Professional Documents
Culture Documents
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Epidemiologi
Setiap tahun di Amerika Serikat ada sekitar 14.382 kasus kanker baru yang
didiagnosis pada penduduk di bawah usia 20 tahun. Sekitar 2.970 (21%) dari
kasus-kasus ini merupakan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA). Tingkat kejadian
tahunan AS untuk LLA dibawah usia 20 tahun adalah 35,0 per satu juta
penduduk, dengan laki-laki memiliki insiden yang lebih tinggi daripada
perempuan. Terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian LLA antara ras
kulit hitam dan kulit putih, dimana anak-anak kulit putih memiliki insiden hampir
2 kali lipat lebih besar. Puncak insidens LLA paling tinggi terjadi pada usia 2-5
tahun. Secara internasional, terdapat variasi antara kejadian LLA pada masa
kanak-kanak dan remaja, dengan rata-rata kejadian pertahun berkisar 9-47 per
juta untuk laki-laki dan 7-43 per juta untuk wanita (Robinson, 2011).
Menurut penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo
Surabaya, leukemia akut menduduki peringkat pertama pasien keganasan pada
anak dalam kurun waktu 10 tahun (1991-2000) yaitu 524 kasus atau 59% dari
seluruh keganasan pada anak. Dari jumlah tersebut 430 anak (82%) didiagnosis
sebagai leukemia limfoblastik akut, 52 (10%) kasus sebagai leukemia
nonlimfoblastik akut dan sisanya 42 kasus (8%) sebagai leukemia mieoloblastik
5
kronis. Insiden dari LLA pada tahun 2005 terdapat 85 kasus baru (Widiaskara, et
al, 2010).
2.1.4. Klasifikasi
Leukemia limfoblastik akut, sel B atau sel T, dibagi lagi oleh WHO (2008)
berdasarkan defek genetik yang mendasarinya. Pada kelompok B-LLA (LLA sel
B) terdapat beberapa subtipe genetik spesifik misalnya subtipe dengan translokasi
t (9; 22) atau t (12; 21), tata ulang gen (gene rearrangement) atau perubahan
jumlah kromosom (diploidi). Subtipe merupakan petunjuk penting untuk protokol
pengobatan optimal dan prognosis. Pada T-LLA (LLA sel T) kariotipe abnormal
ditemukan pada 50% - 70% kasus (Hoffbrand, 2013).
Sedangkan secara morfologik, menurut FAB (French, British and
America), LLA dibagi menjadi tiga yaitu:
1. L1 : LLA dengan sel limfoblas kecil-kecil dan merupakan 84% dari LLA.
2. L2 : Sel lebih besar, inti ireguler, kromatin bergumpal, nukleoli prominen
dan sitoplasma agak banyak, merupakan 14% dari LLA.
3. L3 : LLA mirip dengan limfoma Burkitt, yaitu sitoplasma basofil dengan
banyak vakuola, hanya merupakan 1% dari LLA (Bakta,2006)
Infiltrasi Organ
Gejala infiltrasi organ antara lain nyeri tulang, limfadenopati,
splenomegali moderat, hepatomegali, dan sindrom meningen (nyeri kepala, mual
dan muntah, pengelihatan kabur, dan diplopia). Pemeriksaaan fundus mungkin
menunjukkan papil edema dan kadang perdarahan. Banyak pasien mengalami
demam yang biasanya mereda setelah pemberian kemoterapi. Manifestasi yang
9
2.1.8. Pengobatan
Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi dua,yaitu terapi
spesifik dalam bentuk kemoterapi, dan terapi suportif untuk mengatasi kegagalan
sumsum tulang, baik karena proses leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi
(Bakta, 2006).
1. Terapi Spesifik (Kemoterapi)
Menurut Protokol Indonesia tahun 2006 terapi LLA dibagi menjadi 2
klasifikasi berdasarkan faktor risikonya, yaitu risiko tinggi (High Risk/HR)
dan risiko normal (Standard Risk/SR). Pada pasien dengan risiko tinggi,
terdapat 4 fase terapi, yaitu fase induksi, konsolidasi, reinduksi, dan
rumatan (maintenance). Sedangkan pada pasien dengan risiko standar,
terdapat 3 fase terapi, yaitu fase induksi, konsolidasi, dan rumatan
(maintenance) (Pertiwi, et al., 2013)
a. Fase induksi
Tujuan terapi remisi-induksi adalah untuk membasmi lebih dari 99
persen dari beban awal sel-sel leukemia dan untuk mengembalikan
hematopoiesis normal dan status kinerja normal. Fase pengobatan ini
hampir selalu meliputi administrasi glukokortikoid (prednisone,
prednisolon, atau deksametason), vincristine, dan setidaknya satu agen
lainnya (biasanya asparaginase, anthracycline, atau keduanya). Anak-
13
anak dengan risiko tinggi atau LLA dengan risiko sangat tinggi dan
hampir semua dewasa muda dengan LLA menerima empat atau lebih
obat selama terapi remisi-induksi. Perbaikan dalam kemoterapi dan
perawatan suportif telah meningkatkan tingkat remisi lengkap sekitar
98 persen untuk anak-anak dan sekitar 85 persen untuk orang dewasa.
Telah terbukti jika upaya pengobatan dilakukan lebih cepat dan terjadi
pengurangan lengkap beban sel-leukemia dapat mencegah resistensi
obat dan meningkatkan tingkat kesembuhan.(Pui,et al 2006).
Terapi induksi yang terlalu agresif mungkin, pada kenyataannya,
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Selain itu
siklofosfamid, sitarabin dosis tinggi, atau dosis tinggi anthracycline
menunjukkan hasil yang tidak terlalu menguntungkan pada orang
dewasa, sebagian karena terapi tersebut buruk toleransinya oleh pasien
yang lebih tua. Mungkin karena penetrasi yang lebih banyak ke dalam
sistem saraf pusat dan waktu paruh yang lebih panjang, penggunaan
deksametason di induksi dan terapi post remisi tampaknya
memberikan kontrol yang lebih baik dalam sistem saraf pusat dan
sistemik dibandingkan baik prednisone atau prednisolon. Namun, satu
studi kecil menyatakan bahwa dosis prednisolon yang ditingkatkan
dalam konteks perawatan intensif lainnya dapat menghasilkan hasil
yang serupa dengan yang dicapai dengan deksametason (Pui, et al.,
2006).
Namun, perlu diingat bahwa remisi tidak sama dengan kesembuhan.
Dalam remisi, pasien mungkin masih mengandung sejumlah besar sel
tumor dan tanpa kemoterapi lebih lanjut maka hampir semua pasien
akan kambuh. Bagaimanapun, tercapainya remisi merupakan langkah
pertama yang penting dalam pengobatan keseluruhan. Pasien yang
gagal mencapai remisi perlu menjalani protokol yang lebih intensif
(Hoffbrand, 2013).
14
oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping
obat. Terapi suportif yang diberikan adalah :
a. Terapi untuk mengatasi anemia: transfusi PRC (Packed Red Cells)
untuk mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10g/dl. Untuk calon
transplantasi sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya dihindari.
b. Terapi untuk mengatasi infeksi, terdiri atas :
1) Antibiotika adekuat
2) Transfusi konsentrat granulosit
3) Perawatan khusus (isolasi)
4) Hemopoietic growth factor
c. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas :
Transfusi konsentrat trombosit untuk mempertahankan trombosit.
d. Terapi untuk mengatasi hal-hal lain, yaitu :
1) Pengelolaan leukostasis: dilakukan dengan hidrasi intravenous dan
leukapharesis. Segera lakukan induksi remisi untuk menurunkan
jumlah leukosit.
2) Pengelolaan sindrom lisis tumor: dengan hidrasi yang cukup,
pemberian alopurinol dan alkalinisasi urine (Bakta,2006).
2.2.2 Leucovorin
Selama lebih dari 30 tahun, leucovorin rescue telah menjadi dasar dari
terapi HDMTX (High Dose Methotrexate). Protokol HDMTX awal didasarkan
pada pengamatan bahwa toksisitas MTX dapat dicegah atau diperbaiki pada
pasien dengan konsentrasi MTX plasma tinggi yang menerima dosis leucovorin
secara terpadu. Leucovorin sangat efektif dalam mencegah myelosupresi,
toksisitas GI (Gastro intestinal) dan neurotoksisitas selama pengobatan dengan
HDMTX. Protokol standar kemoterapi pada saat ini memasukkan pemberian
leucovorin dalam 24 sampai 36 jam pemberian HDMTX untuk mencegah sel-sel
normal dari kerusakan (Ahmed, 2013).
Selain perannya dalam pencegahan toksisitas MTX, leucovorin dosis
tinggi merupakan perawatan standar untuk pasien dengan clearance MTX yang
tertunda dan cedera ginjal. Flombaum dan rekan telah mengevaluasi pentingnya
dosis tinggi terapi leucovorin rescue pada pasien dengan acute kidney injury
19
pemberian siklofosfamid akan mencegah eliminasi obat pada pasien dengan gagal
ginjal (Emadi, et al., 2009).
Setiap 1gr daging yang dimakan akan menghasilkan 3.5 sampai 5.0
mg kreatin. Proses pemasakan merubah sekitar 65% kreatin menjadi
kreatinin, yang akan diabsorbsi dari saluran cerna. Sebailknya kadar
kreatinin serum akan turun pada pasien yang masa ototnya
berkurang, akibat malnutrisi atau panyakit otot lanjut. Obat-obat
tertentu seperti misalnya cimetidine, trimethoprim, dan probenecid,
dapat meningkatkan kadar kreatinin serum melalui proses kompetitif
dalam transport kreatinine tubular ginjal (Noer, 2006).
2. Nitrogen Urea Darah/Blood Urea Nitrogen (BUN)
Kadar BUN normal pada seorang anak dengan gizi dan hidrasi yang
baik dianggap mencerminkan LFG yang normal. Dibandingkan dengan
kreatinin serum, BUN agak kurang akurat dalam menilai LFG, oleh
karena beberapa faktor ekstra renal yang mempengaruhi kadarnya
dalam serum. Meskipun bebas filtrasi dalam glomerulus, urea
mengalami reabsorbsi yang bermakna dalam tubulus renal. Sejumlah
urea yang telah difiltrasi direabsorbsi dalam tubulus proksimal, loop
of Henle, dan dalam ductus collegentes medulla (Noer, 2006).
Reabsorbsi urea disepanjang tubulus proksimal dan loop of Henle
terjadi secara pasif, reabsorbsi dalam duktus collegentes sangat
bergantung pada vasopressin. Dalam keadaan antidiuresis atau apabila
aliran kemih berkurang, absorbsi urea dalam nefron distal meningkat;
menurun bila telah terjadi diuresis. Adanya proses reabsorbsi urea
dalam tubulus ginjal menurunkan kegunaan BUN sebagai indikator LFG
(Noer,2006).
Hal-hal yang dapat menyebabkan peningkatan kadar ureum, yaitu :
a. Perdarahan gastrointestinal
b. Dehidrasi
c. Peningkatan asupan protein
d. Peningkatan katabolisme protein
e. Infeksi sistemik
f. Luka bakar
22
g. Terapi Glucocorticoid
Hal-hal yang dapat menyebabkan penurunan kadar ureum,yaitu :
a. Penurunan asupan protein
b. Malnutrisi
c. Penyakit Liver
(Noer, 2006).
3. Laju filtrasi glomerulus
Laju filtrasi glomerulus menunjukkan fungsi filtrasi ginjal. Cara yang
paling sering dipakai untuk menghitung LFG dalam klinik adalah
dengan menggunakan prinsip klirens. Klirens suatu zat adalah volume
plasma yang dibutuhkan untuk membersihkan suatu zat dari
glomerulus dalam suatu periode waktu. Marker yang digunakan untuk
mengukur LFG dengan prinsip ini haruslah bebas filtrasi dalam
glomerulus dan tidak direabsorbsi maupun disekresi oleh tubulus
renal. Bila marker dengan karakteristik seperti tersebut diatas
diberikan, jumlah marker yang difiltrasi oleh glomerulus dalam 1
menit (LFG x P) harus sama dengan jumlah marker yang diekskresi
dalam kemih dalam 1 menit (U x V).
LFG = laju filtrasi glomerulus
P = kadar marker dalam plasma
U = kadar marker dalam kemih
V = volume kemih yang dikeluarkan selama masa uji
(Noer, 2006).
Marker yang ideal untuk pengukuran LFG adalah marker yang
nontoksik, dapat mencapai kadar plasma yang stabil dalam keadaan
keseimbangan, tidak terikat pada protein plasma, difiltrasi bebas oleh
glomerulus, tidak disekresi dan direabsorbsi oleh tubulus ginjal (Noer, 2006).
1. Klirens inulin
Inulin merupakan marker yang ideal karena memenuhi semua
persyaratan tersebut, sehingga klirens inulin dipakai sebagai baku
emas dalam penghitungan LFG baik pada dewasa maupun pada anak-
23