Professional Documents
Culture Documents
Dibawah ini beberapa faktor yang mendukung kita untuk memperoleh akhlak yang sangat
berharga ini:
1. Ilmu agama
“Dan tiadalah kehidupan di dunia ini selain main-main dan sendau gurau. Dan sungguh kampung
akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu memahaminya? (Al-
An’am:32)
2. Keimanan yang mantap
Ilmu yang kita miliki (insya Allah) berbuah menjadi keimanan yang mantap. Kuat lemahnya sifat
qona’ah dalam menghadapi berbagai “fitnah” dunia ini, sesuai dengan tingkat kekuatan iman
yang ada pada setiap kita. Keimanan yang mantap salah satunya dapat dibangun melalui
keseriusan belajar agama (menuntut ilmu syar’i) disertai doa.
3. Pemahaman yang benar tentang qodho dan qodar
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang
lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az Zukhruf:32)
“Bersikaplah ridho terhadap apa yang dibagikan oleh Allah, niscaya kamu menjadi manusia yang
paling kaya.” (HR.Ahmad)
4. Perjuangan Mental dan Bersabar
“Jauhilah sifat syuhh, karena sifat syuhh telah membinasakan orang-orang sebelummu,
mendorong mereka untuk menumpahkan darah mereka dan melanggar hal-hal yang diharamkan
bagi mereka.” (HR.Muslim)
5. Berdoa dan Memohon kepada Allah
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, sikap menjaga martabat, dan
kekayaan.” (HR.Muslim)
6. Menjauhi Orang-Orang yang Suka Berkeluh Kesah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Seseorang mengikuti agama kawan dekatnya,
maka hendaklah setiap orang dari kalian memperhatikan siapa yang menjadi kawan dekatnya.”
7. Melihat yang “di bawah”
“Andaikata anak Adam memiliki dua lembah emas, pasti ia ingin memiliki dua lembah, dan
mulutnya tidak kunjung bisa dipenuhi, kecuali dengan tanah. Dan Allah menerima taubat siapa
yang bertaubat.” (HR.Bukhari-Muslim)
Hadits yang mulia menunjukkan besarnya keutamaan seorang muslim yang memiliki sifat
qanaa’ah[2], karena dengan itu semua dia akan meraih kebaikan dan keutamaan di dunia dan
akhirat, meskipun harta yang dimilikinya sedikit[3].
- Arti qanaa’ah adalah merasa ridha dan cukup dengan pembagian rizki yang Allah Ta’ala
berikan[4].
- Sifat qana’ah adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman, karena sifat ini
menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah,
termasuk dalam hal pembagian rizki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan
merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Ta’ala sebagai
Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai rasulnya”[5].
Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya,
kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-
Nya[6].
- Yang dimaksud dengan rizki dalam hadits ini adalah rizki yang diperoleh dengan usaha yang
halal, karena itulah yang dipuji dalam Islam[7].
- Arti sabda beliau: “…yang secukupnya” adalah yang sekedar memenuhi kebutuhan, serta tidak
lebih dan tidak kurang[8], inilah kadar rizki yang diminta oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Allah untuk keluarga beliau , sebagaimana dalam doa beliau: “Ya Allah,
jadikanlah rizki (yang Engkau limpahkan untuk) keluarga (Nabi) Muhammad (shallallahu
‘alaihi wa sallam) Quutan“[9]. Artinya: yang sekedar bisa memenuhi kebutuhan
hidup/seadanya[10].
- Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya
kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan)
dalam jiwa (hati)”[11].
- Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…Ridhahlah (terimalah)
pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya
(merasa kecukupan)”[12].
Seorang yang qana’ah akan yakin terhadap ketentuan yang ditetapkan Allah ta’ala sehingga
diapun ridha terhadap rezeki yang telah ditakdirkan dan dibagikan kepadanya. Hal ini erat
kaitannya dengan keimanan kepada takdir Allah. Seorang yang qana’ah beriman bahwa Allah
ta’ala telah menjamin dan membagi seluruh rezeki para hamba-Nya, bahkan ketika sang hamba
dalam kondisi tidak memiliki apapun. Sehingga, dia tidak akan berkeluh-kesah mengadukan
Rabb-nya kepada makhluk yang hina seperti dirinya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” [An-Nahl: 97].
Kehidupan yang baik tidaklah identik dengan kekayaan yang melimpah ruah. Oleh karenanya,
sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik dalam ayat
di atas adalah Allah memberikannya rezeki berupa rasa qana’ah di dunia ini, sebagian ahli tafsir
yang lain menyatakan bahwa kehidupan yang baik adalah Allah menganugerahi rezeki yang
halal dan baik kepada hamba [Tafsir ath-Thabari 17/290; Maktabah asy-Syamilah].
Dapat kita lihat di dunia ini, tidak jarang, terkadang diri kita mengorbankan agama hanya untuk
memperoleh bagian yang teramat sedikit dari dunia. Tidak jarang bahkan kita menerjang sesuatu
yang diharamkan hanya untuk memperoleh dunia. Ini menunjukkan betapa lemahnya rasa
qana’ah yang ada pada diri kita dan betapa kuatnya rasa cinta kita kepada dunia.
Tafsir kehidupan yang baik dengan anugerah berupa rezeki yang halal dan baik semasa di dunia
menunjukkan bahwa hal itu merupakan nikmat yang harus kita usahakan. Harta yang melimpah
ruah sebenarnya bukanlah suatu nikmat jika diperoleh dengan cara yang tidak diridhai oleh
Allah. Tapi sayangnya, sebagian besar manusia berkeyakinan harta yang sampai
ketangannya meski diperoleh dengan cara yang haram itulah rezeki yang halal. Ingat,
kekayaan yang dimiliki akan dimintai pertanggungjawaban dari dua sisi, yaitu bagaimana cara
memperolehnya dan bagaimana harta itu dihabiskan. Seorang yang dianugerahi kekayaan
melimpah ruah tentu pertanggungjawaban yang akan dituntut dari dirinya di akhirat kelak lebih
besar.
Seorang yang qana’ah tentu akan bersyukur kepada-Nya atas rezeki yang diperoleh. Sebaliknya
barangsiapa yang memandang sedikit rezeki yang diperolehnya, justru akan sedikit rasa
syukurnya, bahkan terkadang dirinya berkeluh-kesah. Nabi pun mewanti-wanti kepada Abu
Hurairah,
Seorang yang berkeluh-kesah atas rezeki yang diperolehnya, sesungguhnya tengah berkeluh-
kesah atas pembagian yang telah ditetapkan Rabb-nya. Barangsiapa yang mengadukan minimnya
rezeki kepada sesama makhluk, sesungguhnya dirinya tengah memprotes Allah kepada makhluk.
Seseorang pernah mengadu kepada sekelompok orang perihal kesempitan rezeki yang
dialaminya, maka salah seorang diantara mereka berkata, “Sesungguhnya engkau ini tengah
mengadukan Zat yang menyayangimu kepada orang yang tidak menyayangimu” [Uyun al-
Akhbar karya Ibnu Qutaibah 3/206]
d. Memperoleh keberuntungan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa seorang yang qana’ah akan
mendapatkan keberuntungan.
Fudhalah bin Ubaid radhiallalahu ‘anhu pernah mendengar nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan,
Abdullah bin Amr mengatakan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Seorang yang qana’ah akan terhindar dari berbagai akhlak buruk yang dapat mengikis habis
pahala kebaikannya seperti hasad, namimah, dusta dan akhlak buruk lainnya. Faktor terbesar
yang mendorong manusia melakukan berbagai akhlak buruk tersebut adalah tidak merasa cukup
dengan rezeki yang Allah berikan, tamak akan dunia dan kecewa jika bagian dunia yang
diperoleh hanya sedikit. Semua itu berpulang pada minimnya rasa qana’ah.
Jika seseorang memiliki sifat qana’ah, bagaimana bisa dia melakukan semua akhlak buruk di
atas? Bagaimana bisa dalam hatinya timbul kedengkian, padahal dia telah ridha terhadap apa
yang telah ditakdirkan Allah?
Qana’ah adalah kekayaan sejati. Oleh karenanya, Allah menganugerahi sifat ini kepada nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman,
Ada ulama yang mengartikan bahwa kekayaan dalam ayat tersebut adalah kekayaan hati, karena
ayat ini termasuk ayat Makkiyah (diturunkan sebelum nabi hijrah ke Madinah). Dan pada saat
itu, sudah dimaklumi bahwa nabi memiliki harta yang minim [Fath al-Baari 11/273].
Hal ini selaras dengan hadits-hadits nabi yang menjelaskan bahwa kekayaan sejati itu letaknya di
hati, yaitu sikap qana’ah atas apa yang diberikan-Nya, bukan terletak pada kuantitas harta. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Abu Dzar radhiallalhu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bertanya, “Wahai Abu Dzar apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itu adalah
kekakayaan sebenarnya?” Saya menjawab, “Iya, wahai rasulullah.” Beliau kembali bertanya,
“Dan apakah engkau beranggapan bahwa kefakiran itu adalah dengan sedikitnya harta?” Diriku
menjawab, “Benar, wahai rasulullah.” Beliau pun menyatakan, “Sesungguhnya kekayaan itu
adalah dengan kekayaan hati dan kefakiran itu adalah dengan kefakiran hati” [HR. An-Nasaai
dalam al-Kubra: 11785; Ibnu Hibban: 685].
Apa yang dinyatakan di atas dapat kita temui dalam realita kehidupan sehari-hari. Betapa banyak
mereka yang diberi kenikmatan duniawi yang melimpah ruah, dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan diri dan keturunannya selama berpuluh-puluh tahun, namun tetap tidak merasa cukup
sehingga ketamakan telah merasuk ke dalam urat nadi mereka. Dalam kondisi demikian,
bagaimana lagi dia bisa perhatian terhadap kualitas keagamaan yang dimiliki, bukankah
waktunya dicurahkan untuk memperoleh tambahan dunia?
Sebaliknya, betapa banyak mereka yang tidak memiliki apa-apa dianugerahi sifat qana’ah
sehingga merasa seolah-olah dirinyalah orang terkaya di dunia, tidak merendahkan diri di
hadapan sesama makhluk atau menempuh jalan-jalan yang haram demi memperbanyak kuantitas
harta yang ada.
Rahasianya terletak di hati sebagaimana yang telah dijelaskan. Oleh karena pentingnya kekayaan
hati ini, Umar radhilallahu ‘anhu pernah berpesan dalam salah satu khutbahnya,
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu pernah berwasiat kepada putranya, “Wahai putraku,
jika dirimu hendak mencari kekayaan, carilah dia dengan qana’ah, karena qana’ah merupakan
harta yang tidak akan lekang” [Uyun al-Akhbar : 3/207].
َما َمالُكَ ؟
“Apa hartamu”,
beliau menjawab,
Sebagian ahli hikmah pernah ditanya, “Apakah kekayaan itu?” Dia menjawab, “Minimnya
angan-anganmu dan engkau ridha terhadap rezeki yang mencukupimu” [Ihya ‘Ulum ad-Diin
3/212].
g. Memperoleh kemuliaan
Kemuliaan terletak pada sifat qana’ah sedangkan kehinaan terletak pada ketamakan. Mengapa
demikian, karena seorang yang dianugerahi sifat qana’ah tidak menggantungkan hidupnya pada
manusia, sehingga dirinya pun dipandang mulia. Adapun orang yang tamak justru akan
menghinakan dirinya di hadapan manusia demi dunia yang hendak diperolehnya. Jibril
‘alaihissalam pernah berkata,
Al Hasan berkata,
سلَّ َم
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا ُ ت ْاْلَ َحاد
َ ِ ِيث ع َِن النَّ ِب ِّي ِ َوقَ ْد تَكَاث َ َر
فَ َم ْن،ع ْن ُه ْمَ اءِ َستِ ْغن
ْ اس َو ِاَل ِ َّسأَلَ ِة الن
ْ اف ع َْن َم ِ َستِ ْعف ْ ِب ْاْلَ ْم ِر ِب ِاَل
ضوهُ؛ ِْلَ َّن ا ْل َما َل َم ْحبُوب ُ َ ك َِر ُهوهُ َوأ َ ْبغ،ِيه ْم
ِ اس َما ِبأ َ ْيدَ َّسأ َ َل الن َ
َ ك َِر ُهوهُ ِلذَ ِلك،ُب ِم ْن ُه ْم َما يُ ِحبُّونَه َ َ فَ َم ْن َطل،وس بَنِي آ َد َم ِ ُِلنُف
“Begitu banyak hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk bersikap
‘iifah (menjaga kehormatan) untuk tidak meminta-minta dan tidak bergantung kepada manusia.
Setiap orang yang meminta harta orang lain, niscaya mereka akan tidak suka dan membencinya,
karena harta merupakan suatu hal yang amat dicintai oleh jiwa anak Adam. Oleh karenanya,
seorang yang meminta orang lain untuk memberikan apa yang disukainya, niscaya mereka akan
membencinya” [Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam 2/205].
Kepemimpinan dalam agama yang identik dengan kemuliaan pun dapat diperoleh jika seorang
‘alim tidak menggantungkan diri kepada manusia, sehingga mereka tidak direpotkan dengan
berbagai kebutuhan hidup yang dituntutnya. Seyogyanya manusia membutuhkan sang ‘alim
karena ilmu, fatwa dan nasehatnya. Mereka bukannya butuh ketamakan dari sang ‘alim. Seorang
Arab badui pernah bertanya kepada penduduk Bashrah,
سا َد ُه ْم؟ َ ِب َما: قَا َل،س ُنَ ا ْل َح:س ِيِّ ُد أ َ ْه ِل َه ِذ ِه ا ْلقَ ْريَ ِة؟ قَالُوا
َ َم ْن
ْ َوا،اس إِلَى ِع ْل ِم ِه
ستَ ْغنَى ُه َو ع َْن ُد ْنيَا ُه ْم ُ َّاحتَا َج الن ْ :قَالُوا
“Siapa tokoh agama di kota ini?” Penduduk Bashrah menjawab, “Al Hasan.” Arab badui
bertanya kembali, “Dengan apa dia memimpin mereka?” Mereka menjawab, “Manusia butuh
kepada ilmunya, sedangkan dia tidak butuh dunia yang mereka miliki” [Jami’ al-‘Ulum wa al-
Hikam 2/206].
Dalam perjalanan hidup di dunia, tentunya seorang muslim tidak akan lepas dari kesalahan dan
dosa sebagai akibat hawa nafsu yang diperturutkan. Selain itu, buah pemikiran yang dihasilkan
manusia, yang dibangga-banggakan oleh pemiliknya, tidak jarang yang menyelisihi kebenaran,
tidak sedikit yang bertentangan dengan ajaran yang ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh
karenanya, seiring waktu yang diberikan Allah kepada manusia di dunia, sepatutnya
dipergunakan untuk mengintrospeksi segala perilaku dan pemikiran yang dia miliki, sehingga
mendorongnya untuk mengoreksi diri ke arah yang lebih baik.
Di dalam kitab Shahih-nya, imam Bukhari membuka salah satu bab kitab ash-Shaum dengan
perkataan Abu az-Zinad,
“Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi” [HR.
Bukhari].
Memang benar apa yang dikatakan beliau, betapa seringnya seseorang enggan menerima
kebenaran karena bertentangan dengan pendapat dan tendensi pribadi. Bukankah dakwah tauhid
yang ditawarkan nabi kepada kaum musyrikin, ditolak karena bertolak belakang dengan
keinginan pribadi mereka, terutama tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum musyrikin?
Tidak jarang seseorang tidak mampu selamat dari hawa nafsu dan terbebas dari kekeliruan
pendapat karena bersikukuh meyakini sesuatu dan tidak mau menerima koreksi. Hal ini tentu
berbeda dengan kasus seorang mujtahid yang keliru dalam berijtihad. Ketika syari’at
menerangkan bahwa seorang mujtahid yang keliru memperoleh pahala atas ijtihad yang
dilakukannya, hal ini bukan berarti mendukung dirinya untuk menutup mata dari kesalahan
ijtihad dan bersikukuh memegang pendapat jika telah nyata akan kekeliruannya. Betapa banyak
ahli fikih yang berfatwa kemudian rujuk setelah meneliti ulang fatwanya dan melihat bahwa
kebenaran berada pada pendapat pihak lain.
Kita bisa mengambil pelajaran dari penolakan para malaikat terhadap kalangan yang hendak
datang ke al-Haudh (telaga rasulullah di hari kiamat). Mereka tidak bisa mendatangi al-Haudh
dikarenakan dahulu di dunia, mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk berpegang pada
kekeliruan, kesalahan dan kesesatan, padahal kebenaran telah jelas di hadapan mereka. Hal ini
ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat memberikan alasan kepada nabi,
سحْ قًا، أ َ ََل سحْ قًا: فَأَقول، َولَ ْم يَزَ الوا يَ ْر ِجعونَ َعلَى أ َ ْعقَابِ ِه ْم، َإِنَّه ْم قَدْ بَدَّلوا بَ ْعدَك
Kita dapat melihat bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan kepada
mereka, karena enggan untuk melakukan introspeksi, enggan melakukan koreksi dengan
menerima kebenaran yang ada di depan mata. Oleh karenanya, evaluasi diri merupakan perantara
untuk muhasabah an-nafs, sedangkan koreksi diri merupakan hasil yang pengaruhnya ditandai
dengan sikap rujuk dari kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu pendapat dan perbuatan.
Diantara sarana yang dapat membantu seseorang untuk mengevaluasi diri adalah sebagai berikut:
“Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu hingga
Allah melapangkan hatiku dan akupun berpendapat sebagaimana pendapat Umar” [HR.
Bukhari].
Abu Bakr tidak bersikukuh dengan pendapatnya ketika terdapat usulan yang lebih baik. Dan
kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari pihak
yang memiliki pendapat berbeda.
Salah satu sarana bagi seorang muslim untuk tetap berada di jalan yang benar adalah meminta
rekan yang shalih untuk menasehati dan mengingatkan kekeliruan kita, meminta masukannya
tentang solusi terbaik bagi suatu permasalahan, khususnya ketika orang lain tidak lagi peduli
untuk saling mengingatkan. Bukankah selamanya pendapat dan pemikiran kita tidak lebih benar
dan terarah daripada rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh
karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” [HR. Bukhari].
Ketika budaya saling menasehati dan mengingatkan tertanam dalam perilaku kaum mukminin,
maka seakan-akan mereka itu adalah cermin bagi diri kita yang akan mendorong kita berlaku
konsisten. Oleh karena itu, dalam menentukan jalan dan pendapat yang tepat, anda harus
berteman dengan seorang yang shalih. Anda jangan mengalihkan pandangan kepada maddahin
(kalangan penjilat) yang justru tidak akan mengingatkan akan kekeliruan saudaranya.
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seorang pemimpin/pejabat, maka Allah akan
memberinya seorang pendamping/pembantu yang jujur yang akan mengingatkan jika dirinya
lalai dan akan membantu jika dirinya ingat” [Shahih. HR. Abu Dawud].
Contoh nyata akan hal ini disebutkan dalam kisah al-Hur bin Qais, orang kepercayaan Umar bin
al-Khaththab radhiallahu anhu. Pada saat itu, Umar murka dan hendak memukul Uyainah bin
Husn karena bertindak kurang ajar kepada beliau, maka al-Hur berkata kepada Umar,
:ض َع ِن ال َجا ِهلِينَ } ]اْلعرافْ ف َوأَع ِْرِ {خ ِذ ال َع ْف َو َوأْم ْر ِبالع ْر:سلَّ َم َ صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو
َ َّللاَ ت َ َعالَى قَا َل ِلنَ ِب ِِّي ِه َ يَا أ َ ِم
َّ ِإ َّن، َير المؤْ ِمنِين
ِ َو َكانَ َوقَّافًا ِع ْندَ ِكت َا،َّللاِ َما َج َاوزَ هَا ع َمر ِحينَ تَالَهَا َعلَ ْي ِه
ِ َّ ب
199[ ، َّللا َّ « َو، َ« َوإِ َّن َهذَا ِمنَ ال َجا ِهلِين
“Wahai amir al-Mukminin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya, “Berikan
maaf, perintahkan yang baik dan berpalinglah dari orang bodoh.” Sesungguhnya orang ini
termasuk orang yang bodoh”. Perawi hadits ini mengatakan, “Demi Allah Umar tidak
menentang ayat itu saat dibacakan karena ia adalah orang yang senantiasa tunduk terhadap al-
Quran.” [HR. Bukhari].
Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan dan betapa banyak tindakan yang keliru dapat
dikoreksi ketika rekan yang shalih menjalankan perannya.
Ketiga, menyendiri untuk melakukan muhasabah
Salah satu bentuk evaluasi diri yang paling berguna adalah menyendiri untuk melakukan
muhasabah dan mengoreksi berbagai amalan yang telah dilakukan.
“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk
pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” [HR. Tirmidzi].
َ ب نَ ْف
سه َك َما ي َحا ِسب ش َِريكَه َ ََل يَكون العَبْد تَ ِقيًّا َحتَّى ي َحا ِس
“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi
rekannya” [HR. Tirmidzi].
Jika hal ini dilakukan, niscaya orang yang melaksanakannya akan beruntung. Bukanlah sebuah
aib untuk rujuk kepada kebenaran, karena musibah sebenarnya adalah ketika terus-menerus
melakukan kebatilan.
Pada lanjutan atsar Umar di atas disebutkan bahwa sebab terangkatnya musibah dan
diringankannya hisab di hari kiamat adalah ketika seorang senantiasa bermuhasabah. Umar
radhiallahu anhu mengatakan,
َ ب نَ ْف
سه فِي الدُّ ْنيَا َ ساب يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِة َعلَى َم ْن َحا
َ س َ الح
ِ ف ُّ َوإِنَّ َما يَ ِخ
“Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu
menghisab dirinya saat hidup di dunia” [HR. Tirmidzi].
Ketika berbagai kerusakan telah merata di seluruh lini kehidupan, maka jalan keluar dari hal
tersebut adalah dengan kembali (rujuk) kepada ajaran agama sebagaimana yang disabdakan nabi
shallallahu alaihi wa sallam,
“Apabila kamu berjual beli dengan cara inah (riba), mengambil ekor-ekor sapi (berbuat zhalim),
ridha dengan pertanian (mementingkan dunia) dan meninggalkan jihad (membela agama),
niscaya Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan mencabutnya sampai
kalian kembali kepada ajaran agama”
“Hingga mereka mengoreksi pelaksanaan ajaran agama mereka” [Shahih. HR. Abu Dawud].
Anda dapat memperhatikan bahwa rujuk dengan mengoreksi diri merupakan langkah awal
terangkatnya musibah dan kehinaan.
Kedua, hati lapang terhadap kebaikan dan mengutamakan akhirat daripada dunia
Demikian pula, mengoreksi kondisi jiwa dan amal merupakan sebab dilapangkannya hati untuk
menerima kebaikan dan mengutamakan kehidupan yang kekal (akhirat) daripada kehidupan yang
fana (dunia). Dalam sebuah hadits yang panjang dari Ibnu Mas’ud disebutkan, “Suatu ketika
seorang raja yang hidup di masa sebelum kalian berada di kerajaannya dan tengah merenung.
Dia menyadari bahwasanya kerajaan yang dimilikinya adalah sesuatu yang tidak kekal dan apa
yang ada di dalamnya telah menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allah. Akhirnya, dia
pun mengasingkan diri dari kerajaan dan pergi menuju kerajaan lain, dia memperoleh rezeki
dari hasil keringat sendiri. Kemudian, raja di negeri tersebut mengetahui perihal dirinya dan
kabar akan keshalihannya. Maka, raja itupun pergi menemuinya dan meminta nasehatnya. Sang
raja pun berkata kepadanya, “Kebutuhan anda terhadap ibadah yang anda lakukan juga
dibutuhkan oleh diriku”. Akhirnya, sang raja turun dari tunggangannya dan mengikatnya,
kemudian mengikuti orang tersebut hingga mereka berdua beribadah kepada Allah azza wa jalla
bersama-sama” [Hasan. HR. Ahmad].
Perhatikan, kemampuan mereka berdua untuk mengoreksi kekeliruan serta keinginan untuk
memperbaiki diri setelah dibutakan oleh kekuasaan, timbul setelah merenungkan dan
mengintrospeksi hakikat kondisi mereka.
Introspeksi dan koreksi diri merupakan kesempatan untuk memperbaiki keretakan yang terjadi
diantara manusia. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
: فَيقَال، ِإ ََّل َرج ٌل بَ ْينَه َو َبيْنَ أ َ ِخي ِه شَحْ نَاء،ش ْيئًا ِ اب ْال َجنَّ ِة ت ْفت َح يَ ْو َم ِاَلثْنَي ِْن َويَ ْو َم ْالخ َِم
َّ فَي ْغفَر ِلك ِِّل َع ْب ٍد ََل ي ْش ِرك ِب،يس
َ ِاَلل َ ِإ َّن أَب َْو
َ
صط ِل َحا ” َم َّرتي ِْنَ ْ َأ َ ْن ِظروه َما َحتى ي
َّ
“Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, di kedua hari tersebut
seluruh hamba diampuni kecuali mereka yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Maka
dikatakan, “Tangguhkan ampunan bagi kedua orang ini hingga mereka berdamai” [Sanadnya
shahih. HR. Ahmad].
Menurut anda, bukankah penangguhan ampunan bagi mereka yang bermusuhan, tidak lain
disebabkan karena mereka enggan untuk mengoreksi diri sehingga mendorong mereka untuk
berdamai?
Sering mengevaluasi diri untuk kemudian mengoreksi amalan yang telah dilakukan merupakan
salah satu sebab yang dapat menjauhkan diri dari sifat munafik. Ibrahim at-Taimy mengatakan,
“Tidaklah diriku membandingkan antara ucapan dan perbuatanku, melainkan saya khawatir jika
ternyata diriku adalah seorang pendusta (ucapannya menyelisihi perbuatannya).”
ِ ِإنَّه َعلَى ِإي َم: َما ِم ْنه ْم أ َ َحد ٌ َيقول، كلُّه ْم َيخَاف النِِّفَاقَ َعلَى نَ ْف ِس ِه،سلَّ َم
ان ِجب ِْري َل َ صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو
َ ي ِِّ ب النَّ ِب ْ َ أَد َْر ْكت ثَالَثِينَ ِم ْن أ
ِ ص َحا
َو ِميكَائِي َل
“Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, merasa semua mengkhawatirkan
kemunafikan atas diri mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang mengatakan bahwa
keimanannya seperti keimanan Jibril dan Mikail” [HR. Bukhari].
Ketika mengomentari perkataan Ibnu Abi Malikah, Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu Baththal
yang menyatakan,
“Mereka khawatir karena telah memiliki umur yang panjang hingga mereka melihat berbagai
kejadian yang tidak mereka ketahui dan tidak mampu mereka ingkari, sehingga mereka khawatir
jika mereka menjadi seorang penjilat dengan sikap diamnya” [Fath al-Baari 1/111].
Kesimpulannya, seorang muslim sepatutnya mengakui bahwa dirinya adalah tempatnya salah
dan harus mencamkan bahwa tidak mungkin dia terbebas dari kesalahan. Pengakuan ini mesti
ada di dalam dirinya, agar dia dapat mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sehingga
pintu untuk mengoreksi diri tidak tertutup bagi dirinya. Allah ta’ala berfirman,
“Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum sampai mereka mengubahnya sendiri” (Al-Ra`d
11).
Manusia merupakan makhluk yang lemah, betapa seringnya dia memiliki pendirian dan sikap
yang berubah-ubah. Namun, betapa beruntungnya mereka yang dinaungi ajaran agama dengan
mengevaluasi diri untuk berbuat yang tepat dan mengoreksi diri sehingga melakukan sesuatu
yang diridhai Allah. Sesungguhnya rujuk kepada kebenaran merupakan perilaku orang-orang
yang kembali kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.
Tips Bermuhasabah (Introspeksi diri)
Tahun baru adalah saat-saat yang tepat bagi kita untuk melakukan muhasabah atau introspeksi
diri. Gunakanlah pergantian tahun sebagai momen yang tepat untuk melakukan perubahan diri.
Beberapa tips untuk melakukan muhasabah yang baik adalah sebagai berikut:
1. Carilah tempat yang tanpa gangguan untuk muhasabah, misalnya di kamar yang sepi,
atau di masjid, atau di tempat yang kita agak asing di situ.
2. Bawa alat tulis dan buku khusus muhasabah. Ini penting, agar kelak, beberapa bulan ke
depan atau beberapa tahun ke depan jika suatu saat kita ingin mengukur sejauh mana
perubahan telah terjadi dalam diri kita, kita dapat melihatnya dari buku itu.
3. Berdo’a kepada Allah SWT dan mohonkan ampunan-Nya, kemudian mohonlah agar
dapat memuhasabah diri sebagai ikhtiar memperbaiki diri.
4. Renungkan berbagai kekurangan kita dalam beribadah kepada Allah SWT, baik dalam
muamalah kepada sesama ataupun berbagai aspek lain dalam hidup kita. Gunakan
pertimbangan ukhrowi saat merenungkan, maksudnya renungkanlah akibat perbuatan kita
dari sisi Allah, bukan hanya dari sisi duniawi saja. Catatlah renungan di buku kita itu.
Jangan malu menuliskan kekurangan kita. Format bebas sesuai kesukaan masing-masing.
Sebagai contoh, bisa dibagi kertas itu dalam 2 bagian. Bagian yang lebar untuk
menuliskan hasil muhasabah kita. bagian yang kecil nanti untuk menuliskan solusinya.
5. Setelah merasa cukup menuliskan semua hal yang kita rasa perlu diperbaiki dalam diri
kita, barulah tuliskan solusi-solusinya di kertas bagian kanan di buku khusus kita itu.
Buatlah solusi yang riil (terjangkau) yang dapat kita lakukan dalam waktu dekat. Bisa
harian atau mingguan. Setiap kita pastilah memiliki solusi-solusi yang berbeda
bergantung dengan cara pandang, pola pikir, dan wawasan kita.
6. Setelah usai membuat solusi, bacalah ulang semua yang telah kita tulis tadi. Azzamkan/
teguhkan dalam diri kita bahwa kita akan menjalankan solusi-solusi riil itu.
7. Perbanyaklah ibadah dan ketaatan pada Allah SWT dengan terus berdo’a agar
memperbaiki diri kita dan meneguhkan semua ikhtiar kita dalam menuju ridho-Nya.
Mintalah bantuannya ketika kita butuh bantuan diikuti dengan ikhtiar sebagai salah satu
syarat terkabulnya do’a kita itu. Ikutilah setiap kesalahan atau perbuatan buruk yang kita
perbuat dengan perbuatan baik. Lakukan terus menerus perbuatan baik yang dicintai
Allah SWT sebanyak-banyaknya.
8. Evaluasilah hasil kita dalam jangka waktu tertentu. bisa per 3 hari, lalu per minggu, dan
per bulan. Lakukan dengan konsisten dengan terus meningkatkan kapasitas “solusi” yang
kita buat. Terus perbaiki yang kurang dalam diri, dengan terus memohon kepada Allah
SWT.
9. Jika gagal, bangkit lagi, gagal, bangkit lagi, dan terus bangkit. jangan sampai kita
menyerah karena menyerah berarti lari dari rahmat Allah SWT.
Semoga dengan muhasabah yang baik kita akan menjadi hamba-Nya yang makin mendekat
kepada-Nya, mendekat pada syafaat Rasulullah SAW dan pada akhirnya, mendekat pada surga-
Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Amin.
Wallahu’alam bisshawab.
CARA MENGHINDARI SIFAT SOMBONG
Di era yang serba modern dan canggih saat ini mengubah pola pikir muslim dan muslimah
menjadi lebih gengsi, lebih cuek, lebih tampil kebarat-baratan yang berorientasi pada
kesombongan belaka. Padahal sifat sombong itu dilarang oleh Allah azza wa jalla. Bagaimana
menyikapi atau membubarkan penyakit sombong pada diri kita? Berikut ini caranya:
Tidak banyak bicara terlebih pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Pembicaraan yang kita
ucapkan sering kali hanya membicarakan mengenai kelebihan yang kita punya. Hal-hal yang
dianggap dapat membanggakan diri dibicarakan kepada semua orang. Padahal titik awal dari
penyakit sombong adalah berawal dari pembicaraan ini. Oleh karena itu, marilah kita hindari
banyak bicara yang tidak bermanfaat.
"Di antara orang yang aku cintai dan paling dekat tempat duduknya denganku di hari kiamat
adalah orang yang paling baik akhlaqnya. Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan
paling jauh dariku di hari kiamat adalah orang yang banyak bicara dan orang yang berbicara
dengan mulut penuh (untuk mempertontonkan kefasihannya) dan orang yang banyak
bicaranya, serta membuka mulutnya lebar-lebar." (HR. Mutafaq 'alaihi)
Selalu rendah hati adalah kunci untuk memerangi sifat sombong. Tapi perlu diingat! rendah hati
bukanlah rendah diri. Maksud dari rendah hati yaitu senang berlaku baik terhadap semua
orang. Selalu menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan kita. Sehingga kita tidak
lakunya berlagak sombong.
"Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu', sehingga tak
seorang pun menyombongkan diri kepada yang lain, atau seseorang tiada menganiaya kepada
yang lainnya
(3) Jangan Merasa Dermawan
Tips lain untuk menghindari perilaku sombong yaitu melupakan pemberian yang kita berikan.
Jangan sampai kita mengungkit-ungkit apa pun yang kita berikan kepada orang lain. karena itu
menunjukkan bahwa kita memberinya dengan tidak ikhlas. Rasulullah saw mengatakan "jika
tangan kananmu memberi, jangan sampai tangan kirimu tahu" maksudnya yaitu jika kita
memberi sesuatu jangan sampai tahu orang lain. Harus ikhlas dan hanya mengharap ridho Allah
azza wa jalla semata.
Orang-orang yang menafqahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa
yang dinafqahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti
(perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Perkataan yang baik dan
pemberian ma'af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan
(perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah : 261-263)
Selalu memberi salam dan menyapa kepada setiap muslim dan muslimah merupakan ibadah.
Karena jika kita melakukannya berarti menunjukkan bahwa kita berlaku sombong. Tidak
memaling muka kita kepada orang-orang sekitar. Dan insyaAllah cara ini sangat mudah kita
lakukan.
Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Demi Tuhan yang jiwaku ada di
tangan-Nya, tidaklah kalian masuk surga sehingga kalian beriman dan tidaklah kalian beriman
sehingga kalian saling berkasih-sayang. Maukah aku tunjukkan kepada kalian pada suatu
perkara apabila kalian mengamalkannya kalian akan saling berkasih sayang ? Tebarkanlah salam
diantara kalian !". (HR. Tirmidzi)
Dan hal lain yang tidak kalah pentingnya yaitu sering-sering bersedekah. Jangan sampai kita
karena merasa kaya lalu bersikap kikir dan angkuh. Kita harus sering-sering "melihat orang yang
dibawah kita". Sehingga kita senantiasa tidak bersikap berlebihan dalam berbagai hal. Dan
sedekah ini juga kita gunakan untuk membersihkan berbagai kotoran yang ada pada harta yang
kita miliki. InsyaAllah istiqomah.
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa seseorang telah bertanya kepada Nabi saw., "Ya
Rasulullah, sedekah yang bagaimanakah yang paling besar pahalanya?" Rasulullah saw.
bersabda, "Bersedekah pada waktu sehat, takut miskin, dan sedang berangan-angan menjadi
orang yang kaya. Janganlah kamu memperlambatnya sehingga maut tiba, lalu kamu berkata,
'Harta untuk Si Fulan sekian, dan untuk Si Fulan sekian, padahal harta itu telah menjadi milik Si
Fulan (ahli waris)." (HR. Bukhari Muslim).
Kenalilah Sifat Sombong ( Bagian 1 )
Ketika seseorang itu banyak ilmu dan lebih dari orang lain baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat,
dikaruniai wajah yang cantik atau tampan, mempunyai pangkat dan jabatan, memiliki kekayaan,
maka rasa tinggi diri, sombong, angkuh, dan takabur mudah sekali hinggap pada dirinya. Sadar
tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja. Mengapa? Karena, apabila seorang itu merasa mampu,
mempunyai keahlian, dan merasa lebih dari orang lain maka lenyaplah rasa kekurangan,
kelemahan dan kehambaan pada ALLAH SWT dari hati nuraninya.
Ketika seorang tahu bahwa dia istimewa, maka dia pun akan mengatur hidupnya sebagai orang
istimewa dan akan berusaha menjaga statusnya. Dia pun tidak akan rela bila ada orang
menghinakannya. Timbullah rasa diri istimewa dan memandang rendah orang lain.
Di Institut yang katanya tersohor di Indonesia ini, rasa diri istimewa ini banyak menimpa baik
para dosen maupun mahasiswanya. Kehebatan, prestasi, dan kepandaian yang ada pada
kebanyakan mahasiswa dan dosen diakui sebagai hasil kerja keras dan usaha tanpa
dihubungkaitkan dengan Tuhan. Perhatikan ungkapan yang sering kita dengar: “Alhamdulillah,
karena saya kemarin berusaha sungguh-sungguh saya bisa mendapatkan nilai A”. Di sini kita
telah merasa berserikat dengan Tuhan (syirik kecil). Padahal bukan usaha kita yang sebenarnya
memberikan hasil tetapi ALLAH-lah yang mengijinkan kita mendapat A. Namun, Maha Baik
Tuhan yang tidak menyusahkan hambaNya, dengan menjadikan kehidupan ini bersistem. Ia telah
menjadikan segala sesuatunya dengan bersebab. FirmanNya: “Kami datangkan bagi setiap
sesuatu dengan adanya sebab” (Al Kahfi: 84). Namun, perlu digarisbawahi bahwa bukan sebab
yang menjadikan sesuatu tetapi ALLAH! ARTINYA BUKAN USAHA KITA YANG
MENGHASILKAN NILAI A. Dalam contoh yang lain: bukan api yang menghasilkan kebakaran
tapi ALLAH (ALLAH ijinkan api sebagai sebab kebakaran), bukan pertemuan sel telur dan
sperma yang menyebabkan terjadinya janin tapi ALLAH (ALLAH ijinkan sebab itu
menghasilkan janin). Supaya manusia tidak salah dalam i’tiqad (bisa terjerumus ke dalam syirik),
ALLAH tunjukkan peristiwa dimana SEBAB TIDAK MENGHASILKAN AKIBAT seperti: api
tak membakar Nabi Ibrahim, Nabi Isa dilahirkan tanpa ayah, Maryam mendapat makanan tanpa
berusaha dan bekerja (makanan turun dari langit)
Bila demikian hakikatnya (kepandaian, kehebatan, dan prestasi kita bukan karena usaha kita),
masihkah ada rasa istimewa yang bersemayam dalam diri kita? Kalau masih ada rasa istimewa,
sombong dan takabur takutlah pada peringatan ALLAH dalam hadits Qudsi berikut: ”Sombong
itu selendangKu. Siapa yang memakai selendangKu niscaya dia tidak akan mencium bau surga”
Adakah kita termasuk dalam daftar orang yang tidak akan mencium bau surga? Lihat apakah
sifat berikut ada atau tidak dalam diri kita:
Memandang rendah pada orang lain, terutama yang dianggap kurang darinya. Menghina,
mempermalukan, marah, mengamuk, mencerca, meninggikan suara, bermuka masam, atau
memelototkan mata kepada orang yang dipandang rendah tadi bila didapati ia melakukan
kesalahan.
Pendapat orang walaupun benar tidak akan diterima.
Dalam forum dia akan memborong seluruh perbincangan, orang lain jangan diberi kesempatan
Dia tidak suka mengunjungi orang tetap meminta orang mengunjunginya. Berjalan dengan gaya
angkuh dan bangga.
Dia tidak duduk bersama orang yang dipandang rendah. Dia mencari orang yang dirasa setaraf
atau lebih dari dia.
Dia ingin kemajuan dan kebenaran dari dia.
Dia tidak mau mengakui hasil usaha orang lain. Tenggang rasa, kerjasama, tolong-menolong,
dan hormatmenghormati tidak ada padanya.
Itulah sombong! Perangai Iblis, akhlaq terkutuk! Siapa memilikinya, nerakalah tempatnya.
Lantas, bagaimana kita bisa selamat dari sifat sombong ini kawan?
Pengertian Tawadhu’ adalah rendah hati, tidak sombong. Pengertian yang lebih dalam adalah
kalau kita tidak melihat diri kita memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang
lainnya. Orang yang tawadhu’ adalah orang menyadari bahwa semua kenikmatan yang
didapatnya bersumber dari Allah SWT. Yang dengan pemahamannya tersebut maka tidak
pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain,
tidak merasa bangga dengan potrensi dan prestasi yang sudah dicapainya. Ia tetap rendah diri dan
selalu menjaga hati dan niat segala amal shalehnya dari segala sesuatu selain Allah. Tetap
menjaga keikhlasan amal ibadahnya hanya karena Allah.
Tawadhu ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh menjauhi perbuatan takabbur
(sombong), ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain amal kebaikan kita.
Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia, jadi sudah selayaknya kita sebagai umat
muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu merupakan salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh
setiap umat islam. Perhatikan sabda Nabi SAW berikut ini :
Rasulullah SAW bersabda: yang artinya "Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada
menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang
bertawadhu� kepada Allah, melainkan dimuliakan (mendapat �izzah) oleh Allah. (HR. Muslim).
�Iyadh bin Himar ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan
kepadaku: "Bertawadhu�lah hingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan
seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya.HR. Muslim).
Rasulullah SAW bersabda, “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR.
Muslim)
Ibnu Taimiyah, seorang ahli dalam madzhab Hambali menerangkan dalam kitabnya, Madarijus Salikin
bahwa tawadhu ialah menunaikan segala yang haq dengan bersungguh-sungguh, taat menghambakan
diri kepada Allah sehingga benar-benar hamba Allah, (bukan hamba orang banyak, bukan hamba
hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapa pun) dan tanpa menganggap dirinya tinggi.
Tanda orang yang tawadhu’ adalah disaat seseorang semakin bertambah ilmunya maka semakin
bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin
meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah
ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan
kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka
semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka
serta bersikap rendah hati kepada mereka.. Ini karena orang yang tawadhu menyadari akan segala
nikmat yang didapatnya adalah dari Allah SWT, untuk mengujinya apakah ia bersykur atau kufur.
Perhatikan firman Allah berikut ini : "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku
bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya
dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya
Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia." (QS. An Naml: 40).”
Berikut beberapa ayat-ayat Al Quran yang menegaskan perintah Allah SWT untuk senantiasa bersikap
tawadhu’ dan menjauhi sikap sombong, sebagai berikut :
”Dan janganlah kalian berjalan di atas bumi ini dengan menyombongkan diri, karena kalian tidak akan
mampu menembus bumi atau menjulang setinggi gunung” (QS al-Isra-37).
Firman Allah SWT lainnya: ”Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan
kesombongan di muka bumi dan kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi
orang-orang yang bertakwa (QS al-Qashshash-83.)
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi
dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengandung) keselamatan.(QS. Al Furqaan: 63)
Tidak diragukan lagi bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang
mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. (QS: an-Nahl: 23)
Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya,
sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langitdan tidak (pula) mereka masuk surga,
hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang
berbuat kejahatan. (QS: al-A�raf: 40)
Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang
menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka
Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. (QS.Al-Baqarah : 206)
Berikut beberapa contoh Ketawadhu’an Rasulullah SAW
1. Anas ra jika bertemu dengan anak-anak kecil maka selalu mengucapkan salam pada
mereka, ketika ditanya mengapa ia lakukan hal tersebut ia menjawab: Aku melihat kekasihku
Nabi SAW senantiasa berbuat demikian. (HR Bukhari, Fathul Bari’-6247).
2. Dari Anas ra berkata: Nabi SAW memiliki seekor unta yang diberi nama al-’adhba` yang
tidak terkalahkan larinya, maka datang seorang ‘a’rabiy dengan untanya dan mampu
mengalahkan, maka hati kaum muslimin terpukul menyaksikan hal tersebut sampai hal itu
diketahui oleh nabi SAW, maka beliau bersabda: Menjadi haq Allah jika ada sesuatu yang
meninggikan diri di dunia pasti akan direndahkan-Nya. HR Bukhari (Fathul Bari’-2872).
3. Abu Said al-Khudarii ra pernah berkata: Jadilah kalian seperti Nabi SAW, beliau SAW
menjahit bajunya yang sobek, memberi makan sendiri untanya, memperbaiki rumahnya,
memerah susu kambingnya, membuat sandalnya, makan bersama-sama dengan pembantu-
pembantunya, memberi mereka pakaian, membeli sendiri keperluannya di pasar dan
memikulnya sendiri ke rumahnya, beliau menemui orang kaya maupun miskin, orang tua
maupun anak-anak, mengucapkan salam lebih dulu pada siapa yang berpapasan baik tua
maupun anak, kulit hitam, merah, maupun putih, orang merdeka maupun hamba sahaya
sepanjang termasuk orang yang suka shalat.
Dan beliau SAW adalah orang yang sangat rendah hati, lembut perangainya, dermawan luar
biasa, indah perilakunya, selalu berseri-seri wajahnya, murah senyum pada siapa saja, sangat
tawadhu’ tapi tidak menghinakan diri, dermawan tapi tidak berlebih-lebihan, mudah iba
hatinya, sangat penyayang pada semua muslimin. Beliau SAW datang sendiri menjenguk orang
sakit, menghadiri penguburan, berkunjung baik mengendarai keledai maupun berjalan kaki,
mengabulkan undangan dari para hamba sahaya siapapun dan dimanapun. Bahkan ketika
kekuasaannya SAW telah meliputi jazirah Arabia yang besar datang seorang ‘A’rabiy
menghadap beliau SAW dengan gemetar seluruh tubuhnya, maka beliau SAW yang mulia
segera menghampiri orang tersebut dan berkata: Tenanglah, tenanglah, saya ini bukan Raja,
saya hanyalah anak seorang wanita Quraisy yang biasa makan daging kering. (HR Ibnu Majah-
3312 dari abu Mas’ud al-Badariiy)
Berbicara lebih jauh tentang tawadhu’, sebenarnya tawadhu’ sangat diperlukan bagi siapa saja
yang ingin menjaga amal shaleh atau amal kebaikannya, agar tetap tulus ikhlas, murni dari
tujuan selain Allah. Karena memang tidak mudah menjaga keikhlasan amal shaleh atau amal
kebaikan kita agar tetap murni, bersih dari tujuan selain Allah. Sungguh sulit menjaga agar
segala amal shaleh dan amal kebaikan yang kita lakukan tetap bersih dari tujuan selain
mengharapkan ridha-Nya. Karena sangat banyak godaan yang datang, yang selalu berusaha
mengotori amal kebaikan kita. Apalagi disaat pujian dan ketenaran mulai datang menghampiri
kita, maka terasa semakin sulit bagi kita untuk tetap bisa menjaga kemurnian amal shaleh kita,
tanpa terbesit adanya rasa bangga dihati kita. Disinilah sangat diperlukan tawadhu’ dengan
menyadari sepenuhnya, bahwa sesungguhnya segala amal shaleh, amal kebaikan yang mampu
kita lakukan, semua itu adalah karena pertolongan dan atas ijin Allah SWT.
Tawadhu’ juga mutlak dimiliki bagi para pendakwah yang sedang berjuang meninggikan
Kalimatullah di muka bumi ini, maka sifat tawadhu� mutlak diperlukan untuk kesuksesan misi
dakwahnya. Karena bila tidak, maka disaat seorang pendakwah mendapatkan pujian,
mendapatkan banyak jemaah, dikagumi orang dan ketenaran mulai menghampirinya, tanpa
ketawadhu’an, maka seorang pendakwah pun tidak akan luput dari berbangga diri atas
keberhasilannya
TAWADHU’
MUQODDIMAH
Makin berisi makin merunduk. Begitulah peribahasa ‘ilmu padi‘ yang sering kita dengar. Dalam
syari’at Islam yang mulia pun diajarkan hal yang serupa, sifat dan sikap tawadhu’.
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan pujian bagi orang-orang yang tawadhu’ dan
mengancam orang yang sombong. Tidak ada keutamaan seseorang terhadap yang lain kecuali
ِّ berfirman:
nilai takwanya. Alloh عزوج ِّل
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Alloh ialah orang yang paling
takwa di antara kamu. Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-
Hujurot [49]: 13)
Maka yang menjadi ukuran adalah ketakwaan, bukan banyaknya harta, tingginya pangkat atau
kemuliaan nasab. Takwa adalah barometer dalam segala perkara. Tidak akan bermanfaat harta,
pangkat dan keturunan kecuali diiringi dengan takwa. Salah satu perangai ketakwaan yang
dianjurkan dalam agama adalah sifat tawadhu’.
DEFINISI TAWADHU’
Tawadhu’ secara bahasa bermakna rendah terhadap sesuatu.[1] Sedangkan secara istilah adalah
menampakkan perendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan. Ada juga yang mengatakan
tawadhu’ adalah mengagungkan orang karena keutamaannya. Tawadhu’ adalah menerima
kebenaran dan tidak menentang hukum.[2]
Tidak ada yang mengingkari, tawadhu’ adalah akhlak yang mulia. Yang menjadi pertanyaan,
ِّ menyifati hamba yang dicintai-Nya dalam
kepada siapa kita merendahkan hati. Alloh عزوج ِّل
firman-Nya;
“Yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir.” (QS. al-Maidah [5]: 54)
SYARAT TAWADHU’
Tawadhu’ adalah akhlak yang agung dan ia tidak sah kecuali dengan dua
syarat;
ِّ semata. Rosululloh صلي هللا عليه وسلمbersabda;
Pertama: Ikhlas karena Alloh عزوج ِّل
“Tidaklah seseorang tawadhu’ karena Alloh, kecuali Alloh akan angkat derajatnya.” (HR.
Muslim: 2588)
Kedua: Kemampuan
“Barangsiapa yang meninggalkan pakaian[3] karena tawadhu’ kepada Alloh[4] padahal dia
mampu, maka Alloh akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk hingga
Alloh memberinya pilihan dari perhiasan penduduk surga, ia bisa memakainya sekehendaknya.”
[5]
KEUTAMAAN TAWADHU’
Tidaklah sifat yang terpuji melainkan menyimpan keutamaan. Ini adalah sebagai pendorong bagi
kita agar segera berhias dengan sifat tersebut. Di antara keutamaan sifat tawadhu’ adalah;
ِّ
1. Menjalankan perintah Alloh عزوج ِّل
ِّ berfirman:
Alloh عزوج ِّل
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang
beriman.” (QS. asy-Syu’aro [26]: 215)
Syaikh Ibnu Utsaimin رحمه هللاberkata: “Maksudnya adalah tawadhu’, karena orang yang
ِّ
sombong melihat dirinya bagaikan burung yang terbang di angkasa, maka Alloh عزوج ِّل
memerintahkan untuk merendahkan sayapnya dan merendahkan diri terhadap orang-orang
beriman yang mengikati Nabi صلي هللا عليه وسلم.’” [6]
َ ُ اس َخدَّكَ ت
ص ِعِّ ْر َو ََل ِ َّللاَ ِإنَّ َم َرحا ً ْاْل َ ْر
ِ َّض فِي ت َ ْم ِش َو ََل ِللن ٍ فَ ُخ
ُّ ور ُم ْختَا ٍل ُك َّل يُ ِح
َّ ب ََل
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah
kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman [31]: 18)
Sahabat mulia Ibnu Abbas رضي هللا عنهماberkata: “Yaitu janganlah kamu sombong, sehingga
membawa kalian merendahkan hamba Alloh dan berpaling dari mereka jika mereka berbicara
kepadamu.” [7]
ِّ berfirman:
Alloh عزوج ِّل
“Dan hamba-hamba Alloh yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas
bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan
kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. al-Furqon [25]: 63)
ََّار تِ ْلك
ُ علُ ِّوا ً يُ ِري ُدونَ ََل ِللَّ ِذينَ نَجْ عَلُ َها ْاْل ِخ َرةُ الد
ُ ض ِفي َ َِل ْل ُمت َّ ِقينَ َوا ْل َعاقِبَةُ ف
ِ سادا ً َو ََل ْاْل َ ْر
“Negeri akhirat[9] itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri
dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu[10] adalah bagi orang-
orang yang bertakwa.” (QS. al-Qoshos [28]: 83)
Selayaknya bagi setiap muslim untuk berhias diri dengan sifat tawadhu’ karena dengan tawadhu’
tersebut Alloh if. akan meninggikan derajatnya. Rosululloh صلي هللا عليه وسلمbersabda;
Pertama: Alloh سبحانه و تعاليakan meninggikan derajatnya di dunia, dan mengokohkan sifat
ِّ mengangkat derajatnya di mata manusia.
tawadhu’nya dalam hati hingga Alloh عزوج ِّل
MACAM-MACAM TAWADHU’
Pertama: Tawadhu’ yang terpuji
ِّ dan meninggalkan
Yaitu tawadhu’nva seorang hamba ketika melaksanakan perintah Alloh عزوج ِّل
larangan-Nya. Karena jiwa ini secara tabiat akan mencari kesenangan dan rasa lapang serta tidak
ingm terbebani sehingga akan menimbulkan keinginan lari dari peribadatan dan tetap dalam
kesenangannya. Maka apabila seorang hamba mampu menundukan dirinya dengan
melaksanakan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya, sungguh ia telah tawadhu’ dalam
peribadatan.
Yaitu tawadhu’nya seseorang kepada orang yang mempunyai pangkat dunia karena berharap
mendapat bagian dunia darinya.
Orang yang memiliki akal sehat dan selamat tentunya ia akan berusaha meninggalkan tawadhu’
tercela ini dan akan berusaha berhias dengan sifat tawadhu’ yang terpuji.[12]
TINGKATAN TAWADHU’
Pertama: Tawadhu’ di dalam agama
Yaitu patuh dan mengerjakan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad صلي هللا عليه وسلمsecara
pasrah, runduk dan taat. Hal itu tidak bisa terwujud kecuali dengan tiga perkara;
1. Tidak mempertentangkan ajaran yang dibawa oleh Nabi وسلم عليه هللا صليdengan akal, analogi,
perasaan, atau siasat.
2. Tidak menuduh bahwa dalil-dalil dalam agama ini adalah cacat dan jelek serta berprasangka
bahwa dalil-dalil agama ada yang kurang, atau yang lainnya lebih utama. Barangsiapa yang
terlintas dalam pikirannya hal seperti ini, maka salahkanlah pemahamannya.
3. Tidak menyelisihi nash dan dalil yang telah tetap.
Kedua: Menerima kebenaran dari orang yang dicintai atau yang dibenci
Tidak termasuk sikap tawadhu’ adalah menolak kebenaran dikarenakan ia berasal dari musuh.
Yaitu menjadikan al-haq dan perintah sebagai dasar perbuatan dan menjalankan ibadah kepada
ِّ semata-mata karena perintah dari Alloh سبحانه و تعاليdan bukan karena kebiasaan
Alloh عزوج ِّل
atau hawa nafsu.[13]
TAWADHU’ DAN MENGHINAKAN DIRI
Kita sering mendengar istilah tawadhu’ dan menghinakan diri. Keduanya
sangat berbeda. Sifat tawadhu’ muncul karena atas dasar ilmu dan
pengetahuannya kepada Alloh ل ّ عزّوجdan karena pengagungan dan kecintaan
kepadaNya serta kesadaran mengintropeksi terhadap aib pribadi.
Semua hal tersebut melahirkan sifat tawadhu’ dalam dirinya. Hatinya tunduk kepada Alloh سبحانه
و تعالي, patuh dan berserah diri serta mempunyai sifat kasih sayang kepada manusia. Ia melihat
tidak mempunyai keutamaan atas orang lain dan ti-dak merasa benar sendiri atas orang lain.
Akhlak semacam ini hanyalah pemberian Alloh عزوج ِّل ِّ kepada hamba-Nya yang dicintai dan
yang dimuliakan serta dekat kepadaNya.
Adapun menghinakan diri adalah merendahkan dan menghinakan dirinya kepada orang lain
untuk meraih bagian dan kelezatan syahwatnya. Seperti perendahan diri karyawan karena ingin
mendapat sesuatu yang diinginkan dari atasannya, kepatuhan orang yang diajak maksiat kepada
orang yang mengajaknya, atau kepatuhan orang yang ingin meraih bagian dunia kepada orang
yang ia harapkan.
ِّ hanya mencintai
Semua ini adalah bentuk penghinaan diri dan bukan tawadhu’. Alloh عزوج ِّل
orang-orang yang tawadhu’ dan membenci perendahan dan penghinaan diri.[14]
Imam Ahmad bin Abdurrahman al-Maqdisi رحمه هللاmengatakan: “Sikap pertengahan adalah
dengan tawadhu’ tanpa merendahkan diri, dan ini adalah terpuji. Sikap tawadhu’ yang terpuji
adalah dengan berbuat adil, yaitu memberikan kepada setiap orang yang mempunyai kedudukan
haknya.” [15]
Berawal dari tidak bisa mendengar, tidak melihat dan lemah kemudian menjadi insan yang
ِّ berfirman;
sempurna penciptaannya. Alloh عزوج ِّل
ِّ َ َخلَقَهُ ش َْيءٍ أ. فَقَد ََّرهُ َخلَقَهُ نُّ ْطفَ ٍة ِمن. س ِبي َل ث ُ َّم
ي ِ ِم ْن َّ س َر ُه ال
َّ َي
“Dari apakah Alloh menciptakannya? dari setetes mani, Alloh menciptakannya lalu
menentukannya, kemudian Dia memudahkan jalannya.” (QS. ‘Abasa [80]: 18-20)
ِّ juga berfirman;
Alloh عزوج ِّل
سانَ َخلَ ْقنَا ِإنَّا ِ ْ س ِميعا ً فَ َج َع ْل َناهُ َّن ْبت َ ِلي ِه أ َ ْمشَاجٍ نُّ ْطفَ ٍة ِمن
َ اإلن َ ًبَ ِصيرا
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami
hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia mendengar dan
melihat.” (QS. al-Insan [76]: 2)
Apabila kondisi manusia seperti ini, mengapa ia sombong dan tidak tawadhu’?!
Imam Ibnu Hibban Asy-Sayfi’i رحمه هللاmengatakan: “Bagaimana mungkin seseorang tidak
tawadhu’ padahal ia diciptakan dari setetes mani yang hina dan akhir hidupnya ia akan kembali
menjadi bangkai yang menjijikkan serta kehidupannya di dunia ia membawa kotoran?” [16]
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi
gunung.” (QS. al-Isro’ [17]: 37)
Syaikh Muhammad Amin as-Syinqithi رحمه هللاberkata: “Wahai orang yang sombong, engkau
adalah orang yang lemah, hina dan terbatas di dunia ini. Bumi yang engkau berpijak di atasnya,
engkau tidak bisa berbuat apapun walaupun engkau injak dengan sekuat tenaga. Jangan angkuh,
jangan berjalan di muka bumi ini dengan sombong.” [17]
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qolam [68]: 4)
ِّ adalah:
Di antara sifat tawadhu’ Rosululloh عزوج ِّل
Aisyah رضي هللا عنهاberkata: “Rosululloh صلي هللا عليه وسلمsangat perhatian dalam membantu
urusan keluarganya. Apabila telah tiba waktu sholat, beliau bergegas pergi menuju sholat.” (HR.
Bukhori: 676)
Rosululloh صلي هللا عليه وسلمbersabda: “Aku makan sebagaimana makannya seorang hamba, dan
aku duduk sebagaimana duduknya seorang hamba.” [18]
Rosululloh صلي هللا عليه وسلمmelewati sekumpulan anak kecil, kemudian beliau صلي هللا عليه وسلم
mengucapkan salam kepada mereka. (HR.Bukhori: 6247, Muslim: 2168)
Rosululloh صلي هللا عليه وسلمmenjahit sandalnya, menambal bajunya, memeras susu ternak untuk
keluarganya dan memberi makan unta. Beliau صلي هللا عليه وسلمmakan bersama pembantunya dan
mengundang orang-orang miskin. Berjalan bersama para janda dan anak-anak yatim untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Beliau صلي هللا عليه وسلمmemulai salam lebih dahulu jika bertemu
orang lain dan beliau صلي هللا عليه وسلمmemenuhi undangan orang yang mengundangnya sekalipun
dalam sesuatu undangan yang ringan.[19]
Abu Sa’id al-Khudri رضي هللا عنهberkata: “Cintailah orang-orang yang miskin karena aku
mendengar Rosululloh صلي هللا عليه وسلمbersabda dalam do’anya: “Ya Alloh, hidupkanlah aku
dalam keadaan miskin, wafatkanlah aku dalam keadaaan miskin dan masukkanlah aku bersama
orang-orang yang miskin pada hari kiamat.” [20]
Al-Hafizh Ibnu Rojab رحمه هللاmengatakan: “Yang dimaksud dengan miskin dalam hadits ini
adalah orang yang di dalam hatinya ada rasa tenang, tunduk dan khusyu’ kepada Alloh
ِّ
عزوج ِّل.[21]
1. Ummul Mukminin Aisyah عنها هللا رضيberkata: “Kalian telah melupakan ibadah yang paling
afdhol yaitu tawadhu’.” [23]
2. Fudhail bin Iyadh هللا رحمهpernah ditanya tentang tawadhu’, beliau menjawab: “Tawadhu’ adalah
engkau tunduk terhadap kebenaran, mengamalkan dan menerimanya dari orang yang
mengucapkannya. Sekalipun mendengarnya dari seorang anak kecil maka ia akan menerimanya
atau walaupun mendengarnya dari manusia yang paling bodoh maka ia akan tetap
menerimanya.” [24]
3. ‘Urwah bin Wardi هللا رحمهberkata: “Tawadhu’ adalah salah satu tujuan kemuliaan. Setiap nikmat
pasti ada yang hasad kecuali tawadhu’.” [25]
4. Ibrohim bin Adham هللا رحمهberkata: “Tidak pantas bagi seseorang untuk merendahkan dirinya di
bawah kedudukannya. Dan janganlah dia mengangkat dirinya di atas kedudukannya”.[26]
Demikian indahnya sifat tawadhu’. Ya Alloh, tunjukilah kami agar bisa berhias dengan akhlak
yang mulia dan jauhkanlah kami dari sifat yang tercela. Amiin. Alloh A’lam