You are on page 1of 13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Geologi Regional


2.1.1. Tatanan Tektonik
Secara fisiografi daerah telitian termasuk ke dalam Pulau Sumatera yang memiliki
orientasi fisiografi berarah barat laut dan terletak dibagian barat Paparan Sunda dan
disebelah selatan Lempeng Eurasia. Ciri khas fisiografi yang dimiliki Pulau Sumatera
adalah keterdapatannya Pegunungan. Bukit Barisan disebelah barat pulau yang
memanjang disepanjang Pulau Sumatera. Cekungan Sumatra Selatan merupakan salah
satu jenis cekungan busur belakang (back arc basin). Cekungan ini dibatasi di bagian
utara oleh Pegunungan Tigapuluh, di bagian barat berbatasan dengan Pegunungan Bukit
Barisan, dan di bagian timur dibatasi oleh Tinggian Palembang dan Lampung (De Coster,
1974 dalam Setiadi dkk., 2010). Cekungan Sumatra Selatan terbentuk selama fase
ekstensi dengan arah timur-barat yang dimulai pada umur Pratersier Akhir hingga Tersier.
Blok tinggian dan graben dengan arah relatif barat laut - tenggara dan utara – selatan
terbentuk selama fase awal ekstensi yang dimulai dari Kapur Akhir hingga Oligosen Awal
karena aktivitas pergerakan lempeng kolisi India-Eurasia (Bishop, 2001 dalam Setiadi
dkk., 2010).

Secara fisiografi van Bemmelen (1949), membagi Pulau Sumatera menjadi enam
zona fisiografi (Gambar 2.1) yaitu: a) Zona Jajaran Barisan, b) Zona Smangko, c) Zona
Pegunungan Tigapuluh, d) Zona Kepulauan Busur Luar, e) Paparan Sunda dan f) Zona
Dataran Rendah dan Berbukit.

Gambar 2.1. Zona fisiografi Pulau Sumatera (van Bemmelen, 1949).


Secara regional lokasi telitian berada pada Cekungan Sumatera Selatan yang
merupakan zona busur belakang Sumatera yang terbentuk akibat pergerakan Lempeng
Eurasia. Cekungan ini terbentuk akibat adanya pergerakan Lempeng India – Australia di
sepanjang Lempeng Eurasia. Cekungan ini terletak dibagian timur laut tepian sunda
shield dengan dibatasi Pegunungan Barisan di sebelah barat daya, berbatasan dengan
pegunungan barisan disebelah barat daya, berbatasan dengan Pegunungan Tiga Puluh di
barat laut yang memisahkan cekungan ini dari Cekungan Sumatera Tengah , serta di
sebelah Tenggara di batasi oleh dataran tinggi (Gambar 2.1).

Gambar 2.2. Tektonik Sumatera Selatan (Pulonggono, 1992).

Tatanan tektonik Cekungan Sumatera Selatan memiliki kelurusan berarah barat


laut-tenggara yang paralel dengan trend strike slip fault Pulau Sumatera (Gambar 2.1).
Pulonggono (1986) menyatakan, terdapat perlipatan yang menunjam yaitu assymetrical-
overtuned dengan sayap perlipatan yang cukup curam pada bagian utara dengan arah
umum utara barat laut-selatan menenggara. Menurut Pulunggono dkk., (1992)
perkembangan tektonik di Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi empat fase yaitu
(Gambar 2.3) :

1) Zaman Jura – Kapur Akhir terjadi pergerakan lempeng Samudra Hindia dengan arah
barat laut secara mekanisme akan mengalami kompresi dan seiring dengan kontrol
tektonik, yang berpusat miring terhadap garis tepi arah barat barat laut-timur
menenggara Sundaland yang menginduksi vulkaniknya dan menyertai arah sesar
gesernya (zona sesar) yang saat ini dilihat sebagai kelurusan musi dan kelurusan
lematang (dengan N 30 W diarahkan pusat lempeng Samudera Hindia ke sebuah garis
tepi searah barat barat laut-timur menenggara Sundaland, sudut miring konvergensi
adalah 30⁰). Akibatnya terjadi vulkanisme menghasilkan intrusi granitoid. Disertai
arah sesar geser dekstral (Sesar Lematang) memotong sesar yang berarah utara-
selatan (Sesar Lenggaran dan Sesar Kikim).
2) Pada zaman Awal Kapur hingga Tersier Akhir merupakan fase kedua yang
berkembang ektensional. Gaya ini berorientasi utara-selatan dan barat barat laut-timur
menenggara mengalami pemekaran membentuk graben atau depresi. Hal ini
mengakibatkan Sesar Lematang berada pada timur Sesar Kikim bermula strike slip
fault berarah barat daya-timut laut (N30°E). Menjadi sesar normal berarah N 300° E.
Perkembangan selanjutnya menjadi Sesar Limau menghasilkan block horst dan
grabben. Blok tersebut adalah pembentuk basement Cekungan Sumatera Selatan.
Jalur subduksi yang mengalami pemekaran mengakibatkan intrusi vulkanik bergeser
menghasilkan Garba. Pada fase itu juga dimulainya pengisian sedimen-sedimen ke
blok grabben diatas batuan dasar bersamaan dengan aktivitas vulkanik.
3) Pada fase ketiga adalah fase adanya tektonik Miosen yang menyebabkan uplift pada
tepi-tepi cekungan dan diikuti dengan pengendapan material klastik. Ketika kala ini
terjadi pembentukan Bukit Barisan berorientasi N320°E. Hal itu juga membuat pada
fase ketiga disebut Bukit Barisan Orogeny. Akibatnya berkembanglah struktur-
struktur berupa strike slip fault pada masa Miosen Tengah disertai dengan
peningkatan laju aktivitas vulkanisme Pada kala Plio-Pleistosen yaitu fase keempat
kembali mengalami compressional. Zona subduksi berubah dari Pulau Sumatera
membentuk konvergensi oblique dan arahnya N 6 E. Hal tersebut membuat terbentuk
blok sesar mendatar “Semangko”. Akibatnya menghasilkan wrenching, rejuvenation
dan inversi tectonic. Pegunungan Bukit Barisan ini membentang luas dari utara-
selatan berbentuk miring dan berarah barat laut-tenggara. Pegunungan ini yang
membatasi Cekungan Sumatera Selatan pada bagian barat daya.

Gambar 2.3. Perkembangan Tektonik Cekungan Sumatera Selatan (Pulonggono, 1992).


2.1.2. Stratigrafi Regional
Sedimentasi di Cekungan Sumatera Selatan berlangsung menerus selama zaman
Tertiary disertai dengan penurunan dasar cekungan hingga ketebalan sedimen mencapai
600 meter (van Bemmelen, 1949). Stratigrafi daerah Cekungan Sumatra Selatan secara
umum dapat dikenal satu megacycle (daur besar) yang terdiri dari fase transgresi dan
diikuti fase regresi. Fase transgresi termuda terendapkan pada Early Miocene-Mid
Miocene (Adiwijaya, 1973). Formasi yang terbentuk selama fase transgresi
dikelompokkan menjadi Kelompok Telisa (Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, dan
Formasi Gumai). Kelompok Palembang diendapkan selama fase regresi (Formasi Air
Benakat, Formasi Muara Enim, dan Formasi Kasai), sedangkan Formasi Lemat dan older
Lemat diendapkan sebelum fase Transgresi utama.

Fase transgresi, pada fase ini diendapkan dari kelompok Telisa, yang terdiri dari
Formasi Lahat, Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai. Kelompok
Telisa ini diendapakan secara tidak selaras di atas Batuan induk Pra-Tersier.
Fase regresi, pada fase ini dihasilkan endapan dari kelompok Palembang yang
terdiri dari Formasi Air Benakat, Formasi Muara enim, dan Formasi Kasai. Batuan yang
menjadi dasar cekungan diduga berupa terdiri atas batuan malihan dan batuan beku yang
berumur Mesozoikum.

Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan menurut De Coster 1974 (Gambar 2.4.)


adalah sebagai berikut:
1. Kelompok Pra Tersier

Formasi ini merupakan batuan dasar (basement rock) dari Cekungan Sumatra
Selatan.Tersusun atas batuan beku Mesozoikum, batuan Metamorf Paleozoikum-
Mesozoikum, dan batuan karbonat yang termetamorfosa. Hasil dating di beberapa tempat
menunjukkan bahwa beberapa batuan berumur Cretaceouse Akhir sampai Early Eocene.
Batuan metamorf Paleozoikum-Mesozoikum dan batuan Sedimen mengalami perlipatan
dan pensesaran akibat intrusi batuan beku selama episode orogenesa Mesozoikum Tengah
(Mid-Mesozoikum).
2. Formasi Kikim Tuff dan older Lemat atau Lahat

Batuan tertua yang ditemukan pada Cekungan Sumatera Selatan adalah batuan yang
berumur Late Mesozoikum. Batuan yang ada pada Formasi ini terdiri dari batupasir tuffan,
konglomerat, breksi, dan lempung. Batuan-batuan tersebut kemungkinan merupakan
bagian dari siklus sedimentasi yang berasal dari Continental, akibat aktivitas vulkanik,
dan proses erosi dan disertai aktivitas tektonik pada Late Cretaceouse-Early Tertiary di
Cekungan Sumatera Selatan.
3. Formasi Lemat Muda atau Lahat Muda

Formasi Lemat tersusun atas klastika kasar berupa batupasir, batulempung, fragmen
batuan, breksi, “Granit Wash”, terdapat lapisan tipis batubara, dan tuff. Semuanya
diendapkan pada lingkungan kontinen. Sedangkan Anggota Benakat dari Formasi Lemat
terbentuk pada bagian tengah cekungan dan tersusun atas serpih berwarna coklat abu-abu
yang berlapis dengan serpih tuffaan (tuffaceous shales), batulanau, batupsir, terdapat
lapisan tipis batubara dan batugamping (stringer), Glaukonit; diendapkan pada
lingkungan fresh-brackish. Formasi Lemat secara normal dibatasi oleh bidang
ketidakselarasan (unconformity) pada bagian atas dan bawah Formasi. Kontak antara
Formasi Lemat dengan Formasi Talang Akar yang diintepretasikan
sebagai paraconformable. Formasi Lemat berumur Paleosen-Oligosen, dan Anggota
Benakat berumur Late Eocene-Oligosen, yang ditentukan dari spora dan pollen, juga
dengan dating K-Ar. Ketebalan Formasi ini bervariasi, lebih dari 2500kaki (+-760 M).
Pada Cekungan Sumatra Selatan dan lebih dari 3500 kaki (1070M) pada Zona Depresi
sesar di bagian tengah Cekungan (didapat dari data seismik).
4. Formasi Talang Akar

Formasi ini terletak di atas Formasi Lemat dan di bawah Formasi Telisa atau
Anggota Basal Batu gamping Telisa. Formasi Talang Akar terdiri dari batupasir yang
berasal dari delta plain, serpih, lanau, batupasir kuarsa, dengan sisipan batu lempung
karbonan, batubara dan di beberapa tempat konglomerat. Kontak antara Formasi Talang
Akar dengan Formasi Lemat tidak selaras pada bagian tengah dan pada bagian pinggir
dari cekungan kemungkinan paraconformable, sedangkan kontak antara Formasi Talang
Akar dengan Telisa dan Anggota Basal Batu gamping Telisa adalah conformable. Umur
dari Formasi Talang Akar ini adalah Oligocene-Miocen dan kemungkinan meliputi N 3
(P22), N7 dan bagian N5 berdasarkan zona Foraminifera planktonik yang ada pada sumur
yang dibor pada formasi ini berhubungan dengan delta plain dan daerah shelf.
5. Formasi Baturaja

Anggota ini dikenal dengan Formasi Baturaja. Diendapkan pada bagian


intermediate-shelfal dari Cekungan Sumatera Selatan, di atas dan di sekitar platform dan
tinggian. Kontak pada bagian bawah dengan Formasi Talang Akar atau dengan batuan
PraTersier. Komposisi dari Formasi Baturaja ini terdiri dari Batugamping Bank (Bank
Limestone) atau platform dan reefal. Ketebalan bagian bawah dari formasi ini bervariasi,
namun rata-rata 200-250 feet (sekitar 60-75 m). Singkapan dari Formasi Baturaja di
Pegunungan Garba tebalnya sekitar 1700 feet (sekitar 520 m). Formasi ini
sangat fossiliferous dan dari analisis umur anggota ini berumur Miosen. Fauna yang ada
pada Formasi Baturaja umurnya N6-N7.
6. Formasi Telisa (Gumai)

Formasi Gumai tersebar secara luas dan terjadi pada zaman Tertiary, formasi ini
terendapkan selama fase transgresif laut maksimum, (maximum marine transgressive)
kedalam 2 cekungan. Batuan yang ada di formasi ini terdiri dari napal yang mempunyai
karakteristik fossiliferous, banyak mengandung foram plankton. Sisipan batugamping
dijumpai pada bagian bawah. Formasi Gumai berbeda fasies dengan Formasi Talang Akar
dan sebagian berada di atas Formasi Baturaja. Ketebalan dari formasi ini bervariasi
tergantung pada posisi cekungan, namun variasi ketebalan untuk Formasi Gumai ini
berkisar dari 6000 – 9000 feet (1800-2700 m).
7. Formasi Bawah Palembang (Air Benakat)
Formasi Lower Palembang diendapkan selama awal fase siklus regresi. Komposisi
dari formasi ini terdiri dari batupasir glaukonitan, batulempung, batulanau, dan batupasir
yang mengandung unsur karbonatan. Pada bagian bawah dari Formasi Lower Palembang
kontak dengan Formasi Telisa. Ketebalan dari formasi ini bervariasi dari 3300 – 5000
kaki (sekitar 1000 – 1500 m ).
8. Formasi Tengah Palembang (MuaraEnim)

Batuan penyusun yang ada pada formasi ini berupa batupasir, batulempung, dan
lapisan batubara. Batas bawah dari Formasi Middle Palembang di bagian Selatan
Cekungan berupa lapisan batubara yang biasanya digunakan sebagai marker. Jumlah
serta ketebalan lapisan-lapisan batubara menurun dari selatan ke utara pada cekungan ini.
Ketebalan formasi berkisar antara 1500 – 2500 kaki sekitar 450-750 m. (De Coster 1974)
menafsirkan formasi ini berumur Late Miocene-Pliocene, berdasarkan kedudukan
stratigrafinya. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal sampai
brackist (pada bagian dasar), delta plain dan lingkungan non marine. Formasi ini juga
merupakan formasi pembawa batubara yang dapat dibedakan menjadi 4 anggota (Gambar
2.3) terdiri dari yang tertua ke yang termuda yaitu :

a. M1 : terdiri dari pasir, lanau dan lempung berwarna coklat dan abu-abu dengan sedikit
glaukonitan. Terdiri dari seam batubara Keladi dan Merapi.
b. M2 : batas atasnya ditempatkan pada puncak seam Mangus dan batas bawah pada
lantai seam Petai. Anggota M2 terdiri dari perulangan batu lempung, lempung pasiran
berwarna coklat abuabu, pasir halus-sedang, coklat abu-abu dibagian bawah berwarna
hijau abu-abu, serta batubara. Lapisan batubara yang terdapat dalam anggota ini
terdiri dari seam Petai, Suban, dan Mangus, dengan penyebaran tidak kontinyu
c. M3 : terdiri dari perselingan pasir dan lanau, biru hijau, lempung abuabu hijau dan
coklat, horizon pasir 3-6 meter yang terletak 40 meter diatas seam Mangus dan
terdapat kantong-kantong gas. Batupasir dalam anggota ini dicirikan oleh kehadiran
nodulnodul batubesi kalsitan yang mempunyai rongga-rongga bekas gas. Terdiri dari
lapisan batubara Benuang dan Burung.
d. M4 : terutama disusun oleh batulempung dan batupasir serta beberapa lapisan
batubara. Lapisan batubara terdiri dari seam Kebon, Enim, Jelawatan dan Niru.
9. Formasi Atas Palembang (Kasai)
Formasi ini merupakan formasi yang paling muda di Cekungan Sumatra Selatan.
Formasi ini diendapkan selama orogenesa pada Plio-Pleistocen dan dihasilkan dari proses
erosi Pegunungan Barisan dan Tigapuluh. Komposisi dari formasi ini terdiri dari
batupasir tuffan, lempung, dan kerakal dan lapisan tipis batubara. Umur dari formasi ini
tidak dapat dipastikan, tetapi diduga Plio-Pleistocen dan lingkungan pengendapannya
darat.

Gambar 2.4. Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan (Sutriyono, E., 2016) dan
pembagian Seam batubara Formasi Muara Enim (Shell, 1976) Modifikasi.

2.1.3. Struktur Geologi Regional


Struktur yang dijumpai pada Cekungan Sumatra Selatan adalah lipatan, sesar dan
kekar yang sebagian besar terjadi pada batuan Tersier. Lipatan yang terjadi pada
umumnya berarah baratlaut – tenggara sampai barat – timur , pada batuan yang berumur
Oligosen-Miosen sampai Plio-Plistosen (Gambar 2.5). Sesar turun, berarah baratlaut-
tenggara, terjadi pada batuan yang berumur Oligosen-Miosen sampai Miosen Tengah,
dan pada batuan yang berumur Miosen sampai Plio-Plistosen memiliki arah
timurlautbaratdaya sampai utara-selatan. Kekar yang terjadi pada umumnya berarah
timurlaut – baratdaya sampai timur – barat .

Gambar 2.5. Struktur pada Cekungan Sumatera Selatan yang memperlihatkan sebaran lipatan
dan sesar (Barber,2005).

Pada Cekungan Sumatra Selatan dapat diamati adanya 3 pola sesar utama, yang
sebagian besar di rekam dari data geofisik (seismik dan gayaberat) dan dari hasil korelasi
pemboran (Pulunggono, 1992). Arah-arah tersebut adalah : baratlaut – tenggara, utara –
selatan , timurlaut – baratdaya (Gambar 2.6). Hal ini disebabkan terjadinya perubahan
arah subduksi pada Jura Akhir-Kapur Akhir, Kapur Akhir - Tersier Awal, Miosen
Tengah-Resen.

Perlipatan yang melibatkan semua batuan Tersier di cekungan Sumatra Selatan,


memperlihatkan arah yang hampir sama yaitu baratlaut-tenggara, kurang lebih tegaklurus
pada Tegasan Sumatera yang berarah timurlaut-baratdaya. Pola-pola sesar ini juga
berperan sebagai kontrol dalam sebaran dan bentuk daripada cekungan dan sub-sub
cekungan di Sumatra Selatan.

Gambar 2.6. Model Ellipsoid pada Pulau Sumatera dari Jura Akhir – Resen (Pulunggono,1992)
Modifikasi.

Sejarah tektonik yang berkembang membentuk struktur pada cekungan Sumatra


Selatan dari Mesozoikum Tengah sampai Resen dapat dibagi menjadi empat peristiwa
utama (de Coster, 1974) (Gambar 2.7) :

1) Mesozoikum Tengah
Pada saat ini batuan-batuan yang berumur Paleozoikum dan awal Mesozoikum
mengalami perlipatan, pengangkatan, pensesaran, metamorfisme yang kemudian menjadi
zona kompleks pembentuk kerangka struktur dasar Sumatra. Batuan Mesozoikum Tengah
tersingkap di sepanjang Bukit Barisan dan Tigapuluh, Duabelas, dan beberapa
pegunungan yang berada di daerah cekungan. Berdasarkan pengamatan anomali gaya
berat dan arah penyebaran batas litologi batuan yang berumur Paleozoikum dan
Mesozoikum, ditemukan adanya suatu patahan baratlaut- tenggara (arah sumatra) dan
sejajar batas penyebaran batuan Pra- Tersier.

2) Kapur Akhir – Tersier Awal


Pada Kapur Akhir- Tersier Awal terjadi tensile stress pada area cekungan Sumatra
Selatan yang menciptakan fase ekstensi. Tensile stress pada Cekugan Sumatra Selatan
menghasilkan struktur-struktur yang berhubungan dengan sesar geser dengan arah utara-
selatan. Batuan yang diduga memiliki umur Kapur Akhir- Tersier Awal tersingkap berupa
batuan Tufa dan klastik pada sumur Lawu dan sepanjang pegunungan di bagian tenggara
Lahat.
3) Miosen Tengah
Pada Tersier Awal – Miosen, terjadi subsiden pada cekungan Sumatra Selatan dan
pengendapan sedimen Tersier. Subsiden ini diselingi peristiwa diastrophisme pada
pegunungan Bukit Barisan dan pergerakan struktur minor di daerah cekungan Sumatra
Selatan. Pada masa tektonik ini dihasilkan sesar turun dan ketidakselarasan setempat.

4) Plio-Pleistosen
Peristiwa tektonik pada Plio-Pleistosen merupakan yang terkahir yang memengaruhi
perkembangan geologi Sumatra. Pada peristiwa ini terjadi pengangkatan Pegunungan
Bukit Barisan, perkembangan sesar geser Semangko di sepanjang Pegunungna Bukit
Barisan, pembentukan gunungapi , perlipatan dan pensesaran batuan seperti yang kita
ketahui pada saat ini.
Pada masa ini dihasilkan :

1) Semangko wrench fault.


2) Perlipatan dengan arah utama baratlaut – tenggara akibat Sesar Semangko.
3) Patahan-patahan yang berasosiasi dengan perlipatan.
Perlipatan di Cekungan Sumatera Selatan menghasilkan :

1) Antiklinorium Muara Enim, merupakan antiklin yang besar dengan ekspresi


permukaan yang kuat dan dengan singkapan batuan dasar Pra-Tersier. Didekat daerah
Lahat menujam kea rah Timur, sisi Utara terdapat banyak lapisan batubara dengan
kemiringan curam dan terdapat banyak bagian yang tersesarkan di sisi Selatan.
Sebaliknya dibagian Barat pegunungan Gumai dapat diamati dengan kemiringan
lebih curam disisi Selatan dan sisi Utara dengan kemiringan relative landai.

2) Antiklinorium Pendopo-Limau, terdiri dari dua antiklin parallel yang merupakan


daerah lapangan minyak terbesar di Sumatera Selatan. Pada sisi Barat Daya antiklin
kemiringan lebih curam dan dibatasi oleh sesar, dan terdapat bagian yang tertutup
oleh batas half-graben. Formasi tertua yang tersingkap dipuncak adalah Formasi
Gumai.
3) Antiklinorium Palembang, merupakan antiklinorium merupakan anticlinorium yang
besar terdiri dari beberapa antiklin. Batuan tertua yang tersingkap adalah Formasi
Talang Akar dan Batuan Dasar Pra-Tersier. Sisi Selatan cenderung mejadi lebih
curam dibandingkan sisi Utara atau Timur Laut (Pulonggono,1984).

4) Antiklinorium Gumai, terdiri dari enam atau lebih antiklin kecil yang saling
berhubungan, secara umum memiliki jurus Timur-Barat, sangat tidak simetris dengan
kemiringan curam, sisi sebelah Utara secara lokasl mengalami pembalikan
(overtuned). Formasi tertua yang ada dipermukaan adalah Formasi Lower Palembang
atau Air Benakat.
Gambar 2.7. Struktur basement Cekungan Sumatera Selatan (Barber,2005).

2.2 Kandungan Abu (Ash Content)


Abu pada batubara adalah bahan mineral yang tidak dapat dibakar. Dilihat dari asal
terjadinya ash, terdapat dua jenis, yaitu: inherent dan extraneous. Inherent adalah ash
yang berhubungan dengan tumbuhan asal pembentukan batubara, ash ini tidak dapat
dihilangkan atau dicuci sedangkan extraneous yang terdapat di antara lapisan batubara,
berupa batupasir, lempung atau batugamping, bahan-bahan ini dapat dihilangkan dengan
pencucian. Batubara memiliki ciri khas kualitas yang berbeda disetiap zonanya. Gambut
yag tertindih dan tercuci oleh air laut memiliki ash content yang lebih rendah, hal ini
menunjukan bahwa benar kualitas batubara salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan
pengendapan. Selain itu, kualitas batubara sangat dipengaruhi oleh proses fisika dan
kimia dari batuan itu sendiri yang berlangsung selama jutaan tahun. Kualitas suatu
batubara dapat di tentukan dengan analisis parameter tertentu baik secara fisika maupun
secara kimia, salah satu yang digunakan dalam analisis kualitas batubara yaitu analisis
proksimat dan analisis ultima yang menghasilkan data ADB (Air dried Basis). Ash
content atau kandungan abu merupakan sisa-sisa zat anorganik yang terkandung dalam
batubara setelah dibakar. Ash content tersebut dapat dihasilkan dari pengotor bawaan
dalam proses pembentukan batubara maupun dari proses penambangan yang dinyatakan
dalam persentase, dasar pelaporan dalam kondisi bebas air permukaan.
Menururt Speight (2005), abu terbentuk sebagai hasil dari perubahan kimia yang
terjadi didalam mineral selama proses pengabuan. Kuantitas abu bisa lebih dari, sama
dengan, atau kurang dari jumlah bahan mineral dalam batubara, tergantung pada sifat dari
materi mineral dan perubahan kimia yang terjadi di pengabuan. Berbagai perubahan yang
terjadi meliputi 1) hilangnya air dari mineral silikat, 2) hilangnya karbon dioksida dari
mineral karbonat, 3) oksidasi pirit besi oksida besi, dan 4) fixation oksida belerang dengan
basis seperti kalsium dan magnesium. Bahkan, kondisi insinerasi menentukan sejauh
mana perubahan berat badan terjadi, dan adalah penting bahwa prosedur standar harus
diikuti untuk memastikan reproduktifitas. Ada dua jenis mineral dalam batubara: 1)
materi mineral asing (Extraneous mineral matter) dan 2) bahan mineral yang melekat
(Inherent mineral matter). Bahan mineral asing terdiri dari bahan seperti kalsium,
magnesium, karbonat besi, pirit, marcasite, tanah liat, serpih, pasir, dan gipsum. Bahan
mineral melekat bahan mineral merupakan unsur anorganik dikombinasikan dengan
komponen organik batubara yang berasal dari bahan tanaman yang batubara dibentuk.
Penggunaan batubara dengan bahan mineral yang menyisakan abu - alkali - oksida
yang tinggi sering kali menyebabkan masalah slagging dan fouling . Oksida , sebagian
besar elemen abu memiliki titik leleh yang tinggi , tetapi mereka cenderung membentuk
senyawa kompleks ( sering disebut campuran eutektik ) yang memiliki titik lebur yang
relatif rendah . Di sisi lain , tinggi kalsium , besi rendah bara abu cenderung menunjukkan
kecenderungan untuk menghasilkan slag - leleh - range slag (Yaezab,1978). Dalam
beberapa metode yang digunakan dalam pengujian abu, dianjurkan bahwa warna abu
dicatat, karena memberikan indikasi perkiraan titik fusi . Umumnya , abu sangat berwarna
memiliki titik fusi rendah, sedangkan abu putih , asalkan pada dasarnya tidak ada oksida
dasar , memiliki titik fusi yang tinggi. Sedangkan, variasi jumlah abu timbul dari retensi
belerang yang berasal dari pirit pada lapisan batubara tersebut.
Kandungan abu didalam batubara sangat menghambat dalam proses pembakaran
batubara. Batubara dapat dimanfaatkan apabila kandungan abu didalamnya sudah
melebur. Terdapat dua jenis abu didalam limbah hasil pembakaran abu batubara yaitu fly
ash dan bottom ash (Gambar 2.8). Apabila batubara dibakar dengan type dry bottom
boiler, maka kurang lebih 80% dari abu meninggalkan pembakaran sebagai fly ash dan
masuk dalam corong gas. Apabila batubara dibakar dengan wet-bottom boiler sebanyak
50% dari abu tertinggal di pembakaran dan 50% lainnya masuk dalam corong gas dan
meninggalkan bottom ash. Fly ash dan bottom ash ini terdapat dalam jumlah yang cukup
besar, sehingga memerlukan pengelolaan agar tidak menimbulkan masalah lingkungan,
seperti pencemaran udara, atau perairan, dan penurunan kualitas ekosistem.
Gambar 2.8. Proses penguraian fly ash dan bottom ash.

Analisis komposisi abu (ash content) batubara berguna dalam deskripsi total
kualitas batubara . Pengetahuan tentang komposisi abu berguna dalam memprediksi
perilaku abu dan terak di ruang pembakaran . Jumlah dan komposisi abu penting dalam
menentukan metode pembersihan terbaik untuk batubara , dalam memilih batu bara yang
akan digunakan dalam produksi coke, dan dalam memilih peralatan penghancur yang
akan digunakan dalam operasi penghancuran komersial. Pemanfaatan abu oleh-produk
dari pembakaran batubara terkadang tergantung pada komposisi kimia dari abu (Speight,
2005).
Penentuan elemen dalam abu batubara, dalam persiapan sampel abu untuk analisis,
pembakaran lambat dari sampel batubara diperlukan untuk mencegah retensi sulfur sulfat
dalam abu. Retensi sulfur sebagai kalsium sulfat (CaSO4) dalam abu batubara [900◦C
(1650◦F)] berkaitan dengan jumlah kalsium dan sulfur di seluruh batubara dan suhu
pengabuan untuk yang dikenakan. Besi oksida terbentuk selama oksidasi pirit kontribusi
terhadap oksidasi katalitik belerang dioksida (SO2) ke sulfur trioksida (SO3), yang
bereaksi dengan kalsium untuk membentuk kalsium sulfat (CaSO4) selama proses
pengabuan. Jumlah sulfur dipertahankan dalam abu pembangkit listrik terbentuk pada
suhu melebihi 1000◦C (1832◦F) terkait langsung dengan konsentrasi karbon yang tidak
terbakar. Jika laju pembakaran terlalu cepat, beberapa oksida belerang yang dihasilkan
dari pembakaran pirit dapat bereaksi dengan oksida logam untuk membentuk sulfat stabil.
Hasilnya adalah bahwa index jumlah fi nite sulfur dipertahankan, yang memperkenalkan
kesalahan ke semua hasil analisis kecuali semua item lain yang dikoreksi dasar SO3
bebas.

You might also like