You are on page 1of 33

BAB 1

PENDAHULUAN

Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi

kebutuhan oksigen jaringan tubuh, sehinggga dapat menyebabkan hipoperfusi

jaringan secara global dan meyebabkan asidosis metabolik. Keadaan ini

membutuhkan penanganan yang cepat karena dapet berkembang / memburuk

dengan cepat. Klasifikasi syok juga menentukan langkah selanjutnya yang akan

diambil oleh klinisi karena penanganan masing-masing jenis syok tersebut

berbeda satu sama lain, tetapi tetap dengan tujuan mengembalikan perfusi

jaringan dan oksigenasi yang adekuat (Leksana, 2015).

Syok merupakan salah satu kejadian kegawatdaruratan dengan angka

insiden yang tinggi bahkan sering menyebabkan kematian akibat keterlambatan

dan kurangnya pengetahuan masyarakat dalam menangani kejadian syok ini,

yang berakibat pada kesalahan penanganan. Menyikapi hal tersebut, dewasa ini

setiap orang dituntut untuk memiliki keahlian dalam penanganan kejadian syok.

Bahkan di era mendatang keahlian ini akan menjadi kebutuhan setiap orang

sebagai pengetahuan universal (Hardisman, 2013).

Tanda khas (typical sign) syok adalah menurunnya tekanan darah,

meningkatnya denyut jantung, tanda gangguan perfusi pada organ akhir, dan

dekompensasi (peripheral shut-down), seperti menurunnya urin output,

menurunnya kesadaran (Sethi, 2003).

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi syok

Syok merupakan salah satu kondisi klinis paling kompleks yang

terdapat pada pasien-pasien kritis Syok didefinisikan sebagai gangguan

metabolik dan hemodinamik yang besar yang ditandai dengan kegagalan

sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat pada organ-organ

vital. Keadaan ini dapat disebabkan oleh volume darah yang tidak adekuat

(syok hipovolemik), fungsi jantung tidak adekuat (syok kardiogenik) atau tonus

vasomotor tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respons imun (syok

anafilaktik) (wijaya, 2010).

2.2 Klasifikasi syok

Secara umum, syok dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan penyebab,

yaitu:

1. Hipovolemik (volume intravaskuler berkurang)

2. Kardiogenik (pompa jantung terganggu)

3. Obstruktif (hambatan sirkulasi menuju jantung)

4. Distribusi (vasomotor terganggu)

(Leksana, 2015)

Klasifikasi ini menentukan langkah selanjutnya yang akan diambil oleh

klinisi karena penanganan masig-masing jenis syok tersebut berbeda satu sama

lain, tetapi tetap dengan tujuan mengembalikan perfusi jaringan dan oksigenasi

yang adekuat (Leksana, 2015).

2
2.3 Syok hipovolemik

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis dimana terjadi kehilangan

cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan

oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak

adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah

yang cepat (syok hemoragik) (Wijaya, 2010).

2.3.1 Etiologi

Penyebab syok hipovolemik dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok

yang terdiri dari:

1. Perdarahan:

• Hematom subkapsular hati

• Aneurisma aorta pecah

• Pendarahan gastrointestinal

• Perlukaan berganda

2. Kehilangan plasma:

• Luka bakar yang luas

• Pankreatitis

• Deskuamasi kulit

• Sindrom Dumping

3. Kehilangan cairan ekstraselular:

• Muntah (vomitus)

• Dehidrasi

• Diare

• Terapi diuretik yang sangat agresif

3
• Diabetes insipidus

• Insufisiensi renal

(Wijaya, 2010)

2.3.2 Patofisiologi syok hipovolemik

terdapat 4 stage perkembangan patofisiologi shock yang berlangsung

secara progresif dan berkelanjutan, yaitu:

 Inisial

Terjadi keadaan hipoperfusi yang menyebabkan kurangnya oksigen

untuk memberikan suplai terhadap kebutuhan metabolisme seluler. Keadaan

hipoksia ini menyebabkan proses masuknya piruvat pada siklus kreb menurun,

sehingga terjadi penimbunan piruvat. Piruvat tersebut akan diubah menjadi

laktat oleh laktat dehidrogenase sehingga terjadi penimbunan laktat yang

menyebabkan keadaan asidosis laktat.

4
 Kompensatori

Pada tahap ini tubuh menjalani mekanisme fisiologis untuk

mengkompensasi. Asidosis yang terjadi dalam tubuh dikompensasi dengan

keadaan hiperventilasi dengan tujuan untuk mengeluarkan CO2 dari dalam

tubuh, karena secara tidak langsung CO2 berperan dalam keseimbangan asam

basa dengan cara mengasamkan ata menurunkan pH dalam darah.

Pada syok juga terjadi hipotensi yang kemudian dideteksi oleh

barosreseptor, tubuh merespon dengan menghasilkan norepinefrin dan

epnefrin. Norepinefrin berperan dalam vasokonstriksi pembuluh darah.

Sedangkan epinefrin memberikan efek secara dominan pada peningkatan

denyut jantung. Selain dilepaskan norepinefrin dan epinefrin, RAA (renin

angiotensi aldosteron) juga teraktivasi dan terjadi pelepasan hormon

vasopressor atau ADH (anti diuretic hormon) yang berperan untuk

meningkatkan tekanan darah dengan cara menurunkan urine output.

 Progresif

Ketika shock tidak berhasil ditangani dengan baik, maka syok akan

mengalami tahap progresif dan mekanisme kompensasi mulai mengalai

kegagalan. Pada stadium ini, Asidosis metabolik semakin parah, otot polos

pada pembuluh darah mengalami relaksasi sehingga terjadi penimbunan darah

dalam pembuluh darah. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik

dikombinasikan dengan lepas nya histamin yang mengakibatkan bocornya

cairan ke dalam jaringan sekitar. Hal ini mengakibatkan konsentrasi dan

viscositas darah menjadi meningkat dan dapat terjadi penyumbatan dalam

aliran darah sehingga berakibat terjadinya kematian banyak jaringan.

5
 Refraktori

Pada stadium ini terjadi kegagalan organ dan shock menjadi ireversibel.

Kematian otak dan seluler pun berlangsung. Syok menjadi irevesibel karena

ATP sudah banyak didegradasi menjadi adenosin ketika terjadi kekurangan

oksigen dalam sel. Adenosin yang terbentuk mudah keluar dari sel dan

menyebabkan vasodilatasi kapiler. Adenosin selanjutnya di transformasi

menjadi asam urat yang kemudian di eksresi ginjal. Pada tahap ini, pemberian

oksigen menjadi sia- sia karena sudah tidak ada adenosin yang dapat

difosforilasi menjadi ATP (Wijaya, 2010).

2.3.3 Gejala klinik Syok Hipovolemik

Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-

perdarahan serta perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam

kecepatan timbulnya syok. Gejala klasik syok yaitu, tekanan darah menurun

drastis dan tidak stabil walau posisi berbaring, pasien menderita takikardia

hebat, oliguria, agitasi atau bingung, peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi,

pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormone stress serta ekspansi besar

guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan cairan

interstisial, interselular dan menurunkan produksi urin (Kolecki, 2014).

2.3.4 Stadium Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik dibagi menjadi 4 tingkatan. Empat tingkatan ini dikenal

juga dengan 'Tenis's Shock Hypovolemic Shock". Hal ini dikarenakan 4

tingkatan dari persentase kehilangan darah pada stage ini mirip dengan skor

pada olah raga tenis, yaitu 15, 15-30, 30-40, 40.

6
Stage 1 Stage 2 Stage 3 Stage 4
(Classic sign)
% Kehilangan <15% 15% - 30% 30% - 40% >40
volume darah (750 ml) (750 – 1500 ml) (1500 – 2000 (>2000 ml)
ml)
Cardiac Normal Tidak mampu Tidak mampu Tidak mampu
Output dikompensasi oleh dikompensasi dikompensasi
konstriksi pembuluh oleh konstriksi oleh konstriksi
darah pembuluh pembuluh darah
darah
Tekanan Normal TD sistolik normal TD sistolik Menurun hingga
darah namun diastolic menurun <100 < 70 mmHg
meningkat sehingga mmHg
gap antara sistolik
dan diastolic (pulse
pressure) menurun.
Laju nafas Normal Meningkat namun < Takipnea jelas Takipnea jelas
30 x/menit (>30 x /menit) (>30 x /menit)
Nadi Normal Takikardi Takikardia Takikardia
(>100x/menit) jelas (>120 x / (>130 x/ menit)
menit) dengan pulsasi
yang lemah
Kulit Kulit mulai Pucat, dingin karena Berkeringat, Berkeringat,
pucat alian darah menuju dingin dan dingin, dan
ke organ vital pucat sangat pucat
Status Mental sedikit Gelisah ringan Bingung, Penurunan
cemas/ (restless) cemas, agitasi kesadaran,
gelisah lethargy, coma
Pengisian Normal Waktu pengisian Delayed absent
Kapiler kapiler memanjang
Urine Output Normal Menurun (20-30 ml / 20 ml /jam Sangat menurun
jam) hingga absent-
Tidak berarti
(Kolecki, 2014).
2.3.5 Tata laksana Syok Hipovolemik

Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok

hipovolemik antara lain:

 memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang

adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah

 mengontrol kehilangan darah lebih lanjut

 resusitasi cairan.

7
Ketika hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah

menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernafasan

dan diberikan resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intra vena atau cara

lain yang memungkinkan seperti pemasangan kateter CVP (central venous

pressure) atau jalur intraarterial. Cairan yang diberikan adalah garam isotonus

yang diteteskan dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau

dengan cairan garam seimbang seperti Ringer’s laktat (RL) dengan jarum infus

yang terbesar. Tidak ada bukti medis tentang kelebihan pemberian cairan

koloid pada syok hipovolemik. Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan

dapat mengembalikan keadaan hemodinamik (Wijaya, 2010)

2.4 Syok kardiogenik

2.4.1 Definisi

Syok kardiogenik adalah syok yang disebabkan oleh kegagalan fungsi

pompa jantung yang mengakibatkan curah jantung berkurang atau berhenti

untuk memenuhi kebutuhan metabolism. Syok kardiogenik ditandai oleh

gangguan fungsi ventrikel, yang mengakibatkan gangguan berat pada

penghantaran oksigen ke jaringan (Alwi, 2010)

2.4.2 Etiologi Syok kardiogenik

Penyebab dari syok kardiogenik dibagi dalam :

1. Gangguan ventrikular ejection

a. Infark miokard akut

b. Miokarditis akut

c. Komplikasi mekanik :

o Regurgitasi mitral akut akibat ruptur atau disfungsi otot papilaris

8
o Ruptur septum interventrikulorum

o Ruptur free wall

o Aneurisma ventrikel kiri

o Stenosis aorta yang berat

o Kardiomiopati

o Kontusio miokard

2. Gangguan ventrikular filling

a. Tamponade jantung

b. Stenosis mitral

c. Miksoma pada atrium kiri

d. Trombus ball valve pada atrium

e. Infark ventrikel kanan

(Alwi, 2010)

2.4.3 Patofisiologi Syok kardiogenik

Tanda dan gejala syok kardiogenik mencerminkan sifat sirkulasi

patofisiologi gagal jantung. Kerusakan jantung mengakibatkan penurunan

curah jantung, sehingga menurunkan tekanan darah arteria ke organ-organ

vital. Aliran darah ke arteri koroner berkurang,kmd asupan oksigen ke jantung

menurun, yang mengakibatkan iskemia dan penurunan lebih lanjut kemampuan

jantung untuk memompa, akhirnya terjadilah lingkaran setan. Tanda klasik

syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat dan lemah, hipoksia

otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi, penurunan

haluaran urin, serta kulit yang dingin dan lembab. Disritmia sering terjadi

akibat penurunan oksigen ke jantung.seperti pada gagal jantung, penggunaan

9
kateter arteri pulmonal untuk mengukur tekanan ventrikel kiri dan curah

jantung sangat penting untuk mengkaji beratnya masalah dan mengevaluasi

penatalaksanaan yang telah dilakukan. Peningkatan tekananakhir diastolik

ventrikel kiri yang berkelanjutan (LVEDP = Left Ventrikel End Diastolik

Pressure) menunjukkan bahwa jantung gagal untuk berfungsi sebagai pompa

yang efektif (Guyton, 2010).

2.4.4 Gejala klinis Syok kardiogenik

Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri yang

mengakibatkan gangguan mengakibatkan gangguan fungsi ventrikel kiri yaitu

mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen

ke jaringan yang khas pada syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark

miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel

10
kiri dan nekrosis vocal di seluruh ventrikel karena ketidakseimbangan antara

kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Gmbaran klinis gagal jantung kiri :

1. Sesak napas dyspnea on effort, paroxymal nocturnal dyspnea

2. Pernapasan cheyne stokes

3. Batuk-batuk

4. Sianosis

5. Suara serak

6. Ronchi basah, halus tidak nyaring di daerah basal paru hydrothorax

7. Kelainan jantung seperti pembesaran jantung, irama gallop, tachycardia

8. kardiomegali pada foto torax

(Alwi, 2010)

2.4.5 Stadium syok kardiogenik

Syok dapat dibagi dalam tiga tahap yang makin lama makin berat :

 tahap 1 syok terkompensasi (non progresif), yaitu tahap terjadinya respon

kompensatorik

 tahap 2, tahap progresif, ditandai oleh manifestasi sistemik dari hipoperfusi

dan kemunduran fungsi organ.

 tahap 3, tahap refrakter (irreversible ) yaitu tahap kerusakan sel yang hebat

tidak dapat lagi dihindari, dan pada akhirnya menuju pada kematian.

(Hardisman, 2013)

2.4.6 penatalaksanaan syok kardiogenik

Tindakan umum

Ada berbagai pendekatan pada penatalaksanaan syok kardiogenik. Setiap

disritmia mayor harus dikoreksi karena mungkin dapat menyebabkan atau

11
berperan pada terjadinya syok. Bila dari hasil pengukuran tekanan diduga atau

terdeteksi terjadi hipovolemia atau volume intravaskuler rendah. Pasien harus

diberi infus IV untuk menambah jumlah cairan dalam sistem sirkulasi. Bila

terjadi hipoksia, berikan oksigen, kadang dengan tekanan positif bila aliran

biasa tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan jaringan (Alwi, 2010).

Farmakoterapi

Terapi medis dipilih dan diarahkan sesuai dengan curah jantung dan

tekanan darah arteri rerata. Salah satu kelompok obat yang biasa digunakan

adalah katekolamin yang dapat meningkatkan tekanan darah dan curah jantung.

Namun demikian mereka cenderung meningkatkan beban kerja jantung dengan

meningkatkan kebutuhan oksigen. Bahan vasoaktif seperti natrium nitroprusida

dan nitrogliserin adalah obat yang efektif untuk menurunkan tekanan darah

sehingga kerja jantung menurun. Bahan-bahan ini menyebabkan arteri dan

vena mengalami dilatasi, sehingga menimbulkan lebih banyak pintasan volume

intravaskuler keperifer dan menyebabkan penurunan preload dan afterload.

Bahan vasoaktif ini biasanya diberikan bersama dopamin, suatu vasopresor

yang membantu memelihara tekanan darah yang adekuat(Alwi, 2010).

Pompa Balon Intra Aorta. Terapi lain yang digunakan untuk menangani

syok kardiogenik meliputi penggunaan alat bantu sirkulasi. Sistem bantuan

mekanis yang paling sering digunakan adalah Pompa Balon Intra Aorta (IABP

= Intra Aorta Baloon Pump). IABP menggunakan counterpulsation internal

untuk menguatkan kerja pemompaan jantung dengan cara pengembangan dan

pengempisan balon secara teratur yang diletakkan di aorta descendens. Alat ini

dihubungkan dengan kotak pengontrol yang seirama dengan aktivitas

12
elektrokardiogram. Pemantauan hemodinamika juga sangat penting untuk

menentukan position sirkulasi pasien selama penggunaan IABP.

Balon dikembangkan selam diastole ventrikel dan dikempiskan selama sistole

dengan kecepatan yang sama dengan frekuensi jantung. IABP akan

menguatkan diastole,yang mengakibatkan peningkatan perfusi arteria koronaria

jantung. IABP dikempiskan selama sistole, yang akan mengurangi beban kerja

ventrikel (Alwi, 2010).

Penatalaksanaan yang lain :

a. Istirahat

b. Diit, diit jantung, makanan lunak, rendah garam

c. Pemberian digitalis, membantu kontraksi jantung dan memperlambat

frekuensi jantung. Hasil yang diharapkan peningkatan curah jantung,

penurunan tekanan vena, dan volume darah dan peningkatan diuresis akan

mengurangi edema. Pada saat pemberian ini pasien harus dipantau terhadap

hilangnya dispnea, ortopnea, berkurangnya krekel, dan edema perifer.

Apabila terjadi keracunan ditandai dengan anoreksia, mual dan muntah

namun itu gejala awal selanjutnya akan terjadi perubahan irama, bradikardi

kontrak ventrikel premature, bigemini (denyut normal dan premature saling

bergantian), dan takikardia atria proksimal.

d. Pemberian diuretik, yaitu untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui

ginjal. Bila sudah diresepkan harus diberikan pada siang hari agar tidak

menganggu istirahat pada malam hari, intake dan output pasien harus dicatat

mungkin pasien dapat mengalami kehilangan cairan setelah pemberian

13
diuretik. Pasien juga harus menimbang badannya setiap hari turgor kulit

untuk menghindari terjadinya tanda-tanda dehidrasi.

e. Morfin, diberikan untuk mengurangi sesak napas pada asma cardial, hati-hati

depresi pernapasan.

f. Pemberian oksigen

g. Terapi vasodilator dan natrium nitropurisida, obat-obatan vasoaktif

merupakan pengobatan utama untuk mengurangi impedansi (tekanan)

terhadap penyemburan darah oleh ventrikel (Alwi, 2010).

2.5 Syok distributif

2.5.1 Definisi

Syok distributif atau vasogenik terjadi ketika volume darah secara

abnormal berpindah tempat dalam vaskulatur seperti ketika darah berkumpul

dalam pembuluh darah perifer (Prajitno, 2011).

2.5.2 Etiologi syok distributif

Syok distributif dapat disebabkan baik oleh kehilangan tonus simpatis atau

oleh pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel. Kondosi-kondisi yang

menempatkan pasien pada resiko syok distributif yaitu

(1) syok neurogenik seperti cedera medulla spinalis, anastesi spinal.

(2) syok anafilaktik seperti sensitivitas terhadap penisilin, reaksi transfusi,

alergi sengatan lebah

(3) syok septik seperti imunosupresif, usia yang ekstrim yaitu > 1 thn dan > 65

tahun, malnutrisi (Prajitno, 2011).

14
2.5.3 Syok neurogenik

2.5.3.1 Definisi

Syok neurogenik merupakan kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi

hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance

vessels). Syok neurogenik terjadi karena hilangnya tonus pembuluh darah

secara mendadak di seluruh tubuh.

Syok neurogenik juga dikenal sebagai syok spinal. Bentuk dari syok

distributif, hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik yang

diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf (seperti: trauma kepala, cidera spinal,

atau anestesi umum yang dalam) (Sethi, 2003).

2.5.3.2 Etiologi

 Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal).

 Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat

pada fraktur tulang.

 Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi

spinal/lumbal.

 Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom).

 Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut (Prajitno, 2011)..

2.5.3.3 patofisiologi

Syok neurogenik termasuk syok distributif dimana penurunan perfusi

jaringan dalam syok distributif merupakan hasil utama dari hipotensi arterial

karena penurunan resistensi pembuluh darah sistemik (systemic vascular

resistance). Sebagai tambahan, penurunan dalam efektifitas sirkulasi volume

plasma sering terjadi dari penurunan venous tone, pengumpulan darah di

15
pembuluh darah vena, kehilangan volume intravaskuler dan intersisial karena

peningkatan permeabilitas kapiler. Akhirnya, terjadi disfungsi miokard primer

yang bermanifestasi sebagai dilatasi ventrikel, penurunan fraksi ejeksi, dan

penurunan kurva fungsi ventrikel(Prajitno, 2011).

Pada keadaan ini akan terdapat peningkatan aliran vaskuler dengan akibat

sekunder terjadi berkurangnya cairan dalam sirkulasi. Syok neurogenik

mengacu pada hilangnya tonus simpatik (cedera spinal). Gambaran klasik pada

syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi kulit.

Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang

mengakibatkan vasodilatasi menyeluruh di regio splanknikus, sehingga perfusi

ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu

lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri. Syok neurogenik bisa juga

akibat rangsangan parasimpatis ke jantung yang memperlambat kecepatan

denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke pembuluh darah.

Misalnya pingsan mendadak akibat gangguan emosional (Prajitno, 2011)..

2.5.3.4 Gejala Klinis


Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik

terdapat tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat

lebih lambat (bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis

berupa quadriplegia atau paraplegia . Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah

pasien menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Karena terjadinya

pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit terasa agak

hangat dan cepat berwarna kemerahan (Sethi, 2003).

16
2.5.3.5 terapi

Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif

seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan

penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar

darah yang berkumpul ditempat tersebut.

1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi

Trendelenburg).

2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan

menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi

yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat

dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang

darurat jika terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga

dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan

penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.13

3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi

cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya

diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang

cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk

menilai respon terhadap terapi.

4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat

vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan

seperti ruptur lien) :

17
· Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10

mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi

takikardi.

· Norepinefrin: Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan

tekanan darah. Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang

rendah jika norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara

adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi sebaiknya

diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh

vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung

(palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal

kembali.

· Epinefrin: Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna

dan dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama

kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini

harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik.

Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak

boleh diberikan pada pasien syok neurogenik

· Dobutamin: Berguna jika tekanan darah rendah Dobutamin dapat

menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.

Resistensi
Dosis Cardiac Tekanan
Obat Pembuluh Darah
(mcg/kg/menit) Output Darah
Sistemik
Dopamin 2,5-20 + + +
Norepinefrin 0,05-2 + ++ ++
Epinefrin 0,05-2 ++ ++ +
Fenilefrin 2-10 - ++ ++
Dobutamin 2,5-10 + +/- -
(Prajitno, 2011).

18
2.5.4. Syok Anafilaktik

2.5.4.1 Definisi

Syok anafilaksis merupakan suatu reaksi alergi tipe yang fatal dan dapat

menimbulkan “bencana”, yang dapat terjadi dalam beberapa detik-menit,

sebagai akibat reaksi antigen antibody. Reaksi ini diperankan oleh IgE

antibody yang menyebabkan pelepasan mediator kimia dari sel mast dan sel

basofil yang beredar dalam sirkulasi berupa fistamin, SRS-A, serotonin dll

(Austen, 2004).

2.5.4.2 Etiologi

Beberapa penyebab syok anafilaktik diantaranya, insect venom, antibiotik

(beta lactams, vancomycin, sulfonamide), heterologues serum (anti toxin, anti

sera), latex, vaksin yang berbasis telur, tranfusi darah, immunogobulin (Austen,

2004).

2.5.4.3 Patofisiologi shock anafilaktik

Mekanisme umum terjadinya reaksi anafilaksis dan anafilaktoid adalah

berhubungan dengan degranulasi sel mast dan basophil yang kemudian

mengeluarkan mediator kimia yang selanjutnya bertanggung jawab terhadap

symptom. Degranulasi tersebut dapat terjadi melalui kompleks antigen dan Ig

E maupun tanpa kompleks dengan Ig E yaitu melalui pelepasan histamine

secara langsung.

Mekanisme lain adalah adanya gangguan metabolisme asam arachidonat

yang akan menghasilkan leukotrien yang berlebihan kemudian menimbulkan

keluhan yang secara klinis tidak dapat dibedakan dengan meknisme diatas. Hal

19
ini dapat terjadi pada penggunaan obat-obat NSAID atau pemberian gama-

globulin intramuscular (Austen, 2004).

2.5.4.4 gejala klinis

Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-

beda gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat

sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat barupa syok anafilaktik

gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua

gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya

sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya

makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita

Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau

batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan udema laring dan

bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini menyebabkan penderita nampak

dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan gangguan

sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya

menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa udema

laring dan bronkospasme merupakan pembunuh utama pada syok anafilaktik

Gangguan kulit merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan

pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini

amat penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala

prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan

gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit berupa urtikaria,

eritema, atau pruritus harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala

yang lebih berat. Dengan kata lain setiap keluhan kecil yang timbul sesaat

20
sesudah penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat berkembang kearah

yang lebih berat (Austen, 2004).

2.5.4.5 tata laksana

1. Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan

3 faktor yaitu :

 Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan

cepat terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.

 Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang

kuat sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali.

 Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi

cyclic AMP sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat

berkurang atau berhenti.

Dosis dan cara pemberiannya.

0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler

yang dapat diulangi 5 – 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan,

mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara

intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 – 0,2

ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan

perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik

karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada

kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.

2.Aminofilin

Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum

hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-

21
lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips

infus bila dianggap perlu.

3. Antihistamin dan kortikosteroid.

Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang

manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu

menetralkan chemical mediators yang lepas dan tidak menghentikan

produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna

mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect.

Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 – 20 mg IV

dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 – 10 mg

IV atau hidrocortison 100 – 250 mg IV.

Terapi suportif

Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi

medikamentosa dan sebaiknya dilakukan secara bersamaan. (10,11,12)

1. Pemberian Oksigen

Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 – 5

ltr / menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan

trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.

2. Posisi Trendelenburg

Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat

(diganjal dengan kursi ) akan membantu menaikan venous return sehingga

tekanan darah ikut meningkat.

3.Pemasangan infus.

22
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih

tetap rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma

expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume

intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau

NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus

sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.

4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)

Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi

kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan

seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok

anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter

tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga

perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk memudahkan tindakan secepatnya

(Austen, 2004).

2.5.5 Syok Septik

2.5.5.1 Definisi

Shock septik adalah infasi aliran darah oleh beberapa organisme

mempunyai potensi untuk menyebabkan reaksi pejamu umum toksin ini.

Hasilnya adalah keadaan ketidakadekuatan perfusi jaringan yang mengancam

kehidupan (Chen, 2010)

2.5.5.2 etiologi

Shock septik sering terjadi pada:

 Bayi baru lahir

 Usia diatas 50 tahun

23
 Penderita gangguan system kekebalan

Factor resiko terjadinya shock septik:

Penyakit menahun (kencing manis, kanker darah saluran kemih – kelamin,

gati , kandung empedu, usus) infeksi, pemakaian antibiotic jangka panjang dan

tindakan medis atau pembedahan (Chen, 2010).

2.5.5.3 Patofisiologi shock septik

Respon imun yang membangkitkan aktivasi berbagai mediator kimiawi

mempunyai beberapa efek yang mengarah pada perembesan cairan dari kapiler,

dan vasodilatasi. Sebelum terjadinya shock septik biasanya didahului oleh

adanya suatu infeksi sepsis yang bisa bisebabkan oleh bakteri gram positif dan

gram negatif. Pada bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida

(LPS). Suatu protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide

binding protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting

dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat

oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS

akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga

mempercepat ikatan dengan CD14.1,2 Kompleks CD14-LPS menyebabkan

transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin

kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi yang

menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14

terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like receptor-2

(TLR2).

Sedangkan pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa

Lipoteichoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin.

24
Bakteri gram positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin

sebagai superantigen dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun.

Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen presenting

cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T

dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih.

Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai

dengan rangsangan endo atau eksotoksin terhadap sistem imunologi, sehingga

terjadi aktivasi makrofag, sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi

komplemen dan netrofil, sehingga terjadi disfungsi dan kerusakan endotel,

aktivasi sistem koagulasi dan trombosit yang menyebabkan gangguan perfusi

ke berbagai jaringan dan disfungsi/kegagalan organ multiple. Penyebaran

infeksi bakteri gram negative yang berat potensial memberikan sindrom klinik

yang dinamakan syok septik. Penyebab syok septik terjadi akibat racun yang

dihasilkan oleh bakteri tertentu dan akibat sitokinesis(zat yang dibuat oleh

sistem kekebalan untuk melawan suatu infeksi). Racun yang dilepaskan oleh

bakteri bisa menyebabkan kerusakan jaringan dan ganggguan peredaran darah

(Chen, 2010).

2.5.5.4 Tanda dan gejala shock septik

Pertanda awal dari shock septik sering berupa penurunan kesiagaan mental

dan kebingungan yang timbul dalam waktu 24 jam atau lebih sebelum tekanan

darah turun. Gejala ini terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak.

Curahan darah dari jantung memang meningkat tetapi pembuluh darah melebar

sehingga tekanan darah menurun. Pernafasan menjadi cepat sehingga paru-paru

mengeluarkan karbondioksida yang berlebihan dan kadarnya didalam darah

25
menurun. Gejala awal berupa menggigil hebat suhu tubuh yang naik secara

cepat, kulit hangat dan kemerahan denyut nadi yang lemah dan tekanan darah

yang turun naik. Pada stadium lanjut suhu tubuh sering turun sampai dibawah

normal. Tanda dan gejala yang lain seperti:

 Demam tinggi

 Vasodilatasi

 Peningkatan HR

 Penurunan TD

 Flushed Skin (kemerahan sebagai akibat Vasodilatasi)

Bila shock memburuk beberapa organ mengalami kegagalan seperti:

 Ginjal: produksi air kemih berkurang

 Paru-paru: gangguan pernafasan dan penurunan kadar oksigen dalam darah

 Jantung: penimbunan cairan dan pembengkakan. Bisa timbul bekuan darah

didalam pembuluh darah (Chen, 2010).

2.5.5.5 terapi syosk sepsis

Penatalaksanaan syok sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen

penyebab infeksi, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau

bedah bila diperlukan, terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi

kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan inotropik, terapi suportif

terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi

respons imun maladaptif host terhadap infeksi.

1. Resusitasi

Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan

oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan

26
transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau

yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg,

MAP >65 mmHg, urine>0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam

6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan

dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai

hematokrit>30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20

μg/kg/menit).

2. Eliminasi sumber infeksi

Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada

umumnya tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami

obstruksi dan implan prostesis yang terinfeksi. Tindakan ini dilakukan secepat

mungkin mengikuti resusitasi yang adekuat.

3. Terapi antimikroba

Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi

antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui

sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat

yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat

penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena pada sepsis

umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat

mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan,

terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat

pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ

27
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data

mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada

bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.

2.6 Syok obstruktif

2.6.1 Definisi

Syok abstruktif terjadi akibat aliran darah dari ventrikel terhambat secara

mekanik. Hal ini sering ditemukan pada penyakit jantung congenital,

tamponade jantung, emboli paru masif, dan tension pneumothorax (Morgan,

2013).

2.6.2 Tension Pneumotorax

2.6.2.1 Definisi dan patofisiologi

Didefinisikan sebagai kejadian adanya udara dalam cavum pleura yang

makin lama makin banyak sehingga tekanan dalam cavum pleura makin tinggi,

akibatnya akan mendesak mediastinum (jantung) ke arah paru yang sehat, dan

vena cava akan tertekan. Hal ini menyebabkan penurunan Venous Return dan

berakhir pada kejadian shock (Morgan, 2013)..

2.6.2.2 Gejala klinis

Gejala klinis shock seperti shock pada umumnya, disertai dengan Sesak

nafas yang memberat, nyeri dada, distress napas, takikardi, takipneu, air

hunger. dari pemeriksaan fisik didapatkan suara nafas hilang, pada

pemeriksaan JVP terlihat, gerak dari dada yang cidera tertinggal, perkusi

hipersonor. pergeseran trachea).

28
2.6.2.3 Terapi

Management awal dengan metode needle decompressi, memasukan jarum

melalui SIC II,pada linea mid clavicularis secara tegak lurus. Tindakan ini

bertujuan untuk mengubah tension jadi simple pneumotorak. Untuk mencegah

shock.

Management lanjutan: dilakukan pemasangan Chest Tube atau

pemasangan dilakukan pada SIC V, setinggi papilla mamae, disisi anterior dari

garis midaksilaris (Morgan, 2013).

2.6.3 Tamponade Cordis

2.6.3.1 definisi dan patofisiologi

Didefinisikan sebagai terdapatnya cairan atau darah didalam cavum

pericardium sehingga mempengaruhi kontraktilitas jantung (end diastolic

volumeyg terpengaruh). akibatnya, akan terjadi kegagalan jantung untuk

mengembang, sehingga venous return turun, diikuti dengan cardiac output juga

turun. Jika keadaan ini berkelanjutan, akan menyebabkan pasien jatuh dalam

kondisi shock (Morgan, 2013)..

2.6.3.2 Gejala klinis

Pasien datang dengan keluhan umum Sesak nafas makin lama makin

berat.pada pemeriksaan didapatkan Trias Beck (JVP meningkat, penurunan

tekanan arteri, suara jantung terdengar jauh/ samar). Selanjutnya dilakukan

pemeriksaan Penunjang yakni pericardiocentesis, Echo-cardiogram, FAST

(focused assessment sonogram in trauma) karena penggunaan FAST metode

cepat, dan akurat serta less invasive dalam mendiagnosis tamponade (Morgan,

2013)..

29
2.6.3.3 Terapi

Management awal: pericardiocentesis (sekaligus untuk menegakkan

diagnostic, Management Lanjutan : terapi definitive nya adalah menghilangkan

penyebab tamponade jantung dengan tindakan bedah. Selain itu terapi

tambahan untuk mengatasi syok juga dilakukan, seperti oksigenasi,

pemasangan cairan infus (Morgan, 2013)..

2.6.4 Emboli paru

2.6.4.1 definisi dan patofisiologi

Didefinisikan sebagai terdapat nya sumbatan pada paru baik karena lemak,

udara, ataupun gumpalan darah. sehingga akan terjadi penyumbatan aliran

darah kembali kejantung dan gangguan difusi di paru paru. Tanda tanda dan

gejala tergantung dari ukuran embolus, dan lokasi pembuluh darah yang

terkena (Morgan, 2013)..

2.6.4.2 Gejala klinis

Pasien datang biasanya dengan kondisi sesak nafas, nyeri dada difus, batuk

kering yang bisa berlanjut jadi hemoptisis, akhirnya muncul gejala shock.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan ronsen dada, EKG, blood gas, pemeriksaan

khususnya adalah Ventilation scan, dan pulmonary angiography, non invasive

lung scanning (Morgan, 2013)..

2.6.4.3 Terapi

Management awal : oksigenasi min 4-5L/min.

Management definitive (clotting):

1. HEPARIN bolus 5000-1000 IU dilanjutkan drip dalam infuse 1000-2000

IU/jam.

30
2. Cek APTT per 6 jam untuk monitoring terapi

3. Terapi diberikan 4-10 hari

4. factor risiko DVT di hilangkan, dengan pembaerian warfarin, enocaparin,

nadroparin, dkk.

5. bila sumbatanya besar, dilakukan embolektomi oleh yang berkompetensi.

(Morgan, 2013).

31
BAB 3

KESIMPULAN

Syok adalah sindrom klinis yang kompleks yang mencakup sekelompok

keadaan dengan manifestasi hemodinamik yang bervariasi tetapi petunjuk yang

umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan.

Syok merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan pengenalan

dan penanganan yang cepat, tepat dan intensif. Dengan kita telah mengetahui

beberapa klasifikasi syok, antara lain syok hipovlemik, syok kardiogenik, syok

distributif, dan syok obstruksi. Dengan demikian, maka diharapkan akan

mempermudah klinisi dalam hal pengambilan keputusan menentukan tindakan

sesegera mungkin agar dilakukan penanganan yang cepat, tepat dan intensif.

Syok yang tersering terjadi adalah jenis syok hipovolemia, yaitu

kekurangan caoran intravaskuler. Terapi atau penanganan untuk semua jenis

syok pada prinsipnya sama, hanya porsinya yang berbeda. Pemberian cairan

merupakan salah satu tindakan terpenting dalam penanganan syok. Berhasil

tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan mengenal gejala-

gejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas

dan efisiensi kerja kita pada saat-saat/menit-menit pertama penderita

mengalami syok.

32
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, idrus. Sally Aman Nasution. 2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam: syok
kardiogenik. Jakarta: interna publishing hlm 242-250
Austen, K.F, 2004 : Systemic Anaphylaxix. in Man. JAMA, 192 : 2 .2004.
Chen, Kien. Hendiman T. Pohan. 2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam:
Penatalaksanaan syok septik. Jakarta: interna publishing hlm 252-256
Guyton A, Hall J. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment (Chapter
24). Textbook of Medical Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania:
Saunders; 2010. p. 273-84
Hardisman, 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok: Update dan
Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)
Kolecki P, Menckhoff CR, Dire DJ, Talavera F, Kazzi AA, Halamka JD, et al.
Hypovolemic Shock Treatment & Management 2013:
http://emedicine.medscape.com/article/760145-treatment. diakses 23 sept
2014
Morgan, Carrie. Derek S. Wheeler. 2013. Obstructive Shock. The Open Pediatric
Medicine Journal, 2013, 7, (Suppl 1: M7) 35-37
Prajitno, bambang wahyu. Rupii. Aryono D. Pusponegoro. 2011. Syok. Jakarta:
EGC hlm 156-165
Sethi, A.K. Prakash Sharma, Medha Metha. 2003. SHOCK: Ashort review. Indian
J. Anaesth. 2003; 47 (5) : 345-359.
Wijaya, ika prasetya. 2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam: syok hipovolemik.
Jakarta: interna publishing hlm 242-244

33

You might also like