You are on page 1of 154

BAB I

PENDAHULUAN

Pernahkah saudara melihat ada seseorang di masyarakat yang


mampu hidup sendiri, dalam arti dia mampu memenuhi segala
kebutuhannya tanpa bantuan orang lain ? Jawabannya sudah pasti tidak akan
dijumpai dalam kehidupan masyarakat ada orang yang mampu hidup
sendiri, sekalipun dia dianugerahi harta yang berlimpah. Coba saudara
renungkan ! kira-kira mengapa seseorang tidak mungkin dapat hidup sendiri
di masyarakat ?
Setelah saudara menganalisis dan menjawab pertanyaan di atas,
sekarang silahkan cermati uraian sebagai berikut : From birth to death man
lives out his life as a member of a society (Krech, Crutchfield, Ballachey, 1962 :
308), artinya bahwa sejak dari lahir sampai meninggal manusia mengalami
kehidupannya sebagai anggota suatu masyarakat.
Banyak contoh di dunia ini yang menunjukkan, bahwa tidak ada
seorangpun manusia mampu hidup secara sendiri, misalkan seorang bayi, dia
akan memerlukan seorang bidan atau dokter atau dukun beranak agar dia
bisa lahir dari rahim ibunya; kemudian dia juga akan memerlukan orang lain
untuk memandikannya, mengganti pakaiannya; menyusui dan sebagainya.
Begitu juga ketika kita membaca ceritera tentang asal mulanya manusia, yaitu
Nabi Adam, maka diapun tidak dapat hidup sendiri, sehingga didampingi
oleh istrinya Siti Hawa. Atau mungkin ceritera Robinson Crusoe, yang pada
akhirnya si pengarang memunculkan tokoh Friday sebagai temannya, begitu
juga dengan ceritera tentang Tarsan yang hidup di tengah-tengah hutan dan
ditemani oleh berbagai binatang, pada akhirnya dimunculkan seorang wanita
sebagai teman hidupnya yang akan melahirkan keturunannya. Kesemuanya
menunjukkan, bahwa tiada seorangpun manusia yang mampu hidup tanpa
bantuan dan pertolongan orang lain.
Berbicara mengenai manusia, paling tidak ada tiga pengertian,

1
yaitu manusia sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial;
manusia sebagai makhluk monodualisme, yang terdiri dari 2 kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan, yaitu unsur rohani dan jasmani, dan manusia sebagai
makhluk yang berakal.
Selain pengertian di atas, anda masih ingat tentang manusia sebagai
makhluk zoon politicoon, yaitu manusia sebagai makhluk bermasyarakat, yaitu
makhluk yang selalu hidup di masyarakat. Kemudian Ibnu Khaldun
menyatakan, bahwa manusia itu harus hidup bermasyarakat. Berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut jelaslah, bahwa tiada seorangpun manusia akan
mampu hidup seorang diri.
P.J. Bouman menyatakan, bahwa “Manusia itu baru menjadi
manusia, karena ia hidup bersama dengan manusia lainnya “, kemudian John
Locke dan Thomas Jefferson menyatakan, bahwa di dalam sistem pergaulan
hidup, secara prinsip manusia itu diciptakan bebas dan sederajat ( dikutip
dari Dudu Duswara Machmudin, 2001 : 9-10 ).
Soerjono Soekanto (1986 : 102-103), menyatakan, bahwa sejak
dilahirkan manusia telah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok,
yaitu:
 Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di
sekelilingnya, yaitu nasyarakat
 Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam
sekelilingnya.
Berdasarkan pendapat di atas, jelas bahwa sejak kelahiran dan
secara kodrat manusia selalu ingin menyatu dengan manusia lain dan
lingkungan sekitarnya dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat untuk
saling memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk saling berinteraksi satu
sama lain dalam upaya hidup bermasyarakat.
Untuk dapat mempertahankan hidup dan kehidupannya atau dapat
menyesuaikan diri dengan kedua lingkungan tersebut, manusia dikaruni akal
fikiran dan perasaan yang mendorong untuk melakukan berbagai

2
aktivitasnya. Melalui akal, pikiran dan perasaannya manusia juga
menghasilkan berbagai barang kebutuhan hidup dan kehidupannya.
Misalnya untuk melindungi diri dari sengatan matahari, kucuran hujan dan
serangan binatang buas, manusia membuat rumah; kemudian untuk
mempertahankan kehidupannya manusia juga mencari dan menciptakan
aneka makanan dsb.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa manusia dalam suatu
tatanan masyarakat selalu saling berinteraksi satu sama lain untuk saling
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada hakekatnya setiap manusia yang secara psikologis merupakan
bagian terkecil dari suatu masyarakat mempunyai cita-cita untuk dapat
hidup damai, tertib dan sejahtera. Untuk mewujudkan keinginan atau
harapan tersebut sudah barang tentu tidak akan dapat diusahakannya
sendiri, akan tetapi harus dilakukan melalui upaya kerjasama dan saling
pengertian di antara sesama manusia tersebut.
Bagi bangsa Indonesia cita-cita dan harapan untuk dapat hidup
damai, tenteram sudah bukan merupakan barang baru. Hal ini dikarenakan
secara jelas telah tercantum dasarnya dalam Pembukaan UUD 1945,
khususnya dalam Alinea IV yang menyatakan… ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Dalam pergaulan sehari-hari di antara sesama manusia sudah
barang tentu ada yang mempunyai kepentingan yang sama, namun ada
kalanya kepentingan setiap individu berbeda. Perbedaan kepentingan dalam
suatu pergaulan antar manusia di masyarakat merupakan sesuatu karunia
dalam suatu negara demokrasi, namun bila tidak segera diatasi perbedaan
tersebut bisan menjadi sumber konflik.
Untuk merealisasikan apa yang menjadi cita-cita dan harapan
seluruh lapisan masyarakat, diciptakanlah seperangkat aturan atau kaidah
yang pada hakekatnya bertujuan untuk terjadinya suasana tertib dan damai

3
di masyarakat. Masyarakat sendiri sudah barang tentu harus dapat
mendukung upaya-upaya perwujudan ketertiban di lingkungannya dengan
cara melaksanakan dan menghormati berbagai peraturan yang ada, karena
bagaimanapun antara masyarakat dan kaidah tidak dapat dipisahkan
keberadaannya, bagaikan satu mata uang dalam dua sisi.
Cirero kurang lebih 2000 tahun yang lalu menyatakan : "Ubi societas
ibi ius" dimana ada masyarakat di situ ada hukum . Hukum yang berlaku
dalam suatu masyarakat mencerminkan corak dan sifat masyarakat yang
bersangkutan. Masing-masing masyarakat mempunyai kebudayaan dan cara
berfikirnya yang belum tentu sama. Menurut Von Savigny sebagaimana
dikutip Ranidar Darwis ( 1986 : 17 ) menyatakan, bahwa hukum suatu
masyarakat mengikuti Volksgeist (jiwa/semangat rakyat) dari masyarakat
tempat hukum itu berlaku. Karena Volksgeist masing-masing masyarakat
berbeda-beda atau belum tentu sama, maka hukumnya pun belum tentu
sama atau berbeda-beda.
Namun demikian bagaimanapun situasi dan kondisinya,
keberadaan kaidah atau norma dalam suatu masyarakat sangat mutlak.
Dalam pergaulan hidup di masyarakat, kaidah berperan sedemikian rupa,
sehingga setiap anggota masyarakat akan menyadari apa yang menjadi hak
dan kewajibannya, yang menjadikan segala sesuatunya berjalan tertib dan
teratur sesuai dengan apa yang dicita-citakan. J.P. Glastra van Loan
sebagaimana dikutip Dudu Duswara M ( 2001 : 51 ) menyatakan, bahwa
dalam menjalankan peranannya hukum mempunyai fungsi sangat penting,
yaitu :
 Menertibkan masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup
 Menyelesaikan pertikaian
 Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan, jika
perlu dengan kekerasan
 Mengubah tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka
penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat

4
 Memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum dengan cara
merealisasikan fungsi hukum sebagaimana disebutkan di atas.
Berdasarkan pendapat di atas, kita dapat mengambil suatu
kesimpulan, bahwa keberadaan hukum di tengah-tengah masyarakat tiada
lain bertujuan agar tercipta ketertiban dalam pergaulan antar sesama
manusia. Hukum juga berfungsi menyelasaikan setiap perselisihan yang
terjadi di masyarakat, baik karena faktor perbedaan kepentingan ataupun
karena faktor-faktor lain.
Sebagaimana dinyatakan pada uraian terdahulu, bahwa dalam
pergaulan hidup antar manusia di masyarakat kadangkala terjadi perbedaan
kepentingan yang kalau tidak dicarikan solusinya bisa menjadi sumber
konflik. Selain itu masyarakat juga memerlukan rasa aman dan perlindungan
hukum. Oleh karena itulah masalah kepastian hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, bernegara dan berbangsa menjadi idaman seluruh lapisan
masyarakat. Dengan adanya kepastian hukum yang benar-benar mampu
melindungi seluruh lapisan masyarakat, tanpa melihat dari golongan mana
masyarakat tersebut berasal, supremasi hukum dapat ditegakkan.
Sehubungan dengan kenyataan tersebut, maka lahir dan
berkembang norma atau kaidah dalam masyarakat. Yang dimaksud norma
atau kaidah adalah atauran atau adat kebiasaan dan atau hukum yang
berlaku. Adapun kaidah atau norma yang ada di masyarakat sangat banyak
dan bervariasi. Namun demikian kita dapat menarik kesimpulan, bahwa dari
yang banyak tersebut pada intinya ada 2, yaitu : yaitu aturan-aturan yang
dibuat oleh negara dan aturan-aturan yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat.
BAB II
SEJARAH TATA HUKUM INDONESIA

A. Sejarah Perkembangan Ilmu Hukum

5
Pada hakekatnya manusia sebagai individu mempunyai kebebasan
asasi, baik dalam hal hidup maupun kehidupannya. Hak asasi tersebut
sudah barang tentu dalam pelaksanannya harus dilakukan berdasarkan
aturan perundang-undangan yang berlaku, terlebih-lebih di Indonesia, di
mana hak asasi berfungsi sosial, artinya dalam pelaksanannya harus
disesuaikan dengan kepentingan orang lain yang juga mempunyai hak
asasi. Manusia sebagai makhluk sosial ( zoon politicoon ) tidak bisa
berbuat sekehandaknya, karena terikat oleh norma-norma yang ada dan
berkembang di masyarakat serta terikat pula oleh kepentingan orang lain.
Konsekwensinya dalam melaksanakan segala keperluan hidup dan
kehidupan setiap manusia harus melakukannya berdasarkan kepada
aturan-aturan atau norma-norma yang ada dan berlaku di masyarakat,
baik norma agama, norma susila, norma adat maupun norma hukum.
Sebelum lahir dan berkembang norma hukum di masyarakat, telah
ada dan berkembang norma kesusilaan, norma adat dan norma agama,
namun masyarakat masih tetap memerlukan norma hukum. Hal ini
dikarenakan :
1. Tidak semua orang mengetahui, memahami, menyikap dan
melaksanakan aturan-aturan yang ada dan berkembang dalam norma-
norma tersebut.
2. Masih banyak kepentingan-kepentingan manusia yang tidak dijamin
oleh norma-norma tersebut, misalnya dalam pelaksanaan aturan lalu
lintas yang mengharuskan setiap orang dan atau kendaraan berjalan di
sebelah kiri
3. Ada sebagian kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan
norma tersebut padahal masih memerlukan perlindungan hukum.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka diciptakanlah aturan-
aturan hukum yang dibuat oleh lembaga resmi, yaitu untuk menjamin
kelancaran hidup dan kehidupan manusia dalam pergaulan di
masyarakat, dengan tujuan agar terwujud ketertiban di masyarakat yang

6
bersangkutan. Satjipto Rahardjo ( 1993 : 13 ) menyatakan, bahwa
masyarakat dan ketertiban merupakan dua hal yang berhubungan sangat
erat, bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang.
Susah untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu ketertiban,
bagaimanapun kualitasnya. Kehidupan dalam masyarakat sedikit banyak
berjalan dengan tertib dan teratur didukung oleh adanya suatu tatanan,
karena tatanan inilah kehidupan menjadi tertib.
Hukum dalam arti ilmu pengetahuan yang disebut ilmu hukum
berasal dari Bangsa Romawi,karena bangsa ini telah dianggap
mempunyai hukum yang paling baik dan sempurna bila dibandingkan
dengan hukum yang ada dan berkembang di negara-negara
lain.Konsekwensinya perkembangan dan penyempurnaan hukum di
negara-negara lain selalu dipengaruhi oleh Hukum Romawi.
Kitab undang-undang Hukum Romawi ( KUH-Romawi) diciptakan
pada masa “ Caisar Yustinianus” yaitu “ Institutiones Yutinanae” yang
disebut “ Corpus Juris-Civilis”. Adapun tujuan dilakukannya kodifikasi
suatu hukum adalah agar tercipta kepastian hukum. Dalam mempelajari
dan menyelidik hukum Romawi, bangsa-bangsa Eropa, seperti Perancis,
Belanda, Jerman, Inggris mempelajarinya melalui 4 cara, yaitu :
1. Secara teoritis ( theoritische Receptie ), yaitu mempelajari hukum
Romawi sebagai Ilmu Pengetahuan, dalam arti setelah mahasiswa dari
negara yang bersangkutan mempelajari dan memperdalam hukum
Romawi kemudian di bawa kenegaranya untuk dikembangkan lebih
lanjut, baik dalam kedudukan dia sebagai pegawai di pengadilan
ataupun badan-badan pemerintah lainnya.
2. Secara praktis ( praktiche Receptie ) karena menganggap hukum
Romawi ini lebih tinggi tingkatnya dari hukum manapun di dunia,
bangsa-bangsa Eropa Barat mempelajarinya dan melaksanakan atau
menggunakan Hukum Romawi ini dalam kehidupannya sehari-hari
dalam negaranya.

7
3. Secara Ilmiah ( Wetenschappetyk Receptie ), Hukum Romawi yang
telah dipejari oleh para mahasiswa hukum dikembangkan lebih lanjut
di negara asalnya melalui perkuliahan-perkuliahan di perguruan
tinggi. Hal ini karena tidak sedikit mahasiswa yang telah mempelajari
hukum tersebut setelah kembali ke negaranya bekerja sebagai dosen.
4. Secara Tata Hukum ( Positiefrechttelyke Receptie ), di mana setelah
Perguruan-Perguruan Tinggi di Jerman dan Perancis, dan negara-
negara tersebut dalam membuat dan melaksanakan Undang-undang
selalu mengambil dasar dari hukum Romawi dijadikan Hukum Positif
dalam negaranya masing-masing, wa;au demikian tentu saja
penerimaan hukum ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara-
negara tersebut.
Suatu aturan hukum adalah suatu aturan yang sebanyak mungkin
harus dipertahankan oleh pihak atasan dan yang biasanya diberi sanksi
jika itu dilanggar. Sanksi itu berarti bahwa jika aturan tidak dijalankan
dan dengan sendirinya pemerintah akan ikut campur tangan, seperti
halnya dalam Hukum Pidana, namun bisa juga pemerintah memberikan
bantuan kepada seseorang untuk memperoleh haknya, seperti diatur
dalam Hukum Acara Pidana. Begitu juga bila terjadi perselisihan atau
persengketaan di antara sesama warga masyarakat, seperti masalah
warisan,perceraian,perbatasan dengan tetangga rumah, sewa menyewa,
peerjanjian jual beli dan lain sebagainya, maka akan berbicara Hukum
Perdata. Hal ini sesuai dengan batasan Hukum Perdata.

B. Pengertian dan Tujuan Tata Hukum


Pengertian : Tata Hukum adalah semua peraturan-peraturan hokum
yang diadakan /diatur oleh negara atau bagian-bagiannya dan berlaku pada
waktu itu di seluruh masyarakat dalam negara atau disebut juga ius
constitutum. Tujuan dibentuknya tata hukum adalah untuk mempertahankan,
memelihara dan melaksanakan tata tertib di kalangan anggota- anggota

8
masyarakat dalam negara itu dengan peraturan-peraturan yang diadakan oleh
negara atau bagian-bagiannya.
Tujuan mempelajari Tata Hukum Indonesia : agar mengetahui
perbuatan atau tindakan manakah yang menurut hukum dan yang manakah
bertentangan dengan hukum, bagaimanakah kedudukan seseorang dalam
masyarakat, apakah kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenangnya yang
kesemuanya itu menurut hukum Indonesia.
Tata hukum adalah susunan hukum yang berasal mula dari istilah
recht orde (bahasa Belanda). Susunan hukum terdiri atas aturan-aturan hukum
yang tertata sedemikian rupa sehingga orang mudah menemukannya bila suatu
ketika membutuhkannya untuk menyelesaikan peristiwa hukum yang terjadi
dalam masyarakat. Aturan yang ditata sedemikian rupa menjadi “tata-hukum”
tersebut antara yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling
menentukan. Tata hukum berlaku dalam masyarakat karena disahkan oleh
pemerintah masyarakat itu. Jika masyarakat itu masarakat negara, yang
mensyahkan tata hukumnya adadalah penguasa negara itu. Tata hukum yang
sah dan berlaku pada waktu tertentu dan masyarakat tertentu dinamakan
hukum positif (Ius Constitutum). Tata hukum yang diharapkan berlaku pada
masa yang akan datang dinamakan Ius Constituendum. Ius Constituendum
dapat menajdi Ius Constitutum dan Ius Constitutum dapat diganti Ius
Contituendum baru yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang
senantiasa berkembang (Daliyo, dkk, 1992:4).

Tata hukum, suatu negara adalah tata hukum yang ditetapkan atau
disahkan oleh pemerintah negara. Jadi tata hukum Indonesia adalah tata hukum
yang ditetapkan dan disahkan oleh pemerintah negara Republik Indonesia.
Di Indonesia dewasa ini, mana yang disebut Ius Consitutum, mana yang
disebut Ius Consituendum, mana yang disebut Ius Naturale. Untuk menjelaskan
atau menjawab pertanyaan tersebut, Anda perlu mengetahui dahulum
pembagian hukum dalam beberapa golongan seperti yang diuaraikan
sebelumnya.

Setelah kalian mengkaji ulang macam-macam pembagian hukum


tersebut, maka yang termasuk hukum positif (Ius Constitutum) di Indonesia
dewasa ini ialah sebagian dari pada hukum Publik dan Hukum Privat. Yang

9
termasuk hukum Publik diantaranya Hukum Pidana, Hukum Pajak, Hukum
Perburuhan, dan Hukum Acara. Sedangkan yang termasuk hukum Privat diantaranya
Hukum Perdata, Hukum Dadang, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Baik Hukum
Publik maupaun Hukum Privat sebagian besar adalah produk kolonial Belanda, kecuali
Hukum Islam dan Hukum Adat. Sedangkan hukum Acara Pidana, Hukum Acara
Administrasi (Tatat Usaha Negara), Hukum Pajak, dan Hukum Perburuhan
sudah merupakan Hukum Nasional. Misalnya Hukum Acara Pidana yang
dikenal dengan KUHAP (UU RI NO. 8 Tahun 1981), sedangkan hukum
materiilnya yaitu KUHP yang dewasa ini masih merupakan Rancangan
Undang-Undang sedang di godok di DPR RI, dan Hukum Acara Administrasi
yang dikenal dengan Peradilan Tata Usaha Negara (UU RI No. 5 tahun 1986).

Apakah hukum positif tersebut perlu dipertahankan? Sebelumnya


harus dipahami bahwa “Secara yuridis lebih dari setengah abad kita tetap masih
hidup dalam masa peralihan, sehingga belum sepenuhnya merdeka secara
hukum”. Artinya produk-produk Hukum Kolonial Belanda ada yang masih
dipergunakan, dengan dasar Aturan Peralihan Pasal I UUD 1945 (setelah
amandemen) dan yanag tidak sesuai lagi dengan Pancasila dan UUD 1945 perlu
diganti atau direvisi dengan hukum nasional yang dicita-citakan. Hukum
Nasional yang dicita-citakan akan menuju kepada Sistem Hukum Nasional (Ius
Constituendum).

Peraturan Pokok pada jaman Hindia Belanda :


1. Algeimene Bepaling van Wetgeving voor Indonesia, disingkat AB
(Ketentuan-ketentuan Umum tentang Peraturan Perundang-undangan
untuk Indonesia.) yang dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847
2. Regerings Reglemens (R.R) yang dikeluarkan pada tanggal 2
September 1854.
3. Indische Staatsregeling (IS) atau Peraturan Ketatanegaraan Indonesia.
Pada tanggal 23 Juni 1925 RR iubah menjadi IS yang termuat dalam
Stb. 1925/415 yang mulai berlaku 1 Januari 1926. RR dan IS ini dapat
dikatakan peraturan pokok yang merupakan : UUD Hindia Belanda”
dan merupakan sumber peraturan-peraturan organic pada masa itu.

10
Peraturan Organik Pada Jaman Hindia Belanda :
1. Ordonantie
2. Regerings Verordening
3. Locale Verordening

Peraturan Pokok pada Jaman Jepang


Hanya ada satu yaitu Undang-undang nomor 1 tahun 1942 yang
menyatakan berlakunya kembali semua perarturan perundangan Hindia
Belanda yang tidak bertentangan dengan kekuasaan Militer Jepang.

Dasar hukum berlakunya keanekaragaman hukum di Indonesia


1. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang berbunyi : Segala Badan
Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut UUD ini”
2. Pasal 142 Ketentuan Peralihan UUDS 1950 : “ Peraturan Undang-undang
dan ketentuan-ketentuan tata usaha negara yang sudah ada pada tanggal 17
Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak burubah sebagai peraturan-
peraturan RI sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-
ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan
ketentuan tata usaha atas kuasa UUD ini”
3. Pasal 192 Ketentuan Peralihan Konstitusi RIS : “ Peraturan-peraturan
dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini
mulai berlaku tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan
sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,
ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata
usaha atas kuasa Konstitusi ini”

Latihan :

11
1. Jelaskan apa yang dimaksud tata hukum? Apa tujuan kita mempelajari
hukum?
2. Manfaat apa yang kita peroleh dengan mempelajari tata hukum?
3. Jelaskan istilah-istilah dibawah ini secara singkat, jelas dan tepat!
- Alghemeine Bepaling van Wetgeving voor Indonesia (Ab)
- Regelings Reglemens (R.R)
- Indische Staatregeling (IS)
- Lex specialis, lex generalis
4. Jelaskan hungan pasal II antara aturan peralihan UUD 1945, pasal 142
ketentuan peralihan UUDS 1950 dan pasal 192 ketentuan peralihan
konstitusi RIS.

BAB III
POKOK – POKOK HUKUM TATA NEGARA DAN
ADMINISTRASI NEGARA

A. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara

1. Makna Proklamasi bagi Bangsa Indonesia


Bangsa Indonesia yang telah memproklamasikan
kemerdekannya tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai makna yang
sangat urgen dalam kehidupan ketatanegaraannya. Proklamasi bagi
bangsa Indonesia mengandung makna :

12
 Dimulainya persiapan bagi kemerdekaan Indonesia yang dimulai
sejak diumumkannya Janji “Kemerdekaan Kelak di kemudian hari
“ oleh Perdana Mentri Koiso kepada rakyat Indonesia pada tanggal
9 September 1944.
 Pada tanggal 1 Maret 1945 Panglima Tentara Keenambelas Letnan
Jendral Kumakici Harada mengumumkan dibentuknya Badan
Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(Dokuritu zyunbi Tjoosakai) atau BPUPKI.
 Badan ini bertujuan untuk mempelajari hal hal penting mengenai
masalah tata pemerintahan jika Indonesia merdeka. BPUPKI
ini diketuai oleh K.R.T. Rajiman Wediodiningrat dan dua orang
wakil yaitu R.Panji Suroso dan satu orang bangsa Jepang yang
bernama Ichibangase.
 Sidang Pertama BPUPKI tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945.Dalam sidang
pertama ini pembicaraan dipusatkan pada usaha merumuskan dasar
filsafat bagi negara Indonesia Merdeka. Yang kemudian dikenal
dengan Pancasila.
 Pada sidang tanggal 31 Mei 1945 Prof. Dr. Supomo juga
mengemukakan lima azas dasar negara
 Sidang kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945. Untuk merumuskan
Undang Undang Dasar dibentuklah Panitia Kecil yang diketuai oleh Ir.
Soekarno.Pada sidang kedua ini, pembicaraan dititik beratkan pada
perumusan UUD. Rancangan UUD datang dari Mr Soepomo yang terdiri
dari batang tubuh dan penjelasan. Sedangkan Piagam Jakarta yang disusun
pada tanggal 22 Juni 1945 disetujui dijadikan sebagai
Preambul/pembukaan dari UUD yang akan dibentuk.Pada tanggal 7
Agustus 1945 Dokuritsu Junbi Cosakai dibubarkan sebagai gantinya
dibentuk Dokuritu Zyunbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Kemudian pada tanggal 9 Agustus tiga tokoh pergerakan
nasional yaitu Ir. Soekarno, Drs.Muh Hatta dan dr. Radjiman

13
Wediodiningart berangkat ke Dalat (Vietnam Selatan) atas panggilan
Marsekal Darat Terauci.
 Pada tanggal 15 Agustus 1945 Soekarno-Hatta tiba ditanah air. Hal ini
bersamaan dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu. Berita ini juga
diketahui oleh sebagian pemimpin pemuda. Para pemuda menghendaki
Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia lepas
dari Jepang. Pihak Soekarno-Hatta masih ingin membicarakan pelaksanaan
kemerdekaan itu di dalam rapat PPKI yang telah ditentukan pada tanggal
18 Agustus 1945.
 Pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 tidak mengalami kesulitan
dan berjalan dengan lancar serta menghasilkan keputusan yang penting
diantaranya adalah :
 Mengesahkan Undang Undang Dasar yang telah dipersiapkan oleh
Dokuritu Zyunbi Tjoosakai ( yang sekarang dikenal sebagai UUD
1945).
 Memilih Ir. Soekarno sebagai presiden dan Moh. Hatta sebagai
wakilnya.
 Membentuk sebuah Komite Nasional untuk membantu Presiden
selama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) belum tersusun.
 Pada tanggal 19 Agustus 1945 Presiden memanggil PPKI dan Pemuda
untuk :
 Membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
 Merancang Pembentukan 12 Departemen dan menunjuk para
mentrinya.
 Menetapkan pembagian wilayah Republik Indonesia , atas 8 propinsi
yaitu Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil
( Nusa Tenggara), Kalimantan, Sulawesi, Maluku serta Irian sekaligus
memilih gubernurnya.

14
 Demikianlah beberapa peristiwa penting yang terjadi sebelum
dan sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan
demikian Proklamasi Kemerdekaan itu memiliki beberapa makna
diantaranya adalah :
 Proklamasi merupakan awal peristiwa penting bagi berdirinya
Negara Indonesia
 Adanya hak untuk berdaulat artinya rakyat Indonesia dengan
tenaganya sendiri dan keinginan berdaulat dapat menyusun kekuatan
untuk membentuk suatu Negara-Merdeka yang memiliki
pemerintahan yang memiliki hak untuk mengatur negaranya sendiri
tanpa campur tangan dari negara lain.
 Awal dari dimulainya usaha untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
masyarakat yang telah lama tertindas oleh kaum penjajah. Bangsa
Indonesia dapat melaksanakan pembangunan sesuai dengan aspirasi
masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan yang telah lama diidam-
idamkan. Dengan demikian Indonesia dapat mesejajarkan diri dengan
bangsa-bangsa lain di dunia.

2. Hubungan Proklamasi dengan Pembukaan UUD 1945 ?


Isi Proklamasi sangat ringkas yaitu tentang pernyataan
kemerdekaan dan pemindahan kekuasaan. Namun demikian ditinjau
dari segi hukum Proklamasi merupakan “ Source of the sources” atau
dasar dari segala dasar ketertiban baru di negara Indonesia semenjak
17 Agustus 1945 .
“ The founding fathers” juga memiliki cita-cita Negara yang
ingin dibentuk itu adalah Negara yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur sebagaimana yang tercantum pada alinea kedua
Pembukaan UUD 1945.
Selain itu pada alinea ketiga juga dapat ditemukan
pernyataan kemerdekaan / declaration of independencenya Indonesia

15
pada kalimat……..maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
Untuk mewujudkan Negara yang diidam-idamkan
sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 perlu
pengaturan lebih lanjut. Pengaturan itu terdapat pada pasal-pasal atau
dulu dikenal dengan batang tubuh UUD 1945.
Namun demikian usaha untuk mewujudkan Negara yang
adil dan makmur itu tidak dapat dilaksanakan dengan segera begitu
juga dengan UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya. Keadaan pada saat itu mengharuskan bangsa Indonesia
untuk mempertahankan Negara baik dari bangsa Belanda yang ingin
menjajah kembali bangsa Indonesia maupun pemberontakan dari
bangsa Indonesia sendiri seperti Peristiwa Madiun, DI/TII. PRRI
PERMESTA dll.

3. Bentuk Negara dan Pemerintahan


Negara merupakan organisasi kekuasaan yang memiliki
kedaulatan. Setiap negara memiliki bentuk organisasi negara yang
disebut bentuk negara, dan memiliki bentuk penyelenggaraan
pemerintahan yang kita kenal dengan istilah bentuk pemerintahan.
Seperti halnya organisasi lain, negara memiliki unsur-unsur
penduduk, wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan pengakuan yang
satu satu sama lain saling berkaitan dan ketergantungan.
Setiap negara memiliki hak untuk menentukan bentuk negara
yang akan digunakan dalam menyelenggarakan organisasi negaranya.
Penetapan bentuk negara yang digunakan tentu saja didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan antara lain aspek historis, politis, dan
geografis. Perbedaan pertimbangan itulah yang menyebabkan bentuk
negara yang dianut oleh setiap negara bisa berbeda-beda.

16
Menurut paham modern, pada dasarnya bentuk negara (Staats-
vormen) dapat dibedakan atas negara kesatuan (unitaris) dan negara
serikat (federasi). Selain itu, ada bentuk lain yang disebut serikat
negara (konfederasi).
Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang
berciri nusantara memiliki wilayah sangat luas dan memiliki
pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota yang bersifat
otonom. Sekalipun demikian pengendalian tertinggi dalam menjaga
dan menjalankan pemerintahan negara tetap ada di tangan
pemerintahan pusat yang memiliki kedaulatan ke luar dan ke dalam.
Hal ini menunjukkan bahwa negara kita memiliki bentuk negara
kesatuan.
Pemilihan bentuk negara kesatuan merupakan hasil
pertimbangan dan kesepakatan para pendiri negara (founding father).
Dalam pasal 1 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia tahun l945
ditegaskan bahwa ” Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang
berbentuk Republik”. Menurut paham modern, negara kesatuan
menunjukkan bentuk negara, sedangkan istilah ”republik”
menunjukkan bentuk pemerintahan.
Bentuk negara kesatuan yang telah ditetapkan para pendiri
negara pada tahun 1945, ternyata lebih diperkuat dan dipertahankan
oleh MPR RI melalui perubahan keempat UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945 dengan menegaskan bahwa ” Khusus mengenai
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan” (Pasal 37 ayat 5). Hal ini mengindikasikan bahwa bentuk
Negara kesatuan lebih cocok digunakan di wilayah negara kita. Tentu
saja putusan MPR tersebut tidak terlepas dari pengalaman sejarah
bangsa kita yang pernah menggunakan bentuk negara serikat pada
tahun 1949 – 1950.

17
Jika demikian, apa yang dimaksud negara kesatuan? Dalam
bahasa Inggris, istilah negara kesatuan dikenal dengan istilah unitary
state, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut eenheidsstaat. Negara
kesatuan merupakan bentuk negara yang kekuasaan untuk mengatur
seluruh daerahnya ada di tangan pemerintahan pusat. Dilihat dari
susunannya, negara kesatuan merupakan negara bersusunan tunggal
yang berarti dalam negara itu tidak terdapat negara yang berbentuk
negara bagian.

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-
undang.

Negara kesatuan dapat dibedakan menjadi negara kesatuan


dengan sistem sentralisasi dan negara kesatuan dengan sistem
desentralisasi.
Dalam negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, semua
persoalan diatur dan diurus oleh pemerintahan pusat, sedangkan
daerah hanya menjalankan perintah dan peraturan dari pemerintahan
pusat. Dengan demikian, daerah tidak diberi kewenangan membuat
peraturan untuk mengurus urusan daerahnya sendiri. Contoh negara
kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah Jerman pada masa
pemerintahan Hitler.
Sedangkan dalam negara kesatuan dengan sitem
desentralisasi, daerah memiliki keleluasaan membuat peraturan untuk
mengurus urusan rumah tangga sendiri (hak otonomi) sesuai dengan
kebutuhan, kondisi, dan ciri khas daerah tersebut. Dalam sistem
desentralisasi, wilayah negara dibagi menjadi pemerintahan pusat dan
pemerintahan daerah. Dalam pemerintahan daerah tersebut terdapat
unsur pemerintah daerah dan DPRD.

18
Pasal 18 ayat (1) “ Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-
undang”.
Pasal 18 ayat (2) “ Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tuga
pembantuan”.
Pasal 18 ayat (5) ” Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat”.
Pasal 18 ayat (6) ” Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan –peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa negara kita


merupakan ”negara kesatuan dengan sistem desentralisasi”. Sebagai
bukti bahwa negara kita menganut sistem desentralisasi dapat dilihat
dalam hal-hal berikut.
a. Selain ada pemerintahan pusat, terdapat pemerintahan daerah
provinsi dan kabupaten/kota;
b. Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah
tangganya sendiri;
c. Pemerintahan daerah memiliki otonomi yang seluas-luasnya,
kecuali 6 (enam) urusan yang menjadi kewenangan pemerintah
pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional, dan agama;
d. Dalam melaksanakan kewenangannya, pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya.

Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi memiliki kelebihan


antara lain:

19
a. peraturan dan kebijakan di daerah dirumuskan sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi daerah itu sendiri;
b. partisipasi dan tanggung jawab masyarakat terhadap daerahnya
akan meningkat;
c. pembangunan di daerah akan berkembang sesuai dengan ciri khas
daerah itu sendiri
d. tidak bertumpuknya pekerjaan di pemerintah pusat, sehingga
jalannya pemerintahan lebih lancar.
Adapun kekurangannya adalah adanya ketidakseragaman
peraturan, kebijakan, dan kemajuan pembangunan tiap-tiap daerah.
Kelebihan negara kesatuan dengan sistem sentralisasi antara lain:
a. penghasilan daerah dapat digunakan untuk kepentingan seluruh
wilayah negara
b. adanya keseragaman atau persamaan peraturan di seluruh wilayah
negara
Sedangkan kekurangannya antara lain:
a. kebijakan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat sering
tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah yang beraneka
ragam;
b. bertumpuknya pekerjaan di pemerintah pusat sehingga seringkali
menghambat kelancaran jalannya pemerintahan;
c. keputusan dari pemerintah pusat sering terlambat;
d. peluang masyarakat di daerah untuk turut serta dalam pemerintahan
sangat terbatas;
e. rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap
pembangunan di daerahnya sangat rendah.

4. Bentuk-Bentuk Pemerintahan
Para ahli menggunakan kriteria tertentu dalam membedakan
tentang bentuk-bentuk pemerintahan. Plato (429-347 S.M), misalnya
menggunakan kriteria dilihat dari jumlah orang yang memerintah.

20
Demikian pula murid Plato yaitu Aristoteles (384-322 S.M.)
menggunakan kriteria kuantitatif (dilihat dari jumlah orang yang
memerintah) dan kriteria kualitatif (dilihat dari tujuan yang hendak
dicapai).
Menurut Plato dan Aristoteles, pemerintahan dapat dipegang
oleh satu orang, beberapa orang, atau banyak orang. Menurutnya,
perbedaan jumlah orang yang memerintah tersebut akan melahirkan
bentuk pemerintahan yang berbeda. Plato dan Aristoteles membagi
bentuk pemerintahan ke dalam bentuk cita ( The ideal form) dan bentuk
pemerosotan (The Corruption form). Bagaimanakah bentuk-bentuk
pemerintahan yang dikemukakan kedua filsuf Yunani Kuno tersebut?
Coba Kalian cermati bagan di bawah ini.
Bentuk-Bentuk Pemerintahan Menurut Plato dan Aristoteles
Pemerintahan Plato Aristoteles
Oleh Baik Jelek Baik (Ideal) Jelek
(Ideal) (Pemerosotan) (Pemerosotan)
Satu orang Monarkhi Tyrani Monarki Tyrani
Beberapa Aristokrasi Oligarkhi Aristokrasi Oligarkhi
orang

Banyak orang Demokrasi Mobokrasi/ Polity Demokrasi


Okhlokrasi

Berdasarkan bagan tersebut, bentuk-bentuk pemerintahan yang


baik menurut Plato yaitu monarkhi, aristokrasi, dan demokrasi.
Sedangkan menurut Aristoteles, bentuk pemerintahan yang baik
tersebut yaitu monarkhi, aristokrasi, dan polity.
Sedangkan Republik berasal dari kata res yang berarti
kepentingan; dan publica yang berarti umum. Jadi republik berarti suatu
pemerintahan yang menjalankan kepentingan umum.
Niccolo Machiavelli (1469-1527) dalam bukunya II Principe,
merupakan orang pertama yang mengemukakan bahwa bentuk
pemerintahan hanya ada dua yaitu monarki dan republik. Machiavelli

21
tidak menjelaskan ukuran/kriteria untuk membedakan kedua bentuk
pemerintahan tersebut. Kemudian, George Jellinek dan Leon Duguit
memberikan kriteria yang berlainan untuk membedakan bentuk
monarki dan republik.

5. Unsur-unsur Negara
Unsur-unsur konstitutif yang harus dipenuhi oleh suatu
negara menurut Konvensi Montevideo (1933) meliputi: penduduk,
wilayah, pemerintah, dan kemampuan mengadakan hubungan dengan
negara lain. Sedangkan menurut Oppenheim-Lauterpacht unsur
konstitutif negara meliputi: rakyat (penduduk), wilayah, dan
pemerintah yang berdaulat.
Ketiga unsur tersebut merupakan unsur pokok atau syarat
mutlak, artinya ketiga syarat tersebut harus terpenuhi secara lengkap
untuk adanya suatu negara. Pada dasarnya, apabila salah satu unsur
tidak terpenuhi, maka negara itu tidak ada. Karena ketiga unsur
tersebut merupakan syarat utama yang harus dipenuhi untuk
berdirinya satu negara, maka ketiga unsur tersebut disebut unsur
konstitutif atau unsur pembentuk.
Dalam rangka mengadakan hubungan dengan negara lain,
suatu negara memerlukan pengakuan oleh negara lain. Pengakuan
tidak merupakan unsur pembentuk adanya suatu negara, tetapi hanya
merupakan unsur deklaratif saja.

DISKUSIKAN BAGAN DI BAWAH INI!

22
Sistem pemerintahan yang dianut Indonesia

Konstitusi Indonesia tidak menegaskan secara eksplisit sistem


pemerintahannya. Namun secara maknawi (Jimly, 2003)
pemerintahan Indonesia menerapkan sistem presidensiil, yang ditandai
oleh beberapa prinsip berikut:
a. Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi
penyelenggara kekuasaan eksekutif negara yang tertinggi di bawah
Undang Undang Dasar. Dalam sistem ini tidak dikenal dan tidak
perlu dibedakan adanya kepala negara dan kepala pemerintahan.
Keduanya adalah Presiden dan Wakil Presiden. Dalam menjalankan
pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggungjawab politik berada
ditangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the
President).
b. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung
dan karena itu secara politik tidak bertanggungjawab kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau lembaga parlemen,

23
melainkan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang
memilihnya.
c. Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum apabila Presiden dan/atau
Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum konstitusi. Dalam
hal demikian, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dituntut
pertanggungjawaban oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk
disidangkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, yaitu sidang
gabungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah. Namun, sebelum diberhentikan, tuntutan pemberhentian
Presidendan/atau Wakil Presiden yang didasarkan atas tuduhan
pelanggaran atau kesalahan, terlebih dulu harus dibuktikan secara
hukum melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi. Jika
tuduhan bersalah itu dapat dibuktikan secara hukum oleh
Mahkamah Konstitusi, barulah atas dasar itu, MPR bersidang dan
secara resmi mengambil putusan pemberhentian.
d. Para Menteri adalah pembantu Presiden, Menteri diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dan karena bertanggung-jawab kepada
Presiden, bukan dan tidak bertanggungjawab kepada parlemen.
Kedudukannya tidak tergantung kepada parlemen.
e. Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam
sistem presidensiil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk
menjamin stabilitas pemerintahan, ditentukan pula bahwa masa
jabatan Presiden lima tahun dan tidak boleh dijabat oleh orang
yang sama lebih dari dua masa jabatan. Di samping itu, beberapa
badan atau lembaga negara dalam lingkungan cabang kekuasaan
eksekutif ditentukan pula independensinya dalam menjalankan
tugas utamanya. Lembaga-lembaga eksekutif yang dimaksud
adalah Bank Indonesia sebagai bank sentral, Kepolisian Negara dan
Kejaksaan Agung sebagai aparatur penegakan hukum, dan Tentara

24
Nasional Indonesia sebagai aparatur pertahanan negara. Meskipun
keempat lembaga tersebut berada dalam ranah eksekutif, tetapi
dalam menjalankan tugas utamanya tidak boleh dipengaruhi oleh
kepentingan politik pribadi Presiden. Untuk menjamin hal itu, maka
pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur
Bank Indonesia, Kepala Kepolisian Negara, Jaksa Agung, dan
Panglima Tentara Nasional Indonesia hanya dapat dilakukan oleh
Presiden setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan
Rakyat. Pemberhentian para pejabat tinggi pemerintahan tersebut
tanpa didahului dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
hanya dapat dilakukan oleh Presiden apabila yang bersangkutan
terbukti bersalah dan karena itu dihukum berdasarkan vonis
pengadilan yang bersifat tetap karena melakukan tindak pidana
menurut tata cara yang diatur dengan Undang-Undang.

6. Kedudukan dan wewenang Presiden menurut Undang Undang


Dasar 1945 hasil perubahan
Kedudukan presiden adalah sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan (pasal 4 ayat 1) atau lembaga eksekutif, mempunyai
kekuasaan untuk menetapkan aturan pemerintah (pouvoir reglement).
Wewenang dan fungsi presiden sebagai kepala negara yang
sesuai dengan perubahan UUD 1945 ke empat adalah (1) mengajukan
rancangan undang-undang ke DPR, (2) menetapkan peraturan
pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana
mestinya, (3) memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara, (4) dengan persetujuan DPR
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
internasional dengan negara lain, (5) Presiden dapat menyatakan
keadaan bahaya, (6) Presiden mengangkat duta dan konsul serta
menerima duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan
DPR, (7) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan

25
memperhatikan pertimbangan MA, (8) Presiden memberikan amnesti
dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR, (9)
memberikan gelar, tanda jasa, tanda kehormatan sesuai dengan
undang-undang, (10) membentuk suatu dewan pertimbangan yang
bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan yang bertugas
memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden, dan (11)
mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama menjadi UU.
Jimly Asshiddiqie (2005:222) meguraikan kewenangan
presiden yang mencakup :
a. Kewenangan yang bersifat eksekutif atau menyelenggarakan
pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar.
b. Kewenangan yang bersifat legislatif atau untuk mengatur
kepentingan umum atau publik. Dalam sistem pemisahan
kekuasaan, kewenangan ini dianggap ada ditangan lembaga
perwakilan, bukan ditangan lembaga eksekutif/presiden.
c. Kewenangan yang bersifat yudisial dalam rangak pemulihan
keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan, yaitu
mengurangi hukuman, ataupun menghapuskan tuntutan yang
terkait dengan kewenangan pengadilan.
d. Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu menjalankan
perhubungan dengan negara lain atau subjek hukum internasional
lainnya dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan
perang maupun damai. Presiden adalam pucuk pimpinan negara,
oleh karena itu dia menjadi simbol kedaulatan politik suatu negara
dalam berhadapan dengan negara lain.
e. Kewenangan yang bersifat administratif untuk mengangkat dan
memberhentikan orang dalam jabatan-jabatan kenegaraan dan
jabatan-jabatan administrasi negara.

Presiden merupakan pemimpin tertinggi dalam pemerintahan


yang memiliki wewenang dan kekuasaan yang berbeda dengan

26
lembaga lain. Presiden pun memiliki hak prerogatif dalam
menentukan kabinetnya. Namun, agar kekuasan dan wewenang
presiden tidak terlalu bebas, maka presiden pun dalam menggunakan
kekuasaannya perlu kerjasama dengan DPR dan MA. Mengenai
hubungan antara presiden dan lembaga negara tersebut akan dibahas
dalam kegiatan belajar selanjutnya.

7. Hubungan Presiden dengan Lembaga-lembaga negara lainnya ?

Sebelum UUD 1945 mengalami perubahan yang keempat,


kelembagaan negera Indonesia dibagi menjadi dua yakni : lembaga
tinggi negara dan lembaga tertinggi negara. Lembaga tinggi negara
ada lima yakni : Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), Mahkamah Agung (MA), Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Sedangkan lembaga tertinggi negara adalah Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).

Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, struktur


ketatanegaraan mengalami perubahan pula. Dikotomi antara lembaga
tertinggi dan lembaga tinggi tidak dikenal lagi. Terdapat lembaga
negara yang dihapuskan, di samping terdapat beberapa lembaga baru.
Lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 hasil perubahan secara
ringkas dapat digambarkan sebagai berikut.

a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

MPR tidak lagi menjadi sebuah lembaga tertinggi dan


memegang kedaulatan rakyat sebab kedaulatan langsung berada di

27
tangan rakyat. Kedudukan dan wewenang MPR setelah perubahan
UUD 1945 antara lain :
1) MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah (pasal 2 ayat 1)
2) Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (pasal
3 ayat 2)
3) Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden bila melanggar aturan (pasal 3 ayat 3)
4) Berwenang untuk mengubah dan menetapkan
UUD 1945 (pasal 3 ayat 1).

b. Kekuasaan pemerintah (eksekutif)

Kekuasaan pemerintah dalam hal ini adalah Presiden.


Beberapa hal yang berubah setelah UUD 1945 mengalami
perubahan antara lain :
1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan oleh rakyat secara langsung (pasal 6A ayat 1).
2) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat (pasal 5 ayat 1).
3) Masa jabatan presiden dibatasi hanya sampai dua kali
periode (pasal 7).
4) Presiden tidak dapat membubarkan/membekukan DPR
(pasal 7C).
5) Dalam mengangkat duta dan konsul serta menerima
duta negara lain, harus mempertimbangkan DPR (pasal 13 ayat
2-3).
6) Dalam memberikan grasi dan rehabiliatasi harus
memperhati kan pertimbangan Mahkamah Agung (pasal 14
ayat 1)

28
7) Dalam memberikan amnesti dan abolisi memperhatikan
pertimbangan DPR (pasal 14 ayat 2).
8) Dalam memberikan gelar, tanda jasa dan gelar lainnya
diatur oleh undang-undang (pasal 15)
9) Penyataan perang atau membuat perjanjian internasional
yang menyangkut akibat yang luas harus disetujui oleh DPR
(pasal 11).

c. Kekuasaan Legislatif

Setelah perubahan UUD 1945 kekuasaan legislatif memiliki


fungsi dan kedudukan sebagai berikut.
1) Memegang kekuasaan membentuk UU (pasal 20 ayat 1).
2) Fungsi DPR adalah legislasi, anggaran dan pengawasan
(pasal 20A ayat
3) Anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan
undang-undang (pasal
Selain DPR terdapat Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Anggota DPD merupakan wakil-wakil dari tiap provinsi yang ada
di seluruh Indonesia. Setiap provinsi memiliki wakil sebanyak 4
orang. Kedudukan dan fungsi DPD ini antara lain :
1) Anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum
(pasal 22C ayat 1).
2) Berhak mengajukan RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah (pasal 22D ayat 1).
3) DPD ikut serta dalam membahas RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah (pasal 22D ayat 2).
4) Melakukan pengawasan pelaksanaan UU yang
berkaitan dengan otonomi daerah yang kemudian akan
melaporkannya ke DPR untuk ditindak lanjuti (pasal 22D ayat
3)

29
d. Kekuasan Yudikatif

Kekusaan kehakiman yang ada di negara kita setelah


perubahan konstitusinya ada tiga yakni Mahkamah Agung, Komisi
Yudisial dan Mahkamah Konstitusi. Untuk lebih jelasnya mari kita
ikuti uraian berikut ini :
1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung
dan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan
tata usaha negara dan Mahkamah Konstitusi (pasal 24 ayat 2
2) MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang (pasal 22A ayat 1).
3) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung (pasal 24B ayat 1).
4) Pengangkatan Komisi Yudisial oleh Presiden dengan
mempertimbangkan persetujuan DPR.
5) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar,
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan
hasil pemilu (pasal 24C ayat 1).
6) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut
Undang-Undang Dasar (pasal 24C ayat 2).

e. Badan Pemeriksa Keuangan

30
Pengaturan BPK dalam UUD 1945 hasil perubahan yang
keempat lebih rinci, berbeda dengan bunyi pasal sebelum dirubah.
Dalam pasal 23 dinyatakan bahwa BPK harus bebas dan mandiri.
Laporan yang dibuat oleh BPK diserahkan kepada DPR, DPD dan
DPRD. Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD yang kemudian akan diresmikan oleh Presiden.
BPK memiliki perwakilan di tiap-tiap provinsi.

UD 1945 hasil perubahan menghapus Dewan Pertimbangan


Agung (DPA). Sebagai gantinya presiden membentuk dewan
pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat pertimbangan
kepada presiden (pasal 16).

Selain menetapkan lembaga-lembaga negara, UUD 1945


mengatur hubungan antarlembaga negara. Hubungan dimaksud
adalah sebagai berikut.
1) Hubungan Presiden dengan lembaga lainnya
Dalam pasal 5 ayat 1 UUD 1945 (naskah perubahan UUD
1945 pertama), Presiden berhak mengajukan rancangan undang-
undang terhadap DPR. Kemudian DPR bersama Presiden akan
membahas bersama RUU (pasal 20 ayat 2). Apabila diterima
oleh DPR, maka RUU tersebut akan disahkan dan ditanda
tangani oleh Presiden.
Antara presiden dan DPR tidak bisa saling menjatuhkan.
Presiden tidak bisa membubarkan atau membekukan DPR,
begitu pun juga DPR tidak bisa memberhentikan presiden.
Pernyataan tersebut terdapat dalam pasal 7C UUD 1945 (naskah
perubahan UUD 1945 ketiga).
Di dalam pasal 9 ayat 1 UD 1945, presiden sebelum
memangku jabatannya akan bersumpah dihadapan MPR atau
DPR. Jadi apabila MPR tidak berhalangan hadir, maka presiden

31
bersumpah dihadapan DPR, karena pada hakikatnya itu DPR
termasuk MPR juga, apalagi bila DPR hadir semua berjumlah
550, jumlah tersebut sudah melebihi 2/3 anggota MPR.
Presiden harus mendapat persetujuan DPR bila akan
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain (pasal 11 UUD 1945 hasil perubahan ketiga),
selanjutnya presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR
bila mengangkat duta/konsul, menerima penempatan duta
negara lain, memberikan amnesti dan abolisi (Pasal 13 dan 14
UUD 1945). Salah satu fungsi DPR adalah anggaran dan
pengawasan. Presiden akan mengajukan RAPBN kepada DPR,
RAPBN akan dibahas oleh DPR dan Presiden dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan daerah. DPR
juga mengawasi jalannya pemerintahan/kebijakan presiden
dengan menggunakan hak budget, hak interpelasi, hak usul
resolusi dan hak konfirmasi ataupun memilih calon pejabat
tertentu.
2) Presiden dengan MPR

Presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih MPR, akan


tetapi pemilihan dilakukan langsung oleh rakyat. Presiden dan
wakil presiden terpilih dalam pemilu akan dilantik oleh MPR
(pasal 3 ayat 1). MPR dapat memberhentikan Presiden sebelum
masa jabatannya habis bila presiden melanggar hukum.
Presiden mengucapkan sumpah sebelum menjabat dihadapan
MPR.
3) Presiden dengan Lembaga Yudikatif

Dalam memberikan grasi dan rehabilitasi presiden harus


memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung (pasal 14
ayat 1 UUD 1945). Hakim Agung ditetapkan oleh presiden yang

32
sebelumnya mendapat persetujuan dari DPR. Anggota Komisi
Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan
persetujuan DPR (pasal 24B ayat 3). Hakim konstitusi
ditetapkan oleh Presiden. Hakim konstitusi diajukan oleh DPR,
MA, dan Presiden sendiri. Mahkamah Konstitusi memberikan
putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Tugas : diskusikan bagaimana kedudukan lembaga-lembaga


negara pasca perubahan UUD 1945

B. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara


1. Istilah dan Pengertian Administrasi Negara
Di kalangan ahli hukum dan berbagai peraturan perundangan
serta kurikulum di Fakultas Hukum terdapat beberapa istilah-istilah
yang berbeda untuk bidang ilmu ini. Di antara istilah-istilah itu ialah
Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Administrasi Negara dan
Hukum Tata Usaha Negara. Perbedaan istilah tersebut tidaklah
berarti ada perbedaan objek studi, sebab meskipun isstilah yang
dipakai berbeda namun obyeknya tetap sama.
Dalam Peraturan Perundang-undangan menurut surat
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No.0198/U/1972
tentang Pedoman Kurikulum Minimal secara resmi menggunakan
istilah Hukum Tata Pemerintahan (Pasal 5C dan pasal 10 ayat 2).
Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro, menggunakan istilah
Hukum Tata Usaha Pemerintahan (Vide Peradilan Tata Usaha
Pemerintahan). Istilah tersebut mirip dengan istilah yang resmi
dipakai di dalam UUD yang pernah berlaku di Indonesia yaitu UUDS
1950. Istilah Hukum Tata Usaha Negara ditemukan secara resmi di
dalam UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

33
Rakyat No.II/MPR/1983 tentang GBHN serta pidato-pidato resmi
Kepala Negara. Selanjutnya istilah ini dipakai pula secara resmi
sebagai nama bagi UU No.5 tahun 1986, yaitu Undang-undang
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Namun, Undang-undang yang
disebutkan terakhir tidak hanyamenggunakan satu istilah “Tata
Usaha Negara” saja sebab di dalam pasl 144 UU tersebut ditegaskan
juga bahwa “UU ini dapat disebut Undang-undang Peradilan
Administrasi Negara”. Jadi dalam peraturan-peraturan yang resmi
sekalipun istilah yang digunakan untuk lapangan studi ini tidaklah
terlalu sama. ada istilah lain yang hampir mirip yaitu istilah hukum Tata
Usaha Indonesia.
a. Pandangan para Sarjana
Istilah Hukum Administrasi Negara banyak di jumpai di bebagai
literatur. WF.Prins, misalnya menulis buku berjudul “Inleiding in
het Administratief Recht van Indonesia” yang diterjemahkan
dengan “Pengantar Hukum Administrasi Negara”. Sarjana lain
seperti Rochmat Soemitro , S.Prayudi Atmosudirdjo, Sarono,
Sunaryati Hartono dan E. Utrecht pada simposium dengan
makalah menggunakan istilah Administrasi Negara.
b. Dalam Kurikulum Perguruan Tinggi
Dalam Kurikulum Perguruan Tinggi digunakan istilah yang
berlainan. misalnya saja Universitas Padjadjaran dan Universitas
Sriwijaya pernah menggunaka istilah Hukum Tata Usaha Negara,
sedangkan Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga dan
Universitas Islam Indonesia (sampai dengan tahun 1986)
menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan. Kemudian
keluarnya SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tersebut
menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara (HAN).
Sejak tahun 1986/1987 berdasarjan SK Rektor No. 4 Tahun 1986
menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara, kemudian UII

34
sejak tahun 1987/1988 menerapkan istilah Hukum Administrasi
Negara.

c. Istilah Asal
Munculnya perbedaan itu disebabkan karena perbedaan
terjemahan asal istilah dari lapangan studi ini atau juga
disebabkan oleh perbedaan kecenderungan untuk memilih salah
satu dati istilah-istilah yang berbeda-beda yang dipakai para
sarjan terdahulu. Salah satu istilah tesebut adalah istilah Belanda
“Administratief Recht” dengan kata pokok “Administrasi”. istilah
itu yang diadopsi menjadi bahasa Indonesia mempunyai beberapa
arti yaitu arti administrasi, dengan arti pemerintahan dan dengan
arti tat usha (administrasi dalam artu sempit).
Istilah asal lainnya yaitu istilah Belanda “Bestuursrecht”,
”Bestuurkunde” dan “Berstuurwetenschappen”. Kata bestuur
dalam bahasa indonesia berarti pemerintahan. J.R Stellinga
mengidentifikasikan adanya 3 paham tentang hubungan antara
Hukum Tata Pemerintahan dengan Hukum Administrasi Negara
yaitu:
1) Hukum Administrasi Negara adalah lebih luas daripada
Hukum Tata Pemerintahan (seperti pendapat Van
Vollenhoven).
2) Hukum Administrasi Negara adalah identik dengan
HukumTata Pemerintahan (seperti pendapat JHPM Van der
Grinten)
3) Hukum Administrasi Negara adalah lebih sempit dari hukum
Tata Pemerintahan (seperti pendapat HJ.Romeijn dan G.A. van
Poelje).

35
2. Pengertian
a. Pengertian Administrasi dalam arti sempit
Administrasi dalam arti sempit berarti segala kegiatan tulis
menulis, catat mencatat, surat menyurat, ketik mengetik serta
penyimpanan dan pengurusan masalah yang bersifat teknis
ketatausahaan.
b. Administrasi dalam arti luas
Kata administrasi berasal dari bahasa Inggris, “administtration”
yang pada mulanya berasal dari bahasa Latin “administrare” yang
berarti to serve atau melayani. Ada beberapa pengertian
administrasi menurut para ahli diantaranya:
1) Menurut Leanord D. White, dalam bukunya “introduction on
the study of public administration mendefinisikan administrasi
sebagai suatu proses yanng umumnya terdapat padasemua
usaha kelompok, negara atau swasta, sipil atau militer dan
usaha yang besar atau yang kecil.
2) Menurut H.A. Simon dalam bukunya “public Administration”,
mendefinisikan administrasi negara adalah sebagai kegiatan
dari sekelompok manusia yang mengadakan usaha kerja sama
untukmencapai tujuan usaha.
3) Menurut The Liang Gie, mengemukakan bahwa administrasi
negara sebagai organisasi management perbekalan dan
perwakilan.
4) Menurut E. Utrecht, administrasi negara sebagai
complex/ambten/apparaat atau gabungan jabatan-jabatan
administrasi yang berada di bawah pimpinan pemerintah
melaksanakan tugas yang tidak ditugaskan kepada badan-
badan pengadilan dan legislatif.
5) Menurut Dwight Waldo, administrasi negara adalah organisasi
dan management dari manusia dan benda guna mencapai
tujuan-tujuan pemerintah.

36
6) Dalam buku karya Ddimock&Dimock, administrasi negara
adalah aktifitas-aktifitas negara dalam melaksanakan
kekuasaan-kekuasaan politiknya.
Secara lebih terperinci C.S.T Cansil mengemukakan tiga arti
administrasi negara, yaitu:
1) Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah atau instansi
politik (kenegaraaan), artinya meliputi organ yang ada di
bawah pemerintah mulai dari presiden, menteri, dan semua
organ yang menjalankan administrasi negara.
2) Sebagai fungsi atau sebagai aktifitas yakni sebagai kegiatan
pemerintahan, artinya sebagai kegiatan mengurus kepentingan
negara.
3) Sebagai proses teknis penyelenggaran undang-undang, artinya
meliputi segala tindakan aparatur negara dalam menjalankan
undang-undang.

c. Arti Hukum Administrasi Negara


Setelah pengertian-pengertian teoritis tersebut di atas, kita
dapat mengambil beberapa pengertian atau definisi administrasi
negara. Rahmat Soemitro mengemukakan bahwa yang dimaksud
dengan Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata
Pemerintahan itu meliputi segala sesuatu mengenai pemerintahan
yakni, mengenai seluruh aktifitas pemerintah yang tidak termasuk
perundangan dan peradilan.
Didalam buku E.Utrecht mengungkapkan bahwa hukum
administrasi negara atau hukum tata pemerintahan mempunyai
obyek yakni:
1) Sebagai hukum mengenai hubungan hukum antara alat
perlengkapaan negara yang satu dengan alat kelengkapan
negara yang lain.

37
2) Sebagian aturan hukum mengenai hubungan hukum antara
perlengkapan negara dengan perseorangan (privat).

Hukum administrasi negara juga adalah perhubungan-


perhubungan hukum istimewa yang diadakan sehingga
memungkinkan para pejabat negara melakukan tugasnya yang
istimewa.
Tentang pengertian dan cakupan dari hukum administrasi
negara Indonesia G. Pringgodigdo, seperti dikutip oleh C.S.T Cansil
mengemukakan bahwa, oleh karena di Indonesia kekuasaan eksekutif
dan kekuasaan administratif berada dalam satu tangan yaitu presiden
maka pengertian Hukun Administrasi Negara yaitu, Hukum
Adminitrasi Negara dalam arti sempit, yakni Hukum tata pengurusan
rumah tangga negara (rumah tangga negara dimaksudkan segala
tugas-tugas yang ditetapkan dengan undang-undang sebagai urusan
negara).

3. SUMBER-SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA.


Ada dua macam sumber hukum yaitu sumber hukum materiil
dan sumber hukum formal. Sumber hukum materiil meliputi faktor-
faktor yang ikut mempengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan hukum
sedangkan sumber hukum formal adalah berbagai bentuk aturan
hukum yang ada.

a. Sumber hukum Historik ( sejarah )


Sejarah hukum atau sejarah lainnya dapat menjadi
sumber hukum materiil dalam arti ikut berpengaruh atas
penentuan materi aturan hukum, misalnya, dalam studi

38
perkembangan hukum. Dari sudut sejarah ini ada dua jenis
sumber hukum, yaitu:
1) Undang-undang dan system hukum tertulis yang berlaku
pada masa lampau di suatu tempat.
2) Dokumen-dokumen dan surat-surat serta keterangan lain dari
masa itu sehingga dapat diperoleh gambaran tentang hukum
yang berlaku dimasa itu yang mungkin dapat diterima untuk
dijadikan hukum positif saat sekarang.
Sumber hukum dari sudut historic ini yang paling
relevan adalah Undang-undang dan sitem hukum tertulis dimasa
lampau.
b. Sumber Sosiologis / Antropologis
Dari sudut ini ditegaskan bahwa sumber hukum materiil
itu adalah seluruh masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa dari
sudut sosiologis/ antropologis ini dapat dimaksud dengan
sumber hukum adalah factor-faktor dalam masyarakat yang ikut
menentukan isi hukum positif, factor-faktor mana meliputi
pandangan ekonomis, pandangan ekonomis, pandangan agamis
psikologis.
c. Sumber-sumber Filosofis
Dari sudut filsafat ada dua masalah penting yang dapat
menjadi sumber hukum, yaitu :
1) Ukuran untuk menentukan bahwa sesuatu itu bersifat adil.
Karena hukum itu dimaksudkan, antara lain, untuk
menciptkan keadilan maka hal-hal yang secara filosofis
dianggap adil dijadikan juga sumber hukum materiil.
2) Faktor-faktor yang mendorong seseorang mau tunduk pada
hukum. Hukum itu diciptakan agar ditaati, oleh sebab itu
semua factor yang dapat mendorong seseorang taat pada

39
hukum harus diperhatikan dalam pembuatan aturan hukum
positif.

d. Sumber hukum formal


Sumber hukum formal adalah sumber hukum yang berasal
dari aturan-aturan hukum yang sudah mempunyai bentuk sebagai
pernyataan berlakunya hukum. Sumber-suber hukum formal dari
Hukum Adminisrasi Negara adalah:
1) Undang-undang sebagai sumber hukum formal.
UU dalam arti formal adalah setiap peraturan (keputusan
pemerintah) yang isinya dikaitkan dengan cara terjadinya. Di
Indonesia misalnya yang dimaksud dalam UU dalam arti
formal adalah setiap produk hukum yang dibuat oleh Presiden
bersama DPR (lihat pasal 5 ayat 1 dan pasal 20 ayat 1 UUD
1945). Sedangkan UU dalam arti materill adalah suatu
penetapan kaidah hukum dengan tegas sehingga kaidah
hukum itu mempunyai sifat mengikat. Untuk mengikatnya
satu aturan hukum menurut Laband harus ada dua unsur
secara bersama bagi aturan hukum itu yakni anordnung
(penetapan secara tegas) dan ‘rechtssats’ (peraturan atau isi
hukumnya itu sendiri).
b) Konvensi.
Konvensi yang menjadi sumber hukum administrasi
negara adalah praktek dan keputusan-keputusan pejabat
administrasi negara atau hukum tak tertulis tetapi dipraktekan
di dalam kenyataan oleh pejabat administrasi negara.
Tidak semua praktek dan keputusan pejabat administrasi
negara menjadi sumber hukum yang konvensional dengan
sendirinya. Sebab setiap keputusan pejabat administrasi negara
bisa menimbulkan dua macam respons yaitu :

40
 Keputusan yang memberi kesempatan bagi yang terkena
untuk minta banding (beroep).
 Keputusan yang berlaku tanpa ada peluang atau
kemungkinan untuk adanya administratif beroep (yakni
yang biasanya tidak mengena hak-hak orang lain).

c) Yurispendensi.
Keputusan hakim bisa juga menjadi sumber hukum
formal dari HAN. Keputusan hakim (yurispendensi) yang
dapat menjadi sumber hukum administrasi negara adalah
keputusan hakim administrasi atau hakim umum yang
memutus perkara administrasi negara.
Masalah lain yang berkaitan dengan hal tersebut ialah
bahwa dengan adanya kewenangan bagi hakim untuk
membuat tafsiran terhadap aturan yang ada maka berarti
hukum mempunyai hak uji material (toetsingrecht atau
judicial review) bagi peraturan perundangan yang berlaku.
Padahal menurut hukum positif yang mengatur tentang hak
uji materill tersebut hanya terletak pada Mahkamah Agung
dalam pemeriksaan di tingkat kasasi. Pasal 26 UU No. 14
tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa :
 Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak
sah semua peraturan perundangan dari tingkat yang lebih
rendah dari Undang-undang atas asalan bertentangan
dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
 Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan
perundang-undangan dapat diambil berhubung dengan
pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari

41
peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak
sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.
Selanjutnya Tap MPR No. IV tahun 1973 yang
dikuatkan dengan Tap MPR No. III tahun 1978 tentang
Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi
Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara
dalam pasal 11 ayat 4 menyebutkan bahwa, “Mahkamah
Agung mempunyai wewenang menguji secara materill hanya
terhadap peraturan-peraturan yang di bawah Undang-
undang”. Dengan demikian ada pembatasan-pembatasan
tertentu dalam pengaturan hak uji materill ini, yaitu :
 Hak uji materill hanya mungkin untuk peraturan
perundang-undangan yang derajatnya di bawah UU (PP
ke bawah).
 Hak menguji itu hanya dapat dilakukan dalam
pemeriksaan perkara di tingkat kasasi (berarti tidak boleh
dilakukan oleh hakim pengadilan negeri maupun hakim
pengadilan tinggi, dan berarti juga bahwa adanya hak uji
diperlukan adanya perkara lebih dulu).
 Pernyataan tidak sahnya satu peraturan perundangan
berdasarkan hasil hak uji belum berarti pencabutan secara
otomatis bagi peraturan itu, sebab pencabutannya hanya
dapat dilakukan oleh instansi yang mengeluarkan
peraturan perundangan yang bersangkutan.
Doktrin.
Doktrin atau pendapat para ahli dapat pula menjadi
sumber hukum formal Hukum Administrasi Negara, sebab
pendapat para ahli itu dapat melahirkan teori-teori dalam
lapangan Hukum Administrasi Negara yang kemudian dapat
mendorong timbulnya kaidah-kaidah HAN.

42
Latihan :
Diskusikan dengan teman sekelompok mengenai dampak perubahan UUD
1945 terhadap peran, fungsi dan kedudukan dan Ketetapan MPR!

BAB IV
POKOK-POKOK HUKUM ADAT

Pengantar
Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, yang merupakan pedoman
bagi sebagian besar orang-orang Indonesia dan dipertahankan dalam
pegaulan hidup sehari-hari baik di kota maupun di desa.
Hukum Adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang

43
nyata, cara hidup dan pandang an hidup yang keseluruhannya merupakan
kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku.
Pengkajian mengenai peristilahan tentang hukum adat, unsur serta
definisi hukum adat adalah untuk mendapatkan pengertian tentang,"Apakah
hukum adat itu" ? Karena hukum adat adalah merupakan hukum positif bagi
bangsa Indonesia, maka perlu diketahui dasar hukum berlakunya hukum
adat tersebut.
Hukum adat adalah merupakan bagian dari kebudayaan bangsa
Indonesia. Oleh sebab itu dengan mempelajari hukum adat berarti kita telah
mempelajari sebagian dari kebudayaan bangsa kita. Walaupun hukum adat
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, tapi banyak orang yang kurang
menyadari bahwa mereka melaksanakan hukum adat. Juga sering orang
mencampur-adukkan antara pengertian adat yang mengandung sanksi yaitu
hukum adat dengan pengertian adat yang tidak mengandung sanksi yaitu
kebiasaan saja. Selanjutnya dalam pengantar hukum adat ini dikaji juga
mengenai sejarah perkembangan hukum adat dan menfaatnya mempelajari
hukum adat.

A. PERISTILAHAN, UNSUR, DAN DEFINISI HUKUM ADAT


1. Peristilahan Tentang Hukum Adat
Istilah hukum adat ini merupakan terjemahan dari istilah
dalam bahasa Belanda "Adatrecht". Orang yang pertama kali memakai
istilah adatrecht ini adalah Snouck Hurgronje. Istilah adatrecht tersebut
dipakai dalam bukunya "De Atjehers" dan Het Gayoland". Buku ini
ditulis nya tatkala ia mengamati perang Aceh. Kemudian pemakaian
istilah adatrecht itu dilanjutkan oleh Cornelis van Vallenhoven sebagai
istilah teknis-juridis. Ia mengumpul kan data-data tentang hukum adat
dan disusunnya secara sistimatis.
Apa yang disusunnya mengenai hukum adat Indonesia tersebut
sesuai dengan kenyataannya, sedangkan pada saat penyusunan data-

44
data itu, ia belum pernah menginjakkan kaki di bumi Indonesia. Ia
dapat dianggap sebagai bapak hukum adat Indonesia. Hasil karyanya
yang terkenal mengenai hukum adat adalah "Het Adatrecht Van
Nederlandsch Indie" dan "De Ontdekking Van Het Adatrecht".
Istilah "adatrecht"itu baru muncul dalam perundang undangan
pada tahun 1920, yaitu untuk pertama kali dipakai dalam undang-
undang Belanda mengenai perguruan tinggi di negeri Belanda.
Sebelumnya, hukum adat itu dinyatakan dalam berbagai istilah. Dalam
perundang-undangan dipakai istilah "godsdientige wetten" (undang-
undang agama) lembaga rakyat, "kebiasaan", lembaga asli .
Pada permulaan abad ke 20, sebelum istilah adatrecht dipakai
dalam perundang-undangan, Nederburgh, Juynboll dan Scheuer
sudah memakai istilah adatrecht dalam literatur (kepustakaan) tentang
hukum adat.
Di dalam pergaulan hidup sehari-hari istilah "hukum adat" itu
sendiri jarang diucapkan orang banyak, yang sering didengar hanya
kata "adat" saja. Sedangkan kata "adat" ini berasal dari bahasa Arab
yang berarti "kebiasaan". Dalam kenyataan kata "adat" yang
diucapkan orang banyak itu kadangkala mengandung arti hukum,
yaitu jika dilanggar ada sanksinya, dan kadang-kadang berarti
kebiasaan saja, jika dilanggar tidak ada sanksinya.
Di beberapa daerah di Indonesia dipakai berbagai istilah pula
tentang "Hukum Adat" itu,misalnya di daerah:
- Karo - basa (bicara)
- Gayo - adat (eudeut)
- Minangkabau - lembago atau adaik lumbago
- Jawa Tengah dan Jawa Timur - adat dan ngadat
- Sunda - adat
- Minahasa dan Maluku - adat kebiasaan.

45
2. Unsur Hukum Adat
Pemakaian istilah godsdienstige wetten atau undang-undang
agama untuk menyatakan hukum adat mencapai puncaknya pada
bagian kedua abad ke 19. Kekeliruan dalam pengertian hukum adat
dalam praktek maupun dalam perundang-undangan pada zaman itu
dipengaruhi oleh van den Berg dengan teorinya "Receptio in
Complesen"
Menurut teori ini, hukum (adat) suatu golongan atau masyarakat
adalah hasil penerimaan bulat-bulat atau resepsi seluruhnya dari
hukum agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu atau dengan
bahasa lain hukum adat identik dengan hukum agama. Jadi hukum
(adat) mereka yang beragama Islam adalah hukum Islam, yang
beragama Kristen Protestan adalah hukum Kristen Protestan yang
beragama Hindu adalah hukum Hindu, yang beragama Katolik adalah
hukum Katolik dan seterusnya.
Kalau diperhatikan dengan seksama teori van den Berg ini, ada
hal yang tersirat dalam teori tersebut, yaitu masyarakat Indonesia
tidak mempunyai hukum adat yang asli, karena semuanya merupakan
resepsi dari agama yang dianutnya. Sedangkan semua agama itu tidak
ada yang berasal dari Indonesia. Pendapat Van den Berg ini disokong
oleh Keyzer. Tapi mendapat tantangan dari Snouck Hurgronje dan Van
Vollen hoven.
Menurut Snouck Hurgronge, tidak semua bagian hukum agama
diterima, diresepsi dalam hukum adat.Hanya beberapa bagian tertentu
saja dari hukum adat dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut
masyarakat yang bersangkutan, terutama bagian dari hidup manusia
yang sifatnya mesra, yang hubungannya erat dengan kepercayaan dan
hidup batin. Bagian-bagian itu adalah : hukum keluarga, hukum
perkawinan dan hukum waris.
Ter Haar membantah sebagian pendapat Snouck Hergronje.

46
Menurut Ter Haar, hukum waris merupakan hukum adat yang asli
yang tidak dipengaruhi oleh Hukum agama. Ia memberikan contoh
hukum waris di daerah Minangkabau, merupakan hukum adat yang
asli, yaitu himpunan norma-norma yang cocok dengan susunan dan
struktur masyarakat dalam alam Minangkabau. Menurut hukum waris
adat Minangkabau, anak-anak mewaris melalui ibu, sedangkan
menurut hukum waris Islam, anak-anak mewaris dari ayahnya, dan
bagian anak laki-laki dua kali anak perempuan. Terlihat nyata
perbedaan hukum waris menurut adat Minang dengan hukum waris
Islam, sedangkan masyarakatnya adalah pemeluk agama Islam yang
taat.
Van Vollen hoven menarik kesempulan dari hasil kompromi
kaum Umayah dan kaum Madinah, bahwa hukum keluarga, hukum
perkawinan, hukum waris dan wakaf dipengaruhi oleh hukum Islam.
Dengan kata lain ia berpendapat bahwa hukum adat itu mempunyai
unsur-unsur asli maupun unsur-unsur keagamaan, walaupun
pengaruh agama itu tidak begitu besar dan terbatas pada beberapa
daerah saja. Jadi unsur hukum adat itu ada yang asli dan unsur yang
tidak asli.
Unsur yang asli itu pada umumnya tidak tertulis. Hanya
sebagian kecil saja yang tertulis (seperti awig-awig di Bali,piagam-
piagam perintah raja, patokan-patokan pada daun lontar), tidak
berpengaruh, dan sering dapat diabaikan saja. Unsur yang tidak asli
yaitu yang datang dari luar sebagai akibat persentuhan dengan
kebudayaan lain dan pengaruh hukum agama yang dianut.
3. Definisi Hukum Adat
Dalam mempelajari sesuatu, untuk mendapatkan gambaran apa
yang dipelajari sebaiknya diketahui definisi apa yang dipelajari
tersebut. Merumuskan definisi mengenai hukum adat menurut Bushar
Muhammad para ahli mengalami kesulitan karena:

47
 Hukum adat masih dalam pertumbuhan
 Hukum adat selalu dihadapkan pada dua keadaan yang
sifatnya bertentangan, seperti :
 tertulis atau tidak tertulis
 sanksinya pasti atau tidak pasti
 sumber dari raja,atau dari rakyat dan sebagainya.
Namun demikian, ada juga beberapa ahli atau para sarjana,
atau peminat hukum adat mencoba mengemukakan definisi tentang
hukum adat. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi dari para ahli
atau para peminat dalam hukum adat.
Van Vollen hoven, memberikan definisi tentang Hukum Adat
ialah : "keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak
mempunyai sanksi (oleh karena itu adalah hukum) dan dipihak lain
tidak dikodifikasikan, artinya tidak tertulis dalam bentuk kitab
Undang-undang yang tertentu susunannya".
Menurut Ter Haar, Hukum Adat adalah ( dengan mengabaikan
bagian-bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan
desa, surat-surat perintah raja ) keseluruhan peraturan yang menjelma
dalam keputusan- keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti
luas) yang mempunyai wibawa (macht), serta pengaruh (invloed) dan
yang dalam pelaksanaannya berlaku dengan serta merta (spontan) dan
dipatuhi dengan sepenuh hati. Terlihat, bahwa hukum adat yang
berlaku itu dapat diketahui dalam bentuk keputusan-keputusan para
fungsionaris hukum(hakim, kepala adat, rapat desa, wali tanah,
petugas-petugas di lapangan agama dan petugas desa lainnya).
Definisi yang dikemukakan Ter Haar ini terkenal dengan nama
"beslissingenleer", atau teori keputusan.
Menurut Prof.DR.Soepomo, istilah "Hukum Adat" dipakai
sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan
legeslatif (Unstatutory Law), hukum yang hidup sebagai konvensi di
badan-badan Negara (parlemen, Dewan perwakilan rakyat dan

48
sebagainya), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim
(Judgemade Law), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan
yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota-kota
maupun di desa desa (Customary Law), kesemua inilah merupakan
"adat" atau "hukum adat" yang tidak tertulis yang disebut oleh pasal 32
Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Dalam definisi Soepomo, ia mengabaikan bagian yang tertulis
dan mengartikan hukum adat itu sebagai hukum tidak tertulis dalam
arti luas.
Mengenai definisi tentang hukum adat yang lain silakan anda
cari di dalam buku-buku tentang hukum adat. Misalnya definisi
hukum adat dari Hazairin, Soekanto, Bushar Muhammad, Kusumadi
dan lain-lain.

C. DASAR HUKUM BERLAKUNYA HUKUM ADAT


Hukum adat yang dilaksanakan pada saat ini, adalah merupakan
hukum positif di Indonesia, karena pada saat ini berlaku di Indonesia.
Kalau hukum adat merupakan hukum positif, tentu ada dasar hukum atau
perundang- undangan berlakunya.
Pada permulaan kita merdeka, dasar hukum berlaku nya hukum
adat itu adalah pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945
juncto pasal 131 Indische Staats regeling ayat 2 sub b. Tidak satu pasalpun
dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebut-nyebut hukum adat
atau hukum tidak tertulis. Kalau dalam Undang-Undang Dasar Sementara
tahun 1950 banyak pasal-pasalnya menyebut tentang hukum adat,
misalnya pasal 32, pasal 104 ayat 1. Silakan dicari yang lainnya dalam
Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 tersebut.
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dinyatakan berlaku
kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tetap tidak ada satu pasalpun
yang menyebut berlakunya hukum adat. Tapi dari pasal 24 ayat 1, yang

49
berbunyi: "kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain Badan Kehakiman". Dari pasal 24 ini telah
dijabarkan aturan pelaksanaannya yaitu "Undang-Undang tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman", pada tahun 1964 yang
dikenal dengan Undang-Undang nomor 19 tahun 1964, tetapi karena ada
pasal dari Undang-undang tersebut yang bertentangan dengan jiwa
Undang-Undang Dasar 1945, maka pada 17 Desember 1970, undang-
undang nomor 19 tahun 1964 itu dicabut, diganti dengan Undang-undang
nomor 14 tahun 1970, dengan judul yang sama.
Di dalam undang-undang nomor 14 tahun 1970 itu ada beberapa
pasalnya yang memperlihatkan berlakunya hukum adat atau hukum tidak
tertulis. Diantara pasal-pasal tersebut adalah :
 Pasal 23 (1) yang isinya sama dengan pasal 17 Undang undang nomor
19 tahun 64 yang berbunyi : "Segala putusan Pengadilan selain harus
memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus
memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili."
 Pasal 27 (1) yang isinya hampir sama dengan pasal 20 (1) Undang-
undang nomor 19 tahun 1964, yang berbunyi : "Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat".

Dalam penjelasan Undang-undang nomor 14 tahun 1970 bagian 7


memberi petunjuk bahwa yang dimaksud dengan hukum tidak tertulis
dalam Undang-undang ini adalah hukum adat. Jadi Undang-undang
nomor 14 tahun 1970 ini dapat dijadikan dasar hukum atau perundang
undangan berlakunya hukum adat pada saat ini.

D. HUKUM ADAT MERUPAKAN SALAH SATU ASPEK KEBUDAYAAN


Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan itu mempunyai paling

50
sedikit tiga wujud, yaitu wujud kebudayaan :sebagai suatu kompleks dari
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya
(wujud ideal)
Sebagai suatu kompleks aktivitas kelakukan berpola dari manusia
dalam masyarakat (wujud sosial). Sebagai benda-benda hasil karya
manusia (wujud fisik). Hukum adat adalah termasuk wujud ideal.
Cirero kurang lebih 2000 tahun yang lalu menyatakan : "Ubi societas
ibi ius" (dimana ada masyarakat di situ ada hukum (adat). Hukum yang
berlaku dalam suatu masyarakat mencerminkan corak dan sifat
masyarakat yang bersangkutan.
Masing-masing masyarakat mempunyai kebudayaan dan cara
berfikirnya yang belum tentu sama.Menurut Von Savigny, hukum suatu
masyarakat mengikuti Volksgeist (jiwa/semangat rakyat) dari
masyarakat tempat hukum (adat) itu berlaku. Karena Volksgeist masing-
masing masyarakat berbeda-beda atau belum tentu sama, maka
hukumnya pun belum tentu sama atau berbeda-beda.
Sebagaimana halnya dengan sistem hukum di bagian lain di dunia
ini, maka "Hukum Adat" itu senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan
hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang
keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat "hukum
adat" itu berlaku. Hukum adat Indonesia merupakan bagian dari
kebudayaan, yang mengikuti Volksgeist dan cara berfikir bangsa
Indonesia.
Dengan kata lain merupakan penjelmaan kepribadian bangsa
Indonesia. Oleh sebab itu untuk memahami Hukum Adat itu, kita perlu
mempelajari, struktur berfikir, corak dan sifat masyarakat Indonesia,
khususnya yang berhubungan dengan bidang hukum.
FD Halleman yang pernah menjabat guru besar dalam mata
pelajaran Hukum Adat di Leiden, dalam pidato inaugurasinya yang
berjudul "Corak Kegotong royongan di dalam kehidupan hukum

51
Indonesia", menyimpulkan adanya empat sifat umum Hukum Adat
Indonesia, atau cara berfikir masyarakat Indonesia, yang dipandang
sebagai satu kesatuan, yaitu:
 religio magis
 komunal
 kontan (tunai)
 kongkret (visual).

E. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ADAT


Hukum adat itu merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat,
yaitu sesuatu gejala sosial yang hidup. Bagaimana tanggapan, perhatian
dan pendirian para sarjana, para ahli dan peminat-peminat lainnya
terhadap hukum adat dari dulu sampai sekarang.
Van Vollenhoven telah menjabarkan secara lengkap mengenai
perhatian terhadap hukum adat dan penemuan hukum adat dalam
bukunya "De Ontdekking van het adatrecht" Dari jabaran Van Vollenhoven
tersebut oleh Soekanto telah dipersingkatnya dalam buku"Meninjau
Hukum Adat Indonesia".
Pada umumnya Hukum Adat itu ditemukan oleh orang orang yang
hidup di luar lingkungan masyarakat hukum adat itu sendiri, yaitu para
sarjana, para ahli dan peminat- peminat lain terhadap hukum adat, 90 %
dari mereka adalah orang Barat.
Dalam buku Van Vollenhoven telah dijelaskannya siapa-siapa yang
telah berjasa menyelidiki, melaporkan, menganalisa, menulis dan
menyusun hukum adat itu. Dan juga dapat terlihat sejak kapan hukum
adat Indonesia itu ditemukan.
Memperhatikan penjelasan Van Vollenhoven dapat terlihat bahwa
hukum adat Indonesia itu ditemukan sejak orang asing menyadari bahwa
masyarakat Indonesia mempunyai sekumpulan peraturan-peraturan
hukum yang khas yang mengatur tingkah laku, mengantur hidup
kemasyarakatan yang menentukan dan mengikat karena mempunyai
sanksi, dan dipatuhi oleh anggotanya. Hal ini tidak ada di negara asalnya.

52
Dari buku Van Vollenhoven "De Ontdekking van het adatreacht"
dapat disimpulkan oleh Bushar Muhammad, bahwa hukum adat
Indonesia itu ditemukan sejak orang asing menyadari bahwa masyarakat
Indonesia itu mempunyai sekumpulan peraturan-peraturan hukum yang
mengatur tingkah laku, mengatur hidup kemasyarakatan, yang
menentukan serta mengikat karena mempunyai sanksi. Peraturan-
peraturan hukum itu pada umumnya tidak tertulis namun dipatuhi oleh
masyarakat hukum adatnya, yang disadari oleh orang asing tersebut hal
yang seperti itu tidak ada di negara atau kampung asalnya.
Mengenai sejarah perkembangan hukum adat ini dapat
dikelompokkan dalam sejarah perintis penemuan hukum adat, sejarah
penemuan hukum adat dan sejarah politik hukum adat.

1. Perintis Penemu Hukum Adat.


Periode sampai tahun 1865 disebut zaman perintis oleh Van
Vollenhoven dalam bukunya "De Outdekking van het adatrecht".
Seorang Inggeris yang bernama Marsden dapat dianggap sebagai
pionier dalam perintis penemu hukum adat Indonesia. Hasil karyanya
yang dikenal dengan judul "The History of Sumatera" yang
dipublikasikan pada tahun 1783. Buku itu berisikan laporan tentang
pemerintahan, hukum, kebiasaan dan adat sopan-santun orang-orang
pribumi. Marsden disebut sebagai pionir dalam perintis penemuan
hukum adat oleh Van Vollenhoven, karena padanyalah timbul
kesadaran tentang kesatuan dan hubungan tali-temali dari daerah dan
golongan suku-suku bangsa, yang keseluruhannya digolongkan-nya
dalam kompleks yang lebih luas yaitu Melayu-polinesia, yang di dalam
perjalanan sejarah selanjutnya dari abad ke 19, disebut Daerah
Indonesia" dan "Orang Indonesia".
Herman Warner Muntinghe, seorang Belanda, dapat dimasukan
kedalam kelompok perintis penemu hukum adat. Ia adalah penemu

53
desa di Jawa sebagai suatu persekutuan hukum (rechtsgemeenshap)
yang asli dengan organisasi sendiri dan hak-hak sendiri atas tanah.
Muntinghe adalah orang Barat yang pertama yang secara sistimatis
memakai istilah "adat", tetapi masih belum mengenal istilah "adatrecht".
Istilah adatrecht untuk pertama kali dipakai oleh Souck Hurgronje.
Raffles yang pernah menjadi Letnan-Gubernur Inggeris di pulau
Jawa dari tahun 1811 - 1816. Hasil karya Raffles yang dipublikasikan
dikenal sebagai "History of Jawa". Penyelidikan dan pelajaran hukum
adat Indonesia yang diadakan Raffles dimuat dalam suatu skema pajak-
tanah yang dapat dibaca dalam "Substance of a Minute". Raffles masih
mencampur aduk pengertian hukum agama dengan hukum asli (hukum
adat). Ia seperti Marsden, juga melihat Indonesia sebagai suatu
keseluruhan yang bulat yang tidak terpisah-pisahkan.
Menurut Van Vollenhoven, ada tiga orang perintis penemu hukum
adat, yang ketiga-tiganya orang Inggeris yaitu : Marsden, Raffles dan
John Crawfurd. J. Crawfurd adalah seorang dokter, tapi kemudian
diserahkan tugas politik, diantaranya sebagai duta di Kraton Jogjakarta.
Pengalamannya dituliskan dalam buku yang berjudul "History of the
East Indian Archipelago" yang terbit tahun 1820.
Pandangannya tentang hukum adat adalah merupakan campuran
dari adat istiadat asli dan hukum Hindu serta Islam. Tapi dia sudah
melihat hukum agama itu hanya sebagian kecil saja dari hukum asli.
2. Penemu Hukum Adat.
Ada tiga orang yang dapat dikelompokan Van Vollenhoven sebagai
penemu hukum adat, yaitu Wilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronje.
Wilken seorang anak Indo dari Menado, tapi dibesarkan di
Nederland. Pada umur 22 tahun datang ke Indonesia sebagai
pamongpraja di berbagai daerah di Indonesia yang kemudian menjadi
ilmuwan. Ia sudah memberikan tempat tersendiri tentang hukum adat,
tidak mencampur adukan hukum agama dengan hukum asli. Ia belum

54
memakai istilah adatrecht, baginya hukum adat itu adalah hukum
rakyat asli. Metode yang dipakainya adalah metode etnologi
perbandingan. Pada tahun 1912 semua karangan Wilken dikumpulkan
oleh Van Ossenbruggen dalam sebuah himpunan De Verpreide
geschriften. Kemudian pada tahun 1926 Osenbruggen menerbitkan
hanya beberapa karangan Wilken saja tentang hukum adat, dalam
sebuah himpunan "Opstellen Over Adatrecht".
F.A. Liefrinck, seorang pamongraja, orang Belanda, yang bertugas di
Lombok dan Bali. Ia juga telah memberikan tempat tersendiri terhadap
hukum adat seperti Wilken. Hasil karyanya terbatas hanya pada
lingkungan adat tertentu, yaitu Bali dan Lombok.
Penemu hukum adat yang ketiga disebut Van Vollenhoven ialah
Snouck Hurgronje. Ia adalah seorang sarjana bahasa yang menjadi
negarawan. Ia adalah orang yang pertama kali memakai istilah
adatrecht. Hasil karyanya yang terkenal tentang daerah-daerah di
Indonesia adalah "De Acehers" yang diterbitkan pada tahun 1893 dan
1894, dan "Het Gayoland" yang diterbitkan tahun 1903. Kedua-duanya
mengenai hukum adatt yang terpusat pada suatu lingkungan hukum
belaka dan tidak mengadakan suatu perbandingan dengan daerah-
daerah lain di Nusantara. Terdahulu telah disebutkan bahwa Snouck
Hurgronje adalah orang pertama memakai istilah "adatrecht", yaitu
adat yang bersanksi hukum, berbeda dari kelaziman dan keyakinan-
keyakinan lain yang tidak mengandung arti hukum. Diantara Wilken,
Liefrinck dan Souck Hurgronje, dengan ditemukannya istilah adatrecht
itu, maka Snouck Hurgronje yang paling menampakan diri dengan jelas.
Dalam karya Van Vollenhoven berhubung dengan pelajaran hukum
adat, ada tiga hal yang penting, yaitu Van Vollenhoven:
 menghilangkan kesalah-fahaman yang melihat hukum adat identik
dengan hukum agama (Islam)
 membela hukum adat terhadap usaha pembentuk Undang undang
untuk mendesak atau menghilangkan hukum adat, dengan

55
meyakinkan pembentuk Undang-undang itu bahwa hukum adat
adalah hukum yang hidup yang mempunyai suatu jiwa dan sistem
sendiri.
 Membagi wilayah hukum adat Indonesia dalam 19 lingkungan
hukum adat (adatrechts-krungen).

3. Sejarah Politik Hukum Adat.


Dengan ditemukannya hukum adat lahirlah ilmu hukum adat dan
politik hukum adat. Politik hukum adat itu adalah kebijaksanaan,
pendirian dan sikap terhadap hukum adat dari zaman dulu sampai
sekarang.
Mengenai sejarah politik hukum adat ini dapat dibaca dalam buku
Van Vollenhoven "De outdekking vanhet adatrecht", buku Soepomo dan
Djokosutomo tentang "Sejarah Politik Hukum Adat" jilid I dan II, dan
juga buku "Hukum Adat di Kemudian hari" dari Soepomo, serta pidato
Hazairin yang meramalkan sifat dan corak hukum baru di Indonesia.
Ringkasnya politik hukum adat yang dilakukan sampai tahun 1928
oleh Pemerintah Belanda, adalah ditujukan untuk perlindungan
kepentingan orang Belanda (kepentingan pemerintahan, perniagaan,
pertanian, agama Kristen dan sebagainya).
Dari tahun 1945 sampai sekarang ada 3 pandangan para ahli
hukum bangsa Indonesia terhadap hukum adat, yaitu: mempertahankan
hukum adat sepenuhnya dan menerima hukum adat yang positif saja serta
menolak hukum adat secara keseluruhan.

F. MANFAAT MEMPELAJARI HUKUM ADAT


Setelah ditemukannya hukum adat dan munculah ilmu hukum
adat. Apa manfaatnya mempelajari ilmu hukum adat itu dalam
kehidupan sehari-hari.
Menurut pandangan teoritis, pengetahuan tentang hukum adat

56
yang diperoleh adalah semata-mata untuk menjamin kelangsungan
penyelidikan ilmiah hukum adat dan untuk memajukan secara terus
menerus pengajaran hukum adat. Singkatnya menurut pandangan
teoritis ini, "ilmu untuk ilmu". Oleh sebab itu hukum adat dipelajari
untuk memenuhi dua tugas yaitu penyelidikan dan pengajaran.
Penyelidikan tentang hukum adat semakin digiatkan dan pengajaran
hukum adat di Universitas ditingkatkan.
Pandangan teoritis ini cenderung menyimpan hukum adat dalam
sifat dan corak aslinya, menjauhkan hukum adat dari pengaruh
modernisasi. Ini terselubung maksudnya untuk memudahkan penelitian
tentang hukum adat. Pandangan teoritis ini sama sekali tidak
memanfaatkan ilmu hukum adat yang ditemukan itu untuk
kepentingan masyarakatnya.
Sesudah Perang Dunia ke I dan Perang Dunia ke II, pandangan
"Ilmu Untuk Ilmu" mulai ditinggalkan atau dijadikan nomor dua.
Tugas akademis dan universitas ditujukan pada pengabdian ilmu
yang dipelajari itu untuk pembangunan dan kebesaran Nusa dan
Bangsa. Dengan kata lain bukan ilmu untuk ilmu, tapi ilmu untuk
masyarakat.
Di Indonesia ilmu hukum adat yang ditemukan itu dipelajari
dimanfaatkan untuk pembangunan masyarakat Indonesia dalam usaha
mengisi kemerdekaan dan meningkatkan kemakmuran bangsa
Indonesia. Maka manfaatnya mempelajari ilmu hukum adat itu haruslah
bersifat praktis dan nasional.
Sifat praktis dan nasional itu dapat terlihat dari tiga sudut, yaitu:
 dari sudut pembinaan hukum nasional
 dari sudut mengembalikan dan memupuk kepribadian bangsa
Indonesia
 dalam praktek peradilan.
Sampai saat ini hukum yang digunakan di negara Indonesia ,

57
masih banyak hasil produk zaman kolonial. Diperlukan hukum nasional
yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan cara berfikir masyarakat
Indonesia. Oleh sebab itu di dalam penyusunan hukum nasional,
hukum adat yang tumbuh dari masyarakat Indonesia, dapat diikut
sertakan. Tentu saja hukum adat yang positif, yaitu yang dapat
mengikuti kehidupan masyarakat modern, dan tidak bertentangan
dengan hak asasi manusia.
Begitu juga dengan mempelajari hukum adat, orang jadi
mengetahui hukum adat, dan bagi mereka yang sudah tahu, dapat
memupuk apa yang sudah diketahuinya. Dapat memupuk dan
mengembalikan kepribadian bangsa.
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dalam memutuskan
perkara, terutama yang menyangkut masalah adat, wajib mempelajari,
mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, agar keputusannya itu tidak bertentangan dengan nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.

G. MASYARAKAT HUKUM ADAT, HAK ULAYAT DAN TRANSAKSI


TANAH
From birth to death man lives out his life as a member of a
society (Krech, Crutchfield, Ballachey, 1962 : 308). Atau dengan kata lain
bahwa sejak dari lahir sampai meninggal manusia mengalami
kehidupannya sebagai anggota suatu masyarakat.
Di mana ada masyarakat, di sana ada hukum (adat). Inilah suatu
kenyataan umum di seluruh dunia. Sebagaimana yang dikatakan
Cicero lebih kurang 2000 tahun yang lalu, dalam bahasa Latin yaitu :
Ubi societas, ibi ius. Jadi, manusia itu hidup berkelompok- kelompok
dan bagaimanapun kecilnya kelompok itu, sudah tentu ada hukum
yang mengatur kehidupannya. Masing-masing kelompok tersebut,
mempunyai dasar persatuannya, yaitu ada yang berdasarkan

58
genealogis, ada yang berdasarkan teritorial, atau genealogis teritorial
dan teritorial genealogis.
Masyarakat hukum yang berdasarkan genealogis itu terbagi lagi
dalam bentuk bilateral (keibu-bapaan atau parental) dan unilateral
(sepihak). Unilateral terbagi lagi dalam bentuk kebapaan (patriachat)
dan keibuan (matriachat). Bentuk lain ialah masyarakat hukum yang
altenerend, dan dubble-unilateral.
Masyarakat hukum yang berdasarkan teritorial juga macam-
macam bentuknya, yaitu masyarakat hukum desa, masyarakat hukum
wilayah (persekutuan desa) dan masyarakat hukum serikat desa. Juga
dalam bagian ini akan diuraikan tentang hak ulayat dan transaksi tanah
menurut hukum adat.
Pembahasan mengenai masyarakat hukum adat yang merupakan
subjek dari hukum adat erat sekali kaitannya dengan pembahasan
mengenai hukum kekeluargaan dan hukum perkawinan serta hukum
waris, yang akan dibahas pada bagian lain.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari perlu sekali kita mengetahui
bentuk-bentuk atau susunan masyarakat hukum ini, untuk menentukan
kedudukan seseorang dalam keluarganya dalam kelompoknya. Juga
untuk menentukan dengan siapa seseorang tidak boleh melakukan
perkawinan serta siapa yang akan menjadi ahli waris seseorang atau
dari siapa seseorang seharusnya mendapatkan warisan.
1. Masyarakat Hukum Adat
Pengertian masyarakat menurut Krech dalam bukunya
“Individual in Society”, dapat disimpulkan bahwa ciri utama suatu
masyarakat itu adalah suatu kumpulan manusia yang berinteraksi
dan terorganisasikan, kegiatan-kegiatannya terpusat sekitar
sekumpulan tujuan-tujuan bersama dan cenderung memiliki
kepercayaan, sikap dan cara-cara bertindak bersama.
Masyarakat itu adalah merupakan suatu sistem sosial.

59
Masyarakat yang memperkem bangkan ciri-ciri khas hukum adat,
itulah yang disebut masyarakat hukum adat atau persekutuan
hukum adat.
Ter Haar menulis bahwa diseluruh kepulauan Indonesia
terdapat pergaulan hidup di dalam kelompok- kelompok yang
bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan
bathin. Kelompok-kelompok ini mempunyai tata susunan yang
tetap dan kekal, dan orang sekelompok itu masing-masing
mengalami kehidupan dalam kelompoknya sebagai hal yang wajar
menurut kodrat alam.
Tidak ada seorangpun dari mereka mempunyai pikiran akan
membubar kan atau memungkinkan pembubaran kelom poknya itu.
Kelompok manusia tersebut mempunyai pengurus sendiri dan
mempunyai harta benda, milik keduniaan dan milik gaib. Kelompok-
kelompok demikianlah yang bersifat persekutuan hukum
(masyarakat hukum).
Bushar Muhammad menyimpulkan pendapat Ter Haar
mengenai rumusan persekutuan hukum (masyarakat hukum)
adalah : "Kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah
tertentu, mempunyai penguasa, dan mempunyai kekayaan yang
berwujud ataupun tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan
masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal
yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para
anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk
membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya
dalam arti melepaskan diri dari ikatan untuk selama-lamanya".
Contoh persekutuan hukum (masyarakat hukum) misalnya
desa di Jawa, famili di Minangkabau. Keluarga di Sunda atau Jawa
belum memenuhi syarat untuk dapat dikatakan sebagai masyarakat
hukum, karena anak yang sudah dewasa lalu kawin, mereka akan

60
mentas membentuk keluarga baru.

Begitu juga kelompok copet atau garong, tidak dapat


dikatakan sebagai suatu masyarakat hukum, ada syarat yang tidak
dipenuhinya. Coba anda cari syarat apa yang tidak dipenuhinya
sebagai suatu masyarakat hukum. Begitu juga Rukun Tetangga atau
Rukun Warga dikota-kota tidak dapat digolongkan sebagai
masyarakat hukum. Menurut istilah F. Tonnies, kampung di kota
merupakan suatu Gesellschaft dan desa merupakan suatu
Gemeinschaft.
2. Bentuk-bentuk susunan masyarakat hukum adat
Susunan masyarakat hukum adat itu ada yang berdasarkan darah
(genealogis) dan ada yang berdasarkan daerah (teritorial). Manusia itu
merasa terikat satu sama lain karena merasa keturunan (darah) atau
sedaerah. Ini secara teoritis. Namun dalam kenyataannya adalah darah-
daerah (genealogis -teritorial) atau daerah-darah (teritorial-genealogis).
Berikut ini disajikan bagan susunan masyarakat hukum adat secara
garis besar :
a. Masyarakat hukum adat yang berdasarkan genealogis
Masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis ialah
masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa terikat dalam
suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua
merasa berasal dari satu keturunan (darah) yang sama.
Ada tiga tipe pertalian keturunan dalam masyarakat hukum
adat yang ditentukan oleh faktor genealogis, yaitu :
 pertalian keturunan menurut garis perempuan, ini terdapat dalam
masyarakat hukum adat orang Minangkabau, Kerinci dan orang
Sumendo.
 pertalian keturunan menurut garis laki-laki, ini terdapat dalam
masyarakat hukum adat orang Batak, Bali, Ambon, Lampung dan
lain-lain.

61
 pertalian keturunan menurut garis ibu dan bapak, ini terdapat
dalam masyarakat hukum adat orang Jawa Sunda, Madura, Bugis,
Dayak , Toraja dll.
Masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis ini ada
macam-macam pula, tergantung dari pihak mana para anggota
masyarakat hukum adat tersebut menarik garis keturunan, seperti
yang terlihat dalam bagan 1 (susunan masyarakat hukum adat).
 Masyarakat hukum adat Unilateral ialah masyarakat hukum adat
dimana para anggotanya menarik garis keturunan melalui satu
pihak, melalui garis ibu (wanita) atau melalui garis bapak (laki-laki).
Ciri-ciri masyarakat hukum unilateral ialah terdiri dari clan (marga,
suku) sebagai kesatuan kecil dari masyarakat hukum adat itu.
Para anggotanya menarik garis keturunan melalui satu pihak (pihak
ibu atau pihak bapak), dan sifat perkawinannya harus exogami (exo
= luar, kawin dengan anggota luar clannya), sebagai suatu
keharusan untuk dapat mempertahankan kelangsungan clan
sendiri.
Masyarakat hukum adat unilateral ini terdiri dari masyarakat
hukum - keibuan (matriachat)
- kebapaan (patriachat)
Masyarakat hukum adat keibuan (matrilinial) adalah masyarakat
hukum adat yang susunannya didasarkan atas pertalian menurut
garis perempuan. Para anggotanya merasa bersatu karena satu clan
atau suku menurut istilah orang Minangkabau dan merasa
diturunkan dari nenek yang sama. Contoh mereka yang satu
clan/suku dalam masyarakat keibuan adalah mereka yang
diturunkan dari ibu atau nenek yang sama. Anak perempuan
melanjutkan suku ibunya, tapi anak laki-laki putus sampai di dia,
anaknya masuk suku isterinya.
Suku-suku itu dipertahankan dengan melakukan kawin exogami.

62
Salah satu bentuk kawin exogami dalam masyarakat hukum adat
keibuan adalah kawin Sumendo. Kawin Sumendo ialah pihak bekal
isteri, mencari calon suami (menantu) dari luar clannya, dan setelah
kawin masing-masing tetap pada clan asalnya dan bersifat
matrilokal. Anak-anak pada masyarakat keibuan ini masuk suku
ibunya dan mewaris melalui ibunya.
Masyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan atas pertalian
keturunan menurut garis laki-laki disebut masyarakat hukum adat
kebapaan atau patriachat (patrilinial). Jadi masyarakat hukum adat
kebapaan ialah masyarakat hukum dimana para anggotanya merasa
bersatu karena merasa diturunkan dari bapak atau kakek yang
sama. Masyarakat hukum adat ini terbagi dalam kesatuan-kesatuan
yang kecil yang disebut clan atau marga.
Yang manakah diantara para anggota masyarakat itu yang menjadi
anggota clan atau marganya ? Mereka yang diturunkan dari ayah
atau kakek yang sama adalah satu clan. Anak laki-laki melanjutkan
clan/ marga bapaknya, sedangkan anak perempuan selama ia
belum kawin ia tetap masuk marga bapaknya. Tetapi kalau ia sudah
kawin ia keluar dari marga asalnya (ayahnya) dan masuk marga
suaminya serentak pada saat jujur dibayar.
Pada masyarakat kebapaan sifat perkawinannya exogami yaitu
suatu keharusan mencari calon suami atau isteri dari luar clannya.
Sistem atau bentuk perkawinan pada masyarakat kebapaan adalah
kawin jujur. Yang dimaksud dengan kawin jujur ialah pihak calon
suami mencari calon isteri (menantu) dari luar clannya, dengan
membayar jujur, serentak pada saat jujur dibayar kepada pihak
calon isteri, pihak calon isteri melepaskannya dari ikatan
kekeluargaan dan masuk dalam lingkungan clan/marga dari calon
suaminya.
Contoh masyarakat hukum adat kebapaan yang dikenal adalah

63
suku Batak. Seperti kita kenal, banyak macam marga orang Batak
itu, diantaranya ialah Nasution, Harahap, Siregar, Tobing,
Pangabean, Butar Butar, Sembiring dan lain-lain. Bagi orang Batak
marganya melekat pada dirinya, sehingga nama kecilnya kalau
sudah kawin jarang disebut, yang di kenal marganya saja.
Akibat hukum dari perkawinan jujur ialah anak masuk marga
ayahnya. Hanya anak laki-laki yang menjadi ahli waris dari
ayahnya, anak perempuan bukan sebagai ahli warisnya.
 Masyarakat hukum adat Bilateral atau parental (keibu-bapaan) ialah
masyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan atas pertalian
keturunan menurut garis ibu dan bapak. Dengan kata lain dapat
juga dikatakan yaitu sekumpulan manusia yang merupakan
kesatuan karena para anggotanya menarik garis keturunan melalui
garis ibu dan bapak dan kedua garis itu dinilai dan diberi derajat
yang sama bagi si anak. Baik pihak ibu (famili ibu) maupun pihak
bapak (famili bapak) dinilai sama oleh yang bersangkutan dan
dipandang sama oleh masyarakat, suatu pertalian keluarga.
Masyarakat hukum adat bilateral ini ada yang berdasarkan keluarga
(gezin) yaitu terdiri dari ibu, bapak dan anak-anak. Anak-anak yang
sudah dewasa kawin dan membentuk keluarga baru. Contohnya di
Jawa, Sunda dan Madura.
Masyarakat hukum adat bilateral yang berdasarkan rumpun, terdiri
dari rumpun-rumpun. Rumpun merupakan kesatuan yang terdiri
dari keluarga-keluarga, terdapat di Dayak Kalimantan.

Jadi pada masyarakat bilateral tidak ada clan, karena mereka


menarik garis keturunan dari kedua belah pihak.

 Masyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan atas pertalian


keturunan menurut garis Altenerend adalah masyarakat hukum

64
adat yang para anggotanya menarik garis keturunan berganti-ganti
secara bergiliran melalui garis ayah maupun melalui garis ibu
sesuai dengan bentuk perkawinan yang dialami oleh orang tuanya.
Kalau orang tuanya kawin jujur, maka anak-anaknya masuk clan
ayah, dan sekiranya orang tuanya kawin Sumendo, maka anaknya
masuk clan ibu.
 Masyarakat altenerend ini terdapat di Rejang. Dimana Rejang itu?
Dan apakah masyarakat hukum adat altenerend ini masih ada?
Coba anda selidiki.
 Masyarakat hukum adat yang susunannya didasarkan atas pertalian
keturunan menurut garis dubble unila teral adalah masyarakat
hukum adat yang para anggota nya menarik garis keturunan
melalui garis ayah dan garis ibu jalin menjalin, tergantung pada
jenisnya. Kalau ia perempuan, ia masuk clan ibunya dan kalau ia
laki-laki ia masuk clan ayahnya. Contoh masyarakat hukum adat
yang dubble-unilateral ini terdapat di Timor.
Masyarakat hukum adat altenerend dan masyarakat hukum
adat dubble unilateral pada prinsipnya adalah masyarakat hukum
adat unilateral. Tetapi pada masing masing terdapat penyimpangan-
penyimpangannya.
Masyarakat hukum adat yang berdasarkan teritorial
Masyarakat hukum adat yang susunannya bersifat teritorial,
adalah masyarakat hukum di mana para anggotanya merasa terikat
satu sama lain, karena merasa berasal dari daerah yang sama.
Ada tiga jenis masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat
teritorial, yaitu :
 masyarakat hukum desa
 masyarakat hukum wilayah (persekutuan desa)
 masyarakat hukum serikat desa (perserikatan desa).
Masyarakat hukum desa adalah sekumpulan orang yang hidup
bersama berasaskan pandangan hidup, cara hidup dan sistem

65
kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu tempat kediaman
bersama dan oleh sebab itu merupakan suatu kesatuan, suatu tata
susunan tertentu, baik ke luar maupun ke dalam. Masyarakat hukum
desa ini melingkupi pula kesatuan-kesatuan yang kecil yang terletak di
luar wilayah desa yang sebenarnya, yang disebut teratak atau dukuh,
yang tunduk pada peraturan-peraturan dan pejabat desanya.
Contohnya adalah desa-desa di Jawa, Sunda, Madura dan Bali.
Masyarakat hukum wilayah adalah suatu kesatuan sosial yang
teritorial yang melingkupi beberapa masyarakat hukum desa yang
masing-masingnya tetap merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri
sendiri. Masing-masing nya merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari masyarakat hukum wilayah sebagai kesatuan sosial teritorial
yang lebih tinggi. Contohnya adalah kurya di Angkola dan
Mandailing. Kurya sebagai masyarakat hukum wilayah menaungi
beberapa huta. Marga di Sumatera Selatan sebagai masyarakat hukum
wilayah menaungi beberapa dusun.
Masyarakat hukum serikat desa adalah suatu kesatuan sosial
yang teritorial, yang dibentuk atas dasar kerja sama dalam berbagai
lapangan untuk kepentingan bersama masyarakat hukum desa yang
tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa tersebut. Kerja
samaitu terbentuk mungkin kebetulan letaknya berdekatan.
Contohnya Subak di Bali. Beberapa desa berserikat untuk mengurus
kepentingan pengairan dari desa-desa yang berserikat itu.
Terdahulu sudah dibicarakan tentang penggolongan
masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis dan masyarakat
hukum adat yang bersifat teritorial. Penggolongan kedua dasar
tersebut itu hanya menurut teoritis. Namun dalam praktek kenyataan
yang sebenarnya tidaklah ada yang murni. Tiap masyarakat hukum
adat mengandung kedua sifat tersebut, tapi tergantung pada sifat
mana yang lebih diutamakannya. Masyarakat hukum adat yang

66
sifatnya teritorial-genealogis adalah unsur teritorialnya lebih
diutamakannya dan lebih kuat dari pada unsur genealogis nya.
Contohnya; masyarakat hukum desa di Jawa, secara murni desa
adalah bersifat teritorial, namun dalam desa ada keluarga yang
bersifat genealogis. Masyarakat hukum adat sifatnya genealogis -
teritorial adalah unsur genealogisnya lebih kuat dan lebih diutamakan
dalam kesatuannya daripada unsur teritorialnya. Contohnya nagari di
Minangkabau. Di dalam nagari ada suku-suku yang merupakan
kesatuan masyarakat hukum adat, tapi suku suku itu berada di dalam
suatu teritorial yaitu nagari.

3. Perubahan Masyarakat Hukum Adat.


Ada kecenderungan masyarakat matrilineal dan patrilineal itu berubah
menuju masyarakat bilateral. Hal ini dapat terlihat dari tiga sudut/segi
yaitu :
a. Dari sudut hukum adat itu sendiri yaitu :
1) masyarakat hukum adat yang goyah
a) goyah dalam perkawinan
b) goyah dalam pewarisan.
2) masyarakat hukum adat yang darurat
3) perkembangan hukum adat.
Masyarakat hukum adat kebapaan yang goyah dalam perkawin an.
Menurut adat masyarakat kebapaan, laki-laki harus membayar jujur
kepada pihak perempuan dalam hukum perkawinan nya. Sekarang
sudah banyak jujur itu tidak dibayar, sudah serupaka pada masyarakat
bilateral, tidak pakai jujur-jujuran.
Begitu juga pada masyarakat keibuan, sudah banyak yang kawin satu
suku, asal tidak satu penghulu (sedatuk) , dengan didenda adat.
Seharusnya mereka harus kawin exogam untuk mempertahankan
kelangsungan clan (suku). Bagi si anak tidak ada clan lagi karena ibu

67
bapaknya sama clannya. Ini sudah seperti masyarakat bilateral .
Goyah dalam pewarisan pada masyarakat kebapaan yang seharusnya
hanya anak laki-laki yang mendapat waris dari ayahnya. Pada saat ini
sudah banyak si ayah banyak yang memberikan sebagai hartanya
kepada anak perempuannya semasa hidupnya melalui hibah.Begitu
juga pada masyarakat keibuan, yang seharusnya anak-anak mewaris
melalui ibu. Tetapi pada saat ini banyak si bapak memberikan sesbagian
atau seluruh harta pencariannya kepada anak-anaknya.
Di Lampung,kalau satu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki hanya
anak perempuan saja, keluarga tersebut namanya dalam keadaan
darurat. Adatnya mengharuskan untuk mempunyai anak laki-laki. Oleh
sebab itu keluarga tersebut dibolehkan mengawinkan anak
perempuannya dengan laki-laki yang satu clan.
Di Minangkabau terjadi perkembangan dalam bentuk perkawinannya
dari Sumendo bertandang, sumendo menetap dan terakhir sumendo
bebas. Pada sumendo bebas ini kehidupan keluarga tersebut sudah
seperti keluarga pada masyarakat bilateral.
b. Dari sudut hukum Islam
Masyarakat Indonesia kurang lebih 90 % beragama Islam. Islam
meridoi masyarakat bilateral. Agama sangat mempengaruhi kehidupan
manusia. Oleh sebab itu kemungkinan masyarakat Indonesia berubah
kearah bilateral.

c. Faktor-faktor sosiologis yang murni


Persentuhan dua atau lebih kebudayaan akan menimbullkan
kebudayaan baru. Faktor-faktor sosiologis yang murni yang dapat
mempengaruhi masyarakat Indonesia berubah kearah masyarakat
bilateral antara lain adalah : revolusi ; peperangan; pendidikan;
komunikasi dan teknologi canggih.
Latihan:

68
1. Coba dijelaskan apa manfaatnya mempelajari bentuk - bentuk masyarakat
hukum !
2. Bagaimana bentuk masyarakat hukum dimana anda berada ?
3. Apakah hak ulayat itu masih ada dalam masyarakat anda ? Kalau
masih ada dalam bentuk apa ?
4. Coba anda bedakan transaksi tanah sebagai objek dengan tansaksi
tanah hanya tersangkut saja !Jika anda membeli rumah melalui BTN yang
dicicil,apanya yang anda cicil? Jelaskan !
5. Coba anda lihat dalam masyarakat dari mana anda berasal, bagaimana
hubungan hukum anda sebagai anak dengan kedua orang tua dan
kedua belah pihak orang tua anda !
6. Apakah ada adopsi dalam masyarakat tempat anda tinggal atau dari
masyarakat anda berasal ? Apakah adopsi tersebut diharuskan oleh adat
masyarakat yang bersangkutan Coba jelaskan ?
7. Bagaimana bentuk perkawinan dalam masyarakat anda dan
bandingkan dengan bentuk perkawinan pada masyarakat lain ?
8. Apakah dalam keluarga Anda mengakui harta bersama ? Jelaskan
alasannya?
9. Diskusikanlah dengan teman-teman Anda, bagaimana sistem
pembagian waris di dalam masyarakat di mana anda berada atau berasal ?
10. Coba anda diskusikan dengan teman anda, kemungkinan masyarakat
Indonesia cenderung berubah ke arah masyarakat bilateral !
BAB IV
POKOK-POKOK HUKUM PERDATA

A. Sejarah dan Pengertian Hukum Perdata


Sejarah Perkembangan hukum Perdata di Indonesia tidak terlepas
dari sejarah perkembangan Ilmu Hukum di negara-negara Eropa lainnya,
dalam arti perkembangan hukum perdata di indonesia amat dipengaruhi
oleh perkembangan hukum di negara-negara lain, terutama yang

69
mempunyai hubungan langsung. Indonesia sebagai negara yang berada
di bawah pemerintahan Hindia Belanda; Belanda, maka kebijakan-
kebijakan dalam hukum perdata tidak terlepas dari kebijakan yang terjadi
dan diterapkan di negara Belanda. Sementara itu Belanda pernah dijajah
oleh Perancis, maka secara otomatis apa yang terjadi dalam
perkembangan hukum di negara Perancis amat berpengaruh dengan
kebijakan hukum di negara Belanda. Sarjana-sarjana Perancis banyak
yang mempelajari hukumnya di negara Romawi, maka pengaruh hukum
Romawi juga amat dominan.
Menurut Kansil ( 1993 : 63 ), tahun 1848 menjadi tahun yang amat
penting dalam sejarah hukum Indonesia. Pada tahun ini hukum privat
yang berlaku bagi golongan hukum Eropa dikodifikasi, yakni
dikumpulkan dan dicantumkan dalam beberapa kitab undang-undang
berdasarkan suatu sistem tertentu. Dalam pembuatan kodifikasi
dipertahankan juga asas konkordasi, resikonya hampir semua hasil
kodifikasi tahun 1848 di Indonesia adalah tiruan hasil kodifikasi yang
telah dilakukan di negeri Belanda pada tahun 1838, tetapi diadakan
beberapa perkecualian agar dapat menyesuaikan hukum bagi golongan
hukum Eropa di Indonesia dengan keadaan istimewa.
Adapun yang dimaksud dengan asas konkordasi adalah asas
penyesuaian atau asas persamaan terhadap berlakunya sistem hukum di
Indonesia yang berdasarkan pada ketentuan pasal 131 ayat ( 2 ) I.S. yang
berbunyi “ Untuk golongan bangsa Belanda untuk itu harus dianut atau
dicontoh undang-undang di negeri Belanda. Hal ini menurut Kansil
( 1993 : 115 ) berarti bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang
Belanda di Indonesia harus disamakan dengan hukum yang berlaku di
negeri Belanda. Jadi selarasnya hukum kodifikasi di Indonesia dengan
hukum kodifikasi di negeri Belanda adalah berdasarkan asas konkordasi.
Sumber pokok Hukum Perdata ialah Kitab Undang-Undang
Hukum Sipil ( BW ) disingkat KUHS. KUHS sebagian besar adalah

70
hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon tahun 1811-1838 akibat
pendudukan Perancis di Belanda berlaku, maka Hukum Perdata berlaku
di negeri Belanda sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Sipil yang
resmi. Sedangkan dari Code Napoleon ini adalah Code Civil yang dalam
penyusunannya mengambil karangan-karangan pengarang-pengarang
bangsa Perancis tentang Hukum Romawi (Corpus Juris Civilis ) yang
pada jaman dahulu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
Peraturan-peraturan yang belum ada pada jaman Romawi tidak
dimasukkan dalam Code Civil, tetapi dalam kitab tersendiri ialah Code
de Commerce.
Setelah pendudukan Perancis berakhir oleh pemerintah Belanda
dibentuk suatu panitia yang diketuai Mr. J.M. Kemper dan bertugas
membuat rencana kodifikasi hukum perdata Belanda dengan
menggunakan sebagai sumber sebagian besar “ Code Napoleon” dan
sebagian kecil hukum Belanda Kuno.
Meskipun penyusunan sudah selesai sebelum 5 Juli 1830, tetapi
Hukum Perdata Belanda baru diresmikan pada 1 Oktober 1838. Pada
tahun itu dikeluarkan:
 Burgerlijk Wetboek (BW/ KUH Sipil )
 Wetboek van Koophandel ( WvK/KUH Dagang )
Berdasarkan asas konkordasi, kodifikasi hukum perdata Belanda
menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia.
Kodifikasi ini diumumkan tanggal 30-4-1847 Staatsblad No.23 dan mulai
berlaku 1 mei 1848 di Indoensia.
Adapun dasar hukum berlakunya peraturan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata di Indonesia adalah pasal II Aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyatakan, bahwa segala badan negara dan
peraturan yang ada masinh langsung berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Dengan demikian
sepanjang belum ada peraturan yang baru, maka segala jenis dan bentuk

71
hukum yang ada yang merupakan peninggalan dari jaman kolonial
masih dinyatakan tetap berlaku. Hal ini termasuk keberadaan Hukum
Perdata. Hanya saja dalam pelaksanannya yang menyangkut keberlakuan
hukum perdata ini disesuaikan dengan azas dan falsafah negara
Pancasila, termasuk apabila telah lahir peraturan perundang-undangan
yang baru, maka apa yang ada dalam KUH Perdata tersebut dinyatakan
tidak berlaku. Contohnya masalah tanah yang telah ada Undang-undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, terutama yang
mengenai Bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya,kecuali ketentuan-ketentuan yang mengenai hipotek yang
masih berlaku pada mulainya berlaku undang-undang ini; begitu juga
masalah Perkawinan yang telah ada Undang-Undang nomor 1 tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Perkawinan.
Ketentuan lain adalah dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah
Agung nomor 3 tahun 1963 yang menyatakan bebera pasal yang ada
dalam KUH perdata dinyatakan tidak berlaku lagi. Adapun pasal-pasal
tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Pasal 108 s.d. 110 tentang ketidakwenangan bertindak dari istri :
konsekweinsinya suami istri mempunyai kedudukan yang sama
dalam hukum. Hal ini diperkuat oleh bunyi pasal 31 Undang-undang
nomort 1 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan yang
menyatakan bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;masing-masing pihak
(suami isteri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum
b. Pasal 284 ayat (3) tentang pengakuan anak luar kawin yang lahir dari
wanita Indonesia Asli konsekwensinya : Tidak menimbulkan putusnya
hubungan hukum antara ibu dan anak; Dengan adanya pengakuan
terhadap anak luar kawin ini, maka dia mendapatkan hak
untukmewaris dari orang tuanya yang meninggal, misalnya kalau dia

72
bersama-sama dengan golongan 1, dia akan mendapatkan bagian 1/3
nya, sedangkan bila dia bersama-sama dengan golongan 2, dia akan
mendapatkan bagian ½ dari harta warisan yang ditinggalkan pewaris
tersebut.
c. Pasal 1579 : yang menentukan bahwa dalam sewa menyewa barang,
pemilik tidak dapat menghentikan sewa dengan alasan akan
memakainya sendiri barangnya. Konsekwensinya : boleh
menghentikan, sekalipun demikian apabila si pemilik akan memakai
kembali barang yang disewakannya tersebut, sementara si penyewa
masih mempunyai hak,maka si pemilik harus memberikan kompensasi
atau ganti kerugian kepada si penyewa sesuai dengan kesepakatan
bersama, sehingga si penyewa tidak merasa dirugikan.
d. Pasal 1682 yang mengharuskan penghibahan dengan akta notaris.
Konsekwensinya tidak mengharuskan penghibahan melalui akte
notaris, ini juga berarti bahwa apabila terjkadi proses hibah tidak perlu
dilakukan melalui akte notaris, namun saksi-saksi sebagai bukti harus
tetap ada.
e. Pasal 1238 yang menentukan, bahwa pelaksanaan suatu perjanjian
hanya dapat diminta di depan hakim, jika didahului dengan
penagihan tertulis. Konsekwensinya : tidak harus didahului dengan
penagihan tertulis
f. Pasal 1460 tentang resiko dalam perjanjian jual beli barang ditentukan
resiko ada pada pembeli. Konsekwensinya resiko ditanggung bersama,
artinya baik si pembeli maupun si penjual sama menanggung resiko,
bahkan bila terdapat cacat barang yang tersembunyi tidak tertutup
kemungkinan resiko tersebut menjadi tanggung jawab si penjual
seluruhnya. Sebaliknya bila terjadi kasus overmacht atau keadaan
memaksa, resiko bisa menjadi tanggungan si pembeli seluruhnya.Jadi
mengenai resiko dari perjanjian jual beli amat tergantung dari

73
persetujuan bersama, kecuali hal-hal yang diatur secara tegas dalam
peraturan perundang-undangan.
g. Pasal 1630 yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa dan
bukan Eropa dalam perjanjian perburuhan. Konsekwensinya tidak ada
diskriminasi dalam perburuhan.
Bagaimana kondisi atau keadaan hukum perdata di Indonesia saat
ini ? Keadaan Hukum Perdata di Indonesia dari dahulu sampai dengan
sekarang tidak ada keseragaman ( Pluranisme ). Hal ini dikarenakan
adanya kebijakan tentang pembagian penduduk di Indonesia, yaitu
sebagai berikut :
1. WNI asli ( dahulu Bumi Putera ) berlaku Hukum Perdata Adat, yaitu
keseluruhan aturan-aturan hukum yang tidak tertulis. Namun ada
beberapa pasal dalam KUH Perdata dan KUHD yang dinyatakan
berlaku bagi WNI asli tersebut, yaitu :
a. Pasal-pasal yang berhubungan dengan pembagian kerja lama,
yaitu: pasal 1601 tentang : persetujuan-persetujuan untuk
melakukan jasa-jasa yang diatur dalam ketentuan-ketentuan
khusus;1602 tentang kewajiban majikan dalam membayar upah
pada buruh;1603 tentang kewajiban-kewajiban buruh. Selain itu
ada juga pasal-pasal tentang perjanjian kerja baru yang khusus
berlaku bagi golongan Eropa, yaitu pasal-pasal yang terdapat
dalam Titel 7 A Buku III BW ).
b. Pasal-pasal tentang permainan dan pertauran ( perjudian ) yaitu
pasal-pasal: 1788 Undang-undang tidak memberikan suatu
tuntutan hukum dalam halnya suatu utang yang terjadi karena
perjudian atau pertaruhan); 1789 ( Dalam ketentuan tersebut di
atas tidak termasuk permainan-permainan yang dapat
dipergunakan untuk olah ragam, seperti main anggar lari cepat
dsb); 1790 ( Tidaklah diperbolehkan untuk menyingkiri berlakunya
ketentuan-ketentuan kedua pasal yang lalu dengan jalan

74
perjumpaan utang ) dan 1791 ( Seorang yang secara sukarela telah
membayar kekalahannya sekali-sekali tak diperbolehkan
menuntutnya kembali kecuali apabila dari pihaknya pemenang
telah dilakukan kecurangan atau penipuan ).
c. Pasal-pasal dari KUHD tentang Hukum Laut
2. WNI Keturunan Eropa berlaku Hukum Perdata Barat, termasuk WvK.
Adapun yang dimaksud golongan Eropa menurut Soediman
Kartohadiprodjo ( 1987:58) adalah :
a. semua warga negara Nederland
b. kesemuanya orang, tidak termasuk yang disebut (1) di atas yang
berasal dari Eropa
c. Kesemuanya warga negara Jepang
d. Kesemuanya orang di luar 1 dan 2 yang hukum keluarganya sama
dengan hukum Belanda
e. Anak-anak dari 2 dan 3 yang lahir di Indonesia

2. WNI Keturunan Timur Asing :


a. Non Tionghoa : Berlaku Hukum Perdata yang ditetapkan
berdasarkan Lembaran Negara 1925 nomor 556 yaitu yang
memberlakukan sebagian dari BW dan WvK, yaitu bagian-bagian
yang mengenai Hukum Harta Kekayaan dan Hukum Waris yang
dengan surat wasiat. Yang lainnya berlaku Hukum Adatnya, yaitu
menurut Jurisprudensi tetap di Indonesia ialah Hukum Perdata
Adat dari orang-orang Timur Asing yang tumbuh di Indonesia.
b. Tionghoa : Diberlakukan Hukum Perdata sebagaimana diatur
dalam LN 1925 nomor 557 yaitu berlaku seluruh Hukum Perdata
(BW) dan WvK dengan pengecualian dan penambahan :
1) Pengecualiannya : Pasal-pasal mengenai upacara perkawinan
dan mengenai pencegahan (penahanan ) perkawinan dari BW

75
tidak berlaku bagi mereka ,karena mereka tetap tunduk kepada
hukum adatnya sendiri.
2) Penambahannya : Peraturan-peraturan mengenai pengangkatan
anak (adopsi) dan Kongsi (badan perdagangan ). Lembaga
adopsi ini menjadi sangat penting mengingat masayarakat
Tionghoa menarik garis keturunan laki-laki, sementara dalam
BW tidak diatur mengenai lembaga adopsi.

Untuk mengurangi masalah pluralisme hukum perdata di


Indonesia, Pemerintahan Kolonial Belanda mengeluarkan serangkaian
kebijakan yang termuat dalam pasal 131 IS. Kebijakan ini dikenal dengan
nama politik hukum pemerintah Belanda yang lengkapnya berbunyi :
 Hukum Perdata dan dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta
Hukum Acara Perdata dan Pidana ) harus diletakkan dalam kitab-
kitab undang-undang yang dikodifisir ( asas kodifikasi )
 Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan
yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordasi )
 Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur asing
(tionghoa,Arab dsb ) jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka
menghendakinya, dapat menggunakan peraturan yang berlaku bagi
golongan Eropa.
 Orang Indonesia asli dan Timur Asing sepanjang mereka belum
ditundukkan di bawah peraturan bersama dengan bangsa Eropa,
diperbolehkan menundukkan diri (onderwepen).
 Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-
undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang
berlaku bagi mereka, yaitu Hukum Adat.
Dengan demikian jelaslah, bahwa pasal 131 IS memuat dasar politik
hukum mengenai hukum perdata, hukum pidana serta hukum acara
perdata dan pidana. Dalam ayat (2) pasal 131 IS disebut perkataan “

76
Europeanen” (sub a ) dan Indonesiers en Vreemde Oosterlingen ( sub. b ),
dengan ketentuan nampak, bahwa IS dalam politik hukumnya tidak
bersandar pada satu hukum, melainkan menentukan akan berlakunya
lebih dari satu sistem hukum di Indonesia. Sistem Hukum untuk
Europeanen “ dan sistem hukum untuk Indonesiers dan Vreemde
Oosterlingen, yaitu yang menurut penjelasan pasal 131 ayat (1)
dinyatakan, jikalau ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini,
dalam peraturan umum dan peraturan setempat, dalam aturan-aturan,
peraturan polisi dan administrasi diadakan perbedaan antara golongan
Eropah, golongan Pribumi dan Golongan Tmur Asing, maka kesemuanya
ini dijalankan menurut aturan-aturan.
Selain melalui kebijakan politik hukum, juga dikenal adanya
penundukkan diri. Penundukan Diri sebagaimana diatur dalam Stb. 1917
nomor 12 ada 4 macam, yaitu :
 Penundukan diri pada seluruh Hukum Perdata Eropa
 Penundukan diri pada sebagian Hukum Perdata Eropa, yaitu hanya
pada hukum kekayaan harta benda saja, seperti yang dinyatakan
berlaku bagi golongan Timur Asing.
 Penundukan diri mengenai suatu perbuatan hukum tertentu
 Penundukan diri secara diam-diam.

B. SISTEMATIKA
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dikodifikasikan di
Indonesia pada tahun 1848 pada intinya mengatur hubungan hukum
antara orang perorangan, baik mengenai kecakapan seseorang dalam
lapangan hukum; mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
kebendaan; mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perikatan dan
hal-hal yang berhubungan dengan pembuktian dan lewat waktu atau
kadaluarsa.

77
Sistematika atau isi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
ada dan berlaku di Indonesia, ternyata bila dibandingkan dengan Kitab
Undang-Undang hukum Perdata yang ada dan berlaku di negara lain
tidaklah terlalu jauh berbeda. Hal ini dimungkinkan karena mengacu
atau paling tidak mendapatkan pengaruh yang sama, yaitu dari hukum
Romawi ( Code Civil).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau BW yang ada dan
berlaku di Indonesia mempunyai sistematika yang terdiri dari 4 buku
( Buku-Titel-Bab- ( Pasal-Ayat), yaitu :
Buku I Van Personen ( mengenai orang )
Buku II Van Zaken ( mengenai Benda )
Buku III Van Verbinsissen ( mengenai Perikatan )
Buku IV Van Bevijs En Verjaring (bukti dan kadaluarsa)
Mengenai pembagian Hukum Perdata tersebut sudah barang tentu
menimbulkan berbagaim komentar dan analisis dari para ahli ilmu
Hukum, Kansil ( 1993 : 119 ) merasakan, bahwa pembagian sistematika
sebagaimana diatur dalam KUH Perdata tersebut kurang memuaskan,
karena :
1. Seharusnya KUH Perdata hanya memuat ketentuan-ketentuan
mengenai Hukum Privat Materiil. Dalam KUH Perdata terdapat tiga
aturan mengenai Hukum Perdata Formil, yaitu :
a. Ketentuan mengenai Hukum Pembuktian
b. Ketentuan mengenai lewat waktu extinctief
c. Ketentuan mengenai lewat waktu acquisitief
2. KUH Perdata berasal dari BW yang berasaskan liberalisme dan
individualisme, sehingga perlu dilakukan berbagai perubahan untuk
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia
3. Hukum waris bukan hanya bagian dari hukum benda, tetapi juga
merupakan bagian dari hukum kekeluargaan
4. Hukum Perdata lebih tepat dibagi menjadi 5 Buku, yaitu :

78
a. Buku I tentang : Ketentuan Umum
b. Buku II tentang : Perikatan
c. Buku III tentang : Kebendaan
d. Buku IV tentang : Kekeluargaan
e. Buku V tentang : Waris
Adapun hal-hal yang diatur dalam KUH perdata sebagaimana
berlaku di Indonesia saat ini, ( kecuali beberapa bagian yang sudah
dinyatakan tidak berlaku) adalah sebagai berikut :
Buku Kesatu tentang Orang ( van persoon ) yang terdiri dari 18 bab,
yaitu mengatur :
I tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewenangan
II tentang akta-akta catatan sipil
III tentang tempat tinggal atau domisili
IV tentang perkawinan
V tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami dan isteri
VI tentang persatuan harta kekayaan menurut undang-undang dan
pengurusannya
VII tentang perjanjian kawin
VIII tentang persatuan atau perjanjian kawin dalam perkawinan
untuk kedua kali atau selanjutnya
IX tentang perpisahan harta kekayaan
X tentang pembubaran perkawinan
XI tentang perpisahan meja dan ranjang
XII tentang kebapaan dan keturunan anak-anak
XIII tentang kekeluargaan sedarah dan semenda
XIV tentang kekuasaan orang tua
XVa tentang menentukan,mengubah dan mencabut tunjangan-
tunjangan nafkah
XV kebelum-dewasaan dan perwalian
XVI tentang beberapa perlunakan

79
XVII tentang pengampuan
XVIII tentang keadaan tak hadir
Buku kedua tentang Kebendaan ( van zaken ),yang terdiri dari 21 bab,
yang secara lengkapnya adalah sebagai berikut :
I tentang kebendaan dan cara membeda-bedakannya
II tentang kedudukan berkuasa (bezit) dan hak-hak yang timbul
karenanya
III tentang hak milik ( eigendoom )
IV tentang hak dan kewajiban antara pemilik-pemilik pekarangan
yang satu sama lain bertetanggaan
V tentang kerja rodi
VI tentang pengabdian pekarangan
VII tentang hak numpang karang
VIII tentang hak usaha ( erfpacht )
IX tentang bunga tanah dan hasil se persepuluh
X tentang hak pakai hasil
XI tentang hak pakai dan hak mendiami
XII tentang perwarisan karena kematian
XIII tentang surat wasiat
XIV tentang pelaksanaan wasiat dan pengurus harta peninggalan
XV tentang hak memikir dan hak istimewa untuk mengadakan
pendaftaran harta peninggalan
XVI tentang menerima dan menolak suatu warisan
XVII tentang pemisahan harta peninggalan
XVIII tentang harta peninggalan yang tak terurus
XIX tentang piutang-piutang yang diistimewakan
XX tentang gadai
XXI tentang hipotik
Buku Ketiga tentang Perikatan ( van Verbintenis ) yang terdiri dari 18
bab, yaitu lengkapnya sebagai berikut :

80
I tentang Perikatan-perikatan umumnya
II tentang Perikatan-perikatan yang dilahirkan darikontrak atau
persetujuan
III tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-
undang
IV tentang hapusnya perikatan-perikatan
V tentang jual-beli
VI tentang tukar menukar
VII tentang sewa-menyewa
VIII tentang persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan
IX tentang persekutuan
X tentang hibah
XI tentang penitipan barang
XII tentang pinjam-pakai
XIII tentang pinjam-meminjam
XIV tentang bunga tetap atau bunga abadi
XV tentang persetujuan-persetujuan untung-untungan
XVI tentang pemberian kuasa
XVII tentang penanggungan
XVIII tentang perdamaian
Buku Keempat tentang Pembuktian dan Kadaluarsa ( van bewijs en
verjaring ) yang terdiri dari 7 bab, selengkapnya adalah sebagai berikut :
I tentang pembuktian pada umumnya
II tentang pembuktian dengan tulisan
III tentang pembuktian dengan saksi-saksi
IV tentang persangkaan-persangkaan
V tentang pengakuan
VI tentang sumpah di muka Hakim
VII tentang daluwarsa

81
Berdasarkan rincian materi yang termuat dalam KUH Perdata
tersebut, maka agr tidak membingungkan berikut ini dikutipkan hal-hal
yang pokok saja dari setiap Buku yang ada dalam KUH Perdata, yaitu :
Buku I tentang orang antara lain memuat :
a. Subyek hukum atau hukum tentang orang
b. Perkawinan dan hak suami isteri
c. Kekayaan perkawinan
d. Kekuasaan orang tua
e. Perwalian dan Pengampuan

Buku II tentang benda yang memuat :


a. Bezit
b. Eigendom
c. Opstal
d. Erfpacht
e. Hipotek
f. Gadai
Buku III tentang perikatan yang memuat:
a. Istilah perikatan pada umumnya
b. Timbulnya perikatan
c. Persetujuan-persetujuan tertentu, seperti :
1) Jual beli
2) Tukar menukar
3) Sewa menyewa
4) Perjanjian perburuhan
5) Badan Usaha
6) Borgtocht
7) Perbuatan melanggar hukum
Buku IV tentang Pembuktian dan lewat waktu yang memuat :
a. Macam-macam alat bukti, seperti :

82
1) Surat
2) Saksi
3) Persangkaan
4) Pengakuan
5) Sumpah
b. Lewat waktu

Sedangkan para ilmu hukum sebagaimana dikemukakan oleh Kansil


( 1994 : 16-17 ) mengemukakan sistematika Hukum Perdata sebagai berikut:
1. Hukum tentang diri seseorang
Hukum tentang diri seseorang ini memuat peraturan-peraturan
tentang manusia sebagai subyek dalam hukum; peraturan-peraturan
perihal kecakapanuntuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak
sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi
kecakapan-kecakapan itu.
2. Hukum Kekeluargaan
Hukum kekeluargaan mengatur perihal hubungan-hubungan hukum
yang timbul sebagai akibat dari hubungan kekeluargaan, yaitu:Perkawinan
beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami isteri,
hubungan antara orang tua dan anak,perwalian dan curatele.
3. Hukum Kekayaan
Hukum kekayaan adalah hukum yang mengatur perihal hubungan hukum
yang dapat dinilai dengan uang, yaitu segala kewajiban-kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
demikian itu biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain.
4. Hukum Warisaan
Hukum warisan adalah hukum yang mengatur tentang benad atau
kekayaan seorang jikalau ia meninggal dunia.Hukum warisan ini juga

83
mengatur akibat-akibat hukum keluarga terhadap harta peninggalan
seseorang.
Berdasarkan sistematika sebagaimana disebutkan dalam KUH Perdata
dan menurut para ahli ilmu hukum, ternyata Hukum Kekeluargaan yang di
dalam KUH Perdata atau BW dimasukkan ke dalam Hukum tentang diri
seseorang, karena hubungan-hubungan keluarga memang berpengaruh besar
terhadap kecakapan seseorang untuk memiliki hak-hak serta kecakapannya
untuk mempergunakan hak-haknya tersebut.Sedangkan Hukum warisan
dimasukkan ke dalam hukum tentang kebendaan, karena dianggap hukum
warisan itu mengatur cara-cara untuk memperoleh hak atas benda-benda,
yaitu benda-benda yang ditinggalkan oleh seseorang. Sementara itu perihal
pembuktian dan lewat waktu sebenarnya adalah soal hukum acara, sehingga
kurang tepat dimasukkan ke dalam KUH Perdata, yang pada asasnya
mengatur hukum perdata materiil, tetapi pernah ada pendapat yang
menyatakan bahwa hukum acara itu dapat dibagi dalam bagian materiil dan
formil. Nah persoalan-persoalan yang mengenai alat-alat pembuktian dapat
dimasukkan hukum acara materiil yang dapat diatur dalam suatu undang-
undang tentang hukum perdata materiil.
Sekedar perbandingan mengenai sistematika Hukum Perdata, berikut
ini dapat disajikan sistematika yang ada dan berlaku di negara-negara lain,
seperti Sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perancis dan Jerman
sebagaiman dikemukakan oleh Subekti ( 1990 : 9-10 ), yaitu :
1. Perancis yang termuat dalam Code Civil, yang juga sebagai sumber dari
BW menganut sistematika sebagai berikut :
Buku I : Hukum Perseorangan ( perkawinan, keluarga dan sebagainya )
Buku II : Tentang barang dan macam-macam kekayaan ( des biens et des
differentes modifications de la propiete )
Buku III : Tentang berbagai cara untuk memperoleh kekayaan ( des
differentes manieres dont on acquiert la propiete ), yaitu :
pewarisan, perjanjian (termasuk perjanjian perkawinan atau

84
yang dalam bahasa Belanda dinamakan huwelijkese
voorwaarden ),perbuatan melanggar hukum dan sebagainya,
dan juga tentang gadai dan hipotik dan akhirnya tentang
pembuktian
2. Jerman yang dinamakan Burgerliches Gesetzbuch Jerman ( dari tahun
1896) terbagi atas.
Buku I : Bagian umum, yang memuat ketentuan-ketentuan tentang
orang, tentang badan hukum, tentang penegrtian barang,
tentang kecakapan melakukan perbuatan-perbuatan hukum,
tentang perwakilan dalam hukum, tentang daluwarsa dan lain-
lain.
Buku II : Tentang hukum mengenai hutang-piutang, yang memuat
hukum perjanjian.
Buku III: Hukum Benda, yang memuat ketentuan-ketentuan tentang
hak milik dan hak-hak kebendaan lainnya
Buku IV : Hukum Keluarga, yang memuat ketentuan-ketentuan
tentang perkawinan yang dalam code civil Perancis
digolongkan pada hukum perjanjian; tentang hubungan-
hubungan kekeluargaan, kekuasaan orang tua,perwalian dan
sebagainya.
Buku V : Hukum waris, yang mengatur soalpewarisan pada umumnya
dan perihal surat wasiat atau testament.
Sementara itu Kansil ( 1993 : 135-136 ) mengemukakan sistematika
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di negara Swis dan Yunani sebagai
berikut :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Swis “ Schwizeriches
Zivilgesetzbuch” yang terdiri atas 5 bagian ( Kansil, 1993 :135 ), yaitu :
Bagian I : Hukum Orang pribadi
Bagian II : Hukum Kekeluargaan
Bagian III : Hukum Waris

85
Bagian IV : Hukum Kebendaan
Bagian V : Hukum Perikatan
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Yunani, yang terdiri dari 5 buku
( Kansil,1993:136), yaitu :
Buku I : Asas-asas umum
Buku II : Hukum Perikatan
Buku III : Hukum Kebendaan
Buku IV : Hukum Kekeluargaan
Buku V : Hukum Waris
Bila kita kaji kembali sejarah perkembangan Hukum Perdata
sebagaimana diuraikan pada Kegiatan Belajar 1, jelaslah bahwa pada
mulanya hukum perdata berasal dari hukum Romawi yang termuat dalam
Corpus Juris Civilis yang terdiri dari 4 bagian sebagaimana dikemukakan
oleh Kansil ( 1993 : 97 ), yaitu :
I. Institutiones
Yaitu memuat segala sesuatu tentang pengertian (lembaga-lembaga) dalam
Hukum Romawi dan dianggap sebagai himpunan segala macam undang-
undang.
II. Pandecta
Yaitu kumpulan pendapat-pendapat para ahli hukum bangsa Romawi
yang termasyhur.
III. Codex
Yaitu Himpunan undang-undang yang telah dibukukan oleh para ahli
hukum atas perintah kaisar Romawi.
IV. Novelles
Yaitu himpunan tambahan-tambahan pada codex itu dengan pemberian
penjelasan-penjelasan atau komentar

LATIHAN :

86
BERILAH TANDA SILANG ( X ) PADA SALAH SATU JAWABAN YANG
BENAR DI ANTARA 4 KEMUNGKINAN JAWABAN YANG TERSEDIA !
1. Yang dimaksud dengan “ zoon politicoon “ adalah….
a. manusia adalah makhluk beragama
b. manusia adalah makhluk sosial
c. manusia adalah makhluk beriman
d. manusia adalah makhluk terdidik

2. Alasan mengapa orang atau masyarakat memerlukan hukum adalah….


a. karena tidak semua orang mengetahui,memahami,menyikap dan
berperilaku berdasarkan aturan yang berlaku
b. karena hukum dapat menampung aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat
c. karena hukum dapat meciptakan rasa aman dan tertib dalam
masyarakat
d. karena hukum bertujuan untuk mewujudkan perdamaian dalam
masyarakat

3. Masyarakat dan … tidak dapat dipisahkan, bagaikan dua mata uang


dalam satu sisi .
a. Keamanan b. kedamaian c. ketertiban d. keindahan

4. Dalam pengertian yang sempit hukum perdata merupakan lawan dari


hukum….
a. Pidana b. Publik c. Perseorangan d. Dagang

5. Dalam arti yang luas, hukum perdata meliputi hukum ….


a.Pidana b. Perseorangan c. Publik d.Dagang

6. Manakah di antara negara di bawah ini yang bukan termasuk golongan


Timur Asing ?
a. Turki b.Jepang c. Pakistan d. India

7. Asas lex Specialis Derograt legi generalis mengandung makna….


a. Aturan-aturan yang khusus berlaku terhadap hal-hal yang umum
b. Aturan-aturan umum yang berlaku secara terhadap hal-hal yang khusus
c. Aturan-aturan yang secara khusus termuat dalam KUH Perdata
d. Aturan-aturan yang secara khusus berlaku bagi golongan bumi putera

8. Kodifikasi Hukum Perdata di Indonesia terjadi pada tahun….


a. 1828 b. 1838 c. 1848 d. 1948

87
9. Maksud upaya “Penundukan Diri” pada hukum Eropa adalah dalam hal
….
a. kekayaan dan harta benda c. keluarga dan warisan
b. kekayaan dan warisan d. harta benda dan warisan

10. Yang dimaksud dengan “Kematian Perdata” adalah ….


a. suatu hukuman , bahwa seseorang tidak dapat memiliki sesuatu hak
lagi
b. suatu hukuman yang dijatuhkan pada seseorang untuk tidak
melakukan transaksi dalam lapangan hukum perdata
c. seseorang yang tidak mempunyai hak untuk mengadakan transaksi
dalam lapangan hukum perdata
d. seseorang yang karena sesuatu hal dinyatakan tidak cakap dalam
hukum perdata

11. Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur tentang….


a. hubungan orang dengan negara
b. hubungan orang perorang
c. hubungan negara dengan negara
d. hubungan negara dengan badan-badan dunia

12. Contoh perbuatan atau tindakan yang berkaitan dengan hukum


perdata adalah….
a. sewa menyewa b. Penipuan c. pencemaran nama baik d. fitnah

13. Hukum Perdata yang berlaku di Romawi dinamakan….


A. Code Penal B. Code Civil
B. Code Hammurabi D. Code Comercee

14. Menurut Kansil, Hukum Perdata lebih berasaskan pada falsafah….


A. Individualisme B. sosialisme
C. gotong royong D.materialisme

15. Manakah di antara hal-hal di bawah ini yang tidak diatur dalam Buku I
KUH Perdata ?
A. Akta-akta catatan sipil B.Perkawinan
B. Hak milik D.Perkawinan

88
16. Hukum kekayaan mengatur perihal hubungan hukum yang berhubungan
dengan ….
A. berupa harta benda C. inmaterial dan material
B. dapat dinilai dengan uang D. berupa benda bergerak

17. Manakah di antara pernyataan di bawah ini yang bukan merupakan alat
bukti ?
A. Dakwaan B. Pengakuan C. Sumpah D. Saksi

18. Manakah di antara pernyataan di bawah ini yang tidak termasuk


persetuajuan-persetujuan khusus sebagaimana di atur dalam Buku III
KUH Perdata ?
A. Perjanjian jual beli C. Perjanjian obligator
B. Perjanjian sewa menyewa D. Perjanjian Badan Usaha

19. Dalam Hukum Perdata Jerman,masalah perikatan dimuat dalam Buku ….


A. I B. II C. III D. IV

20.Kumpulan pendapat para ahli ilmu hukum yang termashur di Romawi


dinamakan….
A. Institutiones B. Pandecta C. Codex D. Novelles

21. Keberhasilan pelaksanaan pembangunan adalah mutlak


merupakan tanggung jawab….
A. pemerintah B. masyarakat
B. pemerintah dan masyarakat D.pemerintah dan DPR

22.Sasaran umum tujuan Pembangunan Jangka Panjang II adalah


terciptanya….
A. kualitas sumber daya manusia C. kualitas aparatur penegak
hukum
B. kualitas materi hukum D. sarana dan prasarana
hukum

23. Dalam lapangan hukum perdata manusia mempunyai kedudukan


sebagai….

89
A. subyek hukum C. penentu keberhasilan hukum
B. obyek hukum D. sasaran pembangunan
hukum

24. Selain manusia yang berkedudukan sebagai pembawa hak, juga ….


A. lembaga hukum B.badan hokum
B. C.perkumpulan hukum D.asosiasi hukum

25. Orang yang bercorak sebagai manusia asli disebut….


A. Rechtspersoon B.indische rechtspersoon
C.naturlijkepersoon D.stablaad rechtspersoon

26. Manakah di antara pernyataan di bawah ini yang bukan merupakan


makna yang terkandung dalam pernyataan “ setiap manusia adalah
orang”?
A. Tidak dikenal adanya perbedaan antar umat beragama
B. Dikenal adanya perbedaan yang prinsip antara jenis kelamin pria dan
wanita
C. Tidak dikenal adanya perbedaan status sosial
D. Tidak dikenalperbedaan antara jenis kelamin

27. Wenang hukum yang dimiliki seseorang berlaku sejak….


A. dia dalam kandungan,apabila kepentingan hukum memerlukannya
B. dia dilahirkan, tanpa peduli apakah saat dilahirkan hidup atau mati
C. dia berusia dewasa
D. dia melangsungkan pernikahan

28. Batasan usia dewasa menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata adalah….
A. 16 tahun B.17 tahun C.21 tahun D.25 tahun

29. Srtatus isteri yang semula dinyatakan tidak cakap hukum apabila dia
menikah, saat ini tidak berlaku lagi,karena telah dicabut dengan
keluarnya….
A. Keputusan Presiden nomor 3 tahun 1963
B. Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 3 tahun 1963

90
C. Instruksi Presiden nomor 3 tahun 1963
D. Peraturan Pemerintah Pengganti undang-Undang nomor 3 tahun 1963

30. Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan, bahwa semua


warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Hal ini dinyatakan dalam pasal….
A. 17 B. 24 C.26 D. 27

31. Selain manusia sebagai pembawa hak dikenalpula badan hukum, yang
istilah asingnya adalah….
A. naturlijke persoon C.rechtspersoon
B. personal rechts persoon D.rechts delicten persoon

32. Badan hukum adalah….


A. orang yang diciptakan oleh hukum
B. perkumpulan yang diciptakan hukum
C. perhimpunan yang diciptakan oleh hukum
D. yayasan yg diciptakan hk

33 Utrecht menamakan badan hukum dengan mengunakan istilah….


A. pendukung hak yang statis
B. pendukung hak yang dinamis
C. pendukung hak yang bertujuan
D.pendukung hak yang tak bertujuan

34. Dalam KUH perdata badan hukum disebut dengan istilah….


A. naturlijke persoon B.rechtspersoon
C.zedelijk Lichaam D.rechts delicten persoon

35. Manakah di antara pernyataan di bawah ini yang bukan merupakan


jenis badan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Sanusi?
A. Menurut Hukum Islam, yaitu lembaga warisan
B. Menurut Hukum Eropa yaitu negara dan perhimpunan-perhimpunan
C. Menurut bukan Hukum Eropa yaitu perhimpunan
D. Menurut Hukum Adat, yaitu wakaf dan yayasan-yayasan

36. Perbedaan yang prinsip atau mendasar antara yayasan dengan


koorporatif, adalah bahwa yayasan….
A. mempunyai anggota dan pengurus

91
B. tidak mempunyai anggota, tetapi mempunyai pengurus

C. tidak mempunyai pengurus, tetapi mempunyai anggota


D. tidak mempunyai anggota dan juga tidak mempunyai pengurus

37. Manakah di antara pernyataan di bawah ini yang bukan merupakan


badan hukum publik?
A. BUMN C. PEMDA TINGKAT I
B. PEMDA TINGKAT II D.YAYASAN

38. Dilihat dari sifatnya, badan hukum terdiri dari….


A. Yayasan dan BUMN C. Yayasan dan Perseroan
Terbatas
B. Koperasi dan Yayasan D. Koperasi dan Perseroan terbatas

39. Badan Hukum itu hanya sekedar bayangan atau hanya sekedar ada
dalam angan-angan,karena sesungguhnya tidak pernah ada.Pernyataan
ini sejalan dengan teori….
A. Organ B.Fiksi C.Tujuan Bersama D.kekayaan bersama

40. Teori kekayaan bersama dikemukakan oleh….


A. Planial B.Otto von Gierke C.Brinz D.Siccama

41. Penempatan Hukum Perkawinan dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata adalah pada buku….
A. I B. II C.III D.IV

42. Perpisahan ranjang termuat dalam Buku I bab….


A. VI B. VII C. VIII D.IX

43. Menurut Subekti yang menguraikan lebih lanjut tentang pasal 26 KUH
Perdata, perkawinan hanya merupakan hubungan….
A. cinta kasih antara seorang wanita dan seorang pria
B. keperdataan
C. kekeluargaan D. kasih sayang untuk waktu yang lama

44. Asas perkawinan yang dianut dalam KUH Perdata adalah….


A. Monogamy B.poligami C.poliandri D.monoandri

45. Manakah di antara pernyataan di bawah ini yang bukan merupakan


syarat perkawinan sebagaimana diatur dalam KUH Perdata ?

92
A. kedua pihak telah mencapai umur sebagaimana ditetapkan oleh
undang-undang, yaitu 18 tahun bagi pria dan 15 tahun bagi wanita
B. Adanya persetujuan bebas di antara calon mempelai
C. Tidak ada larangan perkawinan bagi calon mempelai
D. Dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayannya masing-
masing

46. Menurut ketentuan perundang-undangan perdata, perkawinan


dinyatakan syah bila dilakukan
A. berdasarkan hukum agama dan kepercayannya masing-masing
B. di depan pegawai catatan sipil yang berwenang
C. di muka pegawai catatan sipil
D. di gereja dan disaksikan oleh pendeta

47. Di bawah ini adalah larangan-larang untuk melaksanakan perkawinan,


kecuali
A. saudara sepupu C.kawin dengan ipar
B. paman kawin dengan keponakan D.kawin dengan saudara tiri

48. Bapak atau ibu berhak mencegah terjadinya perkawinan, jika…


kecuali :
A. anak sekalipun sudah dewasa tidak memperoleh izin yang diperlukan
B. anak mereka belum mencapai umur tiga puluh tahun
C. anak mereka belum mencapai umur 21 tahun
D. calon suami berada di bawah pengampuan

49. Hak-hak yang dimiliki oleh seorang suami berarti membawa


konsekwensi bagi isteri. Konsekwensi tersebut adalah… kecuali :
A. isteri tidak mempunyai tempat tinggal bebas
B. kemauan suami sangat menentukan dalam melaksanakan hak orang
tua
C. isteri mengikuti status kewarganegaraan suami
D. suami mempunyai kecakapan bertindak yang terbatas.

50. Surat Edaran mahkamah Agung nomor 3 Tahun 1963 menyatakan


pasal-pasal di bawah ini dicabut,kecuali :
A. pasal 108 B.pasal 109 C.pasal 110 D.pasal 111

51. Manakah di antara pernyataan di bawah ini yang bukan merupakan


peraturan perkawinan di Indonesia sebelum lahirnya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974?
A. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum
agama yang telah diresiplir dalam Hukum Adat

93
B. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku Hukum Adat
C. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku
Huwelijks ordonantie christen Indonesia berdasarkan S. 1933 nomor 74.
D. Bagi orang Timur Asing lainnya dan WNI keturunan berlaku hukuk
keluarga mereka

52. Manakah pernyataan di bawah ini yang bukan merupakan


indikatorpengertian perkawinan ?
A. adanya ikatan lahir bathin
B. bertujuan membentuk keluarga bahagia
C. berdasarkan hukum agama dan kepercayannya masing-masing
D. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

53. Syarat sahnya perkawinan adalah….


A. adanya ikatan lahir bathin
B. bertujuan membentuk keluarga bahagia
C. berdasarkan hukum agama dan kepercayannya masing-masing
D. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

54. Perkawinan yang bukan dilangsungkan berdasarkan agama Islam


harus dilakukan oleh….
A. Pegawai Catatan Sipil
B. Pegawai Kantor Urusan Agama
C. Pegawai kantor Pengadilan Negeri
D. Pegawai kantor kelurahan setempat

55. Menurut undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, seorang


laki-laki apabila akan melangsungkan perkawinan minimal harus
berusia…
A. 16 tahun B.17 tahun C.18 tahun D.19 tahun

56. Azas yang dianut undang-undang perkawinan Indonesia adalah….


A. Monogamy B.poligami C.kebersamaan D.religius

57. Manakah di antara pernyataan di bawah ini yang bukan merupakan


syarat poligami
A. Isteri tidak dapat melaksanakan kewajibannya
B. Isteri mendapat cacat badan
C. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
D. Isteri tidak cakap secara hokum

94
58. Manakah di antara pihak di bawah ini yang tidak dapat menggagalkan
suatu perkawinan?
A. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau
isteri
B. Suami atau isteri
C. Pejabat yang berwenang Kepala kantor Catatan Sipil

59. Manakah di antara pasal di bawah ini yang tidak mengatur tentang
hak dan kewajiban suami isteri ?
A. 30 B. 31 C. 32 D. 35

60. Apabila terjadi perceraian antara PNS yang disebabkan kasus


perzinahan pihak isteri, maka bagian gaji bekas isteri dari bekas suaminya
?
A. tidak mendapatkan bagian C. mendapatkan bagian ¼
B. mendapatkan bagian 1/3 D. mendapatkan bagian ½

Jawablah semua soal di bawah ini


1. Jelaskan perbedaan Sistem yang dianut oleh Buku II dan Buku III
dalam KUH Perdata !

2. Kemukakan dengan disertai contoh mengenai perikatan-perikatan


yang lahir dari undang-undang !

3. Jelaskan empat syarat sahnya suatu perjanjian dan apa dasar


hukumnya !

4. Sebutkan asas-asas perjanjian dalam KUH Perdata dengan


mengemukakan ketentuan hukum yang mengaturnya!

5. Jelaskan kapan seorang debitur dinyatakan “ Wanprestasi “ ? dan apa


saja yang dituntut dari seseorang yang dinyatakan ‘wanprestasi tersebut
“?

6. Apakah seorang debitur yang telah dinyatakan wanprestasi tersebut


diwajibkan untuk membayar ganti kerugian ?Jelaskan jawaban saudara
apabila dikaitkan dengan overmacht!

95
7. Subrogatie dapat terjadi dengan perjanjian dan penetapan undang-
undang. Jelaskan hal tersebut dengan mengemukakan ketentuan hukum
yang mengaturnya!

8. Jelaskan perbedaan waris menurut undang-undang dan waris


menurut wasiat!

9. Dalam ketentuan undang-undang ahli waris dikelompokkan ke dalam


4 golongan. Sebutkan keempat golongan tersebut dengan mengemukakan
ketentuan hukumnya!

10. Seorang ahli waris meninggalkan harta warisan sebesar Rp. 250.000.000,-.
Biaya penguburan dan utang-utangnya sebesar 75.000.000,-. Berapa
bagiaahli warisnya masing-masing, jika terdiri dari :
a. 3 anak kandung dan 2 anal luar kawin yang diakui
b. 4 anak kandung ( 1 di antaranya menolak jadi ahli waris
sungguhpun dia sebenarnya telah mempunyai 3 orang anak ) dan 1
anak luar kawin yang diakui
c. 2 anak kandung, ayah, 2 saudara ayah
d. 2 anak luar kawin, ayah, ibu, 1 saudara dari ayah dan nenek.

===================================================================

BAB V
POKOK-POKOK HUKUM PIDANA

96
A. Sejarah, Pengertian dan Tujuan Hukum Pidana
Hukum Pidana Indonesia bentuknya tertulis dikodifikasikan
dalam sebuah kitab undang-undang dan dalam perkembangannya
banyak yang tertulis tidak dikodifikasikan berupa undang-undang.
Hukum Pidana yangb tertulis dikodifikasikan itu tertera ketentuan-
ketentuannya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang berasal dari zaman pemerintahan penjajahan Belanda.
Bagaimanakah hukum pidana itu diaturnya? Untuk menjawab
pertanyaan ini marilah kita tinjau dalam uraian sebagai berikut :
1. Sejarah Hukum
Sebagiaman halnya dalam lapangan hukum perdata, dalam
lapangan hukum pidana yang berlaku di Indonesiapun bersifat
pluralisme,hal ini terjadi sebagai akibat adanya politik hukum
pemerintah Hindia Belanda di Indonesia yang membagi
penduduk Indonesia menjadi 3 golongan, di mana masing-masing
golongan tersebut berlaku hukum yang berbeda, termasuk dalam
lapangan hukum pidana.
Dasar berlakunya hukum yang berbeda tersebut adalah S.
1866 : 55 yaitu Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku bagi
bangsa Eropa, sedangkan bagi bangsa pribumi mengacu pada S.
1872 : 85.
Pada tahun 1915 dibentuk satu kodifikasi Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana baru melalui S. 1915 : 732. Kodifikasi
hukum itu tertera dalam “Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch-Indie” yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia
pada tanggal 1 Januari 1918.
Pada zaman pendudukan Jepang, pemerintah Jepang
mengeluarkan suatu kebijakan bahwa aturan pidan yang berlaku
sebelumnya masih tetap dinyatakan berlaku.
Tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekannya. Dengan proklamasi berarti
lahir tatanan hukum baru. Tatanan hukum baru tidak
mengandung makna segala hukum atau aturan yang ada

97
sebelumnya serta merta dinyatakan tidak berlaku. Artinya
sepanjang aturan itu masih relevan bisa tetap dinyatakan berlaku,
terlebih-lebih bagi bangsa Indonesia, satu hari setelah
memproklamasikan kemerdekannya melalui sidang PPKI
mengesahkan UUD yang berlaku di Indonesia adalah UUD 1945.
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan, bahwa
segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini.
Pasal ini mengandung makna, segala badan negara dan
peraturan yang ada dan berlaku pada masa apemerintahan
sebelumnya, baik Pemerintahan Hindia Belanda ,maupun Jepang
bisa dinyatakan langsung berlaku sepanjang belum diadakan
badan atau peraturan yang baru, termasuk di dalamnya adalah
Hukum Pidana.
Khusus mengenai hukum pidana, pada tahun 1946 keluar
Undang-Undang nomor 1 tahun 1946 yang menyatakan, bahwa
Wetboek van strafrecht voor nederlands India setelah dilakukan
berbagai perubahan di sana sini dinyatakanberlaku dengan nama
Wetboek van strafrecht voor Indonesie.
Uud 1945 pada tahun 1949 tepatnya tanggal 27 Desember
1949 berubah menjadi Konstitusi RIS 1949, kemudian tanggal 17
Agustus 1950 kita berubah lagi menjadi negara kesatuan, maka
melalui UU no. 73 tahun 1958 yang dinyatakan berlaku sejak
tanggal 29 September 1958 yang menyatakan tentang berlakunya
undang-undang nomor 1 tahun 1946 RI tentang peraturan hukum
pidana untuk seluruh wilayah Indonesia dan mengubah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Dengan demikian maka sejak
tanggal 29 September 1958 berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) bagi seluruh penghuni Indonesia dengan corak
Unifikasi.

98
Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang
kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan
perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan
suatu penderitaan ( Sudarsono 1991 : 102).
Kemudian KUHP dinyatakan berlaku umum ( unifikasi hukum
pidana ) melalui UU np. 1 tahun 1958 ( 29 September 1958 ) . Kodifikasi
KUHP adalah selaras dengan W.V.S. Negeri Belanda. W.V.S.
bersumber dari Code Penal Perancis, dan Code Pnal Perancis
bersumber dari hukum Romawi. Jadi sumber KUHP sebenarnuya dari
hukum Romawi.

Bagan Riwayat Hukum Pidana Indonesia :

PERANCIS CODE PENAL

BELANDA HUKUM HUKUM


PIDANA PIDANA
SEBELUM NASIONAL
1886 1886

DUALISME DALAM HUKUM


1867 PIDANA

INDONESIA ( ORANG (ORANG


UNIFIKASI
EROPA) HUKUM PIDANA )
INDONESIA

99
2. Pengertian Hukum Pidana
Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang
kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum.
Perbuatan tersebut (pelanggaran dan kejahatan) diancam dengan
pidana yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan bagi yang
bersangkutan.
Kejahatan adalah perbuatan pidana yang berat. Ancaman
hukumannya dapat berupa hukuman denda, hukuman penjara dan
hukuman mati, dan kadang kala masih ditambah dengan hukuman
penyitaan barang-barang tertentu, pencabutan hak tertentu serta
pengumuman keputusan hakim.
Pelanggaran adalah prbuatan pidana yang ringan, ancaman
hukumannya berupa denda atau kurungan
Keistimewaan hukum pidana terletak pada daya paksaan
yang berupa ancaman pidana sehingga hukum ini ditaati oleh
setiap individu sebagai subjek hukum.
Semua jenis kejahatan diatur dalam Buku II KUHP. Namun
demikian masih ada jnis kejahatan yang diatur di luar KUHP, yang
dikenal dengan tindak pidana khusus, misalnya tindak pidana
korupsi, subversi, narkotika, tindak pidana ekonomi. Semua
perbuatan pidana yang tergolong pelanggaran diatur dalam Buku
III KUHP ( Daliyo, 1992 : 88-90).

100
Buku II berkepala “kejahatan” terdiri atas 31 titel memuat
kurang lebih 400 pasal tentang perbuatan-perbuatan yang
dinamakan kejahatan, diantaranya terdapat titel-titel yang penting,
seperti :
 Kejahatan terhadap keselamatan negara,
kepentingan negara, pemberontakan, pengkhianatan
 Kejahatan terhadap pelaksanaan kewajiban-
kewajiban dan hak-hak kenegaraan : mengacaukan sidang
parlemen, merintangi pemilihan umum
 Kejahatan–kejahatan terhadap ketertiban umum,
penghasutan untuk berbuat jahat, mengganggu rapat-rapat
umum, perampokan-perampokan
 Kejahatan terhadap kesusilaan: pencabulan,
penjudian, penganiayaan hewan
 Kejahatan-kejahatan terhadap kemerdekaan orang
: penculikan
 Kejahatan-kejahatan terhadap jiwa orang
( pembunuhan )
 Penganiayaan
 Pencurian
 Pemerasan dan ancaman
 Penggelapan
 Penipuan
 Penghinaan
 Kejahatamn jabatan : menerima suapan,
membulka rahasia negara, pemalsuan surat-surat, penggelapan
uang negara ( korupsi )
Buku III berkepala “Pelanggaran” trdiri atas 10 titel memuat
kurang lebih 100 pasal. Titel-titelnya sama dengan Buku II, hanya
perbedaannya ialah “kejahatan” diganti dengan “peknaggaran”,
karena perbuatan-perbuatan yang trsebut dalam Buku III itu
dipandang sebagai perbuatan yang tidak sedemikian jahat seperti
pada kejahatan-kejahatand alam buku II. Beberapa titel penting
dalam buku III :

101
 Pelanggaran terhadap umum: kenakalan terhadap manusia,
hewan atau barang yang dapat membahayakan keselamatan
umum; penjualan makanan dan minuman yang sudah rusak;
berburu tanpa ijin.
 Pelanggaran terhadap ketertiban umum: membuat riuh yang
mengganggu tetangga; pengemisan; memakai pakaian atau
tanda-tanda pangkat yang ia tidak berhak memakainya;
memakai nama atau gelar palsu.
 Pelanggaran terhadap kekuasaan umum: merobek/merusak
pengumuman-penguman dari yang berwajib.
 Pelanggaran terhadap kesusilaan: penyiaran gambar-gambar,
ceritera-ceritera dan lagu-lagu yang tidak senonoh; penjualan
minuman keras tanpa ijin.
 Pelanggaran terhadap keamanan negara: memasuki tempat-
tempat angkatan perang; melalui jalan-jalan lain daripada yang
telah ditentukan.
Jadi pada umumnya, jika pada tiap-tiap hari ada orang yang
ditangkap polisi, lalu ia dituntut oleh jaksa kemudian diadili oleh
hakim, maka orang itu tentu telah berbuat sesuatu yang dilarang
oleh salah satu pasal dari Buku II atau Buku III KUHP, dan
perbuatan mana diancam dengan sesuatu hukuman (pidana).

3. Tujuan Hukum Pidana


Tujuan hukum pidana ada dua macam :
a. Untuk menakut-nakuti setiap orang agar mereka tidak
melakukan perbuatan pidana (fungsi preventif )
b. Untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan yang
tergolong perbuatan pidana agar mereka menjadi orang yang
baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat ( fungsi
represif )
Jadi secara singkat dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum
pidana adalah untuk melindungi masyarakat. Apabila seseorang
takut untuk mlakukan perbuatan tidak baik karena takut dihukum,

102
semua orang dalam masyarakat akan tenteram dan aman.
Sebaliknya jika seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan
karenanya dia dihukum, bila orang itu kemudian sadar setelah
bertobat tidak akan melakukan perbuatan semacam itu lagi, pada
akhirnya masyarakat akan menjadi aman dan tenteram. Oleh
karena itu dapat juga dikatakan bahwa tujuan hokum padana sama
dengan tujuan pemidanaan yaitu melindingi masyarakat.

B. Sistematika Hukum Pidana


KUHP terdiri dari tiga buku, yaitu :
Buku I : Mengatur tentang ketentuan umum terdiri dari 9 bab, tiap
bab terdiri dari berbagai pasal yang jumlahnya 103 pasal
( pasal 1 s.d. 103 )
Buku II : Mengatur tentang kejahatan terdiri dari 31 bab dan 385 pasal
( pasal 104 s.d. 448 )
Buku III : Mengatur tentang pelanggaran terdiri dari 10 bab yang
memuat 82 pasal ( pasal 449 s.d. 569 )

C. Peristiwa Pidana
Piristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict), ialah suatu
perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.
Peristiwa pidana juga berarti suatu kejadian yang mengandung unsur-unsuir
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang sehingga siapa yang
menimbulkan peristiwa itu dapat diknai sanksi pidana (hukuman).
Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sbagai peristiwa pidana
kalau memenuhi unsur-unsur pidananya,seperti :

1. Obyektif
Yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan
mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman
hukum. Adapun yang dijadikan titik utama dari pengertian obyektif
adalah tindakannya.
2. Subyektif

103
Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh
undang-undang. Sifat unsur ini mngutamakan adanya pelaku ( seorang
atau beberapa orang)
Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka kalau ada suatu perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat
dinyatakan sebagai pidana. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai
suatu peristiwa pidana ialah :
a. Harus ada perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok orang
b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-
undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggtungjawabkan. Jadi
perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang
melanggar ketentuan hukum
d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain ketentuan hukum
yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya.

D. Delik-delik Khusus ( Bijondere Delicten )


Ancaman hukuman pidana itu ditujukan terhadap :
1. Jiwa seseorang : pembunuhan yang direncanakan, pembunuhan anak
yang direncanakan, perampasan jiwa atas permintaan si korban,
pengguguran, menimbulkan kematian karena lalai atau kurang
berhati-hati
2. Tubuh : penganiayaan, perkelahian, meninggalkan orang lemah,
penyerangan dan perkelahian, menimbulkan cacat badan karena lalai
kurang berhati-hati, membahayakan jiwa dan keselamatan orang lain.
3. Kemerdekaan pribadi : perdagangan anak, merampas orang,
merampas kemerdekaan orang lain dengan paksaan, mengancam
dengan kejahatan, melarikan anak di bawah umur dari kekuasaan
yang sah.
4. Kehormatan : penghinaan, fitnah, pengaduan yang memfitnah,
penghinaan orang yang telah meninggal

104
5. Benda : pencurian dan penamunan, yaitu pengambilan hasil-hasil
bumi milik orang lain, penggelapan, perusakan kekayaan, penipuan,
membuka rahasia, pelanggaran atas hak pengarang, pelanggaran
HAKI, pelanggaran atas hak merek, hak nama, atau firma
6. TIngkah laku terhadap susunan keturunan dan perkawinan:
penggelapan keturunan, perzinahan
7. Tingkah laku terhadap kesusilaan : perkosaan, perzinahan dan
melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan dengan anak-anak
di bawah umur yang sekelamin dengan orang yang dipercayakan, dan
mlakukan planggaran kesusilaan di depan umum.

E. Pembagian Hukum Pidana


Hukum Pidana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Hukum Pidana Obyektif (Ius Poenale ) ialah keseluruhan peraturan
yang memuat tentang keharusan atau larangan dengan disertai
ancaman hukuman bagi yang melanggarnya. Hukum pidana obyektif
dibedakan lagi menjadi :
a. Hukum Pidana material ialah semua peraturan yang memuat
rumusan tentang :
 Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum
 Siapa yang dapat dihukum
 Hukuman apa yang dapat diterapkan
Hukum pidana material merumuskan tentang pelanggaran dan
kejahatan serta syarat-syarat apa yang diperlukan agar seseorang
dapat dihukum. Hukum Pidana matril dibagi menjadi :
Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang berlaku bagi
smua orang (umum)
Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang berlaku bagi
orang-orang tertentu, sperti anggota TNI atau untukperkara-
perkara tertentu.
b. Hukum Pidana formal adalah peraturan-peraturan hukum yang
menentukan bagaimana cara memelihara dan mempertahankan
hukum pidana material. Jadi hukum pidana formal mengatur

105
antara lain bagaimana menerapkan sanksi terhadap seseorang yang
melanggar hukum pidana material.
2. Hukum Pidana subyektif (ius puniendi) adalah hak negara untuk
menghukum seseorang berdasarkan hukum obyektif. Hak-hak negara
yang tercantum dalam hukum pidana subyektif, misalnya :
 Hak negara untuk memberikan ancaman hukuman
 Hak jaksa untuk menuntut pelaku tindak pidana
 Hak hakim untuk memutuskan suatu perkara

SKEMA PEMBAGIAN HUKUM PIDANA


HUKUM
PIDANA
UMUM

HUKUM PIDANA
MATERIAL
HUKUM
PIDANA
HUKUM PIDANA
KHUSUS
OBYEKTIF

HUKUM PIDANA
HUKUM PIDANA FORMAL

HUKUM PIDANA
SUBYEKTIF

106
F. Macam-macam Perbuatan Pidana ( delik )
Perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok
orang yang menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan yang
melanggar hukum pidana dan diancam dengan hukuman. Perbuatan
pidana dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
1. Perbuatan pidana (delik) formal ialah suatu perbuatan pidana yang
sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan
yang dirumuskan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan.
Contoh :pencurian adalah perbuatan yang sesuai dengan rumusan
pasal 362 KUHP, yaitu mengambil barang milik orang lain dengan
maksud hendak memiliki barang itu dengan melawan hukum.
Dikatakan delik formal bila perbuatan mengambil barang itu sudah
selesai dilakukan dan dengan maksud hendak dimiliki.
2. Delik material adalah suatu perbuatan pidana yang dilarang, yaitu
akibat yang timbul dari perbuatan itu. Contoh : pembunuhan. Dalam
kasus pembunuhan yang dianggap sebagai delik adalah matinya
seseorang yang merupakan akibat dari perbuatan seseorang.
Perbuatannya sendiri dapat dilakukan dengan bermacam-macam
cara.
3. Delik dolus adalah perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja.
Contoh:pembunuhan berencana ( pasal 338 KUHP).
4. Delik Culpa adalah perbuatan pidana yang tidak sngaja, karena
kealpaanya mengakibatkan matinya seseorang. Contoh pasal 359
KUHP.
5. Delik aduan adalah suatu perbuatan pidana yang memerlaukan
pengaduan orang lain. Jadi sebelum ada pengaduan belum
merupakan delik. Contoh : perzinahan, penghinaan.
6. Delik politik adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan
kepada keamanan negara baik secara langsung maupun tidak
langsung. Contoh: pemberontakan akan menggulingkan
pemerintahan yang sah.

G. Kekuasaan Berlakunya KUHP

107
Kekuasaan berlakunya KUHP dapat ditinjau dari dua segi, yaitu
segi positif dan segi negatif. Segi negatif dikaitkan dengan berlakunya
KUHP dengan waktu terjadinya perbuatan pidana. Artinya bahwa KUHP
tidak berlaku surut. Hal tersebut dapat dilihat dari ktentuan pasal 1 ayat
(1) KUHP yang berbunyi :
“Semua perbuatan tidak dapat dihukum selain atas kekuatan
aturan pidana dalam undang-undang yang diadakan sebelum
perbuatan itu terjadi.”
Kekuasaan berlakunya KUHP ditinjau dari segi positif artinya
bahwa kekuasaan berlakunya KUHP tersebut dikaitkan dengan tempat
terjadinya perbuatan pidana. Kekuasaan berlakunya KUHP yang
dikaitkan dengan tempat diatur dalam pasal 2 ayat (9) KUHP.

H. Asas-asas yang terkandung dalam KUHP


1. Asas legalitas berdasarkan adagium nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenale. Artinya tidak ada perbuatan yang dapat
dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Asas ini
nampak dari bunyi pasal 1 ayat (1) KUHP.
2. Asas teritorialitas ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP bagi
semua orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam lingkungan
wilayah Indonesia. Asas ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 dan 3
KUHP. Tetapi KUHP tidak berlaku bagi mereka yang memiliki hak
kekebalan diplomatik berdasarkan asas “ eksteritorialitas”
3. Asas nasional aktif ialah asas yang memberlakukan KUHP terhadap
orang-orang Indonesia yang melakukan perbuatan pidana di luar
wilayah Republik Indonesia. Asas ini bertitik tolak pada orang yang
melakukan perbuatan pidana. Asas ini dinamakan juga asas
personalitet.
4. Asas nasional pasif ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP
terhadap siapapun juga baik WNI maupun WNA yang melakukan
perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi yang diutamakan

108
adalah keselamatan kepentingan suatu negara. Asas ini dinamakan
juga asas perlindungan.
5. Asas universalitas ialah suatu asas yang memberlakukan KUHP
terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia
yang bertujuan untuk merugikan kepentingan internasional. Peristiwa
pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak termasuk
kedaultan negara manapun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut
adalah keselamatan internasional. Contoh: pembajakan kapal di lautan
bebas, pemalsuan mata uang negara tertentu bukan negara Indonesia.

I. Jenis-jenis Hukuman
Jenis-jenis Hukuman dapat dilihat dari ketentuan pasal 10 KUHP.
Pasal 10 KUHP menentukan adanya hukuman pokok dan hukuman
tambahan.
Hukuman Pokok meliputi :
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
Hukuman tambahan meliputi :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan/penyitaan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
Perbedaan antara hukuman pokok dan hukuman tambahan adalah :
Hukuman pokok terlepas dari hukuman lain, berarti dapat dijatuhkan
kepada terhukum secara mandiri.
Hukuman tambahan hanya merupakan tambahan pada hukuman
pokok sehingga tidak dapat dijatuhkan tanpa adanya hukuman pokok
( tidak mandiri ).
Catatan : DPR masih membahas/menggodok RUU KUHP, walaupun
tahun 1776 sudah ada perubahan dan penambahan beberapa
pasal KUHP.
Latihan

109
Diskusikan dalam kelompok tentang asas “ Tidak ada suatu perbuatan yang
dapat dikenai hukuman, kecuali pada saat perbuatan itu dilakukan sudah
ada dasar hukumnya!

BAB VI
HUKUM ACARA

A. Hukum Acara (Hukum Formil)

110
Hukum acara atau hukum formal menunjuk kepada cara bagaimana
peraturan hukum material dipertahankan dan diselenggarakan. Hukum acara
menunjuk cara bagaimana perkara diselesaikan di muka hakim atau alat negara
lain yang diberi tugas menyelesaikan perselisihan hukum. Secara lebih rinci
dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Hukum acara perdata atau hukum pardata formal adalah suatu


rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak
terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus
bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum
perdata.
2. Hukum acara pidana atau hukum pidana formal adalah suatu
rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah
yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus berindak
guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.
3. Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah hukum Acara Perdata yang berhak pada
Pengendalian dalam lingkungan Peradilan Umum. Kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-undang ini.
4. Begitu pula pada hukum Acara Peradilan Militer yang digunakan
dalam proses peradilan mempunyai persamaan dengan hukum acara yang
digunakan Pada Peradilan Umum untuk perkara pidana dengan beberapa
perbedaan sesuai dengan sifat khusus dari Peradilan Militer yang bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perakara pidana
militer.
5. Peradilan Tata Usaha Negara yang bertugas dan berwenang untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tata usaha
negara/administrasi negara.

Secara umum, di dalam masyarakat dikenal dua hukum acara pada


peradilan umum, yaitu:

1. Hukum Acara Perdata

111
2. Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana bagi Pengadilan
Negeri diatur dalam Herzien Inlands Regelement (HIR) atau RIB/D yaitu
Reglemen Indonesia yang dibaharui dan UU RI No. 8 Tahun 1981.

Ada dua macam perkara yang diadukan ke muka sidang di


Pengadilan Negeri, yaitu:

a. Perkara Pidana: Kerena perkara ini mengenai hubungan antara


pemerintah dengan seseorang, maka sidang dihadiri oleh Jaksa/Penuntut
umum sebagai wakil dari pemerintah.
Perkara-perkara yang disidangkan adalah:

1) Pencurian
2) Pencopetan
3) Perampokan
4) Pembunuhan
5) Penggelapan, dan sebagainya.
b. Perkara Perdata: mengenai hubungan antara seseorang dengan yang lain.

1. Proses Beracara di pengadilan

Kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 14


tahun 1970 Pasal 10 ayat (1) adalah kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
pengadilan dalam empat lingkungan peradilan yaitu:

a. Peradilam Umum (yang berwenang menyelesaikan perkara perdata dan


perkara pidana),
b. Peradilan Agama (yang berwenang menyelesaikan perkara perdata di
bidang tertentu atas permohonan orang yang beragama Islam),
c. Peradilan Militer (yang berwenang menyelesaikan perkara pidana
militer/tentara), dan
d. Peradilan Tata Usaha Negara (yang berwenang menyelesaikan perkara tata
usaha negara/administrasi negara).
2. Proses Beracara menyelesaikan perkara perdata

112
Perkara-perkara perdata dapat timbul dalam peselisihan hukum yang
antara lain menyangkut – sebagaimana diatur Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUH Perdata):

a. Tentang orang
Tentang orang antara lain mengenai:

1) perkawinan,
2) hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami dan istri,
3) pembubaran perkawinan,
4) kekeluargaan sedarah dan semenda,
5) kekuasaan orang tua,
6) pengampuan.
b. Kebendaan,
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, mencabut: Buku ke-II Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Indonesia (Hukum Kebendaan) sepanjang yang
mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya,
kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku
pada mulai berlakunya undang-undang ini.

c. Perikatan
Tentang perikatan antara lain:

1) yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan,


2) yang dilahirkan demi undang-undang,
3) jual-beli,
4) tukar-menukar,
5) sewa menyewa,
6) perseroan,
7) perkumpulan,
8) hibah,
9) pemberian kuasa,
10) penanggungan.
d. Pembuktian dan daluwarsa.
Tentang pembuktian dan daluwarsa mengenai;

113
1) pembuktian dengan tulisan,
2) pembuktian dengan saksi-saksi,
3) pembuktian persangkaan,
4) pembuktian pengakuan,
5) pembuktian dengan sumpah di muka hakim,
6) pembuktian karena daluwarsa.
7) Pembuktian keyakinan hakim setelah meninjau ke lapangan (objek
yang disengketakan)
Proses beracara menyelesaikan perkara perdata yang berada dalam
pemeriksaan di muka hakim yang pada umumnya selalu sekurang-
kurangnya ada dua pihak yang berhadapan satu sama lain yaitu penggungat
dan tergugat. Penggugat adalah pihak yang mulai membikin perkara,
sedangkan tergugat adalah pihak yang oleh penggugat ditarik di muka
penadilan. Namun, ada kalanya orang mohon satu putusan dari hakim
dengan tidak menarik orang lain di muka hakim. Misalnya seorang mohon
kepada pengadilan Negeri, supaya ia ditetapkan sebagai wali dari seorang
yang belum dewasa. Atau seorang meninggal dunia mempunyai uang
simpanan disuatu Bank, para ahli waris mohon penetapan dari Pengadilan
Negeri tentang siapa yang menjadi ahli waris.

Menurut pasal 1866 KUH Perdata, alat-alat bukti (lima jenis alat
bukti) yang dapat digunakan dalam proses pemeriksaan perkara perdata
yaitu bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan,
pengakuan, dan sumpah.

Pihak-pihak yang hadir dalam proses persidangan perkara perdata


di Pengadilan Negeri secara lengkap meliputi penggugat, tergugat, hakim,
penasihat hukum, dan panitera. Di samping itu, hadir saksi-saksi dan ahli
untuk memberikan keterangan, dan kemungkinan juga hadir seseorang
untuk keperluan alih bahasa. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:

a. Pejabat yang menyelesaikan perkara perdata di Pengadilan Negeri, yaitu:

1) Hakim, yang memeriksa, mengadili dan


memutus perkara.

114
2) Panitra/Panitera Pengganti, yang diangkat oleh
Menteri Kehakiman, dalam tugasnya dibantu oleh beberapa orang
Panitera Pengganti yang diangkat oleh Ketua Pengadilan. Tugas
Panitera-panitera (PP), ialah mengikuti semua sidang serta
musyawarah Pengadilan dan mencatat dengan teliti semua hal yanga
dibicarakan. Ia harus membuat berita acara sidang dan bersama-sama
menandatangani dengan ketua sidang. Berita acara ini merupakan
dasar untuk membuat keputusan.
b. Pihak-pihak yang berperkara:

1) Penggugat/ Kuasanya
2) Tergugat/Kuasanya
3) “Objek yang dipermasalahkan”
c. Petitum (Permohonan) Tergugat suapaya dikabulkan/diputuskan oleh
Hakim.

Baik penggugat maupun tergugat dapat lebih dari pada satu orang.
Bila penggugatnya adalah masyarakat, maka dapat mewakilkan dengan
nama gugatan perwakilan (Class Action), dasarnya adalah Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tanggal 26 april Tahun 2002
Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Mahkamah Agung mendefinisikan gugatan perwakilan kelompok


sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan untuk dirinya sendiri dan
sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlah banyak, yang memiliki
kesamaan fakta dan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota
kelompoknya.

Oleh karena itu gugatan perwakilan kelompok merupakan hal baru


dalam dalam dunia peradilan kita, wajarlah apabila timbul pertanyaan
seluas dunia peradilan kita, wajarlah apabila timbul pertanyaan seluas apa
jangkauan Perma No. 1/2002 itu? Apakah hanya mencakup masalah-
masalah Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 23 Tahun 1997),
Perlindungan Konsumen (UU No. 8 tahun 1999), dan Kehutanan (UU No.
41 Tahun 1999)?

115
Jadi gugatan perwakilan kelompok dapat diajukan dalam kasus
apapun yang membawa kerugian bagi banyak orang misalnya tabrakan
kereta api.

Dengan diundangkannya:

 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup,
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, dan
 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan .
Maka dimulailaah fase baru dalam dunia peradilan kita, yakni
dimungkingkannya Guagatan Perwakilan Kelompok atau Class Action.
Di dalam UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan (Pasal 37 ayat (1)) bahwa:
“Yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan adalah hak
kelompok kecil masyarakat untuk mewakili masyarakat dalam jumlah
besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum
dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup”.

Sementara itu UU No. 8 Tahun 1999 menyatakan (Pasal 46 ayat (1))”


“Gugatan atau pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

 Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan


 Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
 Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Sedangkan UU No. 41 Tahun 1999 dalam Pasal 71 disebutkan bahwa:

 Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan


dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan
yang merugikan kehidupan masyarakat.
 Hak mengajukan …. dst.
Jadi ketiga UU tersebut sama sekali belum menyinggung masalah
acara atau proses memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan oleh

116
perwakilan kelompok oleh karena itu keluarlah Peraturan Mahkamah
Agung No. 1 tahun 2002 (Krisna Harahap, 2003:35-38).

Coba Anda camkan betul kasus “Class Action” berukut ini

Salah satu contoh peristiwa Longsor Gunung Mandalawangi, Kecamatan


Kadungora Kabupaten Garut, yang menimpa Desa Mandalasari;
Kampung Bojong jambu dan kampung Sindang Sari, dan Desa Karang
Mulya; Kampung Buniaten dan Kampung Babakan Nenggeng. Perwakilan
dari mereka (9 Orang) yang merasa dirugikan mengajukan Gugatan
Perwakilan (Class Action) ke Pngadilan Negeri kelas I Bandung, melalui
Kuasanya tanggal 04 Februari 2003. Gugatan mereka ditujukan kepada:

 Direksi Perum Perhutani, Cq. Kepala Unit Perum Perhutani


Unit III Jawa Barat (Tergugat I)
 Pemerintah RI Cq. Presiden RI (Tergugat II)
 Pemerintah RI Cq. Presiden RI Cq. Menteri Kehutanan RI
(tergugat III)
 Pemeritah Daerah Tk. I Propinsi Jawa Barat Cq. Gubernur
Propinsi Jawa barat (Tergugat IV)
 Pemerintah Daerah Tk. II. Kab. Garut Propinsi Jawa Barat
Cq. Bupati Garut (Tergugat V).
Adapun urutan proses pemeriksaan perkara perdata mulai Tingkat
Pertama (di Pengadilan Negeri), Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi), dan
Tingkat Terakhir (di Mahkamah Agung) sebagai beriktu:

1) Surat Gugatan
2) Jawaban Gugat
3) Replik
4) Duplik
5) Pembuktian
6) Tanggapan Terhadap Alat-alat Bukti
7) Musyawarah Majelis Hakim
8) Putusan Pengadilan Negeri
9) Banding
10) Putusan Pengadilan Tinggi

117
11) Kasasi
12) Putusan Mahkamah Agung
13) Peninjauan Kembali (PK)
14) Gugatan Pihak Ketiga

3. Proses Beracara Menyelesaikan Perkara Pidana

Perkara-perkara pidana dapat timbul dalam hal seseorang melakukan


tindak pidana (delict), yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana
dilarang dan diancam dengan hukuman pidana bagi yang melanggar
larangan tersebut. Tindak pidana merupakan perbuatan yang melawan
hukum dan mrugikan masyarakat. Yang memastikan suatu perbuatan sebagai
tindak pidana yakni perbuatan itu dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya
diancam dengan hukuman pidana.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan-


perbuatan yang dilarang tadi dikelompokan ke dalam dua kelompok yaitu
kejahatan dan pelanggaran. Perbuatan-perbuatan yang dimasukkan ke dalam
kelompok kejahatan antara lain mengenai keamanan negara, melanggar
martabat kedudukan Presiden dan Wakil Presiden, ketertiban umum,
kekuasaan umum, sumpah palsu dan keterangan palsu, memalsukan mata
uang, memalsukan materai dan merek, memalsukan surat-surat, penghinaan,
membuka rahasia, penganiayaan, pencurian, pemeriksaan dan ancaman,
penggelapan, penipuan. Perbuatan-perbuatan yang dimasukkan ke dalam
kelompok pelanggaran antara lain mengenai ketertiban umum, kekuasaan
umum, kesopanan.

Apabila suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut aturan


hukum pidana material merupakan perbuatan yang diancam dengan
hukuman pidana, maka timbullah soal cara begaimana hak atau wewenang
menyidik (kepolisian), menuntut (kejaksaan) dan mengadili (pengadilan) dari
badan pemerintah yang berwenang harus dijalankan guna mencapai tujuan
negara dengan mengadakan hukum pidana.

Dalam hal badan pemerintahan yang berwenang menjalankan


tugasnya – guna pemberian perlindungan terhadap keluhuran harkat dan

118
martabat manusia – harus didasarkan pada asas-asas (10 asas) hukum acara
pidana sebagaimana dapat dijumpai dalam penjelasan umum Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau lazim disebut
juga Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP):

a. Perlakukan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi
wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara
yang diatur dengan undang-undang.
c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
(presumtion of innocence) sampai adanya putusan Pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan/atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, wajib diberi
ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat
penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, dan/atau
dikenakan hukuman administrasi.
e. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya
ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara
konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang wajib semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
g. Kepada seorang tersangka, sejak saat penangkapan dan/atau
penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang
didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak
untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum.
h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.

119
i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali
dalam hal yang diatur dalam undang-undang.
j. Pengawasan pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara pidana
dilakukan oleh ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Menurut Pasal 184 ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981
(KUHAP), alat-alat bukti (lima jenis alat bukti) yang dapat digunakan dalam
proses pemeriksaan perkara pidana yaitu keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Pihak-pihak yang hadir dalam proses persidangan perkara pidana di


Pengadilan Negeri secara lengkap meliputi terdakwa, jaksa selaku penuntut
umum, hakim, penasihat hukum, dan panitera. Di samping itu, hadir saksi-
saksi dan ahli untuk memberikan keterangan, dan kemungkinan juga hadir
seseorang untuk keperluan alih bahasa. Jaksa selaku penuntut umum hadir di
dalam persidangan perkara pidana di Pengadilan Negeri mewakili
pemerintah (eksekutif) dari Kejaksaan Negeri pada tingkat Pemerintah
Kota/Kabupaten yang memiliki tugas dan wewenang penyidikan tidak hadir
dalam pesidangan perkara pidana karena tugasnya selesai pada tahap
penyidikan tadi dan proses penuntutannya diserahkannya kepada Kejaksaan
Negeri pada tingkat Pemerintahan Kota/Kabupaten. Adapun rinciannya
sebagai berikut:

a. Pejabat yang menyelesaikan perkara pidana di Pengadilan


Negeri, yaitu:
1) Jaksa Penunut Umum (JPU)
2) Hakim
3) Panitra/Panitra Pengganti
b. Pihak-pihak yang terlibat, yaitu:

1) Saksi/Tersangka/Terdakwa

2) Penasihat hukum (pembela)

c. Agar Pengadilan memutuskan/menghukum pihak yang salah secara adil,


berdasarkan praturan yang berlaku.

120
Selanjutnya dapat dilihat skema Proses pemeriksaan Perkara Pidana sebagai
berikut:

I. NEGARA KEJAKSAAN PENGADILAN


MASYARAKAT

II. Lembaga/
KEPOLISIAN KEJAKSAAN PENGADILAN
Instansi
PEMERIKSAAN HAKIM

Proses PENYIDIKAN PENUNTUTAN

III. TINDAK PIDANA


PENYIDIK
DI INSTANSI PNS
PENYELDIK
POLISI

TINDAK PIDANA PENYIDIK


PENYELIDIK PEMBANTU (POLISI)
DI MASYARAKAT

Sumber: Husni Thamrin (Pokok-Pokok Sistem Struktur dan Proses Acara Pidana dan
Perdata)

GARIS BESAR PROSES PERADILAN PIDANA

KEPOLISIAN kejaksaan PENGADILAN


INSTANSI

KEJAKSAAN
PENYELI PENYI PENUNTUTAN PEMERIKSAAN
PROSES DIKAN DIKAN HAKIM

PENYE PENYI PENUNTUT HAKIM


LIDIK DIK
121 UMUM
PEMERIKSA

TEMUAN LAPORAN PENGADUAN

PETUGAS

YANG DIPERIKSA TERSANGKA TERDAKWA

Sumber: Husni Thamrin (Pokok-Pokok Sistem Struktur dan Proses Acara Pidana dan
Perdata)

Proses Pemeriksaan

POLRI KEJAGUNG MAHKAMAHAG

UNG

POLDA
LAPORAN KEJATI PENGADILAN

POLRES TINGGI

122
KEJARI PENGADILAN
POLSEK/ TA
NEGERI

PENYELIDIKAN & PENUNTUTAN PEMERIKSAAN


PENYIDIKAN HAKIM

Sumber: Husni Thamrin (Pokok-Pokok Sistem Struktur dan Proses Acara Pidana dan
Perdata)

5. Proses Beracara Menyelesaikan Perkara Perdata di Bidang Tertentu Atas


Permohonan Orang Yang Beragama Islam

Perkara-perkara perdata di bidang tertentu atas permohonan orang yang


beragama Islam (kedua pihak harus beragama islam) kepada Pengadilan Agama
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikannya – berdasarkan Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Islam – meliputi bidang
perkawinan, bidang kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam; serta bidang wakaf dan shadaqah. Tugas dan wewenang
Pengadilan Agama di bidang perkawinan diatur dalam Undang Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan. Untuk bidang kewarisan, wasiat, hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam diatur dalam Undang Undang Nomor 7
Tahun 1989 itu. Bagitu pula mengenai bidang wakaf dan shadaqah berdasarkan
hukum positif Indonesia Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tadi merupakan
tugas wewenang Pengadilan Agama untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikannya bila timbul perselisihan atau perkara menyangkut hal itu.

Pihak-pihak yang hadir dalam proses persidangan perkara perdata di


bidang tertentu atas permohonan orang yang beragama Islam di Pengadilan
Agama secara lengkap meliputi penggugat, tergugat, hakim, penasihat hukum,
dan panitera. Di samping itu, hadir saksi-saksi dan ahli untuk memberikan
keterangan, dan kemungkinan juga hadir seseorang untuk keperluan alih bahasa.

123
Menurut Penjelasan UU RI No. 7 Tahun 1989 Pengadilan Agama
merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakap, dan sodaqoh berdasarkan
hukum Islam.

Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat banding


terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan merupakan
pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa mengadili antara-
Pengadilan Agama di daerah hukumnya.

Adapun rincian adalah sebagai berikut:

a. Pejabat yang menyelesaikan Perkara Perdata tertentu (Agama) di Pengadilan


Agama yaitu:

1) Hakim
2) Panitera/Wakil Panitera
b. Pihak-pihak yang terlibat, yaitu

1) Penggugat
2) Tergugat
c. Agar hakim memutuskan/mengabulkan permohonan Penggugat (Petitum)

Baik penggugat atau tergugat termasuk orang-orang yang beragama Islam


yang menyelesaiakan perkata-perkara di bidang perkawinan/perceraian,
kewarisan, wasiat. hibah, wakap, dan shodaqoh berdasarkan hukum Islam.

Untuk lebih jelasanya dapat dilihat salah satu proses penyelesaian perkara
perdata tententu di bidang agama, yaitu tentang perkawinan, talaq, ruju’,
perceraian, dan perceraian dengan banding seperti gambar berikut ini:

124
125
126
6. Proses Beracara Menyelesaikan Perkara Pidana Militer

Badan peradilan militer merupakan badan peradilan pidana militer. Yang


masuk dalam kewenangan lingkungan peradilan militer yaitu orang yang pada saat
melakukan tindak pidana adalah anggota militer/tentara atau anggota angkatan
bersenjata RI, orang yang menurut Undang-undang dan Peraturan Pemerintah
ditetapkan sama dengan anggota militer/tentara atau anggota angkatan bersenjata
RI, anggota suatu golongan atau jawatan yang dipersamakan atau dianggap anggota
militer/tentara atau anggota angkatan bersenjata RI, serta ‘orang lain” yang
ditetapkan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia harus diadili dalam lingkungan peradilan militer. Yang dimaksud
dengan “orang lain” yang harus diadili dalam lingkungan peradilan militer tersebut
lazim dikenal dengan perkara koneksitas yang diatur Pasal 89 sampai dengan Pasal
94 Undang Undang Nomor 8 tahun 1981 (KUHAP). Yang dimaksud dengan tindak
pidana koneksitas ialah tindakan pidana yang dilakukan oleh seorang sipil atau
lebih bersama-sama dengan seorang atau lebih anggota militer/tentara atau
angkatan bersenjata RI, di mana orang sipil seharusnya diadili oleh peradilan militer.
Dengan adanya aturan mengenai koneksitas, maka perkara itu dapat diadili oleh
peradilan umum dan anggota militer/tentara atau anggota bersenjata RI seharusnya

127
diadili oleh peradilan militer. Dengan adanya aturan mengenai koneksitas, maka
perkara itu dapat diadili oleh peradilan umum atau peradilan militer tergantung
dari titik berat dari perkara tadi. Tindak pidana militer tersebut dapat digolongkan
ke dalam tindak pidana biasa, tindak pidana subvers, dan tindak pidana ekonomi.

Pihak-pihak yang hadir dalam proses persidangan perkara pidana militer di


Mahkamah Militer secara lengkap meliputi terdakwa militer/sipil, oditur militer,
hakim militer, penasihat hukum, dan panitera. Di samping itu, hadir saksi-saksi dan
ahli untuk memberikan keterangan, dan kemungkinan juga hadir seorang untuk
keperluan alih bahasa.

Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:

a. Pejabat yang menyelesaikan Perkara Pidana Militer di Pengadilan Militer dan


Pengadilan Militer Tinggi, yaitu:

1) Hakim
2) Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi
3) Panitera
b. Pihak-pihak yang terlibat, yaitu

1) Tersangka/terdakwa/terpindana
2) Penasihat hukum
c. Agar supaya Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi memutuskan dan
memberi sanksi kepada terpidana secara adil.

Selanjutnya dapat dilihat skema Proses Perkara Pidana Militer sebagai


berikut:

128
PROSES SAI PERKARA PIDANA

HAKIM DISIPLIN SKEP KEMBALI KE


ANKUM U/DI
PLINKAN

ANKUM
TUPRA MAHMIL
EKSEKUSI MASMIL

USUL TUPRA
DEMI KEPT
PELAKU TP
KAP 3AP -PH -UMUM
POM PAPERA
-HUKUM PANG TNI
-BAPAT
OTMIL
-MILITER

SARAN
RIK TP -PLIN DITKUMAD
-TUP
IDIK GAR
-SIDANG

7. Proses Beracara Menyelesaikan Perkara Tata Usaha Negara

Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara berwenang


memeriksa, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara/administrasi negara.
Yang dimaksud dengan sengketa tata usaha negara ialah sengketa yang timbul
dalam bidang tata usaha negara, antara orang atau badan hukum perdata dengan
badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara termasuk sengketa
kepegawaian. Adapun yang dimaksud dengan keputusan tata usaha negara –
berdasarkan Pasal 1 butir “3” Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara – ialah suatu penetapan tertulis (beschikking), yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum
tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.

129
Sengketa tata usaha negara ialah sengketa yang timbul di bidang tata usaha
negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara, akibat dikeluarkannya suatu keputusan/penetapan tertulis tata
usaha negara. Jadi, yang dapat digugat di Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara karena Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang dapat mengeluarkan suatu keputusan tata usaha
negara. Sementara itu, yang berhak menggugat atau yang menjadi penggugat adalah
orang atau badan hukum perdata, yang merasa dirugikan karena dikeluarkannya
suatu keputusan tata usaha negara oleh Badan atau pejabat tata usaha Negara yang
bersangkutan.

Oleh karena sengketa Tata Usaha Negara itu selalu berkaitan dengan
dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara, maka satu-satunya pihak yang
dapat digugat di Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adaah
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Tata Usaha Negara adalah Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara. Berdasarkan hal ini, maka dalam Acara Peradilan Tata
Usaha Negara tidak dikenal adanya gugat balik atau gugat rekonvensi, atau dengan
perkataan lain seorang Pejabat Tata Usaha Negara yang merasa dirugikan moril
ataupun material karena adanya gugatan dari seorang atau badan hukum perdata,
tidak dapat mengajukan gugat balik atau gugat rekonvensi. Hal ini disebabkan
sengketa Tata Usaha Negara berkenaan dengan masalah sah atau tidaknya suatu
keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara.

Sengketa mengenai kepentingan hak, termasuk hak menuntut ganti rugi


tidak termasuk wewenang Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya.
Seorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
Pengadilan yang berwenang, berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang
disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan yaitu
keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang belaku, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada
waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan
lain dari maksud diberikannya wewenang itu, serta Badan atau Pejabat Tata Usaha

130
Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan
tersebut.

Untuk lebih rincinya adalah sebagai berikut:

a. Pejabat yang menyelesaikan Perkara Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata


Usaha Negara:
1) Hakim
2) Panitera Pengganti
3) Pihak ketiga
b. Pihak-pihak yang terlibat, yaitu
1) Penggugat (orang atau Badan Hukum)
2) Tergugat (Pejabat atau Badan TUN)
c. Agar Hakim dapat mengambulkan permohonan Penguggat yaitu membatalkan
Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat/Badan Tata Usaha Negara.
Masalah yang disengketakan adalah Suarat Keputusan yang dikeluarkan oleh
Pejabat/ Badan TUN.

Selanjutnya dapat dilihat skema proses perkara Tata Usaha Negara berikut
ini:

131
132
Latihan :
Silahkan saudara membentuk kelompok-kelompok untuk mensimulasikan
sidang pengadilan dengan perkara : pidana, perdata, tata uasa Negara, militer
dan agama!

133
BAB VII
POKOK-POKOK HUKUM DAGANG

A. Istilah Hukum Dagang


Hukum dagang merupkan terjemahan dari istilah Handelsrecht
(bahasa Belanda) yang juga diterjemahkan menjadi hukum perniagaan.
Dua istilah tersebut digunakan oleh Negara-negara yang mengikuti
system civil law. Ada istilah lain lagi untuk menerjemahkan Handelsrecht
tersebut, yaitu hukum komersial atau Commercial law. Istilah Commercial
law (bahasa Inggris) tidak biasa digunakan oleh Negara-negara civil law
(antara lain Indonesia), termasuk oleh fakultas-fakultas hukum di
Indonesia.
Istilah Commercial law lebih sering digunakan di Negara-negara
Common law dan oleh fakultas ekonomi. Sedangkan, istilah “dagang”
merupakan istilah ekonomi; bukan istilah hukum. Istilah ini mempunyai
pengertian ialah segala perbuatan perantara yang meliputi perbuatan
membelikan atau menjualkan barang untuk memudahkan hubungan
antara produsen dan konsumen serta untuk memajukan pembelian dan
penjualan itu sendiri. Pada prinsipnya, perdagangan adalah perbuatan
perantara kepada produsen dan konsumen yang jenis-jenisnya sebagai
berikut:
1. Pembentukan persekutuan perniagaan atau badan-badan usaha seperti
firma, CV, dan PT untuk memajukan perdagangan.
2. Pengangkutan untuk kepentingan perniagaan, baik di darat, laut,
maupun udara (Buku II KUHD).
3. Penyelenggaraan asuransi atau pertanggungan (Buku I KUHD) agar
pedagang dapat menutup risiko, misalnya atas pengangkutan barang
dengan asuransi.
4. Perantara melalui perbankan sebagai salah satu sumber pembiayaan.

B. Sumber-Sumber Dan Sistematika Hukum Dagang

134
Hukum dagang Indonesia terutama bersumber pada (diatur dalam):
1. Hukum tertulis yang dikodifikasikan:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van
Koophandel Indonesia (W.K.).
b. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk
Wetboek Indonesia (B.W.).
2. Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yakni peraturan-
peraturan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan
dengan perdagangan.
KUHD yang mulai berlaku di Indonesia pada 1 Mei 1848 terbagi
atas dua Kitab dan 23 bab: Kitab I terdiri dari 10 bab dan Kitab II terdiri
dari 13 bab. Isi pokok daripada KUHD Indonesia itu ialah:
a. Kitab Pertama berjudul: Tentang Dagang Umumnya, yang memuat:
Bab I : dihapuskan (menurut Stb. 1938/276 yang mulai berlaku
pada 17 Juli 1938, Bab I yang berjudul: “Tentang pedagang-pedagang
dan tentang perbuatan dagang”yang meliputi pasal 2, 3, 4, dan 5 telah
dihapuskan).
Bab II : Tentang pemegang buku.
Bab III : Tentang beberapa jenis perseroan.
Bab IV : Tentang bursa dagang, makelar dan kasir.
Bab V : Tentang komisioner, ekspeditur, pengangkut dan tentang
juragan-juragan perahu yang melalui sungai dan
perairan darat.
Bab VI : Tentang surat wesel dan surat order.
Bab VII : Tentang cek, tentang promes dan kwitansi kepada
pembawa.
Bab VIII : Tentang reklame atau penuntutan kembali dalam hal
kepailitan.
Bab IX : Tentang asuransi atau pertanggungan seumumnya.
Bab X : Tentang pertanggungan (asuransi) terhadap bahaya
kebakaran, bahaya yang mengancam hasil-hasil
pertanian yang belum dipenuhi dan pertanggungan jiwa.

135
b. Kitab kedua berjudul: Tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban
yang Terbit dari Pelayaran, yang memuat Hukum Laut:
Bab I : Tentang kapal-kapal laut dan muatannya.
Bab II : Tentang pengusaha-pengusaha kapal dan perusahaan-
perusahaan perkapalan.
Bab III : Tentang nahkoda, anak kapal dan penumpang.
Bab IV : Tentang perjanjian kerja laut.
Bab V A : Tentang pengangkutan barang.
Bab V B : Tentang pengangkutam orang.

Hal-hal yang diatur dalam kitab/buku III KUHS ialah mengenai


Perikatan umumnya dan perikatan-perikatan yang dilahirkan dari
persetujuan dan undang-undang seperti:
a. persetujuan jual-beli (contract of sale)
b. persetujuan sewa menyewa (contract of hire)
c. persetujuan pinjaman uang (contract of loan)
Dalam hukum dagang selain diatur dalam KUHD dan KUHS juga
terdapat dalam berbagai peraturan-peraturan khusus (yang belum
dikodifikasikan) seperti misalnya:
a. Peraturan tentang Koperasi
b. Peraturan Pailismen (Stb. 1905/217 yo. Stb. 1908/348)
c. Undang-undang Oktroi (Stb. 1922/54)

C. Sejarah Hukum Dagang


Hukum dagang yang dikodifikasikan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang berlaku sejak 1 Mei 1848 dan hingga kini
merupakan hukum positif Indonesia. Sebagaimana hukum perdata,
hukum dagang berasl dari negeri Belanda yang dberlakukan di Indonesia
karena Indonesia dijajah Belanda. Semula, hukum dagang berlaku hanya
untuk golongan Eropa saja dan kemudian baru untuk golongan Timur
Asing. Belakangan, hukum ini berlaku untuk Indonesia. Sejak tahun 1993,
beberapa hal yang diatur dalam KUHD diperbarui dengan peraturan

136
setingkat Undang-undang. Pembaruan ini dilakukan untuk menjawab
tuntutan kebutuhan masa kini, seperti kebutuhan pengaturan tentang
bursa (ketentuan barunya dalam UU NO. 8 tahun 1995 tentang Pasar
Modal), dan masih banyak lagi ketentuan-ketentuan baru lainnya.
Adapun hal-hal yang diatur dalam KUHD adalah sebagai berikut:
 Perniagaan pada umumnya.
 Pembukuan.
 Beberapa macam perseroan/badan usaha.
 Bursa.
 Komisioner, dll

D. Hubungan Hukum Dagang Dan Hukum Perdata


Hubugan kedua hukum ini seperti genus (umum) dan specialis
(khusus). Dengan perkataan lain KUHD merupakan suatu Lex Specialis
terhadap KUHS sebagai Lex Generalis; maka sebagai Lex Specialis, kalau
andaikata dalam KUHD terdapat ketentuan mengenai soal yang dapat
aturan pula dalam KUHS, maka ketentuan mengenai soal yang dapat
aturan pula dalam KUHS, maka ketentuan dalam KUHD itulah yang
berlaku.
Adapun pendapat beberapa sarjana hukum lainnya tentang
hubungan kedua hukum ini antara lain adalah sebagai berikut:
a. Van Kan beranggapan, bahwa Hukum Dagang adalah suatu tambahan
Hukum Perdata yaitu suatu tamabahan yang mengatur hal-hal yang
khusus. KUHS menurut Hukum Perdata dalam arti sempit, sedangkan
KUHD memuat penambahan yang mengatur hal-hal khusus hukum
perdata dalam arti sempit itu.

b. Van Apeldroon menganggap Hukum Dagang suatu bagian istimewa


dari lapangan Hukum Perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam
Kitab III KUHS.

c. Sukardono menyatakan, bahwa pasal 1 KUHD “memelihara kesatuan


antara Hukum Perdata Umum dengan Hukum Dagang….sekedar
KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS.”

137
d. Tirtaamijaya menyatakan, bahwa Hukum Dagang adalah suatu
Hukum Sipil yang istimewa.

Latihan :
Diskusikan dengan teman sekelompok mengenai pemisahan hukum perdata
dari hukum dagang!
Masalah-masalah perdagangan internasional dampaknya pada perdagangan
nasional

LATIHAN UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

BAGIAN I
PETUNJUK !
Jawablah semua pertanyaan di bawah ini dengan cara memilih dan memberi
tanda silang (X) pada huruf alternatif jawaban yang tersedia !
1. Sebelum norma hukum berlaku di masyarakat, norma-norma apa sajakah
yang telah hidup dan berkembang di masyarakat…
a. norma agama c. norma agama, susila, dan adat
b. norma susila d. norma adat

2. Kapankah kitab undang-undang Hukum Romawi (KUH-Romawi) dibuat :


a. Pada masa Caisar Yustinianus c. Pada masa Plato
b. Pada masa Napoleon d. Pada masa Aristoteles
3. Mempelajari hukum dalam arti “theoritische Receptie”adalah…

138
a. hukum dipelajari secara ilmiah
b. hukum dipelajari secara praktis di masyarakat
c. hukum dikaji dari segi-segi teoritis
d. hukum dipelajari secara tata hukum dalam kehidupan ketatanegaraan
4. Apa tujuan hukum menurut Van Apeldoren…
a. mempertahankan perdamaian
b. menjamin adanya kebahagiaan yang besar
c. menjamin kepastian hukum
d. mengatur masyarakat secara damai

5. Apa yang menjadi alasan orang mentaati hukum (menurut filsafat hukum)

a. perlunya ketentraman dalam masyarakat
b. agar tidak terasing
c. agar tidak terjadi konflik
d. meminimalisir tindakan kejahatan
6. Undang-undang menurut Utrecht adalah….
a. peradilan
b. kebisaan, undang-undang, traktat
c. undang-undang; kebiasaan;trakta; yurispudensi; doktrin; dan agama
d. dokrin dan agama
7. Perancis, Belanda, Jerman, Inggris dalam mempelajari dan menyelidiki
hukum Romawi melalui berbagai cara, yaitu …..
a. Teoritis, Praktis, ilmiah, Tata Hukum.
b. Praktis, Ilmiah, Tata Hukum, Transfer.
c. Teoritis, ilmiah, Transfer, Praktis.
d. Teoritis, Praktis, Transfer, Tata Hukum
8. Seorang perempuan tidak boleh kawin lagi sebelum lewat…hari setelah
perkawinan di putuskan.
a. 100 hari c. 200 hari
b. 150 hari d. 300 hari

139
9. Badan hukum adalah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa atau lebih
tepat yang bukan manusia. Konsep tersebut di kemukakan oleh…
a. Utrecht c. Van Apeldorn
b. Subekti d. Bellproid
10. Kedudukan badan hukum sebagai subyek hukum tidak tercantum dalam
KUH Perdata akan tetapi hanya ada dalam …
a. BW c. Buku I KUH Perdata
b. KUH Perdata d. KUH Pidana
11. Kapankah suatu undang-undang dapat berakhir…
a. jika sudah tidak ditaati lagi oleh masyarakat
b. ditentukan oleh penguasa
c. kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat
d. dicabut/dihapus oleh UU yang baru
12. Hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu
adalah……..
a. Hukum Positif
b. Hukum Asasi
c. Hukum Alam
d. Ius Constituendum
e. Ius Constituendum dan Constitutum
13. Yang termasuk tujuan mempelajari tata hukum…
a. Mengetahui perbuatan menurut hukum dan bertentangan dengan
hukum
b. Untuk menjamin adanya kepastian hukum
c. Untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya
d. Untuk mengetahui hukum yang berlaku di masyarakat
e. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum
14. Tata hukum Hindia Belanda dinyatakan dengan………
a. A.B. ( Algemene Bepaling van wetgeving voor Indonesia)
b. IS (Indisehe Staatsregeling)
c. RRC (Regerings Regement)
d. Regerings verordening

140
15. Tujuan dari Tata Hukum adalah…
a. Menjamin kepastian hukum
b. Mempertahankan dan melaksanakan tata tertib di masyarakat
c. Mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya
d. Menjaga peraturan hukum
16. Hukum yang mengatur cara negara atau alat-alat perlengkapan negara
hendaknya bertingkah laku dalam menjalankan tugasnya itu adalah…
a. Hukum Tata Negara
b. Hukum Administrasi Negara
c. Hukum Peradilan
d. Hukum Pidana
17 Asar hukum dari kodifikasi itu tercantum dalam pasal ..
a. Pasal 75 ayat 1 RR b. Pasal 15 RR
c. Pasal 76 ayat I RR d. Pasal 102
18. Yang bukan termasuk kedalam jenis peraturan organik..
a. Ordonnantie
b. Locale verordening
c. Regerings verordening
d. Peraturan peralihan
19. Asas Konkordansi adalah…
a. Asas pembanding
b. Asas golongan
c. Asas antar golongan
d. Asas keselarasan/ persamaan
20. Bagaimanakah kondisi dan keadaan hukum perdata di Indonesia saat ini
…..
a. Berkembang dengan pesat sesuai dengan perubahan zaman sekarang
ini.
b. Hukum perdata tidak berkembang karena mempunyai sanksi yang
tidak tegas.

141
c. Adanya keseragaman tentang pembagian penduduk di Indonesia yang
mengakibatkan hukum perdata mempunyai sanksi yang tegas.
d. Keadaan hukum perdata di Indonesia dari dahulu dengan sekarang
tidak ada keseragaman (Plunarisme), dikarenakan adanya kebijakan
tentang pembagian penduduk di Indonesia.
21. Politik hukum pemerintah Belanda yang tertulis dalam pasal 131 IS, yaitu
kecuali …
a. Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-
undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang
berlaku bagi mereka, yaitu Hukum adat.
b. Hukum perdata dan dagang (begitu pula Hukum pidana beserta
Hukum acara perdata dan Pidana ) tidak harus diletakkan dalam kitab-
kitab undang-undang yang dikodifisir.
c. Orang Indonesia asli dan Timur Asing sepanjang mereka belum di
tundukkan di bawah peraturan bersama dengan bangsa eropa,
diperbolehkan menundukkan diri (Onderwepen)
d. Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan timur asing (tionghoa, arab
dsb) jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka
menghendakinya, dapat menggunakan peraturan yang berlaku bagi
golongan Eropa.
22. Selain melalui kebijakan hukum juga dikenal adanya penundukkan diri.
Penundukkan diri sebagaimana diatur dalam stb. 1917 no 12 yaitu
KECUALI
a. Penundukkan diri secara langsung.
b. Penundukkan diri pada seluruh Hukum Perdata Eropa.
c. Penundukkan diri mengenai suatu perbuatan hukum tertentu.
d. Penundukkan diri pada sebagaian hukum Perdata Eropa
23. Kapankah Tata Hukum Indonesia ditetapkan oleh masyarakat hukum
Indonesia yang kemudian ditetapkan oleh Negara Indonesia…..
a. 28 Oktober 1928

142
b. 5 Juli 1949
c. 18 Agustus 1945
d. 17 Agustus 1945
24. Bahwasannya bangsa Indonesia mempunyai tata hukum pribadi asli itu
dapat dibuktikan oleh adanya ilmu pengetahuan Hukum Adat. Hal
tersebut merupakan hasil penyelidikan dari, yaitu…..
a. Utrecht.
b. Bellproid
c. Volmar
d. Van Vollenhoven

25. Dibawah ini bukan merupakan Peraturan pokok Hindia Belanda ialah …..
a. Algemene Bepoling van Wetgeving voor Indonesia.
b. Lucale Verordening.
c. Indische staatsregeling
d. Regerings Reglement.
26. Satu-satunya peraturan pokok yang diadakan Pemerintah militer Jepang
di Indonesia ialah yang menyatakan berlakunya kembali semua peraturan
perundangan Hindia Belanda yang tidak bertentangan dengan kekuasaan
Militer Jepang. Yaitu….
a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1942.
b. Pasal 3 Undang-Undang Balantetara Jepang Tahun 1942.
c. Pasal 142 Ketentuan Peralihan UUDS RI 1950
d. Pasal 192 ketentuan Peralihan Konstitusi RIS
27. Di dalam hukum perdata di kenal dengan istilah BW (Burgerlijk Wetboek)
dan WVK (Wetboek Van Koophandel) dimana keduanya hanya berlaku
bagi…
a. Untuk golongan bangsa Indonesia Asli
b. Untuk golongan bangsa Tionghoa

143
c. Untuk golongan bangsa Arab dan India
d. Untuk bangsa Indonesia dan warga negara bukan asli
28. Golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal dari Tionghoa dan
Eropa (Arab, India dan lain-lain) berlaku sebagian BW yaitu mengenai
hal…
a. Hanya bagian-bagian hukum kekayaan harta benda
b. Mengenai hukum kepribadian
c. Mengenai hukum kekeluargaan
d. Mengenai hukum warisan

29. Dalam hukum perdata dikenal dengan adanya penundukan hukum barat,
dibawah ini yang tidak termasuk penundukan perdata adalah….
a. Penundukan pada seluruh hukum perdata eropa
b. Penundukan pada sebagian
c. Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu
d. Penundukan secara diam-diam
30. Hukum perdata menurut ilmu hukum sekarang ini lazim di bagi ke dalam
empat bagian yaitu…..
a. Hukum tentang diri seseorang, kekeluargaan, kekayaan, dan warisan
b. Hukum tentang diri seseorang, kekeluargaan, kekayaan dan
perkawinan
c. Hukum tentang diri seseorang, kekeluargaan, perkawinan dan warisan
d. Hukum tentang seseorang, perkawinan, kekayaan dan warisan
31. Sistematika yang dipakai oleh kitab Undang-Undang hukum perdata
adalah….
a. Buku I “perihal orang” Buku II ‘perihal benda” Buku III “perihal
perikatan’ dan Buku IV “perihal pembuktian dan daluwarsa
b. Buku I “perihal benda” Buku II ‘perihal orang” Buku III “perihal
pembuktian’ dan Buku IV “perihal perikatan dan daluwarsa
c. Buku I “perihal orang” Buku II ‘perihal perikatan” Buku III “perihal
benda’ dan Buku IV “perihal pembuktian dan daluwarsa

144
d. Buku I “perihal pembuktian” Buku II ‘perihal benda” Buku III “perihal
perikatan’ dan Buku IV “perihal orang
32. Dalam hukum benda di kenal dengan adanya kekuasaan atas suatu benda
dan kemauan untuk memiliki benda itu di sebut …..
a. Bezit
b. Eigendom
c. Postal
d. Ertpacht

33. Hak yang paling sempurna atas suatu benda disebut …..
a. Bezit
b. Eigendom
c. Ertpacht
d. Vruchtgebroik
34. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-
perikatan yang lahir dari …..
a. Undang-undang karena perbuatan yang berlawanan
b. Undang-undang karena suatu perbuatan dan perikatan-perikatan.
c. Undang-undang saja dan undang-undang karena suatu perjajian
orang.
d. Undang-undang karena suatu perikatan
35. Pelaksanaan dan tata cara melaksanakan perkawinan diatur oleh …
a. UU. No. 1 Tahun 1974
b. UU. No. 1 Tahun 1975
c. UU. No. 1 Tahun 1976
d. UU. No. 2 Tahun 1974
36. Untuk orang yang beragama Islam pencatatan terhadap pernikahan
dilakukan oleh
a. Pegawai PPN (Pegawai Pencatat Nikah) atau P3 NTR
b. Kantor Catatan Sipil
c. Departmen Agama
d. Departmen Kehakiman

145
37. Suatu pernikahan dapat dicegah atau dibatalkan apabila…
a. Tidak hadirnya petugas pencatatan nikah
b. Ada halangan yang sangat mengganggu
c. Tidak hadirnya salah satu mempelai
d.Apabila ada pihak-pihak yang tidak memenuhi syarat
38. Bukti otentik bahwa seseorang sudah secara sah menjadi sepasang suami
istri adalah
a. Akta nikah dan buku nikah
b. Paspor
c. Surat dispensasi nikah
d. Surat Izin Nikah
39. Apabila seorang calon mempelai belum cukup umur melangsungkan
perkawinannya harus mendapat dispensasi nikah dari…
a. Orang tuanya
b. Pengadilan Agama
c. Kantor Catatan Sipil
d. Pegawai Pencatatan Nikah
40. Bagaimana hak suami dan isteri terhadap harta bersama berdasarkan UU.
No. 1 Tahun 1974
a. Keduanya memiliki kedudukan yang sama atas dasar persetujuan
b. Hanya isteri yang boleh dan berhak atas harta bersama
c. Hanya suami yang boleh dan berhak atas harta bersama
d. Hanya anak saja yang berhak atas dasar bersama
41. Hukum Tata Usaha Negara adalah :
a. Hukum yang merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur
hubungan antara warga negara dengan alat-alat perlengkapan negara.
b. Hukum yang mengatur hubungan antar warga negara/orang-
perorangan.
c. Peraturan hukum yang membentuk alat-alat perlengkapan negara dan
menentukan kewenangan kepadanya.

146
d. Serangkaian peraturan yang mengatur dan menentukan cara-cara
pemerintah atau aparat administrasi negara untuk menjalankan
tugasnya.

42. Lapangan hukum tata usaha negara menurut Van Vollenhoven terdiri
dari :
a. Pemerintahan, peradilan, kepolisian, dan hukum perundang-
undangan.
b. Pemerintahan, hukum perdata, peradilan, dan hukum perundang-
undangan.
c. Hukum keprajaan, hukum kepolisian, hukum peradilan, dan hukum
perundang-undangan.
d. Hukum keprajaan, hukum kepolisian, hukum pidana, dan hukum
perundang-undangan.
43. Asas-asas hukum tata usaha negara terdiri dari :
a. Asas legalitas, asas tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan, asas
tidak boleh menyerobot wewenang orang lain, asas kesamaan hak bagi
tiap penduduk, dan asas upaya pemaksa.
b. Asas legalitas, asas keseimbangan, asas kesamaan, dan asas keadilan
dan kebijaksanaan.
c. Asas legalitas, asas non diskriminatif, asas keadilan dan kebijaksanaan,
dan asas upaya pemaksa.
d. Asas legalitas, asas manfaat, asas keimanan dan ketakwaan terhadap
Tuhan YME., dan asas upaya pemaksa.
44. Sumber-sumber factual dari hukum tata usaha negara menurut E. Utrecht
ialah:

147
a. UU (HAN. Tertulis), traktat, jurisprudensi, dan praktek administrasi
negara.
b. UU (HAN. Tertulis), praktek administrasi negara, organisasi negara,
dan jurisprudensi.
c. UU (HAN. Tertulis), jurisprudensi, anggapan para ahli HAN., dan
organisasi negara.
d. UU (HAN. Tertulis), traktat, praktek administrasi negara, dan
anggapan para ahli HAN.

45. Mengapa hukum tata usaha negara di sebut sebagai “hukum antara” ?
a. Karena hukum tata usaha negara tidak hanya merupakan bagian dari
hukum publik, tetapi juga berada diantara hukum pidana dan hukum
privat.
b. Karena hukum tata usaha negara memiliki kajian yang di ambil dari
hukum tata negara dan hukum perdata.
c. Karena hukum tata negara lebih menitikberatkan kajiannya pada
individu dan organisasi negara.
d. Karena hukum tata usaha negara memiliki sifat memaksa dan
mengatur.
46. Undang-Undang yang mengatur mengenai pertanahan di Indonesia
diatur dalam …

a. UU. No. 4 Tahun 1960


b. UU. No. 5 Tahun 1960
c. UU. No. 5 Tahun 1961
d. UU. No. 6 Tahun 1961
47. Hukum adat bagaimana yang dapat dijadikan landasan bagi
pembentukan UUPA ?
a. Hukum adat yang berakar dari budaya Indonesia
b. Hukum adat yang progresif
c. Hukum adat yang tidak memeras dan mengindahkan agama

148
d. Hukum adat yang konvensional
48. Tujuan yang ingin dicapai UU agraria nasional adalah....
a. Meningkatkan taraf hidup bidang sosial, ekonomi dari rakyat
b. Meningkatkan penghasilan dan pendapatan pemerintah
c. Monopoli tanah secara penuh dan berkuasa
d. Memindahkan pemerintah menguasai tanah yang ada di Indonesia
49. Yang dimaksud dengan pajak adalah…..
a. Iuran rakyat sebagai pembayaran atas jasa tertentu yang khusus
diberikan oleh pemerintah untuk kepentingan orang pribadi/badan.
b. Iuran rakyat kepada negara dengan mendapat jasa
timbal/kontraprestasi secara langsung.
c. Iuran rakyat kepada negara berdasarkan UU dengan tidak mendapat
jasa timbal yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakkan untuk
pengeluaran umum.
d. Iuran rakyat kepada negara secara sukarela.
50. Dibawah ini adalah unsur pajak, kecuali…..
a. Dengan balas jasa secara langsung.
b. Iuran rakyat kepada Negara
c. Berdasarkan UU
d. Tanpa jasa timbal.
51. Rangkaian kaidah hukum yang mengatur cara-cara bagaimana
mengajukan suatu perkara kemuka suatu badan peradilan serta cara-cara
hakim memberikan putusan, disebut sebagai…
a. Hukum acara b. Hukum pidana
c. Hukum perdata d. Hukum material
52. Rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara
mengajukan ke depan pengadilan perkara-perkara kepentingan-
kepentingan perseorangan disebut…
a. Hukum acara pidana b. Hukum acara perdata
c. Hukum pidana d. Hukum perdata

149
53. Yang termasuk kedalam lapangan-lapangan hukum keperdataan itu
diantaranya…
a. Pembunuhan c. Penganiayaan
b. Hutang piutang d. Kehormatan
54. Lembaga-lembaga hukum yang terdapat dalam lapangan keperdataan
adalah…
a. Kantor pegadaian b. Kantor polisi
c. Kantor pajak d. Kantor pendaftaran tanah
55. Hukum acara perdata yang berlaku bagi golongan Eropah di Jawa dan
Madura disebut juga…
a. Reglement op de burgelijke rechtsvordering
b. Herziene Inlandsch Reglement
c. Rechtreglement Buitengewesten
d. Burgelijk wet boek
56. Reglement Indonesia yang dibaharui, yang berlaku digolongan Jawa dan
Madura saat ini diganti oleh…
a. KUHP b. KUHAP
c. KUHS d. KUHD
57. Hal pertama yang dilakukan oleh seorang ketua pengadilan dalam
melaksanakan sidang perdata adalah…
a. Membacakan gugatan
b. Memeriksa penggugat dan tergugat
c. Mendamaikan kedua pihak
d. Mempertimbangkan perkara
58. Putusan yang dijatuhkan hakim tanpa hadirnya pihak tergugat disebut…
a. eksepsi b. kondemnator
c. deklarator d. verstek vonnis
59. Keputusan yang menimbulkan hukum baru disebut…
a. Keputusan konstitutif b. Keputusan deklaratif
c. Keputusan kondemnator d. verstek vonnis

150
60. Pernyataan sesuatu pihak mengenai peristiwa tertentu atau sesuatu hak
disebut…
a. Persangkaan b. Pengakuan
c. Bukti saksi d. Sumpah

BAGIAN II
PETUNJUK !
Kerjakan semua soal di bawah ini dengan singkat dan jelas!
1. Apakah yang dimaksud dengan :
a. Masalah Pidana
b. Masalah Perdata
c. Masaalah Tata Usaha Negara
d. Masalah Peradilan Agama
Dalam menjelaskan tersebut harus disertai masing-masing 1 (satu) contoh
sederhana, dan singkat!

2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Tata Hukum Indonesia ! Tujuan


dibentuknya Tata Hukum Indonesia dan Tujuan mempelajari Tata Hukum
Indonesia !

3. Periode penjajahan Raffles di Indonesia dikenal ada 4 susunan


pengadilan di Indonesia. Sebutkan dan jelaskan ke empat pengadilan
tersebut !

4. Pada jaman Hindia Belanda ada sejumlah peraturan yang


diberilakukan, seperti Algeimene Bepaling van Wetgeving voor Indonesia;
Regerings Reglements dan Indische Staatsregeling. Jelaskan pengertian
dari masing-masing aturan tersebut, dan dimana perbedaannya?

5. Jelaskan perbeadaan adat sebagai kebiasaan dan adat sebagai hukum!


Mengapa Hukum Adat dikatakan sebagai salah satu aspek kebuadayaan ?
Kapankah suatu Hukum Adat dinyatakan tidak berlaku lagi ?

6. Jelaskan perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata dilihat dari :


pengertian; sistematika; tujuan dan sumbernya.

151
7. Mengapa Hukum Dagang dipisahkan dari Hukum Perdata ?

8. Jelaskan mengenai fungsi dan syarat pemungutan pajak !

9. Jelaskan hubungan Hukum Tata negara dengan Hukum Administrasi


Negara beserta contohnya! Jelaskan pula Hubungan antara Hukum Tata
pemerintahan dengan Hukum Administrasi Negara!

10. Jelaskan mengenai sumber dan subyek Hukum Internasional!

11. Jelaskan perbedaan Hukum Acara Perdata; Acara Pidana dan Acara
PTUN dilihat dari : Proses mengadili; pihak yang menuntut; alat-alat
bukti; jenis hukuman dan upaya hukum yang dilakukan!

152
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Sanusi ( 1994 ), Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum
Indonesia, Bandung, Tarsito.
Astim Riyanto (2000), Kapita Selekta Hukum dalam Dinamika, Yapendo,
Bandung.
Bachsan Mustafa, (1984), Sistem Hukum Indonesia, Bandung, Remadja Karya
CV.
Charles Himawan (2003), Hukum sebagai Panglima, Jakarta, Kompas.
Dudu Duswara Machmudin. ( 2001 ). Pengantar Ilmu Hukum. Bandung :
Refika Aditama.
Kansil ( 2001), Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta,
PN. Balai Pustaka.
....... ( 2002), Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika.
Mochtar Kusumaatmadja (1996), Hukum, Masyarakat dan Pembinaan
Hukum Nasional, Bandung, Bina Cipta.
Satjipto Rahardjo. ( 1991 ). Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Suroyo Wignyodipuro. ( 1983 ). Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta : Gunung
Agung.
Soedarsono ( 1991), Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung, Rieneka
Cipta.
Soenarjati Hartono (1991), Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Bandung, Alumni.
Van Apeldorn (1986), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Prdanya Paramita.

Sumber dan Dokumen :


Jurnal : Jurnal Magister Hukum dan Ilmu Hukum
Internet : Masalah-masalah yang terkait dengan materi dan pengayaan
mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia

153
154

You might also like