You are on page 1of 9

STIGMA DAN DISKRIMINASI KLIEN TUBERKULOSIS

(Stigma and Discrimination of TB Client)

Paula Krisanty, Mamah Sumartini, Wartonah,


Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Jakarta III
Email: pkrisanty@yahoo.com

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyebab utama kematian. Kondisi ini menempatkan klien TB
menjadi terstigma dan terdiskriminasi. Walaupun telah banyak dilakukan penelitian untuk mengkaji
sejauh mana terjadinya diskriminasi, tetapi sedikit sekali penelitian yang mengungkapkan secara jelas
pendekatan mendalam penyebab stigma dan diskriminasi pada klien TB. Penelitian ini merupakan
suatu studi kualitatif yang menggunakan pendekatan naratif dan bertujuan untuk mendapatkan
gambaran tentang penyebab diskriminasi pada klien TB. Pengumpulan data dilakukan di Puskesmas
Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. In-depth interview dilakukan pada 4 klien TB, 4 orang anggota
keluarga klien TB, dan 4 orang anggota masyarakat. Proses wawancara dan analisa data mengikuti
pendekatan grounded theory. Hasil penelitian menunjukkan dari ketiga tipe diskriminasi didapatkan
bahwa diskriminasi langsung dalam hal ini diskriminasi diri adalah tipe yang paling banyak
ditemukan dirasakan oleh klien TB, terutama pada saat-saat awal pengobatan dari pengobatan delapan
(8) bulan yang direncanakan. Mereka menyatakan mereka mengisolasi diri mereka sendiri dari
keluarga dan teman, lebih dikarenakan untuk menghindari menularkan penyakit TB kepada keluarga
dan teman mereka. Alasan lain adalah untuk menghindari gossip dan kemungkinan diskriminasi.

Kata kunci: stigma, diskriminasi, kualitatif, grounded theory

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is a leading cause adult death in the world. This condition placed TB client were
stigmatized and discriminated. Even though there are many researchers have been done for exploring
how far the discrimination happened, but only a few researches have been done with using in-depth
approach to explore the causes of stigma and discrimination of TB client. This research was a
qualitative research with using narrative approach and has a goal to obtain the description of cause
of discrimination of TB client. Data collection was performed at Community Health Centre
(Puskesmas) of Jatinegara, East Jakarta. In-depth interviews were performed with four TB clients,
four family members of TB clients, and four community members. The interview process and data
analysis have been followed the grounded theory approach. The result showed that from three form of
discriminations, the direct discrimination particularly self-discrimination was the type which all the
participants who were TB clients in this research performed, particularly in the initial treatments of
eight months treatments. The participants stated that they isolated themselves from family and friends
partly to avoid infecting them. Another reason participants isolated themselves from friends were
avoiding gossip and potential discrimination.

Key words: stigma, discrimination, qualitative, grounded theory

103
JKep. Vol. 1 No. 2 Mei 2014, hlm 103-111 104

PENDAHULUAN kemampuan mereka untuk mencari uang,


Tuberkulosis (TB) adalah salah satu dan karena prosedur diagnostik dan
penyebab kematian usia dewasa di dunia, pengobatan yang mahal.
membunuh 1,7 milyar orang setiap TB ditularkan melalui droplet (Rieder,
tahunnya. Secara global, 14,6 milyar orang 2005). Oleh karena itu pendekatan yang
mengidap penyakit TB aktif; setiap tahun paling efektif untuk mengontrol TB adalah
8,9 milyar orang menjadi penderita TB memutuskan rantai penularan dengan cara
aktif (WHO, 2006), penyakit TB sangat menetapkan diagnosa dan pengobatan
signifikan di tahun 1993 WHO segera klien TB. Walaupun pengobatan
mencanangkan TB sebagai darurat global. mempunyai dampak infeksius menjadi
Tuberkulosis (TB) merupakan salah tidak infeksius dalam waktu dua minggu
satu penyakit penyebab kematian usia setelah pengobatan (Rieder, 2005), akan
dewasa di dunia. Secara global, 14,6 tetapi TB tidak akan sembuh sampai
milyar orang mengidap penyakit TB aktif, selesainya seluruh pengobatan dalam
setiap tahun 8,9 milyar orang menjadi waktu 6–8 bulan yang membutuhkan
penderita TB aktif, dan membunuh 1,7 kunjungan teratur ke pusat layanan
milyar orang setiap tahunnya. (WHO, kesehatan. Sekali teridentifikasi TB,
2006). Kejadian penyakit TB sangat penderita mengalami stigma dan
signifikan di tahun 1993, sehingga WHO diskriminasi akibat penyakit tersebut,
mencanangkan TB sebagai darurat global. menyebabkan penundaan diagnosis dan
Kejadian TB sangat berhubungan pengobatan sehingga menyebabkan
dengan kemiskinan, walaupun semua terganggunya waktu kontrol penyakit TB.
status dalam masyarakat dapat mengidap Stigma didefinisikan oleh Williams J.
penyakit ini. Masyarakat miskin memiliki (2011), sebagai suatu ”atribut yang sangat
risiko terbesar, karena kemungkinan mendeskriditkan” dan seseorang yang
kontak dengan penderita lain (karena terstigma adalah seseorang yang
kepadatan penghuni di rumah, di tempat mengalami pembedaan perlakuan yang
kerja, perjalanan, dan sosial), dan karena tidak diinginkan. Menurut pandangan
sistem imun mereka lemah oleh sebab Goffman, stigma umumnya diakibatkan
nutrisi yang kurang (Smith, 2004). Akibat dari perubahan tubuh, tidak jelasnya
utama TB pada kaum marginal yang karakter individu, atau anggota suatu
berpendapatan sosial kurang dapat kelompok yang tidak disukai oleh orang
mendorong mereka menjadi lebih miskin lain. Stigma seringkali mencegah orang
lagi, karena penyakit ini menurunkan untuk mencari perawatan pada layanan
Paula Krisanty. Stigma Dan Diskriminasi Klien Dengan Tuberkulosis 105

kesehatan. Bahkan ketika klien datang stigma dan diskriminasi klien TB yang
untuk pengobatan, tidak adanya dukungan berdomisili di Jakarta.
sosial dari keluarga mereka atau anggota
METODE
masyarakat, akan menurunkan kepatuhan
Jenis penelitian ini adalah kualitatif,
pengobatan TB. Isolasi sosial, pengalaman
menggunakan pendekatan fenomenologi
ditolak, malu dan merasa bersalah karena
dengan penyajian dalam bentuk naratif.
mengidap TB dapat menyebabkan stres
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan
psikosomatik, kesepian dan rasa tidak
gambaran tentang penyebab diskriminasi
berdaya.
pada klien TB. Penelitian dilakukan di
Diskriminasi terjadi dalam dua
salah satu Puskesmas Kecamatan, Jakarta
bentuk, yaitu diskriminasi langsung dan
Timur pada bulan April s/d Oktober 2012.
diskriminasi tidak langsung. Diskriminasi
Berkaitan dengan desain penelitian yang
langsung terjadi ketika seseorang
dilakukan, maka sangatlah penting bagi
diperlakukan kurang baik, disebabkan
peneliti untuk melakukan seleksi purposif
karena penyakit mereka, dimana orang lain
pada partisipan (research partners).
akan diperlakukan sama. Diskriminasi
Peneliti menggunakan petunjuk
tidak langsung terjadi ketika persyaratan
wawancara, dengan menggunakan
atau kondisi ditetapkan, walaupun ini
pertanyaan terbuka-tertutup dan tidak
berlaku sama bagi semua orang, sepertinya
terstruktur. Dalam proses wawancara tetap
mempertimbangkan pada sebagian
menggunakan topik utama, tetapi lebih
penderita saja. Berdasarkan persepsi
fleksibel kepada topik-topik yang relevan.
stigma oleh orang lain atau oleh orang
Kelompok target partisipan untuk
yang terstigma itu sendiri yang mendorong
penelitian ini adalah klien TB, dan
terjadinya diskriminasi.
merupakan klien yang berobat di
Tanpa pengetahuan tentang penyebab
Puskesmas dengan kriteria: 1) Status
stigma dan diskriminasi pada klien TB,
pernikahan: Lajang atau menikah, 2) Usia
akan sangat sulit mencari strategi untuk
remaja dan dewasa (17 tahun sampai 35
mengurangi terjadinya diskriminasi. Oleh
tahun), 3) Pendidikan minimal lulus SMP,
karena itu dibutuhkan investigasi
4) Menjalani pengobatan dengan DOT
mendalam penyebab diskriminasi melalui
minimal satu bulan. Sedangkan pada
perspektif klien dan keluarganya.
pelaksanaannya jumlah partisipan yang
Berdasarkan hal tersebut, dilakukan
diperoleh sampai dengan akhir
penelitian untuk mengkaji penyebab
pengumpulan data yaitu empat (4) pasien
JKep. Vol. 1 No. 2 Mei 2014, hlm 103-111 106

TB, empat (4) anggota keluarga, dan


“Dampak sosialnya adalah dia dijauhin
empat (4) anggota masyarakat.
oleh rekan, teman atau masyarakat terus
HASIL DAN PEMBAHASAN dikucilkan karena mereka pada takut
Keberadaan dan Penyebab Stigma Diri dengan penyakit itu sendiri , takut tertular
(Self-Stigma) dan Diskriminasi seperti itu… Seandainya saya mendapat
Keyakinan klien adalah penyebab TB, yang saya lakukan mungkin, saya
utama diskriminasi diri. Klien TB secara akan koreksi diri saya kenapa kok saya
umum mengisolasi diri mereka sendiri dari bisa terjangkit penyakit itu, pertama. Yang
keluarga dan teman-teman, dan khususnya kedua mungkin saya akan mengurung
dari anak-anak, karena ketakutan untuk diri…” (M3)
menularkan penyakit.
Pasien TB mengisolasi dirinya sendiri
“Minder aja sih... Habis yang lain ya dari keluarga dan teman, tidak hanya
ibarat gaya hidupnya ngerokok ngga kena, karena ketakutan akan menginfeksi yang
tapi saya gaya hidupnya baik, sehat, kok lainnya, tetapi juga karena ketakutan akan
malah kena...” (P1) diskriminasi.

”Saya sakit aja lemas banget, jadi saya “Suami saya kalo dirumah gak mau
gak mau kalo anak saya kena tular saya, keluar-keluar… tetangga sih tahunya dia
nanti bisa jadi apa?....” (P2) sakit paru.. Tapi kami juga sampe pindah
rumah, soalnya tetangga pas depan suka
“Saya kasihan juga sih, N jadi
gosipin: itu sakit paru kan nular, saya kan
menderita… soalnya sendok sama piring
punya bayi… trus bilang ke kakak saya
dipisah, jadi dia langsung bilang tuh: Ini
yang punya rumah: kok mau sih terima
punya N, ini punya N, jangan dipake, ntar
orang ngontrak sakit paru kan bahaya…
ketularan… jadi dia marah sekali Bu kalo
jadi karena diomongin terus begitu suami
gelasnya misalnya dipake sama orang
saya jadi males tinggal situ, jadi kita
lain…jadi dia yang marah: penyakit TB
pindah…” (K3)
tuh nular loh” (K4)
“Nggak pernah mau keluar rumah kecuali
“Kalo suami saya keras jadinya ke anak
kalo ke sekolah, katanya gak enak karena
saya: jangan deket Bapak! Jangan tidur
harus pake masker, malu kali… temen-
sama Bapak! Jadi dia gak mau kalo
temennya juga gak ada yang kerumah…”
anaknya deket-deket Bu…” (K3)
(K4)
Paula Krisanty. Stigma Dan Diskriminasi Klien Dengan Tuberkulosis 107

“Saya gak mau bilang kalo saya sakit TB, Ditemukan juga oleh peneliti bukti kecil
abisan majikan saya bilang nanti saya bahwa kenyataannya teman dapat
nularin ke anaknya, makanya saya bilang melakukan diskriminasi terhadap klien TB.
aja saya cuma sakit paru aja, abis saya Akan tetapi, sebaliknya, klien menyatakan
kan kerjanya pembantu dirumahnya, nanti bahwa teman-teman mereka memberikan
gimana?...”(P3) dukungan dan perhatian.

“Yang saya lakukan mungkin, saya akan “ada juga teman saya... Alhamdullilah

koreksi diri saya kenapa kok saya bisa semua pada mendukung, gak menjauhi

terjangkit penyakit itu, pertama. Yang walaupun saya sakit „Paru‟...” (P2)

kedua mungkin saya akan mengurung


“...kalo saya gak ada di luar, paling
diri… Mungkin karena saya malu, saya
dipanggil sama teman saya disuruh main,
akan komunikasi dengan siapa, saat saya
atau disuruh apa. Mereka tahu kalo saya
komunikasi paling gak, saat saya batuk
sakit „Paru‟”, tapi mereka bilang itu mah
atau saya ngeluarkan dahak orang yang
gak bakalan menular, gitu Bu....”(P3)
saya ajak komunikasi pasti tertular dengan
secara tidak langsung” (M3) “ teman-teman saya sih biasa saja, khan
saya bagian produksi, kerjanya diluar
Keberadaan dan Penyebab Stigma dan lapangan, karena masker rata-rata
Diskriminasi oleh Keluarga dan Teman. dipakai untuk safety, ya semuanya
seragam make, jadi saya make masker,
Peneliti menemukan bukti kecil adanya
biasa aja tuh tanggepan yang lain....”(P4)
diskriminasi dalam keluarga.
Peneliti juga menemukan sedikit bukti
“Keluarga saya ga ada yang tahu saya
diskriminasi oleh tetangga.
TBC, Bu... Abis saya punya Asma, jadi
mereka tahunya ya Asma saya kumat... “… tetangga sih tahunya dia sakit paru..
Kalaupun pake masker, saya bilangnya Tapi kami juga sampe pindah rumah,
kayak orang kerja di konpeksi aja gitu...” soalnya tetangga pas depan suka gosipin:
(P3) itu sakit paru kan nular, saya kan punya
bayi… trus bilang ke kakak saya yang
“Keluarga besarnya isteri saya tahunya
punya rumah: kok mau sih terima orang
dia sakit paru, semua pada tahu, adeknya
ngontrak sakit paru kan bahaya…
juga tahu,... tapi biasa aja... gak terlalu
ditakutin, biasa aja....” (K1)
JKep. Vol. 1 No. 2 Mei 2014, hlm 103-111 108

jadi karena diomongin terus begitu suami “TBC itu penyakit menular, itukan batuk-
saya jadi males tinggal situ, jadi kita batuk disertai dengan bercak darah atau
pindah…” (K3) yang seperti itu sih yang saya tau...” (M4)

”Batuk yang berkepanjangan yang tidak


Keberadaan dan Penyebab Stigma dan
sembuh-sembuh, terus kebanyakan
Diskriminasi oleh Institusi
biasanya mati orang itu, karena tidak
Partisipan yang merupakan pegawai dari mampu untuk biaya berobat…” (M3)
suatu institusi kantor atau pabrik,
“Biasanya sih pertamanya orangnya dari
menyatakan mereka tidak mengalami
batuk, terus lemas, terus lama-kelamaan
diskriminasi dan tidak takut diperlakukan
bisa jadi TBC begitu, karena gak
diskriminasi oleh pimpinan mereka. Akan
diobatin...” (M1)
tetapi, mereka lebih memilih untuk tidak
menceritakan keadaan yang sesungguhnya
“Iya itukan dari bakteri, itu kan
(sakit parunya adalah TB) kepada
menyerang paru-paru, kalau paru-paru
pimpinan mereka.
diserang kaya batuk gitu, kalau batuknya
“Boss saya sih malah membantu, memberi parah itu bisa keluar darah dari batuknya
semangat berobat terus, malah dibantuin itu…” (M2)
biaya juga” (P1)
Sekalipun pasien dan anggota
“Boss saya taulah saya sakit „Paru‟, keluarga mengungkapkan keyakinan
kan… biasa ijin tiap ngambil obat dan mereka bahwa anggota masyarakat tidak
kontrol saya ijin. Trus katanya „Gak apa- melakukan diskriminasi melawan mereka,
apa, terusin aja berobat, biar kerja disini tetapi dua anggota masyarakat yang
gak terganggu” (P3) diwawancara menyatakan fakta bahwa
mereka melakukan diskriminasi atau
Keberadaan dan Penyebab Stigma dan
mengetahui adanya diskriminasi.
Diskriminasi dalam Masyarakat

Kebanyakan dari anggota masyarakat yang “Saya akan bikin surat ke Perusahaan,
diwawancara mengungkapkan bahwa klien sampai penyakit saya sembuh saya akan
TB sangat mudah diidentifikasi karena cuti akan ditempat saya karena memang
kelemahan fisik, kurus dan batuk. ada aturannya di tempat kerja saya untuk
malah berhenti kalo ketahuan sakit TB”…
(M3)
Paula Krisanty. Stigma Dan Diskriminasi Klien Dengan Tuberkulosis 109

”Kalo rekrut orang yang kerja terutama seseorang pada suatu bentuk karakteristik
dekat dengan keluarga inti saya, saya yang tidak diinginkan yang membentuk
pasti suruh foto ronsen, apa benar ya... stereotype, dalam hal ini stereotype yang
jadi pencegahannya seperti itu. Kalo ada di masyarakat tentang penyakit TB
orang-orang yang kerja dengan saya sebelumnya adalah penyakit orang miskin
ketahuan sakit TB, saya suruh cuti dulu, (low-caste disease).
sanatorium dirawat sampai sembuh, baru Klien TB juga menyembunyikan fakta
masuk lagi, kalo gak mau seperti itu saya bahwa mereka menderita TB dari anggota
langsung pecat...” (M4) masyarakat sekitar mereka tinggal. Dalam
penelitian ini, ditemukan bahwa masih ada
Hasil penelitian menunjukkan klien
anggota masyarakat yang melakukan
dengan TB menyatakan mereka
diskriminasi terhadap klien TB sekalipun
mengisolasi diri mereka sendiri dari
klien TB sendiri menolak mendapatkan
keluarga dan teman, lebih dikarenakan
perlakuan diskriminasi. Hal ini terjadi
untuk menghindari menularkan penyakit
bukan lagi karena stereotype yang ada
TB kepada keluarga dan teman mereka.
tetapi lebih kepada “takut tertular”.
Diskriminasi diri ini terjadi terutama
Sehingga muncul pendapat seperti yang
selama menjalani awal-awal pengobatan
disampaikan oleh salah satu partisipan
dari pengobatan delapan (8) bulan yang
kami:
direncanakan. Hal ini berarti klien dengan
TB takut akan mengalami diskriminasi ”Seandainya saya mendapat TB, yang
langsung, yang menurut Higashi (2011), saya lakukan mungkin, saya akan koreksi
adalah seseorang diperlakukan tidak adil diri saya kenapa kok saya bisa terjangkit
dibandingkan dengan orang lain yang penyakit itu, pertama. Yang kedua
dalam situasi yang sama, dan ini mungkin saya akan mengurung diri…”
disebabkan oleh salah satunya adalah (M3)
ketidakmampuan (disabilities).
Peneliti mengidentifikasi penyebab
Alasan lain klien TB mengisolasi diri
diskriminasi terhadap klien TB oleh
mereka sendiri dari teman-temannya
anggota masyarakat yang tidak
adalah untuk menghindari gossip dan
mempunyai hubungan dengan klien
kemungkinan diskriminasi. Hal ini sesuai
(seperti hubungan keluarga atau teman).
dengan pernyataan Jacoby (2005) bahwa
Penyebab-penyebab tersebut adalah
stigma juga dideskripsikan sebagai suatu
ketakutan akan risiko terinfeksi, adanya
suatu label yang menghubungkan
JKep. Vol. 1 No. 2 Mei 2014, hlm 103-111 110

hubungan antara TB dan penyebab diskriminasi ini akan membutuhkan


diskriminasi lain, khususnya kemiskinan, intervensi-intervensi yang disesuaikan
dan adanya hubungan antara TB dan dengan konteks lokal dan sistem sosial. Isu
perilaku yang tidak baik, khususnya kemungkinan risiko infeksi yang
minum alkohol dan merokok. nampaknya menyebab di kalangan
Sekalipun klien-klien TB secara rutin masyarakat luas, dapat diatasi melalui
mendapatkan penyuluhan bahwa TB pendidikan kesehatan yang tepat dengan
berhenti menginfeksi setelah dua minggu lebih memperhatikan peka budaya
minum obat rutin, diskriminasi diri (cultural sensitive) daerah setempat.
terhadap TB tetap tinggi terjadi selama
SIMPULAN
periode awal dari delapan bulan
Kata stigma dan diskriminasi
pengobatan. Penyuluhan kesehatan yang
seringkali rancu dalam penggunaannya.
lebih baik atau konseling kesehatan yang
Hal tersebut dapat menyebabkan
efektif dapat membantu untuk mengatasi
kebingungan dalam melakukan intervensi.
ketakutan-ketakutan ini: sejalan dengan
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
peningkatan multi-drug resistant (MDR)
stigma dan bentuk-bentuk diskriminasi
TB, dan extremely drug resistant (XDR)
yang ada mempunyai dampak ganda pada
TB, kemungkinan ketakutan-ketakutan
kontrol TB. Pertama, perhatian terhadap
klien TB menjadi lebih terjustifikasi.
seseorang yang teridentifikasi TB
Dalam kasus penderita TB yang tidak
membuat seseorang dengan batuk dalam
menjalani pengobatan atau yang baru-baru
jangka waktu yang lama menjadi
saja mengikuti program pengobatan,
penghalang untuk mencari pelayanan
peneliti yakin sangatlah baik untuk
kesehatan. Kedua, perhatian akan stigma
menyampaikan bahwa isolasi diri
dan diskriminasi pada klien TB menjadi
berdasarkan suatu ketakutan akan
penghalang untuk menjalani pengobatan
menularkan penyakit adalah pendekatan
jangka panjang karena klien TB takut akan
pragmatis untuk menurunkan transmisi
menjadi seseorang yang teridentifikasi
TB dan bentuk diskriminasi diri.
sebagai pengidap TB, yang pada akhirnya
Keputusan klien TB untuk
memnambah serius gejala dan
menyembunyikan TB mereka dari anggota
meningkatkan transmisi penyakit.
masyarakat nampaknya juga terjustifikasi,
Diskriminasi diri (self-discrimination)
terlihat dari adanya anggota masyarakat
adalah tipe yang paling banyak ditemukan
yang menyatakan bahwa benar mereka
pada semua klien TB dalam penelitian ini.
melakukan diskriminasi. Penyebab
Paula Krisanty. Stigma Dan Diskriminasi Klien Dengan Tuberkulosis 111

Sejak diskriminasi dan hubungannya DAFTAR RUJUKAN


dengan stigma sangatlah spesifik-konteks, Creswell, J. W. 2003. Research design:
Qualitative, quantitative and mixed
hanya dengan melanjutkan penelitian
methods approaches (2nd ed.).
dalam setting yang lebih spesifik dimana London : Sage.
kita dapat meningkatkan intervensi dan
Elliott, J. 2005. Using narratives in
lebih mendapatkan isu-isu penting terkait social research: Qualitative and
quantitative approaches, London :
dengan hal diatas. Oleh karena itu kita
Sage.
harus lebih memfokuskan diri pada isu
Higashi, T. 2011. The Prohibition of
diskriminasi diri yang nyatanya masih
Discrimination and Three Types of
banyak ditemukan pada awal-awal Discrimination Identified in the
Convention on the Rights of Persons
pengobatan TB.
with Disabilities.
Implikasi penelitian terhadap
Rieder, H. L. 2005. Epidemiological basis
pelayanan kesehatan berkaitan dengan
of tuberculosis control. Paris :
pentingnya sosialisasi dan pelatihan IUATLD.
kepada petugas kesehatan agar mampu
Smith, I. 2004. What is the health, social
memberikan penyuluhan kesehatan TB and economic burden of tuberculosis?
In Toman's tuberculosis case
yang lebih efektif dan mengena secara
detection, treatment and monitoring:
peka budaya (cultural sensitive). Selain questions and answers. (2nd ed.).
Geneva : WHO.
itu, pentingnya membuat perencanaan
program terkait dengan penelitian, Williams, J., Gonzales-Medina, D., &
Quan, L. 2011. Social stigma and
perkembangan dan implementasi kontrol
infectious disease. Applied
penyakit menular dengan lebih Technologies and Innovations, 4, 58-
70.
menekankan pada pemahaman akan
diskriminasi. World Health Organization. 2006. Global
Tuberculosis Control: surveillance,
planning, financing. WHO report
2006, Geneva : WHO.

World Health Organization . 2012. Global


Tuberculosis Report 2012. Geneva :
WHO.

You might also like