You are on page 1of 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketuban Pecah Dini


2.1.1 Definisi Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan berupa air dari vagina
setelah kehamilan berusia 22 minggu sebelum proses persalinan
berlangsung dan dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan
37 minggu maupun kehamilan aterm (Waspodo, 2006).

2.1.2 Epidemiologi Ketuban Pecah Dini


Insiden ketuban pecah dini ini dilaporkan cukup banyak yaitu sekitar
6-10% dimana sekitar 20% kasus terjadi sebelum memasuki masa getasi 37
minggu (Wiknjosastro, 2007). Kejadian ketuban pecah dini lebih sering
terjadi pada usia kehamilan aterm dibandingkan preterm karena pada
kehamilan muda selaput ketuban sangat kuat. (Soewarto, 2010). Insidensi
KPD di RSMH Palembang berdasarkan data yang didapat dari penelitian
sebelumnya pada tahun 2009 sebesar 9,6% dari total semua kelahiran
dengan usia kehamilan didominasi oleh kehamilan cukup bulan (aterm)
sebesar 88,5% sedangkan kehamilan tidak cukup bulan (preterm) sebesar
10,7% (Atthaariq, 2011). Data tersebut tidak jauh berbeda dengan data pada
penelitian tahun sebelumnya, 2002-2003 didapatkan ibu yang hamil dengan
KPD sebanyak 42 orang (84%) dengan usia kehamilan aterm (≥ 37 minggu)
dan hanya 8 orang (16%) dengan usia kehamilan preterm (< 37 minggu)
(Carolina, 2004).

4
5

2.1.3 Etiologi dan Faktor Resiko Ketuban Pecah Dini


Meskipun penyebab pasti dari ketuban pecah dini belum diketahui,
namun terdapat beberapa faktor predisposisi yang berperan pada kejadian
ketuban pecah dini antara lain:
1) Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis).
Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana
korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri.
Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin,
bahkan dapat berlanjut menjadi sepsis (Soewarto, 2010). Membrana
khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini
dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan
sangat rentan untuk pecah (Sualman, 2009).
Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan
amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan
Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering
ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri-bakteri
tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan
kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan
serviks, dan pecahnya selaput ketuban (Sualman, 2009). Jika terdiagnosis
korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya untuk melahirkan janin.
Sayangnya, satu-satunya indikator yang andal untuk menegakkan
diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh 38ºC atau lebih, air ketuban
yang keruh dan berbau yang menyertai pecah ketuban yang menandakan
infeksi (Cunningham, 2006).
2) Hormon
Progesteron dan estradiol menekan proses remodelling matriks
ekstraseluler pada jaringan reproduktif. Kedua hormon ini didapatkan
menurunkan konsentrasi MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan
konsentrasi TIMP pada fibroblas serviks dari kelinci percobaan.
Tingginya konsentrasi progesteron akan menyebabkan penurunan
produksi kolagenase pada babi walaupun kadar yang lebih rendah dapat
6

menstimulasi produksi kolagen. Ada juga protein hormon relaxin yang


berfungsi mengatur pembukaan jaringan ikat yang diproduksi secara
lokal oleh sel desidua dan plasenta. Hormon ini mempunyai aktivitas
yang berlawanan dengan efek inhibisi oleh progesteron dan estradiol
dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 dalam membran
janin. Aktivitas hormon ini meningkat sebelum persalinan pada selaput
ketuban manusia saat aterm. Peran hormon-hormon tersebut dalam
patogenesis pecahnya selaput ketuban belum dapat sepenuhnya
dijelaskan (Parry, 2004).
3) Peregangan Selaput Ketuban
Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa faktor di
selaput ketuban seperti prostaglandin E2 dan interleukin-8. Selain itu
peregangan juga merangsang MMP-1 pada membran. Interleukin-8 yang
diproduksi dari sel amnion dan korionik yang bersifat kemotaktik
terhadap neutrofil dan merangsang aktifitas kolagenase. Hal-hal tersebut
akan menyebabkan terganggunya keseimbangan proses sintesis dan
degradasi matriks ekstraseluler yang akhirnya menyebabkan pecahnya
selaput ketuban (Parry, 2004). Salah satu penyebab pergangan selaput
ketuban yang berlebihan adalah kehamilan kembar. Pada kehamilan
kembar dengan distensi uterus yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya ketuban pecah dini dan terjadi persalinan prematur (Manuaba,
2008).
4) Faktor umur
Usia ibu ≤ 20 tahun termasuk usia yang terlalu muda untuk
melahirkan, dengan keadaan uterus yang kurang matur sehingga rentan
mengalami ketuban pecah dini. Sedangkan usia ibu ≥ 35 tahun tergolong
usia yang beresiko saat melahirkan, hal ini dapat mempengaruhi
terjadinya ketuban pecah dini (Nugroho, 2011).
5) Faktor Paritas
Jarak kehamilan yang terlalu dekat atau terlalu jauh yaitu kurang
dari 24 bulan dan lebih dari 3 tahun merupakan jarak kehamilan yang
7

beresiko tinggi sewaktu melahirkan (Tukiran, 2008). Pada wanita yang


melahirkan anak dengan jarak yang sangat berdekatan, akan mengalami
peningkatan resiko terhadap terjadinya penyulit kehamilan dan
persalinan, termasuk ketuban pecah dini serta yang terburuk yakni
kematian saat melahirkan (Dian, 2004). Jarak kehamilan terlalu dekat
menyebabkan ibu punya waktu yang terlalu singkat untuk memulihkan
kondisi rahimnya. Setelah rahim kembali ke kondisi semula, barulah
merencanakan punya anak lagi (Ros, 2003).
6) Defisiensi Vitamin C
Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan
jaringan kolagen. Selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen)
akan mempunyai elastisitas yang berbeda tergantung kadar vitamin C
dalam darah ibu. Terdapat penelitian dari National Institute of
Perinatology di Meksiko yang meneliti pada 120 wanita hamil yang
secara acak diberikan 100 mg vitamin C, pada saat kehamilan memasuki
usia 20 minggu. Dari hasil pemberian suplemen vitamin C yang dimulai
pada saat usia kehamilan 20 minggu, menunjukkan peningkatan dari
kadar vitamin C dalam darah dibanding dengan kelompok kontrol (tidak
diberikan suplemen vitamiun C). Dan peningkatan ini berhubungan juga
dengan menurunnya resiko untuk mengalamni KPD. Pada kelompok
kontrol, terjadi KPD pada 14 dari 57 kehamilan (25%), sedang pada
kelompok ibu yang diberikan vitamin C, terjadi penurunan KPD, yaitu
hanya terjadi pada 4 dari 52 kehamilan (8%). Hal ini berarti, vitamin C
berperan penting dalam mempertahankan keutuhan membran (lapisan)
yang menyelimuti janin dan cairan ketuban (Robert, 2008).
7) Inkompetensi Serviks
Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia),
didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk
mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan
kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat
berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan
8

bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada
serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi
berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik
(Sarwono, 2008). Inkompetensi serviks atau serviks yang terbuka akan
menyebabkan pecahnya selaput ketuban lebih awal karena mendapat
tekanan yang langsung dari kavum uteri (Sualman 2009).
8) Ibu Merokok
Pada ibu merokok ditemukan metalotionein yang di ekspresikan
dalam jumlah besar di sel epitel. Metalotionein ini merupakan suatu
protein yang berafinitas tinggi terhadap Cu. Kadmium yang terhirup
melalui asap rokok, masuk ke dalam cairan amnion dan akan bekerja
pada sel epitel amnion untuk menginduksi pembentukan metalotionein
dalam jumlah besar. Akibatnya terjadi defisiensi Cu yang membatasi
aktivitas lisil oksidase lain, dan akhirnya menghambat kemampuan sel
mesenkim untuk membentuk kolagen. Padahal kolagen inilah yang
berperan penting terhadap integritas jaringan dan berfungsi
meningkatkan ekstansibilitas serta daya regang.
9) Faktor tingkat sosio-ekonomi
Sosio-ekonomi yang rendah, akan mempengaruhi status gizi ibu
maupun janin. Status gizi yang kurang akan meningkatkan resiko
ketuban pecah dini pada ibu (Sualman, 2009).

2.1.4 Patofisiologi Ketuban Pecah Dini


Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena
pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput
ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh
(Soewarto, 2010). Daya regang selaput ketuban dipengaruhi oleh
keseimbangan antara sintesis dan degradasi komponen matriks ekstraseluler
pada selaput ketuban (Goepfert, 2001).
9

Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metaloproteinase (MMP)


yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease
(Soewarto, 2010). MMP merupakan suatu grup enzim yang dapat memecah
komponen-komponen matriks ekstraseluler. Enzim tersebut diproduksi
dalam selaput ketuban. MMP-1 dan MMP-8 berperan pada pembelahan
triple helix dari kolagen fibril (tipe I dan III), dan selanjutnya didegradasi
oleh MMP-2 dan MMP-9 yang juga memecah kolagen tipe IV. Pada pasien
ketuban pecah dini terjadi peningkatan MMP yang menyebabkan degradasi
matriks ekstraseluler. Pada selaput ketuban juga diproduksi penghambat
metaloproteinase atau tissue inhibitor metalloproteinase (TIMP). TIMP-1
menghambat aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan TIMP-2 menghambat
aktivitas MMP-2. TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang sama
dengan TIMP-1 (Parry, 2004). Mendekati waktu persalinan, keseimbangan
antara MMP dan TIMP mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks
ekstraseluler dan membran janin (Soewarto, 2010).

2.1.5 Gejala dan Tanda Klinik Ketuban Pecah Dini


Menurut Carolina (2004) gejala dan tanda ketuban pecah dini adalah:
1. Keluar air ketuban berwarna putih keruh, jernih, kuning, hijau,
atau kecokelatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak.
2. Janin mudah diraba.
3. Dapat disertai demam bila terjadi infeksi.

2.1.6 Diagnosis Ketuban Pecah Dini


Tentukan pecahnya selaput ketuban, dengan adanya cairan ketuban di
vagina. Jika tidak ada dapat dicoba dengan menggerakkan sedikit bagian
terbawah janin atau meminta pasien batuk atau mengedan (Soewarto, 2010).
Menurut Tanya (2006) diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan fisik, sebagai berikut:
1) Pemeriksaan status obsteri
1. Pemeriksaan luar
10

Nilai DJJ dengan stetoskop laenec, fetal phone, doppler, atau dengan
CTG.
Janin mudah dipalpasi karena air ketuban sedikit.
2. Inspekulo
Nilai apakah cairan keluar melalui ostium uteri eksternum atau
terkumpul difoniks posterior.
3. Pemeriksaan dalam
Selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering. Jika ketuban
pecah, jangan sering periksa dalam, awasi terjadinya tanda-tanda
infeksi.
2) Pemeriksaan penunjang
1. Tes Lakmus
Tes lakmus (nitrazin). Jika kertas lakmus berubah menjadi biru,
menunjukkan adanya cairan ketuban. Jika kertas tetap merah,
menunjukkan bukan air ketuban (mungkin urin). Cairan vagina dalam
keadaan normal bersifat asam. Perubahan pH dapat terjadi akibat
adanya cairan amnion, adanya infeksi bahkan setelah mandi. Tes
nitrazine kuning dapat menegaskan diagnosa dimana indikator pH
akan berubah berwarna biru, walaupun urin dan semen dapat
memberikan hasil positif palsu.
2. Tes evaporasi
Cairan endoservik dipanaskan hingga kandungan airnya menguap, jika
yang terlihat adalah residu berwarna putih, berarti telah terjadi
ketuban pecah. Namun jika residu berwarna coklat berarti selaput
ketuban masih intak.
3. Fluorescein atau pewarna intraamniotik
Dengan menyuntikkan sodium fluorescein atau pewarna seperti evans
blue, methylene blue, indigo carmine atau fluorescein ke dalam
kantung amnion melalui amniosintesis, jika zat tersebut kemudian
ditemukan pada tampon yang dipasang di vagina, maka diagnosis
ketuban pecah dini dapat ditegakkan.
11

4. Tes diamin oksidase


Diamin oksidase adalah enzim yang diproduksi oleh desidua yang
berdifusi ke dalam cairan amnion. Pengukuran diamin oksidase pada
vagina merupakan diagnosis akurat ketuban pecah.
5. Fibronektin fetal
Fibronektin fetal merupakan glikoprotein yang banyak ditemukan
pada cairan amnion. Zat ini dapat dideteksi pada endoservik atau
vagina dengan pemeriksaan ELISA.
6. Tes Alfa Fetoprotein
Alfa feto protein (AFP) terdapat dalam konsentrasi tinggi di dalam
cairan amnion, sehingga ditemukannnya AFP pada cairan vagina
merupakan diagnosis akurat untuk ketuban pecah.
7. USG
USG bukan merupakan alat utama untuk mendiagnosa ketuban pecah.
Namun jika pada pemeriksaan USG ditemukan cairan ketuban yang
sedikit atau tidak ada, pikirkan kemungkinan telah terjadi ketuban
pecah.
8. Tes Pakis
Melihat cairan yang mengering di bawah mikroskop, cairan amnion
akan menunjukkan fern-like pattern (gambaran daun pakis), walaupun
tes ini sedikit rumit dan tidak dilakukan secara luas.

2.1.7 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini


Menurut Soewarto (2010) penangan ketuban pecah dini:
1) Konservatif
Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau
eritromisin bila tidak tahan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg
selama 7 hari). Jika umur kehamilan < 32-34 minggu, dirawat
selama air ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban tidak lagi
keluar. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada
infeksi, tes busa negatif beri deksametason, observasi tanda-tanda
12

infeksi, dan kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37


minggu. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak
ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason, dan
induksi sesudah 24 jam. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada
infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi, nilai tanda-tanda
infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin). Pada usia
kehamilan 32-37 minggu berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar
lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg
sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason I.M. 5 mg setiap
6 jam sebanyak 4 kali.
2) Aktif
Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal,
lakukan seksio sesarea. Dapat diberikan misoprostol 25µg-50µg
intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda
infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri.
1. Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian
induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio
sesarea
2. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan.

2.1.8 Komplikasi Ketuban Pecah Dini


Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada
usia kehamilan (Soewarto, 2010). Dapat terjadi komplikasi pada ibu
maupun janin.
Komplikasi akibat ketuban pecah dini yang terjadi pada ibu
diantaranya adalah korioamnionitis yang terjadi akibat infeksi bakteri,
terutama yang berasal dari traktus urogenitalis ibu (Soewarto, 2010). Selain
itu komplikasi maternal yang dapat terjadi yaitu pendarahan post-partum,
infeksi masa nifas, serta meningkatnya tindakan operatif terutama seksio
sesarea (Manuaba, 2007).
13

Menurut Manuaba (2007) Komplikasi neonatal yang dapat terjadi


akibat ketuban pecah dini antara lain:
1. Komplikasi akibat ketuban pecah, seperti prolaps bagian janin terutama
tali pusat, serta mudah terjadi infeksi intrauterin pada janin.
2. Komplikasi akibat oligohidramnion, seperti gangguan tumbuh-kembang
yang menimbulkan deformitas, gangguan sirkulasi retroplasenter yang
menimbulkan asfiksia, serta solusio plasenta akibat retraksi otot uterus.
3. Komplikasi akibat prematuritas, seperti mudah infeksi, mudah terjadi
trauma akibat tindakan persalinan, dan mudah terjadi aspirasi air ketuban
yang dapat menimbulkan asfiksia.

2.2 Skor APGAR


2.2.1 Definisi Skor APGAR
Skor apgar adalah suatu metode sederhana yang digunakan untuk
menilai keadaan umum bayi sesaat setelah kelahiran. Penilaian ini perlu
untuk mengetahui bayi menderita asfiksia atau tidak. Yang dinilai adalah
frekuensi jantung (heart rate), usaha nafas (respiratory effort), tonus otot
(muscle tone), warna kulit (colour) dan reaksi terhadap rangsang (response
to stimuli) (Prawirohardjo, 2002).

2.2.2 Kriteria Skor APGAR


Skor apgar ini biasanya dinilai 1 menit setelah bayi lahir lengkap,
yaitu pada saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah dilakukan
pengisapan lendir dengan sempurna. Skor apgar 1 menit ini menunjukkan
beratnya asfiksia yang diderita dan baik sekali sebagai pedoman untuk
menentukan cara resusitasi. Skor apgar perlu pula dinilai setelah 5 menit
bayi lahir, karena hal ini mempunyai korelasi yang erat dengan morbiditas
dan mortalitas neonatal (IKA UI, 2007).
14

Tabel 1. Kriteria Skor APGAR (IKA UI, 2007)


Tanda 0 1 2
Frekuensi Tidak ada Kurang dari Lebih dari 100/menit
jantung 100/menit
Usaha Tidak ada Lambat, Menangis kuat
Bernafas tidak teratur
Tonus otot Lumpuh Ekstremitas Gerakan aktif
fleksi sedikit
Refleks Tidak ada Gerakan Menangis
sedikit
Warna Biru/pucat Tubuh Tubuh dan ekstremitas
kemerahan, kemerahan
ekstremitas
biru

Menurur staf pengajar IKA UI (2007), interpretasi skor apgar adalah


sebagai berikut:
1. Vigorous baby, skor apgar 7-10. Dalam hal ini bayi dianggap sehat dan
tidak memerlukan tindakan istimewa.
2. Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang), skor apgar 4-6. Pada
pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit,
tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilita tidak ada.
3. Asfiksia berat, skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis ditemukan
frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat,
dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilita tidak ada.
15

2.3 Hubungan Ketuban Pecah Dini dengan Nilai APGAR


Terjadinya asfiksia seringkali diawali terjadinya infeksi pada bayi baik
aterm maupun prematur. Infeksi dan oligohidramnion pada ketuban pecah
dini merupakan penyebab dari sekian banyak penyebab asfiksia neonatorum
(Manuaba, 2008). Ketuban pecah lama adalah jarak waktu antara pecahnya
ketuban dan bayi lahir (periode laten) lebih dari 12 jam. Semakin lama
periode laten, semakin lama pula kala satu persalinan dan semakin besar
insidensi infeksi. Janin bisa terinfeksi sekalipun tidak terlihat tanda-tanda
sepsis pada ibu. Tempat paling sering mengalami infeksi adalah traktus
respiratorius (Oxorn, 2003). Setelah terjadi persalinan dan ditemukan
tanda-tanda infeksi biasanya bayi memiliki skor apgar dibawah 7 dan dapat
mengalami hipotermia. Disisi lain bayi dapat memiliki nilai apgar yang
tinggi lalu turun pada 10-25 menit setelah lahir. Pengamatan secara hati-hati
pada bayi selama jam pertama setelah persalinan adalah penting.
(Midwifery, 2004).
Selain itu, dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang
menekan tali pusat (Soewarto, 2010). Tali pusat penting dalam penyaluran
gas oksigen dan karbondioksida antara janin dan plasenta, plasenta
merupakan tempat dimana terjadi pertukaran darah maternal dan janin (IKA
UI, 2007). Dengan adanya kompresi tali pusat menyebabkan penekanan
pembuluh darah pada tali pusat dan akan mengganggu aliran nutrisi dan
oksigen ke janin sehingga akan menimbulkan hipoksia, pertumbuhan dan
perkembangan janin tidak optimal, memicu fetal distress hingga akhirnya
menjadi asfiksia neonatorum. Hal ini tentu saja mempengaruhi nilai apgar
bayi baru lahir.
16

2.4 Kerangka Teori

Faktor resiko Ibu


dengan KPD

Ketuban Pecah Dini

Periode Laten > 12 jam

Oligohidramnion
Infeksi ascenden

Kompresi tali pusat


Khorioamnionitis

Hambatan aliran darah


ibu ke janin
Infeksi pada janin (traktus
respiratorius)

Hipoksia

Fetal distress

Skor APGAR <7


(asfiksia)
17

2.5 Kerangka Konsep

Ibu bersalin dengan ketuban


pecah dini dan bayi lahir aterm
dari ibu dengan ketuban pecah
dini

Variabel Independen Variabel dependen Variabel Perancu


Ketuban pecah dini Nilai APGAR bayi Usia Ibu, jumlah
lahir aterm gravida, jumlah
paritas, riwayat
abortus, berat bayi
lahir, lama KPD

You might also like