You are on page 1of 36

BAB 1

PENDAHULUAN

Community-acquired pneumonia (CAP) merupakan suatu infeksi pada

parenkim paru yang ditandai dengan gejala infeksi akut, ditemukannya infiltrat

pada foto toraks atau pada pemeriksaan auskultasi didapatkan tanda pneumonia.

Selain itu, pasien juga tidak pernah dirawat atau berada di fasilitas kesehatan lebih

dari 14 hari sebelum timbul gejala. CAP bersama dengan influenza menjadi

penyebab nomor tujuh kematian di Amerika Serikat. Berdasarkan data, didapatkan

915900 episode CAP pada usia ≥65 tahun tiap tahunnya di Amerika Serikat.

Terapi antibiotik merupakan terapi utama pada CAP. Tujuannya adalah

untuk mengeradikasi organisme yang menginfeksi, sehingga perbaikan klinis dapat

diperoleh. Pemilihan obat bergantung kepada patogen penyebab. Meskipun

demikian, hingga ditemukan metode yang lebih akurat dan cepat untuk menentukan

patogen penyebab, terapi inisial untuk semua pasien CAP adalah terapi empiris.

Diagnosis HAP (hospital acquired pneumonia) dan VAP

(ventilator-associated pneumonia) dilakukan secara mikrobiologi dengan

menggunakan sampel noninvasif. Terapi inisial dilakukan secara empirik dengan

pertimbangan faktor resiko seperti kemungkinan MRSA (methicillin resistan

Staphylococcus aureus), penggunaan antibiotik sebelumnya dalam waktu 90 hari,

dan kemungkinan infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas.

Selain infeksi paru oleh bakteri, infeksi paru oleh jamur juga sering

ditemukan. Biasanya didapatkan pada pasien imunokompromais dengan

keganasan, penyakit hematologis, HIV, dan pasien yang mendapatkan obat

imunosupresif (seperti pada penyakit autoimun dan post transplantasi).

1
Penyebabnya antara lain Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenkii,

Blastomyces dermatidis, Coccidioides sp, Paracoccidioides brasiliensis,

Cryptococcus neoformans, Aspergillus sp, Candida sp, Pneumocystis jirovecii, dan

lainnya. Pada banyak kasus, pengobatan infeksi jamur harus berdasarkan jamur

penyebab, beratnya penyakit, dan klinis pasien. Adapun golongan obat yang dapat

diberikan pada infeksi ini adalah golongan polyenes, triazol, dan echinocandins.

Selain infeski intra-torakal, pada referat ini juga dibahas mengenai infeksi

intra-abdomen, dimana dalam diagnosis nya memerlukan riwayat penyakit yang

terperinci, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lab, yang juga digunakan untuk

mengelola penyakit lebih lanjut. Pasien harus menjalani pemulihan volume

intravaskular yang cepat dan tindakan tambahan yang diperlukan untuk

meningkatkan stabilitas fisiologis. Terapi antimikroba yang digunakan dipilih

berdasarkan sumber infeksi (community-acquired, hospital-associated), tingkat

keparahn infeksi, dan mikroorganisme penyebab infeksi (bakteri, fungal).

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Community-Acquired Pneumonia (CAP)

2
2.1.1 Definisi

IDSA mendefenisikan CAP sebagai suatu infeksi pada parenkim paru yang

ditandai dengan gejala infeksi akut, ditemukannya infiltrat pada foto toraks atau

pada pemeriksaan auskultasi didapatkan tanda pneumonia. Selain itu, pasien juga

tidak pernah dirawat atau berada di fasilitas kesehatan lebih dari 14 hari sebelum

timbul gejala.

2.1.2 Epidemiologi

CAP bersama dengan influenza menjadi penyebab nomor tujuh kematian

di Amerika Serikat. Berdasarkan data, didapatkan 915900 episode CAP pada usia

≥65 tahun tiap tahunnya di Amerika Serikat. Meskipun adanya perkembangan yang

cukup maju mengenai terapi antimikroba, angka kematian akibat pneumonia tetap

tidak turun secara signifikan akibat penggunaan penisilin yang rutin dan tersedia

bebas.

2.1.3 Etiologi

Tabel 2.1 Etiologi CAP


Tipe pasien Etiologi
Streptococcus pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Rawat Jalan Haemophilus influenza
Chlamydophila pneumoniae
Respiratory virusesa
S. pneumonia
M. pneumonia
C. pneumonia
Rawat inap (non-ICU) H. influenza
Legionella species
Aspiration
Respiratory virusesa
S. pneumonia
Staphylococcus aureus
Rawat inap (ICU) Legionella species
Gram negative bacilli
H. influenza

3
2.1.4 Keputusan Rawat Inap

Severity-of-illness scores, seperti CURB-65 (confusion, uremia,

respiratory rate, low blood pressure, age 65 years or greater), atau model

prognosis, seperti PSI (Pneumonia Severity Index), dapat digunakan untuk

mengidentifikasi pasien CAP yang tidak memerlukan rawat inap.

PSI mengkategorikan pasien ke dalam 5 tingkatan. Pasien kelas I dan II

diperlakukan sebagai pasien rawat jalan, pasien kelas III harus di observasi atau

dirawat inap namun sebentar, dan pasien kelas IV dan V harus dirawat di rumah

sakit. Sementara itu, untuk CURB-65, pasien dengan skor 0-1 ditatalaksana sebagai

pasien rawat jalan, skor 2 dirawat diruang perawatan, dan pasien dengan skor ≥3

sering membutuhkan ICU.

2.1.5 Keputusan Rawat ICU

Sekitar 10% pasien CAP yang dirawat membutuhkan ICU, tetapi indikasi

untuk kebutuhan ICU ini berbeda antara pasien, dokter, dan sistem pelayanan

rumah sakit. Satu yang terpenting dalam penetapan kebutuhan ICU adalah adanya

kondisi komorbid kronik dan CAP yang berat (memenuhi 1 kriteria mayor atau 3

kriteria minor).

Tabel 2.2 Kriteria CAP berat


Minor Criteriaa
Respiratory rateb ≥30 breaths/min
PaO2/FiO2 ratio ≤250
Multilobular infiltrates
Confusion/disorientation
Uremia (BUN level, ≥20 mg/dl)
Leukopeniac (WBC count, <4000 cells/mm3)
Thrombocytopenia (platelet count, <100000 cells/mm3)
Hypothermia (core temperature, <36oC
Hypotension requiring aggressive fluid resuscitation
Major Criteria
Invasive mechanical ventilation
Septic shock with the need for vasopressors

4
NOTE. BUN, blood urea nitrogen; PaO2/FiO2, arterial oxygen pressure/fraction of inspired
oxygen; WBC, white blood cell.
a
Other criteria to consider include hypoglycemia (in nondiabetic patients), acute
alcoholism/alcoholic withdrawal, hyponatremia, unexplained metabolic acidosis or elevated lactate
level, cirrhosis, and asplenia.
b
A need for noninvasive ventilation can substitute for a respiratory rate 130 breaths/min or a
PaO2/FiO2 ratio <250.
c
As a result of infection alone.

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis CAP berdasarkan klinis (seperti batuk, demam, adanya

produksi sputum, dan nyeri dada pleuritik) dan didukung adanya temuan radiologis

pada paru. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya ronki atau suara nafas

bronkial yang merupakan komponen penting pada evaluasi, tetapi kurang sensitif

dan spesifik bila dibandingkan dengan foto toraks.

Foto toraks dibutuhkan untuk evaluasi rutin pasien yang didiagnosis

pneumonia, untuk memastikan diagnosis dan untuk membedakan CAP dari

penyebab lain batuk dan demam, seperti bronkitis. Pada pasien yang dirawat dan

dicurigai menderita pneumonia, tetapi pada pemeriksaan foto toraks tidak

ditemukan infiltrat, dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks ulang dalam 24-48

jam.

2.1.7 Rekomendasi Uji Diagnostik untuk Etiologi

Pasien dengan CAP harus diinvestigasi untuk mengetahui patogen spesifik.

Hal ini dapat mengubah terapi standar (empiris) menjadi terapi yang berdasarkan

patogen spesifik.

Tabel 2.3 Indikasi klinis untuk uji diagnostik lebih lanjut


Indication Blood Sputum Legionella Pneumococcal Other
Culture Culture UAT UAT
Intensive care x x x x xa
admission
Failure of x x x
outpatient

5
antibiotic
therapy
Cavitary x x xb
infiltrates
Leukopenia x
Active x x x x
alcohol abuse
Chronic x x
severe liver
disease
Severe x
obstructive/
Structural
lung disease
Asplenia x x
(anatomic or
functional)
Recent travel x xc
(within past 2
weeks)
Positive xd NA
Legionella
UAT result
Positive x x NA
pneumococcal
UAT result
Pleural x x x x xe
effusion
NOTE. NA, not applicable; UAT, urinary antigen test.
a
Endotracheal aspirate if intubated, possibly bronchoscopy or nonbronchoscopic bronchoalveolar
lavage.
b
Fungal and tuberculosis cultures.
c
See table 8 for details.
d
Special media for Legionella.
e
Thoracentesis and pleural fluid cultures

2.1.8 Terapi Antibotik

Tujuan utama terapi antibiotik adalah untuk mengeradikasi organisme

yang menginfeksi, sehingga perbaikan klinis dapat diperoleh. Pemilihan obat

bergantung kepada patogen penyebab. Pneumonia dapat disebabkan oleh banyak

patogen. Meskipun demikian, hingga ditemukan metode yang lebih akurat dan

6
cepat untuk menentukan patogen penyebab, terapi inisial untuk semua pasien CAP

adalah terapi empiris.

Tabel 2.4 Terapi empiris


Tatalaksana pasien rawat jalan
1. Sebelumnya pasien sehat dan tidak ada penggunaan antimikroba dalam
waktu 3 bulan sebelumnya
- Golongan makrolid
- Doksisiklin
2. Ada komorbid seperti penyakit jantung kronik, paru, hepar, atau penyakit
ginjal; diabetes melitus; alkoholism; keganasan; asplenia; kondisi
imunosupresif atau or penggunaan obat imunosupresif; atau penggunaan
antimikroba dalam waktu 3 bulan sebelumnya
- fluoroquinolone (moxifloxacin, gemifloxacin, or levofloxacin [750
mg])
- β lactam plus makrolid
3. Pada daerah dengan angka infeksi yang tinggi (>25%) dengan adanya
resistensi terhadap makrolid (S. Pneumonia), pertimbangkan penggunaan
agen alternatif pada nomor 2 untuk pasien tanpa komorbid.
Pasien rawat inap, non-ICU
- Fluoroquinolone
- β lactam plus makrolid
Pasien rawat inap, ICU
- β lactam (cefotaxime, ceftriaxone, or ampicillin-sulbactam) plus
azithromycin atau fluoroquinolone (untuk pasien alergi terhadap
penisilin, fluoroquinolone and azetreonam direkomendasikan)
Pertimbangan khusus
1. Bila infeksi Pseudomonas
- Antipneumococcal, antipseudomonal β lactam (piperacillin-tazobactam,
cefepime, imipenem, atau meropenem) plus ciprofloxacin or
levofloxacin [750 mg]
atau
- β lactam di atas plus aminoglikosida and azithromycin
atau
- β lactam di atas plus aminoglikosida dan antipneumococcal
fluoroquinolone (untuk pasien alergi terhadap penisilin, ganti
aztreonam dengan β lactam di atas)
2. Bila ada infeksi CA-MRSA, tambahkan vancomysin atau linezolid

Tabel 2.5 Rekomendasi antimikroba berdasarkan patogen penyebab


Organism Preferred antimicrobial Alternative
(s) antimicrobial (s)
Streptococcus

7
pneumoniae
- Penicillin Penicillin G, amoxicillin Macrolide,
nonresistant; cephalosporins (oral:
MIC<2 mg/ml cefpodoxime, cefprozil,
cefuroxime, cefdinir,
cefditoren. Parenteral:
cefuroxime, ceftriaxone,
cefotaxime),
clindamycin,
doxycyline, respiratory
fluoroquinolone

- Penicillin Agents chosen on the basis Vancomycin, linezolid,


resistant; MIC≥2 of susceptibility, including high-dose amoxicillin
mg/ml cefotaxime, ceftriaxone, (3g/day with penicillin
fluoroquinolone MIC ≤4 mg/ml)
Haemophillus
influenza
- Non β lactamase Amoxicillin Fluoroquinolone,
producing doxycycline,
azithromycin,
clarithromycinb

- β lactamase Second or third generation Fluoroquinolone,


producing cephalosporin, doxycycline,
amoxicillin-clavulanate azithromycin,
clarithromycinb
Mycoplasma Macrolide, a tetracycline Fluoroquinolone
pneumoniae/
Chlamydophila
pneumoniae
Legionella species Fluoroquinolone, Doxycyline
azithromycin
Chlamydophila A tetracycline Macrolide
psittaci
Coxiella burnetti A tetracycline Macrolide
Franciselle tularensis Doxycycline Gentamicin,
streptomycin
Yersinisa pestis Streptomycin, gentamicin Doxycycline,
fluoroquinolone
Bacillus anthracis Ciprofloxacin, levofloxacin, Other fluoroquinolones;
(inhalation) doxycycline (usually with β lactam, if susceptible;
second agent) rifampin; clindamycin;
chloramphenicol
Pseudomonas Anti pseudomonal β lactame Aminoglycoside plus
aeruginosa plus (ciprofloxacin or (ciprofloxacin or
levofloxacinf or levofloxacinf)
aminoglycoside

8
Burkholderia Carbapenem, ceftazadime Fluroquinolone,
pseudomallei TMP-SMX
Acinetobacter species Carbapenem Cephalosporin-aminogly
coside,
ampicillin-sulbactam,
colistin
Enterobacteriaceae Third generation β lactam /β lactamase
cephalosporin, carbapenemc inhibitord,
(drug of choice if extended fluoroquinolone
spectrum β lactamase
producer)
Staphylococcus aureus
- Methicillin Antistaphylococcal Cefazolin, clindamycin
susceptible penicilling
- Methicillin Vancomycin or linezolid TMP-SMX
resistant
Bordatella pertussis Macrolide TMP-SMX
Anaerob (aspiration) β lactam/ β lactamase Carbapenem
inhibitord, clindamycin
Influenza virus Oseltamivir or zanamivir
M. tuberculosis Isoniazid plus rifampisin Refer to [243] for
plus ethambutol plus specific
pyrazinamide recommendations
Coccidioides species For uncomplicated infection Amphotericin B
in a normal host, no therapy
generally recommended; for
therapy, itraconazole,
fluconazole
Histoplasmosis Itraconazole Amphotericin B
Blastomycosis Itraconazole Amphotericin B
NOTE. Choices should be modified on the basis of susceptibility test results and advice from local
specialists. Refer to local references for appropriate doses. ATS, American Thoracic Society; CDC,
Centers for Disease Control and Prevention; IDSA, Infectious Diseases Society of America;
TMP-SMX, trimethoprim-sulfamethoxazole.
a.
Levofloxacin, moxifloxacin, gemifloxacin (not a first-line choice for penicillin susceptible
strains); ciprofloxacin is appropriate for Legionella and most gram-negative bacilli
(including H. influenza).
b.
Azithromycin is more active in vitro than clarithromycin for H. influenza.
c.
Imipenem-cilastatin, meropenem, ertapenem.
d.
Piperacillin-tazobactam for gram-negative bacilli, ticarcillin-clavulanate,
ampicillin-sulbactam or amoxicillin-clavulanate.
e.
Ticarcillin, piperacillin, ceftazidime, cefepime, aztreonam, imipenem, meropenem.
f.
750 mg daily.
g.
Nafcillin, oxacillin flucloxacillin.

Untuk pasien yang masuk melalui IGD, pemberian antibiotik dosis

pertama sudah harus diberikan ketika pasien berada di IGD. Untuk pasien kritis,

9
hemodinamik tidak stabil, terapi antibiotik awal harus diberikan. Keterlambatan

dalam memulai pemberian antibiotik dari IGD tidak jarang terjadi, terutama pada

pemberian antibiotik dengan frekuensi satu kali sehari.

Lama pemberian antibiotik pada pasien CAP adalah minimal 5 hari dan

pasien bebas demam selama 48-72 jam. Durasi terapi yang lebih lama diberikan

bila terapi inisial tidak dapat melawan patogen yang ada atau terjadi infeksi

ekstrapulmoner, seperti meningitis atau endokarditis.

Penggantian antibiotik intravena ke oral dilakukan ketika hemodinamik

sudah stabil dan terdapat perbaikan klinis, pasien dapat meminum obatnya, dan

punya fungsi gastrointestinal yang normal. Pasien dipertimbangkan untuk keluar

dari rumah sakit ketika klinis telah stabil, tidak memiliki masalah medis lainnya,

dan memiliki lingkungan yang aman untuk melanjutkan pengobatan.

Pasien CAP dengan persisten syok septik meskipun telah diberikan

resusitasi cairan yang adekuat, harus dipertimbangkan untuk diberikan drotrecogin

alfa activated dalam waktu 24 jam. Hipotensi, pasien yang telah diresusitasi cairan,

dengan CAP berat, juga harus dilakukan skrining terhadap insufisiensi adrenal.

Tabel 2.6 Kriteria Klinis Stabil


Temperature ≤37,8oC
Heart Rate ≤100 beats/min
Respiratory rate ≤24 breaths/min
Systolic blood pressure ≥90 mmHg
Arterial oxygen saturation ≥90% or pO2 ≥60 mmHg on room air
Ability to maintain oral intakea
Normal mental statusa
NOTE. Criteria are from. pO2, oxygen partial pressure.
a
Important for discharge or oral switch decision but not necessarily for determination of
nonresponse
2.1.9 Manajemen Nonresponsif Pneumonia

Pneumonia nonresponsif didefinisikan sebagai suatu situasi dimana

terjadi respon klinis yang tidak adekuat terhadap pemberian antibiotik. Sekitar

10
6%-15% pasien yang dirawat dengan CAP tidak respon terhadap pemberian

antibiotik inisial.

Nonresponsif antibiotik pada CAP dapat menyebabkan: (1)Transfer pasien

ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi, (2) Uji diagnostik lebih lanjut, dan

(3)Perubahan dalam terapi. Namun hal pertama yang dilakukan pada nonresponsif

pneumonia adalah mengevaluasi kembali hasil mikrobilogis. Kultur atau sensitivity

test yang tidak dilakukan sebelumnya, sebaiknya dilakukan. Bila terjadi perubahan

atau progresivitas pneumonia, kultur darah juga sebaiknya diulang.

2.1.10 Preventif

1. Setiap orang usia ≥50 tahun, dan lainnya yang berisiko terhadap

komplikasi influenza, serta yang bekerja di rumah sakit, sebaiknya

melakukan vaksin influenza inactivated seperti yang direkomendasikan

oleh the Advisory Committee on Immunization Practices.

2. Vaksin yang dilemahkan dan diberikan secara intranasal adalah suatu

formulasi vaksin alternatif untuk usia 5-49 tahun tanpa penyakit dasar

kronik, termasuk imunodefisiensi, asma, atau kondisi medis kronik

3. Petugas kesehatan dirawat inap maupun rawat jalan sebaiknya melakukan

imunisasi influenza tiap tahunnya

4. Vaksin pneumokokus polisakarida direkomendasikan untuk orang usia

≥65 tahun dan orang-orang yang berisiko tinggi terhadap concurrent

diseases, berdasarkan guideline ACIP terbaru.

5. Status vaksinasi harus dinilai ketika masuk ke rumah sakit untuk seluruh

pasien, terutama mereka dengan penyakit medis.

11
6. Vaksinasi dapat dilakukan ketika pasien akan dipulangkan atau selama

perawatan rawat jalan.

7. Vaksin influenza sebaiknya ditawarkan pada pasien yang akan

dipulangkann atau selama perawatan rawat jalan.

8. Berhenti merokok sebaiknya menjadi tujuan pada orang yang dirawat inap

dengan CAP dan memiliki riwayat konsumsi rokok.

9. Perokok yang tidak berhenti merokok sebaiknya juga divaksinasi untuk

pneumokokus dan influenza.

10. Kasus pneumonia menjadi perhatian kesehatan masyarakat harus

dilaporkan sesegera mungkin ke pelayanan kesehatan terdekat.

11. Kebersihan, terutama mencuci tangan dan menggunakan masker ketika

batuk, sebaiknya dilakukan ketika berada di pelayanan rawat jalan dan

IGD untuk mengurangi penyebaran infeksi pernafasan.

2.2 Diagnosis dan Manajemen Hospital Acquired Pneumonia (HAP) dan

Ventilator Associated Pneumonia (VAP)

2.2.1 Diagnosis HAP dan VAP

Metode mikrobiologi untuk mendiagnosis VAP adalah sampling

noninvasif dengan kultur semiquantitatif. Sampel invasif adalah bronchoalveolar

lavage (BAL), protected specimen brush (PSB), dan blind bronchial sampling

(mini-BAL). Sampling pernapasan noninvasif mengacu pada aspirasi endotrakeal.

Jika pasien melakukan kultur kuantitatif invasif dan hasilnya berada di bawah

ambang diagnostik untuk VAP, maka penggunaan antibiotik harus ditunda.

12
Untuk pasien dengan HAP harus diobati sesuai hasil penelitian

mikrobiologi yang dilakukan pada sampel saluran pernafasan yang diperoleh

secara noninvasif. Metode noninvasif untuk mendapatkan sampel saluran

pernafasan meliputi: batuk spontan, induksi sputum, pengisapan nasotrakeal pada

pasien yang tidak dapat bekerja sama untuk menghasilkan sampel sputum, dan

aspirasi endotrakeal pada pasien dengan HAP yang selanjutnya memerlukan

ventilasi mekanis. Jika pasien yang sampel pernafasannya tidak dapat diperoleh

secara noninvasif, mungkin ada faktor yang dapat mendorong pertimbangan untuk

mendapatkan sampel secara invasif.

2.2.2 Terapi Inisial untuk HAP dan VAP

Rumah sakit perlu secara teratur menghasilkan dan menyebarkan

antibiogram lokal, yang ideal untuk populasi perawatan intensif. Regimen

pengobatan empiris diinformasikan oleh distribusi patogen lokal yang terkait

dengan VAP dan kerentanan antimikroba mereka. Ini adalah nilai tinggi untuk

menargetkan patogen spesifik yang terkait dengan VAP sesempit mungkin untuk

memastikan perlakuan yang memadai sambil meminimalkan terapi antibiotik

berlebihan dan akibat yang tidak diinginkan.

Table 2.7 Faktor resikopatogen dengan multidrug-resistant


Faktor resiko MDR VAP

Penggunaan antibiotik intravena sebelumnya dalam 90 hari

Terjadinya syok sepsis bersamaan dengan VAP

VAP yang didahului oleh sindroma distres pernapasan akut

Dirawat 5 hari atau lebih di rumah sakit sebelum terjadinya VAP

13
Terapi penggantian ginjal sebelum onset VAP

Faktor resiko MDR HAP

Penggunaan antibiotik intravena sebelumnya dalam 90 hari

Faktor resiko MRSA VAP/HAP

Penggonaan antibiotik intravena sebelumnya dalam 90 hari

Faktor resiko MDRVAP/HAP yang disebabkan oleh Pseudomonas

Penggunaan antibiotik intravena dalam 90 hari

Pada pasien dengan dugaan VAP, rejimen empiris termasuk cakupan

untuk S.aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan basil gram negatif lainnya. Untuk

pasien dengan faktor risiko untuk pasien resistansi antimikroba yang dirawat di

unit dimana>10% -20% isolat S. aureus adalah resisten methicillin, dan pasien di

unit di mana prevalensi Staphylococcus aureus yang resisten methicillin (MRSA)

tidak diketahui, regimen harus termasuk agen yang aktif melawan MRSA,

termasuk vankomisin dan linezolid. Untuk pasien tanpa faktor resiko resistensi

antimikroba, yang dirawat di ICU dimana <10% -20% isolat S.aureus adalah

sensitif terhadap methicillin, rejimen harus termasuk agen yang aktif terhadap

golongan methicillin, termasuk piperacillin-tazobactam, cefepime, levofloxacin,

imipenem, atau meropenem. Untuk pasien yang diduga VAP dengan faktor risiko

resistensi antimikroba, pasien di unit dimana> 10% isolat gram negatif tahan

terhadap agenmonoterapi, dan pasien di ICU dimana tingkat kerentanan

antimikroba lokal tidak tersedia, maka pengobatan empiris harus mencakup 2

antipsesudomonal antibiotik dari kelas yang berbeda.

14
Tabel 2.8 Pilihan pengobatan empiris yang disarankan untuk VAP yang
diduga secara klinis untuk MRSAStaphylococcus aureus dan
Antipseudomonal / Gram-Negatif ganda Sesuai
A. Gram positive antibiotics B. Gram-Negative antibiotics C. Gram-Negative Antibiotics
with MRSA activity with antipseudomnal activity: With Antipseudomonal
β-Lactam-based agents Activity:
Non-β-Lactam-Based
Agents
Glycopeptides Antipseudomonal penicillins Fluoroquinolones

Vancomycin 15 mg/kg IV Piperacillin-tazobactam 4.5 g Ciprofloxacin 400 mg IV


q8-12h (consider a loading IV q6h q8h
dose of 25-30 mg/kg x 1
for severe illness Levofloxacin 750 mg IV
q24h
OR

OR Cephalosporins
OR
Oxazolidinones\ Cefepime 2 g IV q8h
Aminoglycosides
Linezolid 600 mg IV q12h Ceftazidime 2 g IV q8h
Amikacin 10-20mg/kg IV
q24h

OR Gentamicin 5-7 mg/kg IV


q24h
Carbapenems
Tobramycin 5-7 mg/kg IV
Imipenem 500 mg IV q6h
q24h
Meropenem 1 g IV q8h

OR
OR
Polymyxins
Monobactams
Colistin 5 mg/kg IV x 1
Aztreonam 2 g IV q8h (loading dose) followed by
2,5 mg x (1.5 x CrCl + 30)
IV q12h (maintenance
dose)

Polymyxin B 2.5 – 3.0


mg/kg divided into two
daily IV doses

Pasien dengan HAP yang diterapi secara empiris dan memiliki faktor

resiko untuk infeksi MRSA, harus diberi resep antibiotik dengan aktivitas

15
melawan MRSA termasuk vankomisin atau linezolid. Di sisi lain, bagi pasien

yang tidak memiliki faktor resiko untuk infeksi MRSA dan bukan merupakan

risiko kematian yang tinggi, sebaiknya memberi antibiotik dengan aktivitas

melawan MSSA, termasuk piperacilline-tazobactam, cefepime, levofloxacin,

imipenem, atau meropenem. Antibiotik inhalasi dan sistemik diindikasikan untuk

pasien dengan VAP yang disebabkan bakteri gram negatif yang rentan terhadap

aminoglikosida atau polymyxin (kolistin atau polymyxin B).

Table 2.9 Terapi inisial yang direkomendasikan untuk HAP (Non-VAP)


Not at high risk of Not at high risk of High Risk of Mortality or
mortality and no factors mortality but with factors Receipt of Intravenous
increasing the likelihood increasing the likelihood Antibiotics During the
of MRSA of MRSA Prior 90 d

One of the following: One of the following Two of the following,


avoid 2 β-lactams:
Piperacillin-tazobactam Piperacillin-tazobactam
4,5 g IV q6h 4,5 g IV q6h

Or

Or Or Cefepimed or
ceftazidimed 2 g IV q8h
Cefepime 2 g IV q8h Cefepime or ceftazidime
2 g IV q8h

Or
Or
Or Levofloxacin 750 mg IV
Levofloxacin 750 mg IV daily
daily Levofloxacin 750 mg IV
daily Ciprofloxacin 400 mg IV
Imipenem 500 mg IV q6h q8h
Ciprofloxacin 400 mg IV
Meropenem 1 g IV q8h q8h

Or

Or Imipenem 500 mg IV q6h

Imipenem 500 mg IV q6h Meropenem 1 g IV q8h

16
Meropenem 1 g IV q8h

Or

Or Amikacin 15–20 mg/kg


IV daily
Aztreonam 2 g IV q8h
Gentamicin 5–7 mg/kg
IV daily
Plus: Tobramycin 5–7 mg/kg
Vancomycin 15 mg/kg IV daily
IV q8–12h with goal to
target 15–20 mg/mL
trough level (consider a Or
loading dose of 25–30
mg/kg × 1 for severe Aztreoname 2 g IV q8h
illness)

Or Plus:
Linezoid 600 mg IV q12h Vancomycin 15 mg/kg
IV q8–12h with goal to
target 15–20 mg/mL
trough level (consider a
loading dose of 25–30
mg/kg IV × 1 for severe
illness)

Or

Linezolid 600 mg IV
q12h If MRSA coverage
is not going to be used,
include coverage for
MSSA. Options include:
Piperacillin-tazobactam,
cefepime, levofloxacin,
imipenem, meropenem.
Oxacillin, nafcillin, and
cefazolin are preferred
for the treatment of
proven MSSA, but would

17
ordinarily not be used in
an empiric regimen for
HAP.

2.2.3 Terapi Spesifik Patogen

MRSA VAP / HAP diobati dengan vankomisin atau linezolid. Pilihan

antara vankomisin atau linezolid dapat dipandu oleh faktor spesifik pasien seperti

jumlah sel darah, resep bersamaan dengan inhibitor serotonin-reuptake, fungsi

ginjal, dan biaya. Pilihan antibiotik untuk pasien dengan HAP / VAP yang

disebabkan oleh P.aeruginosa harus didasarkan pada hasil uji kepekaan

antimikroba. Aminoglikosida tidak dianjurkan untuk HAP / VAP karena

P.aeruginosa, karena dua alasan. Pertama, aminoglikosida menembus paru-paru

dengan buruk, dan yang kedua, hanya sedikit studi yang mengevaluasi efek

monoterapi aminoglikosida untuk HAP / VAP. Bagi pasien yang tidak terkena

syok septik atau berisiko tinggi meninggal, dan bagi pasien dengan hasil uji

kepekaan antibiotik yang diketahui, terapi antibiotik dianjurkan dengan

monoterapi. Di sisi lain, terapi kombinasi direkomendasikan untuk syok septik

atau berisiko tinggi kematian saat hasil uji kepekaan antibiotik diketahui. Pada

pasien karena patogen tahan karbapenem yang sensitif hanya pada polymyxins

(colistin atau polymyxin B), direkomendasikan untuk diterapi dengan polymyxin

intravena dan colistin inhalasi sebagai tambahan.

2.2.4 Lama Terapi

Untuk pasien dengan VAP / HAP, terapi antimikroba harus paling sedikit

7 hari, tergantung pada tingkat perbaikan parameter klinis, radiologis, dan

18
laboratorium. Tingkat pro kalsitonin ditambah kriteria kritis untuk memandu

penghentian terapi antibiotik, dan tidak dianjurkan untuk menggunakan clinical

pulmonal infection score (CPIS).

2.3 Tatalaksana Infeksi Paru oleh Jamur

Infeksi paru oleh jamur dapat disebabkan oleh berbagai jenis jamur,

diantaranya adalah Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenkii, Blastomyces

dermatidis, Coccidioides sp, Paracoccidioides brasiliensis, Cryptococcus

neoformans, Aspergillus sp, Candida sp, Pneumocystis jirovecii, dan lainnya.

Infeksi jamur sering ditemukan pada pasien imunokompromais dengan keganasan,

penyakit hematologis, HIV, pasien yang mendapatkan obat imunosupresif

(seperti pada penyakit autoimun dan post transplantasi).

Pada banyak kasus, pengobatan infeksi jamur harus berdasarkan jamur

penyebab, beratnya penyakit, dan klinis pasien. Adapun golongan obat yang

digunakan dalam terapi infeksi jamur adalah:

1. Polyenes

Contoh golongan polyenes adalah amfoterisin B deoksilat (amfoterisin B),

yang merupakan terapi pilihan dasar pada beberapa jenis jamur, terutama pada

jamur yang life-threatening, termasuk aspergillosis, cryptococcosis, kandidiasis

sistemik, dan beberapa kasus histoplasmosis, blastomikosis, koksidioidomikosis,

dan zigomikosis.

Polyenes bekerja dengan berikatan pada sterol yang terdapat pada

membran sel jamur, membentuk trans membrane channel yang menyebabkan

kebocoran sel dan kematian sel jamur. Amfoterisin B diberikan secara intravena,

dan hal ini dikaitkan dengan efek samping obat yang luas. Monitoring yang

19
diperlukan ketika memberikan obat ini adalah serum kreatinin, blood urea nitrogen

(BUN), elektrolit serum (terutama kalium dan magnesium), darah rutin, dan fungsi

hati. Monitoring sebaiknya dilakukan minimal 1 minggu sejak terapi dimulai, atau

bahkan tiap hari bila ada insufisiensi ginjal.

Pada situasi klinis yang membutuhkan dosis amfoterisin B ≥1

mg/kgBB, sebaiknya digunakan amfoterisin B formulasi lipid untuk menghindari

efek toksik. Terdapat dua bentuk lipid-associated amfoterisin B, yaitu liposomal

amfoterisin B dan amfoterisin B kompleks lipid. Indikasi untuk digunakannya

lipid-associated amfoterisin B ini adalah untuk mengurangi kejadian toksisitas

renal pada amfoterisin B deoksilat.

2. Triazole

Triazole yang digunakan dalam klinis adalah ketokonazol, itrakonazol,

flukonazol, varikonazol, dan posokonazol. Triazol bekerja pada target 14-α

demethylase enzyme, yang memediasi perubahan lanosterol menjadi ergosterol

pada jamur. Azol berinteraksi dengan banyak obat, terutama siklosporin,

benzodiazepin, statin, dan obat anti-HIV. Kontraindikasi azol adalah wanita hamil.

a. Itrakonazol

Itrakonazol efektif digunakan pada infeksi jamur Aspergillus, infeksi

mukosa oleh kandida, histoplasmosis, blastomikosis, koksidioidomikosis, dan

infeksi jamur lainnya. Sayangnya, itrakonzaol memiliki ikatan yang lebih tinggi

pada protein dan penetrasi yang rendah ke sistem saraf pusat, sehingga obat ini

bukanlah pilihan pada infeksi sistem saraf pusat.

Itrakonzaol terdapat dalam bentuk kapsul dan oral solution. Bentuk kapsul

memerlukan asam lambung untuk penyerapan. Biasanya dibantu dengan makanan

20
atau minuman asam. Penggunaan bersamaan dengan obat golongan PPI dan

antasida lambung harus dihindari. Sebaliknya, pada bentuk oral solution

membutuhkan perut yang kosong.

Itrakonazol dimetabolisme di hepar. Penggunaan obat ini harus lebih

hati-hati pada penderita insufisiensi hepar. Kontraindikasi penggunaan itrakonazol

adalah adanya riwayat hipersensitivitas sebelumnya. Penggunaan juga harus lebih

berhati-hati padaa pasien dengan CHF yang berat, akloridia, disfungsi hepar, atau

adanya hipersensitivitas pada golongan azol lainnya. Efek samping obat ini antara

lain perburukan CHF, SJS, dan hepatotoksik.

b. Flukonazol

Flukonazol merupakan agen yang mempunyai aktivitas yang baik dalam

melawan Candida albicans, dan digunakan dalam preventif dan pengobatan

kandidiasis invasif maupun kandidiasis mukosa. Flukonazol juga efektif untuk

pengobatan cryptococcosis dan koksidioidomikosis. Penyesuaian dosis

direkomendasikan bila terdapat gangguan ginjal, dimana dosis diturunkan

sebanyak 50% ketika kadar kreatinin serum <50ml/ menit.

Kontraindikasi terapi flukonazol adalah riwayat hipersensitivitas

sebelumnya. Efek samping obat jarang, tapi dapat terjadi skin rash, gatal, mual,

muntah, peningkatan enzim hati, dan sakit kepala. Dibandingkan dengan golongan

azol lainnya, interaksi flukonazol dengan obat lainnya lebih jarang terjadi.

c. Vorikonazol

Vorikonazol adalah golongan azol terbaru yang digunakan untuk invasif

aspergillosis dan infeksi jamur lainnya. Penggunaan intravena vorikonazol harus

dilakukan secara hati-hati pada penderita insufisiensi renal (kreatinin klirens

21
<50ml/menit). Bila penggunaan secara intravena ini diperlukan pada pasien dengan

insufisiensi renal sedang hingga berat, serum kretinin harus dimonitor secara ketat.

Vorikonazol sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan insufisiensi

hepar berat. Pasien juga harus menghindari cahaya langsung karena efek

fotosensitivitas pada obat ini. Efek samping obat lainnya adalah edem perifer, rash,

mual, muntah, disfungsi hati.

d. Posakonazol

Posakonazol digunakan sebagai profilaksis infeksi jamur invasif pada

pasien imunokompromais yang berat dan terapi pada kandidiasis orofaringeal yang

gagal terhadap flukonazol dan itrakonazol. Selain itu juga dapat digunakan pada

aspergillosis, koksidioidomikosis, dan zyggomycetes.

Posokonazol dikontraindikasikan pada pasien yang menerima alkaloid

ergot, terfenadin, astemizol, pimozide, dan quinidin karena dapat menyebabkan

peningkatan konsentrasi plasma dengan prolong QT. Efek samping obat ini adalah

diare dan rasa tidak nyaman pada perut, disfungsi hepar, serta long QT syndrome.

Dosis obat adalah 4x200 mg per hari, dikonsumsi bersamaan dengan makanan yang

mengandung lemak. Penyesuaian dosis posokonazol pada pasien insufisiensi hepar

derajat ringan hingga berat tidak diperlukan.

3. Echinocandins

Echinocandins adalah jenis antijamur terbaru yang merusak dinding sel

jamur melalui inhibisi pada 1,3 β-glucan syntahse complex. Yang termasuk

kedalam golongan obat ini adalah caspofungin, micafungin, dan andilafungin.

a. Caspofungin

22
Caspofungin mempunyai efek fungisidal terhadap Candida sp dan efek

fungistatik terhadap Aspergillus sp. Caspofungin telah digunakan sebagi terapi

primer untuk kandidiasis dan terapi penyelamat untuk aspergillosis invasif.

Caspofungin diberikan secara intravena, dengan dosis penyesuaian

diperuntukkan pada gangguan hati. Kontraindikasi terapi ini adalah riwayat

hipersensitivitas sebelumnya. Penggunaan harus lebih berhati-hati pada pasien

dengan gangguan hati, hamil, dan pasien yang mendapat siklosporin. Efek samping

obat adalah peningkatan enzim hepar, mual, sembab wajah, sakit kepala, dan

pruritus.

b. Micafungin

Micafungin mempunyai aktivitas terhadap Candida sp dan Aspergillus sp.

Obat ini digunakan untuk terapi kandidiasis invasif, profilaksis pada pasien

transplantasi stem cell melawan Candida, dan Candida esofagitis. Efek samping

obat berupa reaksi anafilaksis dan syok jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah

rash, rasa tidak nyaman pada perut, mual, muntah, atau diare; dan

hiperbilirubinemia.

c. Anidulafungin

Anidulafungin digunakan pada penderita kandidemia, kandidiasis, dan

esofagitis kandida, dengan aktivitas tambahan melawan Aspergillus sp. Efek

samping obat ini adalah diare dan hipokalemia. Penggunaan obat ini harus hati-hati

pada pasien dengan disfungsi hati.

2.4 Diagnosis dan penatalaksanaan infeksi Intra-Abdomen

23
2.4.1 Evaluasi Diagnostik Awal

Riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium akan

mengidentifikasi sebagian besar pasien dengan dugaan infeksi intra-abdomen

untuk evaluasi dan pengelolaan lebih lanjut. Bagi pasien dengan temuan

pemeriksaan fisik yang tidak dapat diandalkan, seperti pasien dengan gangguan

status mental, pasien dengan cedera tulang belakang, atau pasien dengan

imunosupresi karena penyakit atau terapi, infeksi intra-abdomen harus

dipertimbangkan jika pasien menunjukkan adanya bukti infeksi dari sumber yang

belum ditentukan. Pencitraan diagnostik lebih lanjut tidak diperlukan pada pasien

dengan tanda-tanda jelas peritonitis difus dan pada pasien yang memerlukan

intervensi bedah segera. Pada pasien dewasa yang tidak menjalani laparotomi

segera, computed tomography (CT) scan adalah modalitas pencitraan pilihan

untuk menentukan adanya infeksi intra-abdomen dan sumbernya.

2.4.2 Resusitasi Cairan dan Inisiasi Terapi Antimikroba

Pasien harus menjalani pemulihan volume intravaskular yang cepat dan

tindakan tambahan yang diperlukan untuk meningkatkan stabilitas fisiologis.

Untuk pasien dengan syok septik, resusitasi harus segera dimulai saat pasien

mengalami hipotensi. Bagi pasien tanpa bukti penipisan volume, terapi cairan

intravena harus dimulai saat diagnosis infeksi intra-abdomen pertama kali

dicurigai.

Terapi antimikroba harus dimulai begitu pasien didiagnosis infeksi

intra-abdomen atau pernah terjadi infeksi seperti itu sebelumnya. Untuk pasien

dengan syok septik, antibiotik harus diberikan sesegera mungkin. Bagi pasien

tanpa syok septik, terapi antimikroba harus dimulai di gawat darurat.

24
2.4.3 Elemen intervensi yang tepat

Mengontrol kontaminasi peritoneal yang sedang berlangsung dengan

reseksi, dan mengembalikan fungsi anatomi dan fisiologis sebaik mungkin

direkomendasikan untuk hampir semua pasien dengan infeksi intra-abdomen.

Pasien dengan peritonitis difus harus menjalani prosedur operasi darurat sesegera

mungkin, bahkan jika tindakan terus-menerus untuk memulihkan stabilitas

fisiologis perlu dilanjutkan selama prosedur berlangsung. Bila memungkinkan,

drainase abses perkutandan koleksi cairan lokal lainnya lebih baik daripada

drainase bedah. Untuk pasien hemodinamik stabil tanpa bukti kegagalan organ

akut, diperlukan pendekatan mendesak. Intervensi mungkin dapat ditunda selama

24 jam jika terapi antimikroba yang tepat diberikan dan pemantauan klinis yang

cermat diberikan.

Pada pasien dengan peritonitis berat, relaparotomi wajib atau terjadwal

tidak disarankan jika tidak ada diskontinuitas usus, kehilangan fasia abdomen

yang mencegah penutupan dinding abdomen, atau hipertensi intra-abdomen.

Pasien yang sangat terpilih dengan gangguan fisiologis minimal dan fokus infeksi

yang tertata baik, seperti aplegmon periappendiceal atau pericolonic, dapat diobati

dengan terapi antimikroba saja tanpa prosedur pengendalian sumber, asalkan

tindak lanjut klinisnya sesegera mungkin.

2.4.4 Evaluasi Mikrobiologi

Kultur darah tidak memberikan informasi klinis tambahan yang relevan

untuk pasien dengan infeksi intraabdominal yang didapat di masyarakat

(community-acquired) dan oleh karena itu tidak direkomendasikan secara rutin

untuk pasien tersebut. Jika pasien tampak toksik secara klinis atau dalam kondisi

25
imunokompromais, pengetahuan tentang bakteriemia dapat membantu dalam

menentukan durasi terapi antimikroba. Untuk infeksi yang didapat di masyarakat,

tidak ada nilai yang terbukti dalam mendapatkan pewarnaan Gram rutin dari

bahan yang terinfeksi. Untuk infeksi terkait perawatan kesehatan, pewarnaan

Gram dapat membantu menentukan keberadaan ragi.

Kultur aerobik dan anaerobik rutin dari pasien berisiko rendah dengan

infeksi yang didapat di masyarakat dianggap opsional pada pasien individual

namun mungkin bernilai dalam mendeteksi perubahan epidemiologis pada pola

resistensi patogen yang terkait dengan infeksi intra-abdomen yang didapat di

masyarakat dan dalam panduan follow-up terapi oral. Jika ada resistensi yang

signifikan (yaitu, hambatan pada 10% - 20% isolat) isolat komunitas umum

(misalnya Escherichia coli) terhadap rejimen antimikroba dalam penggunaan lokal

yang luas, studi kultur dan kerentanan rutin harus diberikan untuk apendisitis

perforasi dan infeksi intra-abdomen yang didapat di masyarakat lainnya. Biakan

anaerobik tidak diperlukan untuk pasien dengan infeksi intra-abdomen yang

didapat di masyarakat jika terapi antimikroba empiris yang aktif terhadap patogen

anaerob umum disediakan. Untuk pasien berisiko tinggi, kultur dari tempat infeksi

harus diperoleh secara rutin, terutama pada pasien dengan paparan antibiotik

sebelumnya, yang lebih mungkin dibandingkan pasien lain yang memiliki patogen

yang resisten. Spesimen yang dikumpulkan dari fokus infeksi intra-abdomen

harus mewakili materi yang terkait dengan infeksi klinis. Kultur harus dilakukan

dari 1 spesimen, asalkan jumlahnya cukup banyak (paling sedikit 1 mL cairan

atau jaringan) dan diangkut ke laboratorium dengan sistem transportasi yang

sesuai. Untuk pemulihan bakteri aerobik yang optimal, 1-10 mL cairan harus

26
diinokulasi langsung ke dalam botol kultur darah aerobik. Selain itu, 0,5 mL

cairan harus dikirim ke laboratorium untuk pewarnaan Gram dan jika

diindikasikan, dilakukan juga kultur jamur. Jika kultur anaerobik diminta,

setidaknya 0,5 mL cairan atau 0,5 g jaringan harus diangkut dalam tabung

transportasi anaerobik. Sebagai alternatif, untuk pemulihan bakteri anaerob, 1-10

mL cairan dapat diinokulasi langsung ke dalam botol kultur darah anaerob. Uji

kerentanan untuk Pseudomonas, Proteus, Acinetobacter, Staphylococcus aureus,

dan Enterobacteriaceae yang dominan, yang ditentukan oleh pertumbuhan

sedang-ke-berat, harus dilakukan, karena spesies ini lebih mungkin untuk

mengalami resistensi dibandingkan organisme lain.

2.4.5 Regimen antimikroba yang disarankan

2.4.5.1 Infeksi yang diperoleh di masyarakat dengan keparahan Mild-to-Moderate

Antibiotik yang digunakan untuk pengobatan empiris terhadap infeksi

intra-abdomen yang didapat di masyarakat harus aktif terhadap bakteri gram

negatif dan bakteri fakultatif enterik gram positif dan streptokokus gram positif.

Cakupan untuk basil anaerob obligat harus disediakan untuk infeksi usus halus

distal, usus buntu, dan kolon, dan untuk perforasi gastrointestinal yang lebih

proksimal dengan adanya obstruksi atau ileus paralitik. Untuk pasien dewasa

dengan infeksi komersil ringan sampai sedang, penggunaan ticarcillin-clavulanate,

cefoxitin, ertapenem, moxifloxacin, atau tigecycline sebagai terapi agen tunggal

atau kombinasi metronidazol dengan cefazolin, cefuroxime, ceftriaxone,

sefotaksim, levofloksasin, atau siprofloksasin, lebih baik diterapi menggunakan

rejimen dengan aktivitas anti-Pseudomonal yang substansial.

Ampisilin-sulbaktam tidak dianjurkan untuk digunakan karena tingginya

27
tingkat resistensi terhadap agen ini di antara E. coli yang didapat di masyarakat.

Cefotetan dan klindamisin tidak disarankan untuk digunakan karena

meningkatnya prevalensi resistensi terhadap agen ini di antara kelompok

Bacteroides fragilis. Karena ketersediaan agen yang kurang beracun terbukti

paling tidak efektif, aminoglikosida tidak disarankan untuk penggunaan rutin pada

orang dewasa dengan infeksi intra-abdomen yang didapat di masyarakat. Cakupan

empiris Enterococcus tidak diperlukan pada pasien dengan infeksi intra-abdomen

yang didapat oleh masyarakat. Terapi antijamur empiris untuk Candida tidak

direkomendasikan untuk pasien dewasa dan anak-anak dengan infeksi

intra-abdomen yang didapat di masyarakat. Penggunaan agen yang terdaftar

sesuai untuk infeksi dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan infeksi terkait

layanan kesehatan tidak disarankan untuk pasien dengan infeksi yang didapat dari

masyarakat dengan keparhan ringan sampai sedang, karena rejimen semacam itu

dapat membawa risiko toksisitas yang lebih besar dan memfasilitasi perolehan

organisme menjadi lebih resisten. Untuk pasien dengan infeksi intra-abdomen

dengan tingkat keparahan ringan sampai sedang, termasuk divertikulitis akut dan

berbagai bentuk radang usus buntu, yang tidak akan menjalani prosedur

pengendalian sumber, rejimen yang terdaftar untuk pengobatan infeksi dengan

keparahan ringan-sedang direkomendasikan, dengan kemungkinan terapi oral

yang dilakukan di awal.

2.4.5.2 Infeksi yang didapat di masyarakat dengan resiko tinggi

Penggunaan rejimen antimikroba empiris dengan aktivitas

broadspectrum melawan organisme gram negatif, termasuk meropenem,

imipenem-cilastatin, doripenem, atau piperacillin-tazobactam sendiri; atau

28
ciprofloxacin atau levofloxacin yang dikombinasikan dengan metronidazol, atau

ceftazidime atau sefepime yang dikombinasikan dengan metronidazol,

direkomendasikan untuk pasien dengan infeksi intra abdomen tingkat tinggi yang

didapat di masyarakat, E. coli yang resisten terhadap kuinol menjadi umum di

beberapa komunitas, dan kuinolon tidak boleh digunakan kecuali jika survei di

rumah sakit menunjukkan kerentanan 190% E. coli terhadap kuinolon. Aztreonam

plus metronidazol merupakan alternatif, namun penambahan agen yang efektif

terhadap cocci gram positif dianjurkan. Pada orang dewasa, penggunaan rutin

aminoglikosida atau agen kedua lainnya yang efektif melawan bakteri fasik

fakultatif dan aerobik gram negatif tidak disarankan karena tidak adanya bukti

bahwa pasien cenderung memiliki organisme resisten yang membutuhkan terapi

tersebut.

Penggunaan secara empiris agen yang efektif terhadap enterococci

dianjurkan. Penggunaan agen yang efektif melawan S. aureus resisten methicillin

(MRSA) atau ragi tidak dianjurkan karena tidak adanya bukti infeksi yang

disebabkan organisme semacam itu. Pada pasien berisiko tinggi ini, rejimen

antimikroba harus disesuaikan berdasarkan laporan kultur dan sensitivitas untuk

memastikan aktivitas melawan patogen utama yang diisolasi dalam kultur.

2.4.5.3 Health care-associated infection

Terapi antibiotik empiris untuk infeksi intra-abdomen terkait perawatan

kesehatan harus didorong oleh hasil mikrobiologis lokal. Untuk mencapai

cakupan empiris patogen, rejimen multidrugs yang meliputi agen dengan aktivitas

spektrum yangluas terhadap bakteri gram negatif dan bakteri fakultatif mungkin

diperlukan. Agen ini meliputi meropenem, imipenemcilastatin, doripenem,

29
piperacillin-tazobactam, atau ceftazidime. atau cefepime dalam kombinasi dengan

metronidazol. Aminoglikosida atau kolistin mungkin diperlukan. Terapi

antimikroba spektrum luas harus disesuaikan saat laporan kultur dan sensitivitas

tersedia, untuk mengurangi jumlah dan spektrum agen yang diberikan.

Table 2.10Antibiotik empirik yang direkomendasikan untuk terapi infeksi


intra-abdomen yang terkait perawatan kesehatan (health-care
associated)
Organisms seen in Regimen
health Carbapenem Piperacillin-taz Ceftazidime or Aminoglycoside Vancomycin
care–associated obactam cefepime, each
infection at the local with
institution metronidazole
!20% Resistant Recommended Recommended Recommended Not Not
Pseudomonas recommended recommended
aeruginosa,
ESBL-producing
Enterobacteriaceae,
Acinetobacter, or
other MDR GNB
ESBL-producing Recommended Recommended Not Recommended Not
Enterobacteriaceae recommended recommended

P. aeruginosa 120% Recommended Recommended Not Recommended Not


resistant to recommended recommended
ceftazidime
MRSA Not Not Not Not Recommended
recommended recommended recommended recommended

2.4.5.4 Terapi Antijamur

Terapi antijamur untuk pasien dengan infeksi yang didapat di masyarakat

atau perawatan kesehatan yang direkomendasikanjika Candida tumbuh dari kultur

intra-abdomen. Flukonazol adalah pilihan tepat untuk pengobatan jika Candida

albicans diisolasi. Untuk spesies Candida yang tahan flukonazol, terapi dengan

echinocandin (caspofungin, micafungin, atau anidulafungin) adalah pilihan yang

tepat. Bagi pasien yang dalam keadaan kritis, direkomendasikan terapi awal

30
dengan echinocandin dan bukan triazol. Karena toksisitasnya, amfoterisin B tidak

dianjurkan sebagai terapi awal.

2.4.5.5 Terapi Anti-Enterococcal

Terapi antimikroba untuk enterococci harus diberikan saat pasien dengan

infeksi terkait perawatan kesehatan yang disebabkan enterococci dipulihkan.

Terapi anti-enterococcal empiris direkomendasikan untuk pasien dengan infeksi

intra-abdomen terkait perawatan kesehatan, terutama mereka yang memiliki

infeksi pasca operasi, mereka yang sebelumnya pernah menerima sefalosporin

atau agen antimikroba lainnya yang selektif terhadap Enterococcus, pasien

imunokompromais, dan mereka yang memiliki penyakit katup jantung atau bahan

intravaskular prostetik,terapi empiris anti-enterococcal awal harus ditujukan

terhadap Enterococcus faecalis. Antibiotik yang berpotensi digunakan melawan

organisme ini, berdasarkan uji kerentanan isolat individu, termasuk ampisilin,

piperacillin-tazobaktam, dan vankomisin. Terapi empiris terhadap bakteri

Enterococcus faeciumyang resisten terhadap vankomisin tidak dianjurkan, kecuali

pasien beresiko tinggi terkena infeksi karena organisme ini, seperti penerima

transplantasi hati dengan infeksi intra-abdomen yang berasal dari traktus

hepatobilier atau pasien yang diketahui memiliki kolonisasi bakteri E. faecium

yang resisten terhadap vankomisin.

2.4.5.6 Terapi Anti MRSA

Cakupan antimikroba empiris yang ditujukan terhadap MRSA harus

diberikan kepada pasien dengan infeksi intra-abdomen terkait perawatan

kesehatan yang diketahui memiliki kolonisasikuman atau yang berisiko terinfeksi

karena organisme ini karena kegagalan pengobatan sebelumnya dan pemaparan

31
dengan antibiotik yang signifikan. Vankomisin direkomendasikan untuk

pengobatan infeksi intra-abdomen yang dicurigai atau terbukti karena MRSA.

2.4.5.7 Kolesistitis dan kolangitis

Ultrasonografi adalah teknik pencitraan pertama yang digunakan untuk

pasien yang dicurgai kolesistitis akut atau kolangitis. Pasien yang dicurigai

mengalami infeksi, dan kolesistitis akut atau cholangitis harus menerima terapi

antimikroba, walaupun terapi anaerobik tidak ditunjukkan kecuali terdapat

anastamosis sistem biliary-enteric. Pasien yang menjalani kolesistektomi untuk

kolesistitis akut harus menjalani terapi antimikroba dalam 24 jam kecuali ada

bukti adanya infeksi di luar dinding kantong empedu. Untuk infeksi bilier yang

didapat masyarakat, aktivitas antimikroba terhadap enterococci tidak diperlukan,

karena patogenisitas enterococci belum pernah ditunjukkan. Untuk pasien

imunosupresi terpilih, terutama mereka yang menjalani transplantasi hati, infeksi

enterococcal mungkin signifikan dan memerlukan perawatan.

2.4.5.8 Durasi Terapi untuk Infeksi Intra-abdomen

Terapi antimikroba terhadap infeksi harus dibatasi 4-7 hari, kecuali sulit

untuk mendapatkan kontrol sumber yang memadai. Jangka waktu terapi yang

lebih lama belum dikaitkan dengan hasil yang membaik. Untuk peradangan akut

pada perut dan jejunum proksimal, dengan tidak adanya acid-reducing therapy

atau keganasan dan bila kontrol sumber tercapai dalam waktu 24 jam, terapi

antiinflamasi profilaksis yang diarahkan pada coccus gram positif aerobik selama

24 jam sudah cukup. Dengan adanya operasi tertunda untuk akut abdomen dan

perforasi jejunum proksimal, adanya keganasan gastrik atau adanya terapi yang

mengurangi keasaman lambung, terapi antimikroba untuk menutupi flora

32
campuran (misalnya, seperti yang terlihat pada infeksi kolon yang rumit) harus

disediakan. Cedera usus akibat trauma tembus, tumpul, atau iatrogenik yang

diperbaiki dalam waktu 12 jam dan kontaminasi intraoperatif lainnya dari bidang

operasi dengan kandungan enterik harus ditangani dengan antibiotik.

Table 2.11 Dosis antibiotik intravena inisial untuk terapi empirik pada infeksi
intra-abdomen
Antibiotic Adult dosage
β-lactam/ β -lactamase inhibitor combination

Piperacillin-tazobactam 3.375 g every 6 h

Ticarcillin-clavulanic acid 3.1 g every 6 h; FDA labeling indicates 200


mg/kg/day in divided doses every 6 h for
moderate infection and 300 mg/kg/day in divided
doses every 4 h for severe infection
Carbapenems

Doripenem 500 mg every 8 h

Ertapenem 1 g every 24 h

Imipenem/cilistatin 500 mg every 6 h or 1 g every 8 h

Meropenem 1 g every 8 h

Cephalosporins

Cefazolin 1–2 g every 8 h

Cefepime 2 g every 8–12 h

Cefotaxime 1–2 g every 6–8 h

Cefoxitin 2 g every 6 h

Ceftazidime 2 g every 8 h

Ceftriaxone 1–2 g every 12–24 h

Cefuroxime 1.5 g every 8 h

Tigecycline 100 mg initial dose, then 50 mg every 12 h

Fluoroquinolones

Ciprofloxacin 400 mg every 12 h

Levofloxacin 750 mg every 24 h

33
Moxifloxacin 400 mg every 24 h

Metronidazole 500 mg every 8–12 h or 1500 mg every 24 h

Aminoglycosides

Gentamicin or tobramycin 5–7 mg/kg every 24 h

Amikacin 15–20 mg/kg every 24 h

Aztreonam 1–2 g every 6–8 h

Vancomycin 15–20 mg/kge every 8–12 h

Apendisitis akut tanpa bukti perforasi, abses, atau peritonitis lokal hanya

memerlukan pemberian rejimen profilaksis spektrum sempit yang aktif terhadap

aerob dan fakultatif dan anaerob obligat; pengobatan harus dihentikan dalam

waktu 24 jam. Pemberian antibiotik profilaksis kepada pasien dengan pankreatitis

nekrosis parah sebelum diagnosis infeksi tidak dianjurkan.

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

1. Community-acquired pneumonia (CAP) merupakan suatu infeksi pada

parenkim paru yang ditandai dengan gejala infeksi akut, ditemukannya

infiltrat pada foto toraks atau pada pemeriksaan auskultasi didapatkan tanda

pneumonia.

34
2. Foto toraks dibutuhkan untuk evaluasi rutin pasien yang didiagnosis

pneumonia. Pada pasien yang dirawat dan dicurigai menderita pneumonia,

tetapi pada pemeriksaan foto toraks tidak ditemukan infiltrat, dapat

dilakukan pemeriksaan foto toraks ulang dalam 24-48 jam.

3. Terapi empiris pada pasien CAP diberikan berdasarkan status pasien, yaitu

pasien rawat jalan, rawat inap, dan rawat inap ICU.

4. Diagnosis HAP (hospital acquired pneumonia) dan VAP

(ventilator-associated pneumonia) dilakukan secara mikrobiologi dengan

menggunakan sampel noninvasif.

5. Terapi inisial dilakukan secara empirik dengan pertimbangan faktor resiko

seperti kemungkinan MRSA (methicillin resistan Staphylococcus aureus),

penggunaan antibiotik sebelumnya dalam waktu 90 hari, dan kemungkinan

infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas.

6. Terapi sepesifik patogen untuk MRSA VAP / HAP diobati dengan

vankomisin atau linezolid, sedangkan pada HAP / VAP yang disebabkan

oleh P.aeruginosa harus didasarkan pada hasil uji kepekaan antimikroba.

7. Untuk pasien dengan VAP / HAP, terapi antimikroba harus paling sedikit 7

hari, tergantung pada tingkat perbaikan parameter klinis, radiologis, dan

laboratorium.

8. Infeksi paru oleh jamur dapat disebabkan oleh berbagai jenis jamur,

diantaranya adalah Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenkii,

Blastomyces dermatidis, Coccidioides sp, Paracoccidioides brasiliensis,

Cryptococcus neoformans, Aspergillus sp, Candida sp, Pneumocystis

jirovecii, dan lainnya.

35
9. Golongan obat-obatan yang digunakan dalam terapi jamur adalah, polyenes,

triazole, dan echinocandins.

10. Pasien dengan dugaan infeksi intra-abdomen perlu diketahui riwayat

penyakit, melakukan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium

untuk evaluasi dan pengelolaan lebih lanjut.

11. Pasien harus menjalani pemulihan volume intravaskular yang cepat dan

tindakan tambahan yang diperlukan untuk meningkatkan stabilitas

fisiologis.

12. Terapi antimikroba yang digunakan dipilih berdasarkan sumber infeksi

(community-acquired, hospital-associated), tingkat keparahn infeksi, dan

mikroorganisme penyebab infeksi (bakteri, fungal).

36

You might also like