You are on page 1of 22

Laporan Pendahuluan dan Askep Diabetes

Millitus Aplikasi Nanda Nic Noc


Author - Septiawan Putra Date - 00:16 Askep Sistem Endokrin
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1 Defenisi
Diabetesberasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau
mengalihkan” (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau
madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume
urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit
hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan
relative insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009).

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh


kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth,
2002).

Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).

2 Etiologi
a. Diabetes tipe I:
- Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
- Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut
yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap
sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
- Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan
destruksi selbeta.
b. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang
peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga

3 Manifestasi Klinis.
a. Diabetes Tipe I
hiperglikemia berpuasa
glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
keletihan dan kelemahan
ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau buah, ada perubahan
tingkat kesadaran, koma, kematian)
b. Diabetes Tipe II
lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung, poliuria, polidipsia, luka pada kulit
yang sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur
komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer)
4 Anatomi Fisiologi
Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar 5 cm, mulai
dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram. Terbentang pada vertebrata
lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun
manusia. Bagian depan (kepala) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh
duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ
ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi
perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel
yang membentuk usus.
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :
(1). Asini, sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
(2). Pulau Langerhans yang tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan
glukagon langsung ke darah.
Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh
pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid
dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 m,
sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah yang besarnya 100 – 225 m. Jumlah semua pulau
langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 – 2 juta.
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :
(1). Sel – sel A (alpha), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon yang manjadi faktor
hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti insulin like activity “.
(2). Sel – sel B (betha), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.
(3). Sel – sel D (delta), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin.
Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat pewarnaan. Di bawah
mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh
darah kapiler. Pada penderita DM, sel betha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang normal
dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Molekul insulin
terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan
oleh dua jembatan (perangkai), yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan
rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik isoelektrik pada 5,3.
Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam
membrana sel.
Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang
berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa
darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin
meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun.
Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon gastrointestina
merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama insulin untuk
meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel – sel otot,
fibroblas dan sel lemak

5 Patofisiologi
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi
akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari
makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan
hiperglikemia posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali
semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria).
Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran
cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari
kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa
haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan
penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat
menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan
normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis
(pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita
defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan
hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi
badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang
diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah,
hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran,
koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan
memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta
ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen
terapi yang penting.
Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan
reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi
suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe
II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu,
keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada
tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe II, namun
masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II.
Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya
yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan
obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif,
maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala
tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada
kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra glukosanya
sangat tinggi)..

6 Pemeriksaan penunjang
a. Glukosa darah sewaktu
b. Kadar glukosa darah puasa
c. Tes toleransi glukosa
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi
75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

7 Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler
serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar
glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi (jika diperlukan)
5. Pendidikan

B. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya klien masuk ke RS dengan keluhan utama gatal-gatal pada kulit yang disertai bisul/lalu tidak
sembuh-sembuh, kesemutan/rasa berat, mata kabur, kelemahan tubuh. Disamping itu klien juga
mengeluh poli urea, polidipsi, anorexia, mual dan muntah, BB menurun, diare kadang-kadang disertai
nyeri perut, kramotot, gangguan tidur/istirahat, haus-haus, pusing-pusing/sakit kepala, kesulitan
orgasme pada wanita dan masalah impoten pada pria
b. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat hipertensi/infark miocard akut dan diabetes gestasional
Riwayat ISK berulang
Penggunaan obat-obat seperti steroid, dimetik (tiazid), dilantin dan penoborbital.
Riwayat mengkonsumsi glukosa/karbohidrat berlebihan
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya riwayat anggota keluarga yang menderita DM.
d. Pemeriksaan Fisik
Neuro sensori
Disorientasi, mengantuk, stupor/koma, gangguan memori, kekacauan mental, reflek tendon menurun,
aktifitas kejang
. Kardiovaskuler
Takikardia / nadi menurun atau tidak ada, perubahan TD postural, hipertensi dysritmia, krekel, DVJ
(GJK)
Pernafasan
Takipnoe pada keadaan istirahat/dengan aktifitas, sesak nafas, batuk dengan tanpa sputum purulent
dan tergantung ada/tidaknya infeksi, panastesia/paralise otot pernafasan (jika kadar kalium menurun
tajam), RR > 24 x/menit, nafas berbau aseton
. Gastro intestinal
Muntah, penurunan BB, kekakuan/distensi abdomen, aseitas, wajah meringis pada palpitasi, bising
usus lemah/menurun
Eliminasi
Urine encer, pucat, kuning, poliuria, urine berkabut, bau busuk, diare (bising usus hiper aktif).
Reproduksi/sexualitas
Rabbas vagina (jika terjadi infeksi), keputihan, impotensi pada pria, dan sulit orgasme pada wanita
Muskulo skeletal
Tonus otot menurun, penurunan kekuatan otot, ulkus pada kaki, reflek tendon menurun
kesemuatan/rasa berat pada tungkai
Integumen
Kulit panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung, turgor jelek, pembesaran
tiroid, demam, diaforesis (keringat banyak), kulit rusak, lesi/ulserasi/ulkus
e. Aspek psikososial
Stress, anxientas, depresi
Peka rangsangan
f. Tergantung pada orang lain
Pemeriksaan diagnostik
Gula darah meningkat > 200 mg/dl
Aseton plasma (aseton) : positif secara mencolok
Osmolaritas serum : meningkat tapi < 330 m osm/lt
Gas darah arteri pH rendah dan penurunan HCO3 (asidosis metabolik)
Alkalosis respiratorik
Trombosit darah : mungkin meningkat (dehidrasi), leukositosis, hemokonsentrasi, menunjukkan respon
terhadap stress/infeksi
Ureum/kreatinin : mungkin meningkat/normal lochidrasi/penurunan fungsi ginjal
Amilase darah : mungkin meningkat > pankacatitis akut
Insulin darah : mungkin menurun sampai tidak ada (pada tipe I), normal sampai meningkat pada tipe II
yang mengindikasikan insufisiensi insulin
Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa darah dan
kebutuhan akan insulin
Urine : gula dan aseton positif, BJ dan osmolaritas mungkin meningkat
Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi pada luka.

2. Diagnosa
a. Nyeri akut b.d agen injuri biologis (penurunan perfusi jaringan perifer)
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. ketidakmampuan menggunakan glukose
(tipe 1)
c. Defisit Volume Cairan b.d Kehilangan volume cairan secara aktif, Kegagalan mekanisme pengaturan

3. Intervensi

NO DIAGNOSA NOC NIC

1 Nyeri akut NOC: Manajemen nyeri :


berhubungan denganTingkat nyeri 3. Lakukan pegkajian nyeri secara
agen injuri biologis Nyeri terkontrol komprehensif termasuk lokasi,
(penurunan perfusi Tingkat kenyamanan karakteristik, durasi, frekuensi,
jaringan perifer) Setelah dilakukan asuhan kualitas dan ontro presipitasi.
4.
keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi reaksi nonverbal dari

klien dapat : ketidaknyamanan.

1. 5.
Mengontrol nyeri, dengan indikator Gunakan teknik komunikasi

: terapeutik untuk mengetahui

Mengenal faktor-faktor pengalaman nyeri klien

penyebab sebelumnya.
6. Kontrol ontro lingkungan yang
Mengenal onset nyeri
mempengaruhi nyeri seperti suhu
Tindakan pertolongan non
ruangan, pencahayaan,
farmakologi kebisingan.
Menggunakan analgetik 7. Kurangi ontro presipitasi nyeri.
Melaporkan 8.
gejala-gejala Pilih dan lakukan penanganan
nyeri kepada tim kesehatan. nyeri (farmakologis/non

Nyeri terkontrol farmakologis)..

2. Menunjukkan tingkat 9.
nyeri, Ajarkan teknik non farmakologis

dengan indikator: (relaksasi, distraksi dll) untuk

Melaporkan nyeri mengetasi nyeri..


10. Berikan analgetik untuk
Frekuensi nyeri
mengurangi nyeri.
Lamanya episode nyeri
11. Evaluasi tindakan pengurang
Ekspresi nyeri; wajah
nyeri/ontrol nyeri.
Perubahan respirasi rate
12. Kolaborasi dengan dokter bila
Perubahan tekanan darah
ada komplain tentang pemberian
Kehilangan nafsu makan
analgetik tidak berhasil.
.
13. Monitor penerimaan klien
tentang manajemen nyeri.

Administrasi analgetik :.
1. Cek program pemberian
analogetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.
2. Cek riwayat alergi..
3. Tentukan analgetik pilihan, rute
pemberian dan dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum dan
sesudah pemberian analgetik.
5. Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul.
6. Evaluasi efektifitas analgetik,
tanda dan gejala efek samping.
2 Ketidakseimbangan Nutritional Status : Food and Nutrition Management
nutrisi kurang dari Fluid Intake 1. Monitor intake makanan dan
kebutuhan tubuh b.d.Intake makanan peroral yang minuman yang dikonsumsi klien
ketidakmampuan adekuat setiap hari
menggunakan Intake NGT adekuat 2. Tentukan berapa jumlah kalori
glukose (tipe 1) Intake cairan peroral adekuat dan tipe zat gizi yang dibutuhkan

Intake cairan yang adekuat dengan berkolaborasi dengan


ahli gizi
Intake TPN adekuat
3. Dorong peningkatan intake
kalori, zat besi, protein dan
vitamin C
4. Beri makanan lewat oral, bila
memungkinkan
5. Kaji kebutuhan klien akan
pemasangan NGT
6. Lepas NGT bila klien sudah bisa
makan lewat oral

3 Defisit Volume Cairan NOC: NIC :


b.d Kehilangan
Fluid balance Fluid management
volume cairan secara
Hydration 1. Timbang popok/pembalut jika
aktif, Kegagalan
Nutritional Status : Food and diperlukan
mekanisme Fluid Intake 2. Pertahankan catatan intake dan
pengaturan Kriteria Hasil : output yang akurat

Mempertahankan 3.
urine Monitor status hidrasi (

output sesuai dengan usia dan kelembaban membran mukosa,


BB, BJ urine normal, HT normal nadi adekuat, tekanan darah
ortostatik ), jika diperlukan
Tekanan darah, nadi, suhu
4. Monitor vital sign
tubuh dalam batas normal
5. Monitor masukan makanan /
Tidak ada tanda tanda
cairan dan hitung intake kalori
dehidrasi, Elastisitas turgor kulit
harian
baik, membran mukosa lembab,
6. Kolaborasikan pemberian cairan
tidak ada rasa haus yang
IV
berlebihan
7. Monitor status nutrisi
8. Berikan cairan IV pada suhu
ruangan
9. Dorong masukan oral
10. Berikan penggantian nesogatrik
sesuai output
2. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
3. Tawarkan snack ( jus buah, buah
segar )
4. Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul meburuk
5. Atur kemungkinan tranfusi
6. Persiapan untuk tranfusi

C. DAFTAR PUSTAKA
Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI, 2002
Soegondo S, dkk. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, cetakan keenam.
Balai Penerbit FKUI : Jakarta
Sudoyo, W Aru. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC

Laporan Pendahuluan dan Askep Diabetes


Millitus Aplikasi Nanda Nic Noc
Author - Septiawan Putra Date - 00:16 Askep Sistem Endokrin
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1 Defenisi
Diabetesberasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau
mengalihkan” (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau
madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume
urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit
hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan
relative insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009).
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth,
2002).

Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).

2 Etiologi
a. Diabetes tipe I:
- Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
- Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut
yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap
sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
- Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan
destruksi selbeta.
b. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang
peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga

3 Manifestasi Klinis.
a. Diabetes Tipe I
hiperglikemia berpuasa
glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
keletihan dan kelemahan
ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau buah, ada perubahan
tingkat kesadaran, koma, kematian)
b. Diabetes Tipe II
lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung, poliuria, polidipsia, luka pada kulit
yang sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur
komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer)

4 Anatomi Fisiologi
Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar 5 cm, mulai
dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram. Terbentang pada vertebrata
lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun
manusia. Bagian depan (kepala) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh
duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ
ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi
perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel
yang membentuk usus.
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :
(1). Asini, sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
(2). Pulau Langerhans yang tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan
glukagon langsung ke darah.
Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh
pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid
dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 m,
sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah yang besarnya 100 – 225 m. Jumlah semua pulau
langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 – 2 juta.
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :
(1). Sel – sel A (alpha), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon yang manjadi faktor
hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti insulin like activity “.
(2). Sel – sel B (betha), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.
(3). Sel – sel D (delta), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin.
Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat pewarnaan. Di bawah
mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh
darah kapiler. Pada penderita DM, sel betha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang normal
dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Molekul insulin
terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan
oleh dua jembatan (perangkai), yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan
rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik isoelektrik pada 5,3.
Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam
membrana sel.
Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang
berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa
darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin
meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun.
Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon gastrointestina
merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama insulin untuk
meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel – sel otot,
fibroblas dan sel lemak

5 Patofisiologi
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi
akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari
makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan
hiperglikemia posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali
semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria).
Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran
cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari
kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa
haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan
penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat
menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan
normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis
(pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita
defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan
hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi
badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang
diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah,
hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran,
koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan
memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta
ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen
terapi yang penting.
Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan
reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi
suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe
II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu,
keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada
tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe II, namun
masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II.
Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya
yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan
obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif,
maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala
tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada
kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra glukosanya
sangat tinggi)..

6 Pemeriksaan penunjang
a. Glukosa darah sewaktu
b. Kadar glukosa darah puasa
c. Tes toleransi glukosa
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi
75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

7 Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler
serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar
glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi (jika diperlukan)
5. Pendidikan

B. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya klien masuk ke RS dengan keluhan utama gatal-gatal pada kulit yang disertai bisul/lalu tidak
sembuh-sembuh, kesemutan/rasa berat, mata kabur, kelemahan tubuh. Disamping itu klien juga
mengeluh poli urea, polidipsi, anorexia, mual dan muntah, BB menurun, diare kadang-kadang disertai
nyeri perut, kramotot, gangguan tidur/istirahat, haus-haus, pusing-pusing/sakit kepala, kesulitan
orgasme pada wanita dan masalah impoten pada pria
b. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat hipertensi/infark miocard akut dan diabetes gestasional
Riwayat ISK berulang
Penggunaan obat-obat seperti steroid, dimetik (tiazid), dilantin dan penoborbital.
Riwayat mengkonsumsi glukosa/karbohidrat berlebihan
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya riwayat anggota keluarga yang menderita DM.
d. Pemeriksaan Fisik
Neuro sensori
Disorientasi, mengantuk, stupor/koma, gangguan memori, kekacauan mental, reflek tendon menurun,
aktifitas kejang
. Kardiovaskuler
Takikardia / nadi menurun atau tidak ada, perubahan TD postural, hipertensi dysritmia, krekel, DVJ
(GJK)
Pernafasan
Takipnoe pada keadaan istirahat/dengan aktifitas, sesak nafas, batuk dengan tanpa sputum purulent
dan tergantung ada/tidaknya infeksi, panastesia/paralise otot pernafasan (jika kadar kalium menurun
tajam), RR > 24 x/menit, nafas berbau aseton
. Gastro intestinal
Muntah, penurunan BB, kekakuan/distensi abdomen, aseitas, wajah meringis pada palpitasi, bising
usus lemah/menurun
Eliminasi
Urine encer, pucat, kuning, poliuria, urine berkabut, bau busuk, diare (bising usus hiper aktif).
Reproduksi/sexualitas
Rabbas vagina (jika terjadi infeksi), keputihan, impotensi pada pria, dan sulit orgasme pada wanita
Muskulo skeletal
Tonus otot menurun, penurunan kekuatan otot, ulkus pada kaki, reflek tendon menurun
kesemuatan/rasa berat pada tungkai
Integumen
Kulit panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung, turgor jelek, pembesaran
tiroid, demam, diaforesis (keringat banyak), kulit rusak, lesi/ulserasi/ulkus
e. Aspek psikososial
Stress, anxientas, depresi
Peka rangsangan
f. Tergantung pada orang lain
Pemeriksaan diagnostik
Gula darah meningkat > 200 mg/dl
Aseton plasma (aseton) : positif secara mencolok
Osmolaritas serum : meningkat tapi < 330 m osm/lt
Gas darah arteri pH rendah dan penurunan HCO3 (asidosis metabolik)
Alkalosis respiratorik
Trombosit darah : mungkin meningkat (dehidrasi), leukositosis, hemokonsentrasi, menunjukkan respon
terhadap stress/infeksi
Ureum/kreatinin : mungkin meningkat/normal lochidrasi/penurunan fungsi ginjal
Amilase darah : mungkin meningkat > pankacatitis akut
Insulin darah : mungkin menurun sampai tidak ada (pada tipe I), normal sampai meningkat pada tipe II
yang mengindikasikan insufisiensi insulin
Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa darah dan
kebutuhan akan insulin
Urine : gula dan aseton positif, BJ dan osmolaritas mungkin meningkat
Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi pada luka.

2. Diagnosa
a. Nyeri akut b.d agen injuri biologis (penurunan perfusi jaringan perifer)
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. ketidakmampuan menggunakan glukose
(tipe 1)
c. Defisit Volume Cairan b.d Kehilangan volume cairan secara aktif, Kegagalan mekanisme pengaturan
3. Intervensi

NO DIAGNOSA NOC NIC

1 Nyeri akut NOC: Manajemen nyeri :


berhubungan denganTingkat nyeri 3. Lakukan pegkajian nyeri secara
agen injuri biologis Nyeri terkontrol komprehensif termasuk lokasi,
(penurunan perfusi Tingkat kenyamanan karakteristik, durasi, frekuensi,
jaringan perifer) Setelah dilakukan asuhan kualitas dan ontro presipitasi.
4.
keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi reaksi nonverbal dari

klien dapat : ketidaknyamanan.

1. 5.
Mengontrol nyeri, dengan indikator Gunakan teknik komunikasi

: terapeutik untuk mengetahui

Mengenal faktor-faktor pengalaman nyeri klien

penyebab sebelumnya.
6. Kontrol ontro lingkungan yang
Mengenal onset nyeri
mempengaruhi nyeri seperti suhu
Tindakan pertolongan non
ruangan, pencahayaan,
farmakologi
kebisingan.
Menggunakan analgetik
7. Kurangi ontro presipitasi nyeri.
Melaporkan gejala-gejala
8. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri kepada tim kesehatan.
nyeri (farmakologis/non
Nyeri terkontrol
farmakologis)..
2. Menunjukkan tingkat nyeri,
9. Ajarkan teknik non farmakologis
dengan indikator:
(relaksasi, distraksi dll) untuk
Melaporkan nyeri
mengetasi nyeri..
Frekuensi nyeri 10. Berikan analgetik untuk
Lamanya episode nyeri mengurangi nyeri.
Ekspresi nyeri; wajah 11. Evaluasi tindakan pengurang
Perubahan respirasi rate nyeri/ontrol nyeri.
Perubahan tekanan darah 12. Kolaborasi dengan dokter bila
Kehilangan nafsu makan ada komplain tentang pemberian
. analgetik tidak berhasil.
13. Monitor penerimaan klien
tentang manajemen nyeri.

Administrasi analgetik :.
1. Cek program pemberian
analogetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.
2. Cek riwayat alergi..
3. Tentukan analgetik pilihan, rute
pemberian dan dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum dan
sesudah pemberian analgetik.
5. Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul.
6. Evaluasi efektifitas analgetik,
tanda dan gejala efek samping.
2 Ketidakseimbangan Nutritional Status : Food and Nutrition Management
nutrisi kurang dari Fluid Intake 1. Monitor intake makanan dan
kebutuhan tubuh b.d.Intake makanan peroral yang minuman yang dikonsumsi klien
ketidakmampuan adekuat setiap hari
menggunakan Intake NGT adekuat 2. Tentukan berapa jumlah kalori
glukose (tipe 1) Intake cairan peroral adekuat dan tipe zat gizi yang dibutuhkan

Intake cairan yang adekuat dengan berkolaborasi dengan


ahli gizi
Intake TPN adekuat
3. Dorong peningkatan intake
kalori, zat besi, protein dan
vitamin C
4. Beri makanan lewat oral, bila
memungkinkan
5. Kaji kebutuhan klien akan
pemasangan NGT
6. Lepas NGT bila klien sudah bisa
makan lewat oral
3 Defisit Volume Cairan NOC: NIC :
b.d Kehilangan
Fluid balance Fluid management
volume cairan secara
Hydration 1. Timbang popok/pembalut jika
aktif, Kegagalan
Nutritional Status : Food and diperlukan
mekanisme Fluid Intake 2. Pertahankan catatan intake dan
pengaturan Kriteria Hasil : output yang akurat

Mempertahankan 3.
urine Monitor status hidrasi (

output sesuai dengan usia dan kelembaban membran mukosa,


BB, BJ urine normal, HT normal nadi adekuat, tekanan darah
ortostatik ), jika diperlukan
Tekanan darah, nadi, suhu
4. Monitor vital sign
tubuh dalam batas normal
5. Monitor masukan makanan /
Tidak ada tanda tanda
cairan dan hitung intake kalori
dehidrasi, Elastisitas turgor kulit
harian
baik, membran mukosa lembab,
6. Kolaborasikan pemberian cairan
tidak ada rasa haus yang
IV
berlebihan
7. Monitor status nutrisi
8. Berikan cairan IV pada suhu
ruangan
9. Dorong masukan oral
10. Berikan penggantian nesogatrik
sesuai output
2. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
3. Tawarkan snack ( jus buah, buah
segar )
4. Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul meburuk
5. Atur kemungkinan tranfusi
6. Persiapan untuk tranfusi

C. DAFTAR PUSTAKA
Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI, 2002
Soegondo S, dkk. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, cetakan keenam.
Balai Penerbit FKUI : Jakarta
Sudoyo, W Aru. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC

Syaifuddin, H. 2006. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC

You might also like