita suara : Tidak dilakukan

Rima glotis : Tidak dilakukan

Cincin trachea : Tidak dilakukan

Sinus Piriformis : Tidak dilakukan

Kelenjar limfe submandibula dan servical: tidak adanya pembesaran pada inspeksi
dan palpasi.

RESUME
Seorang laki laki berusia 15 tahun datang ke poli THT RSUD Tarakan
dengan hidung tersumbat sejak 2 hari SMRS. Hidung sering gatal dan tersumbat
unilateral dan bergantian, tidak tergantung dari posisi pasien. Sekret serosa, tidak
ada darah. Sering bersin terutama saat pagi hari dan jika berada diruangan ber-AC.
Pilek sering berulang sejak kecil, tidak mengganggu aktivitas harian. Sering sakit
kepala terutama didahi yang semakin terasa sejak 2 minggu SMRS. Tidak ada
keluar cairan berbau tidak enak dan kental dari hidung. Demam, nyeri pada pipi,
dan pangkal hidung disangkal. Gangguan penghidu dan riwayat epistaksis

44
disangkal. Telinga kiri seperti terdengar suara detak jantung sejak 2 minggu SMRS.
Riwayat trauma, keluarnya cairan dari telinga, gangguan pendengaran, dan bunyi
berdenging disangkal. Keluhan pusing berputar dan keluhan gigi disangkal. Batuk,
nyeri tenggorokan, nyeri menelan, mulut berbau disangkal.
Dari pemeriksaan fisik pada hidung didapatkan mukosa konka inferior
kanan dan kiri pucat dan edema. Cavum nasi terlihat adanya secret yang bening dan
encer.

Working diagnosa (WD)


- Suspect Rinitis Alergi Persisten Ringan
Dasar yang mendukung:
 Hidung sering gatal dan tersumbat
 Keluar sekret bening dan encer dari hidung terutama pagi hari
 Riwayat bersin setiap pagi dan jika berada diruangan ber-AC
hampir tiap hari
 Riwayat alergi
Pemeriksaan Fisik:
 Pada rhinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior dan
media tampak livide dan edem. Dikavum nasi terlihat cairan
yang encer dan bening.

- Rinosinusitis Kronis Eksaserbasi Akut


Dasar yang mendukung:
 Hidung tersumbat, pilek berulang
 Sering sakit kepala terutama didahi
Pemeriksaan fisik:
 Cavum nasi: sekret serosa
 Mukosa konka inferior dan konka media tampak livide dan
edem.

Differential Diagnosis
- Rinitis Vasomotor
Dasar yang mendukung :

45
 Bersin – bersin jika terkena udara dingin
 Hidung tersumbat

Dasar yang tidak mendukung :

 Hidung tersumbat yang bergantian dan tidak tergantung posisi


pasien
 Rinore tidak mukoid

Rencana pemeriksaan lanjutan

 Pemeriksaan darah lengkap


 Skin Prick test

Penatalaksanaan

Medika Mentosa :
Rinitis Alergi Persisten Ringan:
- Antihistamin: Loratadin 10 mg 1 x 1
- Dekongestan oral: Pseudoefedrin 30 mg 3 x 1
Rinosinusitis Kronik Eksaserbasi Akut
- Kortikosteroid topikal: fluticasone furoate nasal spray 2 dd puff 2
- Cuci hidung dengan larutan garam fisiologis (NaCl 0.9%)

Non Medika Mentosa :


 Hindari allergen pencetus
 Menggunakan masker saat melakukan perkerjaan yang kontak dengan debu
 Menjaga kebersihan hidung dan mulut
 Menjaga kesehatan tubuh dengan meminum vitamin dan makanan bergizi
 Istirahat cukup

Prognosis

Rinitis Alergi Persisten Ringan

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad sanationam : Dubia ad bonam

46
Ad fungtionam : Dubia ad bonam

Rinosinusitis Kronis Eksaserbasi Akut

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik THT yang dilakukan pada


pasien ini, maka dapat ditegakan diagnosis kerja rinitis alergi dan rinosinusitis
kronis eksaserbasi akut. Diagnosa tersebut didukung dengan adanya gejala hidung
gatal dan tersumbat, sering bersin jika terkena udara dingin, mengalami pilek saat
pagi hari dengan secret yang bening dan cair. Gejala tersebut tidak sampai
mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada pemeriksaan fisik rhinoskopi anterior
ditemukan mukosa konka inferior dan media tampak livide dan edem. Untuk gejala
rinosinusitis ditemukan adanya sakit kepala yang terutama dirasakan di daerah
frontal.
Penatalaksanaan medika mentosa yang diberikan pada pasien ini adalah
antihistamin dan dekongestan untuk rhinitis alergi. Antihistamin yang diberikan
dalam hal ini adalah antihistamin generasi kedua yang tidak menimbulkan efek
sedatif seperti loratadin 10 mg diberikan 1 kali sehari selama 5 hari dan dekongestan
oral, seperti pseudoefedrin 30 mg 3 kali sehari selama 3 hari. Sedangkan untuk
mengatasi rinosinusitis kronik dapat diberikan terapi kortikosteroid topical yaitu
fluticasone furoate nasal spray disemprotkan pada hidung 2 kali sehari, dan cuci
hidung dengan larutan garam fisiologis (NaCl 0.9%). Jika terdapat demam dapat
diberikan antipiretik, seperti paracetamol 500 mg yang diminum 3 kali sehari.

Prognosis ad vitam adalah dubia ad bonam karena pada dasarnya alergi


tidak dapat sembuh, sehingga pasien harus menghindari alergen untuk mencegah
infeksi berulang agar tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut. Ad
sanationam adalah dubia ad bonam karena bila pengobatan tidak adekuat dan
kontak dengan alergen tidak dihindari maka dapat menimbulkan komplikasi. Ad
functionam adalah dubia ad bonam.

47
BAB 1V

KESIMPULAN

Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi pada mukosa hidung yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Gejala
utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin, keluar ingus cair
dan bening. Seringkali gejala meliputi mata, yaitu berair, kemerahan dan gatal.
Rinitis alergi merupakan penyakit yang umum dan sering dijumpai.

Rinosinusitis merupakan sebagai inflamasi pada mukosa sinus paranasal


yang disertai atau dipicu oleh rinitis. Patofisiologi rinosinusitis digambarkan
sebagai lingkaran tetutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung khususnya
kompleks osteomeatal. Oedem mukosa akan menyebabkan obstruksi ostium sinus
sehingga sekresi sinus normal menjadi terjebak (sinus stasis).

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Nina I, Elise K, Nikmah R. Rinitis alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.h.106-12.
2. Damayanti S, Endang M, Retno SW. Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.h.96-100.
3. Rhinitis Alergy. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/
134825-overview. Diunduh pada 13 Januari 2018.
4. Nina I, Elise K, Niken LP. Rinitis vasomotor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.h.113-15.
5. Non Alergic Vasomotor Rhinitis. Diunduh dari
https://www.medscape.com/viewarticle/532378. Diunduh pada 13 Januari
2018.
6. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit tht. Edisi ke-6.
Penerbit buku kedokteran EGC. 1997; H. 173-260.
7. Mustafa M, Patawari P, Iftikhar HM, Shimmi SC, Hussain SS, Sien MM.
Acute and chronic rhinosinusitis, pathophysiology and treatment. IJPSI.
2015; 4 (2): Pg 30-36.
8. Lund VJ et al. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps,
2012.
9. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-7. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2012.
10. Sanico A, Togias A. Noninfectious, nonallergic rhinitis (NINAR). Dalam:
Lalwani KA,Ed. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery second edition. New York: Lange McGrawHill Comp,
2007.p. 112-7

49

You might also like