You are on page 1of 18

BAB II

PEMBAHASAN
1 . DEFINISI

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang di sebabkan oleh


corinebatcerium diphtheriae, di tandai dengan terbentuknya eksudat yang berbentuk
membrane pada tempat infeksi, dan di ikuti oleh gejala umum karEna eksotoin yang di
produksi basil ini.

2. EPIDEMIOLOGI

Distribusi penyakit ini di seluruh dunia terutama di negara-negara miskin, yang


penduduknya tingal pada tempat-tempat permukiman yang rapat, hegiene dan sanitasi
jelek, dan fasilitas kesehatan yang kurang.
Biasanya epidemic terjadi pada musim gugur. Insidensi penyakit ini berkurang
sesuda perang dunia ke II, setelah digunakan vaksin difteri secara intesif danl luas. Di
Amerika Serikat, sejak tahun 1970 sampai tahun 1976, di temukan 248 kasus (rata-rata
58 kasus per tahun). Di RSUP dr M Jamil padang di dapat 48 kasus difteri selama
periode 3 tahun (1990-1992), sedangkan di RS Ujung Pandang di dapatkan 39 kasus
selama periode 3 tahun (1987-1989).
Golongan umur yang sering terkena ialah antara umur 2-10 tahun. Jarang di
temukan pada bayi dibawa umur 6 bulan akibat imunisasi pasif dari ibunya melewati
plasenta. Juga jarang pada orang dewasa di atas umur 15 tahun.
Penularan terjadi bila kontak dengan pasien difteri atau dengan carrier difteri.
Basil di tularkan dengan kontak langsung melalui batuk, bersin atau berbicara dengan
kontak tidak langsung melalui debu, baju, buku atau mainan yang terkontaminasi,
karna basil ini cukup resisten terhadap udara panas, dingin dan kering.
Carrier difteri merupakan penularan yang berbahaya karna tidak di kenal dan
bersifat silent. Terjadinya epidemi pada suatu daerah yang sudah lama bebas dri
penyakit ini, dapat di timbulkan karena adanya pasien difteri atau carriernya yang
datang dari luar , atau terjadinya mutasi dari jenis non virulen menjadi virulen.

3. ETIOLOGI

Corynebacterium diphtheriae (Klebsloeffler), termasuk kuman batang gram


positif, tersusun berpasangan (palisade), tidak bergerak, tidakmembentuk spora,
aerobik dan dapat memproduksi eksotoksin. Bentuknya seperti palu (pembesaran pada
salah satu ujung), diameternya 0,1-1 mm dan panjangnya beberapa mm. basil ini hanya
tumbu pada medium tertentu, seperti: medium leoffler, basil ini tumbu dengan cepat
membentuk koloni-koloni yang kecil, granular dan berwarna abu-abu kehitaman.
Menurut bentuk, besar dan warna koloni yang terbentuk, dapt dibedakan 3 jenis
basil ini, yaitu :
a. gravis : koloninya besar, kasar, ireguler, berwana abu-abu dan tidak
menimbulkan hemolisi eritrosit.
b. Mitis : koloninya kecil, halus warna hitam, konveksi dan dapat menimbulkan
hemolisis eritrosit.
c. intermediate : koloninya kecil, halus,mempunyai bintik htam di tengahnya
dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih verulen dibandingkn dengan jenis mitis.
Karateristik jenis gravis adalah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen,
sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis basil ini dapat memproduksi
eksotoksin, akn tetapi virulensinya berbeda.
Sebagin besar jenis yang tidak virulen adlah termasuk grup mitis, kadang-
kadang ada bentuk gravis atau intermediate yang tidak virulen terhadap menusia. Strain
toksigenik inimungkin berubah menjadi nontoksigenik, setelah dilakukan subkulltur
yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag.
Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan :
1. uji presipitasi agar gel (elektroforesis)
2. Inokulasi intradermal terhadap guinea-pig

Pada pemeriksaan bakteriologik, bail difteri ini kadang-kadang dikacaukan


dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri,
misalnya basil hoffman, corinebacterium xerosis, dan lain-lain.

1. PATOGENESI DAN PATOLOGI


Penyakit difteri timbul dim7lai dengan masuknya basil corynebacterium
diphtheria eke dalam hidung atau mulut, dan bertumbuh/ berkembang pada mukoa
aluran napas bagian atas terutama daerah tonsil, kadang-kadang di daerah kulit,
kongjungtiva, atau genital. Basil kemudian akan memproduksi eksotoksin.
Toksin yang terbentuk akan diabsorpsi melewati membran sel mukosa,
menimbulkan peradangan dan destruki epitel diikuti oleh nekrosis. Pada daerah
nukrosis ini terbentuk fibrin, kemudian diinfiltrasi oleh sel darah putih. Keadan ini
mengkibatkan terbentuknya patchy exudates yang pada permulaan masih bisa
terkelupas. Pada keadan lebih lanjut, toksin yang di produksi basil ini semakin
meningkat, menyebabkan daerah nekrosis bertambah luas dan bertambah dalam,
sehingga menikmbulkan terbentknya fibrous exsudate (membrane palsu) yang terdiri
atas jaringan nekrotik, fibrin, sel ipitel, sel leukosit dan eritrosit, berwarna abu-abu
ampai hitam. Membrane ini sukar terkelupas, kalau dipaksa lepas akan menimbulkan
perdarahan. Membran palsu ini terbentuk pada tonsil, farinks, larinks, danpada keadaan
berat bahkan bisa meluas sampai ke trakea dan kadang-kadang ke bronkus, diikuti
edema soft tissue dibawah mukoanya. Keadan ini dapat menimbulkan obstruksi saluran
napas sehingga memerlukan tindakan segera.
Toksin yang terbentuknya selanjutnya masuk ke dalam sirklasi darah menyebar
ke seluruh tubuh menimbulkan kerusakan jaringan di organ-organ tubuh berupa
degenerasi, fatty infiltration dan nekrosis, terutama pada jantung, ginjal, hati, kelenjar
adrenal dan jaringan saraf. Apabila mengenai jantung menimbulkan miokarditis
danpayah jantung. Kerusakan jaringan saraf akan menimbulkan paralysis, terutama
pada palatum mole, otot mata dan ekstremitas. Kematian biasanya disebabkan oleh
kegagalan jantung atau asfiksi karena obstruksi saluran nafas.
Beberpa jenis corynebacterium yang pada saluran nafas atau konjungtiva tidak
menimbulkan penyakit, jenis ini disebut difteroid, misalnya corynebacterium
pseudodiphthericum, C. cerosis, C. haemolyticum dan C. ulcerans. Pemaikaian obat-
obat imunosupresif dapat menyebabkan jenis kuman ini menyebabkan invasive dan
dapat menimbulkan kematian.

5 . KLASIFIKASI

Klasifikasi difteri dapat dilakukan secara klinis menurut lokalisasi terjadinya


infeksi pertama, yaitu ebagai berikut :
1. Difteri nasal anterior
2. Difteri nasal posterior
3. Difteri fausial
4. Difteri laryngeal
5. Difteri kongjungtiva
6. Difteri kulit
7. Difteri vulva / vagina

Jenis yang paling sering ditemukan adalah difteri fausial. Satu hal yang perlu
diperhatikan adalah masih ada kemungkinan ditemukan kasus-kasus difteri yang
mengenai lebih dari satu lokasi, misalnya nasal dan fausial, fausial dan laryngeal.

6 MANIFESTASI KLINIS

Manefestasi klinis difteri tergantung kepada :


1. lokasi infeksi
2. imunita penderitanya
3. Ada/tidaknya toksin difteri yang beredar dalam sirkulasi darah.
sebagai akibat eksotoksin merusak jaringan lain yang terkena. Gejala-gejalah
umum yang timbul adalah demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksial, sehingga pasien tampak saraf Masa inkubasi adalah 1-10 hari (tersering 2-4
hari). Gejala klinis dapat terjadi sangat lemah. Gejalah umum ini biasanya disertai
gejalah local setiap bagian yang terkena seperti pilek, nyeri waktu menelan, sesak
nafas, suara serak dan stridor. Gejalah-gejalah akibat eksotokin tergantung kepada
jaringan yang terkena seperti miokarditis, paralysis jaringan dan nefritis.
Menurut lokasi infeksi pertama terjadi, manifestasi klinis difteri adalah sebagai
berikut :
Difteri nasal anterior
Timbulnya gangguan dan gejalah terjadi secara perlahan-lahan dan terselubung,
dimulai dengan serangan seperti common cold (demam, lesu, rinorea), diikuti oleh
nasal discharge yang pada permulaan bersifat serosanguneus, kemudian menjadi
purulen disertai krusta. Keadan ini menimbulkan ekskoriasi pada lubang hidung dan
bibir atas. Membrane bisa terbentuk pada salah satu atau kedua rongga hidung. Absobsi
toksin kedalam sirkulasi darah terjadi perlahan-lahan dan dalm jumlah yang kecil,
sehingga keadaan miokarditis dan paralysis jarang terjadi.
Tipe difteri ini angat berbahaya bagi masyarakat karena sangat infekti,
sedangkan gejala-gejalanya ringan, sehingga kadang-kadang tidak terdiagnosis.

Difteri nasal posterior (Nasofringks)


Membrane terbentuk pada daerah nasofarrinks (di belakang palatum), sukar
terlihat dari luar, sehingga sering luput dari pemerisaan. Jenis ini lebih berat dari pada
difteri nasal anterior, kadang-kadang menimbulkan keadan yang serius seperti pada
difteri fausial.
Difteri fausial
Serangan penyakit terjadi secara terselubung, pada fase permulaan timbul
demam yang tinggi (< 38 c), sakit kepala, lesu dan sore throat. Harus diingat bahwa
sore throat bukanlah merupakan gejalah utama, karena pada beberapa kasus gejalah ini
tidak ditemukan. Membran terbentuk dalam waktu 1-2 hari, bergantung pada im unitas
pasien. Pada keadan imunitas yang tinggi membrane bisa tidak terbentuk sama sekali.

Difteri Larinka
Umumnya merupakan penyebaran/ penjalaran dari difteri fausial, akan tetapi
pada keadaan yang tidak begitu sering bias ditemukan hanya difteri laring saja.
Membrane bisa menyebar ke bawah mengenai bronkus. Gejala-gejala yang ditimbulkan
oleh toksin tidak menonjol. Pada permulaan timbul batuk-batuk kering, suara parau/
atau suara hidung, dan stridor inspirasi.Pada keadaan lebih lanjut, bias terjadi obstruksi
saluran nafas; akan terlihat retraksi suprastrenal dan supraklavikular, asfiksia dan
sianosis.

Difteri Kulit
Merupakan keadaan yang sangat jarang terjadi, biasanya kelainan berbentuk
ulkus yang mempunyai tepi terbatas tegas dengan dasar membraneous.
Difteri pada tempat-tempat lain seperti pada konjungtiva, vulvagina dan telinga,
jarang ditemukan dan manifestasi klinisnya biasanya ringan.

7 KOMPLIKASI
Timbulnya komplikasi pada pasien dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1. Virulensia basil difteri
2. Luas membrane yang berbentuk
3. Jumlah toksin yang diproduksi oleh basil difteri
4. waktu antara mulai timbulnya penyakit sampai pemberian antitoksin

Komplikasi-Komplikasi:
1. Kelainan Kardiovaskuler; miokarditis
Komplikasi ini timbul terutama pada kasus-kasus dengan kelainan local
yang ekstensif dan pemberian antitoksin yang terlambat. Umumnya terjadi pada
hari ke -3 ke -21, bergantung pada berat dan ringannya penyakit. Manifestasi
klinisnya berupa takikardia, suara jantung lemah, irama derap paristolik, aritmia
(fibrilasi/blok atrium), dan gagal jantung. Pada elektrokardiografi ditemukan tanda-
tanda miokarditis berupa low voltage, dan tanda-tanda blok dimulai dari
perpanjangan interval PR sampai blok AV total. Penyembuhan miokarditis sampai
sempurna membutuhkan waktu tiga bulan.
2. Kelainan Neurologis
Saat timbulnya komplikasi ini bervariasi tergantung pada jumlah toksin
yang diproduksi, dan cepat/lambatnya pemberian antitoksin. Biasanya kelainan ini
terjadi bilateral, dan motorik lebih dominant dari sensorik, terutama yang terjadi
adalah paralysis. Daerah yang pertama kali terkena adalah palatum, umumnya
terjadi pada minggu ke 3- ke 6. ditandai dengan gejala-gejala suara hidung sengau,
kesukaran menelan, dan regurgitasi cairan ke rongga hidung sewaktu menelan.
3. Infaksi Sekunder
Bisa terjadi lokal pada tempat infeksi atau daerah lain.

8 DIAGNOSIS
Diagnosis difterisebaiknya dibuat berdasarkan penemuan keluhan dan gejal-
gejalanya (berdasarkan manifestasi klinisnya) yang khas, karena keterlambatan
diagnosis dapat menyebabkan penyakit bertambah lanjut dan berat.
Diagnosis pasti berdasarkan ditemukannya corynebacterium diphtheriae
baik dengan pemerikasaan mikroskopik secara langsung ataupun dengan biakan
dari lesinya. Kelainan laboratorium yang dapat membantu diagnosis adalah adanya
anemia, leukositosis, hipoglikemia dan glukosuria. Kelainan EKG ditemukan bila
sudah ada komplikasi miokarditis.
Permerikasaan terhadap imunitas; shick test. Bertujuan untuk menentukan
ada/ tidaknya antibody terhadap toksin difteri (antitoksin).

Cara:
Sebanyak 0,1 ml toksin difteri disuntikkan infakutan pada lengan tersangka,
pada lengan yang laindisuntik toksin yang sudah dipanaskan (control).
Reaksi dibaca pada hari ke 4-5, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema
yang diameternya 10 mm atau lebih pada tempat suntikan. Hasil positif berarti
adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bias juga ditimbulkan oleh reaksi
alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan
indurasinya menghilang dalam waktu 48 jam-72 jam, sedangkan yang positif
karena adanya antitoksin akan tetap selama beberapa hari.

Diagnosis Banding
I. Difteri nasal anterior
a. Korpus alienum pada hidung
b. Common cold
c. Sinisitis
Pemerikasaan speculum hidung, foto sinus dapat membedakan keadaan-
keadaan ini.
II. Difteri fausial
a. Tonsilofaringitis: ditemukan suhu yang tinggi, nyeri atau sukar menelan
lebih berat, pembesaran toksil, membrane mudah lepas dan tidak
menimbulkan perdarahan.
b. Mononucleosis infeksiosa: ditemukan linfadenopati generalisata,
splenomegali, adanya sel monoklear yang abnormal dalam darah tepi.
c. Leukemia akut
d. Agranulositosis
e. Herpes zoster pada palatum

III. Difteri laring:


a. Laringotrakeobronkitis
b. Glositis akut
c. Croup spasmodic/ nonspamodik
d. Aspirasi benda asing
e. Abses retrofaringeal
f. Papiloma larinks
g. Edema angioneurotik

9 . PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG
yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya
sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik. Pengobatan
spesifik untuk difteri :
1) ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe difteri Dosis DS (KI) Cara Pemberian
Difteri hidung 20.000 IM
Difteri tonsil 40.000 IM atau IV
Difteri faring 40.000 IM atau IV
Difteri laring 40.000 IM atau IV
Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV
Difteri + penyulit, bullneck 80.000-120.000 IV
Terlambat berobat (>72 jam), 80.000-120.000 IV
lokasi dimana saja

2) Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam.


Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari
dibagi 4 dosis.
3) Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat
membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila
terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi.
Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan
strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
4) Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan
kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan
bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut.
(Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang berasal dari kuda). Diphtheria Antitoxin
(DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai “investigational product”. Program imunisasi
(Amerika Serikat) melayani permintaan DAT pada waktu jam kerja (pukul 08.00 am –
04.30 pm. EST; Senin – Jum’at dengan menghubungi nomor telepon 404-639-8255).
Diluar jam kerja dan pada waktu hari libur menghubungi petugas jaga CDC
pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di stasiun karantina yang tersebar di seluruh
negara bagian di Amerika Serikat. Sebelum diberikan lakukan terlebih dahulu skin test
untuk mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum kuda. Jika hasilnya negative,
DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 – 100.000 unit tergantung berat ringan
serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat pemberian IM dan IV dilakukan bersama-
sama. Pemberian antibiotika tidak dapat menggantikan pemberian antitoksin. Procain
Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-anak dan
1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis. Penderita
dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g per hari
secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka erythromycin
dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V per oral sebesar
125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan adanya strain yang
resisten terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik golongan macrolide
generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin juga efektif untuk strain yang
sensitif terhadap erythromycin tetapi tidak sebaik erythromycin.
Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin
G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6
tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan
dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus
memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas
atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya
penunggu pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan ke
luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau
handuk yang selalu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran juga tempat untuk
merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan. Jika anak menderita difteri, ia
harus dirawat di rumah sakit karena seringkali menjadi gawat.
Pada saat memerlukan isolasi dalam kamar pribadi, rasa kesepian dapat timbul
karna hubungan social yang normal terganggu. Situasi ini dapat menjadi ancaman
psikologis, khususnya bagi anak-anak.
Sebelum tindakan isolasi dilakukan, klien dan keluarga harus memahami sifat
dari penyakit atau kondisi, tujuan isolasi, dan langkah untuk melakukan kewaspadaan
spesifik. Jika mereka mampu berpartisipasi untuk mempertahankan pencegahan infeksi,
kemungkinan untuk mengurangi penyebaran infeksi akan meningkat. Klien dan
keluarga harus diajarkan untuk mencuci tangan dan menggunakan pelindung sederhana
jika perlu.
Pada awal tahun 1900, perawatan isolasi berkembang sejak ditemukan penyakit
menular, orangtua dilarang untuk mengujungi anak dan membawa barang-barang atau
mainan dari rumah ke rumah sakit. Keadaan ini menimbulkan efek psikologis dari
tindakan isolasi, dimana anak menjadi stres selama berada di rumah sakit. Akhirnya,
orientasi pelayanan keperawatan anak berubah menjadi rooming in, yaitu orang tua
boleh tinggal bersama anaknya sakit. Dengan demikian, pendidikan kesehatan untuk
orang tua menjadi hal yang penting dilakukan oleh perawat. Kerja sama antara orang
tua dan tim kesehatan dirasakan besar menfaatnya dan orang tua didorong untuk
berpartisipasi aktif dalam perawatan anak.
Memaksimalkan Manfaat Hospitalisasi Anak. Menurut Supartini (2004), cara
memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak adalah sebagai berikut:
a. Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi kesempatan
orang tua mempelajari tumbuh-kembang anak dan reaksi anak terhadap stressor yang
dihadapi selama dalam perawatan di rumah sakit.
b. Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua.Untuk itu, pearawat dapat
memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak, terapi yang
didapat, dan prosedur keperawatan yang dilakukan pada anak, tentunya sesuai dengan
kapasitas belajarnya.
c. Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi
kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang lain
dan percaya diri. Tentunya hal ini hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih besar,
bukan bayi. Berikan selalu penguatan yang positif dengan selalu memberikan pujian
atas kemampuan anak dan orang tua dan dorong terus untuk meningkatkannya.
d. Fasilitasi anak untuk menjaga sosialisasinya dengan sesama pasien yang ada, teman
sebaya atau teman sekolah. Beri kesempatan padanya untuk saling kenal dan berbagi
pengalamannya. Demikian juga interaksi dengan petugas kesehatan dan sesama orang
tua harus difasilitasi oleh perawat karena selama di rumah sakit orang tua dan anak
mempunyai kelompok sosial yang baru.

10 PENGOBATAN:
I. Perawatan umum:
- Isolasi
- Istirahat ditempat tidur, minimal 2-3 minggu
- Makanan lunak atau cair, bergantung pada keadaan penderitanya
- Kebersihan jalan nafas dan pengisapan lender
- Control EKG secar serial 2-3 kali seminggu,selama 4-6 minggu untuk
mendeteksi miokarditis secar dini. Bila terjadi miokarditis harus istirahat
total di tempat tidur selama 1 minggu. Mobilisasi secara gradual baru boleh
dilakukan bila tanda-tanda miokarditis secara klinis dan EKG menghilang.
- Bila terjadi paralisasi dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisoterapi aktif
bila keadaan membaik. Paralisasi paratum dan farinks dapat menimbulkan
aspirasi, maka dianjurkan pemberian makanan cair melalui slang lambung.
- Bila terjadi obstruksi larinks, secepat mungkin dilakukan trakeoastomi.
II. Perawatan Khusus:
1. Menetralisasi toksin yang dihasilkan basil difteri
2. Membunuh basil difteri basil yang memproduksi toksin

Ad. 1. Pemberian Antitoksin:


Diberikan sedini mungkinbegitu diagnosis ditegakan, tidak
p[erlu menunggu hasil pemerikasaan bakteriologis. Dosis tergantung
kepada jenis difterinya, dan tidak dipengaruhi oleh umur pasiennya.
Pada difteri nasal atau fausial sedang diberikan 40.000 unit secar intra
muscular. Difteri fausial sedang diberikan 80.000 unit intravena dan
pada difteri berat (bullneck diphtheria) diberikan 120.200.000 unit
secara intravena. Pemberian antitosin harus didahului dengan uji
sensitivitas, karena antitoksi dibuatdari serum kuda. Apabila uji
sensitivitas positif, maka diberikan secara desentisasi dengan interval 20
menit, dosisnya sebagai berikut:
0,05 ml larutan 1:20 (dalam cairan garam fisiologis) subkutan.
0,1 ml larutan 1 : 20, subkutan
0,1 ml larutan 1 : 10, subkutan
0,1 ml tanpa dilarutkan, subkutan
0,3 ml tanpa dilarutkan, intramuskular
0,5 ml tanpa dilarutkan, intarmuskular
0,1 ml tanpa dilarutkan, intravena
Bila tidak ada reaksi, maka sisanya diberikan intravena secara berlahan-
lahan.
Ad 2.Pemeberian Antibiotik:
Diberikan penicillin prokain 600.000 unit/hari, selama 7 hari. Apabila
alergi terhadap penicillin, dapat diberikan eritromisin 40 mg/kg berat
badan/ hari, selama 7-10 hari. Preparat lain yang bias diberikan adalah
amoksillin, refampisin dan klindamisin.

11 . PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada :
1. Virulensi basil difteri
2. Lokasi kekebalan penderitanya
3. Capat/lambatnya pengobatan diberikan
4. Perawatan
Difteri yang disebabkan oleh jenis gravis biasanya prognosisnya paling
jelek, bullneck diphtheria mempunyai angka kematian 50 %. Difteri
larinks lebih cepat menimbulkan obstruksi saluran nafas, bila
pertolongan terlambat/kematian mendadak. Keterlambatan pengobatan
bila meningkatkan angka kematian 20 x lipat. Angka kematian biasanya
berkisar 5-10 %, penyebab kematian sebanyak adalah miokarditis.
Angka kematian penderita difteri 29 R.S. di Indonesia selama tahun
1969-1970, adalah 11,3 %.
Pencegahan
Cara yang paling baik untuk pencegahan adalah pemberian imunisasi
aktif. Biasanya pemberian vaksin difteri bersamaan dengan pertusis dan
tetanus (DPT).
Cara pemberian adalah sebagai berikut:
1. Imunisasi Primer
Berdasarkan umur an ak dibagi atas 2 bagian yaitu:
A. Anak berumur 6 minggu s/d 6 tahun. Diberikan 3 dosis TD
(Toksoid difteri) secara intramuscular/ subkutan, dengan interval
4-8 minggu yang dimulai ketika anak berumur 6 minggu samapi
2 bulan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian ke IV
sedangkan 1 tahun sesudah pemberian ke III. Preparat yang
digunakan adalah pe diatric toxoid
diphtheria yang mengandung 7-25 Lf (Limit flocculation Unit).
B. Anak berumur 7 tahun atau lebih. Diberikan 3 dosis Td dengan
pemberian ke II berselang waktu 4-8 minggu sesudah pemberian
I, sedangkan pemberian ke III berselang waktu 1 tahun sesudah
pemberian ke II. Preparat yang digunakan adalah adulttoxid
diphtheria yang mengandung tidak lebih dari 2 Lf.
2. Imunisasi Brosster
1. Anak berumur 6 minggu s/d 6 bulan. Apabila pemberian dosis ke
IV imunisasi primernya anak belum berumur 4 tahun, maka
diberikan brooster ketika anak tersebut mulai masuk sekolah
taman kanak-kanak. Apabila pada pemberian dosis ke IV
imunisasi primer anak telah berumur 4 tahun, maka tidak perlu
diberikan brooster pada waktu mulai masuk kuliah.
2. Anak berumur 7 tahun atau lebih diberikan brooster setiap 10
tahun.

Kontak
Orang yang kontak dengan penderita difteri terutama yang tidak
perna/ yang tidak sempurna mendapat imunisasi aktif, diberikan brooster
dengan dosis bergantung pada umurnya. Kemudian diberikan
kemoprofilaksis yaitu penicillin prokain 600.000 unit intramuscular/
perhari selama 4 hari atau eritromisin 40 mg/kg berat badan/ hari
selama 7 hari. Bila tidak mungkin dilakukan pengawasan, sebaiknya
diberikan antitoksin difteri 10.000 unit intramuscular.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Biodata
Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-1 tahun dan jarang
ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang
dewasa diatas 15 tahun
b. Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara miskin
c. Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat
pemukiman yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan
fasilitas kesehatan yang kurang
d. Keluhasn Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia,
lemah
e. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia.
Difteria Tonsil dan Faring: Panas tidak tinggi, nyeri telan ringan, mual, muntah, nafas
berbau, Bullneck.
Difteria Laring dan Trachea: Sesak nafas hebat, stridor inspirator, terdapat retraksi otot
supra sternal dan epigastrium, laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret,
permukaan tertutup oleh pseudomembran.
f. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas
atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
g. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dimungkinkan ada keluarga/ lingkungan yang menderita penyakit Difteria
h. Riwayat Tumbuh Kembang
Pertumbuhan dan perkembangan motorik, sensorik klien dengan difteri
biasanya terganggu pernapasan sehingga sulit menelan.
i. Riwayat kehamilan dan persalinan
1) Riwayat kehamilan
Apakah selama hamil ibu klien selalu memeriksa kehamilanya kebidanan.
2) Riwayat persalinan
Kaji dimana klien dilahirkan, berat badan, panjang badan.

j. Riwayat Imunisasi
Imunisasi DPT 1, 2, 3 pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan yang kurang memadai

k. Pola Fungsi Kesehatan


1) Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
2) Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
3) Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
4) Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kurang
disebabkan oleh anoreksia
l. Pemeriksaan
1) Pemeriksaan umum
c) B1 : Breating
Adanya pembengkakan kelenjer limfe (Bull’s neck), timbul peradangan pada
laring/trakea, suara serak, stridor, sesak napas.
d) B2 : Blood
Adanya degenerasi fatty infiltrate dan nekrosis pada jantung menimbulkan miokarditis
dengan tanda irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang
ditemukan tanda-tanda payah jantung.
e) B3 : Brain
Gangguan system motorik menyebabkan paralise.
f) B4 : Bladder
Tidak ada kelainan.
g) B5 : Bowel
Nyeri tenggorokan, sakit saat menelan, anoreksia, tampak kurus, BB cenderung
menurun, pucat.
h) B6 : Bone
Bedrest.
.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik

a) Pada diptheria tonsil - faring

Malaise
Suhu tubuh < 38,9 º c
Pseudomembran ( putih kelabu ) melekat dan menutup tonsil dan
dinding faring
Bulneck

b) Diptheriae laring

Stridor
Suara parau
Batuk kering
Pada obstruksi laring yang berat terdpt retraksi suprasternal, sub costal dan
supraclavicular
c) Diptheriae hidung

Pilek ringan
Sekret hidung serosanguinus  mukopurulen
Lecet pada nares dan bibir atas
Membran putih pada septum nasi.

B1 : Breating
Adanya pembengkakan kelenjer limfe (Bull’s neck), timbul peradangan pada
laring/trakea, suara serak, stridor, sesak napas.

B2 : Blood
Adanya degenerasi fatty infiltrate dan nekrosis pada jantung menimbulkan miokarditis
dengan tanda irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang
ditemukan tanda-tanda payah jantung.

B3 : Brain
Gangguan system motorik menyebabkan paralise.

B4 : Bladder
Tidak ada kelainan.

B5 : Bowel
Nyeri tenggorokan, sakit saat menelan, anoreksia, tampak kurus, BB cenderung
menurun, pucat.

B6 : Bone
Bedrest.

c) Diptheriae hidung

Pilek ringan
Sekret hidung serosanguinus  mukopurulen
Lecet pada nares dan bibir atas
Membran putih pada septum nasi.

3) Pemeriksaan Penunjang:
a) Laboratorium Bakteriologi : Hapusan tenggorokan di temukan kuman corinebakterium
difteria
b) Darah : Penurunan kadar HB dan leukosit polimorfonukleus, penurunan jumlah
eritrosit dan kadar albumin.
c) Skin test : Test kulit untuk menentukan status imunitas
m. Penatalaksanaan dan Therapy
Therapi atau penatalaksanaan dilakukan sesuai dengan konsep dasar:
1) Pengobatan umum
a) Isolasi
b) Pengawasan EKG
2) Pengobatan spesifik
a) ADS
b) Anti biotik
c) Kortikosteroid
d) Pada pasien yang di lakukan trakheostomi ditambahkan kloramphenikol 75
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.

B. Diagnosa keperawatan
1. Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret dan edema
kelenjer limfe, laring dan trakea.
2. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil dan faring.
3. Hipertermi berhubungan dengan proses masuknya kuman dalam tubuh.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

NO DX TUJUAN INTERVENSI RASIONAL

1 I Setelah dilakukan 1. Observasi tanda – tanda 1. Untuk mengetahui keadaan


tindakan keperawatan vital. umum pasien terutama pada
tentang Oxygen pernapasannya.
theraphy diharapkan
pola nafas pasien 2. Berikan posisi yang nyaman 2. Peninggian kepala
kembali normal. /semi fowler. mempermudah fungsi
Kriteria hasil : pernapasan dengan
O Frekuensi pernafasan menggunakan gravitasiatau
dalam batas normal. mempermudah pertukaran O2
o Tidak ada suara nafas dan CO2.
tambahan.
3. Anjurkan pasien agar tidak 3. Agar sesak tidak bertambah.
terlalu banyak bergerak. 4.

4. Kolaborasi dengan dokter 4. Membantu kekentalan secret


dalam pemberian O2 lembab sehingga mempermudah
atau inhalasi, bila perlu pengeluarannya.
dilakukan trachcostomi.

2 II Setelah dilakukan 1. Kaji status nyeri (lokasi, 1. Memberikan data dasar untuk
tindakan keperawatan frekuensi, durasi, dan intensitas menentukan dan mengevaluasi
klien mengalami nyeri). intervensi yang diberikan.
pengurangan nyeri.
Kriteria hasil : 2. Berikan posisi yang nyaman/ 2. Menurunkan stimulus
o Klien tampak rileks. semi fowler. terhadap renjatan nyeri
o Nyeri berkurang/ hilang.
3. Ajarkan tekhnik relaksasi, 3. Meningkatkan relaksasi yang
seperti napas dalam, dapat menurnkan rasa nyeri
visualisasi, dan bimbingan klien.
imajinasi.

4. Kolaborasi dengan dokter 4. Sebagai profilaksis untuk


dalam pemberian analgesik. menghilangkan /mengurangi
rasa nyeri dan spasme otot.

3 III Setelah dilakukan 1. Kaji suhu klien. 1. Untuk mengidentifikasi pola


tindakan keperawatan demam klien.
diharapakan suhu tubuh
klien diharapkan normal 2. Berikan kompres dengan air 2. Vasodilatasi pembuluh darah
Kriteria hasil : hangat pada daerah dahi, axila, akan melepaskan panas tubuh.
o Suhu tubuh normal lipatan paha.
(36,50C-37,50C.
3. Anjurkan minum yang 3. Peningkatan suhu tubuh
banyak seseuai toleransi klien. meningkat sehingga perlu
diimbangi dengan asupan cairan
yang banyak.

4. Kolaborasi dengan dokter 4. Obat antipiretik membantu


dalam pemberian terapi klien menurunkan suhu tubuh.
(antipieretik) .

4 IV Setelah dilakukan 1. Kaji pola makan klien. 1. Menganalisis penyebab


tindakan keperawatn ketidakadekuatan nutrisi.
diharapkan kebutuhan
nutrisi klien terpenuhi. 2. Anjurkan kebersihan oral 2. Mulut yang bersih dapat
Kriteria hasil: sebelum makan. meningkatkan/ merangsang
Nafsu makan klien nafsu makan klien.
membaik.
Porsi makanan yang 3. Anjurkan makan dalam 3. Makanan dalam porsi kecil
dihidangkan habis. porsi kecil disertai dengan mudah dikonsumsi oleh klien
Klien tidak mengalami makanan lunak/lembek. dan mencegah terjadinya
mual, muntah. anoreksia.

4. Berikan makan sesuai 4. Meningkatkan intake


dengan selera. makanan.

5. Kolaborasi dengan dokter 5. Menghilangkan mual, muntah


dalam pemberian obat dan meningkatkan nafsu makan.
antiemetic.
DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. dr. Noer Sjaifoellah M.H. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi ketiga,
Penerbit FKUI Jakarta, 1996.
2. Abednego M. Hadi, Pedoman Bulan Imunisasi anak Sekolah “Bias Bagi Guru,
Penerbit Departemen Kesehatan Tim Pembina UKS, 1998.
3. Dr. Racmat Haikin H, Modul Latihan Petugas Imunisasi edisi Keenam, Direktorat
Jenderal Pemberrantasan Penyakit Menular dan Penyehatan lingkungan
Pemukiman Departemen Kesehatan R.I, Jakarta 1997.

You might also like