Professional Documents
Culture Documents
KAJIAN PUSTAKA
Secara fisiografi van Bemmelen (1949), membagi Pulau Sumatera menjadi enam
zona fisiografi (Gambar 2.1) yaitu: a) Zona Jajaran Barisan, b) Zona Smangko, c) Zona
Pegunungan Tigapuluh, d) Zona Kepulauan Busur Luar, e) Paparan Sunda dan f) Zona
Dataran Rendah dan Berbukit.
1) Zaman Jura – Kapur Akhir terjadi pergerakan lempeng Samudra Hindia dengan arah
barat laut secara mekanisme akan mengalami kompresi dan seiring dengan kontrol
tektonik, yang berpusat miring terhadap garis tepi arah barat barat laut-timur
menenggara Sundaland yang menginduksi vulkaniknya dan menyertai arah sesar
gesernya (zona sesar) yang saat ini dilihat sebagai kelurusan musi dan kelurusan
lematang (dengan N 30 W diarahkan pusat lempeng Samudera Hindia ke sebuah garis
tepi searah barat barat laut-timur menenggara Sundaland, sudut miring konvergensi
adalah 30⁰). Akibatnya terjadi vulkanisme menghasilkan intrusi granitoid. Disertai
arah sesar geser dekstral (Sesar Lematang) memotong sesar yang berarah utara-
selatan (Sesar Lenggaran dan Sesar Kikim).
2) Pada zaman Awal Kapur hingga Tersier Akhir merupakan fase kedua yang
berkembang ektensional. Gaya ini berorientasi utara-selatan dan barat barat laut-timur
menenggara mengalami pemekaran membentuk graben atau depresi. Hal ini
mengakibatkan Sesar Lematang berada pada timur Sesar Kikim bermula strike slip
fault berarah barat daya-timut laut (N30°E). Menjadi sesar normal berarah N 300° E.
Perkembangan selanjutnya menjadi Sesar Limau menghasilkan block horst dan
grabben. Blok tersebut adalah pembentuk basement Cekungan Sumatera Selatan.
Jalur subduksi yang mengalami pemekaran mengakibatkan intrusi vulkanik bergeser
menghasilkan Garba. Pada fase itu juga dimulainya pengisian sedimen-sedimen ke
blok grabben diatas batuan dasar bersamaan dengan aktivitas vulkanik.
3) Pada fase ketiga adalah fase adanya tektonik Miosen yang menyebabkan uplift pada
tepi-tepi cekungan dan diikuti dengan pengendapan material klastik. Ketika kala ini
terjadi pembentukan Bukit Barisan berorientasi N320°E. Hal itu juga membuat pada
fase ketiga disebut Bukit Barisan Orogeny. Akibatnya berkembanglah struktur-
struktur berupa strike slip fault pada masa Miosen Tengah disertai dengan
peningkatan laju aktivitas vulkanisme Pada kala Plio-Pleistosen yaitu fase keempat
kembali mengalami compressional. Zona subduksi berubah dari Pulau Sumatera
membentuk konvergensi oblique dan arahnya N 6 E. Hal tersebut membuat terbentuk
blok sesar mendatar “Semangko”. Akibatnya menghasilkan wrenching, rejuvenation
dan inversi tectonic. Pegunungan Bukit Barisan ini membentang luas dari utara-
selatan berbentuk miring dan berarah barat laut-tenggara. Pegunungan ini yang
membatasi Cekungan Sumatera Selatan pada bagian barat daya.
Fase transgresi, pada fase ini diendapkan dari kelompok Telisa, yang terdiri dari
Formasi Lahat, Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai. Kelompok
Telisa ini diendapakan secara tidak selaras di atas Batuan induk Pra-Tersier.
Fase regresi, pada fase ini dihasilkan endapan dari kelompok Palembang yang
terdiri dari Formasi Air Benakat, Formasi Muara enim, dan Formasi Kasai. Batuan yang
menjadi dasar cekungan diduga berupa terdiri atas batuan malihan dan batuan beku yang
berumur Mesozoikum.
Formasi ini merupakan batuan dasar (basement rock) dari Cekungan Sumatra
Selatan.Tersusun atas batuan beku Mesozoikum, batuan Metamorf Paleozoikum-
Mesozoikum, dan batuan karbonat yang termetamorfosa. Hasil dating di beberapa tempat
menunjukkan bahwa beberapa batuan berumur Cretaceouse Akhir sampai Early Eocene.
Batuan metamorf Paleozoikum-Mesozoikum dan batuan Sedimen mengalami perlipatan
dan pensesaran akibat intrusi batuan beku selama episode orogenesa Mesozoikum Tengah
(Mid-Mesozoikum).
2. Formasi Kikim Tuff dan older Lemat atau Lahat
Batuan tertua yang ditemukan pada Cekungan Sumatera Selatan adalah batuan yang
berumur Late Mesozoikum. Batuan yang ada pada Formasi ini terdiri dari batupasir tuffan,
konglomerat, breksi, dan lempung. Batuan-batuan tersebut kemungkinan merupakan
bagian dari siklus sedimentasi yang berasal dari Continental, akibat aktivitas vulkanik,
dan proses erosi dan disertai aktivitas tektonik pada Late Cretaceouse-Early Tertiary di
Cekungan Sumatera Selatan.
3. Formasi Lemat Muda atau Lahat Muda
Formasi Lemat tersusun atas klastika kasar berupa batupasir, batulempung, fragmen
batuan, breksi, “Granit Wash”, terdapat lapisan tipis batubara, dan tuff. Semuanya
diendapkan pada lingkungan kontinen. Sedangkan Anggota Benakat dari Formasi Lemat
terbentuk pada bagian tengah cekungan dan tersusun atas serpih berwarna coklat abu-abu
yang berlapis dengan serpih tuffaan (tuffaceous shales), batulanau, batupsir, terdapat
lapisan tipis batubara dan batugamping (stringer), Glaukonit; diendapkan pada
lingkungan fresh-brackish. Formasi Lemat secara normal dibatasi oleh bidang
ketidakselarasan (unconformity) pada bagian atas dan bawah Formasi. Kontak antara
Formasi Lemat dengan Formasi Talang Akar yang diintepretasikan
sebagai paraconformable. Formasi Lemat berumur Paleosen-Oligosen, dan Anggota
Benakat berumur Late Eocene-Oligosen, yang ditentukan dari spora dan pollen, juga
dengan dating K-Ar. Ketebalan Formasi ini bervariasi, lebih dari 2500kaki (+-760 M).
Pada Cekungan Sumatra Selatan dan lebih dari 3500 kaki (1070M) pada Zona Depresi
sesar di bagian tengah Cekungan (didapat dari data seismik).
4. Formasi Talang Akar
Formasi ini terletak di atas Formasi Lemat dan di bawah Formasi Telisa atau
Anggota Basal Batu gamping Telisa. Formasi Talang Akar terdiri dari batupasir yang
berasal dari delta plain, serpih, lanau, batupasir kuarsa, dengan sisipan batu lempung
karbonan, batubara dan di beberapa tempat konglomerat. Kontak antara Formasi Talang
Akar dengan Formasi Lemat tidak selaras pada bagian tengah dan pada bagian pinggir
dari cekungan kemungkinan paraconformable, sedangkan kontak antara Formasi Talang
Akar dengan Telisa dan Anggota Basal Batu gamping Telisa adalah conformable. Umur
dari Formasi Talang Akar ini adalah Oligocene-Miocen dan kemungkinan meliputi N 3
(P22), N7 dan bagian N5 berdasarkan zona Foraminifera planktonik yang ada pada sumur
yang dibor pada formasi ini berhubungan dengan delta plain dan daerah shelf.
5. Formasi Baturaja
Formasi Gumai tersebar secara luas dan terjadi pada zaman Tertiary, formasi ini
terendapkan selama fase transgresif laut maksimum, (maximum marine transgressive)
kedalam 2 cekungan. Batuan yang ada di formasi ini terdiri dari napal yang mempunyai
karakteristik fossiliferous, banyak mengandung foram plankton. Sisipan batugamping
dijumpai pada bagian bawah. Formasi Gumai berbeda fasies dengan Formasi Talang Akar
dan sebagian berada di atas Formasi Baturaja. Ketebalan dari formasi ini bervariasi
tergantung pada posisi cekungan, namun variasi ketebalan untuk Formasi Gumai ini
berkisar dari 6000 – 9000 feet (1800-2700 m).
7. Formasi Bawah Palembang (Air Benakat)
Formasi Lower Palembang diendapkan selama awal fase siklus regresi. Komposisi
dari formasi ini terdiri dari batupasir glaukonitan, batulempung, batulanau, dan batupasir
yang mengandung unsur karbonatan. Pada bagian bawah dari Formasi Lower Palembang
kontak dengan Formasi Telisa. Ketebalan dari formasi ini bervariasi dari 3300 – 5000
kaki (sekitar 1000 – 1500 m ).
8. Formasi Tengah Palembang (MuaraEnim)
Batuan penyusun yang ada pada formasi ini berupa batupasir, batulempung, dan
lapisan batubara. Batas bawah dari Formasi Middle Palembang di bagian Selatan
Cekungan berupa lapisan batubara yang biasanya digunakan sebagai marker. Jumlah
serta ketebalan lapisan-lapisan batubara menurun dari selatan ke utara pada cekungan ini.
Ketebalan formasi berkisar antara 1500 – 2500 kaki sekitar 450-750 m. (De Coster 1974)
menafsirkan formasi ini berumur Late Miocene-Pliocene, berdasarkan kedudukan
stratigrafinya. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal sampai
brackist (pada bagian dasar), delta plain dan lingkungan non marine. Formasi ini juga
merupakan formasi pembawa batubara yang dapat dibedakan menjadi 4 anggota (Gambar
2.3) terdiri dari yang tertua ke yang termuda yaitu :
a. M1 : terdiri dari pasir, lanau dan lempung berwarna coklat dan abu-abu dengan sedikit
glaukonitan. Terdiri dari seam batubara Keladi dan Merapi.
b. M2 : batas atasnya ditempatkan pada puncak seam Mangus dan batas bawah pada
lantai seam Petai. Anggota M2 terdiri dari perulangan batu lempung, lempung pasiran
berwarna coklat abuabu, pasir halus-sedang, coklat abu-abu dibagian bawah berwarna
hijau abu-abu, serta batubara. Lapisan batubara yang terdapat dalam anggota ini
terdiri dari seam Petai, Suban, dan Mangus, dengan penyebaran tidak kontinyu
c. M3 : terdiri dari perselingan pasir dan lanau, biru hijau, lempung abuabu hijau dan
coklat, horizon pasir 3-6 meter yang terletak 40 meter diatas seam Mangus dan
terdapat kantong-kantong gas. Batupasir dalam anggota ini dicirikan oleh kehadiran
nodulnodul batubesi kalsitan yang mempunyai rongga-rongga bekas gas. Terdiri dari
lapisan batubara Benuang dan Burung.
d. M4 : terutama disusun oleh batulempung dan batupasir serta beberapa lapisan
batubara. Lapisan batubara terdiri dari seam Kebon, Enim, Jelawatan dan Niru.
9. Formasi Atas Palembang (Kasai)
Formasi ini merupakan formasi yang paling muda di Cekungan Sumatra Selatan.
Formasi ini diendapkan selama orogenesa pada Plio-Pleistocen dan dihasilkan dari proses
erosi Pegunungan Barisan dan Tigapuluh. Komposisi dari formasi ini terdiri dari
batupasir tuffan, lempung, dan kerakal dan lapisan tipis batubara. Umur dari formasi ini
tidak dapat dipastikan, tetapi diduga Plio-Pleistocen dan lingkungan pengendapannya
darat.
Gambar 2.4. Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan (Sutriyono, E., 2016) dan
pembagian Seam batubara Formasi Muara Enim (Shell, 1976) Modifikasi.
Gambar 2.5. Struktur pada Cekungan Sumatera Selatan yang memperlihatkan sebaran lipatan
dan sesar (Barber,2005).
Pada Cekungan Sumatra Selatan dapat diamati adanya 3 pola sesar utama, yang
sebagian besar di rekam dari data geofisik (seismik dan gayaberat) dan dari hasil korelasi
pemboran (Pulunggono, 1992). Arah-arah tersebut adalah : baratlaut – tenggara, utara –
selatan , timurlaut – baratdaya (Gambar 2.6). Hal ini disebabkan terjadinya perubahan
arah subduksi pada Jura Akhir-Kapur Akhir, Kapur Akhir - Tersier Awal, Miosen
Tengah-Resen.
Gambar 2.6. Model Ellipsoid pada Pulau Sumatera dari Jura Akhir – Resen (Pulunggono,1992)
Modifikasi.
1) Mesozoikum Tengah
Pada saat ini batuan-batuan yang berumur Paleozoikum dan awal Mesozoikum
mengalami perlipatan, pengangkatan, pensesaran, metamorfisme yang kemudian menjadi
zona kompleks pembentuk kerangka struktur dasar Sumatra. Batuan Mesozoikum Tengah
tersingkap di sepanjang Bukit Barisan dan Tigapuluh, Duabelas, dan beberapa
pegunungan yang berada di daerah cekungan. Berdasarkan pengamatan anomali gaya
berat dan arah penyebaran batas litologi batuan yang berumur Paleozoikum dan
Mesozoikum, ditemukan adanya suatu patahan baratlaut- tenggara (arah sumatra) dan
sejajar batas penyebaran batuan Pra- Tersier.
4) Plio-Pleistosen
Peristiwa tektonik pada Plio-Pleistosen merupakan yang terkahir yang memengaruhi
perkembangan geologi Sumatra. Pada peristiwa ini terjadi pengangkatan Pegunungan
Bukit Barisan, perkembangan sesar geser Semangko di sepanjang Pegunungna Bukit
Barisan, pembentukan gunungapi , perlipatan dan pensesaran batuan seperti yang kita
ketahui pada saat ini.
Pada masa ini dihasilkan :
4) Antiklinorium Gumai, terdiri dari enam atau lebih antiklin kecil yang saling
berhubungan, secara umum memiliki jurus Timur-Barat, sangat tidak simetris dengan
kemiringan curam, sisi sebelah Utara secara lokasl mengalami pembalikan
(overtuned). Formasi tertua yang ada dipermukaan adalah Formasi Lower Palembang
atau Air Benakat.
Gambar 2.7. Struktur basement Cekungan Sumatera Selatan (Barber,2005).
Analisis komposisi abu (ash content) batubara berguna dalam deskripsi total
kualitas batubara . Pengetahuan tentang komposisi abu berguna dalam memprediksi
perilaku abu dan terak di ruang pembakaran . Jumlah dan komposisi abu penting dalam
menentukan metode pembersihan terbaik untuk batubara , dalam memilih batu bara yang
akan digunakan dalam produksi coke, dan dalam memilih peralatan penghancur yang
akan digunakan dalam operasi penghancuran komersial. Pemanfaatan abu oleh-produk
dari pembakaran batubara terkadang tergantung pada komposisi kimia dari abu (Speight,
2005).
Penentuan elemen dalam abu batubara, dalam persiapan sampel abu untuk analisis,
pembakaran lambat dari sampel batubara diperlukan untuk mencegah retensi sulfur sulfat
dalam abu. Retensi sulfur sebagai kalsium sulfat (CaSO4) dalam abu batubara [900◦C
(1650◦F)] berkaitan dengan jumlah kalsium dan sulfur di seluruh batubara dan suhu
pengabuan untuk yang dikenakan. Besi oksida terbentuk selama oksidasi pirit kontribusi
terhadap oksidasi katalitik belerang dioksida (SO2) ke sulfur trioksida (SO3), yang
bereaksi dengan kalsium untuk membentuk kalsium sulfat (CaSO4) selama proses
pengabuan. Jumlah sulfur dipertahankan dalam abu pembangkit listrik terbentuk pada
suhu melebihi 1000◦C (1832◦F) terkait langsung dengan konsentrasi karbon yang tidak
terbakar. Jika laju pembakaran terlalu cepat, beberapa oksida belerang yang dihasilkan
dari pembakaran pirit dapat bereaksi dengan oksida logam untuk membentuk sulfat stabil.
Hasilnya adalah bahwa index jumlah fi nite sulfur dipertahankan, yang memperkenalkan
kesalahan ke semua hasil analisis kecuali semua item lain yang dikoreksi dasar SO3
bebas.