You are on page 1of 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi Dalam Kehamilan


2.1.1. Definisi
Hipertensi dalam kehamilan adalah hipertensi yang terjadi saat
kehamilan berlangsung dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan
atau lebih setelah 20 minggu usia kehamilan pada wanita yang
sebelumnya normotensif, tekanan darah mencapai nilai 140/90
mmHg.5

2.1.2. Klasifikasi Hipertensi Dalam Kehamilan


Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report
of the National High Blood Pressure Education Program Working
Group On High Blood Pressure in Pregnancy tahun 2001, yaitu:6
1. Hipertensi kronik
2. Preeklampsia-eklampsia
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
4. Hipertensi gestasional

2.2. Preeklampsia
2.2.1. Definisi Preeklampsia
Preeklampsia (PE) merupakan kumpulan gejala atau sindroma
yang mengenai wanita hamil dengan usia kehamilan di atas 20 minggu
dengan tanda utama berupa adanya hipertensi dan proteinuria. Bila
seorang wanita memenuhi kriteria preeklampsia dan disertai kejang
yang bukan disebabkan oleh penyakit neurologis dan atau koma maka
dikatakan mengalami eklampsia.3,7

2.2.2. Epidemiologi Preeklampsia


Angka kematian ibu akibat kasus preeklampsia bervariasi antara

3
4

0-4%.8 Angka kematian ibu meningkat karena komplikasi yang dapat


mengenai berbagai sistem tubuh. Penyebab kematian terbanyak wanita
hamil akibat preeklampsia adalah perdarahan intraserebral dan edema
paru. Efek preeklampsia pada kematian perinatal berkisar antara 10-
28%. Penyebab terbanyak kematian perinatal disebabkan prematuritas,
pertumbuhan janin terhambat, dan solutio plasenta.9
Angka kejadian preeklampsia rata-rata sebanyak 6% dari seluruh
kehamilan dan 12% pada kehamilan primigravida. Kejadian penyakit
ini lebih banyak dijumpai pada primigravida terutama primigravida
pada usia muda daripada multigravida.7

2.2.3. Etiologi Preeklampsia


Sedikitnya terdapat empat mengenai etiologi preeklampsia
hingga saat ini, yaitu:10
1. Iskemia plasenta, yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap
arteri spiralis sehingga menyebabkan berkurangnya sirkulasi
uteroplasenta yang dapat berkembang menjadi iskemia plasenta.

Gambar 2.1. Etiologi preeklampsia menurut teori iskemik plasenta 7

Implantasi plasenta pada kehamilan normal dan PE Implantasi plasenta


5

normal yang memperlihatkan proliferasi trofoblas ekstravilus


membentuk satu kolom di bawah vilus penambat. Trofoblas ekstravilus
menginvasi desidua dan berjalan sepanjang bagian dalam arteriol
spiralis. Hal ini menyebabkan endotel dan dinding pembuluh vaskular
diganti diikuti oleh pembesaran pembuluh darah.
2. Peningkatan toksisitas very low density lipoprotein (VLDL).
3. Maladaptasi imunologi, yang menyebabkan gangguan invasi arteri
spiralis oleh sel-sel sinsitiotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang
diperantarai oleh peningkatan pelepasan sitokin, enzim proteolitik
dan radikal bebas.
4. Genetik
Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia plasenta.
Namun, banyak faktor yang menyebabkan preeklampsia dan di
antara faktor-faktor yang ditemukan tersebut seringkali sukar
ditentukan apakah faktor penyebab atau merupakan akibat.

2.2.4. Faktor Risiko


Selain primigravida, faktor risiko preeklampsia lain di antaranya
adalah:
1. Usia
Usia >35 tahun meningkatkan frekuensi kejadian preeklampsia
sebesar 10-20%. Usia muda (<20 tahun) sebagai faktor resiko
preeklampsia. Frekuensi kejadian preeklampsia pada
kehamilan usia remaja sebesar 8-10%.11
2. Nullipara
Nullipara memiliki resiko hampir tiga kali lipat. Frekuensi kejadian
preeklampsia pada nullipara/primipara sebesar 6-7%.12
3. Jarak antar kehamilan
Resiko preeklampsia semakin meningkat sesuai dengan lamanya
interval dengan kehamilan pertama(1,5 setiap 5 tahun jarak
kehamila pertama dan kedua).13
4. Riwayat preeklampsia sebelumnya
6

Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan


faktor risiko utama. Risiko meningkat hingga 7 kali lipat. Hal
tersebut juga berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia
berat, preeklampsia onset dini, dan dampak perinatal yang buruk.
Frekuensi preeklampsia terjadi sebesar 20-30%. Jika riwayat
preeklampsia terjadi pada usia kehamilan 28 minggu atau lebih
kecil, frekuensi kejadian preeklampsia mencapai 50%.11,13
5. Riwayat keluarga preeklampsia
Riwayat keluarga preeklampsia meningkatkan resiko hampir 3 kali
lipat. Frekuensi kejadian preeklampsia sebesar 10-15%. Adanya
riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan resiko sebanyak 3.6
kali lipat.11,13
6. Kehamilan Ganda
Wanita hamil menunjukkan kehamilan kembar meningkatkan
resiko preeklampsia hampir 3 kali lipat. Kehamilan triplet memiliki
resiko hampir 3 kali lipat dibandingkan kehamilan duplet.11,13
7. Obesitas sebelum hamil dan indeks massa tubuh (IMT) saat
pertama kali Antenatal Care (ANC)
Resiko preeklampsia meningkat progresif dengan semakin
besarnya IMT. Hal tersebut meningkat dari 4.3% pada perempuan
dengan IMT < 19.8 kg/m2 menjadi 13.3% pada IMT >35 kg/m2.
Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi insulin yang juga
merupakan faktor resiko preeklampsia. Obesitas meningkatkan
resiko preeklampsia sebanyak 2.47 kali lipat sedangkan wanita
dengan IMT sebelum hamil >35 kg/m2 dibandingkan dengan IMT
19-27 kg/m2 memiliki resiko preeklampia 4kali lipat.11,12,13
8. Diabetes melitus tergantung insulin
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila
diabetes terjadi sebelum hamil. Frekuensi kejadian preeklampsia
sebesar 20 %.11,13
7

2.2.5. Klasifikasi Preeklampsia


Preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan
preeklampsia berat (PEB).
1. Preeklampsia ringan14
Dikatakan preeklampsia ringan apabila:
1. Tekanan darah ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20
minggu
2. Tes celup urin menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan
protein kuantitatif menunjukkan hasil >300 mg/24 jam.
2. Preeklampsia berat15
Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan
preeklampsia atau preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini:
1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau
110 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15
menit menggunakan lengan yang sama
2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak
ada kelainan ginjal lainnya
4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio
kanan atas abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan
visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan
sirkulasi uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth
Restriction (FGR) atau didapatkan absent or reversed end
diastolic velocity (ARDV)
4
Preklampsia berat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu:
a. PEB tanpa impending eclampsia.
8

b. PEB dengan impending eclampsia dengan gejala-gejala


impending di antaranya nyeri kepala, mata kabur, mual dan
muntah, nyeri epigastrium, dan nyeri abdomen kuadran kanan
atas
3. Jika terjadi tanda-tanda preeklampsia yang lebih berat dan
disertai dengan adanya kejang, maka dapat digolongkan ke
dalam eklampsia.

2.2.6. Patofisiologi Preeklampsia


Pada kondisi normal, terjadi remodeling anteriol spiralis uterin
pada saat diinvasi oleh trofoblast endovaskuler. Sel-sel tersebut
menggantikan endotel pembuluh darah dan garis otot sehingga diameter
pembuluh darah membesar. Vena diinvasi secara superfisial. Pada kasus
preeklampsia, terjadi invasi trofoblast yang tidak lengkap. Invasi terjadi
secara dangkal terbatas pada pembuluh darah desidua tetapi tidak
mencapai pembuluh darah myometrium. Pada kehamilan normal tanpa
preeklampsia, invasi trofoblast terjadi secara lengkap mencapai
myometrium.16
Pada Preeklampsia, arteriol pada myometrium hanya memiliki
diameter berukuran setengah lebih kecil dari plasenta yang normal.
Selain itu pada awal preeklampsia terjadi kerusakan endotel, insudasi
dari plasma ke dinding pembuluh darah, proliferasi sel miointimal dan
nekrosi medial. Lipid dapat terkumpul pada sel miointimal dan di dalam
kantong makrofag. Akibat dari gangguan pembuluh darah tersebut,
terjadi peningkatan tekanan darah serta kurangnya pasokan oksigen dan
nutrisi ke plasenta. Kondisi tertentu membuat plasenta mengeluarkan
faktor-faktor tertentu yang dapat memicu inflamasi secara sistemik.8
Adapun kondisi yang terjadi pada preeklampsia antara lain
vasospasme, aktivasi sel endoteliel, peningkatan respon presor dan juga
aktivasi endoteliel dan protein angiogenik serta antiangiogenik. Proses
inflamasi yang terjadi secara sistemik memicu terjadinya vasospasme.
9

Kontriksi pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi


sehingga tekanan darah meningkat. Kerusakan pada sel endotel
pembuluh darah juga menyebabkan kebocoran interstitial sehingga
platelet fibrinogen terdeposit pada subendotel. Pada kondisi tersebut,
ibu dengan preeklampsia akan mengalami gangguan distribusi darah,
iskemia pada jaringan di sekelilingnya sehingga mengakibatkan
kematian sel, perdarahan dan gangguan organ lainnya.8
Sel endotel pada ibu dengan preeklampsia tidak memiliki
kemampuan yang baik dalam melepaskan suatu senyawa pemicu
vasodilatasi, yaitu nitrit oksida. Selain itu endotel tersebut juga
menghasilkan senyawa pencetus koagulasi serta mengalami
peningkatan sensitifitas terhadap vasopressor. Pada preeklampsia,
produksi prosasiklin endothelial (PGI2) berkurang disertai peningkatan
produksi tromboksan oleh platelet. Dengan begitu, rasio perbandingan
dari prostasiklin : tromboksan berkurang. Hasil akhir dari semua
kejadian tersebut adalah pembuluh darah menyempit, tekanan darah
meningkat, cairan keluar dari ruang pembuluh darah. Jadi meskipun
pasien mengalami edema atau bengkak oleh cairan, sebenarnya dia
mengalami kondisi kekurangan cairan di pembuluh darahnya.
Senyawa lain yang meningkat pada preeklampsia adalah
endotelin. Endotelin merupakan suatu asam amino yang bersifat
vasokonstriktor poten yang memang dihasilkan oleh endotel manusia.
Peningkatan poten ini terjadi karena proses aktivasi endotel secara
sistemik, bukan dihasilkan dari plasenta yang bermasalah. Pemberian
magnesium sulfat pada ibu dengan preeklampsia diteliti mampu
menurunkan kadar endotelin – 1 tersebut.17
Pada penyempurnaan plasenta, terdapat pengaturan tertentu pada
protein angiogenik dan antiangiogenik. Proses pembentukan darah
plasenta itu sendiri mulai ada sejak hari ke-21 sejak konsepsi. Adanya
ketidakseimbangan angiogenik pada preeklampsia terjadi karena
produksi faktor antiangiogenik yang berlebihan. Hal ini memperburuk
10

kondisi hipoksia pada permukaan uteroplasenta.17


1. Regulasi volume darah
Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada preeklampsia.
Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga terganggu, tetapi
pada derajat mana hal ini terjadi sangat bervariasi dan pada keadaan
berat mungkin tidak dijumpai adanya edema. Bahkan jika dijumpai
edema interstitial, volume plasma lebih rendah dibandingkan pada
wanita hamil normal dan akan terjadi hemokonsentrasi. Terlebih
lagi suatu penurunan atau suatu peningkatan ringan volume plasma
dapat menjadi tanda awal hipertensi.
2. Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah
Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia
dibandingkan dengan hamil normal, penurunan ini lebih erat
hubungannya dengan wanita yang melahirkan bayi dengan berat
bayi lahir rendah (BBLR).
3. Aliran Darah di Organ-Organ
a. Aliran darah di otak
Pada preeklampsia aliran darah dan konsumsi oksigen
berkurang 20%. Hal ini berhubungan dengan spasme pembuluh
darah otak yang mungkin merupakan suatu faktor penting
dalam terjadinya kejang pada preeklampsia maupun perdarahan
otak.
b. Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal
Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang
sering menjadi penanda pada kehamilan muda. Pada
preeklampsia arus darah efektif ginjal rata-rata berkurang 20%,
dari 750 ml menjadi 600ml/menit, dan filtrasi glomerulus
berkurang rata-rata 30%, dari 170 menjadi 120ml/menit,
sehingga terjadi penurunan filtrasi. Pada kasus berat akan
terjadi oligouria, uremia dan pada sedikit kasus dapat terjadi
nekrosis tubular dan kortikal.
11

Plasenta ternyata membentuk renin dalam jumlah besar, yang


fungsinya mungkin sebagai cadangan menaikkan tekanan darah
dan menjamin perfusi plasenta yang adekuat. Pada kehamilan
normal renin plasma, angiotensinogen, angiotensinogen II, dan
aldosteron meningkat nyata di atas nilai normal wanita tidak
hamil. Perubahan ini merupakan kompensasi akibat
meningkatnya kadar progesteron dalam sirkulasi. Pada
kehamilan normal efek progesteron diimbangi oleh renin,
angiotensin, dan aldosteron, tetapi keseimbangan ini tidak
terjadi pada preeklampsia.
Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun pada
preeklampsia, tetapi karena hemodinamik pada kehamilan
normal meningkat 30% sampai 50%, nilai pada preeklampsia
masih di atas atau sama dengan nilai wanita tidak hamil. Klirens
fraksi asam urat yang menurun, kadang-kadang beberapa
minggu sebelum ada perubahan pada GFR, dan hiperurisemia
dapat merupakan gejala awal. Dijumpai pula peningkatan
pengeluaran protein biasanya ringan sampai sedang.
Preeklampsia merupakan penyebab terbesar sindrom nefrotik
pada kehamilan.
Penurunan hemodinamik ginjal dan peningkatan protein urin
adalah bagian dari lesi morfologi khusus yang melibatkan
pembengkakan sel-sel intrakapiler glomerulus yang merupakan
tanda khas patologi ginjal pada preeklampsia.
c. Aliran darah uterus dan choriodesidua
Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah
perubahan patofisiologi terpenting pada preeklampsia, dan
mungkin merupakan faktor penentu hasil kehamilan. Namun
yang disayangkan adalah belum ada satu pun metode
pengukuran arus darah yang memuaskan baik di uterus maupun
di desidua.
12

d. Aliran darah di paru-paru


Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya
karena edema paru yang menimbulkan dekompensasi cordis.
e. Aliran darah di mata
Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah
orbital. Bila terjadi hal- hal tersebut, maka harus dicurigai
terjadinya preeklampsia berat. Gejala lain yang mengarah ke
eklampsia adalah skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini
disebabkan oleh adanya perubahan peredaran darah dalam pusat
penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
f. Keseimbangan air dan elektrolit
Terjadi peningkatan kadar gula darah yang meningkat untuk
sementara, asam laktat dan asam organik lainnya, sehingga
konvulsi selesai, zat-zat organik dioksidasi dan dilepaskan
natrium yang lalu bereaksi dengan karbonik dengan
terbentuknya natrium bikarbonat. Dengan demikian cadangan
alkali dapat pulih kembali.

2.2.7. Manifestasi Klinis Preeklampsia


Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia adalah
hipertensi dan proteinuria. Gejala ini merupakan keadaan yang
biasanya tidak disadari oleh wanita hamil. Pada waktu keluhan lain
seperti sakit kepala, gangguan penglihatan, dan nyeri epigastrium mulai
timbul, hipertensi dan proteinuria yang terjadi biasanya sudah berat.15
1. Tekanan darah.
Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme arteriol
sehingga tanda peringatan awal muncul adalah peningkatan tekanan
darah. Tekanan diastolik merupakan tanda prognostik yang lebih
baik dibandingkan tekanan sistolik dan tekanan diastolik sebesar 90
mmHg atau lebih menetap menunjukan keadaan abnormal.
2. Kenaikan berat badan.
13

Peningkatan berat badan yang terjadi tiba-tiba dan kenaikan berat


badan yang berlebihan merupakan tanda pertama preeklampsia.
Peningkatan berat badan sekitar 0,45 kg per minggu adalah normal,
tetapi bila lebih dari 1 kg dalam seminggu atau 3 kg dalam sebulan
maka kemungkinan terjadinya preeklampsia harus dicurigai.
Peningkatan berat badan yang mendadak serta berlebihan terutama
disebabkan oleh retensi cairan dan selalu dapat ditemukan sebelum
timbul gejala edema nondependen yang terlihat jelas, seperti edema
kelopak mata, kedua lengan, atau tungkai yang membesar.
3. Proteinuria.
Derajat proteinuria sangat bervariasi menunjukan adanya suatu
penyebab fungsional dan bukan organik. Pada preeklampsia awal,
proteinuria mungkin hanya minimal atau tidak ditemukan sama
sekali. Pada kasus yang berat, proteinuria biasanya dapat ditemukan
dan mencapai 10 gr/l. Proteinuria hampir selalu timbul kemudian
dibandingkan dengan hipertensi dan biasanya terjadi setelah
kenaikan berat badan yang berlebihan.
4. Nyeri kepala.
Gejala ini jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi semakin sering
terjadi pada kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering terasa pada
daerah frontalis dan oksipitalis, dan tidak sembuh dengan
pemberian analgesik biasa. Pada wanita hamil yang mengalami
serangan eklampsia, nyeri kepala hebat hampir selalu mendahului
serangan kejang pertama.
5. Nyeri epigastrium. Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas
merupakan keluhan yang sering ditemukan pada preeklampsia berat
dan dapat menjadi presiktor serangan kejang yang akan terjadi.
Keluhan ini mungkin disebabkan oleh regangan kapsula hepar
akibat edema atau perdarahan.
6. Gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan yang dapat terjadi di
antaranya pandangan yang sedikit kabur, skotoma, hingga kebutaan
14

sebagian atau total. Keadaan ini disebabkan oleh vasospasme,


iskemia, dan perdarahan petekie pada korteks oksipital.

2.2.7. Penatalaksanaan Preeklampsia


Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah:4
1. Terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat
trauma pada ibu maupun janin
2. Kelahiran bayi yang dapat bertahan
3. Pemulihan kesehatan lengkap pada ibu
Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika
diketahui atau diperkirakan janin memiliki usia gestasi preterm,
kecenderungannya adalah mempertahankan sementara janin di dalam
uterus selama beberapa minggu untuk menurunkan risiko kematian
neonatus.
Pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan
terdiri dari penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita hamil
dengan PEB umumnya dilakukan persalinan tanpa ada penundaan.
Pendekatan ini mengedepankan penatalaksanaan ekspektatif pada
beberapa kelompok wanita dengan tujuan meningkatkan luaran pada
bayi yang dilahirkan tanpa memperburuk keamanan ibu.4
Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien
dengan PEB antara lain adalah:4
a. Tirah baring
b. Oksigen
c. Kateter menetap
d. Cairan intravena
Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid
maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan
berpedoman pada diuresis, insensible water loss, dan central
venous pressure (CVP). Balans cairan ini harus selalu diawasi.
e. Magnesium sulfat (MgSO4).
15

Obat ini diberikan dengan dosis 20 cc MgSO4 20% secara intravena


loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan dengan MgSO4 40%
sebanyak 30 cc dalam 500 cc ringer laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit.
Magnesium sulfat ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu:
1. Refleks patella normal
2. Frekuensi respirasi >16x per menit
3. Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5
cc/kgbb/jam
4. Disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai
antidotum. Bila nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi
maka kalsium glukonas tersebut diberikan dalam tiga menit.
f. Antihipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg.
Pilihan antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg.
Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat diberikan
nifedipin ulangan 10 mg dengan interval satu jam, dua jam, atau tiga
jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah pada PEB tidak
boleh terlalu agresif yaitu tekanan darah diastol tidak kurang dari 90
mmHg atau maksimal 30%.3
1. Calcium Channel Blocker
Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar
dan menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya
kalsium ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat
pemberian calcium channel blocker dapat mengurangi afterload,
sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya minimal. Pemberian
calcium channel blocker dapat memberikan efek samping
maternal, diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing,
dan edema tungkai akibat efek lokal mikrovaskular serta retensi
cairan. Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker
yang sudah digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah
persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi.
16

Berdasarkan RCT, penggunaan nifedipin oral menurunkan


tekanan darah lebih cepat dibandingkan labetalol intravena,
kurang lebih 1 jam setelah awal pemberian. Nifedipin selain
berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang selektif
dan bersifat natriuretik, dan meningkatkan produksi urin.
Dibandingkan dengan labetalol yang tidak berpengaruh pada
indeks kardiak, nifedipin meningkatkan indeks kardiak yang
berguna pada preeklampsia berat. Regimen yang
direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 – 30
menit, dengan dosis maksimum 30 mg. Penggunaan berlebihan
calcium channel blocker dilaporkan dapat menyebabkan hipoksia
janin dan asidosis. Hal ini disebabkan akibat hipotensi relatif
setelah pemberian calcium channel blocker.
Kombinasi nifedipin dan magnesium sulfat menyebabkan
hambatan neuromuskular atau hipotensi berat, hingga kematian
maternal. Nikardipin merupakan calcium channel blocker
parenteral, yang mulai bekerja setelah 10 menit pemberian dan
menurunkan tekanan darah dengan efektif dalam 20 menit (lama
kerja 4 -6 jam). Efek samping pemberian nikardipin tersering
yang dilaporkan adalah sakit kepala. Dibandingkan nifedipin,
nikardipin bekerja lebih selektif pada pembuluh darah di
miokardium, dengan efek samping takikardia yang lebih rendah.
Laporan yang ada menunjukkan nikardipin memperbaiki aktivitas
ventrikel kiri dan lebih jarang menyebabkan iskemia jantung. Dosis
awal nikardipin yang dianjurkan melalui infus yaitu 5 mg/jam, dan
dapat dititrasi mg/jam tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg/jam
atau hingga penurunan tekanan arterial rata –rata sebesar 25%
tercapai. Kemudian dosis dapat dikurangi dan disesuaikan sesuai
dengan respon.
17

2. Beta-blocker
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja
pada reseptor P1 dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, terutama pada digunakan untuk
jangka waktu yang lama selama kehamilan atau diberikan pada
trimester pertama, sehingga penggunaannya dibatasi pada
keadaan pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif.
3. Metildopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem
saraf pusat, adalah obat antihipertensi yang paling sering
digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi kronis.
Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai safety
margin yang luas (paling aman). Walaupun metildopa bekerja
terutama pada sistem saraf pusat, namun juga memiliki sedikit
efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan
darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah
ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu antara
lain letargi, mulut kering, mengantuk, depresi, hipertensi
postural, anemia hemolitik dan drug-induced hepatitis."
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2
atau 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek
obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan menetap
selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat ginjal. Alternatif
lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6
jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi.
Metildopa dapat melalui plasenta pada jumlah tertentu dan
disekresikan diASI.4
Nama Obat Dosis Keterangan
Nifedipin 4 x 10-30 mg per oral Dapat menyebabkan
(short acting) hipoperfusi pada ibu
1 x 20-30 mg per oral dan janin diberikan
(long acting) sublingual
Nikardipin 5 mg/jam, dapat dititrasi
18

2.5 mg/jam tiap 5 menit


hingga maksimum 10
mg/jam
Metildopa 2 x 250-500 mg per oral
(dosis maksimum 2000
mg/hari)

g. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita
usia kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur,
termasuk pasien dengan PEB. Preeklampsia sendiri merupakan
penyebab 15% dari seluruh kelahiran prematur. Ada pendapat
bahwa janin penderita preeklampsia berada dalam keadaan stres
sehingga mengalami percepatan pematangan paru.
Dalam lebih dari dua dekade, kortikosteroid telah diberikan pada
masa antenatal dengan maksud mengurangi komplikasi, terutama
RDS, pada bayi prematur. Pemberian steroid setelah lahir tidak
bermanfaat karena kerusakan telah terjadi sebelum steroid bekerja.
National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan:
1. Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 24–34 minggu
yang dalam persalinan prematur mengancam merupakan
kandidat untuk pemberian kortikosteroid antenatal dosis tunggal.
2. Kortikosteroid yang dianjurkan adalah betametason 12 mg
sebanyak dua dosis dengan selang waktu 24 jam atau
deksametason 6 mg sebanyak 4 dosis intramuskular dengan
interval 12 jam.
3. Keuntungan optimal dicapai 24 jam setelah dosis inisial dan
berlangsung selama tujuh hari.

a. Penanganan Aktif
Kehamilan dengan PEB sering dihubungkan dengan
peningkatan mortalitas perinatal dan peningkatan morbiditas serta
mortalitas ibu. Sehingga beberapa ahli berpendapat untuk terminasi
19

kehamilan setelah usia kehamilan mencapai 34 minggu. Terminasi


kehamilan adalah terapi definitif yang terbaik untuk ibu untuk
mencegah progresifitas PEB. Indikasi untuk penatalaksanaan aktif
pada PEB dilihat baik indikasi pada ibu maupun janin:3
1. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada ibu:
a. Kegagalan terapi medikamentosa:
 Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa,
terjadi kenaikan darah yang persisten
 Setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan
medikamentosa, terjadi kenaikan desakan darah yang
persisten
b. Tanda dan gejala impending eklampsia
c. Gangguan fungsi hepar
d. Gangguan fungsi ginjal
e. Dicurigai terjadi solusio plasenta
f. Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan
perdarahan
g. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada janin: Intra uterine
growth restriction (IUGR) berdasarkan pemeriksaan USG
timbulnya oligohidramnion.
3. Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke
sindrom HELLP (Hemolytic Anemia, Elevated Liver Enzymes,
and Low Platelet Count).

b. Penanganan Ekspektatif
Terdapat kontroversi mengenai terminasi kehamilan pada PEB
yang belum cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk
memperpanjang usia kehamilan sampai seaterm mungkin sampai
tercapainya pematangan paru atau sampai usia kehamilan di atas 37
minggu. Adapun penatalaksanaan ekspektatif bertujuan:
20

1. Mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan


yang memenuhi syarat janin dapat dilahirkan
2. Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan
usia kehamilan, pada pasien PEB yang timbul dengan usia
kehamilan dibawah 24 minggu, terminasi kehamilan lebih
diutamakan untuk menghindari komplikasi yang dapat
mengancam nyawa ibu (misalnya perdarahan otak). Sedangkan
pada pasien PEB dengan usia kehamilan 25 sampai 34 minggu,
penanganan ekspektatif lebih disarankan. Kelahiran pada pasien
PEB dengan usia kehamilan 27-33 minggu selama 48 jam untuk
memberi waktu kerja steroid mempercepat pematangan paru.
Pada pasien dengan PEB, sedapat mungkin persalinan
diarahkan pervaginam dengan beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu:3
1. Penderita belum inpartu
a. Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop ≥8
Dalam melakukan induksi persalinan, bila perlu dapat
dilakukan pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi
persalinan harus sudah mencapai kala II dalam waktu 24 jam.
Bila tidak, induksi persalinan dianggap gagal dan harus
disusul dengan pembedahan sesar.
b. Pembedahan sesar dapat dilakukan jika tidak ada indikasi
untuk persalinan pervaginam atau bila induksi persalinan
gagal, terjadi maternal distress, terjadi fetal distress, atau
umur kehamilan <33 minggu.
2. Bila penderita sudah inpartu
a. Perjalan persalinan diikuti dengan grafik Friedman
b. Memperpendek kala II
c. Pembedahan cesar dilakukan bila terdapat maternal distress
dan fetal distress.
21

d. Primigravida direkomendasikan pembedahan cesar.


e. Anastesi: regional anastesia, epidural anastesia. Tidak
dianjurkan anastesia umum.

You might also like