You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan peredaran darah diotak (GPDO) atau dikenal dengan CVA ( Cerebro
Vaskuar Accident) adalah gangguan fungsi syaraf yang disebabkan oleh gangguan aliran
darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak ( dalam beberapa detik) atau secara
cepat ( dalam beberapa jam ) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang
terganggu.

Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang


diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah kulminasi
penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun. Penyakit ini merupakan peringkat ketiga
penyebab kematian di United State. Akibat stroke pada setiap tingkat umur tapi yang paling
sering pada usia antara 75 – 85 tahun.

Stroke menempati rangking ke 2 setelah penyakit jantung iskemik yang menyebabkan


kecacatan dan angka kejadian stroke meningkat di tiap Negara dan penyebab kematiaan
diseluruh dunia. Insidensi stoke diberbagai Negara meningkat sesuai bertambahnya umur
seseorang. Di bangsa barat sekitar 80 % stroke terjadi akibat iskemik arteri di otak yang dapat
menyebabkan gangguan fokal dan sisanya 20 % stroke disebabkan oleh perdarahan
(hemoragic).

Stroke iskemik menyebabkan penurunan aliran darah berupa energi dan nutrisi di otak
sehingga menyebabkan kematian sel otak. Faktor utama yang mempengaruhi kematian sel
otak adalah gangguan pembentukan asam amino, adanya radikal bebas dan inflamasi. Setelah
terjadi penyumbatan arteri di otak, perfusi darah ke otak menurun dan diikuti
ketidakmampuan sel otak dalam metabolisme serta gangguan pada pemindahan ion namun
masih dapat diperbaiki dengan daerah penumbra yang mengalami iskemik. Pada tiap menit
dan jam berikutnya, defisit klinik tidak begitu terlihat adanya kerusakan otak yang terjadi
secara irreversible. Kerusakan pada sel otak akibat aliran darah yang tersumbat dipengaruhi
oleh lamanya keadaan iskemik di otak tersebut. Daerah penumbra otak akan dengan cepat
memperbaiki daerah otak yang mengalami iskemik sehingga perfusi aliran darahnya kembali
normal.

1
Angka kematian akibat stroke iskemik di bangsa barat sekitar 10 – 17 %.
Peningkatan angka stroke meningkat berdasarkan peningkatan usia yang dialami oleh
penyakit jantung iskemik dan diabetes mellitus meingkatkan terjadinya infark. Pada infark
juga mungkin disebabkan penyakit diantara keduanya, baik penyakit jantung iskemik maupun
penyakit diabetes mellitus. Kematian setelah terjadi stroke pada bulan pertama dilaporkan 2,5
% pada infark tipe lakunar dan 78 % disebabkan oleh infark hemisferium.
Intravenous Recombinant Tissue Plasminogen Activator (rt-PA) merupakan
standar pada terapi untuk stroke iskemik akut, tapi lebih dari setengah pasien yang diobati
tidak sembuh dengan total bahkan meninggal. Pengobatan alternatif lainnya, seperti terapi
endovaskular, telah digunakan selama bertahun-tahun. Dibandingkan dengan terapi
endovaskular, pemberian trombolisis intravena memiliki tingkat kemungkinan untuk
rekanalisasi yang lebih rendah (46% kasus dengan t-PA intravena vs. >80% dengan terapi
endovaskular). Namun demikian, kedua pendekatan ini belum pernah di bandingkan secara
langsung, rekanalisasi tidak selalu berkaitan dengan hasil klinis yang menguntungkan, dan
masih belum diketahui apakah hasil klinis lebih unggul dengan terapi endovaskular ataupun
dengan pemberian t-PA intravena.
Meskipun sudah banyak penelitian dengan menggunakan terapi endovaskular
menghasilkan hasil yang menjanjikan, hasil tersebut masih tetap dipertanyakan, dikarenakan
uji yang dilakukan melibatkan pasien yang diseleksi, tidak dibandingkan antara terapi
endovaskular dengan rt-PA intravena, dan tidak menilai terapi endovaskular sebagai prosedur
multimodal.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Stroke Iskemik Akut

I. Definisi

Stroke adalah gangguan atau disfungsi otak, yang terjadi secara mendadak, baik
fokal atau global, dikarenakan adanya suatu kelainan pembuluh darah otak dengan defisit
neurologis yang terjadi lebih dari 24 jam atau terjadi kematian. Bila disfungsi serebral
sembuh sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam dinamakan TIA (Transient Ischemic
Attack)

II. Epidemiologi
Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di
dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting,
dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.
Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di
dunia sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal
dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke
di dunia.
Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang
menyebabkan kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan kanker. Di negeri
Paman Sam ini, setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000
diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa stroke
berulang. Sebanyak 75 persen penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker.
Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan
sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke
dan kecacatan.

3
III. Etiologi

Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh
emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga dapat
diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses yang
mengganggu aliran darah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik yang
berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri.
1. Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan tetapi
dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.
a) Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat berasal
dari “plaque athersclerotique” yang berulserasi atau dari trombus yang
melekat pada intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah leher.
b) Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
1) Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan bagian kanan
dengan bagian kiri atrium atau ventrikel;
2) Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan
gangguan pada katup mitralis;
3) Fibralisi atrium;
4) Infarksio kordis akut;
5) Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
6) Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung
miksomatosus sistemik;
c) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
1) Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis.
2) Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.
3) Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit “caisson”).
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-sided
circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah trombi
valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan), trombi mural (seperti infark
miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan atrial miksoma.
Sebanyak 2-3 persen stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard dan 85 persen di
antaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya infark miokard.

4
2. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan
sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah titik percabangan
arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna. Adanya stenosis
arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah (sehingga meningkatkan resiko
pembentukan trombus aterosklerosis (ulserasi plak), dan perlengketan platelet.
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisitemia, anemia sickle sel, defisiensi
protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi yang
berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang menyebabkan diseksi arteri
serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik (contohnya trauma, diseksi
aorta thorasik, arteritis).
3. Patofisiologi
Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya aterosklerosis (terbentuknya
ateroma) dan arteriolosklerosis.
Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan
cara:
a. Menyempatkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi
aliran darah.
b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau peredaran
darah aterom.
c. Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli.
d. Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang
kemudian dapat robek.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak:
a. Keadaan pembuluh darah, bila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau
tersumbat oleh trombus/embolus.
b. Keadaan darah: viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang
meningkat (polisitemial) yang menyebabkan aliran darah ke otak lebih
lambat: anemia yang berat menyebabkan oksigenasi otak menurun.
c. Tekanan darah sistematik memegang peranan tekanan perfusi otak. Perlu
diingat apa yang disebut otoregulasi otak yakni kemampuan intrinsik
dari pembuluh darah otak agar aliran darah otak tetap konstan walaupun
5
ada perubahan dari tekanan perfusi otak.Batas normal otoregulasi antara
50-150 mmHg. Pada penderita hipertensi otoregulasi otak bergeser ke
kanan.
d. Kelainan jantung
1) Menyebabkan menurunnya curah jantung a.l. fibrilasi, blok jantung.
2) Lepasnya embolus menimbulkan iskemia di otak.

IV. Gejala Klinis

Stroke akut secara khas memiliki karakteristik seperti deficit neurologis yang
terjadi secara tiba-tiba waktunya. Pasien menyadari memiliki gejala klinis 6eficit neurologi
yang sedikit-sedikit berkelanjutan. Defisit neurologis seperti disfasia, disatria, hemianopsia,
kelemahan, ataxia, kelemahan sensori dan gangguan fungsi luhur. Gejala dan tanda terjadi
secara unilateral (satu sisi). Kesadaran pada stroke iskemik umumnya normal dan adanya
kelemahan yang sedikit pada setiap sisi namun kesadaran dapat menurun pada kasus infark
otak pada bagian sirkulasi posterior.

V. Diagnosis

1. Kesadaran

Penentuan status kesadaran pada pasien stroke sangat penting, penurunan kesadaran
pada penderita stroke terjadi karena Tekanan Tinggi Intrakranial yang sangat hebat sehingga
mampu menekan bagian ARAS yang merupakan pusat kesadaran. Penurunan kesadaran
menjadi tolok ukur pada penentuan jenis stroke dengan menggunakan skoring baik dengan
Sirijaj-Stroke-Score maupun Gajah mada Stroke Score.

6
2. Tensi (Tekanan darah)

Salah satu faktor resiko mayor dari Stroke adalah Hipertensi. Pembagian Grade
Hipertensi :

Stage TDS TDD

Stage I 140 – 149 mmHg 90 – 99 mmHg

Stage II > 160 mmHg > 100 mmHg

Pengukuran tekanan darah sebaiknya dibandingkan dengan tangan disebelahnya. Apakah


terdapat perbedaan. Jika terdapat perbedaan yang besar maka kemungkinan terjadi kelainan
pembuluh darah (arteritis)

3. Nadi

4. Heart Rate

Pengukuran ini sangat penting, jumlah kontraksi jantung yang dihitung dibandingkan
dengan Nadi yang di ukur. Pulsus defisit terjadi jika Perbedaan heart rate dan nadi ≥20 x/mnt.
Pulsus derfisit dapat ditemukan pada artrial fibrilasi yang kemungkinan menjadi pencetus
stroke.

5.Pernafasan

6. Suhu

7. Turgor dan gizi

Berperan dalam menentukan keadaan fisik dari pasien apakah termasuk golongan
obesitas (faktor resiko minor), dan turgor apakah pada pasien tersebut terjadi dehidrasi atau
tidak

Pada sebagian besar kasus stroke dalam membuat diagnosis dengan melihat gejala
klinis yang cepat, serangan pada saat gejala stroke dan penurunan kesadaran. Pada diagnosis
diferensial stroke seperti migrain, posttictal paresis, hipoglikemia, convertion disorder,
perdarahan subdural dan tumor otak.

7
Arthelosklerosis (tromboembolisme lokal) dan cardioembolism yang menyebabkan
pembuluh darah otak mengalami iskemik. Bagaimanapun juga pasien dibawah 50 tahun
sebaiknya harus di berikan peringatan kepada pasien yang mempunyai faktor resiko penyakit
cardiovascular. Beberapa petunjuk klinis yang menyarankan alternatif diagnosa seperti ptosis
dan miosis kontralateral untuk defisit (pemotongan arteri karotis), demam dan bunyi mur-mur
jantung (endokarditis infektif), sakit kepala, laju endap darah meningkat pada pasien lebih tua
dari 50 tahun (sel arteritis giant).
Defisit neurologis sebaiknya diperiksa secara hati - hati di pemeriksaan neurologis.
Ada beberapa skala pengukuran defisit neurologis yang digunakan dalam berbagai penelitian.
The national institute of health stroke sering menggunakan skala ini. Pulsasi yang tidak
teratur menandakan adanya atrial fibrillation. Pada tekanan darah yang tinggi seperti pada
hipertensi ensefalopati yang diinduksi thrombosis akan meningkatkan tekanan darah menjadi
185/110 mmHg. Bunyi arteri carotis menandaan adanya stenosis pada arteri carotis.
Pemeriksaan laboraturium selama fase akut dilakukan untuk mengukur kadar glukosa (pada
hipoglikemic juga terdapat gejala defisit neurologis fokal), pemeriksaan darah lengkap,
mengukur protrombin time dan trombloplastin time, terutama dipertimbangkan jika terdapat
tromboembolisme. Stroke dapat disebabkan oleh adanya iskemik di jantung dan aritmia,
evaluasi monitoring jantung disarankan pada 24 jam berikutnya. Pemeriksaan EKG pada jam
pertama setelah terjadi serangan stroke dibutuhkan hanya pada kasus – kasus tertentu saja
seperti dicurigai adanya endocarditis infeksi. Pada hari setelah serangan stroke tersebut, perlu
pemeriksaan transthoracic echocardiography dan transesophageal echocardiography jika ada
indikasi yang mengarah cardioembolisme.

VI. Pemeriksaan Penunjang

Pada infark cerebral tidak harus ditandai dengan perdarahan intracerebral pada satu
tanda dan gejala secara tersendiri. Pada semua pasien dengan dicurigai stroke iskemik, CT-
SCAN dan MRI sangat diperlukan. Pada CT-SCAN tanpa kontras dibandingkan dengan MRI
akan memberikan gambaran secara luas dan cepat dan kurang peka terhadap hasil dari
gambaran tersebut. Pemeriksaan CT-SCAN dan MRI mempunyai sensitive yang tinggi untuk
pemeriksaaan perdarahan intracranial akut, tetapi MRI lebih memiliki sensitivitas lebih tinggi
daripada CT-SCAN pada perubahan ishkemik akut, terutama pada gambaran bagian posterior
pada jam pertama setelah terjadi serangan stroke iskemik. Edema sitotoksik merupakan
indikasi adanya iskemik setelah terjadi serangan beberapa menit sebelumnya dengan
8
penurunan gambaran koefisiensi difusi pada pencitraan difusi yang lebih berat. Pada
pencitraan awal apabila telah terjadi iskemik penting untuk dilakukan manajemen
pengobatan.
Pada pasien dengan infasive akut, pengoabatannya yaitu seperti intra arterial
trombolisis atau menghilangan bekuan darahnya . Pada kasus gawat darurat, CT – SCAN dan
Magnetic Resonance Angiography diperlukan untuk melihat sisi arteri yang mengalami
oklusi. Banyak cara untuk menggambarkan peredaran darah sirkulus willisi. Carotid duplex
USG dan transcranial droppler USG juga dapat mendeteksi adanya sumbatan (Oklusi)
pembuluh darah.

VII. Pencegahan dan Penanganan

Nutrisi sangat sering digunakan dalam perawatan stoke dirumah sakit, Pada penelitian
secara acak dengan menggunakan suplemen oral tidak selalu dapat mencegah punurunan
nutrisi di rumah sakit dan mengembalikan fungsi tubuh pada pasien dengan stroke.
Pada pasien dengan stroke akut mempunyai faktor resiko yang meningkat jika
terdapat thrombosis vena dan edema pulmonal dan reikonya meningkat lagi pada usia dan
stroke yang berulang. Meskipun menggunakan anti koagulan tidak mengubah fungsi secara
keseluruhan. Pada pemberian heparin dosis kecil secara subkutan sangat dianjurkan untuk
pasien yang mempunyai factor resiko deep thrombosis vena akibat keterbatasan gerak
(seperti paralisis pada kaki).
Pada pasien yang mengalami infak supratentorial dan dapat timbul edema otak akan
terjadi perpindahan transtentorial, biasanya diantara waktu pertama dan keempat setelah
terjadi serangan stroke. Pada pasien yang dibawa ke IGD dalam keadaan tersebur angka
kematiannya sebesar 78 %, tidak ada terapi kesehatan yang dapat merubah keadaan tersebut,
di beberapa penelitian dapat dilakukan terapi pembedahan seperti hemicraniotomi dan
duraplasty, pada pemasangan bagian dura akan terdapat pembesaran pada ruang intradural
dengan pengobatan 93 pasien yang berumur 60 tahun dengan infark di area tentorial pada
arteri serebri media, pengobatan pembedahan pada 48 jam setelah serangan stroke
menurunkan angka kematian (22 % vs 71% pada penanganan manajemen) dan rata – rata
yang mengalami kecacatan serta kematian (57% vs. 79%). Pembedahan tampaknya akan
dapat mengakibatkan afasia (afasia sensorik) pasien dengan berumur 50 tahun yang lebih tua
maupun dibawah 50 tahun). Pada pasien yang melakukan pembedahan pada serangan terjadi

9
stroke pada hari pertama maupun hari kedua pasca serangan stroke pada kelompok yang
kecil.

Penatalaksanaan Khusus

a. Terapi Trombolitik

Rekomendasi pengobatan stroke didasarkan pada perbedaaan antara keuntungan dan kerugian
dalam tatalaksana yang diberikan. Fibrinolitik dengan rtPA secara umum memberikan
keuntungan reperfusi dari lisisnya thrombus dan perbaikan sel serbral yang bermakna.
Pemberian fibrinolitik merupakan rekomendasi yang kuat diberikan sesegera mungkin setelah
diagnosis stroke iskemik akut ditegakkan ( awitan 3 jam pada pemberian intravena dan 6 jam
pemberian intrarterial)

1. kriteria inklusi

a. usia ≥ 18 tahun

b. diagnosis klinis stroke dengan deficit neurologis yang jelas

c. Awitan dapat ditentukan secara jelas (<3 jam)

d. tidak ada bukti perdarahan intracranial dari CT scan

e. pasien atau keluarga mengerti dan menerima keuntungan dan risiko yang
mungkin timbul dan harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau
keluarga untuk dilakukan terapi rtPA.

2. kriteria ekslusi

a. usia > 80 tahun

b. deficit neurologis yang ringan dan cepat membaik atau perburukan deficit
neurologis yang berat

c. gambaran perdarahan intracranial pada CT scan

d. riwayat trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan terakhir.

e. infark multilobular

10
f. kejang pada saat onset stroke

g. tekanan darah sistolik >185 mmHg, diastolic >110 mmHg

h. glukosa darah <50 mg/dl atau >400 mg/dl

i. gejala perdarahan subaraknoid

j. jumlah platelet <100.000/mm3

k. wanita hamil

3. Rekomendasi

a. pemberian IV rtPA dosis 0,9 mg/kgBB(maksimum 90mg), 10% dari dosis


total diberikan sebagai bolus inisial, dan sisanya diberikan sebagai infus
selama 60 menit, terapi tersebut harus diberikan dalam rentang waktu 3 jam
dari onset.

b. Disamping komplikasi perdarahan, efek samping lain yang mungkin terjadi,


yaitu angioedema yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas parsial,
harus diperhatikan.

c. pasien dengan hipertensi yang tekanan darahnya dapat diturunkan dengan


obat antihipertensi secara aman, harus dijaga kestabilan tekanan darah
sebelum memulai rtPA.

b. Antikoagulan

Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke ulang awal,
menghentikan perburukan neurologi, atau memperbaiki keluaran setelah stroke iskemik akur
tidak direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien dengan stroke iskemik akut.

c. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)

Aspirin

Pemberian aspirin dengan dosis awal 325mg dalam 24-48 jam setelah awitan stroke
dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti
tindakan intervensi akut pada stroke, aeperti pemberian rtPA intravena. Jika direncanakan

11
pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan. Penggunaan aspirin sebagai adjunctive
therapy dalam 24 jam setelah pemberian obat trombolitik tidak direkomendasikan.

Penggunaan klopidogrel saja atau dengan kombinasi dengan aspirin, pada stroke iskemik
akut, tidak dianjurkan kecuali pada pasien dengan indikasi spesifik, misalnya angina pectoris
tak stabil.

d. Terapi Neuroprotektif

Pemakaian obat-obat neuroprotektan belum menunjukkan hasil yang efektif, sampai saat ini
belum dianjurkan.Namun, citicolin masih memberikan manfaat pada stroke akut. Penggunaan
citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis 2x100mg intravena 3 hari dan dilanjutkan
dengan oral 2x1000mg selama 3minggu.

VIII. Prognosis

Stroke berikutnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang paling penting adalah
sifat dan tingkat keparahan defisit neurologis yang dihasilkan. Usia pasien, penyebab stroke,
gangguan medis yang terjadi bersamaan juga mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan,
agak kurang dari 80% pasien dengan stroke bertahan selama paling sedikit 1 bulan, dan
didapatkan tingkat kelangsungan hidup dalam 10 tahun sekitar 35%. Angka yang terakhir ini
tidak mengejutkan, mengingat usia lanjut di mana biasanya terjadi stroke. Dari pasien yang
selamat dari periode akut, sekitar satu setengah samapai dua pertiga kembali fungsi
independen, sementara sekitar 15% memerlukan perawatan institusional.

12
Trombolisis Intravena

The National Institude of Neurological Disorder and Stroke (Recombination


Tissue Plasminogen Activator ) atau (rt-PA) pada pengobatan stroke, mempunyai aktivitas
pengobatan terhadap stroke secara IV setelah 3 jam serangan gejala stroke. Diantara pasien
yang di obati dengan rt-PA (0,9 mg/kgBB dengan 10 % dari dosis yang diberikan dalam
bentuk bolus dan infuse dalam waktu 1 jam dan dosis maksimal 90 mg) pada 31 – 50 %
pasien dapat memperbaiki defisit neurogis selama 3 bulan, tergantung skala yang digunakan)
dibandingkan dengan 20 – 38 % pasien yang menggunakan placebo ; rata-rata angka
kematian sama diantara dua grub tersebut. Gejala perdarahan intracranial terjadi sekitar 6,4 %
pasien yang diobati dengan IV rt-PA dan 0,6 % dari kontrol. Empat percobaan pengobatan
dengan IV rt-PA diberikan 6 jam setelah waktu terjadinya serangan stroke (dengan pasien
diobati selama 3 jam) didapatkan kegagalan pengobatan dengan menggunakan trombolisis
secara terpisah tetapi jika dilakukan pengobatan kombinasi, akan memberikan keuntungan
pengobatan pada 1 – 3 jam setelah serangan stroke. Pada 3 jam pengobatan dengan
menggunakan rt-PA memberikan efek lebih lambat dari pada permulaan pengobatan.
Faktor resiko dari perdarahan intracranial terjadi setelah penggunaan trombolisis
pada beberapa pasien stroke dengan bertambahnya usia. Bagaimanapun terdapat perbedaan
tiap kelompok pada analisis NINDS rt-PA dan tidak ada perbedaan secara significant dengan
keuntungan terapi rt-PA pada tiap – tiap kelompok yang lain namun pada bagian tiap
kelompok yang kecil. Pada konsentrasi yang sama telah meningkatkan efektivitas dan
keamanan penggunaan terapi rt-PA pada pasien dengan iskemik dengan menggunakan
pencitraan CT- SCAN. Pada analisis beda perlakuan kelompok yang lain didapat dari data
NINDS rt-PA menunjukan 3 jam pertama dari gejala klinis dan terlihat adanya gambaran
iskemik pada CT-SCAN tidak terkait sebagai prediksi dari peningkatan resiko dari gejala
perdarahan intracranial atau dengan kata lain tidak baik dengan menggunakan pengobatan rt-
PA. Beberapa studi observasi menyarankan pada pengobatan IV trombolisis dengan rt-PA
dapat digunakan dengan keberhasilan terapi dan keamanan terapi.
Di Negara USA, pada sebagian pasien yang mengalami stroke iskemik yang
diobati dengan IV rt-PA .Penggunaan obat tersebut mengurangi masa jendela 3 jam setelah
terjadinya serangan stroke tersebut , pada pengamatan NINDS rt-PA stroke study, di 6
percobaan secara acak, Penggunaan obat tersebut mengurangi masa jendela 6 jam setelah

13
terjadinya serangan stroke tersebut. Dari kesimpulan yang didapat dari waktu yang
dibutuhkan pada pasien stroke dibawah score rata-rata terjadinya serangan stroke tersebut.
Data yang belum lengkap dianjurkan untuk mengidentifikasi pasien yang
mempunyai keuntungan dalam terapi trombolisis diantara 3 jam pada daerah penumbra yang
mengalami iskemik dengan area difusi – perfusi MRI atau perfusi tehnik CT-SCAN.
Meskipun IV Trombosis bertujuan memberikan aliran kembali pada arteri yang
mengalami sumbatan, tidak ada bukti klinis yang menyebutkan bahwa IV thrombosis dapat
memperbaiki aliran yang rusak tersebut. Pada beberapa study lain menunjukan terjadi
pembentukan aliran darah baru pada arteri cerebral setelah 2 jam menggunaan trombolisis..
Pada monitoring transcranial Droppler USG frekuensi 2 MHz dengan menggunakan rt-PA
setelah 2 jam terjadi pembentukan aliran darah. Area yang terbatas dianjurkan memberikan
pengobatan galactose based microbubbles pada strategi pengobatan dalam meningkatkan
aliran pembuluh darah karena banyaknya data- data yang tidak yakin maka untuk mengukur
perfusi fungsional dan teknik ini tidak dianjurkan untuk masalah klinik.
Dibandingkan dengan IV trombolisis, intaarterial trombosis meningkat akibat
pembentukan aliran darah baru, namun ada dua penanganan tidak langsung dibandingkan
kecukupan pada percobaan yang besar. Pada percobaan yang kecil dengan menggunakan
intraarterial recombinant prourokinase dan IV heparin, dengan menggunakan IV heparin
dengan serangan stroke setelah 6 jam memberikan aliran pembuluh darah baru pada arteri
serebri media (66% vs 18%) dan keberhasilan lebih baik pada 3 bulan pemakaian (40 % -
25% p = 0,04), namun pemberian obat trombolitik pada area yang mengalami sumbatan
memiliki keuntungan yang lebih baik dari pada terapi intavena. Trombolitik “terapi
selanjutnya” yang diikuti IV trombolisis pada arteri yang mengalami thrombosis dapat
diberikan untuk terapi cepat untuk membentuk aliran darah baru. Teknik trombektomy pada
pasien yang mengalami penyumbatan arteri carotis intracranial akut dapat membentuk aliran
darah baru pada beberapa kasus tapi pada saat pengkontrolan terjadi kekurangan.

14
Penggunaan Alteplase (Recombinant Tissue Plasminogen Activator (rt-PA))
pada terapi Acute Ischemic Stroke

Sasaran terapi :
Pembuluh darah yang mengalami sumbatan (stroke ischemic) dan menghentikan pendarahan
yang terjadi pada pembuluh darah (stroke hemorrhage).

Tujuan terapi :
Tujuan terapi pada ischemic stroke akut adalah mengurangi terjadinya kerusakan neurologi
dan menurunkan resiko kematian serta kecacatan seumur hidup. Mencegah terjadinya
komplikasi sekunder pada organ gerak dan cacat neurologic serta untuk mencegah terjadinya
stroke berulang.

Strategi terapi :
Pendekatan pertama yang dilakukan pada pasien yang diduga mengalami stroke akut adalah
memastikan bahwa pasien telah mendapatkan bantuan pada pernafasan dan kerja jantung
serta segera lakukan determinasi dengan menggunkan CT scan untuk menentukan
penyebabnya. Pasien yang mengalami peningkatan tekanan darah, tidak perlu diterapi
terlabih dahulu asalkan tekanan darah tidak mencapai 200/120mmHg atau mempunyai
riwayat acute myocardial infarction (AMI), pulmonary edema, hypertensive encephalopathy.
Jika tekanan darah diterapi, maka gunakan senyawa parenteral , short-acting (labetalol,
niordipine, dan nitroprusside).

FARMAKOLOGIS :
Pada dasarnya hanya ada dua jenis senyawa farmakologis (obat) yang direkomendasikan
dengan level rekomendasi A, yaitu recombinant tissue plasminogen activator (rtPA) pada 3
jam onset dan aspirin ada 48 jam.
1. Alteplase (recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA))

Indikasi : terapi trombolitik pada myocardial infraction akut dan pada massive pulmonary
embolism akut dengan haemodynamic instability. Terapi pada ischemic stroke akut. Terapi
harus dilakukan selama tiga (3) jam onset terjadinya simptom dan setelah dipastikan tidak
mengalami intracranial hemorrage stroke dengan CT scan.

15
Kontra Indikasi : sama halnya dengan senyawa trombolitik, rtPA tidak boleh digunakan
pada pasien yang mengalami resiko tinggi haemorhage, pasien yang menerima antikoagulan
oral (warfarin), menunjukkan atau mengalami perburukan pendarahan, punya riwayat stroke
atau kerusakan susunan saraf pusat, Haemorhage retinopathy, sedang mengalami trauma pada
external jantung (<10 hari), arterial hipertensi yang tidak terkontrol, adanya infeksi bakteri
endocarditis, pericarditis, pancreatitis akut, punya riwayat ulcerative gastrointestinal disease
selama 3 bulan terakhir, oesophageal varicosis, arterial aneurisms, arterial/venous
malformation, neoplasm dengan peningkatan resiko pendarahan, pasien gangguan hati parah
termasuk sirosis hati, portal hypertension (oesophageal varices) dan hepatitis aktif, setelah
operasi besar atau mengalami trauma yang signifikan pada 10 hari, pendarahan cerebral,
punya riwayat cerebrovascular disease, intracranial neoplasm, arteriovenous malformation,
pendarahan internal aktif.

Dosis : dosis yang direkomendasikan 0,9mg/kg (dosis maksimal 90 mg) secara infusi selama
60 menit dan 10% dari total dosis diberikan secara bolus selama 1 menit. Pemasukan dosis
0,09 mg/kg (10% dari dosis 0,9mg/kg) secara iv bolus selama 1 menit, diikuti dengan 0,81
mg/kg (90% dari dosis 0,9mg/kg) sebagai kelanjutan infus selama lebih dari 60 menit.
Heparin tidak boleh dimulai selama 24 jam atau lebih setelah penggunaan alteplase pada
terapi stroke.Aturan Pakai : diberikan sesegera mungkin dalam 3 jam onset simptom.
Efek Samping :
1% sampai 10% : kardiovaskular (hipotensi), susunan saraf pusat (demam), dermatologi
(memerah(1%)), gastrointestinal (GI hemorrhage (5%), nausea, vomiting), hemotologi
(pendarahan mayor (0,5%), pendarahan minor (7%)), reaksi alergi (anaphylaxis,
urticaria(0,02%), intracranial haemorrhage (0,4% sampai 0,87%, jika dosis ≤ 100mg)
Faktor Resiko :
a. Kehamilan; Berdasarkan Drug Information Handbook menyatakan Alteplase termasuk
dalam kategori C. Maksudnya adalah pada penelitian dengan hewan uji terbukti terjadi
adverse event pada fetus ( teratogenik atau efek embriocidal) tetapi tidak ada kontrol
penelitian pada wanita atau penelitian pada hewan uji dan wanita pada saat yang bersamaan.
Obat dapat diberikan jika terdapat kepastian bahwa pertimbangan manfaat lebih besar
daripada resiko pada janin.Pada BNF disebutkan bahwa Alteplase berpeluang menyebabkan
pemisahan prematur plasenta pada 18 minggu pertama. Secara teoritis bisa menyebabkan
fetal haemorrhage selama kehamilan, dan hindarkan penggunaannya selama postpartum.
b. Gangguan hati; hindari penggunaannya pada pasien gangguan hati parah.
16
Bentuk Sediaan : injeksi, serbuk kering.
Nama Generik : Alteplase.
Nama Dagang : Actylise® (Boehringer Ingelheim) serbuk injeksi 50mg/vial
Catatan : karakteristik pasien yang dapat diterapi dengan Alteplase (rt-PA) :
1. Terdiagnosis ischemic stroke.
2. Tanda-tanda neurologis tidak bisa terlihat jelas secara spontan.
3. Simptom stroke tidak mengarah pada subarachnoid hemorrhage.
4. Onset simptom kurang dari 3 jam sebelum dimulai terapi dengan Alteplase.
5. Tidak mengalami trauma kepala dalam 3 bulan terakhir.
6. Tidak mengalami myocardial infarction dalam 3 bulan terakhir.
7. Tidak terjadi gastrointestinal hemorrhage atau hemorrhage pada saluran kencing dalam 21
hari terakhir.
8. Tidak melakukan operasi besar dalam 14 hari terakhir.
9. Tidak mengalami arterial puncture pada tempat-tempat tertentu dalam 7 hari terakhir.
10. Tidak mempunyai riwayat intracranial hemorrhage.
11. Tidak terjadi peningkatan tekanan darah (sistolik kurang dari 185 mmHg dan diastolik
kurang dari 110 mmHg).
12. Tidak terbukti mengalami pendarahan aktif atau trauma akut selama pemeriksaan.
13. Tidak sedang atau pernah mengkonsumsi antikoagulan oral, INR 100 000 mm3.
16. Kadar glukosa darah >50 mg/dL (2.7 mmol/L).
17. Tidak mengalami kejang yang disertai dengan gangguan neurologi postictal residual.
18. Hasil CT scan tidak menunjukkan terjadinya multilobar infarction (hypodensity kurang
dari 1/3 cerebral hemisphere).

2. Acetylsalicylic Acid
Indikasi : analgesik antipiretik, antiinflamasi, myocardial infraction, stroke akut, pencegahan
pre-eklamsia dan stroke.
Kontra Indikasi : hipersensitif pada salisilat ataupun NSAIDs, asthma, rhinitis, nasal polyps,
mempunyai riwayat pendarahan (kelainan bawaan), penggunaan pada anak (<16 tahun)
dengan infeksi viral dan kehamilan (khususnya trimester ketiga).
Dosis : khusus untuk stroke akut
Drug Information Handbook : 160-325 mg/hari dimulai dalam 48 jam (pada pasien yang
tidak terdiagnosis thrombolitik atau tidak menerima antikoagulan sistemik).
Aturan Pakai : digunakan satu kali sehari dimulai dalam 48 jam setelah onset stroke dan
17
dilanjutkan selama 2 minggu atau sampai dihentikan (kurang lebih 6 bulan, dengan maksud
untuk mencegah terjadinya stroke berulang). Asetosal dapat diberikan 24 jam setelah
pemberian Alteplase.
Efek Samping : bronchospasm; gastro-intestinal haemorrhage dan haemorrhage di tempat
lain.
Faktor Resiko :
a. Ibu Menyusui, hindari penggunaannya – beresiko menyebabkan Reye’s syndrome;
penggunaan berulang dengan dosis tinggi dapat mengganggu fungsi platelet dan
pembentukan hypoprothrombinaemia pada bayi jika saat lahir mengalami kekurangan
vitamin K.
b. Kehamilan; penggunaannya berbahaya pada trimester ketiga karena dapat menyebabkan
kerusakan fungsi platelet dan beresiko menimbulkan haemorrhage, penundaan onset dan
durasi proses melahirkan dengan peningkatan kehilangan darah; penggunaan dosis tinggi
dapat menyebabkan penutupan fetal ductus arteriosus in utero dan memungkinkan terjadinya
hipertensi pulmonary menetap pada bayi baru lahir, dan menyebabkan kernicterus pada
neonates.
c. Gagal ginjal; hindari; dapat memicu terjadinya retensi natrium dan air, memperbukur kerja
ginjal, meningkatkan resiko pendarahan gastro-intestinal.
d. Gangguan fungsi hati; hindari penggunaannya pada kondisi gangguan hati parah, karena
dapat meningkatkan resiko pendarahan gastro-intestinal.
Bentuk Sediaan : tablet dan tablet kunyah
Nama Generik : Asetosal
Nama Dagang : Ascardia® (tablet), Restor® (tablet), Trombo Aspilet® (tablet), Aptor®
(tablet), Aspimec® (tablet), Aspilet® (tablet kunyah), Cardio Aspirin® (tablet), Astika®
(tablet), Procardin® (tablet).

18
BAB III
PENUTUP

Stroke iskemik menyebabkan penurunan aliran darah berupa energi dan nutrisi di otak
sehingga menyebabkan kematian sel otak. Faktor utama yang mempengaruhi kematian sel
otak adalah gangguan pembentukan asam amino, adanya radikal bebas dan inflamasi. Setelah
terjadi penyumbatan arteri di otak, perfusi darah ke otak menurun dan diikuti
ketidakmampuan sel otak dalam metabolisme serta gangguan pada pemindahan ion namun
masih dapat diperbaiki dengan daerah penumbra yang mengalami iskemik. Pada tiap menit
dan jam berikutnya, defisit klinik tidak begitu terlihat adanya kerusakan otak yang terjadi
secara irreversible.

Stroke akut secara khas memiliki karakteristik seperti deficit neurologis yang terjadi
secara tiba-tiba waktunya. Pasien menyadari memiliki gejala klinis 19eficit neurologi yang
sedikit-sedikit berkelanjutan. Defisit neurologis seperti disfasia, disatria, hemianopsia,
kelemahan, ataxia, kelemahan sensori dan gangguan fungsi luhur. Gejala dan tanda terjadi
secara unilateral (satu sisi). Kesadaran pada stroke iskemik umumnya normal dan adanya
kelemahan yang sedikit pada setiap sisi namun kesadaran dapat menurun pada kasus infark
otak pada bagian sirkulasi posterior.

Intravenous Recombinant Tissue Plasminogen Activator (rt-PA) merupakan standar


pada terapi untuk stroke iskemik akut, tapi lebih dari setengah pasien yang diobati tidak
sembuh dengan total bahkan meninggal. Pengobatan alternatif lainnya, seperti terapi
endovaskular, telah digunakan selama bertahun-tahun. Dibandingkan dengan terapi
endovaskular, pemberian trombolisis intravena memiliki tingkat kemungkinan untuk
rekanalisasi yang lebih rendah (46% kasus dengan t-PA intravena vs. >80% dengan terapi
endovaskular). Namun demikian, kedua pendekatan ini belum pernah di bandingkan secara
langsung, rekanalisasi tidak selalu berkaitan dengan hasil klinis yang menguntungkan, dan
masih belum diketahui apakah hasil klinis lebih unggul dengan terapi endovaskular ataupun
dengan pemberian t-PA intravena

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. Gambaran umum tentang gangguan


peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology cetakan keenam editor Harsono.
Gadjah Mada university press, Yogyakarta. 2007. Hal: 81-115.

2. Aziz, Faisal M.D. Rethinking The Six Weeks Waiting Approach To Carotid
Intervention After Ischemic Stroke . The Internet Journal of Surgery. 2007 Volume
11 Number 1. Department of General Surgery. New York Medical College. [Online],
available from:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_surgery/volume_11_number_1
/article/rethinking_the_six_weeks_waiting_approach_to_carotid_intervention_after_is
chemic_stroke.html

3. Chung, Chin-Sang. Neurovascular Disorder in Textbook of Clinical Neurology


editor Christopher G. Goetz. W.B Saunders Company: 1999. Hal: 10-3

4. D. Adams. Victor’s. Cerebrovasculer diseases in Principles of Neurology 8th Edition.


McGraw-Hill Proffesional. 2005. Hal: 660-67

5. Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan


Stroke. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2006.

6. Price, A. Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4. Penerbit


Buku Kedokteran EGC. Hal: 966-71.

7. Mardjono, Mahar. Mekanisme gangguan vaskuler susunan saraf dalam Neurologi


klinis dasar edisi Kesebelas. Dian Rakyat. 2006. Hal: 270-93.

8. Ngoerah, I Gst. Ng. Gd. Penyakit peredaran darah otak dalam Dasar-dasar ilmu
penyakit saraf. Penerbit Airlangga University Press. Hal: 245-58.

9. Stroke guidelines 2011, Pokdi Stroke, Perhimpunan Dokter Spesialis Indonesia


(PERDOSSI) 2011.

10. Wibowo, Samekto. Gofir, Abdul. Farmakoterapi stroke prevensi primer dan prevensi
sekunder dalam Farmakoterapi dalam Neurologi. Penerbit Salemba Medika. Hal: 53-
73

20

You might also like