You are on page 1of 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh karena toxin dari bakteri yang ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit
dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah
Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari
bakteri ini.
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit,
konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala lokal dan
sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh
mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari,
penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier.
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera.
Bayi baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya
akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang
mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut.
Saat ini, di Indonesia telah terjadi peningkatan kasus difteri di berbagai
wilayah, sehingga telah menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), dimana data terbaru
dari kementrian kesehatan pada awal desember 2017, menunjukkan bahwa wabah
difteri telah tersebar di 20 provinsi dan 95 kota.
Data kasus difteri menunjukkan bahwa 68-74% antaranyya adalah anak di
bawah usia 15 tahun, sedangkan sisanya adalah dewasa dan lansia. Keadaan ini
menggambarkan tidak tercapai serta tidak meratanya cakupan imunisasi di Indonesia.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan

1
- Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi dan diagnosis serta tatalaksana
difteri.
- Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
- Memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak di Rumah Sakit Achmad Mochtar Bukittinggi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1 Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi yang bisa menular yang disebabkan oleh
bakteri coryneabacterium diphteria yang berasal dari membran mukosa hidung dan
nasofaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi.
Menurut Sarah S Long, difteri merupakan toksiko infeksi yang di sebabkan
oleh Coryneabacterium Diphteria, dimana penyakit ini mudah menular dan yang
diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya
pseudo membran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala
umum dan lokal.
Berdasarkan panduan WHO, definisi kasus klinis pada KLB difteri adalah
laryngitis, faringitis atau tonsillitis yang di sertai dengan pseudomembran pada tonsil,
faring dan/atau hidung. Isolasi C. Diphteria dari apus tenggorok merupakan kriteria
diagnostic laboratorium.

2.2 Etiologi
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif
(basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan
pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau
merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam
pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit
agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila
direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau
dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung
serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi
granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni
akan berwarna krem.
Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama
dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga

3
untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara
fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa.
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius
dan mitis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan
spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini
mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai
kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae.
Ciri khas C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik
in-vivo maupun in-vitro, toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in
vivo pada marmut (uji kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik
imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan.
Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak
tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal)
dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa
diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.

Gambar 1. Mikroskopik Corynebacterium Diphteriae

2.2. Patogenesis
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang
biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh

4
melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh
manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein
dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA
yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini
akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan
cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan
pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P.
Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi
enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif)
+ H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi
tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.
Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan jaringan nekrotik
membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin
banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah
suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah
darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit
dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya
akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat
menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan
penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam
tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan
ginjal.
Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan
penetrasi kedalam sel.

5
Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi
sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari,
manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang
mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ
dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada
serat otot dan system konduksi.
Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada
saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis
hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal
dan nekrosis tubular akut pada ginjal.

2.4 Manifestasi Klinis


Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi
serta toksigenitas C. diphtheriae (kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi
penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan
penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa
tunas 2 hari. Pasien pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari
menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala
lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.

2.4.1. Difteri Saluran Pernapasan


Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada
tahun 1954, focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung
dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-
4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam jarang lebih tinggi
dari 39ºC.

2.4.1.1. Difteri Hidung

6
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering
pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan
membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada
pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin
sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat
dibuat.

2.4.1.2 Difteri Tonsil Faring


Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang
umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri
kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih
kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral
atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle,
orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis.
Pada difteria tonsil faring juga dapat terjadi limfadenitis servikalis dan
submandibular. Dapat terjadi bullneck bila limfadenitis disertai dengan edema
jaringan lunak leher yang luas.
Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas
membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat
terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan
dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bias disertai
penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terlepas dalam
7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

7
Gambar 2. Difteri faring

2.4.1.3. Difteri Laring


Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan
difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan
penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria
faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya
serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi
saluran nafas atas lebih mencolok.
Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang
lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering.
Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan
supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa
terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke
percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari
difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan
toksemia.

2.4.2. Difteri Kulit


Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi
nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial,
ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat

8
dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya
bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka
bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering terkena
dari pada badan atau kepala. Nyeri, terasa nyeri tekan, eritema, dan eksudat khas.
Hiperestesi lokal atau hipestesia yang tidak lazim. Kolonisasi saluran pernapasan atau
infeksi yang simptomatik dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian kecil penderita
dengan difteri kulit.
Di Seattle, pada orang dewasa yang terinfeksi difteri, 3% di antaranya
menderita difteri kulit, 21% dengan difteri nasofaring yang di sertai/tidak adanya
keterlibatan kulit, mengalami komplikasi miokarditis toksik, neuropati, atau obstruksi
saluran nafas.

Gambar 3. Difteri kulit


2.4.3. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-
tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan
ulseratif), dan saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis,
ulserasi, pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu
membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain.

2.5. Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus ditegakkan

9
berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena preparat
smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu
beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent
antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan
isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-vitro (tes Elek).
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri,
karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran
pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna membran pada
difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan
melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi perdarahan. Biasanya
dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.

2.6. Diagnosis Banding


- Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea
(common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles
(lues congenital).
- Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang
disebabkan oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat),
mononucleosis infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis
herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.
- Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai
infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada
laring, dan benda asing dalam laring.
- Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus.

2.7. Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi

10
tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema jalan
nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan ginjal.
Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala
kliniknya sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan.
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok. Panas tinggi
terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan
streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan ini, kita harus lebih waspada dalam
mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak.
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane
difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan
servical. Kasus septikemi yang jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan.
Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan kelompok-kelompok pengguna obat
intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit adalah tempat masuk yang
mungkin, dan hampir semua strain adalah nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik
sporadic terutama karena strain nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan
anak-anak. Difteroid yang diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh
dianggap sebagai kontaminan tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti.
Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri
dan menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara
dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi
resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya dan
keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin.
Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika
penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara akut sejak awal pada 1minggu,
atau selambat-lambatnya sampai sakit minggu ke-6.
Takikardi saat pasien tidak mengalami demam lazim dan dapat merupakan
bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf otonom. Pemanjangan
interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada elektrokardiogram relative
merupakan tanda yang lazim. Disaritmia jantung tunggal atau disaritmia progresif
dapat terjadi, seperti blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi atrioventrikule,

11
dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung kongestif klinis mungkin mulai secara
tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar aminotransferase aspartat serum sangat
parallel dengan keparahan mionekrosis. Jika terjadi disaritmia berat dapat
meramalkan kematian. Penemuan histologik pascamati dapat menunjukkan sedikit
mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang bertahan hidup dari
disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek hantaran permanent; untuk yang
lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik biasanya sempurna.
Neuropati toksik, komplikasi neurologis sejalan dengan luasnya infeksi primer
dan pada mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai
radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle.
Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai,
menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan resiko kematian karena
aspirasi. Neuropati cranial khas dapat terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan
paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang memberikan gejala berupa
strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris
mulainya 1hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan
deficit motor dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal
tungkai menyebar kedistal dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan
serebrospinal pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-tanda klinis dan
cairan serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis
diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu
sesudah mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat
menyebabkan hipotensi atau gagal jantung.

2.8. Penatalaksanaan.
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit difteria.

12
A. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta
diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein
dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara
lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu.
Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban
udara dengan menggunakan nebulizer.

B. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari
1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa
meningkat sampai 30%.

Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit


Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga
harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan
penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan.
Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.

13
Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam
garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila
dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila
uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila
ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara
intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI
seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam
fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan
efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam
berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat
(serum sickness)

2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan
organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen
invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering
ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan
secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih
unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring.pemberian
antibiotik umumnya menjadikan pasien menjadi tidak menularkan dalam 24 jam.
Dosis :
 Penisilin prokain 50.000-100.000 IU/kgBB/hari i.m selama 10 hari
 Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14
hari.
 Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 IU/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi
dalam 4 dosis.

3. Kortikosteroid

14
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteria. Pemberian korikosteroid dianjurkan pada kasus difteria yang disertai dengan
gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila
terdapat penyulit miokarditis. Kortikosteroid yang diberikan adalah prednisone yang
di berikan selama 2 minggu dan kemudian dosis diturunkan secara bertahap (tapering
off).
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14
hari.

C. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi
tindakan trakeostomi.

D. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
Schick negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan
yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau
eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/ edenoidektomi.

D. Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya di isolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorokan serta gejala klinis diikuti
setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar di berikan booster toksoid difteria

Pengobatan Terhadap Kontak Difteria


Biakan Uji Schick Tindakan

15
(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1
minggu
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin
40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI
(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan status
imunisasi

2.9 Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran
membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum. Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik
daripada sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian
tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman,
kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada
umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah
dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya
buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000 ul
prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul
tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)

2.10 Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu

16
imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi
difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai
antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang
menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan.
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin,
kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar
imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan
batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu
DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL;
preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL
dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis
seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior
dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td
dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang
lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin
tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.

2.11 Imunisasi Difteria


Antitoksin pertama kali di buat dari serum kuda pada abad ke 19 dan toksoid di
buat sekitar tahun 1920. Imunisasi difteria tergabung dalam vaksin DTp yang jadwal
pemberiannya dapat dimulai paling cepat usia 6 minggu dengan interval pemberian 4-
8 minggu. Namun, berdasarkan rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),
DTP-1 dapat diberikan pada usia 2 bulan, DTP-2 pada usia 4 bulan, dan DTP-3 pada
bulan 6 bulan. Ketiga DTP tersebut di atas tergabung dalam DTP Primer. Selanjutnya
DTP-4 pada usia 18-24 bulan, DTP-5 pada usia 5 tahun, DTP-6 usia 10-12 tahun,
dann DTP-7 pada usia 18 tahun. Keempat DTP di atas termasuk ke dalam tahap
booster dari program imunisasi difteria, Tetanus, dan Pertusis.
Dosis pemberian vaksin DTP adalah 0,5 ml, dengan cara pemberian secara
intramuscular. Jenis vasin DTP ada 2, yaitu DTwP dan DTaP. DTwP adalah singkatan
dari Diphtheria Tetanus whole cell-Pertusis, sedangkan DTaP adalah singkatan dari
Diphtheria Tetanus acellular-Pertusis. DTwP berisi suspensi kuman B. Pertussis dan

17
DTaP mengandung komponen toksin B. Pertussis yang dapat menginduksi
pembentukan antibodi spesifik.

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Anamnesis
Identitas Pasien :
Nama : An. PHD
Jenis Kelamin : Laki-laki

18
Umur : 4 tahun 4 bulan
Anak ke : 2 dari 2 bersaudara
Suku bangsa : Minang
Alamat : Pakan Kamis

Alloanamnesis (Diberikan oleh Ibu Kandung)


Seorang pasien laki-laki umur 4 tahun 4 bulan dirawat di bangsal Anak RSUD
dr. Achmad Mochtar Bukittinggi sejak tanggal 25 November 2017 dengan:

Keluhan Utama:
Nyeri menelan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :


 Demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, demam di rasakan tinggi, terus
menerus dan tidak menggigil, berkeringat serta kejang.
 Nyeri menelan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri menelan di rasakan
terutama saat makan makanan yang keras.
 Batuk sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak berwarna putih
kehijauan di sertai pilek
 Muntah 1 hari sebelum masuk rumah sakit, frequensi muntah 1x, berisi makanan
yang di makan dengan banyak muntah sekitar ¼ gelas. Muntah tidak berdarah,
dan tidak menyemprot.
 Nafsu makan berkurang sejak 2 hari sebelum masuk rumahsakit, pasien biasanya
makan 3 kali sehari dan menghabiskan 1 porsi, belakangan sejak sakit pasien
hanya makan 2 kali sehari dan menghabiskan sekitar ½ porsi saja.
 Sesak nafas tidak ada
 Buang air kecil warna dan jumlah biasa.
 Buang air besar warna dan konsistensi biasa.

Riwayat Penyakit Dahulu

19
 Pasien memiliki riwayat radang amandel yang di ketahui sejak 1 tahun yang lalu,
hanya berobat ke bidan dekat rumah jika meradang

Riwayat Penyakit Keluarga


 Kakak Pasien saat ini sedang di rawat dengan suspek difteri tonsil (sama seperti
pasien)

Riwayat Kehamilan
 Selama hamil Ibu tidak pernah menderita penyakit yang berat, DM, Hipertensi
maupun infeksi
 Pemeriksaan kehamilan teratur ke Bidan, Imunisasi TT ada.
 Kuantitas dan kwalitas makanan selama hamil cukup.
 Tidak ada riwayat minum obat/ jamu, penyinaran, merokok atau minuman
beralkohol
 Lama hamil cukup bulan.

Riwayat Kelahiran
Anak lahir pervaginam di tolong bidan, cukup bulan, berat badan lahir
3000gr, panjang badan lahir 50 cm, langsung menangis.

Riwayat Makanan dan Minuman


Bayi : ASI : 0 – 14 bulan
Susu formula : 14 bulan – 2 tahun
Buah, biskuit : 6 - 9 bulan
Bubur susu : 6 - 9 bulan
Nasi Tim : 9 - 12 bulan
Anak : Makanan utama nasi 3 kali/hari, porsi ± ½ porsi dewasa.
Daging : 1x seminggu
Ikan : 2-3x seminggu
Telur : 3-4x seminggu
Sayur mayur : 4-5x seminggu
Buah : 2-3x seminggu

20
Kesan : asupan nutrisi secara kualitas dan kuantitas baik.

Riwayat Imunisasi
Imunisasi yang diberikan Usia
HB0 2 hari
BCG, Polio 1 1 bulan
DPT-Hib-HB1, Polio 2 2 bulan
DPT-Hib-HB2, Polio 3 3 bulan
DPT-Hib-HB3, Polio 4 4 bulan
Campak 9 bulan

Kesan : Imunisasi dasar lengkap, imunisasi dilakukan di Puskesmas dan Posyandu


Imunisasi booster tidak ada

Riwayat Sosial Ekonomi dan Keluarga


 Anak ke-2 dari 2 bersaudara
 Nama Ayah/Ibu : Khairul Amri/ Susilawati
 Pendidikan Ayah/Ibu : SD/SD
 Pekerjaan Ayah/Ibu : Wiraswasta, Ibu rumah tangga
 Penghasilan dalam keluarga ± Rp. 2.500.000/bulan

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Pertumbuhan fisik Perkembangan mental


Tertawa 2 bulan Isap jempol tidak ada
Miring 3 bulan Gigit kuku tidak ada
Tengkurap 4 bulan Serig Mimpi tidak ada
Duduk 8 bulan Ngompol tidak ada
Merangkak 10 bulan Aktif sekali tidak ada
Gigi pertama 6 bulan Apatik tidak ada
Berdiri 12 bulan Membangkang tidak ada
Lari 14 bulan Ketakutan tidak ada
Berbicara 14 bulan Pergaulan Jelek tidak ada
KESAN : Pertumbuhan fisik dan perkembangan mental normal

21
Riwayat Perumahan dan Lingkungan

Rumah tempat tinggal : Permanen


Sumber air minum : Galon
Buang air besar : Jamban di dalam rumah
Pekarangan : Cukup luas
Buang sampah : Dibuang ke bak penampungan sampah dan di bakar
Kesan lingkungan : Higiene dan sanitasi lingkungan baik

3.2. Pemeriksaan Fisik

 Keadaan Umum : Sakit Sedang


 Kesadaran : Compos mentis
 Tekanan Darah : 90/60 mmHg
 Frekuensi Nadi : 98 x/menit
 Frekuensi Nafas : 32 x/menit
 Suhu : 38,0 ºC
 Sianosis : Tidak ada
 Ikterus : Tidak ada
 Anemis : Tidak ada
 Edema : Tidak ada
 Berat Badan : 14 kg
 Tinggi Badan : 102 cm
 Status Gizi BB/U : (-2)-(-0)  Normal
TB/U : (-2)-(0)  Normal
BB/TB : (-2)-(-1)  Normal
Kesan : Gizi baik

Kulit: Teraba hangat, turgor kembali cepat.


Kepala: Bentuk bulat simetris, rambut hitam tak mudah dicabut
Mata: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor

22
2mm/2mm, refleks cahaya positif/positif
Telinga: Tidak ada kelainan
Hidung: Tidak ada kelainan
Mulut: Mukosa mulut dan bibir kering
Tonsil: T2 – T2 hiperemis, muara kripti melebar, tampak selaput putih kotor
sukar di angkat dan mudah berdarah
Faring: Hiperemis
Leher: KGB multiple di region colli dextra dan sinistra sebesar 1x1x1 cm,
bullneck (-)
Dada:

Paru
Inspeksi : Normochest, simetris kiri = kanan
Palpasi : Fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Batas jantung kiri : 1 jari medial di LMCS RIC V

Batas jantung kanan : Linea sternalis dextra

Batas jantung atas : RIC 2 Line sternalis sinistra


Auskultasi : Irama jantung reguler, bising tidak ada
Abdomen:

Inspeksi : Tidak membuncit, distensi tidak ada


Palpasi : Nyeri tekan dan nyeri lepas tidak ada, hepar dan lien
tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus positif normal
Punggung : Tidak ada kelainan

23
Alat kelamin: Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, Refleks Fisiologis +/+, Refleks
patologis-/-

3.3. Pemeriksaan Laboratorium


Darah
- Hb : 13,8 gr/dl
- Ht : 39,5 %
- Leukosit : 13.350 /mm3
- trombosit : 238.000/mm3
Kesan : Lekositosis
Urinalisa
Dalam batas normal

3.4. Diagnosis Kerja


 Suspek Difteri Tonsil

3.5. Terapi
- IVFD KA-EN IB 20 tpm (mikro)
- Penicilin Procain 1 x 1.400.000 IU IM
- Paracetamol 3 x 150mg PO
- ADS 40.000 IU  Tidak tersedia
- Diet ML 1200 kkal
- Rencana Rawat Isolasi
- Rencana EKG hari 1, 3, 5, 7, 14 hari  lead II Panjang
- Swab tenggorok  pewarnaan gram (belum tersedia)

FOLLOW UP

27 November 2017 28 November 2017 29 November 2017


S : - demam sudah mulai S : - demam sudah turun S : - demam sudah turun

24
turun - Nyeri menelan masih - Nyeri menelan mulai
- Nyeri menelan masih ada berkurang
ada - Batuk ada, berdahak - Batuk sesekali,
- Batuk ada, berdahak - Nafsu makan masih berdahak
- Nafsu makan masih kurang - Nafsu makan masih
kurang - BAK dan BAB jumlah, kurang
- BAK dan BAB jumlah, warna dan konsistensi - BAK dan BAB jumlah,
warna dan konsistensi biasa warna dan konsistensi
biasa biasa
O: O:
O: KU : sakit sedang KU : sakit sedang
KU : sakit sedang Kes : sadar Kes : sadar
Kes : sadar Nd : 93 x/i Nd : 90 x/i
Nd : 89 x/i Nf : 22x/i Nf : 24 x/i
Nf : 23 x/i T : 36,9 oC T : 36,8 oC
T : 37,3 oC BB : 14 kg BB : 14 kg
BB : 14 kg Mata : Mata :
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-) Konjungtiva Anemis
Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera ikterik (-/-) (-/-)
Sklera ikterik (-/-) Tenggorok : Sklera ikterik (-/-)
Tenggorok : T2-T2 hiperemis, muara Tenggorok :
T2-T2 hiperemis, muara kripti melebar, tampak T2-T2 hiperemis, muara
kripti melebar, tampak selaput putih kotor mulai kripti melebar, selaput
selaput putih kotor sukar di berkurang,faring hiperemis putih kotor mulai
angkat dan mudah Cor dan Pulmo : Tidak ada berkurang,faring hiperemis
berdarah,faring hiperemis kelainan Cor dan Pulmo : Tidak ada
Cor dan Pulmo : Tidak ada Abdomen : Supel, distensi kelainan
kelainan (-), BU (+) Normal Abdomen : Supel, distensi
Abdomen : Supel, distensi Ekstremitas: Akral hangat, (-), BU (+) Normal
(-), BU (+) Normal CRT < 2 detik Ekstremitas: Akral hangat,

25
Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 2 detik
CRT < 2 detik A:
Susp. Difteri Tonsil EKG :
EKG : - Irama sinus rhytm
- Irama sinus rhytm dengan P: dengan HR 79x/i
HR 86x/i - IVFD KA-EN IB 4 tpm - Interval PR dan QT tidak
- Interval PR dan QT tidak (makro) memanjang
memanjang - Penicilin Procain 1 x - Tidak ada ST-T change
- Tidak ada ST-T change 1.400.000 IU IM (hari - Tidak ada RVH dan LVH
- Tidak ada RVH dan LVH ke-4) - Tidak ada RBBB dan
- Tidak ada RBBB dan - Paracetamol 3 x 150mg LBBB
LBBB PO
- ADS 40.000 IU  A:
A: Tidak tersedia Susp. Difteri Tonsil
Susp. Difteri Tonsil - Diet ML 1200 kkal
P:
P: - IVFD KA-EN IB 4 tpm
- IVFD KA-EN IB 4 tpm (makro)
(makro) - Penicilin Procain 1 x
- Penicilin Procain 1 x 1.400.000 IU IM (hari
1.400.000 IU IM (hari ke-5)
ke-3) - Paracetamol 3 x 150mg
- Paracetamol 3 x 150mg PO
PO - ADS 40.000 IU 
- ADS 40.000 IU  Tidak tersedia
Tidak tersedia - Diet ML 1200 kkal
- Diet ML 1200 kkal

30 November 2017 2 Desember 2017 4 Desember 2017

26
S : - demam tidak ada S : - demam tidak ada S : - demam tidak ada
- Nyeri menelan mulai - Nyeri menelan mulai - Nyeri menelan sudah
berkurang berkurang berkurang
- Batuk ada sesekali, - Batuk ada sesekali, - Batuk ada sesekali,
berdahak berdahak berdahak
- Nafsu makan mulai - Nafsu makan sudah - Nafsu makan sudah
membaik membaik membaik
- BAK dan BAB jumlah, - BAK dan BAB jumlah, - BAK dan BAB jumlah,
warna dan konsistensi warna dan konsistensi warna dan konsistensi
biasa biasa biasa

O: O: O:
KU : sakit sedang KU : sakit sedang KU : sakit sedang
Kes : Compos Mentis Kes : Compos Mentis Kes : Compos Mentis
Nd : 92 x/i Nd : 88 x/i Nd : 94 x/i
Nf : 21x/i Nf : 20x/i Nf : 23x/i
T : 36,5 oC T : 36,8 oC T : 36,6 oC
BB : 14 kg BB : 14 kg BB : 14 kg
Mata : Mata : Mata :
Konjungtiva Anemis (-/-) Konjungtiva Anemis (-/-) Konjungtiva Anemis
Sklera ikterik (-/-) Sklera ikterik (-/-) (-/-)
Tenggorok : Tenggorok : Sklera ikterik (-/-)
T2-T2 hiperemis, T2-T2 hiperemis, Tenggorok :
pseudomembran mulai pseudomembran mulai T2-T2 tidak hiperemis,
berkurang, faring berkurang , faring tidak pseudomembran sudah
hiperemis hiperemis tidak ada
Cor dan Pulmo : Tidak ada Cor dan Pulmo : Tidak ada Cor dan Pulmo : Tidak ada
kelainan kelainan kelainan
Abdomen : Supel, distensi Abdomen : Supel, distensi Abdomen : Supel,distensi
(-), BU (+) Normal (-), BU (+) Normal (-), BU (+) Normal

27
Ekstremitas: Akral hangat, Ekstremitas: Akral hangat, Ekstremitas: Akral hangat,
CRT < 2 detik CRT < 2 detik CRT < 2 detik

EKG : A: EKG :
- Irama sinus rhytm dengan Susp. Difteri Tonsil - Irama sinus rhytm
HR 92x/i dengan HR 90x/i
- Interval PR dan QT tidak - Interval PR dan QT tidak
memanjang memanjang
- Tidak ada ST-T change P: - Tidak ada ST-T change
- Tidak ada RVH dan LVH - IVFD KA-EN IB 20 - Tidak ada RVH dan LVH
- Tidak ada RBBB dan tpm (mikro) - Tidak ada RBBB dan
LBBB - Penicilin Procain 1 x LBBB
1.400.000 IU IM (hari
A: ke-8) Hasil swab tenggorok :
Susp. Difteri Tonsil - Paracetamol 3 x 150mg - Negatif
PO (jika suhu >38,5o)
P: - ADS 40.000 IU  A
- IVFD KA-EN IB 20 Tidak tersedia Susp. Difteri Tonsil
tpm (mikro) - Diet ML 1200 kkal
- Penicilin Procain 1 x P:
1.400.000 IU IM (hari Planing : - IVFD KA-EN IB 20
ke-6) Swab tenggorok  tpm (mikro)
- Paracetamol 3 x 150mg pewarnaan gram - Penicilin Procain 1 x
PO (jika suhu >38,5o) 1.400.000 IU IM (hari
- ADS 40.000 IU  ke-10)
Tidak tersedia - Paracetamol 3 x 150mg
- Diet ML 1200 kkal PO (jika suhu >38,5o)
- ADS 40.000 IU 
Tidak tersedia
- Diet ML 1200 kkal

28
5 Desember 2017
S : - demam tidak ada
- Nyeri menelan tidak ada
- Batuk ada sesekali, berdahak
- Nafsu makan sudah membaik
- BAK dan BAB jumlah, warna dan konsistensi biasa
O:
KU : sakit sedang
Kes : Compos Mentis
Nd : 94 x/i
Nf : 23x/i
T : 36,6 oC
BB : 14 kg
Mata :
Konjungtiva Anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Tenggorok :
T2-T2 tidak hiperemis, pseudomembran sudah tidak ada
Cor dan Pulmo : Tidak ada kelainan
Abdomen : Supel,distensi (-), BU (+) Normal
Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 2 detik
EKG :
- Irama sinus rhytm dengan HR 90x/i

29
- Interval PR dan QT tidak memanjang
- Tidak ada ST-T change
- Tidak ada RVH dan LVH
- Tidak ada RBBB dan LBBB

Hasil swab tenggorok :


- Negatif
A
Susp. Difteri Tonsil

P:
- Aff infus
- Rencana Pulang
- Anjuran control ulang ke poli anak

30
BAB IV
DISKUSI KASUS

Telah di rawat seorang pasien laki-laki berusia 4,5 tahun dengan keluhan
utama demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, demam di rasakan tinggi,
hilang timbul. Pasien juga mengeluhkan nyeri menelan sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri menelan di rasakan terutama saat makan makanan yang
keras. Selain itu pasien mengalami batuk sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit,
batuk berdahak berwarna putih kehijauan di sertai pilek. Pasien juga mengalami
penurunan nafsu makan sejak mengalami sakit. Gejala yang di alami pasien
sesuai dengan manifestasi klinis pada kasus difteri.
Pasien di curiagai menderita difteri tonsil karena riwayat imunisasi booster
untuk pasien ini belum ada, selain itu kakak pasien juga di rawat dengan suspek
difteri tonsil yang memungkinkan adanya kontak melalui droplet transmission
dengan penderita.
Pada pemeriksaan fisik pada mulut ditemukan adanya peradangan pada tonsil
dengan gambaran tonsil membesar yaitu T2-T2 hiperemis, muara kripti melebar
disertai dengan adanya pseudomembran yang sulit di angkat dan mudah berdarah,
selain itu di dapatkan adanya faring yang hiperemis serta pembesaran KGB
multiple di region colli dextra dan sinistra sebesar 1x1x1 cm, yang merupakan
manifestasi klinis dari difteria. Seharusnya pada pasien ini dilakukan isolasi C
diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-vitro (tes Elek), karena merupakan

31
pemeriksaan yang efektif untuk mendiagnosa difteri, namun saat ini belum
tersedia.
Pada pasien ini telah di lakukan swab tenggorok dan pemeriksaan EKG
berkala, dari hasil swab tenggorok di dapatkan hasil negative Corynebacterium
Diptheriae serta EKG dalam batas normal, namun masih belum dapat di
singkirkan kecurigaan terhadap difteri di karenakan manifestasi klinis yang cukup
mendukung diagnosis.
Adapun penatalaksanaan pada pasien ini adalah ADS 40.000 IU (tidak
tersedia), Penicilin Procain 1 x 1.400.000 IU (IM) selama 10 hari, Paracetamol 3
x 150mg (PO jika suhu >38,5o), diet ML 1200 kkal dan di rawat diruang Isolasi.
Setelah 10 hari rawatan, pasien di perbolehkan pulang dan di anjurkan untuk
control ulang ke poli.

32
LAMPIRAN
GRAFIK WHO

33
34
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. 2016. Difteri. Di unduh dari www.ichrc.org/452-difteri pada 7


desember 2017. Indonesia : Hospital Care for Children Indonesia
2. Behrman, dkk. Difteria. 2004. Nelson Textbook of Pediatrics 17th Edition.
USA : Saunders
3. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 173-176.
4. Pulungan, Aman, dkk. 2014. Diphteria : Re-emerging Disease dalam Current
Evidences in Pediatric Emergencies Management. Jakarta : Fakultas
Kedokteran UI Departemen Ilmu Kesehatan Anak
5. Rampengan T.H, Laurentz . 1992. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak,
Difteri, 1-18
6. Ranuh IGN, dkk. 2011. Buku Pedoman Imunisasi. Edisi 4. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
7. Soedarmo, S.P, dkk. 2012. Difteria. Dalam : Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis. Edisi Kedua. Jakarta ; IDAI

35

You might also like