You are on page 1of 46

ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF SUBTOTAL TYROIDECTOMI

PADA NY. M DENGAN GENERAL ANESTESI


DI KAMAR BEDAH RS. PGI CIKINI JAKARTA
TANGGAL 15 SEPTEMBER 2015

DISUSUN OLEH :
ALFI SYAHRIN
BEATRIX AESTIKA ROSMARIA
MARSHALL TALLUPADANG
MUHAMMAD ABDUL WAHID
NUR AZIZIR MUBIN
SAN MAYCHEL N. TOLAGE
SIANJUR S. LIMBONG

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Struma koloid, difus, nontoksik, dan nondular koloid merupakan gangguan yang sangat
sering dijumpai dan menyerang 16% perempuan dan 4% laki-laki yang berusia antara 20
sampai 60 tahun seperti yang telah dibuktikan oleh suatu penyelidikan di Tecumseh, suatu
komunitas di Michigan. Biasanya tidak ada gejala-gejala lain kecuali gangguan kosmetik,
tetapi kadang-kadang timbul komplikasi-komplikasi. Struma mungkin membesar secara difus
dan atau bernodula.
Struma endemic merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia. Sebab utamanya
adalah efisiensi yodium, disamping factor-faktor lain misalnya bertambahnya kebutuhan
yodium pada masa pertumbuhan, kehamilan dan laktasi atau pengaruh-pengaruh zat-zat
goitrogenik.
Goitrogenik sporadic dapat disebabkan factor genetic atau karena obat (iatrogenic)
antara lain metal atau propiltiourasil (PTU), tolbutamid, sulfaguanidin, PAS dan lain-lain.

Pada keadaan normal kelenjar tiroid demikian kecil, hingga tidak mempengaruhi
bentuk leher. Adakalanya terjadi pembesaran dari kelenjar tiroid yang disebut dengan struma.
Apabila pada pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul maka pembesaran ini disebut
struma nodosa.
Struma mudah ditemukan, karena segera terlihat dan dapat diraba (68% oleh penderita
dan 90% oleh pemeriksa), tetapi justru sulit ditetapkan penyebabnya dan tidak bermaknanya
kelainan anatomi (struma) dengan perubahan fungsi yang terjadi. Suatu penelitian di Boston,
pada 8% dari 2585 autopsi rutin, ditemukan nodul tiroid. Di RS. Hasan Sadikin Bandung
menemukan diantara 696 pasien struma, sebanyak 415 (60%) menderita struma nodosa dan
hanya 31 diantaranya yang bersifat toksik. Penelitian Lukitho di RS. Hasan Sadikin Bandung
didapatkan dari 325 kasus struma nodosa perbandingan pria dan wanita adalah 1 : 4,2
sedangkan penelitian di Jakarta oleh Hamzah dari tahun 1986-1995 perbandingan penderita
struma nodosa antara pria dan wanita adalah 1 : 5,6.

2
Bertitik tolak dari masalah diatas, maka kelompok menulis karya ilmiah ini dengan
judul ” Asuhan Keperawatan Perioperatif Subtotal Tiroidectomi pada Ny.M dengan General
Anestesi Di Ruang Operasi RS PGI CIKINI.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah pada pembahasan makalah ini
adalah “bagaimana pengelolaan pasien dengan anestesi umum pada operasi subtotal
tiroidectomi indikasi struma nodusa ditinjau dari asuhan keperawatan perioperatif”.

C. Ruang lingkup
Ruang lingkup pada pembahasan makalah ini adalah pengelolaan pasien selama preoperasi,
intraoperasi dan postoperasi.

D. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Memperoleh gambaran dan pengalaman nyata dalam pelaksanaan asuhan keperawatan
pada klien dengan operasi subtotal tiroidektomi ditinjau dari asuhan keperawatan
perioperatif.
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh pengalaman nyata dalam pengkajian analisis data dan perumusan
diagnosa keperawatan pada klien dengan subtotal tiroidectomi indikasi struma
nodusa ditinjau dari asuhan keperawatan perioperatif.
b. Memperoleh pengalaman nyata dalam menetapkan perencanaan keperawatan pada
klien dengan subtotal tiroidectomi indikasi struma nodusa ditinjau dari asuhan
keperawatan perioperatif.
c. Memperoleh pengalaman nyata dalam pelaksanaan rencana keperawatan pada klien
dengan subtotal tiroidectomi indikasi struma nodusa ditinjau dari asuhan keperawatan
perioperatif.
d. Memperoleh pengalaman nyata dalam melakukan evaluasi pelaksanaan asuhan
keperawatan pada klien dengan subtotal tiroidectomi indikasi struma nodusa ditinjau
dari asuhan keperawatan perioperatif.

3
e. Memperoleh pengalaman nyata dalam mendokumentasikan pelaksanaan asuhan
keperawatan pada klien dengan subtotal tiroidectomi indikasi struma nodusa ditinjau
dari asuhan keperawatan perioperatif.

E. Manfaat
1. Manfaat bagi Institusi
Sebagai bahan ilmiah dan sumber informasi bagi institusi dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan pada masa yang akan datang.
2. Manfaat bagi Rumah Sakit
Sebagai masukan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat yang ada dirumah sakit
dalam mengambil langkah-langkah kebijaksanaan dalam rangka meningkatkan
pelayanan anastesi pada klien dengan subtotal tiroidectomi
3. Manfaat Bagi Penulis
Sebagai bahan evaluasi tentang penetapan konsep perawatan yang didapatkan selama
pendidikan ke dalam praktek keperawatan secara nyata.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi /Pengertian
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat
mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar
tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong
trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal
tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan
elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat
asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia (Sri Hartini, Ilmu
Penyakit Dalam, jilid I, hal. 461, FKUI, 2006).

B. Etiologi
Etiologi Penyebab kelainan ini bermacam – macam,pada siap orang dapat dijumpai
masa karena kebutuhan terhadap tiroksin bertambah, terutama masa pubertas , pertumbuhan ,
menstruasi, kehamilan , laktasi, monepouse, infeksi atau stress lain. Pada masa-mas tersebut
dapat dijumpai hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid. Perubahan ini dapat menimbulkan
nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arsitektur yang dapat berlanjut dengan berkurangnya
aliran darah di daerah tersebut sehingga terjadi iskemia. ( Manjoer, 1999 : 589 )

5
C. Anatomi dan Fisiologi

Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini memiliki dua bagian lobus
yang dihubungkan oleh ismus yang masing-masing berbetuk lonjong berukuran panjang 2,5-
5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan berkisar 10-20 gram. Kelenjar tiroid sangat penting
untuk mengatur metabolisme dan bertanggung jawab atas normalnya kerja setiap sel tubuh.
Kelenjar ini memproduksi hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan
hormon tersebut ke dalam aliran darah. Terdapat 4 atom yodium di setiap molekul T4 dan 3
atom yodium pada setiap molekul T3. Hormon tersebut dikendalikan oleh kadar hormon
perangsang tiroid TSH (thyroid stimulating hormone) yang dihasilkan oleh lobus anterior
kelenjar hipofisis. Yodium adalah bahan dasar pembentukan hormon T3 dan T4 yang
diperoleh dari makanan dan minuman yang mengandung yodium.4 Gambar anatomi tiroid
dapat dilihat di bawah ini.

Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan metabolisme energi.
Selain itu hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan pematangan jaringan tubuh dan energi,
mengatur kecepatan metabolisme tubuh dan reaksi metabolik, menambah sintesis asam

6
ribonukleat (RNA), menambah produksi panas, absorpsi intestinal terhadap
glukosa,merangsang pertumbuhan somatis dan berperan dalam perkembangan normal sistem
saraf pusat. Tidak adanya hormon-hormon ini, membuat retardasi mental dan kematangan
neurologik timbul pada saat lahir dan bayi.

D. Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormone
tiroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk kedalam sirkulasi darah dan
ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi
bentuk yang aktif yang distimuter oleh tiroid stimulating hormone kemudian disatukan
menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam
molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4)
menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari seksesi tiroid stimulating hormone dan
bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedangkan T3 merupakan hormone metabolic tidak
aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme
tiroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik
negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan
pembesaran kelenjar tiroid.

7
E. Penatalaksanaan
Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma antara lain sebagai
berikut :
1. Operasi/Pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering
dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien
hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat
diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan
untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan. Pada wanita hamil
atau wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik atau pil KB), kadar
hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan makin banyak tiroid yang
terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat
diketahui keadaan fungsi tiroid. Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar
kelenjar tiroid, sebelum pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan
akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid
yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat
dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah
tindakan pembedahan.
2. Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar
tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka
pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium
radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran
terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia,
atau kelainan genetic. Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan
yang harus diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu
setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.5
3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini bahwa
pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk
menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan

8
untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar
tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU)
dan metimasol/karbimasol.
Anatomi Sistem Respirasi

Sistem respirasi terdiri dari:


1. Saluran nafas bagian atas
Pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh dihangatkan, disaring dan dilembabkan.
2. Saluran nafas bagian bawah
Bagian ini menghantarkan udara yang masuk dari saluran bagian atas sampai alveol.i
3. Alveoli
Tempat terjadi pertukaran gas antara O2 dan CO2.
4. Sirkulasi paru
Pembuluh darah arteri menuju paru, sedangkan pembuluh darah vena meninggalkan
paru.
5. Paru, terdiri dari :
a. Saluran nafas bagian bawah
b. Alveoli
c. Sirkulasi paru
6. Rongga Pleura
Terbentuk dari dua selaput serosa, yang meluputi dinding dalam rongga dada yang
disebut pleura parietalis, dan yang meliputi paru atau pleura viseralis
7. Rongga dan dinding dada
Merupakan pompa muskuloskeletal yang mengatur pertukaran gas dalam proses respirasi

9
Saluran Nafas Bagian Atas
a. Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal, yaitu:
dihangatkan,disaring dan dilembabkan. Yang merupakan fungsi utama dari selaput lendir
respirasi ( terdiri dari : Psedostrafied ciliated columnar epitelium yang berfungsi
menggerakkan partikel partikel halus kearah faring sedangkan partikel yang besar akan
disaring oleh bulu hidung, sel golbet dan kelenjar serous yang berfungsi melembabkan
udara yang masuk, pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan udara). Ketiga hal
tersebut dibantu dengan concha.
b. Nasofaring
Terdapat pharyngeal tonsil dan Tuba Eustachius.
c. Orofaring
Merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring,terdapat pangkal lidah.
d. Laringofaring
Terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan.

Saluran Nafas Bagian Bawah


a. Laring
Terdiri dari tiga struktur yang penting
- Tulang rawan krikoid
- Selaput/pita suara
- Epilotis
- Glotis
b. Trakhea
Merupakan pipa silinder dengan panjang ± 11 cm, berbentuk ¾ cincin tulang rawan
seperti huruf C. Bagian belakang dihubungkan oleh membran fibroelastic menempel
pada dinding depan esofagus.
c. Bronkhus
Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat percabangan ini disebut
carina. Bronchus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trachea. Bronchus

10
kanan bercabang menjadi : lobus superior, medius, inferior. Brochus kiri terdiri dari :
lobus superior dan inferior.
Paru-paru
 Paru sinistra mempunyai 2 lobus yang dipisahkan oleh fisura obliqua. Terdiri dari : lobus
inferior dan lobus superior.
 Pulmo dextra mempunyai 3 lobus yang dipisahkan oleh fisura obliqua dan fisura
horizontalis.Terdiri dari lobus superior, lobus medius dan lobus inferior.
 Struktur paru-paru : alveolus  sacus alveolaris  duct. alveolaris  brhonchiolus
respiratorius  bronchiolus terminalis  bronchiolus.
 Capiler a. pulmonalis  melepaskan CO2
 Capiler v. pulmonalis  mengambil O2

A. Intubasi Endotrakeal
Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan
bifurkatio trakea. Terdapat dua macam intubasi, yaitu intubasi nasal dan oral. Pada dasarnya,
tujuan intubasi endotrakheal (Anonim, 1986) :
1. Mempermudah pemberian anestesia.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernafasan.
3. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
4. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
7. Obat.
Indikasi Intubasi
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara lain :
1. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan
lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker
nasal.

11
2. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di
arteri.
3. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial
toilet.
4. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Menurut sumber lain (anonim 1986) indikasi intubasi adalah:
1. Ada obstruksi jalan napas bagian atas
2. Pasien memerlukan bantuan napas dengan respirator.
3. Menjaga jalan napas tetap bebas
4. Pemberian anestesi seperti pada operasi kepala, leher, mulut, hidung, tenggorokan,
operasi abdominal dengan relaksasi penuh dan operasi thoracotomy
5. Terdapat banyak sputum (pasien tidak mengeluarkan sendiri).
Sedangkan indikasi intubasi non surgical antara lain:
1. Aspiksia neonatorum berat
2. Untuk melakukan resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau
absent dan sering menimbulkan aspirasi.
3. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.
4. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.
5. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari 24
jam seharusnya diintubasi.
6. Pada post operative respiratory insufficiency
Indikasi intubasi nasal (Anonim, 1986) antara lain :
1. Bila oral tube menghalangi pekerjaan dokter bedah, misalnya tonsilektomi, pencabutan
gigi, operasi pada lidah.
2. Pemakaian laringoskop sulit karena keadaan anatomi pasien.
3. Bila direct vision pada intubasi gagal.
4. Pasien-pasien yang tidak sadar untuk memperbaiki jalan nafas.

12
Alat-alat yang dipergunakan
Didalam melakukan intubasi sebaiknya kita mengingat kata “STATICS” yaitu:
S : Scope : - laringoskop dipilih yang sesuai dan lampunya harus terang
- stetoskop digunakan untuk memeriksa apakah ujung pipa berada di
tempat yang benar.
T : Tube : Pipa trakea yang sesuai dengan ukuran dan sediakan satu ukuran yang
lebih besar dan satu yang lebih kecil. Olesi dengan pelicin jeli.
A : Airway : Pipa nafas mulut faring
T : Tape : Plester untuk memfiksasi pipa di mulut
I : Introducer : Mandrin atau stilet untuk memandu saat memasukkan ujung pipa
trakea.
C : connector : alat penyambung pipa kea lat anestesi
S : Suction : Alat penyedot lendir/sekret dan muntah pasien
1. Laringoskop. Ada dua jenis laringoskop yaitu :
- Blade lengkung (McIntosh) biasa digunakan pada orang dewasa.
- Blade lurus (Blade Magill) bayi dan anak-anak.
2 Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu misalnya
didaerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai
spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan
pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon
biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah
rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian
tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter
internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm. Untuk
intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus :

Diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube diameter (mm)

Rumus lain: (umur + 2)/2

RumusUkuran panjang
tersebut ET = 12 perkiraan
merupakan + Umur/2 =dan
panjang
harusETdisediakan
(cm) pipa 0,5 mm lebih besar dan
lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat

13
besarnya jari kelingkingnya.

3. Pipa orofaring atau nasofaring.


Digunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan faring pada
pasien yang tidak diintubasi.
4. Plester
Digunakan untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
5. Stilet atau forsep intubasi (McGill)
Digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakheal sebagai alat bantu saat
insersi pipa. Forsep intubasi digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau
pipa nasogastrik melalui orofaring.
6. Alat pengisap atau suction.

Obat-obatan yang digunakan


Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi adalah sebagai
berikut:
1. Obat penenang (tranquillizer)
Diazepam
Diazepam (valium) merupakan golongan benzodiazepin. Dosis premedikasi dewasa 10
mg intramuskular atau 5-10 mg oral (0,2-0,5 mg/kgBB) dengan dosis maksimal 15 mg.
Dosis sedasi pada analgesi regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB) intravena. Dosis
induksi 0,2-1 mg/kg BB intravena.
Midazolam
Mempunyai awal dan lama kerja lebih pendek dibandingkan dengan diazepam.

14
Dosis induksi 0.1 mg/kgBB.
2. Analgetik narkotik
Morfin
Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kg BB) intramuskular diberikan untuk
mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang operasi, menghindari takipnu
pada pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan dengan tenang dan dalam.
Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan waktu pemulihan, timbul spasme serta kolik biliaris
dan ureter.
Petidin
Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kg BB) intravena diberikan untuk
menekan tekanan darah dan pernafasan serta merangsang otol polos. Dosis induksi 1-2
mg/kg BB intravena.
Fentanyl
Dosis premedikasi diberikan dengan dosis 2 – 2,5 mcg/kgBB diberikan intravena untuk
mengurangi nyeri sebelum tindakan anastesi dan mengurangi dosis obat induksi
3. Barbiturat (Penobarbital dan sekobarbital).
Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis dewasa 100-200 mg, pada anak dan bayi 1
mg/kg BB secara oral atau intramuscular.
4. Antikolinergik
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus selama 90
menit. Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular bekerja setelah 10-15 menit.
Obat-obatan pelumpuh otot yang dapat digunakan, antara lain:
1. Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
 Pavulon (pankuronium bromida). Dosis awal untuk relaksasi otot 0,008 mg/kgBB
intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis intubasi trakhea
0,15 mg/kgBB intravena.
 Trakrium (atrakurium besilat). Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di
dalam darah, tidak tergantung pada fungsi hati dan ginjal. Dosis intubasi 0,5-0,6
mg/kgBB intravena. Dosis relaksasi otot 0,5-0,6 mg/kgBB intravena. Dosis
rumatan 0,1-0,2 mg/kgBB intravena.
 Vekuronium (norkuron). Dosis 0,08-0,1 mg/KgBB.

15
 Rokuronium. Dosis intubasi 0,3-0,6 mg/kgBB. Dosis rumalan 0,1-2 mg/kgBB.
2. Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi
 Suksametonium (suksinil kolin). Mula kerja 1-2 menit dan lama kerja 3-5 menit.
Dosis intubasi 1-1,5 mg/kgBB intravena.

Obat-obatan anastesi umum yang digunakan sebagai induksi intravena:


1. Tiopenthal
Bubuk berbau belerang, berwarna kuning, dalam ampul 500/1000 mg. Dilarutkan dengan
aquades sampai konsentrasi 2,5%. Dosis 3-7 mg/kgBB. Melindungi otak oleh karena
kekurangan O2. Sangat alkalis, nyeri hebat dan vasokonstriksi bila disuntikkan ke arteri
yang menyebabkan nekrosis jaringan sekitar.
2. Propofol
Dalam emulsi lemak berwarna putih susu, isotonic, dengan kepekatan 1%. Dosis induksi
2-2,5 mg/kgBB, rumatan 4-12mg/kgBB/jam, sedasi perawatan intensif 0,2mg/kgBB.
Pengenceran hanya dengan Dextrosa 5%. Dosis dikurangi pada manula, dan tidak
dianjurkan pada anak dibawah 3 thn dan ibu hamil.
3. Ketamin
Kurang disenangi karena sering takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala. Paska
anestesi mual, muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Dosis bolus iv 1-2mg/kgBB,
im 3-10mg/kgBB.
4. Opioid
Diberikan dosis tinggi, tak menggangu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk
pasien dengan kelainan jantung. Untuk induksi dosis 20-50mg/kgBB, rumatan dosis 0,3-1
mg/kgBB/mnt
Obat-obatan anastesi umum untuk induksi inhalasi:
1. N2O
2. Halotan
3. Enfluran
4. Isofluran
5. Desfluran
6. Sevofluran

16
Prosedur Tindakan Intubasi.

a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol
infus). Hal ini bertujuan agar kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan
laringoskop berada dalam satu garis lurus.
b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi
dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka
dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Blade laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan
pandang akan terbuka. Blade laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang
diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala

17
dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan
pita suara yang tampak keputihan bentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut
kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum
memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara
akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau
oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi.
Balon pipa dikembangkan dan blade laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi
dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan
kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi
intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan
suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan
jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit
sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus
maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi
(dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan
nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan
kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.
Monitoring selama intubasi
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan anestesi. Hal-hal yang dipantau adalah
fungsi vital (pernapasan, tekanan darah, nadi, dan kedalaman anestesi, misalnya adanya
gerakan, batuk, mengedan, perubahan pola napas, takikardi, hipertensi, keringat, air mata,
midriasis).
Ventilasi pada anestesi umum dapat secara spontan, bantu, atau kendali tergantung jenis, lama,
dan posisi operasi. Cairan infus diberikan dengan memperhitungkan kebutuhan puasa, rumatan,
perdarahan, evaporasi, dan lain-lain
Selama pasien dalam anestesi dilakukan pemantauan pernapasan, frekuensi nadi dan tekanan
darah. Peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi terjadi bila anestesi kurang dalam. Hal ini

18
disebabkan karena terjadi sekresi adrenalin. Diatasi dengan membuat anestesi lebih dalam, yaitu
dengan meningkatkan konsentrasi halotan atau suntikan barbiturat. Penurunan tekanan darah dan
nadi halus sebagai tanda syok dapat disebabkan karena kehilangan banyak darah. Hal ini diatasi
dengan pemberian cairan pengganti plasma atau darah. Penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi
dapat disebabkan karena anestesi terlalu dalam atau terlalu ringan serta kehilangan banyak darah
atau cairan. Peningkatan tekanan darah dan tekanan nadi serta penurunan frekuensi nadi disebabkan
transfusi yang berlebihan. Diatasi dengan penghentian transfusi.
Evaluasi Pemulihan Pasca-Anestesi
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room) atau keruang
perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan pada saat pasien
dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan keadaan
umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, sensibilitas nyeri, perdarahan dari drain,
dan lain-lain.
Kriteria yang digunakan dan umumnya yang dinilai adalah warna kulit, kesadaran, sirkulasi,
pemapasan dan aktivitas motorik, seperti Skor Aldrette. Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan
bila jumlah skor total adalah 10. namun bila skor total telah diatas 8 pasien boleh dipindahkan
dari ruang pemulihan.
Skor Pemulihan Pasca-Anestesi
Penilaian Nilai
Merah muda 2
Warna Pucat 1
Sianotik 0
Dapat bernafas dalam dan batuk 2
Pernapasan Dangkal namun pertukaran udara adekuat 1
Apnea atau obstruksi 0
Tekanan darah menyimpang <20%> 2
Sirkulasi Tekanan darah menyimpang 20-50% dari normal 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal 0
Sadar, siaga, dan orientasi 2
Kesadaran Bangun namun cepat kembali tertidur 1
Tidak berespon 0

19
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
Aktivitas Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
Tidak bergerak 0

20
ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari dasar dalam proses keperawatan secara keseluruhan
guna mendapat data atau informasi yang dibutuhkan untuk menentukan masalah kesehatan
yang dihadapi pasien melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik meliputi :
A. Anamnase
1. Identifikasi klien.
2. Keluhan utama klien.
Pada klien post operasi thyroidectomy keluhan yang dirasakan pada umumnya adalah
nyeri akibat luka operasi.
3. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya didahului oleh adanya pembesaran nodul pada leher yang semakin
membesar sehingga mengakibatkan terganggunya pernafasan karena penekanan
trakhea eusofagus sehingga perlu dilakukan operasi.
4. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit
gondok, misalnya pernah menderita gondok lebih dari satu kali, tetangga atau
penduduk sekitar berpenyakit gondok.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Dimaksudkan barangkali ada anggota keluarga yang menderita sama dengan klien
saat ini.
6. Riwayat psikososial
Akibat dari bekas luka operasi akan meninggalkan bekas atau sikatrik sehingga ada
kemungkinan klien merasa malu dengan orang lain.
B. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Pada umumnya keadaan penderita lemah dan kesadarannya composmentis dengan
tanda-tanda vital yang meliputi tensi, nadi, pernafasan dan suhu yang berubah.
2. Kepala dan leher

21
Pada klien dengan post operasi thyroidectomy biasanya didapatkan adanya luka
operasi yang sudah ditutup dengan kasa steril yang direkatkan dengan hypafik serta
terpasang drain. Drain perlu diobservasi dalam dua sampai tiga hari.
3. Sistim pernafasan
Biasanya pernafasan lebih sesak akibat dari penumpukan sekret efek dari anestesi,
atau karena adanya darah dalam jalan nafas.
4. Sistim Neurologi
Pada pemeriksaan reflek hasilnya positif tetapi dari nyeri akan didapatkan ekspresi
wajah yang tegang dan gelisah karena menahan sakit.
5. Sistim gastrointestinal
Komplikasi yang paling sering adalah mual akibat peningkatan asam lambung akibat
anestesi umum, dan pada akhirnya akan hilang sejalan dengan efek anestesi yang
hilang.
6. Aktivitas/istirahat
Insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.
7. Eliminasi
Urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.
8. Integritas ego
Mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.
9. Makanan/cairan
Kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak,
makannya sering, kehausan, mual dan muntah, pembesaran tyroid.
10. Rasa nyeri/kenyamanan
Nyeri orbital, fotofobia.
11. Keamanan
Tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium
(mungkin digunakan pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis,
kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus :
retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada
pretibial) yang menjadi sangat parah.

22
12. Seksualitas
Libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.
C. Pemeriksaan penunjang
1.Pemeriksaan penunjang
a. Human thyrologlobulin( untuk keganasan thyroid)
b. Kadar T3, T4
Nilai normal T3=0,6-2,0 , T4= 4,6-11
a. Darah rutin
b. Endo Crinologiie minimal tiga hari berturut turut (BMR) nilai normal antara –
10s/d +15
c. Kadar calsitoxin (hanya pada pebnderita tg dicurigai carsinoma meduler).
2. Pemeriksaan radiologis
a. Dilakukan foto thorak posterior anterior
b. Foto polos leher antero posterior dan lateral dengan metode soft tissu technig .
c. Esofagogram bila dicurigai adanya infiltrasi ke osofagus.
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ansietas berhubungan dengan ketidaktahuan tentang prosedur dan resiko pembedahan
2. Resiko gangguan Pertukaran gas berhubungan dengan Perubahan membran kapiler
alveolar, sekunder akibat total control ventilation
3. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan
III. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Diagnosa pertama
Tujuan : ansietas berkurang/terkontrol.
Kriteria hasil :
1. klien mampu merencanakan strategi koping untuk situasi-situasi yang membuat stress.
2. klien mampu mempertahankan penampilan peran.
3. klien melaporkan tidak ada gangguan persepsi sensori.
4. klien melaporkan tidak ada manifestasi kecemasan secara fisik.
5. tidak ada manifestasi perilaku akibat kecemasan.
Intervensi dan Implementasi
1. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.

23
R : memudahkan intervensi.
2. Kaji mekanisme koping yang digunakan pasien untuk mengatasi ansietas di masa lalu.
R : mempertahankan mekanisme koping adaftif, meningkatkan kemampuan
mengontrol ansietas.
3. Lakukan pendekatan dan berikan motivasi kepada pasien untuk mengungkapkan pikiran
dan perasaan.
R : pendekatan dan motivasi membantu pasien untuk mengeksternalisasikan
kecemasan yang dirasakan.
4. Motivasi pasien untuk memfokuskan diri pada realita yang ada saat ini, harapa-harapan
yang positif terhadap terapy yang di jalani.
R : alat untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk mengurangi
kecemasan.
5. Berikan penguatan yang positif untuk meneruskan aktivitas sehari-hari meskipun dalam
keadaan cemas.
R : menciptakan rasa percaya dalam diri pasien bahwa dirinya mampu mengatasi
masalahnya dan memberi keyakinan pada diri sendri yang dibuktikan dengan pengakuan
orang lain atas kemampuannya.
6. Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi.
R : menciptakan perasaan yang tenang dan nyaman.
7. Sediakan informasi factual (nyata dan benar) kepada pasien dan keluarga menyangkut
diagnosis, perawatan dan prognosis.
R : meningkatkan pengetahuan, mengurangi kecemasan.
8. Kolaborasi pemberian obat anti ansietas.
R : mengurangi ansietas sesuai kebutuhan.
Diagnosa kedua
Tujuan : Resiko Pertukaran gas tidak terjadi selama tindakan anestesi pada intra operasi
Kriteria hasil:
• SpO2 > 95 %
• etCO2: 35 – 45
• Volume tidal px keluar ± 20 %
• Tidak muncul cyanosis, diaforesis

24
• Auskultasi paru: vesikuler
• Expansi dada simetris
• V/ S : dbn
• TD, N ± 20 % dari nilai rata-rata px
Intervensi dan Rasional
1. Obs V/S & hitung range perubahannya
R : V/S dengan range > ±20 % mengindikasikan respon klien terhadap efek obat anestesi
atau tindakan pembedahan
2. Pastikan airway paten dengan teknik pemasangan & fiksasi ETT yang benar
R : Intubasi dan fiksasi yang tepat dapat menjamin flow gas adekuat
3. Observasi SpO2 dan perubahannya
R : Saturasi O2 yang baik mengindikasikan pertukaran gas yang adekuat
4. Catat hasil etCO2 yang keluar dari ekspirasi pasien
R : Nilai CO2 yang muncul dipengaruhi oleh besarnya vol tidal yang diberikan
5. Monitoring vol.tidal yang keluar dari px
R : Vol tidal yang sesuai dengan setting dg range ± 20 % sebagai indikasi pertukaran gas
yang adekuat
6. Kaji adanya tanda sianosis, diaforesis
R : Sianosis dan diaforesis merupakan salah satu tanda pertukaran gas tidak efektif
7. Lakukan auskultasi paru & nilai suara napas tambahan yang mungkin muncul
R : Menilai faktor lain yang dapat mempengaruhi ketidakefektifan pertukaran gas
8. Amati kesimetrisan expansi dada
R : Expansi dada yang simetris mengindikasikan flow gas simetris antara paru kanan &
kiri
9. Lakukan tindakan kolaboratif untuk mencegah kerusakan pertukaran gas dengan dokter:
• RR/ VT diturunkan
• Pasang conector flex tube
• Menaikkan PEEP
• Medikasi & maintenance gas anestesi
R : Maintenance mesin anestesi penting untuk menjamin pertukaran gas yang efektif
dengan menyesuikan minute volume yang sesuai dengan klien

25
10.Lakukan pemeriksaan AGD sesuai indikasi dan instruksi dokter (jika diperlukan)
R :Nilai AGD sebagai indikator efektifnya pertukaran gas
Diagnosa ketiga
Tujuan : Klien memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh indicator
Kriteria hasil
a. Klien mampu melakukan relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan
b. Mengenali factor penyebab dan menggunakan tindakan untuk memodifikasi factor
tsb.
c. Tidak mengalami gangguan frekwensi nafas HR atau TD
Intervensi dan Rasional
1. Manajemen nyeri meringankan atau mengurangi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan
yang dapat diterima oleh klien
R : Nyeri tidak dapat dihilangkan, tetapi dikendalikan sampai pada titik toleransi klien
untuk mendukung mekanisme koping klien
2. Observasi isyarat non verbal ketidak nyamanan.
R : Isyarat non verbal menunjukkan sensasi yang dirasakan klien sesuai dengan tingkat
keparahannya
3. Observasi vital sign sebagai efek dari respon nyeri
R : Perubahan vital sign dapat signifikan terjadi sebagai akibat mekanisme kompensasi
4. Pemberian analgesic: menggunakan agen farmakologiuntuk mengurangi/menghilangkan
nyeri.
R : Analgesic yang tepat dapat membantu memberikan rasa nyaman klien & mencegah
kerusakan sel akibat adanya mekanisme asidosis pada tingkat sel

26
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Umur : 36 th
Agama : Kristen
Jenis Kelamin : Perempuan.
Status : Menikah
Pendidikan : Perguruan Tinggi
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Suku Bangsa : WNI
Alamat : Jl. Pelangi Ungu 7, C6U/30
Tgl Masuk : 15 – 09 - 2015
Tgl Pengkajian : 15 – 09 - 2015
No. Register : 31 03 53
Diagnosa Medis : SNNT

b. Identitas Penanggung Jawab


Nama : Tn. A
Umur : 38 th.
Hub. dgn Pasien : Suami
Pekerjaan : Swasta.
Alamat : Jl. Pelangi Ungu 7, C6U/30
2. Status Kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan Utama
Adanya benjolan pada leher
2) Alasan masuk rumah sakit dan perjalanan penyakit saat ini
Klien mengatakan ada benjolan di leher. Benjolan dirasakan muncul sejak 1
tahun yang lalu dan dirasakan mulai membesar sejak 2 bulan terakhir

27
b. Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga pasien tidak ada riwayat SNNT
3. Pola Kebutuhan Dasar ( Data Bio-psiko-sosio-kultural-spiritual)
a. Kebutuhan bernafas dengan normal
Baik sebelum dan selama dirumah sakit pasien dapat bernafas spontan, sesak nafas
(-).
b. Kebutuhan nutrisi
Pasien mengatakan sebelum dan selama di rumah sakit nafsu makannya baik, dan
tidak ada anoreksia maupun vomitus, frekuensi makan teratur.
Terpasang IV line di tangan kanan,
Perhitungan cairan selama operasi :
 Maintenance ( M ) = 2 cc/kg = 2 x 46 = 92 cc/jam
 PP = M x lama puasa = 92 x 8 = 736 cc
 SO = jenis op ( 4 , 6, 8 untuk op ringan , sedang, berat ) x BB
= 8 x 46 = 368 cc
1 jam pertama
½ PP + M + SO = ½ 736 + 92 + 368 = 368 + 92 + 368 = 828 cc/ jam
Jam II/III
¼ PP + M + SO = ¼ 736 + 92 + 368 = 134 + 92 +368 = 645 cc/jam
Jam IV dst
M + SO = 92 + 368 = 460 cc/jam
c. Kebutuhan eliminasi
Pasien mengatakan baik BAB/BAK selama dirumah maupun dirumah sakit tidak ada
keluhan
d. Kebutuhan istirahat dan tidur
Pasien mengatakan kebutuhan tidurnya tidak terganggu, pasien mengatakan tidurnya
8 – 10 jam/ hari
e. Kebutuhan rasa aman dan nyama, pasien
Pasien mengatakan cemas dengan pembedahan yang akan dilakukan karena tidak
pernah operasi. pasien bertanya apakah pembedahannya terasa sakit.

28
4. Keadaan umum
1. Suhu : 36,5 C
2. Nadi : 80 kali/menit
3. Tekanan darah : 110/70 mmHg
4. RR : 20 kali/menit
5. Berat badan : 46 kg
5. Pemeriksaan fisik
1. KU : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis (E4,V5,M6)
3. Cepalo – caudal :
a. Kepala : mesochepal, konjungtiva ananemis, skelera anikterik,
b. Leher : tidak terdapat pembesaaran kelenjar getah bening, tidak terdapat
peningkatan JVP, terdapat benjolan diameter ± 7 cm , benjolan
teraba lunak dan mobile.
c. Thoraks
Auskultasi : vesicular semua lapang paru. BJ 1-2 murni.
d. Abdomen:
1) Inspeksi : tak tampak kelainan
2) Auskultasi : peristaltic (+) 15 x/m
3) Palpasi : tidak terdapat pembesaran hepar maupun limpa
4) Perkusi : timpani (+).
e. Inguinalis: tidak ada pembesaran inguinalis.
f. Ekstremitas (kulit dan kekuatan)
Turgor kulit baik, acral hangat, pengisian kapiler < 3 detik, terpasang IV line di
lengan sebelah kiri, tidak ada edema maupun varises, kekuatan keempat
ekstremitas baik.
6 Pemeriksaan penunjang
Data laboratorim tanggal 11 September 2015
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Normal
Darah
- Hb 10.8 g/dl 11,7-15,5

29
- Leukosit 3,7 /ul 5-10 ribu
- HT 35 35-47
- Trombosit 276 /ul 150-400
- BT 1,3’ Menit 1-3
- CT 8’ Menit 3-6
Kimia klinik
- Ureum 18.6 mg/dl 15-50
- Kreatinin 0,69 mg/dl 0,4-0,9
- Asam urat 2.6 u/l 6-8

7 Terapi
1. Pre medikasi
a. Midazolam 2 mg
b. Fentanyl 100 mcg
c. Infuse ringAs bag I
2. Intra operasi
b. Propofol 90 mg i. Vit K 10 mg
c. Ecron 6 mg j. Dicynone 250 mg
d. O2 : N2O = 2 : 2 lpm k. Toramin 30 mg
e. Isoflurane :1 – 2 vol % l. RingAs 500 cc
f. Paracetamol 1 gr m. Prostigmin 1 mg
g. Lametic 8 mg n. Atropine 0.5 mg
h. As. Traneksamat 500 mg
3. Post operatif :
a. Ring AS 500cc
8 Balance cairan
Intake : out put :
ringAs : 1000 cc perdarahan : ± 100 cc
paracetamol : 100 cc urine : -

30
Asuhan Keperawatan
Pre Operasi
1. Analisa Data
No Hari/ tgl/jam Data Fokus Etiologi Masalah
1 Selasa, Ds : Pembesaran kelenjar Cemas
15/09/2015 Pasien mengatakan cemas dengan tiroid

07. 00 wib pembedahan yang akan dilakukan ↓


karena tidak pernah operasi. pasien Rencana pembedahan
bertanya apakah pembedahannya terasa “kiste tiroidektomi”
sakit. ↓
Do: Ketidaktahuan tentang

- - Pasien tampak cemas prosedur anestesi dan


pembedahan
-- - Pasien tampak bertanya-tanya

tentang prosedur pembedahan yang
Kecemasan
akan di lakukan
- - HR : 80 kali/menit

31
2. Rumusan Diagnosa Keperawatan
Kecemasan berhubungan dengan Ketidaktahuan tentang prosedur anestesi dan pembedahan
3. Rencana Pre Operasi
Dx Tujuan Intervensi Rasional
Setelah diberikan tindakan 1. Kaji dan dokumentasikan 1. Tingkat kecemasan klien yang
keperawatan selama 1x 5 tingkat kecemasan klien, tinggi dapat beresiko
menit diharapkan cemas termasuk reaksi fisik. mempengaruhi perubahan v/s dan
berkurang dengan criteria 2. Gali bersama klien tentang reaksi fisik
hasil : teknik yang berhasil dan 2. Teknik yang berhasil dapat
- Klien dapat mengurangi tidak berhasil menurunkan digunakan kembali untuk
rasa cemasnya ansietas dimasa lalu mengatasi ansietas yang muncul,
- Rileks dan dapat melihat 3. Informasikan mengenai dan sebaliknya.
dirinya secara obyektif. diagnosis, terapy dan 3. Info yang akurat membantu Klien
- Menunjukkan koping yang prognosis. untuk mengetahui proses
efektif serta mampu 4. Jelaskan semua prosedur perjalanan penyakitnya &
berpartisipasi dalam termasuk sensasi yag mempersiapkan koping adaptif
pengobatan. biasanya dialami selama 4. Membantu klien untuk mengenali
prosedur. keadaannya yang diakibatkan
5. Ajarkan teknik relaksasi prosedur pembedahan.
untuk mekanisme koping. 5. Teknik relaksasi yang tepat dapat
Obs V/S & hitung range membantu mempersiapkan

32
perubahannya mekanisme koping adaptif

4. Pelaksanaan Preoperasi
Dx Tanggal/jam Implementasi Hasil
15/09/2015, • Mengkaji dan mendokumentasikan tingkat S: Klien mengatakan rasa cemasnya
jam 07.05 kecemasan pasien termasuk reaksi fisik. berkurang
R/: klien menyatakan takut operasi, klien O:-
terlihat gelisah, suara gemetar, kontak mata • Tingkat ansietas klien ringan
tidak focus. TD:150/90mmHg; N:100x/mnt; • Klien mampu melakukan relaksasi
RR: 25x/mnt. saat cemas meningkat
• Menggali bersama klien tentang teknik • Klien dapat mengenali situasi
untuk menurunkan ansietas dimasa lalu. yang berkaitan tentang prosedur
R/: klien mengatakan biasanya dengan pembedahan dan mampu
menarik nafas panjang merencanakan mekanisme koping
• Menginformasikan mengenai diagnosis, (relaksasi)
terapy dan prognosis. A: Masalah teratasi
R/:klien dapat menerima an mengerti P: Hentikan intervensi dan kolaborasi ttg
penjelasan pemberian premedikasi
• Penjelasan prosedur dan sensasi yang
dialami saat pelaksanaan operasi.
R/:klien dapat menerima penjelasan
perawat.

33
• Mengajarkan teknik relaksasi untuk
mekanisme koping klien.
R/:klien dapat melakukan teknik relaksasi
saat cemas.

Intra operasi
. Analisa data intra operasi

No Hari/ tgl/jam Data Etiologi Masalah


1 15/09/2015, Ds : - general anastesi Resiko gangguan
jam 07.30 Do: dengan intubasi pertukaran gas
• SpO2 > 95 % ↓

• etCO2: 35 – 45 pengambilalihan jalan

• Volume tidal px keluar ± 20 % nafas dengan mesin

• Tidak muncul cyanosis, anastesi dan ventilator

diaforesis ↓

• Auskultasi paru: vesikuler perubahan membrane

• Expansi dada simetris kapiler alveolar



• V/ S : dbn
Resiko gangguan
• TD, N ± 20 % dari nilai rata-
pertukaran gas
rata px

34
2. Rumusan Diagnosa Keperawatan
Resiko gangguan Pertukaran gas berhubungan dengan Perubahan membran kapiler alveolar, sekunder akibat total control ventilation
3. Rencana intra operasi
Dx Tujuan Intervensi Rasional
• Resiko Pertukaran 1. Obs V/S & hitung range 1. V/S dengan range > ±20 %
gas tidak terjadi perubahannya mengindikasikan respon klien
selama tindakan terhadap efek obat anestesi
anestesi pada intra atau tindakan pembedahan
operasi 2. Pastikan airway paten 2. Intubasi dan fiksasi yang
• Kriteria Hasil: dengan teknik tepat dapat menjamin flow
• SpO2 > 95 % pemasangan & fiksasi gas adekuat
• etCO2: 35 – 45 ETT yang benar
• Volume tidal px 3. Observasi SpO2 dan 3. Saturasi O2 yang baik
keluar ± 20 % perubahannya mengindikasikan pertukaran
• Tidak muncul gas yang adekuat
cyanosis, diaforesis 4. Catat hasil etCO2 yang 4. Nilai CO2 yang muncul
• Auskultasi paru: keluar dari ekspirasi dipengaruhi oleh besarnya
vesikuler pasien vol tidal yang diberikan
• Expansi dada 5. Monitoring vol.tidal 5. Vol tidal yang sesuai dengan
simetris yang keluar dari px setting dg range ± 20 %
• V/ S : dbn sebagai indikasi pertukaran
• TD, N ± 20 % dari gas yang adekuat

35
nilai rata-rata px 6. Kaji adanya tanda 6. Sianosis dan diaforesis
sianosis, diaforesis merupakan salah satu tanda
pertukaran gas tidak efektif
7. Lakukan auskultasi paru 7. Menilai faktor lain yang
& nilai suara napas dapat mempengaruhi
tambahan yang mungkin ketidakefektifan pertukaran
muncul gas
8. Amati kesimetrisan 8. Expansi dada yang simetris
expansi dada mengindikasikan flow gas
simetris antara paru kanan &
kiri
9. Lakukan tindakan 9. Maintenance mesin anestesi
kolaboratif untuk penting untuk menjamin
mencegah kerusakan pertukaran gas yang efektif
pertukaran gas dengan dengan menyesuikan minute
dokter: volume yang sesuai dengan
• RR/ VT diturunkan klien
• Pasang conector flex
tube
• Menaikkan PEEP
• Medikasi & maintenance
gas anestesi

36
10.Lakukan pemeriksaan AGD 10. Nilai AGD sebagai indikator
sesuai indikasi dan instruksi efektifnya pertukaran gas
dokter (jika diperlukan)

4. Pelaksanaan Dan Evaluasi Intra Operasi


Dx Tanggal/jam Implementasi Evaluasi
15/09/2015, • Mengobservasi V/S: TD: 135/ 92 S:-
jam 07.30 - mmHg, N: 89 bpm, SpO2: 98 % O:
09.10 WIB • Memberikan obat premedikasi, - Klien terpasang ETT kinking 7 dan
induksi dan muscle relaxan guedel (kondisi fixasi baik selama
(Injeksi IV: Miloz 2,5 mg, intra op)
Fentanyl 100 mcg, Inj. Propofol - Control respiration dengan (f: 12.
90 mg, ecron 6 mg) VT: 450 ml, minute vol: 5,7 L)
• R/ Efek cukup - Gas inhalasi Isoflurane 2%,O2: 2 lpm,
• Memberikan hiperventilasi 2,5 N2O: 2 lpm
mnt dengan O2 7 Lpm, Isoflurane - TD: 112/75 mmHg, N: 76 bpm (vol:
2% cukup, regular, pulsasi kuat)
• R/ efek cukup - SpO2: 100%, etCO2: 36
• Melakukan kolaborasi untuk - VT px: 420 ml
tindakan intubasi - Perfusi periferal: dingin, kering,
• R/ pasang ETT 7,5 kinking merah

37
• Melakukan pemeriksaan expansi - CRT < 2”
dada & auskultasi suara napas A: Masalah teratasi
• R/ expansi dada simetris dan P: Hentikan intervensi & kaji masalah
auskultasi paru simetris vesikuler lain
• Memfixasi ETT dengan kuat dan
rapat
• R/ fixasi baik pada batas bibir 21
• Mengobservasi V/S: SpO2: 100%
• Melakukan kolaborasi untuk set
mesin anestesi: VT: 480 ml, f: 12
(min. Vol 5,7 L). O2 2 Lpm N 2O
2 Lpm, Isoflurane 2%, dan
mengalihkan ke mode control
ventilation
• R/ efek cukup
• Mengobservasi V/S saat operator
mulai tindakan: TD: 98/ 67
mmHg, N: 78 bpm, SpO2: 100%,
etCO2: 36
• Mencatat VT px: 445 ml
• Mengobs V/S TD: 87/52 mmHg,
N: 67 bpm, SpO2: 100%, VT

38
px:440 ml
• R/ Menurunkan Isoflurane
menjadi 1.5%
• Mengobservasi V/S TD: 98/52
mmHg, N: 62 bpm, SpO2: 100%,
VT px: 460 ml, etCO2: 23
• Melakukan kolaborasi dengan
dokter: menurunkan f: (menjadi
10 rpm)
• Mengobservasi etCO2: 29, VT px
445 ml, SpO2: 100%
• Mengobservasi V/S TD: 115/72
mmHg, N: 79 bpm, SpO2: 100%,
etCO2: 34, durasi muscle relaxan:
70 menit,
• R/ muncul trigger, napas spontan
belum adekuat
• Mengambil alih mode penapasan
ke manual bagging dengan
memberikan assist (hipoventilasi):
mematikan N2O, O2 naik menjadi
7 Lpm, gas isoflurane turun

39
menjadi 1%
• Melihat lapangan operasi
(operator selesai melakukan
tindakan) & mengobservasi V/S:
TD: 112/75 mmHg, N: 76 bpm,
SpO2: 100%, etCO2: 36, napas
spontan adekuat.
• Membersihkan jalan napas dari
slym dan saliva dengan suction,
dan menilai pernapasan.
• R/ TD: 113/71 mmHg, N: 77
bpm, SpO2: 100%, VT px: 420 ml
(pernapasan thorakal), reflek
membuka mata (+), reflek batuk
(+)
• Melakukan ekstubasi, dan
membersihkan jalan napas
dilanjutkan dengan pemberian
oksigen melalui face mask 6 Lpm
(± 3 menit) dan mematikan gas
anestesi

40
Post Operasi
1. Analisa Data Pasca Operasi
No Hari/ tgl/jam Data Etiologi Masalah
1 Selasa, Ds : - prosedur post anastesi Nyeri
15/09/2015 Do: ↓

09.30 - Respirasi rate : 22 kali/menit Efek obat anastesi

- SpO2 : 95% menghilang

- Pucat ↓

- Nafas spontan rangsangan nyeri mulai

- Nadi : 74 x/menit terasa



- Tekanan darah : 150/90 mmHg
Klien Nampak meringis
- Akral hangat

- RT <2 detik
nyeri
- Stewart score 3
- Terpasang mayo

2. Rumusan Diagnosa Keperawatan


Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan
3. Rencana Pasca Operasi
Dx Tujuan Intervensi Rasional
Klien memperlihatkan 1. Manajemen nyeri • Manajemen nyeri
pengendalian nyeri, yang meringankan atau meringankan atau

41
dibuktikan oleh indicator mengurangi nyeri sampai mengurangi nyeri sampai
sbb: “Kadang-kadang” pada tingkat kenyamanan pada tingkat kenyamanan
Kriteria Hasil: yang dapat diterima oleh yang dapat diterima oleh
-Klien mampu melakukan klien klien
relaksasi yang efektif untuk 2. Pemberian analgesic: • Pemberian analgesic:
mencapai kenyamanan menggunakan agen menggunakan agen
-Mengenali factor farmakologiuntuk farmakologiuntuk
penyebab dan mengurangi/menghilangk mengurangi/menghilangkan
menggunakan tindakan an nyeri. nyeri.
untuk memodifikasi factor 3. Observasi isyarat non • Observasi isyarat non verbal
tsb. verbal ketidak ketidak nyamanan.
-Tidak mengalami nyamanan.
gangguan frekwensi nafas 4. Observasi vital sign • Observasi vital sign sebagai
HR atau TD sebagai efek dari respon efek dari respon nyeri
nyeri

42
4. Pelaksanaan Pasca Operasi
Dx Tanggal/jam Implementasi hasil
Selasa, 1. Mengobservasi expresi nonverbala. S: Klien mengatakan nyeri pada daerah
15/09/2015 klien operasinya mulai terasa
jam 09.50 H : Klien terlihat kesakitan (gelisahb. O: klien Nampak meringis, skala 4/5
WIB dan merintih) & klien mengatakanc. TD: :102/68 mmHg; N:110 x/mnt
ingin BAK, terasa panas dan perih d. (vol: cukup, regular, pulsasi kuat)
2. Observasi Vital sign e. Perfusi periferal: dingin, kering,
H: TD:140/90;N:100x/mnt; f. merah CRT < 2”
RR:20x/mnt; SpO2: 90% g. A: Masalah belum teratasi
3. Kolab dengan dokter tentangh. P: Lanjutkan intervensi
pemberian analgetik & Oksigen b.
H :Memberikan Inj Tramadol 50mg
(saat durante op) & O2 5 Lpm
4. Mengajarkan teknik relaksasi untuk
meningkatkan ambang batas nyeri
5.

43
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapatkan selama memberikan asuhan keperawatan pada pasien hipertiroid
pasca tiroidektomi adalah :
1. Struma merupakan penyakit hormon yang menempati urutan kedua terbesar di Indonesia
setelah diabetes yang juga merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat perkotaan.
2. Diperlukan kolaborasi dokter maupun perawat untuk menjelaskan pentingnya stretching
leher pada pasien dan keluarga untuk membantu mencegah kontraktur pada leher atau gejala
ketidaknyamanan pada leher pasca operasi tiroidektomi.
3. Latihan perenggangan leher (Stretching exercise) efektif untuk mengurangi gejala
ketidaknyamanan leher pasca operasi tiroidektomi.

B. SARAN
Berdasarkan masalah keperawatan yang muncul, diharapkan perserta pelatihan dapat
meningkatkan pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan struma nodosa non toxic,

44
meningkatkan pemahaman dan berpikir kritis dalam menghadapi kasus struma nodosa non toxic
dan tindakan pembedahan dengan subtotal tiroidectomi. Dan bagi Instansi Rumah Sakit
diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan yang optimal bagi klien dengan struma
nodosa non toxic dengan tindakan pembedahan subtotal tiroidectomi

45
DAFTAR PUSTAKA

Baradero. (2009). Keperawatan perioperatif : prinsip dan praktik keperawatan perioperatif. Jakarta
: EGC

Henderson M. A, Ilmu Bedah Untuk Perawat, Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta.

McEwen,M & Nies,M.A. (2007). Community/public health nursing: promoting the health of
populations. Fourth edition. USA: Saunders Elsevier.

Namiraszwara. (2010). www.askep-hiperthyroidism.com, november 2011 14.06

46

You might also like