You are on page 1of 17

PENGARUH MOTIVATIONAL INTERVIEWING TERHADAP

PENINGKATAN MOTIVASI DAN BERKURANGNYA GEJALA PUTUS


OPIOID PESERTA PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON (PTRM)

The influence of Motivational interviewing toward the Increase of Motivation and the
Decrease of Opioid Withdrawal Symptom among the Participant of Methadone
Maintenance Therapy Program (MMTP)

Rinvil Renaldi, Theodorus Singara, Hawaidah

ABSTRAK

Pengaruh motivational interviewing terhadap Peningkatan Motivasi dan


Berkurangnya Gejala Putus Opioid Peserta Program Terapi Rumatan Metadon
(PTRM) (dibimbing oleh Theodorus Singara, Hawaidah dan Ilhamjaya Patellongi).
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh motivational interviewing terhadap
peningkatan motivasi dan berkurangnya gejala putus opioid peserta program terapi
rumatan metadon. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental secara
randomized the one group pretest-posttest and control group design dengan
menggunakan skala SOCRATES 8D untuk menilai motivasi secara subjektif dan
skala putus opioid (OOWS) untuk menilai gejala putus opioid secara objektif. Data
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji Mann Whitney U dan Chi square
kemudian disajikan dalam bentuk tabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
motivasi dan gejala putus opiod awal pada kelompok kontrol dan perlakuan tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05). Intervensi dengan motivational
interviewing menunjukkan perbedaan yang bermakna pada kelompok perlakuan
dibandingkan kelompok kontrol dengan melihat hasil uji Chi square (p<0,05)
terhadap perubahan motivasi yang meliputi kategori rekognisi, ambivalensi dan
langkah-langkah yang telah dilakukan. Perubahan skor skala putus opioid pada
kelompok perlakuan juga menunjukkan perbedaan yang bermakna dibandingkan
kelompok kontrol (p=0,008).

Kata kunci : Motivational interviewing, motivasi, gejala putus opioid.

ABSTRACT

The influence of Motivational interviewing toward the Increase of Motivation and the
Decrease of Opioid Withdrawal Symptom among the Participant of Methadone
Maintenance Therapy Program (MMTP) (Supervised by Theodorus Singara,
Hawaidah and Ilhamjaya Patellongi). This study aims to find out the influence of
motivational interviewing toward the increase of motivation and the decrease of
opioid withdrawal symptom among the participant of methadone maintenance therapy
program. This study is a random experimental research conducted with group design.
between and after treatment, there was a comparison with the control group by using
SOCRATES 8D scale to subjectively asses the motivation, and OOWS scale to
objectively asses the opioid withdrawal symptom. Furthermore, the data were

1
analyzed by using Mann Whitney U and Chi square test, and presented in the form of
tables. The results reveal that the motivation and initial opioid withdrawal symptom in
the control group and the treatment group are not significantly different (p>0,05).
Intervention with motivational interviewing shows a significant difference between
the treatment group and the control group. This can be seen in the result of chi square
test (p<0,05) towards motivation alteration which includes recognition category,
ambivalence and taken steps. There is also a significant difference between the
treatment group and the control group in terms of the change of opioid withdrawal
scale score (p=0,008).

Key Word : Motivational interviewing, motivation, opioid withdrawal symptom.

RINGKASAN

Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA)

menimbulkan berbagai dampak. Heroin termasuk dalam kelompok NAPZA yang

sering disalahgunakan. Berbagai cara telah dikembangkan untuk mengatasi

ketergantungan heroin (opioid) yang meliputi terapi detoksifikasi dan terapi

pemeliharaan. Pemberian metadon dapat dianggap sebagai substitusi opioid yang akan

diturunkan dosisnya secara bertahap. Namun dalam dekade terakhir telah

dikembangkan teknik motivational interviewing (MI) yaitu konseling terarah dan

berbasis pasien dengan tujuan memperbaiki perilaku dan membantu pasien

mengeksplorasi dan mengatasi ambivalensi. Tujuan penelitian ini adalah untuk

menilai pengaruh motivational interviewing terhadap peningkatan motivasi dan gejala

putus opioid peserta program terapi rumatan metadon (PTRM). Penelitian ini

merupakan studi eksperimental, dengan jumlah sampel 47 peserta PTRM di

Puskesmas Jumpandangbaru dan Puskesmas Kassi-kassi Makassar dari bulan

Desember 2010 sampai dengan bulan Februari 2011. Sampel dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu kelompok perlakuan (mendapat motivational interviewing) dan

kelompok kontrol (tidak mendapat motivational interviewing). Kedua kelompok

awalnya dinilai motivasi dan gejala putus opioid objektifnya, dua belas hari

kemudian, dinilai kembali motivasi (SOCRATES 8D) dan gejala putus opioid

2
objektifnya (OOWS). Data kemudian diolah dengan uji chi square (X2). Pada

kelompok perlakuan, terdapat perubahan yang bermakna ( p<0,05) pada motivasi

(kategori rekognisi, ambivalensi dan taking steps) dan gejala putus opioid objektif

berkurang secara bermakna (p=0,008) dibandingkan kelompok kontrol.

PENDAHULUAN

Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA)

biasanya dimulai dengan pemakaian yang pertama kalinya pada saat usia SD atau

SMP karena tawaran, bujukan, atau tekanan dari seseorang maupun kawan sebaya.

Dari pemakaian sekali, kemudian beberapa kali dan akhirnya menjadi ketergantungan

terhadap zat yang digunakan. Dampak yang ditimbulkan tergantung pada jenis

NAPZA yang digunakan dan cara menggunakannya, dapat terjadi berbagai masalah

medis seperti infeksi human immunodeficiency virus/ auto immunodeficiency

syndrome (HIV/ AIDS), hepatitis C atau B, depresi, dan psikosis. Di samping itu,

dapat pula berakibat tidak harmonisnya hubungan dengan keluarga, diberhentikan dari

tempat kerja, dikeluarkan dari sekolah, masalah keuangan, terlibat perbuatan illegal

dan kriminal, kecelakaan, bahkan kematian.

Heroin termasuk dalam kelompok NAPZA yang sering disalahgunakan.

Kebiasaan menggunakan heroin atau morfin dengan cara disuntikkan atau ditaruh

dalam rokok oleh kaum muda mulai muncul di Jakarta pada awal tahun 70-an dan

menyebar ke kota besar lainnya sampai sekitar tahun 1976, kemudian meluas lagi

pada tahun 1995 hingga saat ini. Angka kejadian atau jumlah kasusnya meningkat

secara cepat dalam deret ukur. Jumlah pasien Rumah Sakit Ketergantungan Obat

(RSKO) Jakarta meningkat enam kali lipat dalam tahun 1993-1999, dan ternyata dari

penderita yang umumnya berusia 15 – 24 tahun, kebanyakan dari mereka masih aktif

3
bersekolah seperti di sekolah menengah pertama, sekolah menegah atas, atau

perguruan tinggi bahkan ada pula yang masih duduk di sekolah dasar. Angka

kekambuhan dari pecandu yang pernah dirawat pada berbagai pusat terapi dan

rehabilitasi adalah 60-70%. Berdasarkan data laporan di Jakarta, 2-3 orang meninggal

per hari karena penyalahgunaan NAPZA meskipun penyebab kematiannya tidak

selalu oleh karena akibat langsung seperti overdosis. Laporan menunjukkan 80%

penyalahguna NAPZA dengan jarum suntik, menderita hepatitis B/ C, dan 40-50%

tertular HIV.

Berbagai cara telah dikembangkan untuk mengatasi ketergantungan heroin (opioid)

yang meliputi terapi detoksifikasi dan terapi pemeliharaan. Metadon adalah opioid

sintetis yang bersifat agonis. Pemberian metadon dalam terapi detoksifikasi

merupakan standar terapi di banyak negara. Terapi dengan metadon cair di Indonesia

berhasil menunjukkan perbaikan kualitas hidup dari segi fisik, psikologi, hubungan

sosial dan lingkungan, menurunkan angka kriminalitas, penurunan depresi dan

perbaikan kembali ke aktivitas sebagai anggota masyarakat. Pemberian metadon dapat

dianggap sebagai substitusi opioid yang akan diturunkan dosisnya secara bertahap.

Meskipun demikian seringkali keputusasaan dari terapis muncul ketika perubahan

perilaku ke arah perilaku yang lebih sehat tidak terjadi. Namun dalam dekade terakhir

telah dikembangkan teknik motivational interviewing (MI) yaitu konseling terarah

dan berbasis pasien dengan tujuan memperbaiki perilaku & membantu pasien

mengeksplorasi dan mengatasi ambivalensi karena pada dasarnya penyalahgunaan zat

adalah hanya suatu gejala dari gangguan yang mendasarinya.

Mattick, Ward, dan Hall (1998) meneliti tiga kelompok dimana kelompok

yang pertama diberikan metadon saja, kelompok kedua diberikan metadon dan

konseling minimal, dan kelompok ketiga diberikan metadon dan konseling intensif.

4
Hasilnya didapatkan tingkat urine positif mengandung opioid paling tinggi pada

kelompok satu yang hanya diberikan metadon tanpa konseling. Valerie A. Gruber dkk

(2008) melaporkan penurunan dosis metadon pada kelompok yang diberikan metadon

dan konseling minimal atau standar dengan metode MI selama 6 bulan dibandingkan

kelompok metadon yang hanya dilakukan detoksifikasi selama 21 hari, dan bahkan

36% diantaranya menyatakan akan berhenti menggunakan atau hanya sesekali. Dalam

penelitian Kate B. Carey dkk, dilaporkan bahwa dari 30 pasien, terdapat 22 pasien

yang menyatakan kesiapannya mengubah perilaku penyalahgunaannya dan

keinginannya untuk terlibat penuh dan bekerja sama dalam terapi ketergantungannya.

Tujuan dari MI adalah menumbuhkan motivasi pasien untuk berubah dan

menurunkan resistensi pasien mengenai ide mengurangi konsumsi obat. Terdapat

empat prinsip utama dalam teknik MI yaitu express empathy, support self-efficacy,

roll with resistance, dan develop discrepancy. Dengan menerapkan keempat prinsip

ini, MI dapat menghasilkan respons yang terfokus pada ambivalensi dalam tahap-

tahap krusial kontemplasi dan determinasi dan mungkin berguna juga jika

ambivalensi terjadi dalam tahap lebih jauh. Variasi jenis kelamin klien, etnis, dan

status sosioekonomi tampaknya tidak berpengaruh pada hasil studi MI (Brown dan

Miller, 1993), yang mengindikasikan bahwa MI dapat digunakan sebagai intervensi

klinis yang sesuai untuk banyak konsumen.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh motivational interviewing

terhadap peserta program terapi rumatan metadon.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan jumlah sampel 47

peserta program terapi rumatan metadon (PTRM), pada bulan Desember 2010 sampai

5
dengan Februari 2011, melibatkan dua kelompok pengguna opioid yang menerima

terapi metadon, yaitu satu kelompok pasien yang menerima metadon dengan

motivational interviewing selama 12 sesi (kelompok perlakuan) dan satu kelompok

pasien yang hanya menerima metadon (kelompok kontrol). Data kemudian diolah

dengan uji chi square (X2).

HASIL

Sampel penelitian sebanyak 47 orang yang memenuhi kriteria sampel

penelitian, terdiri dari 23 orang kelompok perlakuan, dan 24 orang kelompok

kontrol.

Tabel 1. Dosis Awal dan Skor OOWS pada Kedua Kelompok

MI(n=23) Non MI(n=24)

Variabel Min-Maks Median Min-Maks Median Mann Whitney U

Test

DosisMetadon 40 – 100 60,0 30 - 90 60,0 p=0,821

Skor OOWS 2–5 3,0 2–3 2,0 p=0,074

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa Dosis Awal Metadon bervariasi dari 40 sampai 100

mg dengan median sebesar 60,0 mg pada kelompok MI, sedangkan pada kelompok

non MI bervariasi dari 30 – 90 mg dengan median sebesar 60,0 mg. Hasil uji Mann

Whitney tidak menunjukkkan perbedaan yang bermakna (p>0,05). Begitupula skor

OOWS antara kedua kelompok, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna (p>0,05);

walaupun skor OOWS pada kelompok MI bervariasi dari 2 sampai 5 dengan median

sebesar 3,0 dan pada kelompok non MI bervariasi dari 2 sampai 3 dengan median

sebesar 2,0.

6
7
Tabel 2. Distribusi Kategori Rekognisi, Ambivalensi dan Taking Step Awal pada
Kedua Kelompok

Variabel Penelitian Kelompok Mann Whitney U Test


MI (n=23) Non MI (n=24)
Rekognisi
Sangat Rendah 7 0 p=0,259
Rendah 8 17
Sedang 8 6
Tinggi 0 1
Sangat Tinggi 0 0
Ambivalensi
Sangat Rendah 0 0 p=0,644
Rendah 5 6
Sedang 6 8
Tinggi 6 4
Sangat Tinggi 6 6
Taking Step
Sangat Rendah 1 0 p=0,438
Rendah 5 0
Sedang 5 10
Tinggi 6 9
Sangat Tinggi 6 5

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa distribusi kategori kognisi awal pada kelompok MI

bervariasi dari sangat rendah sampai sedang, sedangkan pada kelompok non MI

bervariasi dari rendah sampai tinggi. tetapi hasil uji Mann Whitney tidak menujukkan

perbedaan yang bermakna (p>0,05). Begitupula distribusi kategori ambivalensi dan

taking step pada kedua kelompok, tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna

(p>0,05), walaupun distribusi kategori ambivalensi pada kedua kelompok tidak persis

sama, begitupula pada distribusi kategori taking step.

PENGARUH MOTIVATIONAL INTERVIEWING (MI) TERHADAP

PERUBAHAN REKOGNISI

Untuk mengetahui pengaruh MI terhadap perubahan rekognisi, dilakukan

tabulasi silang antara kategori rekognisi awal dengan kategori rekognisi akhir pada

kedua kelompok, hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.

8
Tabel 3. Distribusi Kategori Rekognisi Awal dan Akhir pada Kedua Kelompok

Rekognisi Akhir
Kelompok Rekognisi Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat Total
Awal Rendah Tinggi
MI Sangat Rendah 1 4 1 1 0 7
Rendah 0 1 5 2 0 8
Sedang 0 0 3 4 1 8
Tinggi 0 0 0 0 0 0
Sangat Tinggi 0 0 0 0 0 0
Total 1 5 9 7 1 23
Non MI Sangat Rendah 0 0 0 0 0 0
Rendah 0 16 1 0 0 17
Sedang 0 0 5 1 0 6
Tinggi 0 0 0 1 0 1
Sangat Tinggi 0 0 0 0 0 0
Total 0 16 6 2 0 24

Bila perubahan kategori rekognisi tersebut dikategorisasikan menjadi tetap dan

meningkat, maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Perubahan Kategori Rekognisi pada Kedua Kelompok

Perubahan Kategori Kognisi


Kelompok Tetap Meningkat Total Uji X2
MI 5 18 23 p=0,000
Non MI 22 2 24
Keterangan: RR=9,4 (95% CI = 2,4 – 36,0) untuk peningkatan kategori Kognisi oleh MI

Tabel 4 menujukkan bahwa dari 23 orang kelompok MI, lebih banyak mengalami

peningkatan (18 orang) dibandingkan dengan yang tetap (5 orang), sedangkan pada

kelompok non MI sebaliknya, hanya 2 orang yang mengalami peningkatan dan 22

orang lainnya tetap. Hasil uji X2 menujukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05).

PENGARUH MOTIVATIONAL INTERVIEWING (MI) TERHADAP


PERUBAHAN AMBIVALENSI

Untuk mengetahui pengaruh MI terhadap perubahan ambivalensi, dilakukan

tabulasi silang antara kategori ambivalensi awal dengan kategori ambivalensi akhir

pada kedua kelompok, hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.

9
Tabel 5. Distribusi Kategori Ambivalensi Awal dan Akhir pada KeduaKelompok

Ambivalensi Akhir
Kelompok Ambivalensi Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat Total
Awal Rendah Tinggi
MI Sangat Rendah 0 0 0 0 0 0
Rendah 0 0 2 2 1 5
Sedang 0 4 1 0 1 6
Tinggi 0 0 4 2 0 6
Sangat Tinggi 0 0 0 4 2 6
Total 0 4 7 8 4 23
Non MI Sangat Rendah 0 0 0 0 0 0
Rendah 0 6 0 0 0 6
Sedang 0 0 8 0 0 8
Tinggi 0 0 0 4 0 4
Sangat Tinggi 0 0 0 1 5 6
Total 0 6 8 5 5 24

Bila perubahan kategori ambivalensi tersebut dikategorisasikan menjadi tetap dan

meningkat, maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Perubahan Kategori Ambivalensi pada Kedua Kelompok

Perubahan Kategori Ambivalensi


Kelompok Menurun Tetap Meningkat Total Uji X2
MI 12 5 6 23 p=0,000
Non MI 1 23 0 24

Tabel 6 menujukkan bahwa dari 23 orang kelompok MI, lebih banyak mengalami

penurunan (12 orang) dibandingkan dengan yang tetap (5 orang) maupun yang

meningkat (6 orang), sedangkan pada kelompok Non MI sebaliknya, hanya 1 orang

yang mengalami penurunan dan 23 orang lainnya tetap. Hasil uji X2 menujukkan

perbedaan yang bermakna (p<0,05).

10
PENGARUH MOTIVATIONAL INTERVIEWING (MI) TERHADAP
PERUBAHAN TAKING STEP

Untuk mengetahui pengaruh MI terhadap perubahan Taking Step, dilakukan tabulasi

silang antara kategori Taking step awal dengan kategori Taking step akhir pada kedua

kelompok, hasilnya dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Distribusi Taking Step Awal dan Akhir pada Kedua Kelompok

Taking Step Akhir


Kelompok Taking Step Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat Total
Awal Rendah Tinggi
MI Sangat Rendah 0 0 1 0 0 1
Rendah 0 0 2 2 1 5
Sedang 0 0 1 3 1 5
Tinggi 0 0 1 3 2 6
Sangat Tinggi 0 0 0 0 6 6
Total 0 0 5 8 10 23
Non MI Sangat Rendah 0 0 0 0 0 0
Rendah 0 0 0 0 0 0
Sedang 0 3 7 0 0 10
Tinggi 0 0 1 8 0 9
Sangat Tinggi 0 0 0 2 3 5
Total 0 3 8 10 3 24

Bila perubahan kategori Taking step tersebut dikategorisasikan menjadi tetap dan

meningkat, maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Perubahan Kategori Taking Step pada Kedua Kelompok

Perubahan Kategori Ambivalensi


Kelompok Menurun Tetap Meningkat Total Uji X2
MI 1 10 12 23 p=0,000
Non MI 6 18 0 24

Tabel 8 menujukkan bahwa dari 23 orang kelompok MI, lebih banyak mengalami

peningkatan (12 orang), sedangkan pada kelompok non MI sebaliknya, tidak ada yang

mengalami peningkatan, sebagian besar (18 orang) tetap dan lainnya (6 orang) justru

menurun.. Hasil uji X2 menujukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05).

11
PENGARUH MOTIVATIONAL INTERVIEWING (MI) TERHADAP
PERUBAHAN SKOR OOWS

Pengaruh MI terhadap perubahan skor OOWS, dilakukan analisis perbedaan

perubahan skor OOWS pada kedua kelompok. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Perubahan Kategori Skor OOWS pada Kedua Kelompok

Perubahan Skor OOWS


Kelompok Tetap Menurun 1 Menurun 2 Total Uji X2
satuan satauan
MI 11 5 7 23 p=0,008
Non MI 20 4 0 24

Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa pada kelompok MI, lebih banyak (12 orang)

mengalami penurunan dan 7 orang diantaranya mengalami penurunan 2 satuan,

sedangkan pada kelompok Non MI lebih banyak (20 orang) tetap dan 4 orang

mengalami penurunan, tetapi hanya 1 satuan. Hasil uji X2 menunjukkan perbedaan

yang bermakna (p<0,05).

DISKUSI

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa motivational interviewing memiliki

pengaruh terhadap peningkatan motivasi. Hal ini dapat dilihat pada ketiga aspek

motivasi yang dinilai pada penelitian ini yaitu rekognisi (pemahaman), ambivalensi

dan taking steps (tindakan yang diambil) pada peserta program terapi rumatan dengan

metadon. Ternyata setelah pemberian MI pada kelompok perlakuan, ketiga aspek

motivasi tersebut mengalami perubahan yang bermakna bila dibandingkan dengan

kelompok yang tidak diberikan MI. Peningkatan aspek pemahaman peserta PTRM

setelah diberikan MI menunjukkan hasil yang bermakna bila dibandingkan dengan

kelompok yang tidak diberikan MI. Hal ini berarti peserta menjadi semakin

menyadari bahwa mereka memiliki masalah yang berhubungan dengan perilaku

12
penggunaan zat mereka dan hal ini memperlihatkan keinginan untuk berubah dan

menyadari bahwa akan timbul bahaya bila mereka tidak berubah. Walaupun aspek

pemahaman beberapa peserta PTRM yang tidak diberikan MI ada yang mengalami

peningkatan, namun tidak bermakna secara keseluruhan. Peningkatan aspek

pemahaman terjadi mungkin karena berbagai hal misalnya baru saja mendengar

informasi tentang bahaya penggunaan zat atau mendapat nasehat dari orang lain.

Aspek ambivalensi pada peserta yang diberikan MI, mengalami penurunan

yang bermakna bukan berarti peserta sementara kecanduan atau tidak mengakui

memiliki masalah dengan penyalahgunaan zat tetapi hal ini berarti, pemahaman

peserta bertambah /meningkat akan bahaya atau dampak penggunaan zatnya yang

berkelanjutan sehingga ambivalensi/ketidakpastian yang mereka miliki menjadi

terkikis setelah diberikan MI. Namun pada kedua kelompok umumnya memiliki nilai

aspek ambivalensi yang tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

Fauziah dkk.,(2010) dalam penelitian deskriptif analitik, mendapatkan kesiapan

berubah dari penyalahguna zat di Malaysia bahwa sebesar 78,4% diantaranya masih

memiliki ambivalensi yang tinggi tentang keterlibatan mereka dengan ketergantungan

zat yang dapat menimbulkan bahaya.

Aspek yang menilai tindakan yang telah dilakukan oleh peserta PTRM pada

kelompok yang tidak diberikan MI setelah dua belas hari, lebih banyak yang tetap.

Hal ini berarti, mereka tidak melakukan suatu perubahan yang lebih positif dalam

penggunaan zat mereka. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan kelompok yang

diberikan MI, terdapat perbedaan yang bermakna.

Penelitian yang dilakukan oleh Caroline Easton dkk (2000) juga mendapatkan

bahwa motivational interviewing dapat dilihat dan efektif dalam meningkatkan

motivasi untuk merubah penggunaan zat.

13
Motivational interviewing yang diberikan pada penelitian ini sebanyak dua

belas kali perlakuan, menunjukkan hasil yang bermakna dibandingkan tidak diberi

motivational interviewing. Mengingat motivasi adalah kunci untuk berubah,

multidimensi, sifatnya dinamis dan berfluktuasi, dipengaruhi oleh interaksi sosial,

dipengaruhi oleh sikap klinisi dan tugas klinisi untuk menumbuhkan dan mendorong

timbulnya motivasi maka tentunya motivational interviewing sangat baik diberikan

secara berkesinambungan pada peserta program terapi rumatan metadon.

Hasil penelitian yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti

bias pengamat dimana peneliti dalam menilai maupun melaporkan hasil mungkin

cenderung mencatat hasil pemeriksaan gejala putus opioid lebih rendah pada peserta

program terapi rumatan metadon yang diberikan motivational interviewing; efek

Hawthorne pada peserta yang diberikan perlakuan sehingga cenderung untuk bekerja

lebih baik; perbedaan hasil pengukuran (variasi pengukuran) dari inter-observer

maupun intra-observer pada saat melakukan pemeriksaan ataupun variasi biologis dari

setiap peserta.

Motivational interviewing juga memiliki pengaruh terhadap skor gejala putus

opioid yang ditunjukkan oleh peserta PTRM. Pada kelompok yang diberikan MI, skor

gejala putus opiod yang dilihat mengalami penurunan (perubahan/ perbaikan)

dibandingkan sebelumnya.

KESIMPULAN

Motivational interviewing dapat meningkatkan motivasi dan dapat

menurunkan skor gejala putus opioid peserta program terapi rumatan metadon

(PTRM).

14
DAFTAR RUJUKAN

1. Baker A, T Lewin, H Reichler, et al. 2002. Motivational interviewing among


psychiatric in-patients with substance use disorders in Acta Psychiatrica
Scandinavica. Wiley Online Library vol 106, issue 3, pp 233-240.

2. Bogan S, D Gordon, D Hawari, et al. 2003. Adolescent substance use : Risk


and protection. United Nations Office of Drug and Crime. New York.

3. Capito E. 2009. Motivational interviewing and substance use.


http://ezinearticles.com/?expert=EmilyCapito. (Akses 18 February 2009),.

4. Carey KB, MP Carey, SA Maisto, et al. 2002. The feasibility of enhancing


psychiatric outpatients’ readiness to change their substance use. Psychiatric
Services 53 : 602-608.

5. Caroline Easton, PhD, Suzanne Swan. 2000. Motivation to change substance


use among offenders of domestic violence. Journal of Substance Abuse
Treatment 19 (2000). Elsevier, pp 1-5.

6. Departemen Kesehatan RI. 2007. Modul dan Kurikulum Pelatihan Program


Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Direktorat Jenderal Bina Pelayanan
Medik.

7. Farrel M, L Gowing, J Marsden, et al. 2005. Effectiveness of drug dependence


treatment in HIV prevention. International Journal of Drug Policy 16S, pp
S67–S75.

8. Fauziah, Z.Arifin, et al. 2010. Measuring Motivational Readiness for Change


among Drug Addicts in Malaysia: a Descriptive Analysis. The Social Sciences
5 (5) Medwell Journals., pp 429-432.

9. Forman RF, C Dackis, R Rawson. 2002. Substance abuse : 12 principles to


more effective outpatient treatment. Current Psychiatry vol 1, no 6.

10. Gruber VA, KL Delucchi, A Kielstein, et al. 2008. A randomized trial of six-
month methadone maintenance with standard or minimal counseling versus
21-day methadone detoxification. Drug Alcohol Depend 1.,pp 94 (1-3) : 199.

11. Gold PB, KT Brady. 2003. Evidence-based treatments for substance use
disorders. American Psychiatric Association focus 1.,pp 115-122.

12. Hesse M. 2006. The readiness ruler as a measure of readiness to change poly-
drug use in drug abuser. Harm Reduction Journal vol 3.

13. Husin AB. 2002. Penatalaksanaan mutakhir dan komprehensif


ketergantungan napza. Cermin Dunia Kedokteran no. 136.

14. Joewana S. 2003. Opioida. Dalam Gangguan mental dan perilaku akibat
penggunaan zat psikoaktif. Hal 93-105. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

15
15. Kantchelov A, G Vassilev. 2003. Structured motivational interventions in
methadone maintenance treatment. Heroin Add & Rel Clin Probl 5(3)., pp:
13-22.

16. Luty J. 2003. What works in drug addiction? The Royal College Psychiatric.

17. Miller, W.R.,& Tonigan, J.S. 1996. Assessing drinker’s motivation for
change: The stages of Change Readiness and Treatment Eagerness Scale
(SOCRATES). Psychology of Addictive Behaviors 10, pp 81-89.

18. Minkoff K. 2001. Behavioural health recovery management. Chicago.

19. Mullins SM, M Suarez, SJ Ondersma, et al. 2004. The impact of motivational
interviewing on substance abuse treatment retention : A randomized control
trial of women involve with child welfare. Journal of Substance Abuse
Treatment vol 27, issue 1, pp 51-58.

20. National Center for Biotechnology Information (NCBI) Bookshelf. A service


of the National Library of Medicine, National Institute of Health. Centre for
Substance Abuse Treatment. SAMHSA/CSAT Tretment Improvement
Protocols. Rockville (MD): Substance Abuse and Mental Health Service
Administration (US); 1993. Bookshelf ID: NBK26251.

21. Panitia Pengembangan Ilmu Kedokteran Berkelanjutan. 2000. Konsensus


FKUI tentang opiat, masalah medis dan penatalaksanaannya. Balai Penerbit
FKUI.

22. Rollnick S, WR Miller. 1995. Motivational interviewing. Behavioural and


Cognitive Psychotherapy 23, pp 325-334.

23. Sadock BJ, VA Sadock. 2007. Contributions of the psychosocial science. In


Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry. 10th ed. pp 150-156. Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia.

24. Sadock BJ, VA Sadock. 2007. Substance related disorders. In Kaplan and
Sadock’s Synopsis of Psychiatry. 10th ed. pp 658-669. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia.

25. Secades –Villa R, O Garcias-Rodrigues, JR Fernandez-Hermida, et al. 2007.


Psychological bases of the treatment og drug-dependence. Papeles del
Psicólogo vol. 28(1), pp. 29-40.

26. Sheehan DV & Lecrubier Y, et al. 2006. Mini International Neuropsychiatric


Interview (M.I.N.I DSM-IV v. 5.0.0).

27. Squires DD, TB Moyers. 2008. Motivational interviewing. Chicago.

28. Tomlin M Kathyleen, R Helen. Motivational Interviewing and Stage of


Change. Integrating best practice for substance abuse professionals. Hazelden

16
29. Villaume WA, BA Berger, BN Barker. 2006. Learning motivational
interviewing: Scripting a virtual patient. Am J Pharm Educ., 70 (2), pp 33.

30. Wanigaratne S, P Davis, K Pryce, et al. 2005. The effectiveness of


psychological therapies on drug misusing clients. National Treatments
Agency for Substance Misuse.

31. Wicaksana Inu. 2010. Psikoterapi berorientasi Psikoanalitik dalam Terapi


Adiksi Napza. Konferensi Nasional III Psikoterapi. Jakarta.

17

You might also like