You are on page 1of 23

BAGIAN NEUROLOGI REFERAT

RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS SEPTEMBER 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

MIASTENIA GRAVIS

OLEH:
Saza Khoirunnisa, S.Ked
K1A1 12 040

Pembimbing:
dr. Happy Handaruwati, M.Kes., Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
MIASTENIA GRAVIS
Saza Khoirunnisa, Happy Handaruwati

I. PENDAHULUAN

Miastenia Gravis merupakan kelainan pada neuromuscular junction

yang diperkenalkan pada tahun 1985 oleh Fredierich Jolly yang merupakan

seorang neurologis asal Jerman. Miastenia Gravis sendiri berasal dari

bahasa latin dimana Miastenia berarti kelemahan otot dan Gravis berarti

berat. Fredierich Jolly menemukan bahwa didapatkan onset lambat dari

kelemahan otot dengan stimulasi berulang sehingga dicurigai bahwa

terdapat transmisi abnormal dari neuromuskular pada pasien-pasien

miastenia gravis.

Terdapat kontroversi mengenai penyebab terjadinya kesalahan pada

neuromuscular junction pada pasien dengan Miastenia Gravis. Pendapat

pertama mengemukakan bahwa terdapat transmisi kimia yang terjadi pada

pasien Miastenia Gravis yang dikenal dengan kontroversi ‘soups versus the

sparks’, dimana kontroversi tersebut berhasil dipecahkan setelah ditemukan

asetilkolin sebagai zat perantara pada neuromuscular junction. Pendapat

yang kedua adalah mengemukakan bahwa terdapat abnormalitas

neuromuscular junction jenis presinapstik pada pasien dengan Miastenia

Gravis yaitu autoimunitas.1

Pada Miastenia Gravis ciri-ciri imunologik lebih lengkap daripada

penyakit otot lainnya. Gejala tunggal ialah kelemahan otot setelah


mengeluarkan tenaga yang kemudian sembuh kembali setelah istirahat.

Walaupun kelumpuhan khas itu dapat timbul pada setiap otot, namun

kebanyakan dari kasus-kasus memperlihatkan kelemahan otot-otot okuler,

terutama ptosis. Saraf otak kranial yang paling sering terkena juga ialah otot

wajah dan otot-otot penelan.2

II. ANATOMI

Otot rangka atau otot lurik dipersarafi oleh nervus besar bermielin

yang berasal dari sel kornu anterior medulla spinalis dan batang otak.

Nervus ini mengirim keluar aksonnya dalam nervus spinalis atau kranialis

menuju perifer. Nervus yang bersangkutan bercabang berkali-kali dan

mampu merangsang 2000 serat otot rangka. Kombinasi saraf motorik

dengan serabut otot yang dipersarafinya disebut unit motorik. Walaupun

masing-masing neuron motorik mempersarafi banyak serabut otot, namun

masing-masing serabut otot tersebut dipersarafi oleh neuron motorik

tunggal.
Daerah khusus yang menghubungkan antara saraf motorik dengan

serabut otot disebut sinaps atau taut neurotransmukular. Taut

neurotransmukular adalah sinaps kimia antar saraf dan otot yang terdiri dari

tiga komponen dasar: elemen prasinaptik terdiri dari akson terminal yang

berisi vesikel sinaptik dengan lebar sekitar 200 A diantara dua elemen.

Elemen prasinaptik terdiri dari akson terminal yang berisi vesikel sinaptik

dengan neurotransmiter asetilkolin. Asetilkolin disintesis dan disimpan

dalam akson terminal. Membran plasma akson terminal disebut membran

presinaps. Elemen pascasinaptik terdiri dari membran pascasinaps

(membran pasca penghubung) atau ujung lempeng motorik dari serat otot.

Membran pascasinaps dibentuk oleh invaginasi yang disebut saluran sinaps

membran otot atau sarkolema kedalam tonjolan akson terminal. Membran

pascasinaps juga mengandung reseptor asetilkolin dan mampu

membangkitkan lempeng akhir motorik yang sebaliknya dapat

menghasilkan potensial aksi otot.

Apabila impuls saraf mencapai taut neuromuskular, membran akson

prasinaptik terminal terdepolarisasi menyebabkan pelepasan asetilkolin ke

dalam celah sinaptik. Asetilkolin menyeberangi celah sinaptik secara difus

dan menyatu dengan bagian reseptor asetilkolin dalam membran

pascasinaptik. Masuknya ion Na secara mendadak dan keluarnya ion K

menyebabkan depolarisasi ujung lempeng yang diketahui sebagai ujung

lempeng potensial (end plate potential, EPP). Ketika EPP mencapai puncak
EPP akan menghasilkan potensial aksi dalam membran otot tidak bertaut

dan menyebar sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini merangkai serangkain

reaksi yang menyebabkan kontraksi serabut otot. Begitu terjadi transmisi

melewati penghubung neuromuskular, asetilkolin akan dirusak oleh enzim

asetilkolinesterase. Pada orang normal, jumlah asetilkolin yang dilepaskan

lebih dari cukup untuk menyebabkan suatu potensial aksi.3

III. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi miastenia gravis diperkirakan terdapat 20 kasus per

100.000 populasi, dengan perbandingan 2:1 antara wanita dan pria. Secara

keseluruhan, prevalensi miastenia gravis berkisar antara 150-200 kasus per

juta. Pada penelitian dalam beberapa kasus menunjukkan bahwa kejadian

miastenia gravis pada kelompok dengan usia yang lebih tua sering terjadi

kesalahan diagnosis pada pasien laki-laki. Sebagai hasilnya, didapatkan

bahwa prevalensi paling banyak didapatkan pada wanita pada dekade 2 dan

dekade ke 3, sementara pada pasien pria lebih banyak pada dekade ke 6 dan

dekade ke 8. Keluhan mengenai kelumpuhan pada otot mata lebih sering

didapatkan pada tahun pertama penyakit dan terjadi pada 50% kasus.

Biasanya pada tahun pertama pasien memiliki gejala secara umum seperti

kelemahan atau kelelahan dan satu dari tiga pasien mengalami kelemahan

otot pernapasan yang mengharuskan penggunaan ventilasi mekanik.

Miastenia krisis dapat terjadi pada 20% pasien dengan miastenia secara

umum. Prognosis dan angka kematian berubah setelah beberapa tahun.


Angka kematian pada dekade ke 4 memperlihatkan penurunan yang sangat

signifikan mulai dari 75% ke 4,5%.4

IV. PATOFISIOLOGI

Setelah diketahui bahwa terdapat neurotransmisi (listrik atau kimia),

dan lokus patologi (pra-atau pasca-sinaptik), perhatian diarahkan pada sifat

kelainan didaerah pasca sinaptik, yaitu, autoimunitas. Masalah autoimun

pada Miastenia Gravis dimulai dengan pengamatan oleh D.W. Smithers dan

John Simpson. Smithers dikreditkan dengan saran pertama, pada tahun

1958, bahwa MG mungkin disebabkan oleh proses autoimun. Dua tahun

kemudian, pada tahun 1960, John Simpson mengamati pada 404 pasien

terdapat gejala miastenik kemudian dia menyimpulkan bahwa terdapat

korelasi antara kelainan tymus sebagai penghasil kekebalan tubuh pada

pasien dengan Miastenia Gravis. Mekanisme pasti tentang hilangnya

toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia

gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat

dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan

produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada

patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan

organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas

pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih

awal pada pasien dengan gejala miastenik.. Observasi klinik yang

mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait


dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun

tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap

reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat

dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel

B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan

reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai

semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang

terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau

thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.

Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam

berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung

melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga

merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin

pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi

neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor

asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi

jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara

menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga

mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-

reseptor asetilkolin yang baru disintesis.1

Antigen utama dalam Miastenia Gravis adalah Asetilkolin Reseptor

(AchR) pada membran otot. Beberapa pasien ditemukan tidak memiliki


antibodi terhadap AchR untuk mengikat komponen ekstraselular dari

reseptor yang menyebabkan gangguan transduksi sinyal. Dalam Miastenia

Gravis, konduksi neuromuskular mengalami gangguan. Jumlah reseptor

asetilkolin yang normal menjadi menurun yang diyakini sebagai akibat

cedera dari autoimun. Penentuan rusaknya reseptor belum diketahui dengan

pasti. Pada penderita Miastenia Gravis, otot tampak normal secara

maksroskopik walaupun mungkin terdapat atrofi disuse. Atrofi tersebut

terjadi akibat kurangnya aktivitas atau latihan.5,2

V. KLASIFIKASI

Miastenia Gravis diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu

berdasarkan subtipe dan gejala klinis yang timbul. Miastenia Gravis di bagi

berdasarkan beberapa subtipe di bawah ini 7:

1. Miastenia Gravis onset lambat : usia kurang dari 50 tahun, hiperplasia

tymus, dan lebih sering pada perempuan

2. Miastenia Gravis onset lambat : usia lebih dari 50 tahun, atrofi timus, dan

kebanyakan pria

3. Miastenia Gravis dengan antibodi anti-MUSK

4. Miastenia Gravis okular : dengan gejala yang hanya terbatas pada otao-

otot ekstraokular

5. Miastenia Gravis tanpa ditemukannya AchR dan antibodi MuSK

Pasien Miastenia Gravis dengan Timoma hampir selalu terdeteksi memiliki

antibodi AchR dalam serumnya.


Miastenia Gravis Foundation of America (MGFA) mengklasifikasikan

Miastenia Gravis kedalam 5 kelas besar dan beberap subkelas. Hal tersebut

dimaksudkan untuk mempermudah prognosis dan keparahan penyakit serta

respon penyakit terhadap terapi yang diberikan 8:

1. Kelas I diklasifikasikan:

- Didapatkan kelemahan otot mata

- Kelemahan untuk menutup mata

- Kekuatan otot normal

2. Kelas II

- Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah

- Adanya kelemahan ringan pada oto-otot lain selain okular

3. Kelas II a:

- Adanya pengaruh terhadap otot-otot aksial, anggota tubuh, atau

keduanya

- Terdapat kelemahan pada otot-otot orofaringeal yang ringan

4. Kelas Iib:

- Terpengaruhnya otot-otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau

keduanya

- Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial yang

lebih ringan dibandingkan kelas Iia

5. Kelas III

- Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular sedangkan yang

lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan tingkat sedang.


6. Kelas IIIa:

- Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial atau

keduanya secara predominan.

- Terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

7. Kelas IIIb:

- Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau

keduanya secara predominan.

- Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau

keduanya.

8. Kelas IV:

- Otot – otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam

derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan

dalam berbagai derajat.

9. Kelas Iva:

- Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau

otot-otot aksial.

- Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.

10. Kelas Ivb:

- Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau

keduanya secara predominan.

- Terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,

atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feesing

tube tanpa dilakukan intubasi.


11. Kelas V:

- Penderita terintubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

- Biasanya gejala-gejala miastenia gravis seperti ptosis dan strabismus

tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau

dalam cuaca panas, gejala-gejala miastenia gravis akan tampak lebih

jelas. Pada pemeriksaan tonus otot tampaknya agak menurun.

VI. GEJALA KLINIS 9

1. Okular

Gejala okular adalah manifestasi klinis Miastenia Gravis yang

paling banyajk ditemukan. Gejala yang paling banyak ditemukan adalah

ptosis atau diplopia. Selanjutnya otot-otot ekstraokuler yang lain

kemudian akan terlibat. Pasien yang datang dengan penglihatan ganda

tidak dapat disingkirkan kemungkinan mengalami ptosis yang ringan.

Beberapa pasien memperlihatkan fluktuasi diplopia dari benda yang

mereka lihat. Beberapa mengeluhkan mengenai pandangan kabur yang

kemudian normal jika melihat dengan menggunakan satu mata.


2. Bulbar

Dalam neurologi, terkenal istilah ‘bulbar muscle’, yang di dinervasi

oleh motor neuron di pons dan medulla oblongata. Diantara gejala

bulbar, kseulitan bicara yang dimanifestasikan sebagai suara sengau atau

kesulitan dalam pengucapan kata adalah keluhan yang paling sering

terjadi pada Miastenia Gravis. Berbeda dengan gejala yang lain, disartia

merupakan gejala yang timbul dibawah pengaruh emosi.

Pada awal gejala yang muncul akan tampak seperti silent period

dan akan diikuti dengan kesulitan dalam menelan dan mengunyah.

Kelemahan pada bagian otot pharyngeal bagian atas menghasilkan

makanan terasa sebagai sensasi menusuk dalam tenggorokan.

Kelemahan pada otot leher menyebabkan kesulitan dalam menjaga

kesimbangan kepala yang mengakibatkan masalah dalam

mepertahankan posisi dari kepala. Keluhan mengenai perasaan kaku,

dan nyeri yang tidak jelas pada leher dan belakang kepala menyebabkan

parastesia dimasa mendatang.

Kelemahan pada otot wajah pada beberapa pasien akan di diagnosis

dengan Bells Palsy sehingga terkadang membahayakan. Pasien akan

merasa kaku dan merasa gigi tidak terasa, parastesia. Ekspresi dari

wajah kadang tidak bisa terbaca, apakah sedang meringis atau tertawa.

Kelemahan orbicularis oris menyebabkan ketidakmampuan dari

bersiul atau mencium, kesulitan bersin, memakan sup dengan sendok,

serta kesulitan berbicara ketika makan.


Penurunan kekuatan dari orbicularis okuli menyebabkan tidak bisa

menutup mata bahkan saat tidur, sehingga harus tidur dengan mata

terbuka yang menyebabkan mata mudah terkena iritasi atau terbangun.

Gejala seperti ini mungkin merupakan gejala minor, sehingga pada

tahap awal penyakit pasien tidak datang ke dokter untuk melakukan

pemeriksaan.

VII. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Pasien dengan Miastenia Gravis biasanya datang dengan keluhan

kelemahan pada otot – otot rangka yang akan meningkat apabila sedang

beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari

dan kelemahan akan berkurang apabila pasien beristirahat. Kelemahan

biasanya dirasakan pada otot-otot mata akibat kelumpuhan pada dari

nervus okulomotorius. Walaupun pada miastenia gravis otot levator

palpebra lumpuh,namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak

normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan dapat terjadi pada otot

okular kedua sisi yang akan melengkapi ptosis. Sewaktu-waktu pula

dapat timbul kelemahan dari otot-otot masseter sehingga mulut penderita

sukar untuk ditutup. Kelemahan otot bulbar juga dapat terjadi diikuti

dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala. Selain itu dapat pula

timbul kesukaran menelan dan berbicara dari otot faring, lidah, pallatum

molle, dan laring sehingga timbul paresis dari pallatum molle yang akan

menimbulkan suara sengau. Selain itu apabila penderita minum air


mungkin akan keluar melalui hidung. Pasien juga akan mengeluh

mengalami kesusahan untuk menutup mulut yang disebut sebagai tanda

rahang menggantung (hanging jaw sign). Dengan terkenanya otot wajah,

pasien akan terlihat seperti menggeram bila mencoba tersenyum.

Keterlibatan otot pernapasan dibuktikan dengan batuk lemah, dan

akhirny aserangan dispnea, dan ketidak mampuan umtuk membersihkan

mukus dari cabang tracheobronkial. Gelang bahu dan pelvis dapart

terkena pada kasus berat dapat terjadi kelemahan umum pada otot skeler.

Berdiri, berjalan atau bahkan menehan lengan diatas kepala misalnya saat

menyisir rambut. Pasien akan merasakan gejala memberat jika terjadi

perubahan keseimbangan hormonal, misalnya kehamulan, fluktuasi

dalam siklus menstruasi, atau gangguan fungsi tiroid; penyakit yang

terjadi pada waktu yang bersamaan khususnya infeksi traktus pernapasan

atas dan yang berkaitan dengan demam dan diare; saat sedang merasa

emosi atau kekecewaaan sebagian besar pasien akan mengalami

kelemahan otot; serta pada penggunaan alkohol ataupun obat-obatan

lain6,2

2. Pemeriksaan Fisis9,10,11

a. Inspeksi

Memperhatikan kepala pasien saat istirahat:

(a) Ptosis pada mata yang asimetris, deviasi okular atau kepala

yang terkulai
(b) Kelemahan otot wajah yang dapat dilihat dengan hilangnya

lipatan nasolabial dan hilangnya ekspresi

(c) Kelemahan dari otot leher dan dagu untuk menopang dagu

(d) Ptosis kadang dikompensasi dengan terangkatnya bulu mata

(e) Terkadang memiringkan kepala atau merotasikan kepala untuk

meminimalisasi diplopia

b. Fungsi okular

(a) Pada kelumpuhan ringan, kita dapat membandingkan celah mata.

Pada sisi yang lumpuh, celah mata lebih kecil, dan kadang-

kadang kita melihat dahi yang dikerutkan untuk

mengkompensasi menurunnya kelopak mata. Untuk menilai

tenaga m.levator palpebra pasien disuruh memejamkan matanya

kemudian disuruh membuka. Waktu membuka, kita tahan

gerakan ini dengan jalan memegang kelopak mata. Pada

pemeriksaan ini untuk meniadakan kompensasi dari m.frontalis,

dapat di fiksasi dengan tangan satu lagi. Untuk memperjelas

ptosis dari miastenia gravis pasien disuruh melirik ke atas

(misalnya dengan menyuruhnya melihat tangan pemeriksa yang

ditempatkan di depan atas). Setelah beberapa menit akan terlihat

ptosis yang bertambah nyata.

(b) Diplopia dapat terlihat setelah memberitahu pasien untuk melihat

ke arah lateral atau vertikal.


c. Fungsi Bulbar

(a) Uji aliran puncak ekspirasi atau kapasitas paru tanpa menjepit

hidung untuk melihat kelemahan palatum

(b) Suara sengau dapat didengarkan dengan menyuruh pasien untuk

menyebutkan angka 101-199

(c) Fungsi otot masetter dapat diketahui dengan cara pasien

menggigit spatula

(d) Menelan segelas air dan melihat apakah terjadi batuk atau

regurgitasi air ke hidung

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Analisis antibodi reseptor asetilkolin serum

b. Tes tensilon: injeksi edrofonium (antikolinesterase kerja singkat

yang secara sementara mempertahankan asetilkolin dengan melakukan

blok pada metabolismenya) secara intravena akan menyebabkan

perbaikan klinis yang cepat dan sementara. Tes ini sebaiknya

dilakukan secara tersamar ganda dan disiapkan peralatan resusitasi san

atropin jika terjadi efek muskarinik akibat kelebihan asetilkolin.

c. Uji Prostigmin: pada tes ini disuntikan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin

methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin).

Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka

gejala-gejala seperti ptosis atau kelemahan lain tidak lama kemudian

akan lenyap.
d. Uji Kinin: Diberikan 3 tablet kina masing-masing 200 mg. 3 jam

kemudian diberikan 3 tablet lagi. Bila kelemahan benar akibat MG

makan gejala-gejala yang timbul akan semakin berat.

e. Tes fungsi tiroid untuk tirotoksikosis

f. CT scan mediastinum anterior untuk mencari pembesaran timus

VIII. DIFERENSIAL DIAGNOSIS 2

1. Guillaian-Barre Sindrom

Sindrom Guillaian Barre merupakan suatu demielinisasi

polineuropati akut. Gambaran utama GBS adalah paralissi motorik

asendens secara primer dengan berbagai gangguan fungsi sensorik. GBS

adalah gangguan neuron motorik bagian bawah dalam saraf perifer.

Pada GBS, gejala sensorik cenderung ringan dan dapat terjdai rasa

nyeri, geli, mati rasa, serta kelainan sensasi rasa getar dan posis.

Kelemahan otot rangka seringkali akut sehingga tidak terjadi atrofi otot

namun tonus otot hilang dan mudah terdeteksi arefleksia. Lengan dapat

menjadi kurus atau atau otot lengan kurang lemah dibandingkan otot

tungkai. Gejala autonom termasuk hipotensi postural, takikardia, dan

tidak ada kemampuan untuk berkeringat.

Anamnesis dan temuan klinis berupa paralisis dan parastesia yang

paling sering, riwayat pasien menunjukkan bahwa kelemahan akan

menunjukkan bahwa gejala terjadi bilateral dan kelihatannya terjadi

lebih cepat. Anamneis juga memperlihatkan bahwa 1 atau 3 minggu


sebelumnya telah terjadi demam atau infeksi virus sebelum terjadinya

kelemahan motorik,

2. Sindrom Pascapolio

Sindrom pascapolio atau atrofi neuromuscular pasca poliomielitis

adalah kelemahan otot progresiv dari biasanya. Gejala trias klasik

mencakup kelelahan yang tidak biasa, kelemahan otot dengan atau

tanpa atrofi, dan nyeri otot yang sering disertai dengan kejang otot.

Gejala lainnya adalah paresis atau paralisis neuron motorik bagian

bawah yang khas: nyeri otot, fasikulasi, dan kelemahan otot yang dapat

mencapai tingkatan yang tinggi atau berkembang menjadi atrofi otot.

Ekstremitas paling sering terkena. Namun otot pernapasan bisa juga

terlibat, serta kepala, dan otot leher, yang dipersarafi oleh nervus

kranialis IX, X, dan XI. Akibatnya dapat berupa gagal napas, apnea

berat waktu tidur, kesulitan menelan, episode tersedak, atau aspirasi.

IX. PENATALAKSANAAN 5

1. Inhibitor Cholinesterase

Pyridostigmine bromide adalah pengobatan lini pertama yang dapat

mengurangi penghancuran asetilkolin dengan menghambat

acetylcholinesterase. Dosis awal yang diberikan 30 sampai 60 mg

pyridostigmine setiap 3 samapai 6 jam. Efektivitas maksimum terlihat

diawal penyakit dan lebih lama pasien memberikan toleransi yang dapat

berespon pada dosis eskalasi. Dosis tunggal besar dari 120-180 mg

jarang memberikan manfaat yang unggul dan biasanya hanya


menyebabkan efek samping yang lebih besar. Pyridostigmine senantiasa

memiliki peran untuk memanajemen gejala. Sebagian besar digunakan

pada malam hari.

2. Kortikosteroid

Prednisone adalah imunosupresan lini pertana untuk Miastenia

Gravis. Dosis 60-80 mg biasanya dianjurkan, namun kelemahan akut

yang memburuk dapat diamati pada 7-14 hari pertama setelah memulai

pengobatan. Sehingga penggunaan dosis awal yang rendah kemudian

dinaikkan secara bertahap akan sangat membantu. Lebih dari 90% pasien

pada pengobatan 1 bulan terjadi perbaikan yang signifikan. Pemeberian

kortikosteroid memberikan beberapa efek samping yang sering

ditimbulkan seperti hiperglikemia, osteoporosis, ulkus lambung,

kenaikan berat badan dan edema, yang membuat imunosupresan ini sulit

untuk digunakan.

3. Non steroid imunosupresan

a. Azathiopirine

Penggunaan dengan Azathiopirine sebagai agen steroid-

sparing didukung oelh bukti kualitas yang baik dan memungkinkan

untuk diberikan dengan cara tappering off. Mekanisme kerja dari

Azathiopirin ini adalah melalui inhibisi sintesis purin yang

menyebabkan penghambatan limfosit T dan B. Azathiopirin

biasanya diberikan dengan dosis 2 sampai 3 mg/kgBB dibagi

menjadi dua atau tiga dosis perhari. Respon pengobatannya bsa


mencapai 12 bulan. Efek samping termasuk gejala seperti flu,

leukopenia, trombositopenia, hepatotoksisitas, alopecia, dan

peningkatan risiko neoplasia terutama limfoma.

Sebuah studi memperlihatkan bahwa terdapat perbaikan

klinis yang lebih baik jika obat in idiberikan secara kombinasi

dengan kortikosteroid. Namun hal tersebut akan lebih

meningkatkan efek samping.

b. Cydosporine

Cydosporine memblok kalsineurin yang dimediasi sitokin

signaling dan karena itu merupakan penghambat dari sel T helper.

Obat ini sering digunakan pada pasien refrakter yang intoleren

terhadap penggunaan steroid dan atau azathiopirin. Dosis

siklosporin adalah 5 mg/kgBB perhari dalam dosis terbagi dengan

maksimal dosis 100 sampai 150 mg/L. Efek samping biasanya

hipertensi, tremor, hirsuitimia, hiperplasia gingiva, mialgia, flu like

sindrom, dan peningkatan risiko neoplasia.

c. Tacrolimus (FK506)

Takrolimus merupakan imunosupresan makrolid dan terikat

terhadap protein. Takrolimus secara teoritis dapat menyebabkan

peningkatan kekuatan otot pada pasien dengan Miastenia Gravis.

Dosis 3 mg dapat digunakan.


d. Metrotreksat

Biasa digunakan sebagai pilihan alternatif untuk

Azathiopirin. Sebuah penelitian baru-baru ini membuktikan bahwa

metrotreksat memiliki tolerabilitas yang mirip dengan Azathiopirin.

Inisisasi dosis optimal mulai dari 15 mg dalam 1 minggu. Efek

samping dapat berupa toksisitas hati, gejala gastrointestinal, dan

fibrosis paru.

e. Siklofosfamid

Merupakan agen anti proliferasi siklus sel non-spesifik.

Obat ini diberikan selama 4 sampai 5 hari dimulai dari dosis rendah

2-6 mg/kg dan dosis maksimal 1600 mg/m2 luas permukaan tubuh.

4. Plasmafaresis

Plasmafaresis bekerja dengan mengeluarkan antibodi dan faktor-

faktor komplonen protein. Plasmadaresis terdiri dari 4 sampai 6 kali

perukaran dimana masing-masing menghilangkan 3-5 L plasma.

Plasmafaresis merupakan pengobatan jangka pendek dan penting untuk

kegawatan miastenik dan eksaserbasi. Kekhawatiran untuk dilakukan

terapi ini adlah karena prosedur yang dilakukan merupakan proses

infasiv seperti menempatkan kateter intravena dan menyebabkan resiko

infeksi yang tinggi serta tromboemboli. Efek samping lain adalah

parasthesia, hipotensi, dan perdarahan akibat trombositopenia.


5. Intravena Imunoglobulin (IVIG)

IVIG diberikan infus 2mg/kg dibagi atas 5 dosis selama 5 hari

merupakan dosis standar. Perbaikan klinis dapat dilihat dalam 14 hari

setelah pengobatan antara pasien dengan eksaserbasi yang ada dengan

efek pengobtan dapat dilihat setelah 28 hari. Komplikasi yang ada dapat

berupa sakit, kepala, meningitis aseptik, dan gejala flu like syndrom.

Reaksi anafilaktik terjadi pada pasien dengan IgA, komplikasi

trombotik, termasuk stroke dan infark miokard juga dapat terjadi.

6. Thymectomy

10-20% pasien MG memiliki thymoma dan sekitar 30% dari pasien

thymoma. Jika terdapat timoma dan pada pasien muda dilakuakn pada

awal penyakit untuk mengurangi kebutuhan terapi medikamentosa, dan

pada sebagian kecil pasien untuk mencapai remisi total.


DAFTAR PUSTAKA

1. Afifi K. Adel. Review Article:Myasthenia Gravis from Thomas Willis to the

Present. Neuroscience. 2005. 10 (1).

2. Mardjono M., dan Priguna Sidharta. 2010. Neurologi Klinis Dasar Cetakan ke

15. Jakarta: Dian Rakyat.

3. Price, S., A, Wilson L. 2012. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses

penyakit Volume 2. Jakarta : EGC

4. Shah K.A. Myasthenia Gravis Clinical Presentetion. Medscape. 2017.

5. Ahmed, A dan Kothari,M. Myasthenia Gravis: An Updated Review. Austin J

Muskuloskeletal Disord. Vol 3 (2).

6. W Arie G.G., Adnyana O.M., Widyadharma E.P.I., Diagnosa dan

Tatalaksana Miastenia Gravis. Universitas Udayana. 2010.

7. Trouth J.A., Dabi Alok., Solieman N., et. al. Myasthenia Gravis: A Review.

Hindawi Publishing Corporation. 2012. Vol.2.

8. Rosyid Nor Fahrun. Mengenal Miasthenia Gravis. Health Science. 2005. Vol

5 No (1).

9. Kaminsky J Henry. 2000. Myasthenia Gravis and Related Disorder: Humana

Press.

10. Lumbantobing, S.M. 2006. Neurologi Klinis Dasar: FKUI. Jakarta.

11. Ginsberg, L. 2005. Lecture Notes: Neurologi Edisi Kedelapan: Erlangga

Medical Series. Jakarta.

You might also like