You are on page 1of 20

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Leukemia Limfoblastik Akut Pada Anak


2.1.1. Definisi
Leukemia limfoblastik akut merupakan penyakit keganasan sel darah yang
berasal dari sumsum tulang, ditandai dengan proliferasi maligna sel leukosit
immatur, dan pada darah tepi terlihat adanya pertumbuhan sel-sel yang abnormal.
Sel leukosit dalam darah penderita leukemia berproliferasi secara tidak teratur dan
menyebabkan perubahan fungsi menjadi tidak normal sehingga mengganggu
fungsi sel normal lain (Permono, 2005).

2.1.2. Epidemiologi
Setiap tahun di Amerika Serikat ada sekitar 14.382 kasus kanker baru yang
didiagnosis pada penduduk di bawah usia 20 tahun. Sekitar 2.970 (21%) dari
kasus-kasus ini merupakan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA). Tingkat kejadian
tahunan AS untuk LLA dibawah usia 20 tahun adalah 35,0 per satu juta
penduduk, dengan laki-laki memiliki insiden yang lebih tinggi daripada
perempuan. Terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian LLA antara ras
kulit hitam dan kulit putih, dimana anak-anak kulit putih memiliki insiden hampir
2 kali lipat lebih besar. Puncak insidens LLA paling tinggi terjadi pada usia 2-5
tahun. Secara internasional, terdapat variasi antara kejadian LLA pada masa
kanak-kanak dan remaja, dengan rata-rata kejadian pertahun berkisar 9-47 per
juta untuk laki-laki dan 7-43 per juta untuk wanita (Robinson, 2011).
Menurut penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo
Surabaya, leukemia akut menduduki peringkat pertama pasien keganasan pada
anak dalam kurun waktu 10 tahun (1991-2000) yaitu 524 kasus atau 59% dari
seluruh keganasan pada anak. Dari jumlah tersebut 430 anak (82%) didiagnosis
sebagai leukemia limfoblastik akut, 52 (10%) kasus sebagai leukemia
nonlimfoblastik akut dan sisanya 42 kasus (8%) sebagai leukemia mieoloblastik
5

kronis. Insiden dari LLA pada tahun 2005 terdapat 85 kasus baru (Widiaskara, et
al, 2010).

2.1.3. Etiologi dan Faktor Resiko


Etiologi leukemia akut belum diketahui, akan tetapi faktor-faktor berikut
ini penting dalam patogenesis leukemia:
1. Radiasi ionisasi.
2. Bahan-bahan kimia (misalnya, benzena pada Leukemia Myeloid Akut
(LMA)).
3. Obat-obatan (misalnya, penggunaan alkylating agen baik sendiri atau
dalam kombinasi dengan terapi radiasi meningkatkan risiko LMA).
4. Pertimbangan Genetik:
Kembar identik: Jika salah satu kembar mengalami leukemia pada usia
dibawah 5 tahun, risiko kembar kedua mengalami leukemia adalah 20%.
Kejadian leukemia pada saudara kandung dari pasien leukemia adalah
empat kali lebih besar dibandingkan dengan populasi umum.
Kelainan kromosom:
Grup Interval Risiko Waktu
Trisomi 21 (sindrom Down) 1 di 95 <10 tahun
Sindrom Bloom 1 di 8 <30 tahun
Anemia Fanconi 1 di 12 <16 tahun

Peningkatan kejadian dengan kondisi genetik sebagai berikut:


(1) Agammaglobulinemia kongenital
(2) Sindrom Polandia
(3) Sindrom Shwachman Diamond
(4) Ataksia telangiectasia
(5) Sindrom Li-Fraumeni (mutasi gen p-53)
(6) Neurofibromatosis
(7) Diamond-Blackfan anemia
(8) Penyakit Kostmann.
Sebagian besar kasus leukemia tidak berasal dari kecenderungan genetik
yang diwariskan, tetapi dari perubahan genetik somatik (Lanzkowsky,2008).
6

2.1.4. Klasifikasi
Leukemia limfoblastik akut, sel B atau sel T, dibagi lagi oleh WHO (2008)
berdasarkan defek genetik yang mendasarinya. Pada kelompok B-LLA (LLA sel
B) terdapat beberapa subtipe genetik spesifik misalnya subtipe dengan translokasi
t (9; 22) atau t (12; 21), tata ulang gen (gene rearrangement) atau perubahan
jumlah kromosom (diploidi). Subtipe merupakan petunjuk penting untuk protokol
pengobatan optimal dan prognosis. Pada T-LLA (LLA sel T) kariotipe abnormal
ditemukan pada 50% - 70% kasus (Hoffbrand, 2013).
Sedangkan secara morfologik, menurut FAB (French, British and
America), LLA dibagi menjadi tiga yaitu:
1. L1 : LLA dengan sel limfoblas kecil-kecil dan merupakan 84% dari LLA.
2. L2 : Sel lebih besar, inti ireguler, kromatin bergumpal, nukleoli prominen
dan sitoplasma agak banyak, merupakan 14% dari LLA.
3. L3 : LLA mirip dengan limfoma Burkitt, yaitu sitoplasma basofil dengan
banyak vakuola, hanya merupakan 1% dari LLA (Bakta,2006)

Gambar 2.1. Leukemia Limfoblastik Akut tipe L-1(Roganovic, 2013)


7

Gambar 2.2. Leukemia Limfoblastik Akut Tipe L-2 (Roganovic, 2013)

Gambar 2.3. Leukemia Limfoblastik Akut Tipe L-3 (Roganovic, 2013)

Menurut imunofenotipenya, LLA diklasifikasikan menjadi:


1. Sel pra-B awal : 60%-70% dari pasien LLA dengan precursor
sel B, biasanya terdapat antigen CD10, dan
tidak ditemukan sitoplasmik immunoglobulin
(cIg), sehingga disebut dengan “LLA umum”,
Juga terdapat human leukocyte antigen (HLA)-
DR.
2. Sel pra-B : 20%-30% dari pasien LLA dengan precursor
sel B, terdapat cIg, merupakan pertengahan
dari tipe sel B, lebih matur dari sel pra-B awal,
8

namun kurang matur dari sel B. ditemukan


antigen CD10 dan HLA-DR, memiliki
prognosis lebih buruk dari penderita dengan sel
pra-B awal.
3. Sel pra-B transisional : Terdapat pada anak kurang dari 12 bulan,
CD10 negatif, dan terdapat beberapa
ketidaknormalan pada kromosom, prognosis
paling buruk.
4. Sel T : 10%-15% LLA, biasanya pada anak yang lebih
tua, hitung leukosit lebih tinggi dan
prognosisnya lebih jelek dibandingkan
prekursor sel B.
5. Sel B mature : 1%-2% LLA, immunoglobulin permukaan IgM
positif, terdapat antigen CD19, CD20, dan
HLA-DR (Orkin, et al., 2009).

2.1.5. Gambaran Klinis


Gambaran klinis terjadi karena hal-hal berikut:
Kegagalan Sumsum Tulang
1. Anemia (pucat, letargi, dan dispnea);
2. Neutropenia (demam, malaise, gambaran infeksi mulut, tenggorokan,
kulit, saluran napas, perianus, atau bagian lain);
3. Trombositopenia (memar spontan, purpura, gusi berdarah, dan menoragia)
(Hoffbrand, 2013).

Infiltrasi Organ
Gejala infiltrasi organ antara lain nyeri tulang, limfadenopati,
splenomegali moderat, hepatomegali, dan sindrom meningen (nyeri kepala, mual
dan muntah, pengelihatan kabur, dan diplopia). Pemeriksaaan fundus mungkin
menunjukkan papil edema dan kadang perdarahan. Banyak pasien mengalami
demam yang biasanya mereda setelah pemberian kemoterapi. Manifestasi yang
9

lebih jarang adalah pembengkakan testis atau tanda-tanda penekanan mediastinum


pada LLA sel T (Hoffbrand, 2013).
Jika yang menonjol adalah kelenjar limfe dan massa ekstranodus dengan
blast <20% di sumsum tulang, penyakitnya disebut limfoma limfoblastik, tetapi
diterapi juga seperti LLA (Hoffbrand,2013).

2.1.6 Gambaran Laboratorium


Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi
diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan perencanaan terapi yang tepat, yaitu :
1. Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Count) dan Apus Darah Tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis.
Hiperleukositosis (>100.000/mm³) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan
dapat melebihi 200.000/mm³. Pada umumnya terjadi anemia dan
trombositopenia. Proporsi sel blast pada hitung leukosit bervariasi dari 0
sampai 100%. Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit
kurang dari 25.000mm³ (Fianza, 2009).
2. Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi,
sehingga semua pasien LLA harus menjalani prosedur ini. Apus sumsum
tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih
dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya
digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak
berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsi penting untuk
evaluasi gambaran sitologi (Fianza, 2009).
3. Sitokimia
Gambaran morfologi sel blast pada apus darah tepi atau sumsum tulang
kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemia mieloblastik
akut (LMA). Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase
akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim
sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekursor
granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blast LMA. Sitokimia juga
10

berguna untuk membedakan precursor B dan B-LLA dari T-LLA.


Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas,
sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan
periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat
dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytomerty
(Fianza, 2009).
4. Imunofenotip (dengan sitometri arus/Flow cytometry)
Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Reagen
yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah
antibodi terhadap :
a. Untuk sel prekursor B : CD10 (common ALL antigen), CD19,
CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy chain, dan TdT.
b. Untuk sel T : CD1a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7, CD8 dan TdT.
c. Untuk sel B : kappa atau lambda, CD19, CD20, dan CD22.
Pada sekitar 15%-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid.
Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalah CD13, CD15, dan CD33.
Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat
ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini jarang, dan perjalanan
penyakitnya buruk (Fianza, 2009).
5. Pemeriksaan lainnya
Pungsi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) tidak secara
umum dilakukan karena dapat mendorong penyebaran sel tumor ke SSP.
Tes biokimia mungkin memperlihatkan peningkatan asam urat serum,
laktat dehidrogenase serum, atau, yang lebih jarang, hiperkalsemia. Tes
fungsi hati dan ginjal dilakukan untuk mengetahui data dasar sebelum
pengobatan dimulai. Radiografi mungkin memperlihatkan lesi-lesi litik di
tulang dan massa di mediastinum yang khas untuk T-LLA (Hoffbrand,
2013).
11

2.1.7. Faktor Prognostik


Pasien dimasukkan kategori risiko tinggi (HR) bila jumlah leukosit darah
tepi >50.000/ml, ditemukan sel blast pada susunan saraf pusat, jumlah total blast
setelah 1 minggu diterapi lebih dari 1000/mm, ada masa di mediastinum, dan
umur <1 tahun atau >10 tahun (Widiaskara, et al, 2010). Pasien yang berusia
antara 1 dan 9 dengan awal WBC (White Blood Count) <50.000 / mm³ (Risiko
Standar), yang mencakup dua pertiga dari pasien pre-B LLA, memiliki angka
ketahanan hidup 4 tahun sebanyak 80%. Para pasien yang tersisa (risiko tinggi)
memiliki angka ketahanan hidup 4 tahun sebanyak 65%. Faktor-faktor yang harus
dimasukkan dalam klasifikasi risiko adalah:
1. Umur: Pasien di bawah usia 1 tahun dan lebih dari 10 tahun memiliki
prognosis yang lebih buruk dari anak-anak dengan usia > 1 tahun dan <10
tahun. Bayi di bawah usia 1 tahun memiliki prognosis terburuk.
2. Jumlah sel darah putih: Anak-anak dengan WBC yang tinggi cenderung
memiliki prognosis yang buruk.
3. Imunofenotipe: pre-B LLA memiliki prognosis terbaik. Mature T-sel LLA
memiliki kelangsungan hidup yang lebih buruk karena hubungannya
dengan usia yang lebih tua dan lebih tingginya angka WBC pada saat
diagnosis. Mature B-sel LLA sebelumnya memiliki prognosis buruk
dengan risiko kekambuhan yang cepat dan keterlibatan SSP tetapi terapi
agresif baru-baru ini telah meningkatkan prognosis.
4. Indeks DNA > 1,16 hyperdiploid LLA dengan jumlah kromosom lebih
dari 50 dikaitkan dengan hasil yang baik karena peningkatan apoptosis dan
meningkatnya kepekaan terhadap agen kemoterapi.
5. Sitogenetik: Kombinasi trisomi kromosom 4, 10, dan 17 dikaitkan dengan
risiko kegagalan pengobatan yang sangat rendah dan hasil yang baik.
Translokasi melibatkan penataan ulang MLL pada 11q23 telah dikaitkan
dengan prognosis yang lebih buruk. Philadelphia kromosom t (9; 22)
(Q34; Q11) LLA adalah translokasi paling sulit untuk diobati dan
memiliki prognosis buruk. Hypodiploid LLA juga berhubungan dengan
prognosis yang buruk.
12

6. Penyakit SSP: Kehadiran penyakit SSP pada saat diagnosis merupakan


faktor prognostik yang merugikan meskipun intensifikasi terapi dengan
iradasi SSP dan tambahan terapi intratekal. Adanya blast pada cytospin
tanpa peningkatan WBC (status CNS2) juga dikaitkan dengan hasil yang
buruk.
7. Respon awal terhadap terapi induksi: Pasien yang tidak mengalami remisi
pada akhir terapi induksi memiliki prognosis yang sangat buruk. Hasil
sumsum tulang pada hari ke 7 dan hari ke 14 terapi induksi juga telah
digunakan untuk memperkirakan respon terhadap terapi (Lanzkowsky,
2008).

2.1.8. Pengobatan
Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi dua,yaitu terapi
spesifik dalam bentuk kemoterapi, dan terapi suportif untuk mengatasi kegagalan
sumsum tulang, baik karena proses leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi
(Bakta, 2006).
1. Terapi Spesifik (Kemoterapi)
Menurut Protokol Indonesia tahun 2006 terapi LLA dibagi menjadi 2
klasifikasi berdasarkan faktor risikonya, yaitu risiko tinggi (High Risk/HR)
dan risiko normal (Standard Risk/SR). Pada pasien dengan risiko tinggi,
terdapat 4 fase terapi, yaitu fase induksi, konsolidasi, reinduksi, dan
rumatan (maintenance). Sedangkan pada pasien dengan risiko standar,
terdapat 3 fase terapi, yaitu fase induksi, konsolidasi, dan rumatan
(maintenance) (Pertiwi, et al., 2013)
a. Fase induksi
Tujuan terapi remisi-induksi adalah untuk membasmi lebih dari 99
persen dari beban awal sel-sel leukemia dan untuk mengembalikan
hematopoiesis normal dan status kinerja normal. Fase pengobatan ini
hampir selalu meliputi administrasi glukokortikoid (prednisone,
prednisolon, atau deksametason), vincristine, dan setidaknya satu agen
lainnya (biasanya asparaginase, anthracycline, atau keduanya). Anak-
13

anak dengan risiko tinggi atau LLA dengan risiko sangat tinggi dan
hampir semua dewasa muda dengan LLA menerima empat atau lebih
obat selama terapi remisi-induksi. Perbaikan dalam kemoterapi dan
perawatan suportif telah meningkatkan tingkat remisi lengkap sekitar
98 persen untuk anak-anak dan sekitar 85 persen untuk orang dewasa.
Telah terbukti jika upaya pengobatan dilakukan lebih cepat dan terjadi
pengurangan lengkap beban sel-leukemia dapat mencegah resistensi
obat dan meningkatkan tingkat kesembuhan.(Pui,et al 2006).
Terapi induksi yang terlalu agresif mungkin, pada kenyataannya,
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Selain itu
siklofosfamid, sitarabin dosis tinggi, atau dosis tinggi anthracycline
menunjukkan hasil yang tidak terlalu menguntungkan pada orang
dewasa, sebagian karena terapi tersebut buruk toleransinya oleh pasien
yang lebih tua. Mungkin karena penetrasi yang lebih banyak ke dalam
sistem saraf pusat dan waktu paruh yang lebih panjang, penggunaan
deksametason di induksi dan terapi post remisi tampaknya
memberikan kontrol yang lebih baik dalam sistem saraf pusat dan
sistemik dibandingkan baik prednisone atau prednisolon. Namun, satu
studi kecil menyatakan bahwa dosis prednisolon yang ditingkatkan
dalam konteks perawatan intensif lainnya dapat menghasilkan hasil
yang serupa dengan yang dicapai dengan deksametason (Pui, et al.,
2006).
Namun, perlu diingat bahwa remisi tidak sama dengan kesembuhan.
Dalam remisi, pasien mungkin masih mengandung sejumlah besar sel
tumor dan tanpa kemoterapi lebih lanjut maka hampir semua pasien
akan kambuh. Bagaimanapun, tercapainya remisi merupakan langkah
pertama yang penting dalam pengobatan keseluruhan. Pasien yang
gagal mencapai remisi perlu menjalani protokol yang lebih intensif
(Hoffbrand, 2013).
14

b. Fase Konsolidasi (intensifikasi)


Terapi ini menggunakan dosis tinggi beragam obat kemoterapi untuk
mengeliminasi penyakit atau mengurangi beban tumor ke tingkat yang
sangat rendah. Dosis kemoterapi mendekati batas toleransi pasien dan
selama intensifikasi pasien mungkin memerlukan bantuan yang cukup
banyak (Hoffbrand, 2013).
Pada protokol tipikal berisi vinkristin, siklofosfamid, sitosin arabinosid,
etoposid, atau merkaptopurin yang diberikan sebagai blok dalam
berbagai kombinasi. Biasanya diberikan tiga blok intensifikasi untuk
anak, dengan jumlah yang lebih banyak kadang digunakan untuk
dewasa (Hoffbrand, 2013).
c. Fase reinduksi
Fase reinduksi - pada dasarnya merupakan pengulangan terapi induksi
awal yang diberikan selama beberapa bulan pertama remisi –merupakan
salah satu komponen dari suksesnya protokol LLA. Penting untuk
dicatat bahwa vincristine tambahan dan prednisone setelah satu
pengobatan reinduksi tidak menguntungkan, diperkirakan bahwa
perbaikan yang terjadi adalah karena peningkatan intensitas dosis agen
lain, seperti asparaginase. Karena sering terjadinya osteonekrosis
setelah pengobatan reinduksi, terapi glukokortikoid sedang diselidiki
sebagai strategi untuk mengurangi komplikasi (Pui, et al., 2006).
d. Fase rumatan (maintenance)
Obat yang pada umumnya dipakai adalah 6 mercaptopurin (6 MP) per
oral dan metrotreksat tiap minggu. Diberikan selama 2-3 tahun dengan
diselingi terapi konsolidasi atau intensifikasi (Bakta, 2006).
2. Terapi Suportif
Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya dengan
terapi spesifik karena akan menentukan angka keberhasilan terapi.
Kemoterapi intensif harus ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula,
jika tidak maka penderita dapat meninggal karena efek samping obat.
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan
15

oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping
obat. Terapi suportif yang diberikan adalah :
a. Terapi untuk mengatasi anemia: transfusi PRC (Packed Red Cells)
untuk mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10g/dl. Untuk calon
transplantasi sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya dihindari.
b. Terapi untuk mengatasi infeksi, terdiri atas :
1) Antibiotika adekuat
2) Transfusi konsentrat granulosit
3) Perawatan khusus (isolasi)
4) Hemopoietic growth factor
c. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas :
Transfusi konsentrat trombosit untuk mempertahankan trombosit.
d. Terapi untuk mengatasi hal-hal lain, yaitu :
1) Pengelolaan leukostasis: dilakukan dengan hidrasi intravenous dan
leukapharesis. Segera lakukan induksi remisi untuk menurunkan
jumlah leukosit.
2) Pengelolaan sindrom lisis tumor: dengan hidrasi yang cukup,
pemberian alopurinol dan alkalinisasi urine (Bakta,2006).

2.2. Efek Kemoterapi pada Ginjal


Kemoterapi merupakan pengobatan utama untuk pasien LLA, namun
kemoterapi dapat mempengaruhi sel dan organ normal tubuh. Efek samping
kemoterapi dibagi menjadi early side effect contohnya neutropenia dan stomatitis,
serta delayed side effect misalnya acute kidney injury (Adam,2015).
Ginjal, menjadi jalur pengeluaran banyak obat antitumor dan
metabolitnya, cukup rentan terhadap cedera oleh kemoterapi. Beberapa faktor
diketahui memiliki kontribusi terhadap potensi nefrotoksik obat antineoplastik
pada pasien dengan leukemia akut, yaitu penggunaan bersamaan obat nefrotoksik
lain (misalnya, amphothericin), infeksi saluran kencing, penurunan volume
intravaskular, sepsis dan komorbiditas lainnya seperti hipertensi, diabetes mellitus
atau gagal jantung. Nefrotoksisitas yang diinduksi oleh kemoterapi dapat
16

mempengaruhi glomerulus, tubulus, pembuluh darah ginjal atau sistem ekskresi


tergantung pada obat yang terlibat (Vagace,2011).
Komplikasi ginjal yang terjadi pada pasien LLA sering dihubungkan
dengan beberapa faktor, yaitu infiltrasi sel leukemia ke dalam sel ginjal dan juga
karena pengaruh dari pengobatan terhadap sel kanker itu sendiri. Komplikasi
terhadap ginjal tersebut tidak jarang terjadi dan kebanyakan terjadi pada fase
induksi, serta bisa bertahan sampai beberapa tahun atau bahkan mungkin bisa
menjadi permanen. Komplikasi yang sering terjadi ialah pembesaran ginjal yang
disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia ke dalam sel ginjal. Selain pembesaran
ginjal, acute kidney injury (gagal ginjal akut) juga merupakan salah satu
komplikasi ginjal yang berat akibat penyakit LLA, walaupun masih jarang terjadi
(Adam,2015).
17

Tabel 2.1. Gangguan Ginjal yang Berhubungan dengan


Obat Kemoterapi
Gangguan Vaskularisasi Ginjal
Hemodinamik AKI (capillary leak syndrome)
IL-2, denileukin diftitox
Thrombotik mikroangiopati
Obat antiangiogenesis (bevacizumab dan inhibitor tirosin kinase)
Gemcitabine dan cisplatin
Mitomycin C dan IFN
Glomeruli
Minimal change disease
IFN
Pamidronate
Glomerulosklerosis fokal segmental
IFN
Pamidronate
Zoledronate
Tubulointerstitium
Nekrosis tubular akut
Platinums, zoledronate, ifosfamide, dan mithramycin
Pentostatin, imatinib, diaziquone, dan pemetrexed
Tubulopathies
Sindrom Fanconi
Cisplatin, ifosfamide, dan azacitadine
Diaziquone, imatinib, dan pemetrexed
Salt wasting
Cisplatin dan azacitadine
Magnesium wasting
Cisplatin, cetuximab, dan panitumumab
Diabetes insipidus nephrogenik
cisplatin, ifosfamide, and pemetrexed
Syndrome of inappropriate antidiuresis
Cyclophosphamide dan vincristine
Nephritis interstitial akut
sorafenib dan sunitinib
crystal nephropathy
methotrexate
Sumber: (Perazella, 2012)

Menurut Protokol Indonesia tahun 2006, pada fase konsolidasi, obat-


obatan yang digunakan adalah metotrexat (MTX), leucovorin, dan 6-
mercaptopurine (6-MP) (IDAI,2006).
18

2.2.1 Metotrexat (MTX)


Metotreksat (MTX) adalah obat anti-metabolit yang banyak digunakan
dalam kemoterapi, efek samping yang dapat timbul akibat obat ini terutama
apabila digunakan dalam dosis yang tinggi yaitu kerusakan mukosa ginjal, depresi
sumsum tulang, sampai dengan terjadinya acute kidney injury (Adam,2015).
Insiden penggunaan HDMTX (High Dose Methrotrexate) terkait cedera
ginjal akut (AKI) adalah sekitar 1.8 % (berkisar antara 0 % sampai 12 %).
Nefrotoksisitas muncul melalui dua mekanisme utama. Yang pertama adalah
kristal nefropati, yang terjadi ketika MTX dan metabolitnya mengendap dalam
tubulus ginjal. Pada tahap awal dari presipitasi kristal, uji mikroskop urin
menunjukkan sel-sel epitel tubulus ginjal dan, jarang, kristal MTX. Kristal
nefropati awalnya bermanifestasi dengan peningkatan asimtomatik dalam
kreatinin serum dan kemudian berkembang menjadi nekrosis tubular dan yang
lebih parah, cedera ginjal. Mekanisme kedua cedera ginjal terkait HDMTX adalah
toksisitas tubular langsung ; MTX menginduksi pembentukan radikal oksigen di
ginjal, dengan selanjutnya terjadi cedera selular (Ahmed, 2013).

2.2.2 Leucovorin
Selama lebih dari 30 tahun, leucovorin rescue telah menjadi dasar dari
terapi HDMTX (High Dose Methotrexate). Protokol HDMTX awal didasarkan
pada pengamatan bahwa toksisitas MTX dapat dicegah atau diperbaiki pada
pasien dengan konsentrasi MTX plasma tinggi yang menerima dosis leucovorin
secara terpadu. Leucovorin sangat efektif dalam mencegah myelosupresi,
toksisitas GI (Gastro intestinal) dan neurotoksisitas selama pengobatan dengan
HDMTX. Protokol standar kemoterapi pada saat ini memasukkan pemberian
leucovorin dalam 24 sampai 36 jam pemberian HDMTX untuk mencegah sel-sel
normal dari kerusakan (Ahmed, 2013).
Selain perannya dalam pencegahan toksisitas MTX, leucovorin dosis
tinggi merupakan perawatan standar untuk pasien dengan clearance MTX yang
tertunda dan cedera ginjal. Flombaum dan rekan telah mengevaluasi pentingnya
dosis tinggi terapi leucovorin rescue pada pasien dengan acute kidney injury
19

terkait HDMTX. Penelitian retrospektif dilakukan terhadap 13 pasien dengan


konsentrasi MTX median 164 pM setelah 24 jam pemberian HDMTX, 16,3 pM
pada 48 jam, dan 6,2 pM pada 72 jam. Selain perawatan suportif standar dengan
hidrasi dan pemberian natrium bikarbonat, semua pasien diobati dengan
leucovorin dengan dosis mulai 0,24-8g/hari. Pengobatan leucovorin rescue
dimulai dalam waktu 24 jam (n = 9), 48 jam (n = 3), dan 72 jam (n = 1) dari awal
terapi HDMTX. Efek samping termasuk neutropenia signifikan (n = 8) dan
trombositopenia (n = 7), serta mucositis (n = 6) dan diare (n = 4). Namun, semua
pasien sembuh dari efek samping. Pengobatan agresif awal dengan dosis yang
sangat tinggi dari leucovorin memungkinkan seluruh (13 orang) pasien untuk
menghindari extracorporeal removal meskipun dosis MTX sangat tinggi
(Ahmed,2013).

2.2.3. 6-Mercaptopurine (6-MP)


6-MP merupakan analog tiopurin pertama yang terbukti efektif dalam
terapi kanker. Seperti tiopurin lainnya, 6-MP tidak aktif dalam bentuk induknya
dan harus dimetabolisme terlebih dahulu oleh hipoxantin-guanin fosforibosil
transferase (HPGRT) menjadi asam 6-tioinosinat, suatu nukleotida monofosfat,
yang selanjutnya menghambat beberapa enzim dalam sintesis de novo nukleotida
purin. 6-MP terutama digunakan dalam terapi leukemia akut pada anak, dan
analog yang terkait dengannya, yakni azatioprin, digunakan sebagai agen
imunosupresif (Katzung, 2010).

2.2.4. Cyclophosphamide (Siklofosfamid)


Siklofosfamid adalah salah satu agen anti-kanker paling sukses yang
pernah disintesis. Bahkan saat ini, 50 tahun setelah disintesis, siklofosfamid masih
banyak digunakan sebagai agen kemoterapi dan regimen untuk transplantasi
sumsum tulang. Siklofosfamid dapat diberikan secara aman tanpa dosis
penyesuaian pada pasien dengan gagal ginjal atau hati. Kadar siklofosfamid tidak
terdeteksi 12-24 jam setelah pemberian, bahkan pada pasien dengan gagal ginjal
berat. Dengan demikian, menunda dialisis untuk setidaknya satu hari setelah
20

pemberian siklofosfamid akan mencegah eliminasi obat pada pasien dengan gagal
ginjal (Emadi, et al., 2009).

2.3. Pemeriksaan Fungsi Ginjal


Fungsi ginjal dapat dievaluasi dengan berbagai uji laboratorium
secara mudah. Langkah awal dimulai dengan pemeriksaan urinalisis lengkap,
termasuk pemeriksaan sedimen kemih. Berbagai informasi penting mengenai
status fungsi ginjal dapat diperoleh dari urinalisis. Pengukuran kadar nitrogen
urea darah (BUN) dan kreatinin serum berguna untuk evaluasi gambaran
fungsi ginjal secara umum. Dalam keterbatasannya kedua uji tersebut mampu
membuat estimasi Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang akurat. Untuk
menetapkan LFG yang lebih tepat dapat dilakukan pengukuran dengan klirens
kreatinin atau klirens inulin atau penetapan LFG secara kedokteran nuklir.
Evaluasi fungsi tubulus diukur melalui pengukuran metabolisme air dan
mineral serta keseimbangan asam basa (Noer,2006). Pemeriksaan yang biasanya
dilakukan adalah :
1. Kreatinin serum
Kreatinin merupakan hasil metabolisme kreatin dan phosphocreatine,
disintesis terutama dalam otot bergaris, juga disintesis dalam hepar,
pankreas dan ginjal. Kreatinin secara eksklusif diekskresi melalui
ginjal, terutama melalui proses filtrasi glomerulus dan sedikit sekali
melalui sekresi tubulus (Noer, 2006).
Umumnya kecepatan sintesis kreatinin tetap konstan dan kadar dalam
serum mencerminkan kecepatan eliminasi ginjal. Oleh karena itu
kenaikan kadar kreatinin serum menunjukkan menurunnya klirens
kreatinin dan penurunan LFG (Laju filtrasi glomerulus). Bahkan pada
fungsi ginjal normal, kadang-kadang terlihat kenaikan kadar kreatinin
serum, apabila terjadi pelepasan kreatinin dari muskulus dalam jumlah
banyak, seperti misalnya crush injury atau rhabdomyolysis. Intake
daging matang (well-cooked) dalam jumlah banyak akan meningkatkan
kadar kreatinin serum karena terjadi penambahan kreatinin eksogen.
21

Setiap 1gr daging yang dimakan akan menghasilkan 3.5 sampai 5.0
mg kreatin. Proses pemasakan merubah sekitar 65% kreatin menjadi
kreatinin, yang akan diabsorbsi dari saluran cerna. Sebailknya kadar
kreatinin serum akan turun pada pasien yang masa ototnya
berkurang, akibat malnutrisi atau panyakit otot lanjut. Obat-obat
tertentu seperti misalnya cimetidine, trimethoprim, dan probenecid,
dapat meningkatkan kadar kreatinin serum melalui proses kompetitif
dalam transport kreatinine tubular ginjal (Noer, 2006).
2. Nitrogen Urea Darah/Blood Urea Nitrogen (BUN)
Kadar BUN normal pada seorang anak dengan gizi dan hidrasi yang
baik dianggap mencerminkan LFG yang normal. Dibandingkan dengan
kreatinin serum, BUN agak kurang akurat dalam menilai LFG, oleh
karena beberapa faktor ekstra renal yang mempengaruhi kadarnya
dalam serum. Meskipun bebas filtrasi dalam glomerulus, urea
mengalami reabsorbsi yang bermakna dalam tubulus renal. Sejumlah
urea yang telah difiltrasi direabsorbsi dalam tubulus proksimal, loop
of Henle, dan dalam ductus collegentes medulla (Noer, 2006).
Reabsorbsi urea disepanjang tubulus proksimal dan loop of Henle
terjadi secara pasif, reabsorbsi dalam duktus collegentes sangat
bergantung pada vasopressin. Dalam keadaan antidiuresis atau apabila
aliran kemih berkurang, absorbsi urea dalam nefron distal meningkat;
menurun bila telah terjadi diuresis. Adanya proses reabsorbsi urea
dalam tubulus ginjal menurunkan kegunaan BUN sebagai indikator LFG
(Noer,2006).
Hal-hal yang dapat menyebabkan peningkatan kadar ureum, yaitu :
a. Perdarahan gastrointestinal
b. Dehidrasi
c. Peningkatan asupan protein
d. Peningkatan katabolisme protein
e. Infeksi sistemik
f. Luka bakar
22

g. Terapi Glucocorticoid
Hal-hal yang dapat menyebabkan penurunan kadar ureum,yaitu :
a. Penurunan asupan protein
b. Malnutrisi
c. Penyakit Liver
(Noer, 2006).
3. Laju filtrasi glomerulus
Laju filtrasi glomerulus menunjukkan fungsi filtrasi ginjal. Cara yang
paling sering dipakai untuk menghitung LFG dalam klinik adalah
dengan menggunakan prinsip klirens. Klirens suatu zat adalah volume
plasma yang dibutuhkan untuk membersihkan suatu zat dari
glomerulus dalam suatu periode waktu. Marker yang digunakan untuk
mengukur LFG dengan prinsip ini haruslah bebas filtrasi dalam
glomerulus dan tidak direabsorbsi maupun disekresi oleh tubulus
renal. Bila marker dengan karakteristik seperti tersebut diatas
diberikan, jumlah marker yang difiltrasi oleh glomerulus dalam 1
menit (LFG x P) harus sama dengan jumlah marker yang diekskresi
dalam kemih dalam 1 menit (U x V).
LFG = laju filtrasi glomerulus
P = kadar marker dalam plasma
U = kadar marker dalam kemih
V = volume kemih yang dikeluarkan selama masa uji
(Noer, 2006).
Marker yang ideal untuk pengukuran LFG adalah marker yang
nontoksik, dapat mencapai kadar plasma yang stabil dalam keadaan
keseimbangan, tidak terikat pada protein plasma, difiltrasi bebas oleh
glomerulus, tidak disekresi dan direabsorbsi oleh tubulus ginjal (Noer, 2006).
1. Klirens inulin
Inulin merupakan marker yang ideal karena memenuhi semua
persyaratan tersebut, sehingga klirens inulin dipakai sebagai baku
emas dalam penghitungan LFG baik pada dewasa maupun pada anak-
23

anak. Pengukuran LFG dengan klirens inulin hanya dipakai dalam


riset, karena klirens inulin sulit dilakukan dalam praktek sehari-hari.
Prosedur pemeriksaan adalah dengan cara infus inulin selama 3 jam
agar diperoleh kadar yang stabil dalam cairan ekstraseluler. Dibutuhkan
intake cairan yang banyak (Noer, 2006).
2. Klirens kreatinin
Kreatinin endogen paling sering dipakai untuk menentukan LFG.
Meskipun kreatinin bebas filtrasi dalam glomerulus, terdapat sejumlah
kecil kreatinin disekresi dalam tubulus. Perlu pengumpulan kemih 24 jam.
LFG berhubungan terbalik dengan kadar kreatinin plasma (Noer, 2006).

You might also like