You are on page 1of 10

ASMA BRONKIAL

PENDAHULUAN
Terdapat perubahan dari waktu ke waktu mengenai definisi dari asma. Kalau pada mulanya definisi asma
berdasarkan kelainan fungsi paru saja kemudian mengalami kemajuan dengan menambahkan penyebab
dari kelainan fungsi paru tersebut maka sekarang ini definisi tersebut lebih ditekankan kepada adanya
kelainan anatomi dari saluran nafas itu sendiri, yaitu adanya proses inflamasi. (1,2,3)

Menurut GINA (Global Initiative For Asthma) 2006, Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik
saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, inflamasi kronik ini menyebabkan episode mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini
biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, biasanya bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Batasan diatas memang sangat lengkap
namun tidak praktis

(dikutip dari kepustakaan 5)

Konsensus Nasional tahun 2000 menggunakan batasan bahwa asma adalah mengi bertulang dan/atau
batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut ; timbul secara episodik, cenderung malam/dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik, serta adanya riwayat asma atau atopi pada pasien /
keluarganya (2)
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi,
faktor keturunan serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki
berbanding anak perempuan 1,5 : 1, tetapi menjelang dewasa perbendingan tersebut lebih kurang sama
dan pada masa menopause perempuan lebih banyak lari laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih
tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi daripada anak. Angka
ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain di negara yang sama. Di Indonesia
prevalensi asma berkisar antara 5 – 7 % (4)
KLASIFIKASI

I. Berdasarkan etiologinya Asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :

1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu,
serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering
dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-
faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.

Asma Ekstrinsik dibagi menjadi :

(i) Asma ekstrinsik atopik

(ii) Asma ekstrinsik non atopik

2. Intrinsik (non alergik)

Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak
diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan
emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan

3. Asma gabungan

Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-
alergik.(4,6,7)

II. Berdasarkan Keparahan Penyakit

1. Asma intermiten

Gejala muncul < 1 kali dalam 1 minggu, eksaserbasi ringan dalam beberapa jam atau hari, gejala asma
malam hari terjadi < 2 kali dalam 1 bulan, fungsi paru normal dan asimtomatik di antara waktu serangan,
Peak Expiratory Folw (PEF) dan Forced Expiratory Value in 1 second (PEV1) > 80%

2. Asma persisten ringan

Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1 hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas
atau tidur, gejala asma malam hari terjadi > 2 kali dalam 1 bulan, PEF dan PEV1 > 80%

3. Asma persisten sedang (moderate)


Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi >1
kali dalam 1 minggu, menggunakan inhalasi beta 2 agonis kerja cepat dalam keseharian, PEF dan PEV1
>60% dan < 80%

4. Asma persisten berat (severe)

Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi, gejala asma malam hari sering terjadi, aktifitas
fisik terganggu oleh gejala asma, PEF dan PEV1 < 60%(2,3,4,6,9)
PATOGENESIS

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas dimana banyak sel dan mediator-mediator yang
berperan, yang ditandai oleh peningkatan kepekaan trakea dan saluran napas terhadap berbagai
rangsangan dengan menimbulkan penyempitan saluran napas menyeluruh dengan derajat yang berubah
secara spontan atau dengan pengobatan

Peningkatan kepekaan disebut sebagai hiperreaktivitas bronkus, merupakan kelainan dasar pada asma.
Dulu, asma dianggap suatu manifestasi alergi semata-mata, ternyata rangsangan yang tidak spesifikpun
dapat menimbulkan serangan asma, di samping itu orang yang mempunyai riwayat alergi tidak selalu
berkembang menjadi penderita asma.(2,4)

Obstruksi saluran napas yang terjadi secara patologis ditandai dengan spasme otot polos, hipersekresi
dan peradangan saluran napas. Proses ini terjadi karena lepasnya mediator seperti histamin,
prostaglandin dan slow reacting substance of anaphylaxis (SRS—A). Mediator-mediator ini dapat bekerja
langsung pada otot polos bronkus atau secara tidak langsung melalui sistem para simpatis (kolinergik).
Pada waktu serangan asma saluran napas akan menyempit akibat spasme otot bronkus, mukosa
sembab, infiltrasi sel-sel radang dan sekresi mukus yang meningkat. Karena obstruksi ini tahanan jalan
napas akan meningkat, menyebabkan terjadinya perlambatan aliran udara ekspirasi. Dengan
berlanjutnya serangan volume residu akan meningkat; karena volume rongga dada meningkat untuk
mempertahankan udara ventilasi dan tingkat yang optimal, terjadi hiperinflasi. Ini disebabkan karena
terjadi penyempitan saluran napas.

Penyempitan saluran napas yang terjadi pada penyakit asma merupakan suatu hal yang kompleks. Hal
ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa
bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi
sal mast.(2,4,8)
Selain sel mast sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar. eosinofil, sel
epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit. Inhalasi alergen akan mengaktitkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel
efektur sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan
mediator yang kuat seperti lekotriens, tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi
asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas bronkus.

Pada reaksi asma lambat, reaksi terjadi setelah 3–4 jam rangsangan oleh alergen dan bertahan selama
16–24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Fase ini disertai dengan reaktivasi sel
mast dan aktivasi netrofil sehingga timbul inflamasi akut berupa edema mukosa, hipersekresi lendir, infla-
masi netrofil, rusaknya tight junction epitel bronkus dan spasme bronkus. Pada fase ini peran spasme
bronkus kecil, akibatnya reaksi ini sukar diatasi dengan pemberian beta-2 agonis. Setelah reaksi asma
awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi subakut atau kronik.
Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa:

1. Infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen
bronkus.

2. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan

3. Edema mukosa dan eksudasi plasma.

4. Hipersekresi lendir yang kental dari kelenjar submukosa yang mengalami hipertrofi.

Pada beberapa keadaan reaksi asma dapat juga terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada waktu
hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan ini reaksi asma terjadi melalui
reteks saraf. Rangsang ujung saraf eferen vagal (c.fiber) yang ada di mukosa menyebabkan lepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptid inilah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi.(2,4)
Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas penyakit asma,besarnya hipereaktivitas bronkus ini dapat
diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk menentukan beratnya
hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang penderita. Berbagai cara digunakan untuk mengukur
hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi
antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.(2)

Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui secara pasti, namun berbagai penelitian
telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respon saluran napas yang
berlebihan. Sel inflamasi yang berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil
dan sel epitel. Sedangkan faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus suatu inflamasi saluran napas pada penderita asma.

Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran napas, akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja
sebagai APC (antigen presenting cell). Setelah diproses, antigen (setiap benda asing yang masuk
kedalam tubuh disebut antigen) akan dipresentasikan ke sel Th0 (T helper nol) oleh APC dengan
melepaskan IL-1 (interleukin-1). Selanjutnya sel Th0 yang sudah aktif, akan berdiffernsiasi menjadi Th2.
Th2 meberikan sinyal pada sel limfosit B untuk berproliferasi dan differensiasi menjadi sel plasma,
membentuk IgE (immunoglobulin E) yang spesifik untuk allergen tersebut dengan bantuan IL-2 B Cell
Growth Factor dan B Cell Differensiatial Factor.(2,4)

IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit di jaringan terutama bronkus. Pemaparan oleh
allergen yang sama untuk kesekian kalinya akan diikat oleh IgE yang spesifik pada permukaan sel
mastosit yang akan menyebabkan degranulasi. Degranulasi ini aka melepaskan sejumlah mediator
seperti histamine, ECF-A, NCF, tryptase dan kinin (perform mediator). Penglepasan mediator histamine
akan menyebabkan obstruksi bronkus yang terjadi segera setelah pemaparan (sekitar 10 menit) dan
berakhir sekitar 1 jam sesudahnya. Reaksi ini disebut fase awal (early phase).

Membran mastosit yang kecil mengandung fasfolipid akan diubah mejadi asam arakidonat oleh
fosfolipase. Selanjutnya asam arachidonat dengan bantuan siklooksigenase dan lipooksigenase akan
membentuk prostaglandin, leukotrin dan tromboksan. Mediator ini desebut newly generated mediator
yang menyebabkan obstruksi bronkus yang terjadi setelah 4-24 jam kemudian. Reaksi inilah yang disebut
reaksi fase lambat (late phase).(2,4,8)
DIAGNOSIS

Rangkaian pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis penyakit asma, terdiri dari: anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis
Anamnesis pada penderita asma sangatlah penting. Tujuannya, selain untuk menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding, anamnesis juga berguna untuk menyusun srategi pengobatan pada
penderita asma. Pada anamnesis akan kita jumpai adanya keluhan, batuk, sesak, mengi dan atau rasa
berat di dada yang timbul secara tiba-tiba dan hilang secara spontan atau dengan pengobatan. Tetapi
adakalanya juga penderita hanya mengeluhkan batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari
atau sewaktu kegiatan jasmani ataupun hanya pada musim-musim tertentu saja. Disamping itu, mungkin
adanya riwayat alergi baik pada penderita maupun pada keluarganya, seperti rhinitis alergi, dermatitik
atopic dapat membantu menegakkan diagnosis.

Yang perlu juga diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan, dengan mengetahui factor pencetus
kemudian menghindarinya, diharapkan gejala asma dapat dicegah.

Faktor-faktor pencetus pada asma, terdiri dari:

• Allergen.

• Infeksi saluran napas, terutama oleh virus seperti Respiratory syncitial, parainfluensa dan
sebagainya.

• Kegiatan jasmani/ olahraga, seperti lari.

• Ketegangan atau tekanan jiwa.

• Obat-obatan, seperti penyekat beta, salisilat, kodein, AINS dan sebagainya.

• Polusi udara atau bau yang merangsang, seperti asap rokok, semprot nyamuk, parfum dan
sebagainya.(2,4)
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik, selain berguna untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding,
juga berguna untuk mengetahui penyakit-penyakit yang mungkin menyertai asma. Pemeriksaan fisik
meliputi seluruh badan, mulai dari kepala sampai ke kaki.

Kelainan fisik pada penderita asma tergantung pada obstruksi saluran napas (beratnya serangan) dan
saat pemeriksaan. Pada saat serangan, tekanan darah bisa naik, frekuensi pernapasan dan denyut nadi
juga meningkat, mengi (wheezing) sering dapat terdengar tanpa statoskop, ekpirasi memanjang (lebih
dari 4 detik atau 3 kali lebih panjang dari inspirasi) disertai ronki kering dan mengi. Hiperinflasi paru yang
terlihat dengan peningkatan diameter anteroposterior rongga dada, dimana pada perkusi akan terdengan
hipersonor. Pernapasan cepat dan susah, ditandai dengan pengaktifan otot-otot bantu pernapasan,
sehingga tanpak retraksi suprasternal, supraklavicula dan sel iga dan pernapasan cuping hidung. (2,4,6,7)
Dalam praktek, jarang dijumpai kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma, tetapi batuk, sesak
ataupun mengi (wheezing) tidak hanya dijumpai pada penderita asma, untuk itu, perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut lagi untuk menegakkan diagnosis.(3)
Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

 Pemeriksaan sputum
 Pemeriksaan darah

2. Pemeriksaan Radiologis

Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka
kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:

– Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.

– Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.

– Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru

– Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.

– Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat
bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.(4,6)

3. Pemeriksaan tes kulit

Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang
positif pada asma. Pemeriksaan menggunakan tes tempel.(5,9)
Tes ini hanya menyokong anamnesis, karena allergen yang menunjukkan tes kulit positif tidak selalu
merupakan pencetus serangan asma, demikian pula sebaliknya.(2,4)

4. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana
diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan
adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak
adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak
penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. (4,6)
Apabila tes spirometri dengan bronkodilator hasilnya diragukan dapat dilakukan tes pemantauan faal
paru untuk jangka waktu 1-3 minggu dengan Miniright Peak Flowmeter, dimana APE diukur 3 kali
sehari ditambah ekstra pada saat munculnya sesak. Apabila selisih APE yang tertinggi dengan yang
terendah 20% atau lebih merupakan petanda asma.(2)
Rumus variasi harian (1,4)

5. Tes Provokasi Brokial

Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hiperaktivitas bronkus dilakukan tes
provokasi bronkus. Tes ini tidak dilakukan apabila tes spirometri menunjukkan resersibilitas 20% atau
lebih.

Ada beberapa cara yang dilakukan untuk tes provokasi bronchial seperti tes provokasi histamine,
metakolin, allergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin bahkan inhalasi dengan aqua
destila. Penurunan FEV1 sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi merupakan pertanda adanya
hiperaktivitas bronkus(2,4)

6. Elektrokardiografi

Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan
disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu

– Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan
clockwise rotation.

– Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch block).

– Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya
depresi segmen ST negative.(6)
PENATALAKSANAAN ASMA
Penatalaksanaan Asma Intermiten

Pada asma intermiten ini, tidak diperlukan pengobatan pencegahan jangka panjang. Tetapi obat yang
dipakai untuk menghilangkan gejala yaitu agonis b2 inhalasi, obat lain tergantung intensitas serangan,
bila berat dapat ditambahkan kortikosteroid oral.

Penatalaksanaan Asma Persisten Ringan

Pengobatan jangka panjang terdiri dari: inhalasi kortikosteroid 200-500 mikrogram, kromoglikat,
nedocromil atau teofilin lepas lambat. Dan jika diperlukan, dosis kortikosteroid inhalasi dapat ditingkatkan
sampai 800 mikrogram atau digabung dengan bronkodilator kerja lama (khususnya untuk gejala malam),
dapat juga diberikan agonis b2 kerja lama inhalasi atau oral atau teofilin lepas lambat. Sedangkan untuk
menghilangkan gejala digunakan: agonis b2 inhalasi bila perlu tapi tidak melebihi 3-4 kali per hari dan
obat pencegah setiap hari.

Penatalaksanaan Asma Persisten Sedang


Pengobatan jangka panjang terdiri dari: inhalasi kortikosteroid 800-2000 mikrogram, bronkodilator kerja
lama, khususnya untuk gejala malam: inhalasi atau oral agonis beta 2 atau teofilin lepas lambat.
Sedangkan obat yang digunakan untuk menghilangkan gejala, terdiri dari: agonis b2 inhalasi bila perlu
tapi tidak melebihi 3-4 kali per hari dan obat pencegah setiap hari.
Penatalaksanaan Asma Persisten Berat
Pengobatan jangka panjang terdiri dari: inhalasi kortikosteroid 800-2000 migrogram atau lebih ;
bronkodilator kerja lama (inhalasi agonis beta 2 kerja lama, teofilin lepas lambat, dan atau agonis b2 kerja
lama tablet atau sirup; kortikosteroid kerja lama tablet atau sirup. Sedangkan, obat yang digunakan untuk
menghilangkan gejala, agonis b2 inhalasi bila perlu dan obat pencegah setiap hari.(2,3,4,9)
Jadi, pada prinsipnya pengobatan asma dimulai sesuai dengan tingkat beratnya asma, bila asma tidak
terkendali lanjutkan ke tingkat berikutnya. Tetapi sebelum itu perhatikan dulu, apakah teknik pengobatan,
ketaatan berobat serta pengendalian lingkungan (menghindari factor pencetus) telah dilaksanakan
dengan baik.(2,9)
Setelah asma terkendali dengan baik, paling tidak untuk waktu 3 bulan, dapat dicoba untuk menurunkan
obat-obat anti asma secara bertahap, sampai mencapai dosis minimum yang dapat mengandalikan
gejala.(2,4)
Akhir-akhir ini diperkenalkan terapi anti IgE untuk asma alergi yang berat. Penelitian menunjukkan anti
IgE dapat menurunkan berat asma, pemakaian obat anti asma serta kunjungan ke gawat darurat karena
serangan asma akut dan kebutuhan rawat inap.(1,2)
DIAGNOSIS BANDING
PPOK

PROGNOSIS

Tergantung dari berat tidaknya gejala

You might also like