You are on page 1of 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Dukungan Keluarga

2.1.1 Definisi Keluarga dan Dukungan Keluarga

Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh kebersamaan

dan kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari

keluarga. Keluarga juga didefinisikan sebagai kelompok individu yang tinggal

bersama dengan atau tidak adanya hubungan darah, pernikahan, adopsi dan tidak

hanya terbatas pada keanggotaan dalam suatu rumah tangga (Friedmen dkk,

2010).

Dukungan keluarga merupakan sebuah proses yang terjadi sepanjang

kehidupan, dimana dalam semua tahap siklus kehidupan dukungan keluarga

membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal untuk

meningkatakan kesehatan dan adaptasi keluarga dalam kehidupan (Setiadi, 2008).

Menurut Allender & Spradley, 2001 dalam Achjar 2010 tipe keluarga meliputi:

a. Keluarga inti (nuclear family) yaitu keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan

anak (anak kandung atau anak angkat).

b. Keluarga besar (ekstended family) adalah keluarga inti ditambah dengan

keluarga lain yang mempunyai hubungan darah, misalnya kakek, nenek,

paman.

c. Keluarga dyad, keluarga yang terdiri dari suami istri tanpa anak.

d. Single parent, yaitu keluarga yang terdiri dari satu orang tua dengan anak

(anak kandung atau anak angkat).

8
9

e. Keluarga usia lanjut (usila), yaitu keluarga yang terdiri dari suami istri yang

berusia lanjut.

Berdasarkan tipe keluarga di atas, tipe keluarga yang dianut oleh

masyarakat di Indonesia adalah tipe keluarga besar atau tipe keluarga tradisional.

2.1.2 Fungsi dan Tugas Kesehatan Keluarga

Menurut Friedman dkk (2010) fungsi-fungsi keluarga didefinisikan sebagai

hasil atau konsekuensi dari struktur keluarga. Fungsi keluarga meliputi:

a. Fungsi afektif (fungsi pemeliharaan kepribadian, saling memberi kasih

sayang) untuk stabilitas kepribadian kaum dewasa, memenuhi kebutuhan

anggota keluarga.

b. Fungsi sosialisasi penempatan sosial yaitu untuk sosialisasi primer anak-anak

yang bertujuan untuk membuat mereka menjadi anggota masyarakat yang

produktif dan juga sebagai penganugerahan status anggota keluarga.

c. Fungsi biologis yaitu menjaga kelangsungan generasi dan juga untuk

kelangsungan hidup bermasyarakat.

d. Fungsi ekonomis yaitu mengadakan sumber-sumber ekonomi yang memadai

dan pengalokasian sumber-sumber tersebut secara afektif.

e. Fungsi perawatan kesehatan yaitu merupakan fungsi keluarga dalam

melindungi keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga serta

menjamin pemenuhan kebutuhan perkembangan fisik mental dan spiritual

dengan cara memelihara dan merawat anggota keluarga serta mengenali

kondisi sakit setiap anggota keluarga.


10

f. Fungsi psikologis yaitu memberikan kasih sayang dan rasa aman,

memberikan perhatian di antara anggota keluarga, membina pendewasaaan

kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga.

g. Fungsi pendidikan yaitu memberikan pengetahuan, keterampilan, membentuk

prilaku anak, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa, mendidik anak

sesuai dengan tingkatan perkembangannya.

Menurut UU No.10 tahun 1992 dan PP No.21 tahun 1994 fungsi keluarga

dibagi atas:

a. Fungsi Keagamaan

Dalam fungsi keagamaan keluarga membina ajaran agama sebagai dasar

dan tujuan hidup seluruh anggota keluarga. Keluarga mengaplikasikan ajaran

agama ke dalam tingkah laku hidup sehari-hari kepada seluruh anggota

keluarga. Fungsi keagaaman juga sebagai sarana membina rasa, sikap dan praktek

kehidupan sebagai pondasi menuju keluarga kecil yang sejahtera.

b. Fungsi Budaya

Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk meneruskan norma-

norma dan budaya masyarakat dan bangsa yang ingin dipertahankan.

Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk menyaring norma dan

budaya asing yang tidak sesuai. Keluarga dalam fungsi budaya juga mencari

pemecahan masalah dari berbagai pengaruh negatif globalisasi dunia sesuai

dengan budaya keluarga dengan budaya masyarakat atau bangsa untuk

menjunjung terwujudnya norma keluarga kecil bahagia sejahtera.


11

c. Fungsi Cinta Kasih

Menumbuh-kembangkan potensi kasih sayang yang telah ada antar

anggota keluarga ke dalam simbol-simbol nyata secara optimal dan terus-

menerus. Membina rasa, sikap dan praktek hidup keluarga yang mampu

memberikan dan menerima kasih sayang sebagai pola hidup ideal.

d. Fungsi Perlindungan

Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga baik dari rasa tidak

aman yang timbul dari dalam maupun dari luar keluarga. Membina kemanan

kelurga baik secara fisik maupun psikis dari berbagai bentuk ancaman sehingga

menjadikan stabilitas dan keamanan keluarga sebagai modal keluarga sejahtera.

e. Fungsi Reproduksi

Membina kehidupan keluarga sebagai wahana pendidikan reproduksi

sehat baik bagi anggota keluarga maupun bagi keluarga sekitarnya. Keluarga

memberikan contoh pengalaman dan juga kaidah dalam reproduksi yang sehat,

baik yang berkaitan dengan waktu melahirkan, jarak antara dua anak dan jumlah

ideal anak yang diinginkan dalam keluarga.

f. Fungsi Sosialisasi

Merencanakan dan menciptakan lingkungan keluarga sebagai wahana

pendidikan dan sosialisasi anak pertama dan utama. Menciptakan kehidupan

keluarga sebagai pusat tempat anak dapat mencari pemecahan dari berbagai

konflik dan permasalahan yang dijumpai baik lingkungan sekolah maupun

masyarakat. Sebagai fungsi sosialisasi keluarga mengajarkan anak tentang hal-hal


12

yang diperlukan untuk meningkatkan kematangan dan kedewasaan (fisik dan

mental) yang kurang diberikan oleh lingkungan sekolah maupun masyarakat.

g. Fungsi Ekonomi

Melakukan kegiatan ekonomi baik di luar maupun di dalam lingkungan

keluarga dalam rangka menopang kelangsungan dan perkembangan kehidupan

keluarga. Keluarga dalam fungsi ekonomi dapat mengatur pemasukan dan

pengeluaran keluarga agar seimbang. Membina kegiatan dan hasil ekonomi

keluarga sebagai modal untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera.

h. Fungsi Pelestarian Lingkungan

Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan intern

keluarga. Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan

ekstern keluarga. Keluarga mengingatkan akan pentingnya pelestarian lingkungan

sehingga tumbuh kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan yang serasi,

selaras dan seimbang antara lingkungan keluarga dengan lingkungan hidup

masyarakat sekitarnya.

Selain itu keluarga juga berfungsi dalam melaksanakan asuhan

keperawatan yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan. Kesanggupan

keluarga dalam pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas kesehatan

keluarga. Tugas kesehatan keluarga menurut Friedman dkk, (2010), adalah

sebagai berikut: 1) Mengenal masalah keluarga; 2) Membuat keputusan tindakan

kesehatan yang tepat; 3) Melakukan perawatan; 4) Mempertahankan atau

menciptakan suasana rumah yang sehat dan 5) Mempertahankan hubungan

dengan menggunakan fasilitas kesehatan masyarakat.


13

2.1.3 Jenis Dukungan Keluarga

Menurut House dan Kahn (1985) dalam Friedman dkk (2010), terdapat

empat tipe dukungan keluarga yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan,

dukungan instrumental, dan dukungan informasional.

a. Dukungan emosional

Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan

pemulihan serta membantu penguasaaan emosional. Bentuk dukungan ini

membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diterima oleh anggota

keluarga berupa ungkapan empati, kepedulian, perhatian, cinta, kepercayaan, rasa

aman dan selalu mendampingi pasien dalam perawatan. Dukungan ini sangat

penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak terkontrol.

b. Dukungan penghargaan

Keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan balik, membimbing dan

menengahi pemecahan dan validator identitas anggota keluarga. Dimensi ini

terjadi melalui ekspresi berupa sambutan yang positif dengan orang-orang

disekitarnya, dorongan atau pernyataan setuju terhadap ide-ide atau perasaan

individu. Dukungan ini membuat seseorang merasa berharga, kompeten dan

dihargai. Dukungan penghargaan juga merupakan bentuk fungsi afektif keluarga

yang dapat meningkatkan status psikososial pada keluarga yang sakit. Melalui

dukungan ini, individu akan mendapat pengakuan atas kemampuan dan keahlian

yang dimilikinya.
14

c. Dukungan instrumental

Dukungan instrumental (peralatan atau fasilitas) yang dapat diterima oleh

anggota keluarga yang sakit melibatkan penyediaan sarana untuk mempermudah

perilaku membantu pasien yang mencakup bantuan langsung biasanya berupa

bentuk-bentuk kongkrit yaitu berupa uang, peluang, waktu, dan lain-lain. Bentuk

dukungan ini dapat mengurangi stres karena individu dapat langsung

memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi.

d. Dukungan informasional

Dukungan informasional merupakan bentuk dukungan yang meliputi

pemberian informasi, sarana atau umpan balik tentang situasi dan kondisi

individu. Menurut Nursalam (2008) dukungan ini berupa pemberian nasehat

dengan mengingatkan individu untuk menjalankan pengobatan atau perawatan

yang telah direkomendasikan oleh petugas kesehatan (tentang pola makan sehari-

hari, aktivitas fisik atau latihan jasmani, minum obat, dan kontrol), mengingatkan

tentang prilaku yang memperburuk penyakit individu serta memberikan

penjelasan mengenai hal pemeriksaan dan pengobatan dari dokter yang merawat

ataupun menjelaskan hal-hal yang tidak jelas tentang penyakit yang diderita

individu.

2.1.4 Sumber Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal, seperti

dukungan dari suami atau istri, atau dukungan dari saudara kandung atau

dukungan keluarga eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial
15

keluarga). Sebuah jaringan sosial keluarga secara sederhana adalah jaringan kerja

sosial keluarga itu sendiri (Freidman dkk, 2010).

2.1.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga

Menurut Feiring dan Lewis (1984 dalam Friedman 2002), ada bukti kuat

dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil

secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-

anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada

anak-anak yang berasal dari keluarga yang lebih besar. Selain itu, dukungan yang

diberikan oleh orang tua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia. Menurut

Friedman (2002), ibu yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa

merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya dan juga lebih egosentris di

bandingkan ibu-ibu yang lebih tua.

Hal lain yang mempengaruhi faktor-faktor dukungan keluarga lainya

adalah kelas sosial ekonomi orang tua. Kelas sosial ekonomi meliputi tingkat

pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga

kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada,

sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas dan

otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat

dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua dengan

kelas sosial bawah (Friedman, 2002). Faktor lainnya adalah tingkat pendidikan,

semakin tinggi tingkat pendidikan kemungkinan semakin tinggi dukungan yang

diberikan pada keluarga yang sakit. Status pernikahan juga berpengaruh, hal
16

tersebut dikaitkan dengan bertambahnya anggota keluarga, dukungan pada

anggota keluarga yang sakit pun semakin banyak.

2.1.6 Dukungan Keluarga Terhadap Pasien Diabetes Mellitus

Paradigma sehat untuk pasien DM merupakan suatu cara pandang tentang

kesehatan dimana penatalaksanaannya mementingkan peran serta dari keluarga

untuk hidup sehat terutama pada keluarga dengan risiko tinggi menderita DM

sehingga mampu untuk mandiri, memelihara dan meningkatkan serta waspada

akan munculnya komplikasi DM (Rifki, 2009).

Dukungan keluarga sangat penting untuk memotivasi pasien dalam upaya

menciptakan lingkungan yang terhindar dari stres akibat dari pengobatan yang

dijalani. Dukungan sosial keluarga sebagai pelindung dalam faktor pencetus stres

dan menciptakan lingkungan yang nyaman sehingga dapat menjaga kontrol gula

darah. Penyakit DM jika tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan

terjadinya berbagai penyakit menahun, seperti penyakit serebro vaskuler,

penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah tungkai, penyakit pada mata,

ginjal dan syaraf. Jika kadar glukosa darah dapat selalu dikendalikan dengan baik,

diharapkan semua penyakit menahun tersebut dapat dicegah, paling sedikit

dihambat (Waspadji, 2010).

Dalam sebuah jurnal yang berjudul “ The Impact Of Family Behaviors and

Communications Pattern on Chronic Illnes Outcome: a systematic review”, yang

mengulas berbagai penelitian tentang dukungan keluarga terhadap penyakit kronis

diantaranya adalah DM, menyebutkan bahwa dukungan keluarga dapat

berpengaruh terhadap kesehatan penderita penyakit kronis. Pola komunikasi dan


17

mekanisme koping keluarga yang baik dapat meningkatkan motivasi klien untuk

selalu menjaga kesehatanya (Marie R et al, 2011).

2.1.7 Pengukuran Dukungan Keluarga

Cara mengatasi DM berbeda dengan penyakit kronik lainnya. Pada pasien

DM diperlukan pengontrolan terhadap metabolik yang tentunya akan

mempengaruhi gaya hidup pasien (dalam menggunakan terapi insulin dan obat

antidiabetik oral), makanan, pengukuran gula darah dan latihan. (Goz et al,2007).

Dukungan keluarga terkait dengan kesejahteraan dan kesehatan dimana

lingkungan keluarga menjadi tempat individu belajar seumur hidup. Dukungan

keluarga didefinisikan sebagai faktor penting dalam kepatuhan manajemen

penyakit untuk remaja dan dewasa dengan penyakit kronik. Dukungan keluarga

signifikan dalam mengatasi hambatan makan untuk pasien DM. Dukungan

keluarga merupakan indikator yang paling kuat memberikan dampak positif

terhadap perawatan diri pada pasien diabetes (Hansarling, 2009 dalam Aini Yusra,

2010).

Dukungan keluarga terdiri atas dukungan orang tua anak, anak ke orang

tua, saudara ke saudara, antar pasangan, cucu ke kakek/nenek. Hal ini perlu

dievaluasi dan diadaptasi untuk memastikan keberhasilan dari rencana asuhan

keperawatan terhadap pasien.

Henserling mengembangkan suatu skala pengukuran dukungan keluarga

dengan nama “Henserling Diabetes Family Support Scale (HDFSS), dimana skala

ini menunjukan validitas isi untuk pengukuran persepsi pasien terhadap dukungan

yang diberikan oleh keluarga. HDFSS mengukur dukungan keluarga yang


18

dirasakan oleh pasien DM, secara konsep didefinisikan bagaimana pasien melihat

dukungan dari keluarganya. HDFSS terdiri dari 29 pertanyaan mencakup dimensi

emosional terdiri dari 10 item pertanyaan (4,5,6,7,13,15,17,24,27,28) dimensi

penghargaan 8 item pertanyaan (8,10,12,14,18,19,20,25), dimensi instrumental 8

item pertanyaan (9,11,16,21,22,23,26,29) dan dimensi informasi 3 item

pertanyaan (1,2,3) dengan alternatif jawaban: 4 = selalu, 3 = sering, 2 = Jarang, 1=

tidak pernah (Hanserling, 2009 dalam Aini Yusra 2010).

2.2 Diabetes Melitus

2.2.1 Pengertian Diabetes Melitus

DM merupakan kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

keduanya (American Diabetes Association, 2013; Perkeni, 2006).

Hal ini tidak jauh berbeda dari pengertian yang dikemukakan oleh Price &

Wilson (2006) bahwa DM adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan

klinis dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat dan apabila

berkembang penuh secara klinis maka diabetes ditandai dengan hiperglikemia.

Menurut WHO, DM digambarkan sebagai sualtu kelainan metabolik yang

disebabkan oleh berbagai etiologi dan dimanifestasikan sebagai suatu keadaan

hiperglikemia kronis yang menimbulkan gangguan metabolisme sebagai akibat

dari gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (WHO, 2013).

Smeltzer and Bare (2008) mengemukakan bahwa DM merupakan

sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar gukosa

darah dan dapat menimbulkan komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler.


19

2.2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Secara garis besar Diabetes Melitus (DM) diklasifikasikan menjadi :

a. Tipe I merupakan DM yang tergantung insulin (insulin dependent diabetes

mellitus [IDDM]). DMT1 merupakan DM yang tergantung pada insulin untuk

mengatur metabolisme glukosa dalam darah. Pada DMT1 terjadi kerusakan

pada sel beta dalam menghasilkan insulin karena proses autoimun. Sebagai

akibatnya pasien akan kekurangan insulin bahkan tidak ada insulin, sehingga

memerlukan terapi insulin agar gula darah dalam batas terkontrol. Tipe ini

terjadi sekitar 5-10% dari keseluruhan penderita diabetes (Smeltzer & Bare,

2008).

b. Tipe II merupakan DM tidak tergantung insulin (non-insulin-dependent

diabetes mellitus [NIDDM]). DMT2 adalah jenis penyakit DM dimana

individu mengalami penurunan sensitivitas terhadap insulin dan kegagalan

fungsi sel beta yang mengakibatkan penurunan produksi insulin. DMT2

mengenai 90-95% pasien dengan DM. Insiden ini lebih umum pada usia > 30

tahun dan obesitas (Smeltzer & Bare, 2008).

c. Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainya

DM tipe lain disebabkan oleh karena defek genetik dan fungsi sel beta. Defek

genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat

atau zat kimia, infeksi, sebab imunologik yang jarang, dan sindrom genetik lain

yang berkaitan dengan DM. Beberapa hormon seperti hormon pertumbuhan,

kortisol, glukagon dan epineprine bersifat antagonis atau melawan kerja


20

insulin. Kelebihan jumlah hormon tersebut dapat mengakibatkan DM tipe ini

(Smeltzer & Bare, 2008).

d. DM gestasional (gestasional diabetes mellitus [GDM]), terjadi karena

intoleransi tingkat glukosa pada masa kehamilan. Hiperglikemi terjadi selama

masa kehamilan karena sekresi dari hormon plasenta sehingga menyebabkan

resistensi insulin. Diabetes gestasional terjadi pada 14% dari semua wanita

hamil dan meningkat risikonya pada mereka yang memiliki masalah hipertensi

dalam kehamilan (Smeltzer & Bare, 2008).

2.2.3 Penyebab Diabetes Melitus

Menurut Smeltzer & Bare (2008) Penyakit diabetes mellitus biasanya

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

a. Kelainan genetik

Faktor keturunan yang sangat memungkinkan seseorang menderita DM karena

jika ada riwayat keluarga yang salah satu anggotanya penderita DM

dimungkinkan akan menurun kepada keturunannya.

b. Usia

Faktor usia memungkinkan pada orang dewasa yang berusia 45 tahun ke atas

atau orang-orang yang berusia di bawah 45 tahun tetapi mengalami

kegemukan.

c. Stres

Stres kronis cenderung membuat seseorang akan memakan makanan yang

manis-manis untuk meningkatkan kadar lemak serotonin. Serotonin merupakan


21

mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula

dan lemak berbahaya bagi mereka yang berisiko mengidap penyakit DM.

d. Pola makan yang salah

Pola makan yang cenderung mengkonsumsi makanan yang mengandung gula

dan bersifat manis akan cepat meningkatkan kadar gula darah seseorang

sehingga pola makan yang salah harus dikendalikan dengan cara

mengendalikan mengkonsumsi makanan yang bersifat manis.

2.2.4 Kriteria Diagnostik

Kriteria diagnostik Diabetes melitus menurut American Diabetes

Association (ADA, 2010) merupakan salah satu dari kondisi berikut :

a. HbA1c ≥ 6,5%

b. Terdapat trias diabetes (poliuri, polidipsi dan polipagi) terdapat penurunan berat

badan dan kadar gula darah acak (GDA ≥200 mg/dl)

c. Kadar Gula darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl

d. Kadar gula darah 2 jam post pandrial (PP) atau Tes Toleransi Glukosa Oral

(TTGO) 75 gr anhididrous yang dilarutkan dalam air (standar WHO ≥ 200

mg/dl)

2.2.5 Komplikasi Diabetes Melitus

Menurut Price and Wilson (2006) komplikasi-komplikasi DM dapat dibagi

menjadi dua kategori mayor yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis.

a. Komplikasi Akut
22

Terdapat tiga komplikasi akut pada penderita DM yang berhubungan

dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek. Ketiga

komplikasi tersebut adalah: hipoglikemia, ketoasidosis diabetik dan sindrom

HHNK (disebut juga koma hiperglikemik hiperosmoler nonketotik atau

HONK[hiperosmoler nonketotik]).

1. Hipoglikema

Hipoglikemia merupakan suatu kondisi kadar glukosa darah yang rendah

terjadi kalau kadar glukosa dalam darah turun di bawah 50 hingga 60 mg/dl (2,7

hingga 3,3 mmol/L). Keadaan ini dapat terjadi apabila pemberian insulin dan

preparat oral secara berlebihan, konsumsi makanan yang sedikit dan banyaknya

aktifitas fisik juga mengakibatkan hipoglikemia. Kejadian ini sering dijumpai

sebelum makan, khususnya jika waktu makan tertunda.

2. Ketoasidosis Diabetik-Koma Diabetika (KAD)

Kriteria diagnosis KAD jika terdapat gejala klinis (poliuri, polidipsi, mual

dan atau muntah, pernafasann kussmaul, lemah dehidrasi, hipotensi sampai syok,

kesadaran terganggu sampai koma), kadar glukosa darah lebih dari 300 mg/dl

(hiperglikemia) dan bikarbonat kurang dari 20 mEq/l (pH < 7,35) dan terdapat

glukosuria dan ketonuria.

3. Koma Hiperosmolar Non-Ketotik (KHONK)

Yaitu jika kadar glukosa darah 600 mg/dl (hiperglikemia) dengan tidak

adanya riwayat DM sebelummya (No DM History) biasanya ± 1000 mg/dL,

bikarbonat. 15 mEq/l, pH darah normal (no Kussmaul, No ketonemia) glukosa

darah relatif rendah apabila ada nefropati dan jika dehidrasi berat (hipotensi,
23

shock), no Kussmaul, terdapat gejala neurologi, reduksi urine +++, bau aseton

tidak didapatkan, ketonuria tidak didapatkan. Diagnosis pasti dikenal dengan

Pentalogi KHONK, yaitu jika terdapat diagnosis klinis dan osmolalitas darah >

325-350 m.osm/l.

b. Komplikasi Kronis

Menurut Smeltzer and Bare (2008) angka kematian yang berkaitan dengan

ketoasidosis dan infeksi pada pasien diabetes tampak terus menurun, tetapi

kematian akibat komplikasi kardiovaskuler dan renal mengalami kenaikan yang

mengkhawatirkan. Komplikasi panjang atau komplikasi kronis tersebut terbagi

menjadi tiga yaitu:

1. Penyakit Makrovaskuler

Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar sering terjadi pada

diabetes. Perubahan ateroskerotik ini serupa dengan yang terlihat pada pasien-

pasien nondiabetik, kecuali dalam hal perubahan tersebut terjadi dalam usia yang

lebih muda dengan frekuensi yang lebih besar pada pasien diabetes. Berbagai tipe

penyakit makrovaskuler dapat terjadi aibat dari lokasi lesi ateroskelrotik, sebagai

berikut :

a) Penyakit Arteri Koroner

Perubahan dalam aterosklerotik di pembuluh darah arteri koroner

menyebabkan tingginya insiden miokard infark pada penderita diabetes. Pada

penyakit daiabetes terdapat peningkatan kecenderungan untuk mengalami

komplikasi akibat infark miokard dan kecenderungan akan mendapatkan serangan

infark miokard yang kedua. Ciri dari penyakit arteri koroner yang diderita oleh
24

pasien diabetes adalah tidak terdapatnya gejala iskemik yang khas. Jadi pasien

tidak akan mengalami penurunan aliran darah koroner dan dapat mengalami

miokard infark yang asimptomatik.

b) Penyakit Serebrovaskuler.

Merupakan perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah serebral atau

pembentukan embolus di tempat lain dalam sistem pembuluh darah yang

kemudian terbawa aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh darah serebral

sehinga menimbulkan serangan iskemia sepintas (TIA = Transient Ischemic

Attack) dan stroke. Gejala penyakit serebrovaskular ini dapat meyerupai gejala

pada komplikasi akut diabetes (sindrom HHNK atau hipoglikemi), karena itu

perlu mengecek kadar gula darah penderita diabetes untuk mendapatkan

pengobatan atas indikasi kelainan kadar glukosa darah sebelum dilakukan

pemeriksaaan diagnostik yang luas untuk menemukan penyakit serebrovaskuler.

c) Penyakit Vaskuler Perifer

Tanda-tanda dan gejala peyakit vaskuler perifer dapat mencakup

berkurangnya denyut nadi perifer dan klaudikasio intermiten (nyeri pada pantat

atau betis ketika berjalan). Bentuk penyakit oklusif arteri ini merupakan

penyebab utama meningkatnya insiden gangren dan amputasi pada pasien

diabetes.

Ada faktor-faktor risiko tertentu yang berkaitan dengan percepatan

aterosklerosis. Faktor-faktor ini mencakup kenaikan kadar lemak darah, hipertensi

kebiasaan merorok, obesitas kurangnya latihan dan riwayat keluarga (genetik).

Faktor risiko ini sangat berperan penting dalam proses timbulnya penyakit
25

makrovaskuler disamping faktor risiko lain seperti obesitas dan peningkatan

trigliserida, namun angka kejadian penyakit makrovaskuler tetap lebih tinggi pada

pasien dengan diabetes dibandingkan pasien non diabetes yang memiliki faktor

risiko sama. Jadi, penyakit diabtes sendiri dianggap sebagai faktor risiko terhadap

penyakit aterosklerosis.

2. Komplikasi Mikrovaskuler

Penyakit mikrovaskuler pada diabetik ditandai oleh adanya penebalan

membran basalis pembuluh kapiler. Ada dua tempat dimana gangguan fungsi

kapiler dapat berakibat serius kedua tempat tersebut adalah mikrosirkulasi retina

dan ginjal. Komplikasi mikrovaskuler diantaranya adalah retinopati diabetik yang

merupakan kelainan patologis yang disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-

pembuluh darah kecil di retina mata. Retina merupakan bagian mata yang

berfungsi untuk menangkap bayangan dan mengirimkanya ke otak. Terdapat tiga

stadium dari retinopati diabetik yaitu retinopati nonpoliferatif, retinopati

praproliferatif dan retinopati proliferatif. Sebagian besar penyandang diabetes

mengalami retinopati nonpoliferatif dan berisiko kecil dalam mengalami kebutaan

di masa mendatang. Komplikasi dari retinopati nonploriferatif yaitu edema

mukula dan mengakibatkan distorsi visual serta kehilangan penglihatan sentral.

Keadaan yang merupakan bentuk lanjutan dari retinopati nonproliperatif

adalah retinopati proliperatif. Perubahan visual yang terjadi dalam stadium ini

biasanya disebabkan oleh edema makula dan yang paling megancam penglihatan

adalah retinopati proliferatif. Gangguan pengelihatan ini disebabkan oleh

perdarahan viterus atau ablasio retina. Korpus viterus yang normal akan tampak
26

jernih dan apabila terjadi perdarahan korpus viterus akan menjadi keruh dan tidak

dapat mentrasmisikan cahaya. Dampak lain dari perdarahan tersebut adalah

terbentuknya jaringan parut fibrosa yang disebabkan oleh resorbsi darah ke korpus

viterus. Jaringan parut ini dapat menarik retina dan terjadi ablasio (pelepasan)

retina dan akhirnya terjdi kebutaan.

2.2.6 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Terdapat lima komponen dalam penatalaksanaan DM (Smeltzer and bare,

2008; PERKENI, 2006) yaitu diet, latihan, terapi anti obat diabetikum (jika

diperlukan), edukasi dan monitoring. Lima komponen tersebut saling berkaitan

dan berperan dalam mencegah dan mentabilkan kadar gula darah pasien DMT2.

DMT2 muncul bukan hanya disebabkan oleh faktor genetik namun interaksi

antara faktor genetik dengan faktor risiko lain terutama prilaku (PERKENI, 2006).

Untuk mengubah gaya hidup khususnya pada individu yang berisiko tinggi

menderita DMT2 untuk mencegah komplikasi dapat melakukan aktivitas fisik dan

konsumsi makanan yang sehat terbukti mampu menurunkan berat badan,

menstabilkan tekanan darah dan mengurangi risiko tinggi mengalami DMT2

dapat di tunjukan dengan penurunan kadar HbA1C, trigliserida, gula darah dan

berat badan (ADA, 2010).

Menurut Tjokroprawiro (2007), penatalaksanaan dasar terapi DMT2

meliputi :

a. Terapi Primer

1. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat tentang DMT2


27

Tindakan ini dapat dilakukan oleh tenaga kesehataan kepada masyarakat

dan dapat dilakukan perorangan. Media yang digunakan dapat melalui media

cetak maupun elektronik dan dalam diskusi kelompok.

2. Latihan Fisik

Latihan fisik untuk semua pasien DMT2 yaitu latihan fisik teratur setiap

hari 1-1 ½ jam setelah makan, termasuk pasien yang dirawat di rumah sakit. Jika

penderita mengalami obesitas dapat melakukan latihan fisik teratur sehabis makan

dan ditambah latihan lebih berat di pagi dan sore setiap hari untuk menurunkan

kelebihan berat badan.

3. Diet

Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan

diabetes. Penatalaksaan nutrisi ini tentunya untuk membantu mengendalikan

kadar gula darah dan pada pasien-pasien dengan obesitas agar terjadi penurunan

berat badan. Secara umum penurunan berat badan bagi individu dengan obesitas

menjadi faktor utama untuk mencegah timbulnya penyakit diabetes. Obesitas akan

diikuti oleh peningkatan resistensi insulin dan merupakan salah satu etiologi

utama yang menyertai diabetes tipe II.

b. Terapi Sekunder

1. Obat hipoglikemia (oral atau Insulin), menurut PARKENI (2011) terdapat

bebagai macam obat hipoglikemia obat dilihat pada tabel 1 dan pada tabel 2

dapat dilihat mengenai kategori insulin menurut Smeltzer and Bare (2008).
28

Tabel 1. Obat Hipoglikemia


OHO Generik Nama B mg/ dosis Lama Frek/hari Pemberian
dagang tab hari kerja
an (jam)
(mg)
Klorpopamid Diabenase 100- 100- 24-36 1
250 500
Glibengklamid Daonil 2,5- 2,5- 12-24 1-2
5 5
Gipizid Euglucon 5-10
Minidiab
Sulfonilurea Glucotrol-XL 1
Glikazid Diamicron 80 80- 10-20 1,2
Diamicron- 240
MR
Glikuidon Glurenom 30 30- - - Sebelum
120 makan
Glimepirid Amaryl 1 0,5- 24 1
6
2
3
4
Repaglinid NovoNorm 0,5 1,5- - 3
6
Glinid 1
2
Netaglinid Starlix 120 360 - 3
Rosiglitazon 4 4,8 24 1
Tiazolidindion Pioglitazon Actos 15,3 Tidak
bergantung
jadwal
makan
Penghambat Acarbose Glucobay 50- 100- 3 Bersama
glukosidase α 100 300 suapan
makan
Metformin Glucophage 500- 250- 6-8 1-3
850 3000
Biguanid Bersama
atau
sesudah
makan
Kombinase Glukovance
Metformin +
Glibenklamid
Sumber : PARKENI 2008

Ket : OHO : obat hiperglikemi oral

XL : eXtenden reLase

Frek : Frekuensi
29

Tabel 2. Kategori Insulin


Lama kerja Agens Awitan puncak Durasi Indikasi
Short-acting Regular ½ - 1 jam 2-3 jam 4-6 jam Biasanya diberikan 20-30
(“R”) menit sebelum makan dapat
diberikan sendiri atau
bersama dengan insulin long
acting
Intermediate- NPH 3-4 jam 4-12 jam 16-20 Biasanya diberikan sesudah
acting (neutral jam makan
protamine
Hagedorn)
Lente (“L”)
Long-Acting Ultralente 6-8 jam 12-16 jam 20-30 Digunakan terutama untuk
(“UL”) jam mengendlikan kadar glukosa
darah puasa
(Smeltzer & Bare, 2008)

2.3 Glukosa Darah

2.3.1 Pengertian Glukosa darah

Kadar glukosa darah adalah istilah yang mengacu kepada tingkat glukosa

di dalam darah. Konsentrasi gula darah atau tingkat glukosa serum diatur dengan

ketat di dalam tubuh. Umumnya tingkat gula darah bertahan pada batas-batas

yang sempit sepanjang hari (70-150 mg/dl). Tingkat gula darah ini meningkat

setelah makan dan biasanya berada pada level terendah pada pagi hari, sebelum

orang makan. (Henrikson J. E. et al., 2009).

2.3.2 Proses Pengaturan Gula Darah

Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah bergantung pada hati yang

mengektrasi glukosa, mensistesis glikogen, dan melakukan glikogenolisis (Price

& Wilson 2006). Kadar glukosa plasma sangat ditentukan oleh keseimbangan

antara jumlah glukosa yang masuk ke dalam aliran darah dan jumlah yang

meninggalkannya. Oleh karena itu pengaruh yang berpengaruh terhadap gula

darah adalah asupan makanan, kecepatan pemasukan ke dalam sel otot, jaringan
30

adiposa, dan organ-organ lain yang bergantung dengan keseimbangan fisiologis

beberapa hormon serta aktivitas glukostatik hati (Ganong, 2008).

Konsentrasi glukosa dalam darah ditentukan oleh keseimbangan yang ada

antara proses-proses berikut (Sherwood, 2001):

a. Faktor yang meningkatkan glukosa darah atau glukosa yang masuk aliran

darah adalah penyerapan glukosa dari saluran pencernaan yang berasal dari

asupan makanan dan pembentukan glukosa oleh hepar melalui glikogenolisis

simpanan glikogen maupun glukoneogenesis yang dikontrol oleh hormon

insulin.

b. Faktor yang menurunkan glukosa darah atau glukosa yang meninggalkan

aliran darah adalah pemindahan glukosa ke dalam sel untuk digunakan

sebagai sumber energi dan disimpan sebagi glikogen maupun trigliserida

yang dikontrol oleh hormon insulin. Eksresi glukosa melalui urin terjadi

hanya dalam keadaan abnormal sewakru kadar glukosa darah terlalu tinggi

melebihi kemampuan tubulus ginjal mereabsorpsi selama pembentukan urin.

Asupan makanan dengan kandungan gula atau karbohidrat akan

menghasilkan gula di dalam darah. Kadar gula darah juga ditentukan oleh

peningkatan produksi glukosa endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis

dan glikogenolisis di jaringan hepar. Organ pankreas mengeluarkan enzim insulin

yang dapat menyebabkan pengambilan, penyimpanan dan penggunaan gula darah

yang cepat oleh semua jaringan tubuh terutama oleh otot, jaringan adiposa dan

hati (Sudoyo et al, 2009).


31

Pada sebagian besar kasus DM disebabkan oleh berkurangnya sekresi

insulin oleh sel-sel beta pulau langerhans. Sering kali faktor genetik

menyebabakan timbulnya DM melalui peningkatan kerentanan sel-sel beta

terhadap pengancuran oleh virus atau memepermudah perkembagan antibodi

autoimun melawan sel-sel beta mengarah kepada penghancuran sel-sel beta.

Obesitas juga memegang peranan dalam perkembangan DM. Obesitas

menurunkan jumlah reseptor insulin dalam sel target insulin di seluruh tubuh

membuat jumlah insulin yang tersedia kurang efektif dalam meningkatkan efek

metabolik insulin yang biasa walaupun tanpa dipengaruhi faktor genetik (Guyton,

2000).

Hormon yang meningkatakan kadar glukosa darah diantaranya adalah

glukagon yang disekresi oleh sel-sel alfa langerhans, epinefrin yang disekresi oleh

medulla adrenal dan jaringan kromafin lain, glukokortikoid yang disekresi oleh

korteks adrenal, dan growth hormone yang disekresi oleh kelenjar hipofisis

anterior. Glukagon, epinefrin, glukokortikoid, dan growth hormone, membentuk

suatu perlawanan mekanisme regulator yang mencegah timbulnya hipoglikemia

akibat pengaruh insulin (Price & Wilson, 2006).

2.3.3 Pengukuran Kadar Gula Darah

Kadar glukosa serum puasa normal adalah 70-110 mg/dl. Hiperglikemia

didefinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dl,

sedangkan hipoglikemia didefinisikan bila kadarnya lebih rendah dari 70 mg/dl.

Glukosa difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan hampir semuanya diabsorpsi oleh

tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160 sampai 180
32

mg/dl. Jika konsentrasi serum naik melebihi kadar ini, glukosa tersebut akan

keluar bersama urine, dan keadaan ini disebut sebagai glikosuria (Price & Wilson,

2006).

Untuk memastikan diagnosis, pemerikaan glukosa darah yang dianjurkan

adalah pemeriksaan enzimatik dengan bahan yang diambil dari plasma vena.

Walaupun demikian, sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan

darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-

angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan dari WHO (Sudoyo et

al, 2009). Berikut ini merupakan tabel patokan penyaring dan diagnosis DM

menurut Parkeni (2006)

Tabel 3. Patokan Penyaring dan Diagnosis DM


Bukan DM Belum DM
pasti DM
Kadar glukosa darah Plasma vena <110 110-199 ≥200
sewaktu (mg/dl) Darah kapiler <90 90-199 ≥200
Kadar glukosa darah puasa Plasma vena <110 110-125 ≥126
(mg/dl) Darah kapiler <90 90-109 ≥110
(Parkeni, 2006)

Pemeriksaan menggunakan tes strip (glucose oxidase) boleh digunakan

untuk bed side test, tetapi pemakai strip harus hati-hati akan kemungkinan hasil

yang kurang tepat karena penyimpanan strip yang kurang baik. Cara ini umumnya

dinilai secara semikuantitatif, tetapi dapat pula dinilai dengan menggunakan alat

pengukur yang khusus (Kusnandar, 2009).

2.3.4 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kadar Gula Darah

Ada beberapa hal yang menyebabkan gula darah naik, yaitu kurang

berolah raga, bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi, meningkatnya


33

stres dan faktor emosi, pertambahan berat badan dan usia, serta dampak perawatan

dari obat (Fox & Kilvert, 2010).

a. Aktivitas Fisik

Olah raga secara teratur dapat mengurangi resistensi insulin latihan fisik juga

sehingga insulin dapat dipergunakan lebih baik oleh sel-sel tubuh. Olah raga juga

dapat digunakan sebagai usaha untuk membakar lemak dalam tubuh sehingga

dapat mengurangi berat badan bagi orang obesitas.

b. Asupan Makanan

Asupan makanan terutama melalui makanan berenergi tinggi atau kaya

karbohidrat dan serat yang rendah dapat mengganggu stimulasi sel-sel beta

pankreas dalam memproduksi insulin. Asupan lemak di dalam tubuh juga perlu

diperhatikan karena sangat berpengaruh terhadap kepekaan insulin.

c. Obat-obatan

Interaksi antara pituitary, adrenal gland, pankreas dan liver sering terganggu

akibat stres dan penggunaan obat-obatan. Gangguan organ-organ tersebut

mempengaruhi metabolisme ACTH (hormon dari pituitary), kortisol,

glukokortikoids (hormon adrenal gland), glucagon merangsang glukoneogenesis

di liver yang akhirnya meningkatkan kadar gula dalam darah. Produksi hormon

kortisol dapat menurunkan toleransi glukosa dan mengurangi hormon tiroid.

Semua itu menyebabkan resistensi insulin dan memperburuk metabolisme (Vita

Health, 2000).
34

d. Usia

Semakin bertambah usia perubahan fisik dan penurunan fungsi tubuh akan

mempengaruhi konsumsi dan penyerapan zat gizi. Berbagai penelitian

menunjukkan bahwa masalah gizi pada usia lanjut sebagian besar merupakan

masalah gizi berlebih dan kegemukan/obesitas yang memicu timbulnya penyakit

degeneratif termasuk diabetes mellitus. Mayoritas penderita diabetes melitus

biasanya terjadi di atas usia 30 tahun (Smeltzer & Bare 2008).

2.4 Hubungan antara Dukungan Keluarga Terhadap Kadar Gula Darah


pasien DMT2

Stres adalah segala situasi dimana tuntutan non spesifik mengharuskan

seseorang untuk berespon dan melakukan sesuatu. Respon yang dimaksud adalah

respon fisiologis dan psikologis. Keadaan stres mengakibatkan perasaan yang

negatif, yang berlawanan dengan keinginan atau mengancam kesejahteraan

emosional. Stres dapat mengganggu cara seseorang melihat realitas,

menyelesaikan masalah, berfikir secara umum dan hubungan seseorang dan rasa

memiliki. Persepsi atau pengalaman individu terhadap perubahan besar

menimbulkan stres (Potter & Pery, 2008). DM dengan berbagai perubahan fisik

yang mengharuskan kepatuhan penderita untuk mengontrol penyakit dapat

menjadi sumber stres.

Penyakit DM dapat memberikan efek psikososial seperti depresi, dimana

pasien menunjukan sikap yang negatif dalam mengendalikan DM seperti tidak

mengikuti diet yang telah diprogramkan, kurang aktivitas fisik, merokok dan

kurangnya kepatuhan terhadap pengobatan (Riley et al, 2009). Penyakit yang


35

diderita, dan pengobatan yang dijalankan dapat berpengaruh kepada kondisi

psikologis klien dan kesehatan klien. Karena diabetes merupakan salah satu

penyakit kronik, timbul kejenuhan dan kebosanan dalam menjaga kontrol

glikemik. Oleh karena itu untuk mengatasi hal ini perlu tindakan terhadap faktor

psikologis dalam penyelesaian masalah DM. Keikutsertaan keluarga lainya dalam

kontrol gula darah pasien DM merupakan hal yang positif bagi kesehatan

keluarga, merupakan bentuk peran aktif bagi keberhasilan penatalaksanaan DM

(Rifki, 2009).

Keluarga dapat berpengaruh kepada psikologis klien yang akan

menimbulkan mekanisme koping yang adaptif sehingga keadaan psikologis

penderita DMT2 terhindar dari stres akibat dari pengobatan dan diet (Soegondo,

2008).

Sejalan dengan hal di atas terdapat sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Lindsay et al (2012) yang berjudul “Family Support, Medication Adherence, and

Glycemic Control Among Adults With Type 2 Diabetes” menguji hubungan antara

dukungan keluarga, pengobatan dan kontrol metabolik (ditentukan dari hasil tes

hemoglobin glikosilasi atau HbA1C). Berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa

dukungan keluarga yang positif akan membantu untuk menjalankan pengobatan

diabetes lebih baik sehingga dapat mengontrol kadar gula darah yang baik pula

namun berbanding terbalik dengan dukungan keluarga yang negatif, dukungan

keluarga yg negatif cenderung pasrah dengan pengobatan.

Dukungan keluarga terhadap pasien dengan DMT2 memberikan manfaat

dalam manajemen dan penyesuaian terhadap penyakit. Dukungan keluarga


36

berdampak positif untuk menghindari pasien DMT2 dari dampak psikologis yang

negatif sehingga dapat mengontrol kadar gula darah yang merupakan salah satu

dari pengobatan diabetes (Goz et al,2007).

You might also like