Professional Documents
Culture Documents
PEMBAHASAN
1 . DEFINISI
2. EPIDEMIOLOGI
3. ETIOLOGI
5 . KLASIFIKASI
Jenis yang paling sering ditemukan adalah difteri fausial. Satu hal yang perlu
diperhatikan adalah masih ada kemungkinan ditemukan kasus-kasus difteri yang
mengenai lebih dari satu lokasi, misalnya nasal dan fausial, fausial dan laryngeal.
6 MANIFESTASI KLINIS
Difteri Larinka
Umumnya merupakan penyebaran/ penjalaran dari difteri fausial, akan tetapi
pada keadaan yang tidak begitu sering bias ditemukan hanya difteri laring saja.
Membrane bisa menyebar ke bawah mengenai bronkus. Gejala-gejala yang ditimbulkan
oleh toksin tidak menonjol. Pada permulaan timbul batuk-batuk kering, suara parau/
atau suara hidung, dan stridor inspirasi.Pada keadaan lebih lanjut, bias terjadi obstruksi
saluran nafas; akan terlihat retraksi suprastrenal dan supraklavikular, asfiksia dan
sianosis.
Difteri Kulit
Merupakan keadaan yang sangat jarang terjadi, biasanya kelainan berbentuk
ulkus yang mempunyai tepi terbatas tegas dengan dasar membraneous.
Difteri pada tempat-tempat lain seperti pada konjungtiva, vulvagina dan telinga,
jarang ditemukan dan manifestasi klinisnya biasanya ringan.
7 KOMPLIKASI
Timbulnya komplikasi pada pasien dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1. Virulensia basil difteri
2. Luas membrane yang berbentuk
3. Jumlah toksin yang diproduksi oleh basil difteri
4. waktu antara mulai timbulnya penyakit sampai pemberian antitoksin
Komplikasi-Komplikasi:
1. Kelainan Kardiovaskuler; miokarditis
Komplikasi ini timbul terutama pada kasus-kasus dengan kelainan local
yang ekstensif dan pemberian antitoksin yang terlambat. Umumnya terjadi pada
hari ke -3 ke -21, bergantung pada berat dan ringannya penyakit. Manifestasi
klinisnya berupa takikardia, suara jantung lemah, irama derap paristolik, aritmia
(fibrilasi/blok atrium), dan gagal jantung. Pada elektrokardiografi ditemukan tanda-
tanda miokarditis berupa low voltage, dan tanda-tanda blok dimulai dari
perpanjangan interval PR sampai blok AV total. Penyembuhan miokarditis sampai
sempurna membutuhkan waktu tiga bulan.
2. Kelainan Neurologis
Saat timbulnya komplikasi ini bervariasi tergantung pada jumlah toksin
yang diproduksi, dan cepat/lambatnya pemberian antitoksin. Biasanya kelainan ini
terjadi bilateral, dan motorik lebih dominant dari sensorik, terutama yang terjadi
adalah paralysis. Daerah yang pertama kali terkena adalah palatum, umumnya
terjadi pada minggu ke 3- ke 6. ditandai dengan gejala-gejala suara hidung sengau,
kesukaran menelan, dan regurgitasi cairan ke rongga hidung sewaktu menelan.
3. Infaksi Sekunder
Bisa terjadi lokal pada tempat infeksi atau daerah lain.
8 DIAGNOSIS
Diagnosis difterisebaiknya dibuat berdasarkan penemuan keluhan dan gejal-
gejalanya (berdasarkan manifestasi klinisnya) yang khas, karena keterlambatan
diagnosis dapat menyebabkan penyakit bertambah lanjut dan berat.
Diagnosis pasti berdasarkan ditemukannya corynebacterium diphtheriae
baik dengan pemerikasaan mikroskopik secara langsung ataupun dengan biakan
dari lesinya. Kelainan laboratorium yang dapat membantu diagnosis adalah adanya
anemia, leukositosis, hipoglikemia dan glukosuria. Kelainan EKG ditemukan bila
sudah ada komplikasi miokarditis.
Permerikasaan terhadap imunitas; shick test. Bertujuan untuk menentukan
ada/ tidaknya antibody terhadap toksin difteri (antitoksin).
Cara:
Sebanyak 0,1 ml toksin difteri disuntikkan infakutan pada lengan tersangka,
pada lengan yang laindisuntik toksin yang sudah dipanaskan (control).
Reaksi dibaca pada hari ke 4-5, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema
yang diameternya 10 mm atau lebih pada tempat suntikan. Hasil positif berarti
adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bias juga ditimbulkan oleh reaksi
alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan
indurasinya menghilang dalam waktu 48 jam-72 jam, sedangkan yang positif
karena adanya antitoksin akan tetap selama beberapa hari.
Diagnosis Banding
I. Difteri nasal anterior
a. Korpus alienum pada hidung
b. Common cold
c. Sinisitis
Pemerikasaan speculum hidung, foto sinus dapat membedakan keadaan-
keadaan ini.
II. Difteri fausial
a. Tonsilofaringitis: ditemukan suhu yang tinggi, nyeri atau sukar menelan
lebih berat, pembesaran toksil, membrane mudah lepas dan tidak
menimbulkan perdarahan.
b. Mononucleosis infeksiosa: ditemukan linfadenopati generalisata,
splenomegali, adanya sel monoklear yang abnormal dalam darah tepi.
c. Leukemia akut
d. Agranulositosis
e. Herpes zoster pada palatum
9 . PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG
yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya
sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik. Pengobatan
spesifik untuk difteri :
1) ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe difteri Dosis DS (KI) Cara Pemberian
Difteri hidung 20.000 IM
Difteri tonsil 40.000 IM atau IV
Difteri faring 40.000 IM atau IV
Difteri laring 40.000 IM atau IV
Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV
Difteri + penyulit, bullneck 80.000-120.000 IV
Terlambat berobat (>72 jam), 80.000-120.000 IV
lokasi dimana saja
10 PENGOBATAN:
I. Perawatan umum:
- Isolasi
- Istirahat ditempat tidur, minimal 2-3 minggu
- Makanan lunak atau cair, bergantung pada keadaan penderitanya
- Kebersihan jalan nafas dan pengisapan lender
- Control EKG secar serial 2-3 kali seminggu,selama 4-6 minggu untuk
mendeteksi miokarditis secar dini. Bila terjadi miokarditis harus istirahat
total di tempat tidur selama 1 minggu. Mobilisasi secara gradual baru boleh
dilakukan bila tanda-tanda miokarditis secara klinis dan EKG menghilang.
- Bila terjadi paralisasi dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisoterapi aktif
bila keadaan membaik. Paralisasi paratum dan farinks dapat menimbulkan
aspirasi, maka dianjurkan pemberian makanan cair melalui slang lambung.
- Bila terjadi obstruksi larinks, secepat mungkin dilakukan trakeoastomi.
II. Perawatan Khusus:
1. Menetralisasi toksin yang dihasilkan basil difteri
2. Membunuh basil difteri basil yang memproduksi toksin
11 . PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada :
1. Virulensi basil difteri
2. Lokasi kekebalan penderitanya
3. Capat/lambatnya pengobatan diberikan
4. Perawatan
Difteri yang disebabkan oleh jenis gravis biasanya prognosisnya paling
jelek, bullneck diphtheria mempunyai angka kematian 50 %. Difteri
larinks lebih cepat menimbulkan obstruksi saluran nafas, bila
pertolongan terlambat/kematian mendadak. Keterlambatan pengobatan
bila meningkatkan angka kematian 20 x lipat. Angka kematian biasanya
berkisar 5-10 %, penyebab kematian sebanyak adalah miokarditis.
Angka kematian penderita difteri 29 R.S. di Indonesia selama tahun
1969-1970, adalah 11,3 %.
Pencegahan
Cara yang paling baik untuk pencegahan adalah pemberian imunisasi
aktif. Biasanya pemberian vaksin difteri bersamaan dengan pertusis dan
tetanus (DPT).
Cara pemberian adalah sebagai berikut:
1. Imunisasi Primer
Berdasarkan umur an ak dibagi atas 2 bagian yaitu:
A. Anak berumur 6 minggu s/d 6 tahun. Diberikan 3 dosis TD
(Toksoid difteri) secara intramuscular/ subkutan, dengan interval
4-8 minggu yang dimulai ketika anak berumur 6 minggu samapi
2 bulan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian ke IV
sedangkan 1 tahun sesudah pemberian ke III. Preparat yang
digunakan adalah pe diatric toxoid
diphtheria yang mengandung 7-25 Lf (Limit flocculation Unit).
B. Anak berumur 7 tahun atau lebih. Diberikan 3 dosis Td dengan
pemberian ke II berselang waktu 4-8 minggu sesudah pemberian
I, sedangkan pemberian ke III berselang waktu 1 tahun sesudah
pemberian ke II. Preparat yang digunakan adalah adulttoxid
diphtheria yang mengandung tidak lebih dari 2 Lf.
2. Imunisasi Brosster
1. Anak berumur 6 minggu s/d 6 bulan. Apabila pemberian dosis ke
IV imunisasi primernya anak belum berumur 4 tahun, maka
diberikan brooster ketika anak tersebut mulai masuk sekolah
taman kanak-kanak. Apabila pada pemberian dosis ke IV
imunisasi primer anak telah berumur 4 tahun, maka tidak perlu
diberikan brooster pada waktu mulai masuk kuliah.
2. Anak berumur 7 tahun atau lebih diberikan brooster setiap 10
tahun.
Kontak
Orang yang kontak dengan penderita difteri terutama yang tidak
perna/ yang tidak sempurna mendapat imunisasi aktif, diberikan brooster
dengan dosis bergantung pada umurnya. Kemudian diberikan
kemoprofilaksis yaitu penicillin prokain 600.000 unit intramuscular/
perhari selama 4 hari atau eritromisin 40 mg/kg berat badan/ hari
selama 7 hari. Bila tidak mungkin dilakukan pengawasan, sebaiknya
diberikan antitoksin difteri 10.000 unit intramuscular.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Biodata
Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-1 tahun dan jarang
ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang
dewasa diatas 15 tahun
b. Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara miskin
c. Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat
pemukiman yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan
fasilitas kesehatan yang kurang
d. Keluhasn Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia,
lemah
e. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia.
Difteria Tonsil dan Faring: Panas tidak tinggi, nyeri telan ringan, mual, muntah, nafas
berbau, Bullneck.
Difteria Laring dan Trachea: Sesak nafas hebat, stridor inspirator, terdapat retraksi otot
supra sternal dan epigastrium, laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret,
permukaan tertutup oleh pseudomembran.
f. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas
atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
g. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dimungkinkan ada keluarga/ lingkungan yang menderita penyakit Difteria
h. Riwayat Tumbuh Kembang
Pertumbuhan dan perkembangan motorik, sensorik klien dengan difteri
biasanya terganggu pernapasan sehingga sulit menelan.
i. Riwayat kehamilan dan persalinan
1) Riwayat kehamilan
Apakah selama hamil ibu klien selalu memeriksa kehamilanya kebidanan.
2) Riwayat persalinan
Kaji dimana klien dilahirkan, berat badan, panjang badan.
j. Riwayat Imunisasi
Imunisasi DPT 1, 2, 3 pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan yang kurang memadai
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik
Malaise
Suhu tubuh < 38,9 º c
Pseudomembran ( putih kelabu ) melekat dan menutup tonsil dan
dinding faring
Bulneck
b) Diptheriae laring
Stridor
Suara parau
Batuk kering
Pada obstruksi laring yang berat terdpt retraksi suprasternal, sub costal dan
supraclavicular
c) Diptheriae hidung
Pilek ringan
Sekret hidung serosanguinus mukopurulen
Lecet pada nares dan bibir atas
Membran putih pada septum nasi.
B1 : Breating
Adanya pembengkakan kelenjer limfe (Bull’s neck), timbul peradangan pada
laring/trakea, suara serak, stridor, sesak napas.
B2 : Blood
Adanya degenerasi fatty infiltrate dan nekrosis pada jantung menimbulkan miokarditis
dengan tanda irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang
ditemukan tanda-tanda payah jantung.
B3 : Brain
Gangguan system motorik menyebabkan paralise.
B4 : Bladder
Tidak ada kelainan.
B5 : Bowel
Nyeri tenggorokan, sakit saat menelan, anoreksia, tampak kurus, BB cenderung
menurun, pucat.
B6 : Bone
Bedrest.
c) Diptheriae hidung
Pilek ringan
Sekret hidung serosanguinus mukopurulen
Lecet pada nares dan bibir atas
Membran putih pada septum nasi.
3) Pemeriksaan Penunjang:
a) Laboratorium Bakteriologi : Hapusan tenggorokan di temukan kuman corinebakterium
difteria
b) Darah : Penurunan kadar HB dan leukosit polimorfonukleus, penurunan jumlah
eritrosit dan kadar albumin.
c) Skin test : Test kulit untuk menentukan status imunitas
m. Penatalaksanaan dan Therapy
Therapi atau penatalaksanaan dilakukan sesuai dengan konsep dasar:
1) Pengobatan umum
a) Isolasi
b) Pengawasan EKG
2) Pengobatan spesifik
a) ADS
b) Anti biotik
c) Kortikosteroid
d) Pada pasien yang di lakukan trakheostomi ditambahkan kloramphenikol 75
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
B. Diagnosa keperawatan
1. Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret dan edema
kelenjer limfe, laring dan trakea.
2. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil dan faring.
3. Hipertermi berhubungan dengan proses masuknya kuman dalam tubuh.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
2 II Setelah dilakukan 1. Kaji status nyeri (lokasi, 1. Memberikan data dasar untuk
tindakan keperawatan frekuensi, durasi, dan intensitas menentukan dan mengevaluasi
klien mengalami nyeri). intervensi yang diberikan.
pengurangan nyeri.
Kriteria hasil : 2. Berikan posisi yang nyaman/ 2. Menurunkan stimulus
o Klien tampak rileks. semi fowler. terhadap renjatan nyeri
o Nyeri berkurang/ hilang.
3. Ajarkan tekhnik relaksasi, 3. Meningkatkan relaksasi yang
seperti napas dalam, dapat menurnkan rasa nyeri
visualisasi, dan bimbingan klien.
imajinasi.
1. Prof. dr. Noer Sjaifoellah M.H. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi ketiga,
Penerbit FKUI Jakarta, 1996.
2. Abednego M. Hadi, Pedoman Bulan Imunisasi anak Sekolah “Bias Bagi Guru,
Penerbit Departemen Kesehatan Tim Pembina UKS, 1998.
3. Dr. Racmat Haikin H, Modul Latihan Petugas Imunisasi edisi Keenam, Direktorat
Jenderal Pemberrantasan Penyakit Menular dan Penyehatan lingkungan
Pemukiman Departemen Kesehatan R.I, Jakarta 1997.