You are on page 1of 32

Laporan pendahuluan

1. konsep medis

A. Definisi

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari
50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (
Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar,
memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat
menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter (Dafid Arifiyanto, 2008).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum
pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran
urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars Prostatika dan
menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).
Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic Hypertrophy (BPH) adalah
diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi dari elemen seluler prostat. Akumulasi seluler dan
pembesaran kelenjar timbul dari proliferasi epitel dan stroma, gangguan diprogram kematian sel
(apoptosis), atau keduanya. (Detters, 2011).
BPH melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel prostat yang timbul di zona periuretra dan
transisi dari kelenjar. Hiperplasia menyebabkan pembesaran prostat yang dapat menyumbat aliran
urin dari kandung kemih. BPH dianggap sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria yang
tergantung pada hormon testosteron dan dihidrotestosteron (DHT). Diperkirakan 50% pria
menunjukkan histopatologis BPH pada usia 60 tahun. Jumlah ini meningkat menjadi 90% pada usia
85 tahun. (Detters, 2011).
Disfungsi berkemih yang dihasilkan dari pembesaran kelenjar prostat dan Bladder Outlet Obstruction
(BOO) disebut Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). Ini juga sering disebut sebagai prostatism,
meskipun istilah ini jarang digunakan. Pernyataan ini tumpang tindih, tidak semua laki-laki dengan
BPH memiliki LUT dan tidak semua pria dengan LUT mengalami BPH. Sekitar setengah dari pria
yang didiagnosis dengan BPH histopatologi menunjukkan LUT berat. (Detters, 2011).
Manifestasi klinis dari LUT meliputi frekuensi kencing, urgency (buang air kecil yang tidak dapat
ditahan), nocturia (bangun di malam hari untuk buang air kecil), atau polakisuria (sensasi buang air
kecil yang tidak puas). Komplikasi terjadi kurang umum tetapi mungkin dapat terjadi acute urine
retention (AUR), pengosongan kandung kemih terganggu, kebutuhan untuk operasi korektif, gagal
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, batu kandung kemih, atau gross hematuria. (Detters, 2011).
Volume prostat dapat meningkat dari waktu ke waktu pada pria dengan BPH. Selain itu gejala dapat
memburuk dari waktu ke waktu pada pria dengan BPH yang tidak diobati dan risiko AUR sehingga
kebutuhan untuk operasi korektif meningkat. (Detters, 2011).
Pasien yang tidak mengalami gejala tersebut harus mengalami kewaspadaan pada komplikasi BPH.
Pasien dengan LUT ringan dapat diobati dengan terapi medis pada awalnya. Transurethral resection
of the prostate (TURP) dianggap standar kriteria untuk menghilangkan BOO yang disebabkan BPH.
Namun, ada minat yang cukup besar dalam pengembangan terapi minimal invasif untuk mencapai
tujuan TURP sambil menghindari efek samping. (Detters, 2011)

B. Etiologi
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa pendapat dan fakta
yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron
yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5α-reduktase diperkirakan sebagai mediator
utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk
dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT
yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor komplek.
Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis protein sehingga
terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan
hormon androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen
berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi
prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme,
bagian inilah yang mengalami hiperplasia. (Hardjowidjoto,2000).
Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat
hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga
sebagai penyebab timbulnyahiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut.
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan
produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori yaitu :
Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia,
gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi
dengancepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.
Teori kedua adalah teori Reawekering menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan
pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan
sekitarnya.
Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan bertanbahnya
umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya konversi testoteron menjadi
estrogen. (Sjamsuhidayat, 2005).

C. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan
membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang
dewasa ± 20gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Basuki (2000), membagi
kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibromuskuler anterior dan periuretra (Basuki, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa
pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di
perifer. Basuki (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubahmenjadi dehidrotestosteron
(DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secaralangsung memacu
m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan
kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus
urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat
sebenarnyadisebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher
vesika dan kekuatankontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat akan terjadiresistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah
prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat
dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat
menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan
yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding
kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Pada hiperplasi
prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor
gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu
permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah
miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksiwalaupun belum penuh atau dikatakan
sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung
urin,sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi
inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter
dan dilatasi. ureter danginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus
urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada
miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan
iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinariamenjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluksmenyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005).
D. Penyimpangan KDM
D. Tanda dan Gejala
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga
mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus
menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining), kencing terputus-putus (intermittency), dan
waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan
sebagai hipersenitivitasotot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi),
terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi),
dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer,2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
1.Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
2.Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis,
masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
3.Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4.Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over
flowin kontinen).

E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien
dengan BPH adalah :a. Laboratorium
1.Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
2.Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas
kumanterhadap beberapa antimikroba yang diujikan. b. Pencitraan1). Foto polos abdomenMencari
kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan
buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
3.IVP ( Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis,memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
4.Ultrasonografi ( trans abdominal dan trans rektal )
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan
keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
5.Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan BPH
adalah :
1.Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman
terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
2.Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan
bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis,
memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
c.Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan
patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat
penonjolan prostat ke dalam rektum.

F. Penatalaksanaan Medis
1. Watchfull Waiting
Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada lower urinary tract symptoms yang
diukur dengan sistem skor . Pada pasien dengan skor ringan (IPSS ≤ 7 atau Madsen Iversen ≤ 9),
dilakukan watchful waiting atau observasi yang mencakup edukasi, reasuransi, kontrol periodik, dan
pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang tidak terlalu terganggu
dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat memulai terapi dengan malakukan watchful waiting.
Saran yang diberikan antara lain :
a. Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia).
b. Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik).
c. Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi frekuensi miksi).
d. Setiap 3 bulan mengontrol keluhan.
2. Tatalaksana Invasif
Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan adenoma. Indikasi
absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :
a. Sisa kencing yang banyak
b. Infeksi saluran kemih berulang
c. Batu vesika
d. Hematuria makroskopil
e. Retensi urin berulang
f. Penurunan fungsi ginjal
Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral Resection of the Prostate
(TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan
kondisi pasien memenuhi toleransi operasi. Komplikasi jangka pendek pada TURP antara lain
perdarahan, infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang TURP
adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan impotensi.
Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila volume prostat tidak
begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik. Indikasi TUIP yaitu keluhan sedang atau
berat dan volume prostat tidak begitu besar.
Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi terbuka dengan teknik
transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya,
operasi sejenis ini hanya dilakukan apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa dipecah
dengan litotriptor / divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) / volume prostat lebih dari
100cc.(Sjamsuhidajat, 2004)
Daftar Pustaka
Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan
(KTD): Jakarta.
Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University Press: Surabaya
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.
II. KONSEP KEPERAWATAN
A.Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulan
informasi / data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan
dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan ( Nasrul, E,1995 : 18 ).
a. Pengumpulan data
Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :
a. Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa / ras,
pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini
klien adalah laki – laki berusia lebih dari 50 tahun dan biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasian
(Donna, D.I, 1991 : 1743 ).
b.Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah nyeri yang berhubungan
dengan spasme buli – buli. Pada saat mengkaji keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang
mempergawat atau meringankan nyeri ( provokative / paliative ), rasa nyeri yang dirasakan (quality),
keganasan / intensitas ( saverity ) dan waktu serangan, lama, kekerapan (time).
c.Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari Tract Symptoms ( LUTS
) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah
selesai miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yang dapat menimbulkan keluhan
dan ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk pertama kali atau berulang.
d.Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang perlu
ditanyakan . Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan
gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 :
11, 12, 29 ). Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu.

e.Riwayat penyakit keluarga


Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti : Hipertensi, Diabetes
Mellitus, Asma perlu digali .
f.Riwayat psikososial
Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta hubungan interaksi pasca
tindakan TURP.
g.Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca TURP.
Adanya keluhan nyeri karena spasme buli – buli memerlukan penggunaan anti spasmodik sesuai
terapi dokter. (Marilynn. E.D, 2000 : 683).
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum sebelum flatus .
3) Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin dapat terjadi bila terdapat
bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat terjadi setelah kateter di lepas (Sunaryo,
H, 1999: 35)
4) Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang traksi kateter selama 6
– 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih
diperlukan.
5) Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
6) Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak mengalami gangguan pasca
TURP.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP.
8) Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat mempengaruhi hubungan dan
peran klien baik dalam keluarga tempat kerja dan masyarakat.
9) Pola reproduksi seksual
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd ( Sunaryo, H, 1999: 36 j ).
10) Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan komplikasi pasca
TURP. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadahnya .

h. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain :
1) Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bila terjadi shock. Tensi, nadi
dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam ) pasca operasi harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila
keadaan tetap stabil interval monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam sekali (Tim Keperawatan
RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 20 ).
2) Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan pernapasan kecuali bila
dengan konsentrasi tinggi mencapai daerah thorakal atau servikal (Oswari, 1989 : 40).
3) Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek Hb untuk mengetahui
banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk mengetahui masukan dan
haluaran.
4) Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati rasa karena pengaruh
anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40).
5) Sistem gastrointestinal
Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah (Oswari, 1989 : 40) . Kaji bising usus
dan adanya massa pada abdomen .
6) Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri . Retensi dapat terjadi bila kateter
tersumbat bekuan darah. Jika terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, terasa
ada ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin
dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6 – 24 jam (Doddy, 2001
: 6).
7) Sistem muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatan kateter tidak boleh fleksi
selama traksi masih diperlukan. (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).

i. Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan perlu diulang secara berkala bila
urin tetap merah dan perlu di periksa ulang bila terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan
nadi. Kadar serum kreatinin juga perlu diulang secara berkala terlebih lagi bila sebelum operasi kadar
kreatininnya meningkat. Kadar natrium serum harus segera diperiksa bila terjadi sindroma TURP.
Bila terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur urin dan kultur darah ( Tim Keperawatan RSUD.
dr. Soetomo, 1997 : 21 ).
a) Uroflowmetri
Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan setelah kateter dilepas ( Lab / UPF Ilmu
bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).
b) Analisa dan sintesa data
Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data tersebut dirumuskan ke
dalam masalah keperawatan . Adapun masalah yang mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP
antara lain : nyeri, retensi urin, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan, resiko tinggi
ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan, kurang pengetahuan, inkontinensia dan
resiko tinggi disfungsi seksual .

B. Diagnosa keperawatan

1. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli : reflek spasme otot sehubungan
dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi.
2. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan .
3. Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi (TURP).
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli – buli.
5. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas yang berhubungan anastesi .( Marilynn, E.D,
2000 : 683 )
Tinjauan Kasus

A. PENGKAJIAN
a. Identitas

Inisial Klien : Tn. M


Umur : 68 Tahun Umur
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Sumatera/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SD
Alamat : Jl. KP. Duku/Keb. Lama

b. Riwayat Perawatan
a). Keluhan Utama : Tidak mampu BAK sejak 6 bulan sebelum masuk Rumah Sakit.
b). Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sebelumnya ( upaya yang dilakukan dan terapi )
Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dan hipertensi sejak 6 tahun yang lalu. Pasien
pernah berobat ke Puskesmas Kebayoran Lama dan diberikan kaptopril.
2) Riwayat Penyakit Sekarang ( PQRST, upaya yang dilakukan dan terapi )
Pasien datang dengan keluhan tidak mampu BAK sejak 6 bulan sebelum masuk Rumah Sakit.
Pada awalnya pasien mengeluh susah BAK, disertai nyeri pada perut dan tidak mampu duduk.
Pasien juga terkadang demam. Pasien dibawa ke Rumah Sakit dan dipasang selang kateter agar
BAK lancar.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien menyatakan tidak ada keluarga yang memilki penyakit sama seperti yang dialami pasien.

GENOGRAM

GI

GII
? ? ? ? ?
? ? ?

45
43
5
GIII

21 8
11

Keterangan

: Laki - Laki

: Perempuan
: Garis Perkawinan

: Garis Keturunan

: Meninggal

------------ : Tinggal Serumah

: klien

? : tidak diketahui umurnya

Keterangan Generasi :

GI : Kakek dan nenek klien dari ayah sudah meninggal dan kakek dari ibu sudah meninggal

tampa diketahu penyebabnya, nenek dari ibu masih sehat.

GII : orang tua ( Ayah dan Ibu ) masih hidup dan sehat, ayah dan ibu juga memiliki

riwauat penyakit.

GIII : Klien anak pertama dari 2 bersaudara,saat ini sedang dirawat di RS.Labuang Baji

dengan keluhan demam,nyeri ulu hati dengan diagnose medic TB paru


c). Observasi dan Pemeriksaan Fisik
a.Keadaan Umum
Pasien tampak lemah. Nyeri sedang ( skala 5 dari 1 – 10 ), komunikasi baik, terpasang infus di
lengan kanan. Terpasang selang kateter.
b.TTV
S:36,8 °C
N:88 x/menit
TD:160/80 mmHg
AxillaTeraturLengan Kiri
RectalTidak TeraturLengan Kanan
Oral Kuat Berbaring
Lemah Duduk
RR:22 x/menit
HR:90 x/menit
Normal Teratur
Cyanosis Tidak Teratur
Cheynestoke
Kusmaul
Lainnya, sebutkan :

c. Body Systems
1) Pernapasan
a) Hidung : PolipBenda Asing Deviasi, Sekret Patent
Lain -lain :Tidak ditemukan masalah pada hidung pasien.

b) Trakhea
Mukus Benda Asing Peradangan
Lain - lain : Tidak ditemukan masalah pada trakhea pasien.

c) Bentuk Rongga Dada


Barrel Chest (tong) Pigeon Chest Funnel Chest
d) Tipe Pernapasan
Normal Orthopnea Chyne Stokes
Dyspnea Cusmaul

e) Bunyi Napas
Vesikuler Ronchi Crecels
Wheezing Rales
Batuk, sejak : 1 hari yang lalu.

2) Pengindraan
a) Mata
Penglihatan : Berkurang Kabur Ganda Buta
Gerakan bola mata : Mata kanan dan kiri mampu bergerak normal.
Sklera :Normal Ikterus Merah/hifema
Konjungtiva : Merah muda Pucat/anemis
Kornea : Bening Keruh
Alat bantu :
Nyeri :
Keluhan lain :

b) Telinga
Pendengaran : Normal Berkurang
Tinitus, sejak/saat :
Otalgia, sejak/saat :
Otorhae, sejak/saat :
Keseimbangan:Normal Terganggu, sejak : 5 tahun yang lalu.
Alat bantu dengar, sejak :
Membran timpani : Terdapat 2 buah lubang kecil.

3) Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )
Nyeri dada : Pusing Palpitasi Clubbing finger
Kram kaki Ictus cordis Cafillary Refill Time
Sakit kepala >2 detik <2 detik Suara Jantung Normal
Ada kelainan, sebutkan :Edema Palpebra Ekstermitas atas Ascites
Anasarka Ekstermitas bawah Tidak ada
4) Persyarafan
a) Tingkat Kesadaran
Compos mentis Sopor ,Apatis, Koma, Somnolent,Gelisah

b) GCS
E:6
V: 5
M: 4
Total Nilai : 15
c) Penilaian fungsi syaraf cranial
Syaraf cranial I : Olfaktorius. Pasien mampu membedakan bau-bauan dengan tepat
dan benar.
Syaraf cranial II : Optikus. Penglihatan pasien berkurang, kabur. Skleras buram.
Syaraf cranial III : Okulomotoris. Pergerakkan bola mata kanan dan kiri pasien normal.
Syaraf cranial IV : Trokhlearis. Refleks menggerakkan mata kebawah dan keatas baik.
Syaraf cranial V : Trigeminus. Refleks kornea berkurang.
Syaraf cranial VI : Abdusen. Refleks pergerakkan mata baik.
Syaraf cranial VII : Fasialis. Pasien mampu membuka dan menutup mata dan kelopak
mata.
Syaraf cranial VIII : Vestibulochoclearis. Pasien tidak mampu mendengar dengan
baik/pendengaran berkurang.
Syaraf cranial IX : Glosofaringeus. Refleks pasien dalam membedakan rasa baik.
Syaraf cranial X : Vagus. Refleks menelan pasien normal.
Syaraf cranial XI : Asesoris. Refleks bahu pasien terhadap tahanan normal.
Syaraf cranial XII : Hipoglosus. Refleks gerakkan lidah baik.

d) Pemeriksaan sensorik dan motorik


Fungsi sensorik : Fungsi sensorik pasien menurun.
Fungsi motorik : Skala Ekstermitas atas kanan dan kiri 5
Ekstermitas bawah kanan dan kiri 4

e) Status refleks
Refleks tendon bagian dalam : Respon otot normal.
Refleks patologis : Normal.

5) Perkemihan
a) Produksi urine : 700 CC ( tampungan kateter )
b) Warna : Kuning tua
c) Bau : Amoniak
d) Pembedahan : Post operasi Prostat. Terpasang kateter.
e) Masalah/keluhan :Oliguria Menetes Cystotomi Poliuria
Nyeri Inkontinensia Disuria Panas Nokturia
Terpasang kateter Sering Hematuria
Retensia

6). Pencernaan
a) Mulut dan gigi :Mukosa mulut lembab, bibir kering, gigi tidak lengkap.Kebersihan kurang.
b) Tenggorokkan :Tidak ada perbesaran kelenjar tiroid dan paratiroid. Tidak ada penumpukkan
sekret.
c) Abdomen :Abdomen simetris, nyeri seperti ditusuk dan panas saat hendak dan sedang
BAK.
d) Rectum anus : Normal.
e) BAB : 1 kali/hari.
Konsistensi : Lunak. Warna kuning.
f) Masalah/keluhan :
Muntah, sejak Malabsorbsi Konstipasi
Mual, sejak Diare Obstipasi
Feses berdarah, sejak Tidak terasa Wasir
Melena Haus Lendir
Sukar menelan Colostomi
Obat pencahar : Tidak ada
Lavement : Tidak ada
7). Tulang Otot-Kulit ( Muskuloskeletal – Integumen )
a) Kekuatan : Kekuatan otot baik, tidak ada tahanan saat pemeriksaan.
b) Pergerakkan : Pergerakkan baik.
c) Bentuk tulang : Bentuk Tulang normal.
8) Reproduksi
a) Laki-laki
Penis :Terpasang kateter, bersih.
Scrotum :Bersih, tidak ditemukan masalah

Analisa data

Data Etiologi Masalah


). DS : Trauma berulang Iritasi mukosa buli-buli ,
- Pasien menyatakan nyeri pemasangan kateter, retensi
saat akan dan hendak BAK pada Pembesaran prostat urine.
bagian abdomen.
Lobus yang hipertropi
DO : menyumbat kolon vesikal
- Skala nyeri 4 ( 1 – 10 )
- TD : 160/100 mmHg Retensi urine
N : 88 kali/menit
S ; 36,8 C Timbul sakulasi/divertikel
RR : 22 kali/menit
- Pasien tampak lemah Lama kelamaan otot detruson
- Tampak meringis. menjadi lelah dan mengalami
denkompensasi

Tidak mampu berkontraksi

Disfungsi saluran kemih atas

Disuria

Nyeri akut
2). DS : Trauma berulang Pemakaian kateter secara
- Pasien menyatakan sudah berkelanjutan, pajanan tindakan
menggunakan kateter untuk Pembesaran prostat medis.
BAK selama 6 bulan.
Lobus yang hipertropi
DO : menyumbat kolon vesikal
- Terpasang selang kateter.
- Urine tampung 150 CC Retensi urine
- Tampak kemerahan pada
glan penis. Timbul sakulasi/divertikel
- BB : 65 kg
Lama kelamaan otot detruson
menjadi lelah dan mengalami
denkompensasi

Tidak mampu berkontraksi

Disfungsi saluran kemih atas

Urine terus menetes setelah


berkemih

cemas

3). DS : pasien mengatakan Trauma berulang Kurang terpaparnya dengan


kurang mengerti tentang proses informasi
penyakit,penyebab dan terapi Pembesaran protat
diet yang harus dilakukan
DO : pasiens tampak bingung Lobus yang hipertropi
- dan sering bertanya menyumbat kolon vesika
tentang penyakitnya
Retensi urine

Timbul sirkulasi/divertikel
Lama kelamaan otot detrusor
menjadi lelah dan mengalami
dekonpensasi

Tidak mampu berkontraksi

Retensi urine

Resiko infeksi
Intervensi

No Diagnose Tujuan dan criteria hasil Intervensi aktivitas dan


keperawatan Rasional
Dx 1 Resiko tinggi - Bantu klien
ketidakefektifan pola dengan
napas berhubungan - Pola napas tetap spirometer jika
dengan anastesi efektif. dianjurkan
Criteri hasil Rasional :
1. Paru-paru bersih memaksimalkan
pada auskultasi ekspansi paru
2. Frekuensi dan - Ajarkan dan
irama napas bantu klien
dalam batas untuk
normal membalik,
3. Melakukan batuk batuk, dan
dan napas dalam napas dalam
tanpa kesulitan tiap 2 jam.
Rasional : merupakan
upaya untuk
mengeluarkan sekret
- Kaji bunyi
napas tiap 4 jam
Rasional : laporkan
penurunan atau tidak
ada bunyi napas pada
tim medis
- Kaji kulit
terhadap tanda
sianosis dan
diaforesis
- Pantau dan
laporkan gejala
gangguan
pertukara gas
kacau
Rasional :deteksi dini
ketidakefektifan pola
napas
- Berikan obat
penghilang rasa
nyeri dengan
interval yang
tepat untuk
mengurangi
nyeri
Rasional :
berkurang/hilangnya
nyeri dapat membantu
klien melakukan
latihan batuk dan napas
dalam secara efektif
Dx 2 Resiko tinggi - Keseimbangan - Benamkan
kekurangan cairan cairan tubuh tetap kateter,hindari
yang berhubungan terpelihara manipulasi
dengan kehilangan Criteria hasil : berlebihan
darah berlebihan mempertahankan hidrasi Rasional : gerakan
adekuat dibuktikan penarikan kateter dapat
dengan (TTV stabil, nadi menyebabkan
perifer teraba, pengisian perdarahan atau
perifer baik ,membran pembentukan bekuan
mukosa lembab dan darah dan pembenaman
keluaran urin tepat kateter pada distensi
buli-buli
- Pantau masukan
dan keluaran
cairan
Rasional : indikator
keseimbangan cairan
dan kebutuhan
penggantian
- Observasi
drainase
kateter,hindari
manipulasi
berlebihan atau
berlanjut
Rasional : perdarahan
tidak umum terjadi 24
jam pertama tetapi
perlu pendekatan
perineal.
Dx 3 Resiko tinggi - Keseimbangan - Pantau dan
terjadinya kelebihan cairan tetap laporkan tanda
cairan yang b/d terpelihara dan gejala
absorbsi cairan Kriteria hasil: masukan difusi
irigasi (TURP) dan haluaran seimbang, hiponatremia
irigan keluar secara total, Rasional : hiponatremi
sadar penuh, berorientasi, adalah tanda kelebihan
dan menunjukan tak ada cairan
abnormalitas fungsi - Pantau masukan
motorik dan haluaran
tiap 4-8 jam.
- Rasional
:indikator
keseimbangan
cairan dan
kebutuhan
penggantian
Implementasi
No. dx Tgl/jam Implementasi Evaluasi
Dx 1 12-09-2013 07.00 1. Membantuklien S : pasien
wib dengan spirometer menyatakan nyeri
insentif jika saat hnedak BAK
dianjurkan O : Pasien tampak
2. Mengajarkan dan tenang
membantu klien A : masalah belum
untuk membalik teratasi
batuk dan napas P : lanjutkan
dalam tiap 2 jam intervensi
Dx 2 13-09-2013 07.00 1. Memantau S : pasien
wib masukan dalam menyatakan nyeri
haluaran cairan hanya saat BAK.
2. Mengevaluasi O : pasien tampak
warna,konsistensi tenang
urin A : masalah belum
teratasi
P : lanjutkan
intervensi
Dx 3 14-09-2013 07.00 1. Memantau S : pasien
wib masukan dan menyatakan lemah
keluaran tiap 4-8 O : klien tampak lesu
2. Memantau dan A : masalah belum
melaporkan tanda teratasi
dan gejala difusi P : lanjutkan
hiponatremis intervensi
RENCANA KEPERAWATAN

I
N

3. 12-09- Dx III -awasi keluaran -diuresis cepat


2013 Resiko tinggi dengan hati-hati, dapat
07.00 kekurangan volume tiap jam bila menyebabkan
wib cairan berhubungan didindikasikan.perh kekurangan
atikan keluaran volume total cairan
dengan pasca
100-200 ml/jam karena
obstruksi diuresis -awasi TTV ketidakcukupan
dari drainase cepat deengan natrium di
kandung kemih sering,evaluasi absorbsidalam
yang terlalu distensi pengisian kapiler tubulus ginjal
yang terlalu kronis dan membran -menurunkan kerja
mukosa jantung
memudahkan
hemeostatis
sirkulasi

You might also like