You are on page 1of 5

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa remaja merupakan periode kehidupan terjadinya perubahan biologis, psikologis,
dan sosial (Rudolph,2014). Batas usia remaja menurut WHO (2009) adalah 12 sampai 24
tahun. Menurut Depkes RI (2009) adalah 12 sampai 25 tahun, yang dimana kelompok umur
ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu masa remaja awal 12-16 tahun dan masa remaja akhir
17-25 tahun. Namun jika pada usia remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong
dalam dewasa bukan lagi remaja. Berdasarkan data BKKBN (2013) di Indonesia jumlah
remaja berusia 10 hingga 24 tahun mencapai sekitar 64 juta atau 27,6% dari total penduduk
Indonesia.
Pada masa remaja, manusia mengalami kematangan dari segi biologis, psikologis
maupun sosialnya. Dari ketiga hal tersebut yang paling mencolok pada masa remaja adalah
perubahan biologis (Asriani dkk, 2012). Perubahan biologis yang mendasar pada remaja
disebut dengan pubertas. Pubertas merupakan bagian dari proses perkembangan dengan
adanya kematangan organ seksual dan kemampuan bereproduksi. Pada perempuan hal ini
ditandai dengan terjadinya menstruasi pertama (menarche) (Widyastuti, 2009).

Menstruasi sebagai proses alamiah yang akan terjadi pada setiap remaja, dimana
terjadinya proses pengeluaran darah yang menandakan bahwa organ reproduksi telah
berfungsi dengan matang (Kusmiran, 2011). Menstruasi adalah siklus discharge fisiologik
darah dan jaringan mukosa melalui vagina dan uterus yang tidak hamil dibawah kendali
hormonal dan berulang tanpa adanya kehamilan selama periode reproduktif (Dorland, 2000).
Lamanya siklus menstruasi sangat bervariasi, tetapi angka rata-rata adalah 28 hari di mulai
dari permulaan satu periode mens sampai permulaan periode berikutnya. Menstruasi
biasanya berlangsung selama lima sampai tujuh hari dan rata-rata darah yang keluar saat
menstruasi adalah 35-50 ml tanpa bekuan darah (Wiknjosastro, 2012). Peristiwa tersebut
wajar dan alami sehingga dapat dipastikan bahwa semua wanita yang normal pasti akan
mengalami proses tersebut, akan tetapi pada kenyataannya banyak wanita yang mengalami
masalah menstruasi. Masalah menstruasi yang umum terjadi adalah amenorrhea, perdarahan
uterus abnormal, sindrom premenstrual, dan dismenore. (Owen, 2005).
Dismenore adalah nyeri yang terjadi sebelum dan selama masa menstruasi yang ditandai
dengan rasa kram atau tidak enak di perut bawah (Simanjuntak, 2008). Dismenore ini
umumnya terjadi sekitar 2 atau 3 tahun setelah menstruasi pertama dan mencapai klimaksnya
saat wanita berusia 15-25 tahun (Simanjuntak, 2008). Menurut (Reeder, 2011), dismenorea
merupakan masalah yang terkait dengan menstruasi, yaitu nyeri singkat sebelum awitan atau
selama menstruasi. Nyeri dimulai beberapa jam sebelum atau bersamaan dengan awitan
menstruasi dan berlangsung selama 48 sampai 72 jam. Nyeri haid yang biasanya dialami oleh
remaja umumnya bukan karena penyakit (nyeri haid primer) (Bobak, 2004).
Derajat nyeri haid (dismenore) diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu dismenore ringan,
dismenore sedang, dismenore berat (Manuaba, 1999). Dismenore ringan terjadi di skala nyeri
1-4, dismenore sedang terjadi di skala nyeri 5-6, dan dismenore berat terjadi pada skala nyeri
7-10.
Penyebab terjadinya nyeri dismenore dikarenakan adanya peningkatan produksi
prostaglandin. Peningkatan ini akan mengakibatkan kontraksi uterus dan vasokontriksi
pembuluh darah. Aliran darah yang menuju uterus menurun sehingga menyebabkan uterus
tidak mendapat suplai oksigen yang adekuat dan dapat menimbulkan nyeri. Intensitas nyeri
berbeda dipengaruhi oleh deskripsi individu tentang nyeri, persepsi dan pengalaman nyeri
(Kelly, 2007). Nyeri menstruasi terjadi di perut bagian bawah tetapi dapat menyebar hingga
ke punggung bawah dan paha. Nyeri juga bisa disertai kram perut yang parah. Kram tersebut
berasal dari kontraksi dalam rahim, yang merupakan bagian normal proses menstruasi, dan
biasanya pertama dirasakan ketika mulai perdarahan dan terus berlangsung hingga 32 – 48
jam (Reeder, 2011).
Nyeri pada saat menstruasi menimbulkan ketidaknyamanan. Rasa nyeri yang hebat di
sekitar bagian bawah menyebabkan kesulitan berjalan, tidak nafsu makan, mual, muntah dan
bahkan sampai pingsan. Hal ini menyebabkan remaja tersebut tidak mampu untuk melakukan
aktifitas rutinnya, sehingga harus istirahat dan membolos dari sekolah (Reeder, 2011). Hal ini
sejalan dengan penelitian Purwati dan Sarwinanti (2014) yang dilakukan di SMA Negeri I
Kasihan Bantul pada tanggal 8 April 2014 pada 15 siswi kelas X, XI dan XII yang mengalami
dismenore. 10 siswa mengatakan walaupun nyeri haid tetap masuk sekolah, namun kurang
konsentrasi mengikuti pelajaran, 5 siswa mengatakan harus ijin tidak masuk sekolah atau istirahat
di UKS apabila menstruasi dan dismenore awitannya di sekolah, bahkan 2 diantaranya
mengatakan sering mengalami pingsan apabila dismenore terjadi. 6 siswa mengatakan hanya
membiarkan dismenore yang datang sampai sembuh sendiri, 7 siswa diantaranya mengatakan
harus minum obat nyeri haid dan 2 diantaranya harus istirahat dan minum obat sampai dismenore
sembuh.
Dalam penelitian IIN (2013) juga didapatkan peneliti, dari bulan April 2011-Juli 2011,
bahwa 100 siswi di SMA N 1 Gresik ditemukan 70% (70 siswi) yang mengalami nyeri haid,
sebanyak 20% (20 siswi) yang tidak masuk sekolah & 50% (50 siswi) aktivitas belajar
terganggu karena mengalami nyeri haid. Sehingga berdampak pada prestasi siswi di sekolah.
Berdasarkan data dari berbagai Negara dalam Sulistyawati dan Purwanti (2013) , angka
kejadian dismenore di dunia cukup tinggi. Diperkirakan 50% dari seluruh wanita di dunia
menderita dismenore dalam sebuah siklus menstruasi (Calis, 2011). Di Amerika Serikat
diperkirakan hampir 90% wanita mengalami dismenore dan 10- 15% diantaranya mengalami
dismenore berat, yang menyebabkan mereka tidak mampu melakukan kegiatan apapun
(Jurnal Occupation And Enviromental Medicine, 2008 ). Di Indonesia angka kejadian nyeri
haid sebesar 64.25 % yang terdiri dari 54,89% nyeri haid primer dan 9,36 % nyeri haid
sekunder (Info sehat, 2008). Dismenore menyebabkan 14% dari remaja sering tidak hadir di
sekolah dan tidak menjalani kegiatan sehari-hari (Calis,2011).
Usaha untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri biasanya menggunakan
pengobatan farmakologi dan non-farmakologi. Namun bila keluhan nyeri dapat dihilangkan
dengan cara sederhana maka hal itu jauh lebih baik daripada penggunaan obat-obatan karena
obat-obatan akan menimbulkan ketergantungan terhadap efek penghilang nyeri dan
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan seperti mual, muntah, diare, pendarahan
lambung, dispepsia dan gangguan haid. Penatalaksanaan nyeri haid juga dapat dimanajemen
secara non farmakologi, seperti: teknik distraksi, teknik relaksasi dan teknik stimulasi kulit
(Potter&Perry, 2005). Sedangkan menurut Bare & Smeltzer (2002) pendekatan non
farmakologis dalam penurunan nyeri haid salah satunya adalah : kompres hangat, olahraga,
berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol, pengaturan diet, massage kutenus, terapi
panas, distraksi, imajinasi.
Adapun tekhnik stimulasi kulit dengan menggunakan prinsip kerja kompres hangat
memakai buli-buli panas yang dibungkus kain yaitu secara konduksi dimana terjadi
pemindahan panas dari buli-buli ke dalam tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran
pembuluh darah, sehingga akan terjadi penurunan ketegangan otot sehingga nyeri haid yang
di rasakan akan berkurang/ hilang (Perry & Potter, 2005). Efek hangat dari kompres dapat
menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah yang nantinya akan meningkatkan aliran
darah ke jaringan Penyaluran zat asam dan makanan ke sel-sel diperbesar dan pembuangan
dari zat-zat diperbaiki yang dapat mengurangi rasa nyeri haid primer yang disebabkan suplai
darah ke endometrium kurang, (Natali,2013).
Kompres hangat sebagai metode yang sangat efektif untuk mengurangi nyeri atau
kejang otot.
Penatalaksanaa lainnya adalah dengan tekhnik relaksasi yang dapat menggunakan
aromaterapi. Aromaterapi adalah suatu pengobatan alternatif yang menggunakan bau-bauan
atau wangi-wangian yang berasal dari senyawa-senyawa aromatik. Respon bau yang
dihasilkan akan merangsang kerja sel neurokimia otak. Oleh karena itu, bau yang
menyenangkan akan menstimulasi thalamus untuk mengeluarkan enfekalin yang berfungsi
sebagai penghilang rasa sakit alami dan meghasilkan perasaan tenang (Howard & Hughes,
2007 dalam Purwati dan Sarwinanti, 2014).
Dijelaskan pada Nursing Intervention Classification (NIC) bahwa aromaterapi
merupakan minyak esensial yang digunakan untuk menenangkan, mengatasi nyeri,
meningkatkan relaksasi dan kenyamanan yang dapat diberikan melalui pemijatan/ massage
effurage, pengolesan, mandi, dihirup, pemberian melalui vagina maupun kompres dengaan
tehnik panas atau dingin. Aromaterapi merupakan bagian dari terapi pengobatan
komplementer yang dapat diberikan oleh perawat secara mandiri. Hal ini telah diatur dalam
PERMENKES RI No. HK 02.02/MENKES/148/I/2010 pada pasal 8 ayat 3 yaitu
penyelenggaraan praktik keperawatan yang dilaksanakan melalui tindakan keperawatan
komplementer (dalam Yuni dan Sarwinanti,2015).
Untuk mendapakan hasil yang terbaik, terapi metode kompres hangat dan metode
aromaterapi dilakukan selama 20 menit dengan 1 kali pemberian dan pengukuran intensitas
nyeri dilakukan dari menit ke 15- 20 selama tindakan (Kusmiyati, 2009 dalam Lisa dan Dwi.
2013).
Hal ini sejalan dengan penelitian Lisa dan Dwi (2013) mengenai Perbedaan Pengaruh
Metode Kompres Hangat Dengan Aromateraphy Terhadap Penurunan Derajat Dismenor
Pada Remaja Putri, didapatkan hasil bahwa pemberian metode kompres hangat dan metode
aromaterapi menunjukkan hasil ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan derajat
dismenore pada remaja putri.Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa metode kompres hangat
lebih efektif daripada metode aromaterapi dilihat dari hasil penurunan derajat dismenore
pada remaja putri.
Dari uraian di atas, nyeri haid atau dismenore merupakan masalah yang menarik untuk
mendapatkan perhatian yang cukup serius karena banyak pelajar atau mahasiswi yang
terganggu akibat nyeri haid sehingga mereka tidak dapat mengikuti kegiatan belajar dengan
maksimal. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh
Tekhnik Stimulasi Kulit dengan menggunakan Minyak Angin Aromaterapi terhadap Derajat
Dismenore”. Peneliti memilih menggunakan minyak angin aromaterapi dibanding kompres
hangat karena minyak angin aromaterapi memiliki kelebihan yaitu, lebih efisien serta lebih
praktis dapat dibawa dan digunakan kapanpun dan saat berada dimanapun, sehingga dapat
cepat digunakan jika dismenore mulai terasa.

You might also like