Professional Documents
Culture Documents
The influence of Motivational interviewing toward the Increase of Motivation and the
Decrease of Opioid Withdrawal Symptom among the Participant of Methadone
Maintenance Therapy Program (MMTP)
ABSTRAK
ABSTRACT
The influence of Motivational interviewing toward the Increase of Motivation and the
Decrease of Opioid Withdrawal Symptom among the Participant of Methadone
Maintenance Therapy Program (MMTP) (Supervised by Theodorus Singara,
Hawaidah and Ilhamjaya Patellongi). This study aims to find out the influence of
motivational interviewing toward the increase of motivation and the decrease of
opioid withdrawal symptom among the participant of methadone maintenance therapy
program. This study is a random experimental research conducted with group design.
between and after treatment, there was a comparison with the control group by using
SOCRATES 8D scale to subjectively asses the motivation, and OOWS scale to
objectively asses the opioid withdrawal symptom. Furthermore, the data were
1
analyzed by using Mann Whitney U and Chi square test, and presented in the form of
tables. The results reveal that the motivation and initial opioid withdrawal symptom in
the control group and the treatment group are not significantly different (p>0,05).
Intervention with motivational interviewing shows a significant difference between
the treatment group and the control group. This can be seen in the result of chi square
test (p<0,05) towards motivation alteration which includes recognition category,
ambivalence and taken steps. There is also a significant difference between the
treatment group and the control group in terms of the change of opioid withdrawal
scale score (p=0,008).
RINGKASAN
pemeliharaan. Pemberian metadon dapat dianggap sebagai substitusi opioid yang akan
putus opioid peserta program terapi rumatan metadon (PTRM). Penelitian ini
Desember 2010 sampai dengan bulan Februari 2011. Sampel dibagi menjadi dua
awalnya dinilai motivasi dan gejala putus opioid objektifnya, dua belas hari
kemudian, dinilai kembali motivasi (SOCRATES 8D) dan gejala putus opioid
2
objektifnya (OOWS). Data kemudian diolah dengan uji chi square (X2). Pada
(kategori rekognisi, ambivalensi dan taking steps) dan gejala putus opioid objektif
PENDAHULUAN
biasanya dimulai dengan pemakaian yang pertama kalinya pada saat usia SD atau
SMP karena tawaran, bujukan, atau tekanan dari seseorang maupun kawan sebaya.
Dari pemakaian sekali, kemudian beberapa kali dan akhirnya menjadi ketergantungan
terhadap zat yang digunakan. Dampak yang ditimbulkan tergantung pada jenis
NAPZA yang digunakan dan cara menggunakannya, dapat terjadi berbagai masalah
syndrome (HIV/ AIDS), hepatitis C atau B, depresi, dan psikosis. Di samping itu,
dapat pula berakibat tidak harmonisnya hubungan dengan keluarga, diberhentikan dari
tempat kerja, dikeluarkan dari sekolah, masalah keuangan, terlibat perbuatan illegal
Kebiasaan menggunakan heroin atau morfin dengan cara disuntikkan atau ditaruh
dalam rokok oleh kaum muda mulai muncul di Jakarta pada awal tahun 70-an dan
menyebar ke kota besar lainnya sampai sekitar tahun 1976, kemudian meluas lagi
pada tahun 1995 hingga saat ini. Angka kejadian atau jumlah kasusnya meningkat
secara cepat dalam deret ukur. Jumlah pasien Rumah Sakit Ketergantungan Obat
(RSKO) Jakarta meningkat enam kali lipat dalam tahun 1993-1999, dan ternyata dari
penderita yang umumnya berusia 15 – 24 tahun, kebanyakan dari mereka masih aktif
3
bersekolah seperti di sekolah menengah pertama, sekolah menegah atas, atau
perguruan tinggi bahkan ada pula yang masih duduk di sekolah dasar. Angka
kekambuhan dari pecandu yang pernah dirawat pada berbagai pusat terapi dan
rehabilitasi adalah 60-70%. Berdasarkan data laporan di Jakarta, 2-3 orang meninggal
selalu oleh karena akibat langsung seperti overdosis. Laporan menunjukkan 80%
tertular HIV.
yang meliputi terapi detoksifikasi dan terapi pemeliharaan. Metadon adalah opioid
merupakan standar terapi di banyak negara. Terapi dengan metadon cair di Indonesia
berhasil menunjukkan perbaikan kualitas hidup dari segi fisik, psikologi, hubungan
dianggap sebagai substitusi opioid yang akan diturunkan dosisnya secara bertahap.
perilaku ke arah perilaku yang lebih sehat tidak terjadi. Namun dalam dekade terakhir
dan berbasis pasien dengan tujuan memperbaiki perilaku & membantu pasien
Mattick, Ward, dan Hall (1998) meneliti tiga kelompok dimana kelompok
yang pertama diberikan metadon saja, kelompok kedua diberikan metadon dan
konseling minimal, dan kelompok ketiga diberikan metadon dan konseling intensif.
4
Hasilnya didapatkan tingkat urine positif mengandung opioid paling tinggi pada
kelompok satu yang hanya diberikan metadon tanpa konseling. Valerie A. Gruber dkk
(2008) melaporkan penurunan dosis metadon pada kelompok yang diberikan metadon
dan konseling minimal atau standar dengan metode MI selama 6 bulan dibandingkan
kelompok metadon yang hanya dilakukan detoksifikasi selama 21 hari, dan bahkan
36% diantaranya menyatakan akan berhenti menggunakan atau hanya sesekali. Dalam
penelitian Kate B. Carey dkk, dilaporkan bahwa dari 30 pasien, terdapat 22 pasien
keinginannya untuk terlibat penuh dan bekerja sama dalam terapi ketergantungannya.
empat prinsip utama dalam teknik MI yaitu express empathy, support self-efficacy,
roll with resistance, dan develop discrepancy. Dengan menerapkan keempat prinsip
ini, MI dapat menghasilkan respons yang terfokus pada ambivalensi dalam tahap-
tahap krusial kontemplasi dan determinasi dan mungkin berguna juga jika
ambivalensi terjadi dalam tahap lebih jauh. Variasi jenis kelamin klien, etnis, dan
status sosioekonomi tampaknya tidak berpengaruh pada hasil studi MI (Brown dan
METODE
peserta program terapi rumatan metadon (PTRM), pada bulan Desember 2010 sampai
5
dengan Februari 2011, melibatkan dua kelompok pengguna opioid yang menerima
terapi metadon, yaitu satu kelompok pasien yang menerima metadon dengan
pasien yang hanya menerima metadon (kelompok kontrol). Data kemudian diolah
HASIL
kontrol.
Test
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa Dosis Awal Metadon bervariasi dari 40 sampai 100
mg dengan median sebesar 60,0 mg pada kelompok MI, sedangkan pada kelompok
non MI bervariasi dari 30 – 90 mg dengan median sebesar 60,0 mg. Hasil uji Mann
OOWS antara kedua kelompok, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna (p>0,05);
walaupun skor OOWS pada kelompok MI bervariasi dari 2 sampai 5 dengan median
sebesar 3,0 dan pada kelompok non MI bervariasi dari 2 sampai 3 dengan median
sebesar 2,0.
6
7
Tabel 2. Distribusi Kategori Rekognisi, Ambivalensi dan Taking Step Awal pada
Kedua Kelompok
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa distribusi kategori kognisi awal pada kelompok MI
bervariasi dari sangat rendah sampai sedang, sedangkan pada kelompok non MI
bervariasi dari rendah sampai tinggi. tetapi hasil uji Mann Whitney tidak menujukkan
taking step pada kedua kelompok, tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna
(p>0,05), walaupun distribusi kategori ambivalensi pada kedua kelompok tidak persis
PERUBAHAN REKOGNISI
tabulasi silang antara kategori rekognisi awal dengan kategori rekognisi akhir pada
8
Tabel 3. Distribusi Kategori Rekognisi Awal dan Akhir pada Kedua Kelompok
Rekognisi Akhir
Kelompok Rekognisi Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat Total
Awal Rendah Tinggi
MI Sangat Rendah 1 4 1 1 0 7
Rendah 0 1 5 2 0 8
Sedang 0 0 3 4 1 8
Tinggi 0 0 0 0 0 0
Sangat Tinggi 0 0 0 0 0 0
Total 1 5 9 7 1 23
Non MI Sangat Rendah 0 0 0 0 0 0
Rendah 0 16 1 0 0 17
Sedang 0 0 5 1 0 6
Tinggi 0 0 0 1 0 1
Sangat Tinggi 0 0 0 0 0 0
Total 0 16 6 2 0 24
Tabel 4 menujukkan bahwa dari 23 orang kelompok MI, lebih banyak mengalami
peningkatan (18 orang) dibandingkan dengan yang tetap (5 orang), sedangkan pada
orang lainnya tetap. Hasil uji X2 menujukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05).
tabulasi silang antara kategori ambivalensi awal dengan kategori ambivalensi akhir
9
Tabel 5. Distribusi Kategori Ambivalensi Awal dan Akhir pada KeduaKelompok
Ambivalensi Akhir
Kelompok Ambivalensi Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat Total
Awal Rendah Tinggi
MI Sangat Rendah 0 0 0 0 0 0
Rendah 0 0 2 2 1 5
Sedang 0 4 1 0 1 6
Tinggi 0 0 4 2 0 6
Sangat Tinggi 0 0 0 4 2 6
Total 0 4 7 8 4 23
Non MI Sangat Rendah 0 0 0 0 0 0
Rendah 0 6 0 0 0 6
Sedang 0 0 8 0 0 8
Tinggi 0 0 0 4 0 4
Sangat Tinggi 0 0 0 1 5 6
Total 0 6 8 5 5 24
Tabel 6 menujukkan bahwa dari 23 orang kelompok MI, lebih banyak mengalami
penurunan (12 orang) dibandingkan dengan yang tetap (5 orang) maupun yang
yang mengalami penurunan dan 23 orang lainnya tetap. Hasil uji X2 menujukkan
10
PENGARUH MOTIVATIONAL INTERVIEWING (MI) TERHADAP
PERUBAHAN TAKING STEP
silang antara kategori Taking step awal dengan kategori Taking step akhir pada kedua
Tabel 7. Distribusi Taking Step Awal dan Akhir pada Kedua Kelompok
Bila perubahan kategori Taking step tersebut dikategorisasikan menjadi tetap dan
Tabel 8 menujukkan bahwa dari 23 orang kelompok MI, lebih banyak mengalami
peningkatan (12 orang), sedangkan pada kelompok non MI sebaliknya, tidak ada yang
mengalami peningkatan, sebagian besar (18 orang) tetap dan lainnya (6 orang) justru
11
PENGARUH MOTIVATIONAL INTERVIEWING (MI) TERHADAP
PERUBAHAN SKOR OOWS
perubahan skor OOWS pada kedua kelompok. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 9.
Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa pada kelompok MI, lebih banyak (12 orang)
sedangkan pada kelompok Non MI lebih banyak (20 orang) tetap dan 4 orang
DISKUSI
pengaruh terhadap peningkatan motivasi. Hal ini dapat dilihat pada ketiga aspek
motivasi yang dinilai pada penelitian ini yaitu rekognisi (pemahaman), ambivalensi
dan taking steps (tindakan yang diambil) pada peserta program terapi rumatan dengan
kelompok yang tidak diberikan MI. Peningkatan aspek pemahaman peserta PTRM
kelompok yang tidak diberikan MI. Hal ini berarti peserta menjadi semakin
12
penggunaan zat mereka dan hal ini memperlihatkan keinginan untuk berubah dan
menyadari bahwa akan timbul bahaya bila mereka tidak berubah. Walaupun aspek
pemahaman beberapa peserta PTRM yang tidak diberikan MI ada yang mengalami
pemahaman terjadi mungkin karena berbagai hal misalnya baru saja mendengar
informasi tentang bahaya penggunaan zat atau mendapat nasehat dari orang lain.
yang bermakna bukan berarti peserta sementara kecanduan atau tidak mengakui
memiliki masalah dengan penyalahgunaan zat tetapi hal ini berarti, pemahaman
peserta bertambah /meningkat akan bahaya atau dampak penggunaan zatnya yang
terkikis setelah diberikan MI. Namun pada kedua kelompok umumnya memiliki nilai
aspek ambivalensi yang tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
berubah dari penyalahguna zat di Malaysia bahwa sebesar 78,4% diantaranya masih
Aspek yang menilai tindakan yang telah dilakukan oleh peserta PTRM pada
kelompok yang tidak diberikan MI setelah dua belas hari, lebih banyak yang tetap.
Hal ini berarti, mereka tidak melakukan suatu perubahan yang lebih positif dalam
penggunaan zat mereka. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan kelompok yang
Penelitian yang dilakukan oleh Caroline Easton dkk (2000) juga mendapatkan
13
Motivational interviewing yang diberikan pada penelitian ini sebanyak dua
belas kali perlakuan, menunjukkan hasil yang bermakna dibandingkan tidak diberi
dipengaruhi oleh sikap klinisi dan tugas klinisi untuk menumbuhkan dan mendorong
Hasil penelitian yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
bias pengamat dimana peneliti dalam menilai maupun melaporkan hasil mungkin
cenderung mencatat hasil pemeriksaan gejala putus opioid lebih rendah pada peserta
Hawthorne pada peserta yang diberikan perlakuan sehingga cenderung untuk bekerja
maupun intra-observer pada saat melakukan pemeriksaan ataupun variasi biologis dari
setiap peserta.
opioid yang ditunjukkan oleh peserta PTRM. Pada kelompok yang diberikan MI, skor
dibandingkan sebelumnya.
KESIMPULAN
menurunkan skor gejala putus opioid peserta program terapi rumatan metadon
(PTRM).
14
DAFTAR RUJUKAN
10. Gruber VA, KL Delucchi, A Kielstein, et al. 2008. A randomized trial of six-
month methadone maintenance with standard or minimal counseling versus
21-day methadone detoxification. Drug Alcohol Depend 1.,pp 94 (1-3) : 199.
11. Gold PB, KT Brady. 2003. Evidence-based treatments for substance use
disorders. American Psychiatric Association focus 1.,pp 115-122.
12. Hesse M. 2006. The readiness ruler as a measure of readiness to change poly-
drug use in drug abuser. Harm Reduction Journal vol 3.
14. Joewana S. 2003. Opioida. Dalam Gangguan mental dan perilaku akibat
penggunaan zat psikoaktif. Hal 93-105. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
15
15. Kantchelov A, G Vassilev. 2003. Structured motivational interventions in
methadone maintenance treatment. Heroin Add & Rel Clin Probl 5(3)., pp:
13-22.
16. Luty J. 2003. What works in drug addiction? The Royal College Psychiatric.
17. Miller, W.R.,& Tonigan, J.S. 1996. Assessing drinker’s motivation for
change: The stages of Change Readiness and Treatment Eagerness Scale
(SOCRATES). Psychology of Addictive Behaviors 10, pp 81-89.
19. Mullins SM, M Suarez, SJ Ondersma, et al. 2004. The impact of motivational
interviewing on substance abuse treatment retention : A randomized control
trial of women involve with child welfare. Journal of Substance Abuse
Treatment vol 27, issue 1, pp 51-58.
24. Sadock BJ, VA Sadock. 2007. Substance related disorders. In Kaplan and
Sadock’s Synopsis of Psychiatry. 10th ed. pp 658-669. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia.
16
29. Villaume WA, BA Berger, BN Barker. 2006. Learning motivational
interviewing: Scripting a virtual patient. Am J Pharm Educ., 70 (2), pp 33.
17