You are on page 1of 9

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Jurnal

EFEKTIFITAS PEMBERIAN TERAPI AIR PUTIH PADA PAGI HARI


TERHADAP KEJADIAN KONSTIPASI PADA PASIEN IMOBILISASI
AKIBAT GANGGUAN SISTEM NEUROLOGI

Oleh
ROSDIAN INDAHWAHYUNI HIKAYA
(NIM. 841410205, Jurusan Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu-Ilmu
Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo)

Telah diperiksa dan disetujui untuk dipublikasikan


EFEKTIFITAS PEMBERIAN TERAPI AIR PADA PAGI HARI
TERHADAP KEJADIAN KONSTIPASI PADA PASIEN IMOBILISASI
AKIBAT GANGGUAN SISTEM NEUROLOGI

Rosdian Indawahyuni Hikaya, Sunarto Kadir, Iqbal Husain


Jurusan Ilmu Keperawatan FIKK UNG
Email : indawahyunirosdian@yahoo.co.id

ABSTRAK

Rosdian Indawahyuni Hikaya, 2014. Efektifitas pemberian terapi air pada pagi
hari terhadap kejadian konstipasi pada pasien imobilisasi akibat gangguan sistem
neurologi. Skripsi, Jurusan Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan
Keolahragaan, Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing I, Sunarto Kadir, dan
Pembimbing II, Iqbal Husain. Daftar Pustaka : 22 (2003-2012).
Pasien dengan gangguan sistem neurologi mengalami keterbatasan gerak yang
menyebabkan penurunan peristaltik usus sebagai pemicu terjadinya konstipasi. Penyebab
utama terjadinya konstipasi adalah kurangnya aktivitas fisik, konsumsi makanan berserat
dan asupan cairan. Adapun rumusan masalah yaitu “Apakah Pemberian Terapi Air Putih
pada Pagi Hari efektif terhadap kejadian Konstipasi pada pasien Imobilisasi akibat
Gangguan sistem Neurologi?”
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektifitas pemberian air putih pada pagi
hari terhadap kejadian konstipasi pada pasien imobilisasi akibat gangguan sistem
neurologi. Metode penelitian yang digunakan adalah pre experimental designs
(Rancangan Praeksperimen) dengan desain one grup pretest posttest. Jumlah sampel yang
digunakan sebanyak 20 responden yang mengalami konstipasi di RSUD Prof. Dr. Aloei
Saboe yang hanya terdiri dari satu kelompok. Alat ukur yang digunakan adalah bowel
score yang diobservasi setiap hari selama tiga hari.
Hasil penelitian terdapat pengaruh yang signifikan minum air putih di pagi hari
terhadap kejadian konstipasi pada pasien dengan imobilisasi akibat gangguan sistem
neurologi dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05).
Dari hasil penelitian menunjukan ada pengaruh terapi minum air putih pada pagi
hari terhadap kejadian konstipasi. Dengan hasil penelitian ini diharapkan perawat dapat
menerapkan terapi minum air putih pada pagi hari untuk kejadian konstipasi.

Kata kunci : Air, Imobilisasi, Neurologi, Konstipasi.

1
Rosdian Indahwahyuni Hikaya, 841410205, Jurusan Ilmu Keperawatan UNG
Dr. Sunarto Kadir, Drs., M.Kes, Ns. Iqbal Husain, M.Kep, Sp.Kep MB
1. Pendahuluan
Penyakit Saluran pencernaan merupakan masalah kesehatan yang banyak di alami
oleh manusia diantaranya adalah Konstipasi. Konstipasi merupakan keadaan atau gejala
hambatan gerak sisa makanan di saluran pencernaan sehingga buang air besar tidak bisa
lancar dan teratur. Menurut (Arnaud, 2003), dikatakan konstipasi apabila terjadi
penurunan frekuensi defekasi (>3 hari sekali atau < 2 kali seminggu) yang diikuti dengan
pengeluaran feses yang lama dengan konsistensi keras dan kering.
Penyebab utama terjadinya konstipasi adalah kurangnya aktivitas fisik, konsumsi
makanan berserat dan asupan cairan (Potter & Perry, 2005). Perubahan dalam tingkat
Aktivitas fisik dapat mengakibatkan instruksi pembatasan gerak yang juga menyebabkan
penurunan peristaltik usus dan dapat mengakibatkan konstipasi (Berdman, 2012).
Gangguan sistem Neurologi merupakan gangguan yang terjadi pada sistem organ
pada makhluk hidup yang terdiri dari otak, medulla spinalis, dan saraf perifer. Struktur-
struktur ini yang bertanggung jawab untuk kontrol dan koordinasi aktivitas sel tubuh
melalui implus-implus elektrik.
Gangguan pada sistem neurologi umumnya disebabkan oleh kerusakan aliran darah
pada bagian otak tertentu karena berbagai alasan, termasuk aterosklerosis pembuluh
darah yang menyuplai otak dan obstruksi mikrosirkulasi (Smeltzer & Bare, 2001). Hasil
dari sejumlah jaringan otak, volume darah intrakranial, dan cairan serebrospinal didalam
tengkorak pada satu satuan waktu disebut dengan tekanan intrakranial.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 20 November
2013 di ruang Neurologi Gedung 2 (G2) lantai 1 RSUD Prof. Aloei Saboe Kota
Gorontalo terdapat 25 Pasien yang dirawat dengan gangguan sistem Neurologi. Diantara
pasien-pasien tersebut terdapat 14 pasien dalam keadaan Imobilisasi, dan diantara 14
pasien tersebut ditemukan pasien dengan tanda-tanda konstipasi sebanyak 7 pasien
(50%).
Hasil wawancara dengan salah satu perawat yang bertugas di ruang Neurologi
Gedung 2 (G2) lantai 1 RSUD Prof. Aloei Saboe Gorontalo, diperoleh informasi bahwa
belum ada program pencegahan yang dilakukan oleh perawat dalam menangani
komplikasi dari imobilisasi akibat gangguan neurologi. Bila pasien belum Buang Air
Besar (BAB) sampai 3 hari, maka sesuai instruksi dokter akan dilakukan pemberian
laksatif (obat pencahar) pada hari keempat.
Penggunaan pencahar secara berlebihan untuk menggantikan fungsi defekasi yang
alami, maka refleks defekasi secara progresif menjadi kurang kuat dalam hitungan bulan
atau tahun, dan kolon menjadi atonik (Guyton & Hall, 2006). Penggunaan laksatif yang
tidak tepat justru akan memperberat konstipasi karena hanya akan mengatasi sementara
bahkan menjadi ketergantungan penggunanaan laksatif dalam setiap proses defekasi
(Lemone & Burke, 2011) Dekade terakhir ini penatalakasanaan konstipasi lebih efektif
menggunakan cara lain, seperti : penambahan asupan cairan yang diminum, penambahan
kandungan magnesium dalam makanan, aktifitas fisik yang terukur, masase abdomen dan
penambahan zat probiotik dalam bentuk minuman, serta stimulasi intestinal (Fernandez,
2006).
Minum 500 ml air putih saat bangun pagi tentunya lebih mudah dibandingkan
harus minum air putih sebanyak 1,5 liter sekaligus dalam waktu 20 menit. Meskipun
hasilnya mampu mengatasi konstipasi, dibandingkan minum air 1,5 liter, minum air 500
ml lebih berfokus sebagai pencegahan melalui mekanisme gastrokolik, dan turut
mempertimbangkan pula pasien usia lanjut yang kesulitan minum dalam jumlah banyak
sekaligus, serta batas maksimal kenyamanan pasien minum yaitu sebesar 500 ml
(Sherwood, 2011).
Berdasarkan Latar belakang inilah yang menjadi dasar bagi peneliti untuk
membuktikan efektifitas pemberian terapi air volume minimal (500 ml) dalam upaya
pencegahan konstipasi pada pasien imobilisasi akibat gangguan neurologi dengan
formulasi judul “Efektivitas Pemberian Terapi Air Putih pada Pagi Hari terhadap
Kejadian Konstipasi pada Pasien Imobilisasi Akibat Gangguan Sistem Neurologi”. di
ruang Neurologi Gedung 2 (G2) lantai 1 RSUD Prof.Aloei Saboe, Kota Gorontalo.
1. Metode Penelitian
2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini bertempat di ruang perawatan Neurologi Gedung 2 (G2) lantai 1
RSUD Prof. Aloei Saboe Kota Gorontalo dan waktu penelitian berlangsung dari tanggal
29 Januari 2014 sampai tanggal 23 Februari 2014.
2.2 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan pre experimental designs (Rancangan
Praeksperimen) dengan desain one grup pretest posttest, yaitu rancangan penelitian yang
tidak menggunakan kelompok pembanding (kontrol), tetapi peneliti melakukan observasi
pertama (pretest) yang memungkinkan menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah
adanya eksperimen. (Notoatmodjo, 2010).
Dalam penelitian ini, pasien imobilisasi pola defekasi dan konsistensi (pre-test),
kemudian diberikan intervensi Minum Air putih 500 ml pada pagi hari, dan setelah
intervensi 500 ml pada pagi hari, observasi lagi (Post-Test) untuk mengetahui perubahan
pola dan konsistensi defekasi. Pada penelitian ini tidak menggunakan kelompok kontrol
karena keterbatasan waktu dan jumlah pasien.
2.3 Variabel Penelitian
Pada penelitian ini variable independen yaitu Minum Air Putih pada pagi hari. dan
Dalam penelitian ini variabel dependen (terikat) adalah Kejadian konstipasi.
2.4 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien konstipasi dalam keadaan
imobilisasi akibat gangguan neurologi yang dirawat di ruang Neurologi Gedung 2 (G2)
lantai 1 RSUD Prof. Aloei Saboe, Gorontalo. Dan Penelitian ini menggunakan non-
probability sampling dengan menggunakan teknik pengambilan sampel Insidental
Sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan insidental/kebetulan (Setiadi,
2007).
2.5 Teknik Analisis Data
2.5.1 Analisis Univariat
Analisis univariat untuk menganalisis karakteristik responden berdasarkan usia,
jenis kelamin dan diagnosa medis.
2.5.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian ini mencari pengaruh Minum air putih
pada pagi hari terhadap kejadian Konstipasi. Uji statistiknya menggunakan test
signifikansi dengan teknik non parametrik menggunakan Wilcoxon Match Pairs Test
yaitu teknik pengujian hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi bila datanya
berbentuk ordinal (Notoatmodjo, 2010).
2. Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
3.1.1 Analisis Univariat
Tabel 3.1 Distribusi karakteristik responden berdasarkan Usia terhadap kejadian
konstipasi
Usia Jumlah
n %
≤ 40 tahun 5 25%
> 40 tahun 15 75%
Total 20 100 %
Sumber: Data Primer 2014
Berdasarkan tabel 3.1 menunjukkan bahwa dari 20 responden yang mengalami
konstipasi, usia responden terbanyak adalah usia >40 sebanyak 15 Responden (75%).
Sisanya adalah responden usia ≤ 40 tahun sebanyak 5 responden (25%).
Tabel 3.2 Distribusi karakteristik reponden berdasarkan Jenis Kelamin terhadap
konstipasi
Jenis Kelamin Jumlah
n %
Laki-laki 7 35%
Perempuan 13 65%
Total 20 100%
Sumber: Data Primer 2014
Tabel 3.2 menunjukan bahwa dari 20 responden yang mengalami konstipasi,
didominasi oleh jenis kelamin Perempuan sebanyak 13 Responden (65%) dibandingkan
dengan Laki-laki yang hanya sebanyak 7 responden (35%).
Tabel 3.2 Distribusi karakteristik reponden berdasarkan Diagnosa Medis terhadap
konstipasi
Diagnosa Medis Jumlah
n %
Stroke 15 75%
Cedera Kepala 2 10%
Vertigo 1 5%
Disphasia & Aphasia 1 5%
Fraktur temporal 1 5%
Total 20 100%
Sumber: Data Primer 2014
Tabel 3.3 menunjukan hasil Karekteristik responden didominasi Diagnosa medis
Stroke sebanyak 15 responden (75%), cedera kepala terdapat 2 responden (10%),
diagnosa medis vertigo sebanyak 1 responden (5%), dysphasia & aphasia 1 responden
(5%), dan Fraktur temporalis 1 responden (5%).
3.1.2 Analisis Bivariat
Tabel 3.4 Perbedaan kejadian konstipasi sebelum dan sesudah diberikan Terapi air
putih pada pagi hari
Kejadian Sebelum Sesudah p value
n % n %
Konstipasi 20 100% 5 25% 0.000
Tidak Konstipasi 0 0% 15 75%
Total 20 100% 20 100%
Sumber : Data Primer 2014
Tabel 4.4 Berdasarkan analisa Uji Wilcoxon menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan kejadian konstipasi yang signifikan antara sebelum diberikan terapi air putih
dan setelah diberikan air putih yang ditunjukkan dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05).
Artinya ada pengaruh yang signifikan minum air putih pada pagi hari terhadap
pencegahan konstipasi.

3.2 Pembahasan
3.2.1 Usia
Usia merupakan faktor yang sangat berhubungan dengan proses degeneratif yang
berarti penurunan fungsi pada sistem tubuh manusia termasuk pada sistem pencernaan
dan sitem neurologi.
Tabel 3.1 menunjukkan bahwa karakteristik usia responden didominasi oleh usia
>40 (75%). Sisanya adalah responden usia ≤ 40 tahun (25%).
Hasil yang sama terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Ginting yang
dijelaskan dalam Denny (2012), tentang konstipasi pada pasien stroke, dimana rerata usia
pasiennya adalah 55,46 tahun. Hal ini dikarenakan fokus subjek penelitiannya adalah
pasien stroke dimana faktor usia sangat mempengaruhi. Resiko stroke meningkat pada
kelompok usia 45-74 tahun.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Denny (2012) tentang Efektifitas
pemberian terapi air putih 500 ml pada pagi hari terhadap kejadian konstipasi pada pasien
imobilisasi akibat gangguan muskuloskeletal, dimana karakteristik usia respondennya
didominasi oleh usia ≤ 40. Hal ini dikarenakan penelitian di fokuskan pada gangguan
sistem muskuloskeletal yang mayoritas responden mengalami fraktur ekstremitas bawah
seperti fraktur femur dengan pemasangan gips atau traksi pada pasien dengan usia
dibawah 40 tahun yang sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau kecelakaan.
Berdasarkan asumsi peneliti, hasil yang tidak sama ini dikarenakan fokus subjek
penelitian ini adalah pasien- pasien imobilisasi akibat gangguan neurologi yang beresiko
mengalami konstipasi. Sehingga pengambilan sampel berdasarkan pada penyebab
imobilisasi yang spesifik yaitu pada gangguan neurologi.
3.2.2 Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil pada tabel 3.2 dari 20 responden terdapat 13 responden (65%)
berjenis kelamin perempuan dan 7 responden (35%) Laki-laki. Hal ini dikarenakan fokus
subjek penelitian adalah pasien-pasien imobilisasi akibat gangguan neurologi yang
beresiko mengalami konstipasi. Menurut pengalaman peneliti di lapangan, sebagian besar
responden mengalami gangguan neurologi seperti stroke. Hal ini sangat berbeda dengan
teori tentang faktor resiko stroke yang menyatakan bahwa laki-laki lebih rentan
mengalami stroke.
3.2.3 Diagnosa Medis
Tabel 3.3 menunjukan hasil Karekteristik responden didominasi Diagnosa medis
Stroke sebanyak 15 responden (75%), cedera kepala terdapat 2 responden (10%),
diagnosa medis vertigo sebanyak 1 responden (5%), dysphasia & aphasia 1 responden
(5%), dan Fraktur temporalis 1 responden (5%).
Stroke merupakan gangguan neurologi terbanyak yang dialami oleh manusia.
Menurut WHO, di Indonesia tahun 2012 kejadian penyakit stroke sebesar 8,3 per 1000
penduduk. Hal yang sama terjadi dalam penelitian oleh Ginting (2012) tentang konstipasi
pada pasien stroke, dimana fokus subjek penelitiannya adalah pasien stroke yang resiko
stroke meningkat pada kelompok umur 45-74 tahun, dan sesuai dengan hasil karakteristik
responden berdasarkan usia yang di dominasi oleh usia > 40 tahun.
Hasil studi yang diperoleh peneliti, pasien stroke terbanyak mengalami konstipasi
dikarenakan peneliti lebih fokus terhadap imobilisasi yang dapat mengakibatkan
keterbatasan gerak akibat gangguan neurologi berupa hilangnya fungsi saraf, kelemahan
otot, dan paralisis yang berat. Hal ini diperkuat oleh teori Muttaqin (2008) yang
menyatakan, gerak yang kurang menyebabkan penurunan peristaltik usus besar memicu
terjadinya konstipasi.
3.2.4 Efektifitas pemberian terapi air putih terhadap konstipasi
Tabel 3.4 menunjukkan dari 20 responden sebelum diberikan perlakuan terapi
minum air putih 500 ml di pagi didapatkan 20 pasien (100%) mengalami konstipasi.
Sedangkan setelah diberikan perlakuan didapatkan 15 responden (75%) yang tidak
mengalami konstipasi dan 5 responden (25%) yang mengalami konstipasi.
Sebagian besar responden tidak mengalami konstipasi setelah minum air putih 500
ml pada pagi hari (75,0%). Dengan minum 500 ml air putih (Lower Maximum Volume :
LMV) yaitu volume minimal yang dimasukkan ke dalam lambung yang mampu
menyebabkan gerakan peristaltik pada lambung (Lunding et al, 2011), maka rangsangan
dari regangan lambung ini melalui saraf otonom ekstrinsik menjadi pemicu utama
gerakan massa di kolon melalui refleks gastrokolik. Refleks gastrokolik mampu
menstimulasi otot polos kolon sehingga meningkatkan motilitas kolon dan mencegah
terjadinya konstipasi (Bassotti & Villanaci, 2006).
Terdapat 5 responden (25,0%) mengalami konstipasi meskipun sudah diberikan
terapi minum air putih 500 ml pada pagi hari. Berdasarkan pengalaman peneliti di
lapangan saat mengambil data, konstipasi yang terjadi pada responden terjadi karena
faktor kesengajaan penundaan defekasi pasien karena malu dan risih bila buang air besar
di tempat tidur. Responden di rawat di ruang rawat inap yang berisi 4-6 pasien membuat
privasinya merasa terganggu, sehingga pasien cenderung akan menahan atau
menundanya. Kebiasaan sering menunda atau mengabaikan defekasi akan menurunkan
kerja refleks defekasi secara normal dan lebih lanjut menyebabkan terjadinya konstipasi
(Guyton & Hall, 2008).
Selain itu, menurut pengamatan peneliti di lapangan, imobilisasi akibat penyakit
yang di derita juga merupakan salah satu pemicu pasien dalam menunda defekasi.
Responden yang dalam penelitian ini menggunakan pasien imobilisasi dengan total score
5-8 yaitu imobilisasi ketergantungan berat. Hal ini juga d dukung oleh teori yang
mengatakan bahwa Pengaruh fisiologis imobilisasi terhadap fungsi gastrointestinal
bervariasi dan mengakibatkan penurunan motilitas saluran gastrointestinal. Konstipasi
merupakan gejala yang paling umun (Potter & Perry, 2005). Uji beda dilakukan untuk
melihat perbedaan antara sebelum diberikan perlakuan minum air putih 500 ml pada pagi
hari. Tabel 4.4 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kejadian konstipasi yang
signifikan antara sebelum perlakuan dan setelah perlakuan yang ditunjukkan dengan nilai
p = 0,000 (p < 0,05). Artinya ada pengaruh yang signifikan minum air putih di pagi hari
terhadap pencegahan konstipasi.
Studi yang hampir sama dilakukan oleh Tampubolon (2008), namun perbedaannya
volume air putih yang diminum sebanyak 1,5 liter melalui pendekatan mekanisme
pelumasan bagi feses bergerak di sepanjang kolon. Meskipun hasilnya mampu mengatasi
konstipasi, dibandingkan minum air 1,5 liter, minum air 500 ml lebih berfokus sebagai
pencegahan melalui mekanisme gastrokolik, dan turut mempertimbangkan pula pasien
usia lanjut yang kesulitan minum dalam jumlah banyak sekaligus, serta batas maksimal
kenyamanan pasien minum yaitu sebesar 1000 ml ( Sherwood, 2011).
3. Simpulan dan Saran
4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti berkesimpulan sebagai
berikut :
1. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian 20 orang responden di
dapatkan bahwa sebagian besar responden berusia >40 tahun yakni sebanyak 75%
atau sebanyak 15 responden , berjenis kelamin perempuan sebanyak 65% atau
sebanyak 13 responden, dan lebih banyak dengan diagnosa medis stroke sebanyak
75% atau sebanyak 15 responden.
2. Berdasarkan analisa Uji Wilcoxon menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kejadian
konstipasi yang signifikan antara sebelum diberikan terapi air putih dan setelah
diberikan air putih yang ditunjukkan dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Artinya ada
pengaruh yang signifikan minum air putih pada pagi hari terhadap pencegahan
konstipasi.
4.2 Saran
1. Pelayanan Keperawatan
Perawat perlu menerapkan pemberian minum air putih pada pagi hari sebagai
pencegahan konstipasi pada pasien imobilisasi akibat gangguan sistem neurologi.
2. Keilmuan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menambah sumber informasi bahwa terapi air dengan
volume minimal (500 ml) mampu mencegah terjadinya konstipasi pada pasien
imobilisasi akibat gangguan sistem neurologi.
3. Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan untuk bisa dijadikan sebagai referensi untuk
kesempurnaan penelitian-penelitian selanjutnya.
4. Penelitian Selanjutnya
Penelitian selanjutnya diharapkan mampu mengukur dan menganalisa kejadian
konstipasi tidak hanya dengan wawancara, namun lebih objektif dengan observasi
dengan standar konsistensi feses.

Daftar Pustaka
Arnaud, M.J (2003). Mild dehydration: a risk factor of constipation? European journal
of clinical nutrition. 688 – 595

Bassotti & Villanacci (2006). Normal behavior of the human colon and Abnormal
Motilityaspect in slow transit constipation. Comment R 7758_2

Bennett, M & Cresswell (2003). Factors influencing constipation in advance cancer


patients : aprospective study of opioiddose,dantrondose,and physical
functioning. Palliative Medicine. 418 – 422

Berman, A & Snyder, S (2012). Fundamentals of Nursing : concepts, process and


practice. Jakarta : EGC
Corwin, EJ (2009). Buku saku patofisiologi (Handbook of Pathofisiology). Jakarta : EGC

Dadang, (2000). Dampak Konstipasi. Jurnal Ilmu Kesehatan Vol.2

Fernandez – Banares, F (2006). Nutritional care of the patient with constipation. Best
practice & research clinical Gastroenterologi. Vol 20,575 – 587

Ginting, D (2012). Pengaruh Masase Abdomen dan Minum Air Putih Hangat pada
Pasien stroke yang mengalami konstipasi terhadap proses defekasi di kota
Medan. Thesis : Universitas Indonesia

Gutzwiller et.al (2011). Glucocorticiod treatment, immobility, and constipation


are associated with nutritional risk. Europe Jurnal Nutrition. 665-671

Guyton & Hall (2006). Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta : EGC

Kemenkes RI, (2007). Riset Kesehatan Dasar Provinsi Gorontalo. Gorontalo : Dinas
Jaya
Lemone & Burke (2011) Medical-Surgical Nursing : Critical Thinkingin Client Care 4th
edition USA : Person Education , Inc

Lunding et al. (2006). Pressure-Induced gastric accomodation studied with a new


distension paradigm. Abnormally low accomodation rate in patient with
functional dyspepsia. Scandinavian Journal of Gastroenterologi. 1-9

Muttaqin, A & Sari, K (2011). Gangguan Gastrointestinal : aplikasi Asuhan


keperawatan Medikal bedah. Jakarta : Salemba Medika
Notoatmodjo, S., (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: RinekaCipta

Nursalam., (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Peneleitian Ilmu Keperawatan


Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan Edisi 2. Jakarta:
Salemba Medika

Potter & Perry, (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik.
Jakarta: EGC

Price & Wilson (2005). Patofisiologi : konsep klinis proses – proses penyakit. Jakarta :
EGC

Sherwood, L. (2011) Fisiologi manusia: dari sel ke sistem organ. Jakarta : EGC

Smeltzer & Bare. (2001). Keperawatan Medikal Bedah Vol.3. Jakarta : EGC

Sturtzel & Elmadfa (2008) intervention with dietary fiber to treat constipation and
reduce laxative use in resident of nursing homes. Ann Nutr Metab 2008: 52
(suppl 1): pg 54 – 55

Yasmara Deni, (2012). Pengaruh pemberian terapi air putih 500 ml pada pagi hari
terhadap kejadian konstipasi pada pasien imobilisasi akibat gangguan sistem
musculoskeletal. Thesis, Universitas Indonesia.

You might also like