You are on page 1of 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Literatur


2.1.1. Motivasi Kerja
Istilah motivasi berasal dari kata Latin “movere” yang berarti dorongan atau
menggerakkan. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan daya dan potensi agar
bekerja mencapai tujuan yang ditentukan (Malayu S.P Hasibuan, 2006). Pada dasarnya seorang
bekerja karena keinginan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dorongan keinginan pada diri
seseorang dengan orang yang lain berbeda sehingga perilaku manusia cenderung beragam di
dalam bekerja. Menurut Vroom dalam Ngalim Purwanto (2006), motivasi mengacu kepada suatu
proses mempengaruhi pilihan-pilihan individu terhadap bermacam-macam bentuk kegiatan yang
dikehendaki. Kemudian John P. Campbell, dkk mengemukakan bahwa motivasi mencakup di
dalamnya arah atau tujuan tingkah laku, kekuatan respons, dan kegigihan tingkah laku. Di
samping itu, istilah tersebut mencakup sejumlah konsep dorongan (drive), kebutuhan (need),
rangsangan (incentive), ganjaran (reward), penguatan (reinforcement), ketetapan tujuan (goal
setting), harapan (expectancy), dan sebagainya.
Menurut Hamzah B. Uno (2008), kerja adalah sebagai 1) aktivitas dasar dan dijadikan
bagian esensial dari kehidupan manusia, 2) kerja itu memberikan status, dan mengikat seseorang
kepada individu lain dan masyarakat, 3) pada umumnya wanita atau pria menyukai pekerjaan, 4)
moral pekerja dan pegawai itu banyak tidak mempunyai kaitan langsung dengan kondisi fisik
maupun materiil dari pekerjaan, 5) insentif kerja itu banyak bentuknya, diantaranya adalah uang.
Motivasi kerja merupakan motivasi yang terjadi pada situasi dan lingkungan kerja yang
terdapat pada suatu organisasi atau lembaga. Pada dasarnya manusia selalu menginginkan hal
yang baik-baik saja, sehingga daya pendorong atau penggerak yang memotivasi semangat
kerjanya tergantung dari harapan yang akan diperoleh mendatang jika harapan itu menjadi
kenyataan maka seseorang akan cenderung meningkatkan motivasi kerjanya. Menurut Ngalim
Purwanto, motivasi mengandung tiga komponen pokok, yaitu: 1) Menggerakkan, berarti
menimbulkan kekuatan pada individu, memimpin seseorang untuk bertindak dengan cara
tertentu. 2) Mengarahkan atau menyalurkan tingkah laku. Dengan demikian ia menyediakan
suatu orientasi tujuan. Tingkah laku individu diarahkan terhadap sesuatu. 3) Untuk menjaga atau
menopang tingkah laku, lingkungan sekitar harus menguatkan (reinforce) intensitas, dorongan-
dorongan dan kekuatan-kekuatan individu
Berdasarkan beberapa definisi dan komponen pokok diatas dapat dirumuskan motivasi
merupakan daya dorong atau daya gerak yang membangkitkan dan mengarahkan perilaku pada
suatu perbuatan atau pekerjaan sesuai dengan harapan yang ingin dicapai.

2.1.2. Jenis-jenis Motivasi


Jenis-jenis motivasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis menurut Malayu S. P
Hasibuan (2006), yaitu: 1) Motivasi positif (insentif positif), manajer memotivasi bawahan
dengan memberikan hadiah kepada mereka yang berprestasi baik. Dengan motivasi positif ini
semangat kerja bawahan akan meningkat, karena manusia pada umumnya senang menerima
yang baik-baik saja. 2) Motivasi negatif (insentif negatif), manajer memotivasi bawahan dengan
memberikan hukuman kepada mereka yang pekerjannya kurang baik (prestasi rendah). Dengan
memotivasi negatif ini semangat kerja bawahan dalam waktu pendek akan meningkat, karena
takut dihukum. Pengunaan kedua motivasi tersebut haruslah diterapkan kepada siapa dan kapan
agar dapat berjalan efektif merangsang gairah bawahan dalam bekerja.

2.1.3. Tujuan Motivasi


Tingkah laku bawahan dalam suatu organisasi seperti sekolah pada dasarnya berorientasi
pada tugas. Maksudnya, bahwa tingkah laku bawahan biasanya didorong oleh keinginan untuk
mencapai tujuan harus selalu diamati, diawasi, dan diarahkan dalam kerangka pelaksanaan tugas
dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Secara umum tujuan motivasi adalah
untuk menggerakan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauannya untuk
melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu (Ngalim
Purwanto, 2006).
Sedangkan tujuan motivasi menurut Malayu S. P. Hasibuan (2006) mengungkapkan
bahwa: 1) Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan. 2) Meningkatkan produktivitas
kerja karyawan. 3) Mempertahankan kestabilan karyawan perusahaan. 4) Meningkatkan
kedisiplinan absensi karyawan. 5) Mengefektifkan pengadaan karyawan. 6) Menciptakan
suasana dan hubungan kerja yang baik. 7) Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi
karyawan. 8) Meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan. 9) Mempertinggi rasa tanggung
jawab karyawan terhadap tugas- tugasnya. 10) Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan
bahan baku. Tindakan memotivasi akan lebih dapat berhasil jika tujuannya jelas dan disadari
oleh yang dimotivasi serta sesuai dengan kebutuhan orang yang dimotivasi

2.1.4. Metode Motivasi


Menurut Malayu S. P Hasibuan (2006), ada dua metode motivasi, yaitu: 1) Motivasi Langsung
(Direct Motivation) Motivasi langsung adalah motivasi (materiil dan nonmateriil) yang diberikan
secara langsung kepada setiap individu untuk memenuhi kebutuhan serta kepuasannya. Jadi
sifatnya khusus, seperti pujian, penghargaan, tunjangan hari raya, dan sebagainya. 2) Motivasi
Tak Langsung (Indirect Motivation) Motivasi tak langsung adalah motivasi yang diberikan
hanya merupakan fasilitas-fasilitas yang mendukung serta menunjang gairah kerja, sehingga
lebih bersemangat dalam bekerja. Misalnya, mesin-mesin yang baik, ruang kerja yang nyaman,
kursi yang empuk, dan sebagainya.

2.1.5. Indikator dan Dimensi Motivasi


Motivasi merupakan proses psikologi dalam diri seseorang dan sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Secara umum, faktor ini dapat muncul dari dalam diri (intrinsik) maupun dari
luar diri (ekstrinsik). Menurut Wahjosumidjo (2001), faktor yang mempengaruhi motivasi
meliputi faktor internal yang bersumber dari dalam individu dan faktor eksternal yang bersumber
dari luar individu. Faktor internal seperti sikap terhadap pekerjaan, bakat, minat, kepuasan,
pengalaman, dan lain-lain serta faktor dari luar individu yang bersangkutan seperti pengawasan,
gaji, lingkungan kerja, kepemimpinan. Sedangkan menurut Sondang P. Siagan (2006) motivasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Yang termasuk
faktor internal adalah: 1) Persepsi seseorang mengenai diri sendiri 2) Harga diri 3) Harapan
pribadi 4) Kebutuhan 5) Keinginan 6) Kepuasan kerja 7) Prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan fakor eksternal yang mempemgaruhi motivasi seseorang antara lain: 1) Jenis dan sifat
pekerjaan 2) Kelompok kerja dimana seseorang bergabung 3) Organisasi tempat orang bekerja 4)
Situasi lingkungan kerja 5) Gaji. Menurut Hamzah B. Uno (2009) dimensi dan indikator
motivasi kerja dapat dikelompokan sebagai berikut; Motivasi internal : 1) Tanggung jawab
dalam melaksanakan tugas, 2) Melaksanakan tugas dengan target yang jelas, 3) Memiliki tujuan
yang jelas dan menantang, 4) Ada umpan balik atas hasil pekerjaannya, 5) Memiliki rasa senang
dalam bekerja, 6) Selalu berusaha mengungguli orang lain, 7) Diutamakan prestasi dari apa yang
dikerjakannya. Motivasi eksternal ; 1) Selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidup dan
kebutuhan kerjanya, 2) Senang memperoleh pujian dari apa yang dikerjakannya, 3) Bekerja
dengan ingin memperoleh insentif, 4) Bekerja dengan harapan ingin memperoleh perhatian dari
teman dan atasan.

2.2. Kinerja
Kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance yang berarti prestasi
kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang. Pengertian kinerja (prestasi kerja)
adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam
melaksanakan fungsinya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Performance atau kinerja merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses (Nurlaila,
2010). Menurut pendekatan perilaku dalam manajemen, kinerja adalah kuantitas atau kualitas
sesuatu yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh seseorang yang melakukan pekerjaan
(Luthans, 2005). Kinerja merupakan prestasi kerja, yaitu perbandingan antara hasil kerja dengan
standar yang ditetapkan (Dessler, 2000). Sedangkan Mathis dan Jackson (2006) menyatakan
bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan pegawai. Kinerja
merupakan hasil kerja dari tingkah laku (Amstrong, 1999:15). Pengertian kinerja ini mengaitkan
antara hasil kerja dengan tingkah laku. Sebagai tingkah laku, kinerja merupakan aktivitas
manusia yang diarahkan pada pelaksanaan tugas organisasi yang dibebankan kepadanya.

2.2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja


1. Efektifitas dan efisiensi
Bila suatu tujuan tertentu akhirnya bisa dicapai, kita boleh mengatakan bahwa kegiatan
tersebut efektif tetapi apabila akibat-akibat yang tidak dicari kegiatan menilai yang penting
dari hasil yang dicapai sehingga mengakibatkan kepuasan walaupun efektif dinamakan tidak
efesien. Sebaliknya, bila akibat yang dicari-cari tidak penting atau remeh maka kegiatan
tersebut efesien (Prawirosentono, 1999).
2. Otoritas (wewenang)
Otoritas menurut adalah sifat dari suatu komunikasi atau perintah dalam suatu organisasi
formal yang dimiliki seorang anggota organisasi kepada anggota yang lain untuk melakukan
suatu kegiatan kerja sesuai dengan kontribusinya (Prawirosentono, 1999). Perintah tersebut
mengatakan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dalam organisasi tersebut.
3. Disiplin
Disiplin adalah taat kepda hukum dan peraturan yang berlaku (Prawirosentono, 1999). Jadi,
disiplin karyawan adalah kegiatan karyawan yang bersangkutan dalam menghormati
perjanjian kerja dengan organisasi dimana dia bekerja.
4. Inisiatif
Inisiatif yaitu berkaitan dengan daya pikir dan kreatifitas dalam membentuk ide untuk
merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi.

2.2.2. Karakteristik Kinerja Karyawan


Karakteristik orang yang mempunyai kinerja tinggi adalah sebagai berikut
(Mangkunegara, 2002): 1) Memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi, 2) Berani mengambil
dan menanggung resiko yang dihadapi, 3) Memiliki tujuan yang realistis, 4) Memiliki rencana
kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuannya, 5) Memanfaatkan umpan balik
(feed back) yang konkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukannya, 6) Mencari
kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan.

2.2.3. Indikator Kinerja Karyawan


Indikator untuk mengukur kinerja karyawan secara individu ada enam indikator, yaitu (Robbins,
2006) :
1. Kualitas.
Kualitas kerja diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan
serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan karyawan.
2. Kuantitas.
Kuantitas, merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah seperti jumlah unit,
jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.
3. Ketepatan waktu.
Merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal waktu yang dinyatakan, dilihat dari
sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk
aktivitas lain.
4. Efektivitas.
Merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang, teknologi, bahan
baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasil dari setiap unit dalam penggunaan
sumber daya.
5. Kemandirian. Merupakan tingkat seorang karyawan yang nantinya akan dapat menjalankan
fungsi kerjanya Komitmen kerja. Merupakan suatu tingkat dimana karyawan mempunyai
komitmen kerja dengan instansi dan tanggung jawab karyawan terhadap kantor.

2.3.Kepuasan Kerja
Setiap orang yang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari tempatnya bekerja.
Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual karena setiap individu
akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam
diri setiap individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan
individu, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan. Menurut Kreitner dan Kinicki
(2001;271) kepuasan kerja adalah Suatu efektifitas atau respons emosional terhadap berbagai
aspek pekerjaan. Davis dan Newstrom (1985;105) mendeskripsikan kepuasan kerja adalah
seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Menurut
Robbins (2003;78) kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang
menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yag diterima pekerja dan jumlah yang
mereka yakini seharusnya mereka terima.
Kepuasan kerja merupakan respon afektif atau emosional terhadap berbagai segi atau
aspek pekerjaan seseorang sehingga kepuasan kerja bukan merupakan konsep tunggal. Seseorang
dapat relatif puas dengan salah satu aspek pekerjaan dan tidak puas dengan satu atau lebih aspek
lainnya. Kepuasan Kerja merupakan sikap (positif) tenaga kerja terhadap pekerjaannya, yang
timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja. Penilaian tersebut dapat dilakukan terhadap
salah satu pekerjaannya, penilaian dilakukan sebagai rasa menghargai dalam mencapai salah satu
nilai-nilai penting dalam pekerjaan. Karyawan yang puas lebih menyukai situasi kerjanya
daripada tidak menyukainya. Perasaan-perasaan yang berhubungan dengan kepuasan dan
ketidakpuasan kerja cenderung mencerminkan penaksiran dari tenaga kerja tentang pengalaman-
pengalaman kerja pada waktu sekarang dan lampau daripada harapan-harapan untuk masa depan.
Sehingga dapat disimpulkan pengertian kepuasan kerja adalah sikap yang positif dari tenaga
kerja meliputi perasaan dan tingkah laku terhadap pekerjaannya melalui penilaian salah satu
pekerjaan sebagai rasa menghargai dalam mencapai salah satu nilai-nilai penting pekerjaan.

2.3.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja


Ada lima faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja menurut Kreitner dan Kinicki (2001;
225) yaitu sebagai berikut : 1) Pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment) Kepuasan ditentukan
oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi
kebutuhannya. 2) Perbedaan (Discrepancies) Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi
harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa
yang diperoleh individu dari pekerjaannya. Bila harapan lebih besar dari apa yang diterima,
orang akan tidak puas. Sebaliknya individu akan puas bila menerima manfaat diatas harapan. 3)
Pencapaian nilai (Value attainment) Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan
memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting. 4) Keadilan (Equity) Kepuasan
merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. 5) Komponen
genetik (Genetic components) Kepuasan kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik.
Hal ini menyiratkan perbedaan sifat individu mempunyai arti penting untuk menjelaskan
kepuasan kerja disamping karakteristik lingkungan pekerjaan.
Selain penyebab kepuasan kerja, ada juga faktor penentu kepuasan kerja. Diantaranya
adalah sebagi berikut : 1) Pekerjaan itu sendiri (work it self) Setiap pekerjaan memerlukan suatu
keterampilan tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan
serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut,
akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan. 2) Hubungan dengan atasan (supervision)
Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja adalah tenggang rasa
(consideration). Hubungan fungsional mencerminkan sejauhmana atasan membantu tenaga kerja
untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan keseluruhan
didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang
serupa, misalnya keduanya mempunyai pandangan hidup yang sama. Tingkat kepuasan kerja
yang paling besar dengan atasan adalah jika kedua jenis hubungan adalah positif. Atasan yang
memiliki ciri pemimpin yang transformasional, maka tenaga kerja akan meningkat motivasinya
dan sekaligus dapat merasa puas dengan pekerjaannya. 3) Teman sekerja (workers) Teman kerja
merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai dengan atasannya dan
dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya. 4) Promosi
(promotion) Promosi merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan
untuk memperoleh peningkatan karier selama bekerja. 5) Gaji atau upah (pay) Merupakan faktor
pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak.

2.3.2. Pengaruh Kepuasan Kerja


1. Terhadap Produktivitas
Orang berpendapat bahwa produktivitas dapat dinaikkan dengan meningkatkan kepuasan
kerja. Kepuasan kerja mungkin merupakan akibat dari produktivitas atau sebaliknya.
Produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja hanya jika tenaga
kerja mempersepsikan bahwa apa yang telah dicapai perusahaan sesuai dengan apa yang
mereka terima (gaji/upah) yaitu adil dan wajar serta diasosiasikan dengan performa kerja
yang unggul. Dengan kata lain bahwa performansi kerja menunjukkan tingkat kepuasan kerja
seorang pekerja, karena perusahaan dapat mengetahui aspek-aspek pekerjaan dari tingkat
keberhasilan yang diharapkan.
2. Ketidakhadiran (Absenteisme)
Menurut Porter dan Steers, ketidakhadiran sifatnya lebih spontan dan kurang mencerminkan
ketidakpuasan kerja. Tidak adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan ketidakhadiran.
Karena ada dua faktor dalam perilaku hadir yaitu motivasi untuk hadir dan kemampuan
untuk hadir. Sementara itu menurut Wibowo (2007:312) antara kepuasan dan
ketidakhadiran/kemangkiran menunjukkan korelasi negatif. Sebagai contoh perusahaan
memberikan cuti sakit atau cuti kerja dengan bebas tanpa sanksi atau denda termasuk kepada
pekerja yang sangat puas.
3. Keluarnya Pekerja (Turnover)
Sedangkan berhenti atau keluar dari pekerjaan mempunyai akibat ekonomis yang besar,
maka besar kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuasan kerja. Menurut Robbins
(1998), ketidakpuasan kerja pada pekerja dapat diungkapkan dalam berbagai cara misalnya
selain dengan meninggalkan pekerjaan, mengeluh, membangkang, mencuri barang milik
perusahaan/organisasi, menghindari sebagian tanggung jawab pekerjaan mereka dan lainnya.
4. Respon terhadap Ketidakpuasan Kerja
Menurut Robbins (2003) ada empat cara tenaga kerja mengungkapkan ketidak puasan yaitu:
a) Keluar (Exit) yaitu meninggalkan pekerjaan termasuk mencari pekerjaan lain. b)
Menyuarakan (Voice) yaitu memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan masalah dengan
atasan untuk memperbaiki kondisi. c) Mengabaikan (Neglect) yaitu sikap dengan
membiarkan keadaan menjadi lebih buruk seperti sering absen atau semakin sering membuat
kesalahan. d) Kesetiaan (loyality) yaitu menunggu secara pasif samapi kondisi menjadi lebih
baik termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar.

2.3.3. Meningkatkan Kepuasan Kerja


Menurut Riggio (2005), peningkatan kepuasan kerja dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut: 1) Melakukan perubahan struktur kerja, misalnya dengan melakukan perputaran
pekerjaan (job rotation), yaitu sebuah sistem perubahan pekerjaan dari salah satu tipe tugas ke
tugas yang lainnya (yang disesuaikan dengan job description). Cara kedua yang harus dilakukan
adalah dengan pemekaran (job enlargement), atau perluasan satu pekerjaan sebagai tambahan
dan bermacam-macam tugas pekerjaan. Praktik untuk para pekerja yang menerima tugastugas
tambahan dan bervariasi dalam usaha untuk membuat mereka merasakan bahwa mereka adalah
lebih dari sekedar anggota dari organisasi. 2) Melakukan perubahan struktur pembayaran,
perubahan sistem pembayaran ini dilakukan dengan berdasarkan pada keahliannya (skill-based
pay), yaitu pembayaran dimana para pekerja digaji berdasarkan pengetahuan dan
keterampilannya daripada posisinya di perusahaan. Pembayaran kedua dilakukan berdasarkan
jasanya (merit pay), sistem pembayaran dimana pekerja digaji berdasarkan performancenya,
pencapaian finansial pekerja berdasarkan pada hasil yang dicapai oleh individu itu sendiri.
Pembayaran yang ketiga adalah Gain sharing atau pembayaran berdasarkan pada keberhasilan
kelompok (keuntungan dibagi kepada seluruh anggota kelompok). 3) Pemberian jadwal kerja
yang fleksibel, dengan memberikan kontrol pada para pekerja mengenai pekerjaan sehari-hari
mereka, yang sangat penting untuk mereka yang bekerja di daerah padat, dimana pekerja tidak
bisa bekerja tepat waktu atau untuk mereka yang mempunyai tanggung jawab pada anak-anak.
Compressed work week (pekerjaan mingguan yang dipadatkan), dimana jumlah pekerjaan per
harinya dikurangi sedang jumlah jam pekerjaan per hari ditingkatkan. Cara yang kedua adalah
dengan sistem penjadwalan dimana seorang pekerja menjalankan sejumlah jam khusus per
minggu (Flextime), tetapi tetap mempunyai fleksibilitas kapan mulai dan mengakhiri
pekerjaannya. 4) Mengadakan program yang mendukung, perusahaan mengadakan program-
program yang dirasakan dapat meningkatkan kepuasan kerja para karyawan

2.4. Budaya Organisasi


Menurut Davis (dalam Lako, 2004: 29) budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan
nilai-nilai organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola
tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Hal
yang sama juga diungkapkan oleh Mangkunegara (2005: 113) yang menyatakan bahwa budaya
organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai, dan norma yang
dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya
untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan internal. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang diyakini dan
dijiwai oleh seluruh anggotanya dalam melakukan pekerjaan sebagai cara yang tepat untuk
memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait, sehingga akan
menjadi sebuah nilai atau aturan di dalam organisasi tersebut.

2.4.1. Elemen Budaya Organisasi


Beberapa ahli mengemukakan elemen budaya organisasi, seperti Denison (1990) antara
lain : nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip dasar, dan praktek-praktek manajemen serta
perilaku. Serta Schein (1992) yaitu : pola asumsi dasar bersama, nilai dan cara untuk melihat,
berfikir dan merasakan, dan artefak. Terlepas dari adanya perbedaan seberapa banyak elemen
budaya organisasi dari setiap ahli, secara umum elemen budaya organisasi terdiri dari dua
elemen pokok yaitu elemen yang bersifat idealistik dan elemen yang bersifat perilaku.
1. Elemen Idealistik
Elemen idealistik umumnya tidak tertulis, bagi organisasi yang masih kecil melekat pada diri
pemilik dalam bentuk doktrin, falsafah hidup, atau nilai-niali individual pendiri atau pemilik
organisasi dan menjadi pedoman untuk menentukan arah tujuan menjalankan kehidupan
sehari-hari organisasi. Elemen idealistik ini biasanya dinyatakan secara formal dalam bentuk
pernyataan visi atau misi organisasi, tujuannya tidak lain agar ideologi organisasi tetap
lestari. Schein (1992) dan Rosseau (1990) mengatakan elemen idealistik tidak hanya terdiri
dari nilai-nilai organisasi tetapi masih ada komponen yang lebih esensial yakni asumsi dasar
yang bersifat diterima apa adanya dan dilakukan diluar kesadaran, asumsi dasar tidak pernah
dipersoalkan atau diperdebatkan keabsahanya.
2. Elemen Behavioural
Elemen bersifat behavioral adalah elemen yang kasat mata, muncul kepermukaan dalam
bentuk perilaku sehari-sehari para anggotanya, logo atau jargon, cara berkomunikasi, cara
berpakaian, atau cara bertindak yang bisa dipahami oleh orang luar organisasi dan bentuk-
bentuk lain seperti desain dan arsitektur instansi. Bagi orang luar organisasi, elemen ini
sering dianggap sebagai representasi dari budaya sebuah organisasi sebab elemen ini mudah
diamati, dipahami dan diinterpretasikan, meski interpretasinya kadang-kadang tidak sama
dengan interpretasi orang-orang yang terlibat langsung dalam organisasi.

2.4.2. Dimensi Budaya Organisasi


Menurut McShane, Steve. L. & Von Glinov, Marry Ann (2005) Dimensi Budaya
Organisasi adalah :a) Dimensi Budaya Pengendalian :Budaya ini menilai peran eksekutif senior
untuk memimpin organisasi. Tujuannya adalah untuk mempertahankan semua orang berjalan
searah dan dibawah kendali. b) Dimensi Budaya Kinerja : Budaya ini menilai kinerja individu
dan organisasi dan berusaha untuk mencapai efektivitas dan efesiensi. c) Dimensi Budaya
Hubungan : Budaya ini menilai sifat pengasuhan dan kemanusiaan. Ini mempertimbangkan
komunikasi terbuka, keadilan, kerja tim, dan pembagian bagian-bagian penting dalam kehidupan
organisasi. d) Dimensi Budaya Responsive : Budaya ini menilai kemampuannya untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal, termasuk kompetitif dan merealisasikan
kesempatan baru.

2.4.3. Tingkatan Budaya Organisasi


Menurut Richard L. Daft (2007) budaya dapat dianalisis pada tiga tingkat, yaitu: a)
Artifak (pakaian, pola perilaku, simbol fisik, upacara organisasi, tata letak kantor) Yaitu : semua
hal yang dapat dilihat, didengar dan diamati seseorang dan penglihatan para anggota organisasi.
b) Nilai-nilai : Dilihat dari cara orang menjelaskan dan membenarkan apa yang mereka perbuat
dapat diinterpretasikan dan kisah-kisah, bahasa dan symbol organisasi yang dapat digunakan
para anggota untuk menggambarkan mereka. c) Asumsi-asumsi dasar dan keyakinan merupakan
inti dari budaya dan secara dibawah sadar membimbing perilaku dan keputusan

2.4.4. Fungsi Budaya Organisasi


Menurut Stephen P. Robbins (2002 : 283) budaya organisasi mempunyai fungsi sebagai
berikut : a) Menentukan peran membedakan antara perusahaan satu dengan yang lain. b)
Menentukan tujuan bersama lebih dari sekedar kesenangan individu. c) Menjaga stabilitas
perusahaan. d) Membuat identitas bagi anggota organisasi.

2.4.5. Pembentukan Budaya Organisasi


Menurut Stephen P. Robbins (2002 :291) budaya organisasi terbentuk karena adanya: a)
Stories: cerita turun temurun tentang perusahaan bagaimana peraturan perusahaan bagaimana
reaksi terhadap kesalahan yang pernah dilakukan perusahaan tersebut. b) Ritual : Kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. c) Material Simbol : Barang-barang yang
digunakan untuk melakukan kegiatan perusahaan. d) Language : Setiap kelompok biasanya
memiliki bahasa khusus yang hanya dimengerti oleh setiap kelompok tersebut.

2.5.Kajian Penelitian Terdahulu yang Relevan


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Penelitian


Kerangka penelitian merupakan model konseptual untuk menjelaskan hubungan variabel
variable dalam penelitian. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model kausalitas
atau hubungan pengaruh. Untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini maka
teknik analisis yang digunakan adalah SEM (Stuctural EquationModel )
Sebuah rumah sakit harus berusaha melakukan strategi bagaimana meningkatkan kualitas
layanan sehingga pasien merasa puas dengan layanan yang dierikan. Oleh karena itu rumah sakit
harus memiliki citra merek rumah sakit yang positif dengan memberikan layanan yang paripurna
kepada pasiennya. Layanan yang memuaskan diharapkan akan berpengaruh terhadap loyalitas
pasien yang berdampak pada meningkatnya kunjungan pasien.
Citra Merek Rumah Sakit (X1) memiliki indikator yaitu Reputasi yang baik dari Rumah
Sakit, Lingkungan yang nyaman, Kepercayaan di Rumah Sakit, Sikap yang Tepat dari Dokter.
Sedangkan Kualitas Layanan (X2) dapat dilihat dari lima dimensi yaitu Tangible, Reliability,
Responsiveness, Assurance dan Emphaty. Kepuasan pasien (Y1) menjadi mediasi terhadap
loyalitas pasien yang memiliki indikator yaitu pasien menyatakan puas terhadap layanan yang
diberikan oleh rumah sakit. Selanjutnya pengaruh dari kepuasan pasien terhadap citra merek
rumah sakit dan kualitas layanan yang positif, maka akan berpengaruh terhadap Loyalitas Pasien
(Y2) yang memiliki dampak terhadap kunjungan ulang pasien ke Rumah Sakit.

3.2. Variabel Mediasi


Variabel intervening (variabel penyela/antara), adalah variabel yang secara teoritis
mempengaruhi hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen menjadi
hubungan tidak langsung dan tidak dapat diamati atau diukur.Trucman (1988) dalam Sugiyono
(2009). Variabel mediasi atau variabel antara atau variabel intervening (Intervene Variable)
adalah variabel yang bersifat menjadi perantara (Mediating) dari hubungan variabel penjelas ke
variabel tergantung. Sifatnya adalah sebagai penghubung (jembatan) antara variabel penjelas
dengan variabel tergantung (bisa bersifat partial atau complete Mediation)
Gambaran secara umum kerangka penelitian ini dapat dijelaskan pada gambar dibawah
ini :

Citra
Merek RS H2
X1
H1
Kepuasan Loyalitas
Pasien H5 Pasien
Y1 Y2
H3
Kualitas
Layanan H4
X2

Gambar 3.1 : Kerangka Penelitian

3.3.Hipotesis Penelitian
Rumusan hipotesis berdasarkan konsep penelitian tersebut diatas adalah sebagai berikut :
Kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa dari hasil membandingkan
performa produk yang diterima dalam hubungannya dengan perkiraannya (Kotler, 2009). Hampir
semua Rumah Sakit mengharapkan kepuasan dari pasien. Citra Merek berkorelasi dengan
kepuasan pelanggan.
Da Silva et. al dalam dalam Nurullah (2013) menyatakan bahwa citra berkorelasi dengan
kepuasan pelanggan. Atas dasar pengalaman yang telah dimiliki konsumen (pasien), mereka
akan memberikan penilaian dan evaluasi seluruh kinerja layanan rumah sakit. Berdasarkan
perbandingan kualitas harapan dengan kualitas kinerja layanan, maka pelanggan akan
memberikan emosi positif atau emosi negatif bahkan emosi yang netral,bergantung pada apakah
harapan-harapan pelanggan tersebut terpenuhi. Hipotesis pertama dapat dirumuskan sebagai
berikut :
H 1 : Citra Merek Rumah Sakit berpengaruh terhadap peningkatan Kepuasan Pasien.

Citra Rumah Sakit yang menguntungkan membantu memperkuat niat pasien untuk memilih
rumah sakit. Penilaian masyarakat merupakan hal penting karena hal tersebut akan
mempengaruhi informasi yang beredar mengenai kinerja dan layanan yang diberikan rumah
sakit.
Marilees dan Fry, (2002) menemukan bahwa citra memiliki efek langsung pada loyalitas.
Namun demikian, citra dapat dilihat jelas sebagai penduga loyalitas pelanggan. Citra yang baik
akan membentuk pola pikir masyarakat bahwa apabila masyarakat memiliki kendala kesehatan,
masyarakat tidak perlu berpikir dua kali kemana mereka akan mendapatkan layanan kesehatan,
karena berdasarkan pengalaman yang mereka alami sendiri atau berdasarkan informasi yang
mereka peroleh. Maka hipotesis kedua dapat dirumuskan sebagai berikut :
H 2 : Citra Merek Rumah Sakit berpengaruh terhadap peningkatan Loyalitas Pasien

Pelayanan yang berkualitas akan meningkatkan nilai bagi pasien sehingga akan dapat
menciptakan kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan loyalitas pasien. Kualitas pelayanan
kesehatan yang dirasakan pasien baik, akan meningkatkan kepuasan bagi pasien.
Wu ,( 2011) menyatakan bahwa bahwa kualitas layanan yang tinggi berkorelasi dengan
kepuasan pelanggan yang tinggi. Kepuasan pasien berfungsi sebagai medium antara kualitas
layanan dan niat perilaku. Kualitas layanan kesehatan tidak hanya berkaitan dengan bagaimana
layanan dari tenaga medis memberikan layanan kepada pasien namun juga bagaimana pasien
merasa nyaman dengan kondisi dan situasi yang rumah sakit ciptakan.
H 3 : Kualitas Layanan berpengaruh terhadap peningkatan Kepuasan Pasien

Loyalitas pelanggan menggambarkan komitmen yang diberikan pelanggan untuk


menggunakan kembali jasa yang diberikan dimasa yang akan datang. Loyalitas yang tinggi dari
masyarakat akan menghemat beberapa biaya bagi rumah sakit. Ketika produk jasa yang
diberikan Rumah Sakit melebihi harapan, maka akan menimbulkan kepuasan bagi pasien
sehingga niat penggunaan jasa kembali dari pelanggan akan meningkat. Peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit akan memberikan kontribusi untuk retensi pelanggan dan
loyalitas. Kualitas pelayanan yang dirasakan oleh pasien akan mempengaruhi loyalitas pasien.
Profitabilitas Rumah Sakit juga akan meningkat bila pasien puas atas jasa yang diterimanya dan
akhirnya pasien menjadi loyal dengan niat menggunakan kembali jasa yang pernah dirasakannya.
Maka hipotesis keempat dapat dirumuskan sebagai berikut:
H 4 : Kualitas Layanan berpengaruh terhadap peningkatan Loyalitas Pasien.
Persepsi pasien tentang pelayanan memegang peranan yang sangat penting. Kualitas
pelayanan akan terpenuhi apabila proses penyampaian jasa dari pemberi jasa kepada pasien
sesuai dengan apa yang dipersepsikan oleh pasien. Kotler (2005) menyatakan bahwa kualitas
layanan merupakan jaminan terbaik untuk menciptakan dan mempertahankan kesetiaan
konsumen dan benteng pertahanan dalam menghadapi persaingan global. Artinya pelayanan
yang berkualitas dari perusahaan akan mempengaruhi loyalitas konsumen.
Bloemer et.al. (1998) menemukan efek mediasi dari kualitas layanan dan kepuasan pasien
dalam hubungan antara citra merek dan loyalitas. Citra merek memiliki dampak pada kepuasan
pasien melalui kepuasan. Temuan ini juga sejalan dengan penelitian dari Marriless dan Fry,
2002) bahwa citra merek memiliki dampak signifikan terhadap loyalitas secara langsung.
Hipotesis kelima dapat dirumuskan sebagai berikut
H 5 : Kepuasan Pasien terbukti sebagai variabel mediasi Citra Merek Rumah Sakit dan
Kualitas Layanan terhadap Loyalitas Pasien

3.4. Desain Penelitian


Desain penelitian ini adalah penelitian eksplanatori (Explanatory Research). Menurut
Sugiyono, penelitian eksplanatori merupakan penelitian yang bermaksud menjelaskan
kedudukan variabel-variabel yang diteliti serta hubungan antara satu variabel dengan yang lain.
Sedangkan karakteristik penelitian ini bersifat replikasi yang dimodifikasi, sehingga hasil uji
hipotesis harus didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya, yang diulang dengan kondisi
lain yang kurang lebih sama. (Sugiyono, 2012)
Di dalam penelitian eksplanatori, pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
metode survei, yaitu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta mengenai
fenomena-fenomena yang ada di dalam obyek penelitian dan mencari keterangan secara aktual
dan sistematis. Berdasarkan hipotesis dalam rancangan penelitian ini ditentukan variabel-
variabel yang dipergunakan dalam penelitian. Ada empat variabel yaitu variabel Citra merek
rumah sakit, Kualitas layanan, Kepuasan pasien dan Loyalitas pasien. Selanjutnya untuk
menentukan instrumen berdasarkan variabel penelitian dan kemudian menentukan sampel.
Pengumpulan data dilakukan dengan menyebar kuisioner. Data yang terkumpul diolah
dengan menggunakan alat analisis deskriptif dan kuantitatif.Teknik analisa yang dipergunakan
untuk menganalisis data adalah analisis SEM (Structural Equation Model). Hasil analisa
kemudian diinterpretasikan dan langkah terakhir disimpulkan serta diberikan saran.

3.5. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel


Definisi operasional pada penelitian adalah unsur penelitian yang terkait dengan variabel
yang terdapat dalam judul penelitian atau yang tercakup dalam paradigma penelitian sesuai
dengan hasil perumusan masalah. Teori ini dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa
suatu yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah
satu penyebab ( J.Supranto, 2003) Definisi operasional variabel penelitian ini kemudian
diuraikan menjadi indikator empiris (IE) yang meliputi:

Tabel 3.1 : Definisi Operasional


1. Citra Merek Rumah Sakit
Definisi Indikator Operasionalisasi

Kim et.al, 2003 : 1. Reputasi yang baik (X1) : Rumah Sakit ini
dari RS sudah dikenal
Citra merek yang dibangun
masyarakat sebagai
dari asosiasi merek ini
Rumah Sakit yang
biasanya berhubungan
Islami
dengan informasi yang ada
2. Kepercayaan di RS (X2) : Saya percaya
dalam ingatan pelanggan
Rumah Sakit ini dapat
dengan sesuatu yang
memberikan
berhubungan dengan jasa
pelayanan kesehatan
atau produk tersebut.
yang saya butuhkan
dengan baik
3. Lingkungan yang (X3) Rumah Sakit ini
nyaman memiliki lingkungan
yang asri
(X4) : Rumah Sakit ini
memiliki lingkungan
yang bersih
(X5) : Dokter di
4. Sikap yang Tepat Rumah Sakit ini selalu
dari Dokter bersikap baik terhadap
pasien

2. Kualitas Pelayanan
Definisi Indikator Operasionalisasi

Menurut parasuraman, 1. Berwujud (tangible) (X5) : Rumah Sakit ini


et.al dalam Nasution, Yaitu berupa memiliki peralatan medis yang
MN, 2004: penampilan fasilitas canggih
fisik, perlengkapan, (X6) : Fasilitas fisik (kursi,
Kualitas jasa adalah
pegawai dan sarana meja, gedung,dll) terlihat
penilaian global atau
komunikasi menarik
sikap menyangkut
(X7) : Rumah Sakit ini
superioritas jasa yang
memiliki Perawat yang
dilakukan pelanggan
berpenampilan rapi
dengan
(X8): Rumah Sakit ini
membandingkan
memiliki ruang tunggu yang
persepsi dan
nyaman
ekspektasinya
2. Keandalan (X9) : Pelayanan yang
(reliability) Yaitu diberikan dokter tepat waktu
kemampuan pelayanan (X10) : Petugas Medis
kesehatan untuk menjelaskan pemeriksaan
memberikan yang akan dilakukan
pelayanan yang
(X11) : Jadwal pelayanan
dijanjikan dengan
Rumah Sakit ini dijalankan
segera dan
dengan tepat
memuaskan.
(X12) : Prosedur pelayanan
Rumah Sakit ini tidak
berbelit-belit.

Definisi Indikator Operasionalisasi

3. Daya tanggap (X13) : Petugas di Rumah


(responsiveness) Sakit ini memberikan
Yaitu keinginan para informasi jika ada
staf untuk membantu keterlambatan pelayanan
para pelanggan dan dokter
memberikan
(X14) :Dokter di Rumah Sakit
pelayanan dengan
ini cepat tanggap
tanggap.
menyelesaikan keluhan pasien

(X15) : Petugas Apotik


memberitahukan waktu
penyediaan obat

(X16) ; Petugas Kasir


melanyani dengan baik

4. Jaminan (assurance) (X17) : Dokter dengan tepat


Yaitu mencakup mendiagnosa penyakit pasien
kemampuan,
(X18) : Dokter dengan sabar
kesopanan, dan sifat
menjelaskan tentang penyakit
dapat dipercaya yang
pasien
dimiliki para staf,
bebas dari bahaya, (X19) : Perawat melayani
risiko atau keragu- dengan ramah
raguan.
(X20) : Petugas Apotik
memberikan obat dengan
benar

Definisi Indikator Operasionalisasi

5. Empati (emphaty) (X21) : Menurut saya dokter


Yaitu meliputi memberikan
kemudahan dalam
penjelasan yang rinci atas
melakukan hubungan,
pengobatan yang diberikan
komunikasi yang baik,
dan memahami terhadap pasien.
kebutuhan pelanggan
(X22) : Dokter memberikan
perhatian terhadap keluhan
pasien dan keluarganya

(X23) : Menurut saya Rumah


Sakit ini memberikan
pelayanan yang adil tanpa
memandang status social

(X24) : Menurut saya para


petugas memberikan perhatian
terhadap setiap keluhan

Menurut Kotler dan 1. Kepuasan terhadap (Y1) : Saya sangat puas


Keller, 2003: Kepuasan layanan Rumah Sakit dengan kinerja Dokter
pelanggan adalah
(Y2) Saya sangat puas dengan
perasaan senang atau
pelayanan yang diberikan
kecewa seseorang yang
Rumah Sakit ini
timbul karena
membandingkan
kinerja yang
dipersepsikan produk
(hasil) terhadap
ekspektasi mereka.
Definisi Indikator Operasionalisasi

Jika kinerja gagal


memenuhi ekspektasi,
pelanggan akan tidak
puas. Jika kinerja
sesuai dengan
ekspektasi, pelanggan
akan puas

Sheth dan Mittal dalam 1. Preferensial untuk (Y3) : Setiap kali saya sakit,
Tjiptono, 2008 : datang kembali saya selalu mengunjungi
2. Niat kembali walau rumah sakit ini untuk berobat.
Loyalitas pelanggan
harga relative tinggi
adalah komitmen (Y4) : Saya tidak pernah
pelanggan terhadap merisaukan biaya rumah sakit,
suatu merek, toko atau jika saya berobat di rumah
pemasok, berdasarkan sakit ini.
sikap yang sangat
(Y5) : (Apaila dimintai
positif dan tercermin
pendapat) saya akan
dalam pembelian ulang
merekomendasikan Rumah
yang konsisten.
Sakit ini kepada teman-teman
saya
3.6. Tehnik Pengumpulan Data dan Pengambilan Sanpel
3.6.1. Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data dalam memecahkan
masalah, yaitu data primer. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari
sumbernya, diamati dan dicatat oleh peneliti. Dalam penelitian ini data primer didapat dengan
menyebarkan kuesioner yang diisi oleh responden.

3.6.2. Populasi dan Sampel


Menurut Sugiyono (2008), “Populasi adalah wilayah generalisasi terdiri atas
obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu. ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan” .Untuk penelitian ini, populasi yang digunakan
adalah pasien rawat jalan yang datang berobat ke rumah sakit Qadr - Tangerang
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Accidental
Sampling. Pengambilan sempel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa
pertimbangan tertentu. Ferdinand, A.T, (2000), menemukan bahwa untuk model SEM, ukuran
sampel yang sesuai adalah anatara 100-200. Bila ukuran sampel terlalu besar, misalnya saja 400,
maka metode menjadi “sangat sensitif” sehingga sulit mendapatkan ukuran–ukuran goodness of
fit yang baik menyebutkan bahwa pedoman ukuran sempel tergantung pada jumlah indikator kali
5 sampai 10. Bila terdapat 20 indikator, besarnya sampel adalah antara 100-200. Untuk
penelitian ini ,maka jumlah sampel yang diambil adalah:
Jumlah sampel = jumlah indikator x 5
Jumlah Sample = 30 X 5
Jumlah Sampel = 150
Maka dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah 150 responden.
Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan skala pengukuran dan pemberian
skor.Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi skala Likert, yaitu
dari 1 sampai 4.Adapun penggunaan skala 1 - 4 untuk setiap jawaban responden selanjutnya
dibagi ke dalam empat kategori yakni:
1. Sangat Setuju (SS) : diberi skor 6
2. Agak Setuju (AS) : diberi skor 5
3. Tidak Setuju (TS) : diberi skor 4
4. Setuju (S) : diberi skor 3
5. Agak Tidak Setuju : diberi skor 2
6. Sangat Tidak Setuju (STS) : diberi skor 1
Setelah skor diperoleh lalu dicari rata-rata skor per responden.Data responden secara individu
didistribusikan berdasarkan kriteria tertentu, sehingga dapat dideskripsikan distribusi
jawabannya.

3.6.3. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Qadr, Islamic Village, Tangerang

Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan mulai dari bulan April sampai dengan bulan Juni 2015 dengan
menggunakan data primer

3.7. Uji Kualitas Data


3.7.1. Analisis Faktor (Factor Analysis) dengan Uji Validitas
Dalam menganalisa data penelitian, seringkali peneliti mengalami kesulitan didalam
mendiskripsikan hubungan data yang jumlahnya sangat besar, yang digunakan untuk
mengidentifikasi masalah, kesulitan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan analisis faktor.
Analisis faktor dapat mengungkap karakteristik tersamar yang dimiliki oleh setiap unit observasi
dari sejumlah besar dan maupun setiap sekumpulan variabel. Karakteristik tersamar tersebut
berupa besarnya pengaruh setiap faktor dalam suatu dimensi baru yang disebut faktor. Faktor –
faktor dibentuk dengan mereduksi keseluruhan kompleksitas dari data dengan memanfaatkan
interkorelasi dari variabel, sebagai hasilnya akan diperoleh faktor-faktor yang jumlahnya lebih
sedikit dari jumlah variabel awalnya. Faktor pertama merupakan kombinasi yang melibatkan
jumlah variabel sampel yang besar dan begitu seterusnya sampai pada jumlah varian sampel
yang terkecil. Proporsi variabel yang tergabung pada suatu faktor disebut komunalitas
(Communality).
Barlett test of sphericity dilakukan untuk menguji apakah ada korelasi diantara variabel –
variabel. Kaiser Mesyer Olkin (KMO) digunakan untuk mengukur kecukupan pengambilan
sampel. Measure Sampling Adequacy (MSA) digunakan untuk memperhitungkan kecukupan
penggunaan analisis faktor. Nilai KMO yang kecil memperlihatkan bahwa analisis faktor tidak
dapat digunakan, karena korelasi antara pasangan-pasangan variabel tidak dapat dijelaskan oleh
variabel-variabel lainnya. Bila nilai KMO dibawah 0,5 maka analisa faktor tidak dapat
digunakan atau diterima.sedangkan nilai KMO yang dapat diterima adalah nilai diatas 0,5 yaitu
0,6 hingga 0,9. Nilai KMO 0,9 menunjukkan harga yang sangat memuaskan, sedangkan nilai
KMO dibawah 0,5 maka analisis faktor tidak dapat diterima
Communality adalah jumlah varian yang disumbangkan oleh variabel terhadap seluruh
variabel lain. Communalities merupakan nilai yang menunjukkan kontribusi variabel tersebut
terhadap faktor yang terbentuk. Dapat juga didefinisikan sebagai besaran nilai varian (dalam
persentase) suatu variabel yang dapat dijelaskan oleh faktor yang terbentuk. Nilai communalities
ini sama pengertiannya dengan nilai koefisien determinasi (pada model regresi).
Total Varians dari setiap indikator dapat didekomposisi menjadi 2 komponen :
1. Varian yang berhubungan dengan / nilainya = kuadrat dari pattern loading; Varian ini
disebut sebagai Communality
2. Varian yang berhubungan dengan εj, nilainya = varian dari variabel dikurangi Communality;
Varian ini disebut sebagai unique atau specific error variance

Korelasi antara sebarang indiator dengan latent factor disebut sebagai structure loading
atau loading dan biasanya nilainya = pattern loading. Kuadrat dari structure loading disebut
sebagai shared variance antara indikator dan faktor. Biasanya nilai Communality digunakan
untuk menentukan apakah sebuah indikator baik atau tidak. Semakin tinggi nilai communality
maka indikator tersebut semakin reliabel. Korelasi antara dua indikator merupakan hasil kali
dari faktor loading yang bersesuaian.
3.7.2. Uji Reliabilitas
Uji Reliabilitas dilakukan dengaan uji Alpha Cronbach. Rumus Alpha Cronbach sebagai
berikut :

𝑛 1 − [∑ σ12 ]
α=
𝑛−1 σT 2

α = Koefisien Cronbach's Alpha


k = banyaknya pertanyaan dalam butir
Sigma b kuadrat = varian butir
Sigma t kuadrat = varian total

Untuk mengetahui pertanyaan reliabel atau tidak caranya adalah dengan membandingkan
nilai r hasil (alpha) dengan r tabel. Apabila nilai r alpha > r tabel (ρ hasil > 0,8 ) maka seluruh
pertanyaan dinyatakan reliabel dan seluruh test secara konsisten secara internal karena memiliki
reliabilitas yang kuat atau ada pula yang memaknakannya sebagai berikut :
a. Jika alpha > 0,90 maka reliabilitas sempurna
b. Jika alpha antara 0,70 – 0,90, maka reliabilitas tinggi
c. Jika alpha antar 0,50 – 0,70, maka reliabilitas moderat
d. Jika alpha < 0,50 maka reliabilitas rendah.

Jika alpha rendah, kemungkinan satu atau beberapa item tidak reliabel. Segera
identifikasi dengan prosedur analisis per item. Item analysis adalah kelanjutan dari test Alpha
sebelumnya guna melihat item-item tertentu yang tidak reliabel. Lewat item analysis ini maka
satu atau beberapa item yang tidak reliabel dapat dibuang sehingga alpha dapat lebih tinggi
nilainya.
Nilai tiap-tiap item sebaiknya ≥ 0,40 sehingga membuktikan bahwa item tersebut dapat
dikatakan punya reliabilitas konsistensi internal. Item-item multivariate yang menggabungkan
aspek-aspek dalam regresi berganda (yang bertujuan untuk menguji hubungan dependen) dan
analisis faktor (yang menyajikan unmeasured concepts factors with multiple variables) yang
dapat digunakan untuk memperkirakan serangkaian hubungan dependen yang saling
mempengaruhi secara bersama-sama.
Tehnik pengolahan data structural Equation Modeling (SEM) dengan metoda
Confirmatory Factor Analysis (CFA) digunakan dalam penelitian ini. Variabel-variabel teramati
(indikator-indikator) menggambarkan satu variabel laten tertentu (latent dimension).Sebagai
suatu metode pengujian yang menggabungkan factor analisis, analisis lintasan dan regresi. SEM
lebih merupakan metode confirmatory daripada explanatory, yang bertujuan mengevaluasi
proposed dimensionally yang diajukan dan yang berasal dari penelitian sebelumnya. Dengan
pemahaman ini, SEM dapat digunakan sebagai alat untuk mengkonfirmasi pre-knowledge yang
telah diperoleh sebelumnya.
Pendekatan yang dilakukan untuk mengestimasi parameter model SEM terbagi menjadi 2
yaitu :
1. Structural Model disebut juga latent variable relationship.
2. CFA Analysis (Confirmatory Factor Analysis) sebagai measurement model (model
pengukuran) terdiri dari dua jenis pengukuran, yaitu :
a. Model pengukuran untuk variabel eksogen (variabel tak bebas)
Persamaan umumnya :
x = Λxξ + δ
b. Model pengukuran untuk variabel endogen (variabel bebas)
y = Λyη + ε
Persamaan diatas digunakan dengan asumsi :
1. ξ tidak berkorelasi dengan ξ
2. ε tidak berkorelasi dengan η
3. δ tidak berkorelasi dengan ξ
4. ξ , ε , δ tidak saling berkorelasi (mutually uncorrelated)
5. Γ – B adalah non singular

Notasi-notasi itu memiliki arti sebagai berikut :


y = vector variabel endogen yang dapat diamati
x = vector bariabel eksogen yang dapat diamati
η = vector random dari variabel laten endogen
ξ = vector random dari variabel laten eksogen
ε = vector kekeliruan pengukuran dalam y
δ = vector kekeliruan dalam x
Λy = matriks koefisien regresi y atas η
Λx = matriks koefisien regresi y atas ξ
Γ = matriks koefisien variabel ξ dalam persamaan struktural
B = matriks koefisien variabel η dalam persamaan structural
ς = vector kekeliruan persamaan dalam hubungan structural antara η dan ξ

Validitas dari indikator yang dipakai untuk mengukur konstruk dari model pengukuran
dapat dilihat dari angka pengolahan data menggunakan LISREL 8.3. Indikator yang dipakai
haruslah memiliki nilai t yang lebih besar dari 1,6 dan nilai faktor standarnya (standardized
factor) lebih besar atau sama dengan 0,5. Sedangkan reliabilitas komposit variabel konstruk dari
model pengukuran yang digunakan dapat dilihat dari besaran construct realibility dan variance
extracted (Fornel dan Laker). Realibilitas konstruk dinyatakan baik bila nilai construct reliability
> 0,7 dan nilai variance extracted > 0,5
Berikut adalah rumus persamaan construct reliability dan variance extracted yang
diberikan (Fornel dan Laker) :

(∑ std. loading)²
Construct-Reliability = ----------------------------------
(∑ std. Loading)² + ∑ εj

∑ std. loading)²
Variance extracted = ----------------------------------
(∑ std. Loading)² + ∑ εj

Uji kecocokan model struktural digunakan untuk menguji model hubungan antar dimensi
atau variabel. Kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk menguji kecocokan model struktural
antara lain :
a. χ2 chi-square statistic, dimana model dipandang baik atau memuaskan bila nilai chi-
squarenya rendah. Semakin kecil nilai χ2 semakin baik model itu dan diterima berdasarkan
probabilitas dengan cut off value sebesar p > 0.05 atau p > 0.10
b. CFI (Comparative Fit Index), yang bila mendekati 1, mengindikasikan tingkat fit yang paling
tinggi. Nilai yang direkomendasikan adalah CFI ≥ 0.95.
c. RMSEA (The Root Mean Square Error of Approximation), yang menunjukkan goodness of
fit yang dapat diharapkan bila model diestimasi dalam populasi. Nilai RMSEA yang lebih
kecil atau sama dengan 0.08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model yang
menunjukkan sebuah close fit dari model itu berdasar degree of freedom.
d. GFI (Goodness of Fit Index) adalah ukuran non statistikal yang mempunyai rentang nilai
antara 0 (poor fit) hingga 1.0 (perfect fit). Nilai yang tinggi dalam indeks ini menunjukkan
suatu better fit.

3.7.3. Prosedur SEM


Menurut Hair et. al. ada 7 tahapan prosedur pembentukan dan analisis SEM, yaitu:
1. Pengembangan Model Berbasis Teoritis
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengembangkan sebuah model penelitian
dengan dukungan teori yang kuat melalui berbagai telaah pustaka dari sumber-sumber ilmiah
yang berhubungan dengan model yang sedang dikembangkan.Karena itu pengembangan
sebuah teori yang berjustifikasi ilmiah merupakan syarat utama menggunakan permodelan
SEM (Ferdinand, 2006)
2. Pengembangan Diagram Alur (Path Diagram)
Model penelitian yang akan dikembangkan digambarkan dalam diagram alur (path diagram)
untuk mempermudah melihat hubungan-hubungan kausalitas yang sedang diuji.
3. Konversi Diagram Alur ke dalam Persamaan
Setelah model penelitian dikembangkan dan digambar pada path diagram seperti di atas
maka langkah berikutnya adalah melakukan konversi spesifikasi model ke dalam rangkaian
persamaan. Persamaan yang dibangun terdiri dari (Ferdinand, 2006) :
a. Persamaan-persamaan struktural (Structural equation). Persamaan ini dirumuskan untuk
menyatakan hubungan kausalitas antar berbagai konstruk.
b. Persamaan spesifikasi model pengukuran (meassurement model). Pada spesifikasi ini
ditentukan variabel mana mengukur konstruk mana, serta menentukan serangkaian
matriks yang menunjukkan korelasi yang dihipotesiskan antar konstruk atau variabel.
4. Memilih matriks input dan estimasi model
Pada penelitian ini, Hair dkk, (1995), menyarankan agar menggunakan matriks
varians/kovarians pada saat pengujian teori sebab varians/kovarians lebih memenuhi asumsi
metodologi dimana standard error yang dilaporkan menunjukkan angka yang lebih akurat
dibandingkan dengan matriks korelasi (dimana dalam matriks korelasi rentang yang umum
berlaku adalah (0s/d ± 1)
a. Ukuran sampel Ukuran sampel mempunyai peranan yang penting dalam mengestimasi
hasil-hasil SEM. Ukuran sampel menghasilkan dasar dalam mengestimasi kesalahan
sampling. Hair (dalam Ferdinand, 2006) menyatakan bahwa ukuran sampel yang sesuai
adalah antara 100-200. Disamping itu berpedoman pada ketentuan bahwa jumlah sampel
yang representatif adalah 5-10 kali jumlah parameter yang digunakan.
b. Estimasi Model Setelah model dikembangkan dan input data dipilih, langkah selanjutnya
dalah menggunakan program Lisrel 8,3 untuk mengestimasi model tersebut.
5. Kemungkinan Munculnya
Menentukan the identificatios of the structural model, pada prinsipnya adalah problem
mengenai ketidakmampuan dari model yang dikembangkan untuk menghasilkan suatu
estimasi yang unik.Problem kondisi dimana model yang sedang dikembangkan dalam
penelitian tidak mampu menghasilkan estimasi yang unik. Problem identifikasi dapat muncul
melalui gejala-gejala (Ferdinand, 2006) :
a. Standard error untuk satu atau beberapa koefisien adalah sangat besar,
b. Program tidak mampu menghasilkan matrik informasi yang seharusnya disajikan,
c. Muncul angka-angka yang aneh seperti adanya varian error yang negatif,
d. Munculnya korelasi yang sangat tinggi antar koefisien estimasi yang didapat.
6. Evaluasi Kriteria Goodness-of-fit
Pada langkah ini kesesuaian model dievaluasi melalui telaah terhadap berbagai kriteria
goodness-of-fit. Pertama, data yang digunakan harus dapat memenuhi asumsi-asumsi SEM
seperti berikut ini (Ferdinand, 2006):
a. Ukuran sampel minimum adalah sebanyak 100 dan selanjutnya menggunakan
perbandingan 5 observasi untuk setiap estimated parameter.
b. Sebaran data harus dianalisis untuk melihat apakah asumsi normalitas dipenuhi.
Normalitas dapat diuji melalui gambar histogram data. Uji linearitas dapat dilakukan
melalui scatterplots dari data yaitu dengan memilih pasangan data dan dilihat pola
penyebarannya untuk menduga ada tidaknya linearitas.
c. Outliers, yang merupakan observasi dengan nilai-nilai ekstrim baik secara univariat
maupun multivariat yang muncul karena kombinasi karakteristik unik yang dimilikinya
dan terlihat sangat jauh berbeda dari observasi-observasi lainnya.
d. Mendeteksi multikolinearitas dan singularitas dari determinan matriks kovarians.
7. Uji kesesuaian dan uji statistik
Beberapa indeks kesesuaian dan cut-off valuenya yang digunakan dalam menguji apakah
sebuah model (seperti pada Tabel 3.2 di bawah) dapat diterima atau tidak adalah sebagai
berikut (Ferdinand,2006)

3.8. Metode Analisis


Suatu penelitian membutuhkan analisis data dan interpretasinya yang bertujuan menjawab
pertanyaan-pertanyaan peneliti dalam rangka mengungkap fenomena sosial tertentu. Analisis
data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan
diinterpretasikan. Metode yang dipilih untuk menganalisis data harus sesuai dengan pola
penelitian dan variabel yang akan diteliti.
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model kausalitas atau hubungan
pengaruh. Untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini maka teknik analisis yang
digunakan adalah SEM atau Stuctural Equation Modeling yang dioperasikan melalui program
Lisrel 8,5. Permodelan penelitian melalui SEM memungkinkan seorang peneliti dapat menjawab
pertanyaan penelitian yang bersifat dimensional (yaitu mengukur apa indikator dari sebuah
konsep) dan regresif (mengukur pengaruh atau derajad hubungan antara faktor yang telah
diidentifikasikan dimensinya). Ferdinand, 2006 menyatakan beberapa alasan penggunaan
program SEM sebagai alat analisis adalah bahwa SEM sesuai digunakan untuk:
- Mengkonfirmasi unidimensionalisasi dari berbagai indikator untuk sebuah
konstruk/konsep/faktor
- Menguji kesesuaian/ketepatan sebuah model berdasarkan data empiris yang diteliti
- Menguji kesesuaian model sekaligus hubungan kausalitas antar faktor yang dibangun/diamati
dalam model penelitian.

Penelitian ini menggunakan dua macam teknik analisis yaitu :


a. Analisis Faktor Konfirmatori (Confirmatory Factor Analysis) Analisis faktor konfirmatori
pada SEM digunakan untuk mengkonfirmasikan faktor-faktor yang paling dominan dalam
satu kelompok variabel. Pada penelitian ini analisis faktor konfirmatori digunakan untuk uji
indikator yang membentuk faktor citra merek, kualitas pelayanan, kepuasan pasien, dan
loyalitas.
b. Regression Weight pada SEM digunakan untuk meneliti seberapa besar variabel citra merek,
kualitas pelayanan dan kepuasan pasien berpengaruh terhadap loyalitas.

You might also like