You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk
dan bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus
difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama
dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak
muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah.
Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui konsep difteri dan keperawatan difteri pada anak.
2. Tujuan khusus
Agar mampu memahami/ mengetahui tentang :
a. Definisi difteri.
b. Etiologi.
c. Tanda dan Gejala.
d. Patofisiologi.
e. Penatalaksanaan keperawatan
f. Komplikasi.
g. Pencegahan.
h. Diagnosa keperawatan.
i. Asuhan Keperawatan Difteri.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik
(racun) Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif (Jauhari,nurudin. 2008).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008).
Jadi kesimpulannya difteri adalah penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphteriae. Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang
disebabkan oleh kumanCorynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang
terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan
dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan
umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau
makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari. (FKUI: 2007) Difteri adalah suatu
penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit, yang disebabkan
oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriae danCorynebacterium ulcerans,
ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan
diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh
basil ini. (Acang: 2008)
Difteri adalah penyakit akut yang mengancam nyawa yang disebabkan
Corynebacterium diphtheria, terutama menyerang tonsil, faring,laring, hidung,
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau
vagina. Corynebacterium diphtheriaea adalah organisme yang minimal melakukan
invasive, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang local pada
membrane mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten,
yang tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan system limpatik. Cara penularan
adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang sekali penularan melalui
peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri. Penyakit ini ditandai
dengan adanya membrane semu di tonsil dan sekitarnya. Tindakan pemberantasan yang
efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (massal) dengan Diphtheria
Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung

2
diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular pertussis: (DTaP, yang digunakan di
Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung whole cell pertussis (DTP).

B. Etiologi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui
percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah
terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembangbiak pada atau disekitar
selaput lender mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan
langsung dapat dialkuakan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat
ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak,
sifat bakteri Corynebacterium diphteriae :
1. Gram positif
2. Aerob
3. Polimorf
4. Tidak bergerak
5. Tidak berspora
Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60º C selama 10 menit, tahan
beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering.Terdapat tiga jenis
basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni
dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil Difteria mempunyai
sifat:
1. Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna
putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri dari fibrin, leukosit,
jaringan nekrotik dan kuman.
2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah
beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas
terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.
Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit ini
menjadi 3 tingkat yaitu :
a. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala
hanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang
rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.

3
c. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota
gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Menurut bagian ilmu kesehatan anak FKUI, penyakit ini juga dibedakan menurut
lokasi gejala yang dirasakan pasien :

1. Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian
secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran.
Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.
2. Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa
penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan
tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas
pada penderita.Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan
dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi, pseudomembran awalnya
hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke
laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak seperti leher
sapi (bull’s neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi
walaupun belum terjadi sumbatan laring.
3. Difteri laring dan trakea
Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer.
Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih
berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta
epigastrium. Ada bull’s neck, laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret,
dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah
sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.
4. Difteri kutaneus dan vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan
membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri,
luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah
konjungtiva dan umbilikus.
5. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga

4
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva
berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga
berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

C. Tanda dan gejala Penyakit

Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :

Panas lebih dari 38 °C


1. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
2. Sakit waktu menelan
3. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan
kelenjar leher.
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari
tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor
primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria, virulensi serta
toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin) Corynebacterium diphtheriae, dan
lokasi penyakit secara anatomis. Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik
penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya.
Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari
menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala
lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria.
a. Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik
ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen
mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih
pada daerah septum nasi.
b. Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul
membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring,
meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.

5
c. Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala
obstruksi saluran nafas atas.
d. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa
kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dengan sekret purulen dan berbau
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit
waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika
pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas
rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab)
untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak
tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala.
Pembengkakankelenjar getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL Depkes,2003

a. Gejala umum.
Demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga pasien
tampak lemah.

b. Gejala lokal
Nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengkakan pada area regional, sesa
nafas, serak sampai dengan stridor jika penyakit sudah stadium lanjut. Gejala akibat
eksotoksin tergantung bagian yang terkena missal mengenaiotot jantung terjadi
miokarditis, dan bila mengenai syaraf mnyebabkan kelumpuhan.

D. Patofisiologi
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.
Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.
Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf
lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan
pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai
minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun,
kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian

6
mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama
berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang
difteri juga menyerang kulit.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan
selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat
amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan
berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di
bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau
secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami
kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan.
Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan
di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat
penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. .(Ditjen P2PL Depkes,2003)
Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas
terutama bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu
dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat
tersebut basil membentuk pseudomembran dan melepaskan
eksotoksin.Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring,
dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan
mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan
miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralysis
terutama otot-otot pernafasan. Penularan penyakit difteria adalah melalui udara
(droplet infection), tetapi dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang
terkontaminasi oleh kuman difteria.Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan
pada anak usia balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung dari
virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa
keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan
pada anak jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat
sering dalam keadaan berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau
dispnea. Pasien difteria selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi
komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997). Menurut
Iwansain,2008 dalam http://www.iwansain.wordpress.com secara sederhana
pathofisiologi difteri yaitu :

7
1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga
pada vulva, kulit, mata.
2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran
timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah
bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis
dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan
trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.

E. Klasifikasi Difteri
Berdasar berat ringannya penyakit diajukan Beach (1950):
 Infeksi ringan
o Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri
menelan
 Infeksi sedang
 Pseudomembran menyebar lebih luas sampai dinding posterior faring dengan
edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif
Infeksi berat
 Ada sumbatan jalan nafas, hanya dapat diatasi dengan trakeostomi
 Dapat disertai gejala komplikasi miokarditis, paralisis/ nefritis

Berdasarkan letaknya, digolongkan sebagai berikut:


1. Difteria Tonsil Faring (fausial)
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan
nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna
putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan pallatum
molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membran akan
mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi limfadetis servikalis dan submandibularis,
bila limfadentis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas,
timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derjat penetrasi toksin dan luas
memban. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafsan atau sirkulasi. Dapat
terjadi paralis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan
dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian dapat berangsur-angsur dan bisa disertai

8
penyulit miokarditis dan neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-
10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
2. Diteria Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri primer
gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin
yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas
lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan
tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara parau
dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan
nafas bisa terjadi kematian mendadak.
3. Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga
Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva dan difteri telinga
merupakan tipe difteri yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit, tetapi jelas
dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada
mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada
konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dan sekret purulen dan
berbau

F. Manifestasi Klinis
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 °C, ada pseudomembrane
bisa di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher
sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-
gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus
diperiksa faring dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak
membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya
diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk
pemeriksaan laboratorium.

G. Komplikasi
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah
toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.Racun difteri
bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ
lainnyaPengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran

9
sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak. Diperkirakan
hampir satu dari lima penderita difteri balita dan berusia di atas 40 tahun yang
meninggal dunia diakibatkan oleh komplikasi.Jika tidak diobati dengan cepat dan
tepat, toksin dari bakteri difteri dapat memicu beberapa komplikasi yang berpotensi
mengancam jiwa. Beberapa di antaranya meliputi:
1. Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri
akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-
partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi
memicu inflamasi pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun secara drastis
dan menyebabkan gagal napas.
2. Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan
menyebabkan inflamasi otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat
menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur, gagal jantung dan
kematian mendadak.
3. Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit
menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta
pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi indikasi
awal dari kelumpuhan saraf yang akan memengaruhi diagfragma. Paralisis ini akan
membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan
atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba pada awal muncul
gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu, penderita difteri
anak-anak yang mengalami komplikasi apa pun umumnya dianjurkan untuk tetap di
rumah sakit hingga 1,5 bulan.
4. Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain
gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan
yang parah dan gagal ginjal. Sebagian besar komplikasi ini disebabkan oleh
bakteri Corynebacterium diphtheriae.
5. Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung
6. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak
terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu)
7. Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan
8. Kerusakan ginjal (nefritis).
9. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
10. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalannafas

10
11. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin.
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut menjadi
gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab gerakan tak
terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan, dan kerusakan ginjal

H. PROGNOSIS
Prognosis penyakit difteri dipengaruhi beberapa hal, yaitu tergantung pada:
1. Usia penderita Makin rendah usia penderita makin jelek prognosis. Kematian
paling sering ditemukan pada anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai
akibat tercekik oleh membran difteri.
2. Waktu pemberian antitoksin, yaitu semakin cepat pemberian antitoksin
prognosis semakin baik.
3. Tipe klinis difteri Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%)
menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%) 15
4. Keadaan umum penderita, yaitu prognosis baik pada penderita dengan gizi
baik. 4,8 Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan
prognosis buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin
berat penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan akibat
fatal pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat.
Terjadinya trombositopenia megakariositik atau miokarditis yang disertai
kelainan atrioventrikuler menggambarkan prognosis yang lebih buruk.2,8

I. Pencegahan
1. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman
difteri dua kali berturut-turut negatif.
2. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam
pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak
ada gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.
3. Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi
DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1
tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia

11
2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun.
Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan
berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai
kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali
pemberian.
4. Pencarian orang carier difteria dengan uji shick
Pencarian orang carier difteria dengan uji shick dan kemudian diobati.
1. Dengan tujuan : Untuk mengetahui apakah tubuh mengandung anti toksin
terhadap kuman difteri.
2. Cara : Dengan menyuntikan IC 1/50 Minimal Lethal Dose (MLD) sebanyak 0,02
ml, jika positif akan terlihat merah kecoklatan selama 24 jam
Cara Pencegahan
1. Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama
kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan
kepada bayi dan anak-anak.
2. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara
luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi
dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular
pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung
“whole cell pertusis” (DTP). Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus
toxoid antigen “whole cell pertussis”, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat
ini juga telah tersedia.
3. Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara
lain mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi
dasar).
a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan
interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4
diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali
walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini
tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen
pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin
DT.

12
b) Untuk usia 7 tahun ke atas:
Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia
maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin
dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk
mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar
berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6
bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan
bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan
yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td
setiap 10 tahun kemudian.
4. Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti
kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan
setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
5. Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan
mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi
dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada
risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.

Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar


a. Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria
kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan
sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2
kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah
penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan
isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di
bawah).
b. Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita
dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan
pencucihamaan menyeluruh.
c. Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan
pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-
anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya

13
sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan
pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier.
d. Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample
hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM:
lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari
direkomendasikan untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan
penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani
makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari
pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan
carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu
diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih
dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi,
berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib
tergantung dari usia mereka.
e. Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan menggunakan kultur dari
sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat.Pencarian carrier
dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.

J. Diagnosa keperawatan
1. Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret dan edema
kelenjer limfe, laring dan trakea.
2. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil dan faring.
3. Hipertermi berhubungan dengan proses masuknya kuman dalam tubuh.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia

K. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Difterin Tindakan Umum
Tujuan:
a. Mencegah terjadinya komplikasi
b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum
c. Mengatasi gejala /akibat yang timbul

14
Jenis Tindakan :
1. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
2. Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi,
untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung
jika ada kesukaranmenelan (terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot
faring).
3. Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi
(klisma, laksansia, stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
4. Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal
5. Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)
6. Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.
7. Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas :
 Berikan Oksigen
 Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal
menurut Jackson :
a. Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal
b. Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita
gelisah
c. Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah
d. Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan
kehabisan tenaga, lalu tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya
meninggal karena asfiksia Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II
dan III.
e. Tindakan Spesifik Tujuan:
1. Menetralisir Toksin
2. Eradikasi Kuman
3. Menanggulangi infeksi sekunder
Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :
Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya
penyakit.
 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran
menutupi sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral.

15
 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran
menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke uvula, palatum
molle dan dinding faring.
 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck,
kombinasi difteri laring dan faring, komplikasi berupa
miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.

Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Tipe difteri Dosis DS (KI) Cara Pemberian


Difteri hidung 20.000 IM
Difteri tonsil 40.000 IM atau IV
Difteri faring 40.000 IM atau IV
Difteri laring 40.000 IM atau IV
Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV
Difteri + penyulit, bullneck 80.000-120.000 IV
Terlambat berobat (>72 jam), lokasi dimana 80.000-120.000 IV
saja
SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200
cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena
SAD merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada
pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan :

Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah
pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.

Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan ( dosisnya 0,01 cc/kg BB im,
maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).

 Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.


Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :
Tes kulit

16
 SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah
15-20 menit.
 Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
Tes Mata
 1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak
mata bagian bawah
 1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat
setelah 15 – 20 menit kemudian
 Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )
 Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000
Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single
dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-
lahan (desensibilisasi) dengan interval 20 menit.
 SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut:
0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
 0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
 0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan
 0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
 0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan
 0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan
 1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
 SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi
anafilaktik segera berikan adrenalin 1:1000.
2. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas
demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol
75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
3. Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat
membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4
minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk
tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau
paresis otot, dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama
10 hari.

17
L. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium difteri
(Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
b) Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat
albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
c) Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di bawah
membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan, 1993 ).
d) Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel darah
merah (Rampengan, 1993 )
e) Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein
(Rampengan, 1993 ).
f) Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan
swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung
antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan
infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan
dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak
mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa
minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas
suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila
tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan
imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi
terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta)
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang
mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick
test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada
lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari
ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada
tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita
difteri). (Sumarmo: 2008)
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi
terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang

18
dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap
selama beberapa hari.

1. Tes hapusan spesimen:

Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain, berguna untuk
identifikasi tempat spesies,uji toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.

19
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini biasanya
menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun
juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung.
B. Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-
anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi
kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa
sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan
pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.
Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum
minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan
menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan
lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat
sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5
sempurna.

20
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Rusepno Hasan, dkk. 2005.Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid II. Hal 568-72.. Jakarta: Cetakan kesebelas.
Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com. 1 Mei 2010, 16.00 WIB.
Merdjani, A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.
Staf pengajar ilmu keperawatan anak. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :
FKUI

http://askeprhynatutu.blogspot.co.id/2014/11/askep-difteri.html

21

You might also like