Penyakit batu empedu atau kolelithiasis merupakan masalah kesehatan
yang penting di negara barat dengan angka insidens mencapai 20%, sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas.1,2 Sebagian besar pasien yang menderita batu empedu tidak mempunyai keluhan. Resiko penderita empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi masih relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat. Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran empedu (koledokolithiasis) dan disebut batu saluran empedu sekunder, yang insidensinya mencapai 10-15% di negara Barat.1,2 Proses perjalanan terbentuknya batu saluran empedu sekunder belum begitu jelas, tetapi komplikasi akan lebih sering terjadi dan semakin berat dibandingkan batu pada kandung empedu asimptomatik. Komplikasi yang sering terjadi adalah radang kandung empedu (kolesistitis), yang 90% disebabkan oleh batu kandung empedu, terutama yang terletak di duktus sistikus. Distribusi jenis kelamin untuk batu empedu adalah 2-3 kali lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki, sehingga insidens kolesistitis calculous juga lebih tinggi pada wanita.2,3 Di Indonesia belum ada data pasti mengenai kolesistitis dan kolelithiasis yang terjadi secara bersamaan, namun walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidensinya di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan negara- negara barat. Kolesistitis akut dapat berkembang menjadi empiema, perikolesistitis hingga perforasi pada kandung empedu. Maka dari itu diperlukan penegakan diagnosis dan penanganan yang tepat pada kasus batu kandung empedu agar mencegah komplikasi lebih lanjut.1,3