You are on page 1of 4

Tugas Modul PGD

FITRIYANA
KEJANG

Definisi
Kejang merupakan manifestasi klinis yang berhubungan dengan gangguan involuntar terhadap
gangguan kesadaran aktifitas motorik, berikutnya abnormalitas dan perubahan yang cepat pada
neuron otak.

Patofisiologi
Gangguan otak
Bisa terjadi peningkatan aliran darah, oksigen dan konsumsi glukosa dan produksi
karbondioksida.
Gangguan sistemik
Merupakan gangguan simpatis dari saraf otonom. Ini mengarah ke hipertensi, takikardi dan
hiperglikemia.

Etiologi
Penyebab dari status epileptikus pada anak berbeda berdasarkan usia. Toksin dan obat-
obatan yang sering menyebabkan kejang. Kebanyakan kasus emergensi yang terjadi pada anak-
anak sebagai sebelumnya dikenal mempunyai kasus epileptik yang sedang mendapatkan
perawatan rumatan yang level terapeutiknya sedang menurun. Penting untuk memberikan
perhatian secepatnya, terhadap stabilitas pasien dan pemahaman kemungkinan etiologi dari
infeksi.
Cari riwayat penyakit, terutama obat-obatan yang didapatkan. Lakukan pemeriksaan fisik
termasuk keseluruhan vital sign. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sesuai usia anak dan
kemungkinan etiologi.
Walupun infeksi SSP, tumor, darah atau trauma kepala bisa mengakibatkan kejang,
mereka juga bisa berkaitan dengan peningkatan tekanan intra kranial (ICP/TIK). Peningkatan
TIK dengan dampak herniasi otak akan mengakibatkan gejala berupa posisi deserebrasi, kaku,
epistotonus, ekstensi dan internal rotasi dari ekstrimitas.

Tatalaksana
Manajemen dari status epileptikus pada anak dimulai dengan: memastikan airways yang adekuat;
pemberian oksigen 100%; pembuatan akses vaskular; pengembalian dan stabilisasi sirkulasi,
monitor status kardiorespirasi dan EEG; dan mencari etiologinya. Pendekatan terapi yang
terorganisir terhadap kejang umum status epileptikus dengan stabilisasi dan terapi yang cukup
akan meningkatkan keselamatan.
Tugas Modul PGD
FITRIYANA
Stabilisasi
Oksigen dan ventilasi
Berikan airway yang paten dengan cara memposisikan kepala anak dan menghisap sekret
yang ada. Selalu berikan oksigen 100% dengan bantuan face mask. Dua kateter rigid yang besar
harus selalu ada secepatnya. Pernafasan oral ataupun nasal sangat berguna. Jangan gunakan
tenaga untuk membuka rahang selama status konvulsi, kalau tidak akan terjadi trauma.
Dekompresi lambung menggunakan pipa oral ataupun pipa nasogastrik harus dilakukan
secepatnya untuk mencegah muntah dan aspirasi sekunder. Jika ada kemungkinan etiologi
traumatik, harus dilakukan stabilisasi terhadap lehernya. Jika diperkirakan tidak ada etiologi
akibat trauma, posisikan pasien pada posisi miring kiri (left lateral decubitus) untuk mencegah
aspirasi isi lambung.
Monitor oksigenasi yang buruk atau hipoventilasi menggunakan pulse oximeter (Saturasi
O2 < 90%) atau menggunakan pemeriksaan analisis gas darah (PaO2 < 65mmHg, PaCO2 > 50
mmHg). Bantu pernafasan seperlu mungkin dengan bag-valve-mask atau intubasi endotrakhea.
Indikasi intubasi endotrakhea menggunakan tekhnik rapid sequence induction adalah: oksigenasi
atau ventilasi yang tidak mencukupi, peningkatan tekanan intrakranial yang membutuhkan
tatalaksana dengan mengontrol oksigenasi dan hiperventilasi, status epileptikus pernafasan yang
membutuhkan anestesi umum. Lakukan intubasi menggunakan teknik rapid sequence induction.
Jika anaknya telah diintubasi dan lumpuh, monitor EEG dan status kardiorespirasinya. Aktivitas
listrik dari kejang yang berkelanjutan yang direkam pada EEG membutuhkan intervensi
tambahan berupa pemberian antikejang.
Sirkulasi dan akses vaskuler
Monitor gejala klinis darri perfusi yang buruk, termasuk denyut sentaral dan perifer,
refiling kapiler yang lama, dan ekstrimitas yang dingin. Pemberian cairan isotonik awal pada
kasus hipovolemik sangat penting.
Buat akses vaskular secepat mungkin untuk pemberian cairan dan antikejang. Akses vena
sangat penting, karena antikejang yang paling efektif dan banyak tersedia adalah dalam bentuk
pemberian intravena (IV), atau intaossea (IO). Membuat akses vena pada bayi atau balita muda
dengan aktivitas kejang yang aktif sulit, karena itu akses pembuluh darah dapat tersedia hanya
melalui infus per IO. Hal ini adalah cara alternatif dalam pemberian antikejang yang memberikan
hasil memuaskan.
Pemberian Antikejang
Status epileptikus umum memberikan respon yang baik terhadap penggunaan antikejang
yang sesuai. Tujuan dari pemberian antikejang adalah mencapai level terapeutik yang efektif
secepat mungkin, dimana idealnya 30 hingga 60 menit setelah tampilan kejang. Sekali antikejang
diberikan, dokter akan memberikan waktu agar antikejang mencapai level terapi di otak.
Obat antikejang yang tersedia untuk terapi status epileptikus dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu: benzodiazepin, fenitoin, dan barbiturat.
Benzodiazepin sangat efektif pada tatalaksana pasien dengan kejang umum status
epileptikus. Lorazepam, midazolam, dan diazepam mempunyai onset cepat (dalam 1 hingga 5
Tugas Modul PGD
FITRIYANA
menit). Setelah pemberian diazepam, kadang kejang kembali lagi datang karena pendeknya
durasi kerja dari diazepam, dan membutuhkan pemberian antikejang kerja lama seperti fenitoin
atau fenobarbital. Lorazepam mempunyai aktivitas antikejang 24 hingga 48 jam. Lorazepam,
oleh beberapa praktisi lebih dipilih dibandingkan diazepam karena mempunyai efek kerja yang
lebih lama. Dosis dari lorazepam ataupun diazepam dapat diulang , jika dibutuhkan, dalam
jangka waktu 10 hingga 15 menit.
Jika anak belum diintubasi, status kardiorespirasi harus dijaga dengan sungguh-
sungguh, dan dokter harus menyediakan bag-mask ventilasi jika dibutuhkan.
Walaupun midazolam IV tidak diketahui memberikan efek yang lebih baik dibandingkan
dengan diazepam atau lorazepam, dia sangat berguna sebagai antikejang IM jika jalur IV atau IO
tidak tersedia. Hingga saat ini, midazolam adalah satu-satunya antikejang dengan onset cepat
yang aman digunakan baik IM ataupun IV pada pasien yang tidak dapat dibuat akses vaskular
secepatnya. Dosis 0,20 mg/kgBB IM berguna secara klinis pada lebih dari 90% pasien dengan
status epileptikus.
Fenitoin adalah obat yang paling efektif pada kejang tonik-klonik idiopatik, kejang fokal,
kejang post traumatik, ataupun kejang psikomotor. Fenitoin bekerja dengan baik pada kejang
absence atau status epileptikus akibat withdrawal sindrom pada penggunaan alkohol , tapi tidak
untuk semua kejang demam. Aktivitas puncak fenitoin di otak dicapai pada 10 hingga 30 menit.
Pemberian fenitoin dengan tepat sangat penting. Infus fenitoin dengan salin, sebab dia
tidak dapat larut dengan baik di air dan akan mengendap pada cairan berisi dekstrosa. Berikan
fenitoin secara intaravena dengan kecepatan kurang dari 1mg/kgBB/menit pada anak-anak atau
50mg/menit pada dewasa. Pemberian infus maksimum adalah 1 g pada anak-anak dan 1,5 g pada
dewasa. Monitor hemodinamik. Pemberian yang cepat dapat mengakibatkan hipotensi, sinus
bradikardi, atau disritmia lainnya serta asistole. Pada paseien dengan pemberian fenitoin
rumatan, tekanan darahnya akan selalu dibawah sebelum pemberian obat ini.
Fenobarbital punya tingkat efektivitas yang tinggi terhadap semua kejang, terutama untuk
tatalaksana kejang demam dan status epileptikus pada bayi baru lahir. Aktivitas puncak setelah
pemberian IV tercapai dalam 10 hingga 20 menit. Kecepatan pemberian tidak boleh melewati
100 mg/menit. Pemberian dosis tunggal tidak boleh melewati 1 g. Kekurangan utama dari
fenobarbital adalah ia menurunkan status mental secara signifikan, dan punya onset kerja yang
lambat. Fenobarbital dapat digunakan secara aman pada pasien dengan dosis rumatan, tapi
levelnya harus dibawah dosis sebelumnya.
Rute Alternatif Pemberian Obat
Semua antikejang dapat digunakan secara IO jika tidak ada akses vena. Dosisnya sama
dengan dosis IV, walaupun dilantin dengan dosis lebih tinggi dibutuhkan terhadap kemungkinan
retensi obat pada bone marrow.
Pemberian IM fenitoin (10 mg/kgBB) atau midazolam (0,2 mg/kgBB) dapat digunakan
jika tidak ada akses IV ataupun IO dan tidak adanya ETT. Fenobarbital IM cukup optimal.
Pemberian diazepam rektal cukup efektif pada dosis awal 0,5mg/kgBB (maksimum 20
mg). Pemberian parenteral diazepam adalah dengan injeksi pada rektum bawah menggunakan
Tugas Modul PGD
FITRIYANA
spuit 1 cc, pipa makan, atau kateter 6 cm. Pada keadaan pertolongan pertama sebelum di rumah
sakit, diazepam rektal dapat digunakan jika tidak ada akses vaskular.
Terapi Penyebab Spesifik dari Status Epileptikus
Beberapa penyebab dari status epileptikus dapat mengakibatkan kejang yang sulit untuk
dikontrol tanpa mengobati kausanya. Penyebabnya seperti perdarahan intrakranial (terapinya
adalah evakuasi perdarahan), hipoglikemi, hiponatremi, hipernatremi, hipokalsemi,
hipomagnesemi, defisiensi piridoksin (terapi berupa penggantian piridoksin 50-100 mg IV), dan
intoksikasi teofilin, isoniazid atau karbon monoksida. Pemahaman terhadap hal ini, jika kejang
tidak dapat dikontrol dengan terapi awal, akan lansung membantu memberikan terapi definitif.
Terapi Status Epileptikus Refractory
Jika pasien masih kejang lebih dari 60 menit setelah pemberian terapi antikejang mayor
yang adekuat (benzodiazepin, fenitoin dan fenobarbital), harus dilakukan pengontrolan kejang
dengan anestesi umum. Perdarahan intra serebri, trauma hipoksik, meningoensefalitis,
ensefalopati hipertensi dan penyebab idiopatik lain sering dikaitkan dengan status epileptikus
refraktory dan butuh tatalaksana intensif dengan anestesi umum. Semua pasien dengan general
anastesi akan dilumpuhkan dan diitubasi, diperiksa EEG dan status kardiorespirasi secara
berkelanjutan, dab mendapatkan bantuan obat-obatan cardiovaskular. Mereka diterapi dengan
terapi gawat darurat, dengan bantuan anestesiolog pediatrik dan staff gawat darurat yang terbiasa
dalam menangani resiko dan komplikasi seperti ini.
Pemeriksaan Lebih Lanjut
CT-scan emergensi di indikasikan pada semua anak dengan suspek cedera kepala atau
peningkatan tekanan intrakranial dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terlebih dahulu
dilakukan. Perdarahan intrakranial tidak sering mengakibatkan status epileptikus, tetapi dapat
mengakibatkan kematian jika tidak didiagnosis secara tepat dan dievakuasi.
Pungsi lumbal untuk mengambil LCS dan dianalisis serta di kultur diindikasikan jika
anak mempunyai gejala infeksi SSP, tak ada tanda peningkatan TIK atau lesi massa intrakranial,
dan hemodinamiknya stabil. Pelaksanaan LP ataupun CT-scan jangan sampai menunda
pemberian terapi terhadap suspek infeksi SSP.
DISPOSISI
Ketika anak stabil dan kejang dapat dikontrol, penyebab dari kejang harus dicari.
Konsultasi dengan ahli saraf atau bedah saraf dapat membantu. Setengah dari kasus status
epileptikus pada anak tidak mempunyai kausa yang jelas. Setengah dari kasus “idiopatik” ini
terjadi pada pasien dengan demam pada usia 6 bulan hingga 3 tahun. Anak dengan kelainan
status mental setelah pengontrolan status epileptikus, atau dengan status epileptikus yang
berlanjut, harus di bawa ke rumahsakit untuk observasi, pemeriksaan dan tatalaksana lebih
lanjut.

You might also like