You are on page 1of 7

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis pada trauma

leher yang mencurigakan adanya kerusakan jalan nafas terutama pada trauma

tumpul ataupun yang sudah terpasang endotrakeal tube (ETT). Pada foto dapat

terlihat adanya bayangan udara terperangkap di prevertebra dan leher bagian dalam

atau peninggian/elevasi tulang hyoid pada kasus separasi krikotrakea (Pekcevik,

2013).

Laringoskopi merupakan alat diagnostik pilihan karena dapat menentukan

letak luka, luas luka, dan juga sekaligus sebagai penuntun untuk pemasangan ETT

guna menjamin jalan nafas. Esofagoskopi disarankan terutama pada trauma tembus.

Tindakan panendoscopy dan arteriografi disarankan dilakukan pada trauma tembus

leher dengan kondisi pasien yang stabil. Tindakan tersebut di atas selain efektif juga

sensitifitasnya tinggi untuk menghindari eksplorasi yang berlebihan. (Pekcevik,

2013).

Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan esofagus dengan kontras,

computed tomography (CT) dan MRI dapat dilakukan sesuai indikasi. CT scan

telah berperan banyak dalam penanganan trauma laring saat ini dan mampu

menurunkan angka eksplorasi bedah karena mampu mendeteksi lebih rinci dan non

invasif. CT diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan trauma laring hanya dari

anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti pada pasien yang hanya menunjukkan satu

gejala/tanda. CT mampu mendeteksi fraktur tiroid dengan midline displaced yang

minimal namun berpengaruh dalam pembentukan fonasi. Hal ini sangat

menguntungkan pasien karena jika tidak terdeteksi akan menyebabkan gangguan

fonasi jangka panjang. CT kurang berguna pada kasus dengan indikasi pembedahan
seperti pada kartilago yang terekspose atau displaced fracture dengan laserasi

mukosa diatasnya. (Pekcevik, 2013).

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan luka terbagi atas luka terbuka dan luka tertutup.

2.8.1 Luka terbuka

Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada

perbaikan saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan

segera yang harus dilakukan adalah trakeotomi dengan menggunakan kanul

trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah. Setelah

trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat

pembuluh darah yang cedera serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang

robek. Untuk mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotika dan

serum anti-tetanus (Hadiwikarta et al, 2006).

2.8.2 Luka tertutup (closed injury)

Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa

memikirkan penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di

kemudian hari yaitu kesukaran dekanulasi. Olson berpendapat bahwa

eksplorasi harus dilakukan dalam waktu paling lama 1 minggu setelah

trauma. Eksplorasi yang dilakukan setelah lewat seminggu akan

memberikan hasil yang kurang baik dan menimbulkan komplikasi di

kemudian hari (Hadiwikarta et al, 2006).

Keputusan untuk menentukan sikap apakah akan melakukan

eksplorasi atau konservatif tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi

langsung atau tidak langsung, foto jaringan lunak leher, foto toraks dan CT
scan. Pada umumnya pengobatan konservatif dengan istirahat suara,

humidifikasi dan pemberian kortikosteroid diberikan pada keadaan mukosa

laring yang edem, hematoma atau laserasi ringan, tanpa adanya gejala

sumbatan laring (Hadiwikarta et al, 2006).

Indikasi untuk melakukan eksplorasi adalah (Hadiwikarta et al,

2006):

1. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.

2. Emfisema subkutis yang progresif.

3. Laserasi mukosa yang luas.

4. Tulang rawan krikoid yang terbuka.

5. Paralisis bilateral pita suara.

Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit

horizontal. Tujuannya ialah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan

atau sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yang

robek dan menutup tulang rawan yang terbuka dengan gelambir (flap) atau

tandur alih (graft) kulit. Untuk menyanggah lumen laring dapat digunakan

stent atau mold dari silastik, porteks atau silicon yang dipertahankan selama

4 atau 6 minggu

Fraktur kartilago diperbaiki dengan menggunakan wire, benang

yang tidak diserap, miniplate yang diserap dan miniplate permanen.Untuk

menyangga lumen laring dapat digunakan bidai yang terbuat dari silastik,

porteks atau silikon. Penyangga tersebut biasanya berbentuk seperti huruf T

sehingga disebut T-tube. Pipa T dipasang melalui lubang

trakeostomi.Penderita diberikan antibiotika profilakis selama 5-7 hari.Tidak


ada batasan yang mutlak mengenai lamanya pemasangan pipa T ini.

(Hadiwikarta et al, 2006).

Gambar 2.4 (A) Potongan gambar sagital lokasi pemasagan T-tube.


(B) Montgomery T-tube.
Algoritma penatalaksanaan trauma laring

Riwayat trauma
Kecurigaan cedera
daerah leher,
laring
tanda-tanda klinis
cedera laring.

Ancaman sumbatan Jalan nafas stabil


jalan nafas

Laringoskopi
trakeostomi serat optik

Laringoskopi Laringoskopi Kelainan Endolarin


langsung langsung ringan g normal
dan dan
esofagoskop esofagoskop

Hematoma, Fraktur Hilangnya


laserasi kecil, terisolasi, mukosa atau Tomografi
endolaring subluksasi kartilago laring komputer
utuh tiroid,

abnormal normal
konservatif Eksplorasi terbuka
dengan reduksi
dan fiksasi interna Trakeostomi atau observasi
intubasi

Laringoskopi langsung
dan esofagoskopi

Tirotomi laring

Reduksi terbuka, Kartilago laring Kartilago tidak stbail,


fiksasi interna, tidak stabil, komisura anterior
perbaikan laserasi hilangnya utuh
mukosa, sebagian
pemasangan bidai komisura
anterior, cedera Reduksi terbuka,
mukosa berat fiksasi interna,
perbaikan laserasi
mukosa
2.9 Komplikasi

Komplikasi trauma laring dapat terjadi apabila penatalaksanaannya kurang

tepat dan cepat. Komplikasi yang dapat timbul antara lain : terbentuknya jaringan

parut dan terjadinya stenosis laring, paralisis nervus rekuren, infeksi luka dengan

akibat terjadinya perikondritis, jaringan parut dan stenosis laring dan trakea. Secara

garis besarnya, komplikasi yang mungkin terjadi (Quinn, 2003):

2.9.1 Akut

a. Obstruksi jalan nafas

b. Afonia

c. Disfonia

d. Odinofagia

e. Disfagia

f. Komplikasi post operasi ( hematoma, infeksi)

2.9.2 Kronik

a. Perubahan suara (21-25%)

b. Obstruksi kronik (15-17%)

c. Cedera kord vokalis (paralisis, terfiksasi)

d. Fistula (trakeoesofageal, esofageal, atau faringokutaneous)

e. Perubahan kosmetik

f. Aspirasi kronik

Prognosis

Sebagian besar trauma laring dapat sembuh secara spontan dan tidak

memerlukan perhatian lebih lanjut. Oleh karena berbagai faktor yang dapat
memicu cedera ini telah dikurangi maka , derajat dan insidens komplikasinya

dapat pula diminimalisir. (Quinn, 2003)

Trauma tajam laring diasosiasikan dengan 3-6 % angka kematian.

Berbagai teknik penatalaksanaan yang strategis terus dikembangkan untuk trauma

laring jenis ini. (Quinn, 2003)

Pasien dengan derajat trauma laring yang berada di grup I dan II sebagian

besar sembuh sempurna meski demikian beberapa yang lebih parah (misalnya

yang disertai dislokasi kartilago ataupun cedera saraf), memiliki prognosis yang

buruk. (Quinn, 2003)

You might also like