You are on page 1of 2

Berbilang tahun lalu, ketika Pak Sahal akan berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji,

Dr. H. Idham Cholid berkesempatan mendampingi beliau hingga Tanjung Priuk –ketika itu naik
haji masih memakai kapal laut. Entah kenapa, tiba-tiba saja Idham Cholid berujar demikian,
“Kalau saat ini saya disuruh kembali ke Gontor, menggantikan Pak Sahal, saya tidak sanggup.
Tetapi, kalau disuruh menggantikan Pak Zar, saya sanggup.”

Sekilas, ucapan Idham Cholid itu agak merendahkan Pak Zarkasyi, karena sanggup
digantikannya. Sementara, di sisi lain, dia tidak sanggup menggantikan Pak Sahal. Apa makna
ucapan itu? Marahkah Pak Zar? Tidak. Sama sekali tidak. Pak Zar justru bersyukur dan bangga
dengan ucapan Idham Cholid itu. Mengapa? Karena upaya kaderisasi yang dilakukan Pak
Zarkasyi melalui program Kulliyatu-l-Mu‘allimin al-Islamiyah (KMI)-nya telah berhasil;
mendidik santri hingga siap menggantikan peranan beliau yang tentu saja tidak ringan.

Berbilang tahun kemudian, tepatnya tahun 1984, terlontar ucapan dari K.H. Imam Zarkasyi di
hadapan para anggota Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor. Ketika itu, anggota
Badan Wakaf merasa canggung jika sewaktu-waktu ditinggalkan Pak Zarkasyi menghadap Sang
Khaliq. Siapa yang pantas menggantikan beliau, yang, menurut mereka, kekyaiannya berkaliber
internasional. Pak Zar pun meluruskan, bahwa siapa saja kyai di seluruh Indonesia ini yang
kalibernya nasional bahkan internasional beliau yakini tidak akan sanggup memimpin PM
Darussalam Gontor. “Syarat menjadi Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor adalah tamat
KMI. Titik. Apalagi jika sudah pernah mengajar.”

Jelas, peristiwa pertama dan kedua di atas ada benang merahnya. Niat Pak Zarkasyi dengan
KMI-nya sangatlah simpel, sederhana, yakni mencetak kader-kader ulama, kader pemimpin,
mundzirul qaum, termasuk kader pemimpin PM Darussalam Gontor, agar estafet kepemimpinan
tidak terputus. Maka, peranan sebagai Direktur KMI, sejak zaman Pak Zarkasyi hingga saat ini,
akan sangat mudah digantikan oleh generasi penerus, murid-murid beliau, asalkan dia tamat
KMI, dan apalagi jika sudah berpengalaman mengajar pula.

Belajar 4 atau 6 tahun di KMI sudah dirancang sedemikian rupa. Ada hubungan yang sangat erat
antara aktivitas belajar di dalam kelas (pagi) dengan aktivitas pendidikan santri di luar kelas, di
asrama dan di tempat-tempat aktivitas mereka.

• Bahwa Pelajaran Fiqih pada tahap awal berbahasa Indonesia dan nyaris tanpa dalil, bermakna
agar siswa dapat beribadah dengan baik. Jadi, kalau mau belajar beribadah tidak perlu terlalu
banyak dalil; menyuruh anak shalat tidak perlu ayat atau Hadits, karena perintahnya sudah jelas
dan harus dikerjakan. Dalil-dalil tentang Fiqih, ibadah baru akan diajarkan di kelas-kelas
selanjutnya. Jadi, belajar Fiqih bukan untuk pengetahuan, melainkan untuk mengetahui cara
beribadah dengan baik dan benar;

• Bahasa Arab dimulai dari yang paling ringan, yakni mengenal segenap benda di sekitar yang
biasa dimanfaatkan santri, seperti piring, penghapus, papan tulis, penggaris, dsb., disertai contoh-
contoh kalimat yang sederhana, mudah ditirukan, mudah dihafal. Setelah bekalnya cukup, contoh
ucapan dan kalimat-kalimat sederhana diakuisisi anak-anak, pada kelas berikutnya, baru siswa
diajari ilmu tata bahasanya, Grammar, Qawa’id (Nahwu-Sharaf), dan terakhir diajari uslub,
penuturan bahasa yang bersifat sastra dalam ilmu Balaghah;
• Setelah Kelas 3 KMI, siswa diajari materi Tarbiyah, tepatnya Tarbiyah wa Ta’lim, yang isinya
disesuaikan dengan perkembangan aktivitas mereka di di asrama. Materi ini terus daijarkan
kepada siswa hingga Kelas 6 dan disesuaikan dengan aktivitas mereka di luar kelas;

• Begitu pula pelajaran-pelajaran yang lain.

Dengan demikian, anak-anak yang sudah tamat KMI dan sudah mengalami proses, akan mampu
menjadi pimpinan pondok, juga mendirikan pondok. Lantas, mengapa Idham Cholid tidak
sanggup menggantikan Pak Sahal. Ya jelas. Pak Sahal adalah pendiri, perintis berdirinya PM
Darussalam Gontor. Ketokohannya jelas tak mungkin tergantikan, bahkan oleh Pak Zarkasyi.

Begitu sederhananya cara Gontor mendidik orang menjadi kader pemimpin: mudah dicerna, dan
gampang ditiru, sebab para Trimurti itu telah mengatakan, bahwa dalam pesantren seperti yang
dimaksud oleh Gontor, kyai adalah sentral figur yang bisa dicontoh, cara hidupnya,
berpakaiannya, mengajarnya, ibadahnya, rumahnya, bicaranya, dsb. Kemudian, agar para santri
itu lebih mudah lagi mencerna pendidikan, Gontor mempunyai slogan sendiri, yakni bahwa di
Gontor ini, apa yang kamu lihat, kamu dengar, kamu rasakan, dan kamu alami, semua adalah
pendidikan. Maka, untuk menjadi Pimpinan Pondok seperti Gontor sangat tidak sulit, karena, di
Gontor, santri-santri itu sudah melihat, mendengar, merasakan, bahkan mengalami (berproses)
bagaimana harus menjadi pemimpin. Yang paling penting, harus bisa menjadi contoh.

Itulah keunggulan sistem KMI berasrama. Benar-benar sebuah sistem yang integral; pendidikan
karakter yang komplit. Wallahu a’lam. Nasrullah ZM Zarkasyi

You might also like