You are on page 1of 6

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Istilah dan Wujud Kebudayaan

Kata kebudayaan sering kita jumpai dalam pembicaraan sehari-hari. Orang


yang tidak sopan dianggap tidak berbudaya. Candi Borobudur dianggap hasil
kebudayaan bangsa Indonesia yang tinggi. Kedua contoh tersebut menunjukkan
bahwa manusia menghasilkan atau membentuk budaya. Sepintas dapat diketahui
bahwa kata budaya atau kebudayaan tidak terlepas dari manusia sebagai aktornya.
Bahasan ini penting dikemukakan untuk mengetahui proses pembentukan budaya
atau kebudayaan dalam kehidupan manusia.
Antropologi kebudayaan atau lebih sering kita dengar sebagai antropologi
budaya, merupakan salah satu cabang dari studi antropologi yang mengambil
kebudayaan sebagai objek studinya. Ilmu Antropologi, tidak seperti beberapa ilmu
lain (misalnya, geografi) mempunyai kejelasan posisi dalam dikotomi bidang-bidang
ilmu pengetahuan, apakah termasuk bidang eksakta atau noneksata, ilmu pengetahuan
alam atau sosial. Ilmu Antropologi adalah salah satu ilmu yang termasuk ke dalam
kategori ilmu sosial.

2.1.1 Istilah Kebudayaan

Kebudayaan dalam bahasa Inggris yaitu “culture” berasal dari kata bahasa
Latin “colere“ yang berarti bercocok tanam (cultivation). Pengertian cultura dapat
juga diartikan ibadah. Dalam bahasa Inggris Kata “budaya“ dalam bahasa Indonesia
berasal dari kata Sansekerta “buddhi yaitu budi atau akal“ kemudian digabung
menjadi budidaya yang berarti daya dari budi. Akal budi atau hasil karya manusia.
Tylor mendefisnisikan kebudayaan sebagai pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, hukum, moral, adat dan berbagai kebiasaan atau tingkah laku manusia
sebagai anggota masyarakat.
2.1.2 Wujud Kebudayaan

Ada beberapa ahli memberikan pengertian dan wujud kebudayaan berbeda-


beda. A.L.Kroeber (1952) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola
tingkah laku yang diturunkan melalui symbol-simbol dan membentuk sesuatu yang
khas dari kelompok-kelompok manusia. Kluckhohn juga mengatakan bahwa setiap
kebudayaan manusia mengandung unsur-unsur kebudayaan yang universal meliputi
sistim organisasi sosial, sistim mata pencaharian, sistim teknologi. Unsur-unusr
tersebut mengadung 3 (tiga) wujud kebudayaan yaitu system budaya, sistim sosial
dan sistim artifak. Sedangkan J.J. Honigman (1954) membedakan fenomena
kebudayaan ialah system budaya (sistim nilai-nilai, gagasan-gagasan dan norma-
norma), sistim sosial (kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dan
masyarakat) dan artifak atau kebudayaan fisik.
Clifford Geertz dalam bukunya “The Interpretation of Cultures“ (1974)
melihat bahwa kebudayaan adalah hasil pemaknaan bukan sekedar tingkat laku
manusia atau hubungan sebab akibat. Kebudayaan harus dipahami dalam konteks
ilmu antropologi yaitu pemaknaan manusia pada symbol-simbol. Dengan demikian
menurut Geertz, kebudayaan bukan sekedar “tradisi“ yang dikerjakan secara turun
temurun seperti ritual hajatan, sunatan, dan sebagainya. Pemahaman kebudayaan
adalah bagaimana masyarakat melihat, merasakan dan berpikir mengenai sesuatu
yang ada di seklililingnya.

2.2. Lingkup Antropologi Sosial : Manusia dan Kebudayaan

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia sebagai mahluk


masyarakat. Perhatian antropologi ditujukan pada sifat-sifat manusia baik fisik, cara
produksi, tradisi dan nilai-nilai yang membuatnya berbeda dengan masyarakat
lainnya (Benedict, 1955 dalam Harsojo, 1988). Linton (1936) mengatakan bahwa
antropologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia dengan segala
tingkah lakunya. Kemudian antropologi berkembang menjadi disiplin ilmu
pengetahuan yang merupakan sintesa antara berbegai pengetahuan mengenai manusia
melalui wacana komparatif keragaman dan kebudayaan manusia. Pada mulanya
obyek kajian ilmu antropologi secara tradisional berasal dari kajian terhadap
kelompok-kelompok masyarakat kecil yang terasing dan terisolasi dan sederhana.
Namun kini antropologi kontemporer telah merambah pada bidang-bidang lain seperti
antropologi perkotaan, kesehatan, ekonomi atau arsitektur. Sebagai contoh yang
paling populer adalah penelitian Oscar Lewis yang mengambil obyek perkampungan
kumuh. Tesis Oscar Lewis kemudian dikenal dengan the culture of proverty. Melalui
kajian kasus kasus pada masyarakat lokal, seorang antropolog harus berpikir
mengenai perbedaan dan persamaan masyarakat di seluruh dunia.
Di samping itu manusia selain mahluk emosional juga mahluk rasional dan
transcendental. Sebagai mahluk rasional, manusia tidak henti-hentinya ingin
mengetahui dan memahami seluruh lingkungan alam dengan akal budinya.
Rasionalitas tersebut telah mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pada sisi transendetal, manusia merasa sebagai “ciptaan“ dari Sang
Pencipta. Perasaan tersebut telah mengarahkan manusia untuk mempercayai adanya
kekuatan Adi Kodrati yang mengatur dirinya. Alam semesta merupakan ciptaan
Tuhan yang harus diatur untuk mendapatkan kemaslahatan hubungan antar manusia
serta manusia dengan Tuhannya.
Dari sudut antropologi, manusia dapat ditinjau sebagai mahluk biologi
maupun mahluk sosial budaya, keduanya tidak terpisahkan sehingga harus dipelajari
secara holistik. Dalam perkembangannya, Harsojo membagi antropologi menjadi
bermacam-macam yaitu antropologi fisik, antropologi budaya, arkeologi prasejarah,
antropologi sosial dan antropologi psikologi. Marzali (2005) membagi antropologi
murni dan terapan. Melalui antropologi terapan, dapat dipelajari bagaimana
antropologi memiliki manfaat langsung dalam kehidupan manusia, sebagai contoh
antropologi pembangunan. Dalam hal ini antropologi budaya merupakan dasar dari
antropologi pembangunan (pembangunan adalah wujud dari proses kebudayaan atau
hasil budi daya manusia).
Antropologi social atau budaya merupakan studi antropologi yang bidang
studinya mengambil kebudayaan sebagai objeknya. Aspek-aspeknya antara lain
meliputi masalah sejarah asal, perkembangan, dan penyebaran aneka warna bahasa
yang diucapkan manusia di seluruh dunia; masalah perkembangan, penyebaran dan
terjadinya aneka warna kebudayaan di seluruh dunia; dan masalah azas-azas dari
kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang
tersebar di seluruh muka bumi (Koentjaraningrat, 1990: 25).
Masalah apa yang dijawab antropologi adalah :
a) Mengapa terjadi keanekaragaman dalam budaya. Untuk menjawab pertanyaan
penelitian ini maka para ahli melakukan kajian klasifikasi dan komparasi baik
secara sinkronis maupun diakronis. Dalam hal ini digunakan dasar pemikiran
evolusi kebudayaan, teori difusi dan teori lainnya.
b) Bagaimana hubungan individu dengan masyarakat. Dalam hal ini dikembangkan
teori mengenai kepribadian.
2.3. Arah Studi Antropologi Sosial

Marzali (2005) menjelaskan bahwa antropologi sebagai ilmu harus mampu


memberikan sumbangan pemikiran dalam menyelesaikan masalah-masalah mendasar
yang dihadapi bangsa Indonesia sperti masalah tekanan penduduk, kekurangan tanah
pertanian dan kemiskinan.
Antropologi sosial merupakan landasan cara berpikir saat ahli hokum
menyusun dan merumuskan suatu produk hukum, seorang hakim menentukan
keputusan, seorang ahli lingkungan memutuskan cara mengkonservasi hutan lindung
karena “ produk “ baik dalam wujud artifak maupun sistim sosial tidak terlepas dari
tujuan untuk “ mengatur manusia “ pada sistim yang lebih baik. Ada baiknya kita
menyimak kata Winston Churchill, perdana menteri Inggris yang membawa
kemenangan Inggris di Perang Dunia II. “ Kita membentuk ruang, dan ruang
membentuk kita”.
2.4. Hubungan Manusia Dengan Lingkungan Budaya

Berbagai perilaku manusia dicoba dipahami dengan kaidah-kaidah alam.


Ekologi adalah ilmu yang mengembangkan pengetahuan hubungan atau interaksi
manusia dengan lingkungannnya. Adapun yang dimaksud lingkungan adalah
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Pandangan terpenting dalam ekologi
adalah “ lingkungan mempengaruhi manusia”. Semenjak Charles Darwin dalam
bukunya “ Origin of Species “ mengemukakan prinsip-prinsip evolusi yang
menggemparkan tersebut, prinsip evolusi diterima sebagai cara untuk mnejelaskan
perkembangan dan proses penyesuaian manusia baik secara fisik maupun sosial.
Penerapan asas-asas ekologi untuk mengungkapkan kebudayaan manusia tidak
semuanya dapat diterima. Namun demikian banyak di antaranya memberikan
sumbangan berarti bagi pemahaman kebudayaan manusia. Prinsip prinsip penting
dalam ekologi yang dibahas disini adalah evolusi dan adaptasi. Keduanya
menyangkut proses perkembangan yang bersifat meningkat sempurna dan cara
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Evolusi manusia sekalipun tidak terlepas keberadaan manusia namun juga
perlu dibedakan dengan kelebihan lain sebagai homo sapiens dibandingkan dengan
mahluk hidup lainnya yaitu memiliki akal budi yang menghasilkan “kebudayaan”.
Proses evolusi manusia bertumpu pada kebudayaan lebih dari pada sekedar evolusi
secara biologis. Kebudayaan dalam hal ini memegang peranan penting dalam
berinteraksi serta proses perkembangan manusia. Wujud artifak yang dimiliki
manusia seperti kendaraan, alat-alat dan teknologi menunjukkan kemampuan manusia
beradaptasi manusia dengan lingkungannya. Sekalipun tidak dapat diingkari manusia
beradaptasi secara fisiologis seperti bangsa Eskimo di Kutub Utara namun harus
diingat pula rumah khas mereka “ Iglo “ adalah wujud budaya mereka untuk bertahan
dari cuaca dingin yang sangat ekstrim. Kompetisi manusia sebagai individu atau
kelompok sangat bergantung pada kemampuan budayanya.
Seperti dijelaskan di atas, dalam konteks hubungan dengan lingkungannya
manusia menggunakan kebudayaan. Kebudayaan dalam hal ini dianggap sebagai
sistim budaya yang membentuk tingkah laku seseorang atau kelompok dalam suatu
ekosistem. Adaptasi adalah suatu proses interaksi dalam bentuk respon penyesuaian
dengan lingkungannya.Proses tersebut dimulai dari wujud paling sederhana seperti
meramu, berburu hingga bercocok tanam dan membangun pabrik-pabrik adalh
penyesuaian terhadap lingkungan. Proses adaptasi ini telah menghasilkan
keseimbangan yang sangat dinamis (bandingkan dengan keseimbangan alamiah)
dengan manusia sebagai aktornya. Hal ini menunjukkan bahwa adaptasi juga
merupakan suatu proses evolusionistik, sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam
mempelajari manusia harus dilihat dari perannya sebagai pembentuk dan pelaku
budaya. Dalam pengertian kebudayaan, Julian H Steward (1955) pertama kali
mengemukakan pendekatan ekologi budaya.

You might also like