You are on page 1of 31

LAPORAN MINI-CEX

CHF, SUSP HIPERTIROID

Pembimbing :
dr. Nani Widorini, Sp.PD

Disusun Oleh:
Btari Farhana Indillah
G4A015195

STASE KOMPREHENSIF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AJIBARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
I. LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Alamat : Sambiaya 05/03 Cilacap
Tanggal masuk RSMS : 30 Desember 2017
Tanggal periksa : 3 Januari 2018
No. CM : 206093

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : sesak napas
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan nafas terasa sesak. Hal tersebut sudah
dirasakan pasien sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan tersebut
dirasakan terus menerus sehingga pasien sulit untuk beraktivitas. Keluhan
pasien semakin berat saat malam hari dan diperingan apabila pasien berada
dalam posisi duduk dan diganjal dengan dua bantal saat tidur.
Selain mengeluhkan napas terasa sesak, pasien juga merasakan adanya
batuk dan pilek serta demam 3 hari yang lalu. Pasien juga mengaku seringkali
berkeringat terutama saat malam hari, sering gemetar pada kedua tangan,
munculnya benjolan pada leher sebelah kiri, serta mengalami penurunan berat
badan namun menurut pengakuannya napsu makan baik. Pasien juga
seringkali mengalami diare dengan konsistensi lembek dan frekuensi 10 kali
per hari. Awalnya pasien mudah lelah saat beraktivitas sehari-hari. Pasien
rutin konsusi obat jantung sejak 1 tahun yg lalu.

2
3. Riwayat penyakit dahulu
Keluhan sesak yang dirasakan pasien pertama kali muncul 1 tahun yang
lalu, namun sesak hanya dirasakan jika pasien beaktivitas sehari-hari saja, dan
saat tidur pasien menggunakan dua bantal sebagai pengganjal, pasien pernah
memeriksakan diri ke dokter dan kemudian diberikan obat jantung yang
diminum ½ tablet secara rutin namun pasien tidak mengetahui dengan jelas
jenis obatnya.
Lima tahun sebelumnya pasien merasakan adanya keluhan sering
berkeringat terutama malam hari, gemetar pada tangan, berdebar, adanya
pembengkakan pada leher sebelah kiri, dan pasien merasa berat badannya
menurun. Pasien sempat diperiksakan oleh majikannya, namun belum
mendapat pengobatan yang sesuai.
Pasien juga sempat menjalani pengobatan TB selama satu tahun dan sudah
dinyatakan sembuh, namun pasien tidak ingat waktunya.
4. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat hipokalemia : disangkal
c. Riwayat hipotiroid/hipertiroid : disangkal
d. Riwayat hipertensi : diakui
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat DM : disangkal
g. Riwayat penyakit jantung : diakui
h. Riwayat stroke : diakui
i. Riwayat penyakit paru : disangkal
j. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat sosial dan exposure
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan yang lumayan ramai. Jarak antar rumah
berdekatan. Hubungan pasien dengan keluarga, masyarakat teman-teman
di sekitar lingkungan rumahnya baik.
b. Home

3
Pasien tinggal bersama suami, tante dan kedua anaknya. Rumah yang
dihuni terdiri dari 3 kamar tidur, ruang tamu, ruang makan dan dapur,
memiliki kamar mandi dan berjamban. Atapnya memakai genteng dan
berlantai keramik.
c. Occupational
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga.
d. Diet
Dalam kesehariannya, pasien mengaku makan 3-4x sehari dengan lauk
yang tidak menetap. Pasien mengaku sering mengkonsumsi sayur dan
buah-buahan, serta konsumsi air putih.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : tampak sesak
2. Kesadaran : compos mentis
3. Vital sign
TD : 140/90 mmHg
N :132 x / menit
RR : 30 x / menit
S : 38.4 oC
Status Generalis
Bentuk kepala : Mesocephal, simetris, tanda radang (-)
Rambut : Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut, terdistribusi
merata
Mata : Simetris, edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) normal isokor 3 mm
Telinga : Discharge (-/-), deformitas (-/-)
Hidung : Discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), lidah sianosis (-), atrofi papil
lidah (-)
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (+)
konsisteni kenyal, nyeri tekan (-), diameter 4 cm, imobie

4
bruit (-), JVP 7 ± 2 cmH2O, pembesaran kelenjar getah
bening (-)

Status Lokalis
Pulmo
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (+),
ketinggalan gerak (-), jejas (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan
hemitoraks kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+) meningkat, RBH (+/+), RBK
(-/-),
wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak di SIC V linea midclavicula
sinistra, pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-)
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba di SIC V linea midclavicula
sinistra, kuat angkat (+)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LMCS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (+) derajat III
Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, tes pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi : Supel, undulasi (-), nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba

5
Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (+/+), sianosis (-/-), ikterik (-/-),
kelemahan anggota gerak (5/5), tremor halus (+/+),
berkeringat (+/+)
Inferior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-),
kelemahan anggota gerak (4/4)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 26 September 2016
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 11.5 gr/dL 11,7 – 17,3 g/dL
Leukosit 13.820 U/L (↑) 3.600 – 10.600 U/L
Hematokrit 33.4 % 40 – 52 %
Trombosit 196.000 /uL 150.000 – 440.000 /uL
MCV 77,5 fL 80 – 100 fL
MCH 25,7 pg/cell ↓ 26 – 34 pg/cell
MCHC 34,4 % 32 – 36 %
Hitung Jenis
Basofil 0% 0–1%
Eosinofil 0% 2–4%
Batang 0% 3–5%
Segmen 70 % 50 – 70 %
Limfosit 20 % 25 – 40 %
Monosit 10 % 2–8%
Kimia klinik
GDS 104 mg/dL <= 200
Natrium 137 mmol/L (↓) 136-145 mmol/L
Kalium 3,6 mmol/L (↓) 3,5-5,1 mmol/L
Klorida 98 mmol/L (↑) 98-107 mmol/L

6
E. DIAGNOSIS KERJA
CHF, Susp Hipertiroid, Bronkitis akut
F. PENATALAKSANAAN
A. Farmakologi :
O2 4 lpm NK
Inf. Ka EN 3B 20 tpm
Propranolol 3 x 20 mg
Digoxin 1 x 1 tab
Ambroxol syrup 3 x 2 cth
Curcuma 3 x1 tab
Paracetamol 3 x 500 mg, jika suhu > 39 C infus PCT gram
Nebu NaCl 3% per 24 jam
B. Non-Farmakologi :
1. Istirahat yang cukup jika pasien merasakan kelelahan.
2. Jangan beraktivitas terlalu berlebihan
G. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad malam
Ad fungsionam : Dubia ad malam
Ad sanationam : Dubia ad malam

7
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Jantung Kongestif

1. Definisi
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan
fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan / atau kemampuannya
hanya ada kalau disertau peninggian volume diastolik secara abnormal
(Sudoyo, 2006).
Gagal jantung kongestif merupakan sindrom klinis yang disebabkan
oleh kelainan struktur atau fungsi jantung sehingga jantung mengalami
gangguan dalam memompa darah yang mengakibatkan kongesti pada
pembuluh darah pulmoner dan menurunya kardiak output (Sudoyo,
2006).Sindrom klinis gagal jantung disebabkan gangguan dari perikardium,
miokardium, endokardium, katup jantung, atau pembuluh darah besar.
Kebanyakan pasien dengan gagal jantung memiliki gejala karena gangguan
miokard ventrikel kiri. Gagal jantung tidak sama dengan kardiomiopati atau
disfungsi ventrikel kiri; istilah-istilah tersebut hanya menggambarkan
kondisi struktural atau fungsional dari gagal jantung dalam perjalanan
penyakit gagal jantung. Gagal jantung selalu berhubungan dengan adanya
pembesaran ventrikel kiri dan penurunan ejeksi darah dari jantung (Yancy,
et al., 2013).
2. Etiologi
Secara garis besar penyebab gagal jantung dibagi menjadi 4 menjadi:
a. Underlying cause
Penyebab struktural yang abnormal (kongenital atau didapat) yang
mempengaruhi sirkulasi arteri perifer dan koroner, perikardium,
miokardium, atau katup jantung sehingga menyebabkan beban jantung
menjadi meningkat dan insufisiensi miokard atau koroner. Contohnya

8
adalah: penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, penyakit
katup jantung, aritmia, infeksi (miokarditis), penyakit jantung bawaan,
dan kardiomiopati idiopatik.
b. Penyebab yang fundamental
Penyebab yang melibatkan mekanisme biokimia dan fisiologi, sehingga
menyebabkan beban hemodinamik meningkat atau adanya penurunan
asupan oksigen ke miokard sehingga terjadilah penurunan kekuatan
kontraksi miokard.
c. Penyebab yang mempercepat
Dekompensasi terjadi karena adanya treatment yang kurang baik pada
penderita, misalnya: tidak adanya restriksi diet garam, restriksi aktivitas
berat, atau terjadinya penurunan dosis obat.
d. Kardiomiopati genetic
Dilatasi, aritmik ventrikel kanan dan kardiomiopati restriktif merupakan
penyebab genetik dari gagal jantung. Pada keluarga kandung penderita
sebaiknya dilakukan skrining jantung dengan EKG dan ECG karena
kadang terjadi left ventricle dysfunction asimptomatik.
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan
sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.
Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor
yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung
(Rodeheffer, R., 2005). Selain itu, berat badan serta tingginya rasio
kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko
independen perkembangan gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan
meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian
(Jackson, G., 2000).
Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa
mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri
dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik aritmia atrial maupun aritmia ventrikel.

9
Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan
kuat dengan perkembangan gagal jantung (Jackson, G., 2000).
3. Patogenesis
Gagal jantung merupakan suatu keadaan klinis yang merupakan
sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu
memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung
ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal serta
suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung.
Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan
tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon
terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang
bertujuan untuk meningkatkan volume darah, volume ruang jantung,
tahanan pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga
menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa
penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi sistem saraf adrenergik
(Mann, 2008).
Pada beberapa keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul
gagal jantung sebagai pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung
intrinsik. Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi
secara klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung
yang ringan. Pada awal gagal jantung akibat CO yang rendah, di dalam
tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan sistem renin
angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang merupakan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang
adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah
jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan
volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme
kompensasi neurohumoral(Mann, 2008).
Melalui mekanisme kompensasi neurohormonal, gagal jantung
merupakan hasil ekspresi berlebihan suatu molekul yang secara aktif
biologis yang mampu memberikan efek kerusakan jantung dan sirkulasi.
Pengaturan mekanisme ini bersifat adaptif dan non adaptif. Bersifat adaptif

10
apabila selama mekanisme ini berlangsung system dapat memelihara
tekanan perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung. Bersifat non
adaptif apabila menimbulkan peningkatan hemodinamik melebihi batas
ambang normal, meningkatkan kebutuhan oksigen, dan memicu cedera sel
miokard (Hess, 2007)
Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan
meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan
meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila
keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload
dan hipertrofi dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga
terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dilatasi ventrikel
menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan retensi cairan
meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung yang berdilatasi tidak
efisien secara mekanis. Jika persediaan energi terbatas selanjutnya bisa
menyebabkan gangguan kontraktilitas. Selain itu kekakuan ventrikel akan
menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel. Pada gagal jantung kongestif
terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi sistemik dari trombus mural, dan
disritmia ventrikel refrakter. Keadaan penyakit jantung koroner sebagai
salah satu etiologi CHF akan menurunkan aliran darah ke miokard yang
akan menyebabkan iskemik miokard dengan komplikasi gangguan irama
dan sistem konduksi kelistrikan jantung. Beberapa data menyebutkan
bradiaritmia dan penurunan aktivitas listrik menunjukan peningkatan
presentase kematian jantung mendadak, karena frekuensi takikardi ventrikel
dan fibrilasi ventrikel menurun (Mann, 2008).
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan
kemampuan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih
rendah dari curah jantung normal. Konsep curah jantung paling baik
dijelaskan dengan persamaan CO= HR X SV dimana curah jantung adalah
fungsi frekuensi jantung X volume sekuncup. Curah jantung yang
berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis akan mempercepat
frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung, bila mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka

11
volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk
mempertahankan curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah
utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup
berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan (Mann,
2008).

Gambar 1. Patofisilogi Gagal Jantung (Smeltzer 2002)

12
4. Penegakkan Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
 Gejala dan tanda sesak nafas
Sesak napas selama melakukan aktivitas (paling sering), saat
istirahat, atau saat tidur, yang mungkin datang tiba-tiba dan
membangunkan. Pasien sering mengalami kesulitan bernapas
sambil berbaring datar dan mungkin perlu untuk menopang tubuh
bagian atas dan kepala di dua bantal. Pasien sering mengeluh bangun
lelah atau merasa cemas dan gelisah.
 Gejala kardiaklainnya seperti nyeri dada danjantung berdebar
 Gejalanonkardiakumum dangejala gagal jantung meliputi anoreksia,
mual, penurunan berat badan, kembung, kelelahan, kelemahan,
oliguria, nokturia, dan gejalaserebraldari berbagai tingkat
keparahan, mulai darikecemasan, gangguan memori,dan
kebingungan(Lam, 2011).
Penegakkan diagnosis CHF juga dapat dilakukan dengan criteria
Framingham yang dibagi dalam criteria mayor dan minor :
Kriteria mayor
1) Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
2) Peningkatan tekanan vena jugularis
3) Ronki basah tidak nyaring
4) Kardiomegali
5) Edema paru akut
6) Irama derap S3
7) peningkatan tekanan vena >16 cm H2O
8) Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
1) edema pergelangan kaki
2) Batuk malam hari
3) Dyspnea d’effort
4) Hepatomegali

13
5) Efusi pleura
6) Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum
7) Takikardi (>120x/menit)
New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional
dalam 4 kelas :
Kelas 1 : Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan
Kelas 2 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari
aktivitas sehari – hari tanpa keluhan.
Kelas 3 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari
tanpakeluhan
Kelas 4 :Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitasapapun
dan harus tirah baring
American College of Cardiology/American Heart Association
(ACC/AHA) heart failure guidelines melengkapi klasifikasi NYHA untuk
menggambarkan perkembangan penyakit dan dibagi menjadi 4 stage, yaitu:
a. Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak
memiliki penyakit jantung struktural atau gejala-gejala dari gagal
jantung
b. Stage B pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak
memiliki gejala gejala dari gagal jantung
c. Stage C pasien memiliki penyakit jantung struktural dan memiliki
gejala-gejala dari gagal jantung
d. Stage D pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut
intervensi khusus (Kumar et al., 2007).

b. Pemeriksaan penunjang
1) Foto rontgen dada: pembesaran jantung, distensi vena
pulmonaris dan redistribusinya ke apeks paru (opasifikasi hilus
paru bisa sampai ke apeks),peningkatan tekanan vascular
pulmonari, kadang-kadang ditemukan efusipleura.

14
2) Elektrokardiografi: membantu menunjukkan etiologi gagal
jantung (infark,iskemia, hipertrofi dll) dapat ditemukan low
voltage, T inverse, QS, depresi ST.
3) Laboratorium
Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit),
hemoglobin, tesfungsi tiroid, tes fungsi hati, dan lipid darah.
Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria atau glukosuria
4) Ekokardiograf
Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang
funsi danstruktur jantung, katup dan perikard.

5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi
penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis.
Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk
mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan
secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi.
a. Terapi medikamentosa
Terapi farmakologik terdiri atas panghambat ACE, Antagonis
Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, β-blocker, vasodilator
lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.
1) Diuretik
Diuretik digunakan pada semua keadaan yang bertujuan
meningkatan pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan gagal
jantung. Diuterik yang sering digunakan golongan diuterik loop dan
thiazid. Diuretik Loop (bumetamid, furosemid) meningkatkan
ekskresi natrium dan cairan ginjal dengan tempat kerja pada ansa
henle asenden, namun efeknya bila diberikan secara oral dapat
menghilangkan pada gagal jantung berat karena absorbs usus.
Diuretik ini menyebabkan hiperurisemia. Dosis furosemid adalah
20-40 mg satu kali atau dua kali per hari.

15
Diuretik Thiazid (bendroflumetiazid, klorotiazid,
hidroklorotiazid, mefrusid, metolazon). Menghambat reabsorbsi
garam di tubulus distal dan membantu reabsorbsi kalsium. Diuretik
ini kurang efektif dibandingkan dengan diuretik loop dan sangat
tidak efektif bila laju filtrasi glomerulus turun dibawah 30%.
Penggunaan kombinasi diuretik loop dengan diuretik thiazid bersifat
sinergis. Thiazid memiliki efek vasodilatasi langsung pada arterior
perifer dan dapat menyebabkan intoleransi karbohidrat.
Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila
respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan
diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid.
Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari
dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung
sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal
jantung sistolik.
2) Digoksin
Digoksin dapat meningkatkan kontraktilitas miokard sehingga
memeperkuat kontraksi jantung, hingga stroke volume.Digoksin
diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi
sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial,
digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.
3) Vasodilator
Vasodilator dapat menurunkan afterload jantung dan tegangan
dinding ventrikel, yang merupakan determinan utama kebutuhan
oksigen moikard, menurunkan konsumsi oksigen miokard dan
meningkatkan curah jantung. Vasodilator dapat bekerja pada sistem
vena (nitrat) atau arteri (hidralazin) atau memiliki efek campuran
vasodilator dan dilator arteri (ACEI, ARB dan nitroprusida).
Vasodilator menurukan preload pada pasien yang mengkonsumsi
diuretik dosis tinggi, dapat menurunkan curah jantung dan
menyebabkan hipotensi postural.

16
Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas
neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi
sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah,
dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.

4) Beta blocker
Beta blockerbiasanya dihindari pada gagal jantung karena
kerja inotropik negatifnya. Namun, stimulasi simpatik jangka
panjang yang terjadi pada gagal jantung menyebabkan regulasi turun
pada reseptor beta jantung. Dengan memblok paling tidak beberapa
aktivitas simpatik, beta blocker dapat meningkatkan densitas
reseptor beta dan menghasilkan sensitivitas jantung yang lebih
tinggi terhadap simulasi inotropik katekolamin dalam sirkulasi. Beta
blocker juga dapat bekerja untuk mengurangi aritmia dan iskemi
miokard.
Beta blocker bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa
minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya
diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung kelas
fungsional II dan III. Beta blocker yang digunakan carvedilol,
bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan
penghambat ACE dan diuretik.
5) Antikoagulan
Antikoagulan digunakan pada keadaan dimana terdapat
kecenderungan darah untuk membeku yang meningkat, misalnya
pada trombosis. Pada trombosis koroner (infark), sebagian obat
jantung menjadi tidak bekerja karena penyaluran darah kebagian ini
terhalang oleh trombus disalah satu cabangnya. Contohnya adalah
warfarin.Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral
pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang
buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis

17
maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan Trancient Ischemic
Attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
6) Antiaritmia
Antiaritmia dapat menormalisasi frekuensi dan ritme dari
detak jantung. Obat-obatan ini juga dapat memeperparah atau justru
menimbulkan aritmia. Obat antiaritmia memepertahankan irama
sinus pada gagal jantung dan memberikan keuntungan simtomatik.
Amiodaron merupakan obat yang paling efektif dalam mencegah
atrial fibrilasi (AF).
Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang
asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas
I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa.
Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk
terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial
dan tidak dapat digunakan untuk mencegah kematian mendadak.

7) Nitrat
Nitrat dapat mengurangi kongesti paru tanpa
memepengaruhi stroke volume atau meningkatkan kebutuhan
oksigen oleh miokard pada gagal jantung akut. Akan lebih baik di
kombinasikan dengan furosemid dengan dosis rendah.Contohnya
adalah ISDN, nitrogliserin, dan ISMN)
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan
(1,5-2 L/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada
pasien. Tirah baring jangka pendek dapat membantu perbaikan
gejala karena mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi
ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada penderita
dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada
penderita dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat
dengan dilatasi ventrikel (Grady et al., 2000).
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis
dispneu, takikardia serta cemas, pada kasus yang lebih berat

18
penderita tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi
(tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria serta cardiac output
yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi syok
kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik
biasanya timbul pada infark miokard luas, aritmia yang menetap
(fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya problem mekanis
seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum ventrikel
pasca infark (Grady et al., 2000).
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi
dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk
mengetahui penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan
kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan
penderita dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang
dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang
akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan
di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan,
semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat
metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi
hipoperfusi memperbaiki asidosis,pemberian bikarbonat hanya
diberikan pada kasus yang refrakter (Grady et al., 2000).
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan
menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun
belum ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi
prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin
inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus
dihindari bila memungkinkan (Grady et al., 2000).
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting
dalam penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat
menurunkan kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan
kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan tekanan

19
pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2-3 mg
intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan (Grady et al., 2000).
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus)
mengurangi preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna
untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah
bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi
menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga
dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan
antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan.
Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian intravena
dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16-24 jam (Grady et al.,
2000).
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator
yang diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien
gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside
dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis
0,3-0,5 μg/kg/menit (Grady et al., 2000).
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan
vasodilator. Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan
yang dihasilkan ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki
hemodinamik dan neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas
susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin, aldosteron
dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan
pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan
stroke volume karena berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya
adalah bolus 2 μg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01
μg/kg/menit (Grady et al., 2000).
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal
jantung akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat
inotropik dan / atau vasodilator digunakan pada penderita gagal
jantung akut dengan tekanan darah 85-100 mmHg. Jika tekanan
sistolik <85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor merupakan

20
pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat
meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi
perfusi jaringan bila tekanan arteri rata-rata >65 mmHg (Grady et
al., 2000).
Pemberian dopamin 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2-5 μg/kg/mnt
akan merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi
peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian 5-15
μg/kg/menit akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta
yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi.
Pemberian dopamin akan merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2,
menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik
(vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2-3
μg/kg/menit, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis
2,5-15 μg/kg/menit. Pada pasien yang telah mendapat terapi
penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15-20
μg/kg/mnt (Grady et al., 2000).
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-
AMP menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan
inotropik jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah
milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi
penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat
terapi penyekat beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis
milrinone intravena 25 μg/kg bolus 10-20 menit kemudian infus
0,375-075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25-0,75 μg/kg bolus
kemudian 1,25-7,5 μg/kg/mnt (Grady et al., 2000).
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal
jantung akut yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah
<70 mmHg. Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan
tekanan darah <90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah
sistolik 30 mmHg selama 30 menit. Obat yang biasa digunakan
adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus

21
kontinyu dengan dosis 0,05-0,5 μg/kg/menit. Norepinefrin diberikan
dengan dosis 0,2-1 μg/kg/menit (Grady et al., 2000).
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang
menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau
dekompensasi. Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan
sindrom koroner akut. Bila penderita datang dengan hipertensi
emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan
afterload. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
seperti lood diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside intravena
maupun natagonis kalsium intravena (nicardipine). Loop diuretik
diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat
untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah
koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi
diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal
ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantungharus diterapi
(Grady et al., 2000).
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah pompa
balon intra aorta, pemasangan pacu jantung, implantable
cardioverter defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon
intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau syok
kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan,
disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel.
Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk mempertahankan laju
jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel,
diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang simtomatik
dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable
cardioverterdevice bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan
takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa
mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada
penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap
terapi terutama inotropik (Grady et al., 2000).
b. Terapi non medikamentosa

22
1) Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.
2) Aktivitas fisik yang berat sebaiknya dikurangi untuk mengurangi beban
kerja jantung karena demand oksigen yang tinggi.Aktivitas sosial dan
pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan
kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan. Aktivitas
fisik (latihan jasmani jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau
sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80%
denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).
3) Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
4) Pemberian oksigen bisa diberikan jika pasien merasa sangat sesak.
5) Merokok bisa menurunkan curah jantung, meningkatkan denyut
jantung, dan meningkatkan resistensi vascular sistemik dan pulmonal
sehingga harus dihentikan.
6) Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang
lainnya.
7) Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 gram pada gagal jantung
ringan dan 1 gram pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada
gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
8) Edukasi mengenai hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.

6. Komplikasi
a. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau
gagal jantung kongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami gangguan
yang sangat luas. Otot jantung kehilangan kontraktilitasnya,
mengakibatkan penurunan curah jantung dengan perfusi jaringan yang
tidak adekuat ke organ vital (jantung, otak, ginjal). Tanda klasik syok
kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat dan lemah,
hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi,
penurunan keluaran urine, serta kulit yang dingin.
b. Gagal Ginjal

23
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah menuju ginjal yang akan
menyebabkan gangguan fungsi ginjal apabila tidak diatasi dengan baik.
Penderita gagal ginjal yang disebabkan oleh gagal jantung biasanya
memerlukan terapi dialisis.
c. Kelainan Katup
Seiring dengan bertambahnya pembesaran jantung dan tekanan di dalam
jantung maka katup katup jantung akan berisiko tidak berfungsi dengan
baik. Tanda yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan yaitu
tersengarnya murmur pada katup-katup jantung.
d. Kerusakan Hati
Gagal jantung dapat menimbulkan bendungan pada organ-organ yang
dilewati oleh darah sebelum kembali ke jantung, salah satunya adalah
hati. Akan terjadi penumpukan cairan dan peregangan kapsula hati yang
menimbulkan nyeri dan penurunan fungsi hati. Kongesti ini akan
disertai oleh pelebaran vena hepatika.
7. Prognosis
CHF memiliki sifat letal dan menyebabkan risiko kematian yang
tinggi. Prognosis lebih baik ditemukan pada wanita dan orang dengan usia
muda. (Anderson, et al, 1993). Prognosis penyakit ini akan jelek bila dasar
atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal
jantung memiliki resiko tinggi meninggal dunia dalam empat tahun sejak
diagnosis ditegakkan dan pada gagal jantung berat, lebih dari 50% akan
meninggal dalam waktu satu tahun (Manggioni, 2005). Sementara
prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu (Hauser
et al., 2005):
1. Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%
2. Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
3. Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
4. Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%
B. Hipertiroid
1. Definisi
Hipertiroid adalah suatu keadaan yang diakibatkan dari efek metabolik

24
peningkatan konsentrasi hormon tiroid (T3, T4, atau pun keduanya) yang
bersirkulasi dalam darah (Camacho et al., 2012). Hipertiroid subklinis adalah
berdasarkan hasil pemeriksaan kombinasi antara kadar TSH yang rendah
yaitu <0,5 mU/L menurun dan kadar T3 dan T4 normal, tanpa
memperhatikkan ada dan tidaknya gejala klinis (Camacho et al., 2012;
Tjokroprawiro et al., 2010).
2. Tanda dan gejala
Tabel 3.1. Tanda dan Gejala Hipertiroid (Indeks Wayne)
Indeks Wayne
Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau
No Nilai
Bertambah Berat
1 Sesak saat kerja +1
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3
9 Nafsu makan turun -3
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3

No Tanda Ada Tidak Ada


1 Tyroid teraba +3 -3
2 Bising tyroid +2 -2
3 Exoptalmus +2 -
Kelopak mata tertinggal gerak
4 +1 -
bola mata
5 Hiperkinetik +4 -2
6 Tremor jari +1 -
7 Tangan panas +2 -2
8 Tangan basah +1 -1
9 Fibrilasi atrial +4 -
Nadi teratur
< 80x per menit - -3
10
80 – 90x per menit - -
> 90x per menit +3 -
Hipertiroid jika indeks ≥ 20
3. Diagnosis
Gambaran klinis yang terjadi pada pasien ini adalah kecemasan,
iritabilitas, tremor, takikardi atau palpitasi, mudah merasa panas,

25
oligomenorea, eritema palmar, rambut rontok, peningkatan frekuensi buang
air besar dan penurunan berat badan. Pada orang tua, dapat terjadi atrial
fibrilasi, gagal jantung, dan kelemahan (Camacho et al., 2012).
Pemeriksaan TSH plasma merupakan salah satu tes diagnostik utnuk
menentukan diagnosis hipertiroid. Kadar T3 dan T4 yang meningkat dan
diikuti dengan penurunan kadar TSH merujuk kepada diagnosis hipertirois
sedangkan kadar TSH plasma yang rendah dan kadar T3 dan T4 normal, tanpa
memperhatikkan ada dan tidaknya gejala klinis merujuk kepada hipertiroid
subklinis (Camacho et al., 2012; Tjokroprawiro et al., 2010).
4. Tatalaksana
Tujuan pengobatan hipertiroid antara lain mengurangi tanda dan gejala
hipertiroid, membuat kadar hormon tiroid menjadi normal, mencegah badai
tiroid, dan meningkatkan kapasitas fungsional (Helms et al., 2006; Shahab,
2002).
a. Non farmakologi
1) Menghindari panas
2) Olahraga teratur
3) Diet yang diberikan harus tinggi kalori, yaitu memberikan kalori
2600-3000 kalori per hari baik dari makanan maupun dari suplemen.
4) Konsumsi protein harus tinggi yaitu 100-125 gr (2,5 gr/kg berat badan
) per hari untuk mengatasi proses pemecahan protein jaringan seperti
susu dan telur.
5) Mengurangi rokok, alkohol dan kafein yang dapat meningkatkan
kadar metabolisme
b. Farmakologi
1) Obat Antitiroid
Obat antitiroid terbagi menjadi 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu :
i. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU)  dosis
100 – 200 mg/hari
ii. Imidazol dipasarkan dengan nama metimazol (20 –40mg/hari dosis
terbagi untuk 3– 6 minggu pertama) dan karbimazol.

26
Diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat
berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.

Obat golongan tionamid memiliki efek intra dan ekstratiroid


Efek Intratiroid
Mencegah atau mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan T4, dengan
cara :
a. menghambat oksidasi dan organifikasi iodium
b. menghambat coupling iodotirosin
c. mengubah struktur molekul tiroglobulin
d. menghambat sintesis tiroglobulin.
Efek Ekstratiroid :

Menghambat konversi T4 menjadi T3 di jaringan perifer (Shahab, 2002).

Efek Samping :

a. Agranulositosis
b. Gangguan fungsi hati
c. Lupus like syndrome
2) Obat golongan penyekat beta
a. Propranolol hidroklorida (80 mg/hari)
Untuk mengendalikan manifestasi klinistirotoksikosis
(Hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan
intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik
Efek Samping
- Memberikan efek antiadrenergik
- Menurunkan kadar T3 melalui penghambatannya terhadap
konversi T4 ke T3 (Price, 2001).
b. Atenolol, metoprolol, thiamazole dan nadolol. Dosis awal atenolol
dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40mg/hari mempunyai efek
serupa dengan propranolol.

27
3) Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (131I). Radionuklida 131I
akan mengablasi kelenjartiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan
penetrasi kurang dari 2mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel
folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Efek
samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme (Shahab, 2002).
Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis.
Makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makintinggi angka
kejadian hipotiroidisme. Oleh karena itu setelah pemberian yodium
radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantauselama 3 sampai 6 bulan pertama.
Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsitiroid cukup dipantau setiap 6
sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya hipotiroidisme
(Shahab, 2002).
4) Pembedahan
Tiroidektomi adalah terapi untuk oenderita strauma yang besar.
Sebelum opreasi pasien diberi OAT selama 6 minggu, 2 minggu
sebelum operasi diberikan larutan lugol atau potassium iodide, 5 tetes
2 hari 1 kali, untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan
mempermudah operasi.

28
III. KESIMPULAN

1. Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan gagal jantung kongestif dan suspek
hipertiroid.
2. Penegakkan diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan kepada anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3. Penegakkan diagnosis suspek hiertiroid didasarkan kepada anamnesis, pemeriksaan
fisik namun belum dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pengukuran kadar
TSH dan T4.
4. Gagal jantung kongestif merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh kelainan
struktur atau fungsi jantung sehingga jantung mengalami gangguan dalam
memompa darah yang mengakibatkan kongesti pada pembuluh darah pulmoner dan
menurunnya kardiak output.
5. Hipertiroid meruakan sutu keadaan yang diakibatkan oleh efek metaboli sehingga
terjadinya peningkatan konsentrasi hormone tiroid yang bersirkulasi dalam darah.
6. Tujuan penatalaksanaan pengobatan hipertiroid antara lain mengurangi tanda dan
gejala, membuat kadar hormone tiroid dalam darah menjadi normal, mencegah
badai tiroid dan meningkatkan kapasitas fungsional.
7. Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung kongestif meliputi peatalaksanaan
secara farmakologis dan non farmaologis yang ditujukkan untuk mengurangi gejala
dan memperbaiki prognosis.
8. Prognosis ada pasien dengan gagal jantung kongestif memiliki sifat letal dan
menyebabkan resiko kematian yang tinggi.

29
DAFTAR PUSTAKA
Burtis, C.A., Edwar R.A., David E.B. 2012. Tieltz Textbook of Clinical Chemistry
and Molecular Diagnostic. UK : Elsevier Health Science.

Camacho, PM., Hossein G., Glen WS., et al. 2012. Evidence Based
Endocrinology. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins.

Chaudhry, ML & S. Said. 2004. Primary Aldosteronism. Hospital Physician pp


43-45.

Djokomoeljanto, R., 2009. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme.


In A.W. Sudoyo, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing

Faiz, O., Simon B., David M. 2003. At A Glance : Anatomy. Jakarta : Penerbit
Erlangga

Falcone, T. & WW Hurd. 2007. Clinical Reproductive Medicine and Surgery. UK


: Elsevier Health Science.

Harold, C. et al. 2009. Professional Guide to Disease 9th Edition. Philadelphia :


Lippincott Williams & Wilkins.

Hart, IR & R.W Newton. 2012. The New Medicine an Intergrated Systemof Study
Vol. 2 Endocrinology. Berlin : Springer Science and Business Media.

Helms, R.A., David J.Q., Eric T.H., et al. 2006. Textbook of Theurapetics : Drug
and Disease Management 8th edition. Philadelphia : Lippincott Williams
and Wilkins.

Kahan, S., B. Ashar. 2009. In A Page Medicine 2nd Edition. Philadelphia :


Lippincott Williams and Wilkins.

Lederer E. 2015. Hypokalemia. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/242008-overview#a3 (diakses
tanggal 29 Mei 2016)

Martini, F.H & Nath, J.L., 2009. Fundamentals of Anatomy and Physiology. USA:
Pearson Benjamin Cummings

Mayer, B. & J.P Kowalak. 2002. Illustrated Manual of Nursing Parctice 3rd
Edition. Philladelphia : Lipincott Williams and Wilkins.

30
Mostafa, G., Lamont C., et al. 2006. Review of Surgery Basic Scince and Clinical
Topics for Absite. Berlin : Springer Sicence and Business Media.

Palmer, B.F, Dubose TD. 2010. Disorders of Potassium Metabolism. In : Schrier


RW, editor. Renal and Electrolyte Disorders 7th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams and Wilkins.

Sabiston, D.C. 2011. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC Kedokteran.

Sherwood L. 2011. Fisiologi Manusia : Dari Sel Ke Sistem. Jakarta : EGC.

Shahab, A., 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-
Metabolisme.Jakarta:PIKKI

Singleton, J.K et al. 2015. Primary Care An Interprofessional Perspective. New


York : Springer Publishing.

Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC. Sudoyo,
Aru W., et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI. Toft.,
Boon. 2000. Thyroid Disease and the Heart. Heart. Vol: 84. Hal: 455-46
Traube., Coplan. 2011. Embolic Risk in Atrial Fibrillation that Arises from
Hyperthyroidism. Tex Heart Inst J . Vol: 38(3). Hal: 225–228

Snell R. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC

Sumantri S. 2009. Pendekatan Diagnostik Hipokalemia : Sebuah laporan kasus


hipokalemia karena tubulopati ginjal. Depatemen Ilmu Penyakit Dalam :
FKUI.

Tjokroprawiro, A., Hendromartono A.S., Agung P., et al. 2010. Seri 1 Endokrin
Metabolik Kapita Selekta Tiroidologi. Surabaya : Airlangga University Press.

Vaidya, A. 2013. Hyperaldosteronism. National Center for Biotechnology


Information.

Widjajanti A., SM Agustini. 2005. Hipokalemik Periodik Paralisis. Indonesian


Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory Vol 12 No. 1: 19 –
22.

Wisse B. 2013. Hypokalemic periodic paralysis. Medline plus

31

You might also like