You are on page 1of 43

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN DENGAN GAGAL GINJAL KRONIS

OLEH :
KELOMPOK 5 :

1. Sri Ulis (131411123057)


2. Endah Eka Prayanti (131411123059)
3. Tutik Malichah (131411123061)
4. Riny Pujiyanti (131411123063)
5. Vivi Silvia Anggara (131411123065)
6. Wiwit widyawati (131411123067)
7. Dewi Noer Maemunah (131411123069)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah usaha yang diarahkan agar
setiap penduduk dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Upaya tersebut
sampai saat ini masih menjadi kendala yang disebabkan masih tingginya masalah
kesehatan, terutama yang berkaitan dengan penyakit yang dapat menghambat
kemampuan seseorang untuk hidup sehat. Penyakit – penyakit tersebut diantaranya
adalah Gagal Ginjal Kronik.
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir( end-stage renal
disease/ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah). Tanda dan gejala yang sering muncul pada pasien dengan
gagal ginjal kronik antara lain pada sistem kardiovaskuler, terjadi hipertensi, pitting
edema (kaki, tangan, dan sacrum), edema periorbital, friction rub pericardial dan
pembesaran vena leher. Pada sistem integrumen, warna kulit abu-abu mengkilat, kulit
kering, bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar. Pada
sistem pulmoner, krekls, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan kussmaul.
Pada sistem gastrointestinal, napas berbau amonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut,
anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran
gastrointestinal. Pada sistem neurologi terjadi kelemahan dan keletihan, konfusi,
disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki. Pada sistem
muskuluskeletal terjadi keram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang dan foot drop.
Sedangkan pada sistem reproduksi terjadi amenore pada wanita dan atropi testikuler
pada pria (Smeltzer,2001).
Salah satu penanganan untuk pasien gagal ginjal kronik adalah dengan dialysis.
Dialysis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses
tersebut. Tujuan dari dialysis adalah untuk mempertahankan kehidupan dan
kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Metode terapi mencakup
dialysis peritoneal, hemofiltrasi dan hemodialisis. Pada dialysis peritoneal, permukaan
peritoneum atau lapisan dinding abdomen berfungsi sebagai membrane semipermeabel.
Sedangkan hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan.
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dengan gagal ginjal
kronik yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. Pada
hemodialisis, membran merupakan bagian dialiser atau ginjal artificial. Hemodialisis
dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser)
yang terdiri dari dua kompartemen terpisah.
Pada pasien dengan gagal ginjal kronik, hemodialisa akan mencegah kematian.
Namun demikian, hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal
dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik atau endokrin yang
dilaksanakan oleh ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapi terhadap kualitas
hidup pasien. Pasien harus menjalani dialisis sepanjang hidupnya atau sampai mendapat
ginjal baru melalui operasi pencangkokan (Smeltzer, 2001).
B. Rumusan Masalah
“Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan pada klien dengan gagal ginjal kronik/CKD?”
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Agar mahasiswa/i mampu memahami dan melakukan asuhan keperawatan pada klien
dengan gagal ginjal kronik/CKD.
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa dapat mengetahui anatomi dan fisiologi ginjal
b. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian gagal ginjal kronik
c. Mahasiswa dapat menyebutkan klasifikasi gagal ginjal kronik
d. Mahasiswa dapat menyebutkan etiologi gagal ginjal kronik
e. Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi gagal ginjal kronik
f. Mahasiswa mampu menyebutkan manifestasi klinis gagal ginjal kronik
g. Mahasiswa mampu menyebutkan komplikasi gagal ginjal kronik
h. Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan diagnostik pada gagal ginjal kronik
i. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik
j. Mahasiswa mampu menyebutkan prognosis gagal ginjal kronik
k. Mahasiswa dapat menyususn konsep asuhan keperawatan pada gagal ginjal kronik
D. Manfaat
1. Sebagai acuan mahasiswa dalam menyusun asuhan keperawatan pada klien dengan
gagal ginjal kronis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Fisiologi Ginjal
Gambar 1. Struktur Ginjal

Manusia memiliki sepasang ginjal yang terletak di belakang perut atau abdomen.


Ginjal ini terletak di kanan dan kiri tulang belakang, di bawah hati dan limpa. Di bagian
atas (superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Ginjal
adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian atas.
Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Kedua
ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit
di bawah ginjal kiri untuk memberi tempat untuk hati.

Sebagian dari bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke sebelas dan duabelas.
Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal)
yang membantu meredam goncangan. Berat dan besar ginjal bervariasi; hal ini
tergantung jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi lain.Pada orang
dewasa, rata-rata ginjal memiliki ukuran panjang sekitar 11,5 cm, lebar sekitar 6 cm dan
ketebalan 3,5 cm dengan berat sekitar 120-170 gram atau kurang lebih 0,4% dari berat
badan. Ginjal memiliki bentuk seperti kacang dengan lekukan yang menghadap ke
dalam. Di tiap ginjal terdapat bukaan yang disebut hilus yang
menghubungkan arteri renal, vena renal, dan ureter.

Bagian paling luar dari ginjal disebut korteks, bagian lebih dalam lagi
disebut medulla. Bagian paling dalam disebut pelvis. Pada bagianmedulla ginjal manusia
dapat pula dilihat adanya piramida yang merupakan bukaan saluran pengumpul. Ginjal
dibungkus oleh jaringan fibros tipis dan mengkilap yang disebut kapsula fibrosa ginjal
dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak perirenal. Di sebelahatas ginjal terdapat
kelenjar adrenal. Ginjal dan kelenjar adrenal dibungkus oleh fasia gerota. Unit fungsional
dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih dari satu juta buah dalam satu
ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut
(terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi
cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan
dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran
lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urine.
Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang
disebut korpuskula (atau badan Malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran
(tubulus). Setiap korpuskula mengandung gulungan kapiler darah yang
disebut glomerulus yang berada dalam kapsula Bowman. Setiap glomerulus mendapat
aliran darah dari arteri aferen. Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk
filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang
berpori dari glomerulus dan kapsula Bowman karena adanya tekanan dari darah yang
mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalan tubulus ginjal.
Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri eferen. Di antara darah
dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam kapsula Bowman terdapat tiga
lapisan:
1. Kapiler selapis sel endotelium pada glomerulus

2. Lapisan kaya protein sebagai membran dasar

3. Selapis sel epitel melapisi dinding kapsula Bowman (podosit)


Dengan bantuan tekanan, cairan dalan darah didorong keluar dari glomerulus,
melewati ketiga lapisan tersebut dan masuk ke dalam ruangan dalam kapsula Bowman
dalam bentuk filtrat glomerular. Filtrat plasma darah tidak mengandung sel darah
ataupun molekul protein yang besar. Protein dalam bentuk molekul kecil dapat
ditemukan dalam filtrat ini. Darah manusia melewati ginjal sebanyak 350 kali setiap hari
dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan 125 cc filtrat glomerular per menitnya.
Laju penyaringan glomerular ini digunakan untuk tes diagnosa fungsi ginjal.

Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang


mengalirkan filtrat glomerular dari kapsula Bowman disebut tubulus konvulasi
proksimal. Bagian selanjutnya adalah lengkung Henle yang bermuara pada tubulus
konvulasi distal. Lengkung Henle diberi nama berdasar penemunya yaitu Friedrich
Gustav Jakob Henle pada awal tahun 1860-an. Lengkung Henle menjaga
gradien osmotikdalam pertukaran lawan arus yang digunakan untuk filtrasi. Sel yang
melapisi tubulus memiliki banyak mitokondria yang menghasilkanATP dan
memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk menyerap kembali glukosa, asam amino,
dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air (97.7%) dalam filtrat masuk ke dalam
tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui osmosis. Cairan mengalir dari tubulus
konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang terdiri dari:

 Tubulus penghubung

 Tubulus kolektivus kortikal

 Tubulus kloektivus medularis

Tempat lengkung Henle bersinggungan dengan arteri aferen disebut aparatus


juxtaglomerular, mengandung macula densa dan sel juxtaglomerular. Sel juxtaglomerular
adalah tempat terjadinya sintesis dan sekresi renin. Cairan menjadi makin kental di
sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin, yang kemudian dibawa
ke kandung kemih melewati ureter (Price, 2005).

B. Pengertian
Gagal ginjal kronis (CKD/ESRD) adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan
ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lainnya dalam tubuh). Ini dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti
diabetes mellitus, glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat
dikontrol, obstruksi traktus urinarius, lesi herediter, seperti penyakit ginjal polikistik,
gangguan vaskuler, infeksi, medikasi, atau agen toksik. Lingkungan dan agens berbahaya
yang mempengaruhi gagal ginjal kronis mencakup timah, kadmium,merkuri dan
kromium (Smeltzer,2001).

C. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronis/CKD


Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan Cronic Kidney Disease (CKD). Pada
dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure (CRF), namun pada
terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada
kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien
datang/ merasa masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk
menentukan derajat (stage) menggunakan terminology CCT (clearance creatinin test)
dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF (cronic renal failure) hanya 3
stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan
terminal stage bila menggunakan istilah CRF.
1. Gagal ginjal kronik  
/ Cronoic Kidney Disease (CKD) dibagi 3 stadium :
a. Stadium  
I : Penurunan cadangan ginjal
 Kreatinin serum dan kadar BUN normal
 Asimptomatik
 Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
b. Stadium II : Insufisiensi ginjal
 Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam diet)
 Kadar kreatinin serum meningkat
 Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:
1. Ringan : 40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2. Sedang : 15% - 40% fungsi ginjal normal
3. Kondisi berat : 2% - 20% fungsi ginjal normal
c. Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia
 Kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat
 Ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan elektrolit
 Air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010
2. KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcome) merekomendasikan pembagian
CKD berdasarkan:
 Stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) :
a. Stadium 1 
  : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan
GFR yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2).
b. Stadium 2 
  : Kelainan ginjal dengan GFR antara 60 -89 mL/menit/1,73 m2
c. Stadium 3a : kelainan ginjal dengan GFR antara 45-59 mL/menit/1,73m2
d. Stadium 3b : kelainan ginjal dengan GFR 30-44
e. Stadium 4 
  : kelainan ginjal dengan GFR antara 15-29mL/menit/1,73m2
f. Stadium 5 
  : kelainan ginjal dengan GFR < 15 mL/menit/1,73m 
2 atau gagal

ginjal terminal.
 Stadium menurut kadar albumin
Category AER ACR (approximate equivalent) Terms
(mg/24 hours
(mg/mmol) (mg/g)
A1 <30 <30 <30 Normal to
mildly
increased
A2 30-300 3-30 30-300 Moderatly
increased*
A3 >300 >30 >300 Severely
increased**
Abbreviations : AER, albumin excretion rate;ACR, albumin-to-creatinin ratio; CKD,
chronic kidney disease.
*Relative to young adult level.
**Including nephrotic syndrome (albumin excretion usually >2200mg/24 hours; ACR
>2200mg/g; >220 mg/mmol).
D. Etiologi
Penyebab CKD diberbagai negara hampir sama. Berdasarkan penyebabnya,
NKF K/DOQI membagi CKG menjadi 3 kelompok besar (Tjokroprawiro dkk 2007):
a. Penyakit Ginjal Diabetik: Diabetes tipe 1 dan 2
b. Penyakit Non-Diabetik:
1) Penyakit glomerulus (penyakit otoimun, infeksi sistemik, obat-obatan, keganasan)
2) Penyakit-penyakit pembuluh darah (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)
3) Penyakit-penyakit tubulointerstisiel (ISK, batu, obstruksi, keracunan obat)
4) Penyakit-penyakit kista (penyakit ginjal polikistik)
c. Penyakit pada Transplantasi
1) Rejeksi kronik
2) Toksisitas obat (siklosporin atau takrolimus)
3) Penyakit rekuren (penyakit glomerulus)
4) Glomerulopati transplant
Penyebab CKD yang menjalani hemodialisa di Indonesia menurut
PERNEFRI tahun 2000, adalah
a) Glomeruloneritis 46,39%
b) Diabetes Mellitus 18,65%
c) Obstruksi dan infeksi 12,85%
d) Hipertensi 8,46%
e) Sebab lain 13,65%
Penyebab lain adalah : infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskuler
hipersensitif, gangguan jaringan penyambung, gangguan kongenital dan herediter,
gangguan metabolism, nefropati toksik, nefropati obstruksi, dan intoksikasi obat.

E. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan
yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak
bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya
gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan
ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal
yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan semakin berat.
1. Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang
sebenarnya dibersihkan oleh ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat
dideteksi dengan mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin.
Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin
akan menurunkan dan kadar kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea
darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling
sensitif dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN
tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam
diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid.
2. Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan urin secara
normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan
masukan cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium
dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan
hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin dan
kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai
kecenderungan untuk kwehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan
hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang
semakin memperburuk status uremik.
3. Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolic seiring
dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk
menyekresi ammonia (NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) .
penurunan ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi
4. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel
darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan
akibat status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal,
produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina dan
sesak napas.
5. Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme
kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling
timbal balik, jika salah satunya meningkat, maka yang satu menurun. Dengan
menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum
fosfat dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium
serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun, pada gagal
ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon
dan mengakibatkan perubahan pada tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga
metabolit aktif vitamin D (1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di
ginjal menurun.
6. Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat dan
keseimbangan parathormon.
(Price, 2005).

F. Manifestasi klinis
Pasien akan menunjukkan beberapa randa dan gejala, keparahan kondisi bergantung
pada tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari dan usia pasien.
1. Manifestasi kardiovaskular : hipertensi, gagal ginjal kongestif, edema pulmonal,
perikarditis.
2. Dermatologis ; gatal-gatal hebat (pruritus), serangan uremik tidak umum karena
pengobatan dini dan agresif.
3. Gastrointestinal : anoreksia, mual, muntah, cegukan, penurunan aliran saliva,
haus, rasa kecap logam dalam mulut, kehilangan kemampuan penghidu dan
pengecap, parotitis atau stomatitis.
4. Neuromuskular : perubahan tingkat kesadaran, kacau mental, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.
5. Hematologis : kecenderungan perdarahan.
6. Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum.
7. Pasien secara bertahap akan lebih mengantuk, karakter pernapasan menjadi
kusmaul, terjadi koma dalam, konvulsi (kedutan mioklonik) atau kedutan otot.
( Baughman, 2000).
G. Komplikasi
1. Hiperkalemi akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme dan
masukan diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dan kehilangan darah selama
hemodialisa.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
6. Asidosis metabolik
7. Osteodistropi ginjal
8. Sepsis
9. Neuropati perifer
10. Hiperuremia

H. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang pada Chronic Kidney Disease (CKD)
a. Laboratorium
1) Pemeriksaan analisa urin
Menggunakan tes dipstick, mendeteksi adanya hematuria, piuria, dan proteinuria
Tabel 2. Deskripsi warna urin
(Sumber: Pedoman interpretasi data klinik: Kemenkes RI. 2011)
2) Pemeriksaan mikroskopis urin
a) Pada anak banyak ditemukan hyalin cast
b) Nekrosis tubular akut banyak ditemukan granular cast
c) Pada kasus infeksi ditunjukkan dengan adanya red cell cast
d) White cell cast biasanya terjadi pada acute pyelonephritis atau interstitial
nephritis
Tabel 3. Sedimentasi urin:
(Sumber: Pedoman interpretasi data klinik: Kemenkes RI., 2011)

Berikut hasil pemeriksaan urinalisis yang berkaitan dengan adanya penyakit pada
ginjal:
Tabel 4. Hasil urinalisis penyakit pada ginjal

(Sumber: KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease 2012).
3) Pemeriksaan kimiawi serum
Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum merupakan tes yang paling
penting, sedangkan pemeriksaan kadar natrium, kalium, kalsium, fosfat,
bikarbonat, alkalin fosfatase, hormon paratiroid (PTH), kolesterol, fraksi lipid
penting untuk terapi dan pencegahan komplikasi CKD. Nilai normal untuk kadar
urea dalam darah berkisar 8-24 mg/dl pada laki-laki dan pada wanita berkisar 6-21
mg/dl. Nilai normal kreatinin berkisar antara 0,6-1,3 mg/dl (SI: 62-115 µmol/L).
4) Penghitungan laju filtrasi gromerulus
Pengukuran ini dimaksudkan untuk menilai jumlah nefron yang masih
berfungsi untuk melakukan filtrasi. Pemeriksaan eGFR (Estimated Glomerular
Filtratin Rate) adalah perkiraan untuk menentukan kemampuan fungsi ginjal dalam
menyaring atau membersihkan darah menggunakan perhitungan rumus schwartz
berdasarkan kreatinin darah, umur dan jenis kelamin. Namun demikian,
perhitungan eGFR tidak bisa digunakan pada wanita hamil, obesitas, sangat kurus,
asites, anak-anak dan usia lanjut (diatas 65 tahun). Untuk keadaan seperti ini harus
melakukan CCT (Creatinin Clerence Test).
Pemeriksaan CCT (Creatinin Clerence Test) untuk menentukan
kemampuan fungsi ginjal lebih teliti dalam menyaring atau membersihkan darah,
menggunakan perhitungan berdasarkan pengukuran kadar kreatinin darah,
kreatinin urin 24 jam, berat badan, tinggi badan, dan volume urin yang
dikumpulkan selama 24 jam, pengumpulan urin selama 24 jam tidak boleh ada
yang terbuang.
Berikut rumus perhitungan GFR (Gromerulo Filtration Rate):
a) Formula schwartz:

b) Menurut Traub SL dan Johnson CE

Metode perhitungan ini untuk anak 1 – 18 tahun.

c) Metode Jelliffe

Metode Jellife dipakai pada pasien dewasa usia 20-80 tahun.


d) Metode Cockroff dan Gault

Metode ini digunakan bagi seluruh pasien dewasa.


Tabel 6. Kisaran nilai normal Klirens kreatinin (CCr)

(Sumber: Pedoman interpretasi data klinik: Kemenkes RI. 2011).

b. Pencitraan
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui penyebab dari CKD.
Pemeriksaan pencintraan meliputi:
1) Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.
2) Ultrasonografi: merupakan pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan karena
aman, mudah, dan cukup memberikan informasi. USG merupakan modalitas
terpilih untuk kemungkinan penyakit ginjal obstruktif. Meskipun USG kurang
sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi massa, tetapi USG dapat digunakan
untuk membedakan kista jinak dengan tumor solid, juga sering digunakan untuk
menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.
Gambar 1. Ultrasonografi CKD

(Sumber: University of Virginia 2013).

3) CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi pada
pemeriksaan USG dan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk
mengidentifikasi batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari pada pasien
dengan gangguan ginjal untuk menghindari terjadinya gagal ginjal akut.
Gambar 2. CT Scan gagal ginjal
(Sumber: American College of Radiology, 2015)

4) MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT tetapi


tidak dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk mendeteksi adanya
trombosis vena renalis. Magnetic resonance angiography juga bermanfaat untuk
mendiagnosis stenosis arteri renalis.
5) Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan menggunakan
radioisotope scanning 99m-technetium dimercaptosuccinic acid (DMSA).
Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan intravenous pyelography (IVP) untuk
mendeteksi parut ginjal dan merupakan diagnosis standar untuk mendeteksi
nefropati refluks.
6) Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.
7) Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik untuk
mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan ini
diindikasikan apabila dari anamnesis didapatkan kecurigaan gagal ginjal
meskipun USG dan CT scan tidak menunjukkan adanya hidronefrosis.
8) Pemeriksaan tulang: Hal ini bermanfaat untuk mengevaluasi hiperpartiroid
sekunder yang merupakan bagian dari osteodistrofi, dan juga perkiraan usia
tulang untuk memberikan terapi hormon pertumbuhan.
Gambar 3. CT Scan pada tibia

(Sumber: Justine Bacchetta, 2009)


Tabel 7. Hasil pencitraan pada kelainan ginjal

(Sumber: KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease 2012).

I. Penatalaksanaan
1. Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal Desease
(CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun.
Tujuan terapi konservatif :
a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi.
b. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia.
c. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal.
d. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
Prinsip terapi konservatif :
a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal.
1) Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
2) Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan
hipotensi.
3) Hindari gangguan keseimbangan elektrolit.
4) Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani.
5) Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi.
6) Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat.
7) Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa indikasi medis
yang kuat.
b. Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat
1) Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular.
2) Kendalikan terapi ISK.
3) Diet protein yang proporsional.
4) Kendalikan hiperfosfatemia.
5) Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%.
6) Terapi hIperfosfatemia.
7) Terapi keadaan asidosis metabolik.
8) Kendalikan keadaan hiperglikemia.
c. Terapi alleviative gejala asotemia
1) Pembatasan konsumsi protein hewani.
2) Terapi keluhan gatal-gatal.
3) Terapi keluhan gastrointestinal.
4) Terapi keluhan neuromuskuler.
5) Terapi keluhan tulang dan sendi.
6) Terapi anemia.
7) Terapi setiap infeksi.
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan serum
K 
+ (hiperkalemia ) :

1) Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.


2) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama dengan 7,35
atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.
b. Anemia
1) Anemia Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon
eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating Faktor). Anemia ini diterapi dengan
pemberian Recombinant Human Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian
30-530 U per kg BB.

2) Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan adalah
membuang toksin asotemia dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis.
3) Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran cerna dan
kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti hemodialisis ). Klien yang
mengalami anemia, tranfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi alternatif
,murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-hati.
Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal :
a) HCT < atau sama dengan 20 %
b) Hb < atau sama dengan 7 mg5
c) Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum anemia 
   dan high
output heart failure.
Komplikasi tranfusi darah :
a) Hemosiderosis
b) Supresi sumsum tulang
c) Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia
d) Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV
e) Pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah, penting untuk rencana
transplantasi ginjal.
c. Kelainan Kulit
1) Pruritus (uremic itching)
Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal, insiden meningkat
pada klien yang mengalami HD.
Keluhan :
a) Bersifat subyektif
b) Bersifat obyektif : kulit kering, prurigo nodularis, keratotic papula dan lichen
symply
Beberapa pilihan terapi :
a) Mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme
b) Terapi lokal : topikal emmolient ( tripel lanolin )
c) Fototerapi dengan sinar UV-B 2x perminggu selama 2-6 mg, terapi ini bisa
diulang apabila diperlukan

d) Pemberian obat
 Diphenhidramine 25-50 P.O
 Hidroxyzine 10 mg P.O 

2) Easy Bruishing
Kecenderungan perdarahan pada kulit dan selaput serosa berhubungan denga
retensi toksin asotemia dan gangguan fungsi trombosit. Terapi yang diperlukan
adalah tindakan dialisis.
d. Kelainan Neuromuskular
Terapi pilihannya  
:
 HD reguler
 Obat-obatan : Diasepam, sedatif
 Operasi sub total paratiroidektomi.
e. Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa : volum dependen hipertensi, tipe
vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program terapinya meliputi :
 Restriksi garam dapur
 Diuresis dan Ultrafiltrasi
 Obat-obat antihipertensi.
3. Terapi pengganti
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Dialisis yang meliputi :
1) Hemodialisa
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal
(LFG). Secara khusus, indikasi HD adalah :
1. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih.
2. Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat
indikasi :
 Hiperkalemia > 17 mg/lt
 Asidosis metabolik dengan pH darah < 7.2
 Kegagalan terapi konservatif
 Kadar ureum > 200 mg % dan keadaan gawat pasien uremia, asidosis
metabolik berat, hiperkalemia, perikarditis, efusi, edema paru ringan atau
berat atau kreatinin tinggi dalam darah dengan nilai kreatinin > 100 mg %
 Kelebihan cairan
 Mual dan muntah hebat
 BUN > 100 mg/ dl (BUN = 2,14 x nilai ureum )
 preparat (gagal ginjal dengan kasus bedah )
 Sindrom kelebihan air
 Intoksidasi obat jenis barbiturat
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/ neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi berat, muntah persisten,
dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% atau > 40 mmol per liter dan
kreatinin > 10 mg% atau > 90 mmol perliter. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5
dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar,
2006).
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
(2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari
15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi
dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani
dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu
apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis
metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan
ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik
dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada
adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).

2) Dialisis Peritoneal (DP)


Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-
pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik
disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan
pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan
di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
b. Transplantasi ginjal atau cangkok ginjal.
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu :
 Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah
 Kualitas hidup normal kembali
 Masa hidup (survival rate) lebih lama
 Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
 Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

J. Prognosis

Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis dijaga sebagai Data


epidemiologi telah menunjukkan bahwa menyebabkan semua kematian. (Tingkat
kematian secara keseluruhan) meningkat sebagai penurunan fungsi ginjal. Penyebab
utama kematian pada pasien dengan penyakit ginjal kronis adalah penyakit jantung,
terlepas dari apakah ada perkembangan ke tahap 5.

Sementara terapi pengganti ginjal dapat mempertahankan pasien tanpa batas


waktu dan memperpanjang kehidupan, kualitas hidup adalah sangat terpengaruh ginjal
transplantasi meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan stadium 5 CKD
signifikan bila dibandingkan dengan terapi pilihan. Namun, hal ini terkait dengan
mortalitas jangka pendek meningkat (akibat komplikasi dari operasi). Transplantasi
samping, intensitas tinggi rumah hemodialisis muncul terkait dengan kelangsungan hidup
baik dan [kualitas [hidup]] yang lebih besar, jika dibandingkan dengan tiga kali
seminggu konvensional hemodialisis dan dialisis peritoneal.
WOC
BAB III

Asuhan Keperawatan Klien dengan Gagal Ginjal Kronis


A. Pengkajian
1. Keluhan Utama.
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output sedikit
sampai tidak bisa BAK,gelisah sampaipenurunan kesadaran, tidak selera makan
(anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau (ureum),dan
gatal pada kulit.
2. Riwayat Kesehatan sekarang.
Kaji onset penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas,
kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya nafas berbau ammonia, dan
perubahan pemenuhan nutrisi. Kaji sudah kemana saja klien minta pertolongan untuk
mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatan apa saja.
3. Riwayat Kesehatan Dahulu.
Kaji adanya riwayat penyakit gagal ginjalakut, infeksi saluran kemih,payah jantung,
penggunaan obat-obat nefrotosik, Benign Prostatic Hyperplasia, dan prostatektomi.
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang
berulang, penyakit diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya
yang menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat
pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat
kemudian dokumentasikan.
4. Psikososial.
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan dialysis akan
menyebabkan pendeita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan
dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan, gangguan konsep diri
(gambaran diri) dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).

5. Pemeriksaan Fisik.
1. Keadaan umum dan TTV.
Keadaan umum klien lemah dan terlihat ssakit berat. Tingkat kesadaran menurun
sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat memenuhi sistem saraf pusat. Pada saat
TTV sering didapatkan adanya perubahan; RR meningkat. Tekanan darah terjadi
perubahan dari hipertensi ringan sampai berat. Dan gangguan konduksi elektrikal
otot ventrikel.
Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai akibat
dari penurunan produksieritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia
sel darah merah,dan kehilangan darah
2. B1 (Breathing).
Klien bernafas dengan bau urine (fetor uremic) sering didapatkan pada fase ini.
Respons uremia didapatkan adanya pernafasan kussmaul. Pola nafas cepat dan
dalam merupakan upaya untuk melakukan pembuangan korbon dioksida yang
menumpuk di sirkulasi.
3. B2 (Blood).
Pada kondisi uremia berat, tindakan auskultasi perawat akan menemukan adanya
friction rub yang merupakan tanda khas efusi pericardial. Didapatkan tanda dan
gejala gagal jantung kongestif, TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik,
palpitasi, nyeri dada atau angina dan sesak napas, gangguan irama jantung, edema
penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan curah jantung akibat
hiperkalemia dan gangguan konduksi elektrikal otot ventrikel.
Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai akibat
dari penurunan produksi eritropoetin lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia
sel darah merah dan kehilangan darah biasanya dari saluran GI kecenderungan
mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia.
4. B3 (Brain).
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral seperti perubahan
proses piker dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya kejang, adanya
neuropati perifer, burning feet syndrome, restless leg syndrome, kram otot dan
nyeri otot.
5. B4 (Bladder).
Penurunan urine output < 400 ml/hari sampai anuri terjadi penurunan libido berat.
6. B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia dan diare sekunder dari bau mulut
ammonia, peradangan mukosa mulut dan ulkus saluran cerna sehingga sering
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
7. B6 (Bone).
Didapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot,nyeri kaki (memburuk
saat malam hari), kulit gatal,ada/berulangnya infeksi, pruritus, demam (sepsis,
dehidrasi), ptekia, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium
pada kulit, jaringan lunak dan sendi keterbatasan gerak sendi.
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia dan
penurunan perfusi perifer dari hipertensi.
6. Pengkajian Diagnostik
8. Laboratorium.
1) Laju Endap Darah : meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan
hipoalbumenia. Anemia normositer normokrom dan jumlah retikulosit yang
rendah.
2) Ureum dan kreatinin : meninggi,biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20:1.Perbandingan ini bisa meninggi oleh karena
adanya perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid
dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang : ureum lebih kecil
dari kreatinin, pada diet rendah protein, tesklirens yang menurun.
3) Hiponatremi : umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia :biasanya
terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya diurisis.

4) Hipokalsemia dan hiperfosfosfatmia : terjadi karena berkurangnya sintesis


vitamin D3 pada GGK.
5) Phosphate alkaline meninggi akibat gangguan metabolise tulang, terutama
isoenzim fosfotase lindi tulang.
6) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolmia; umumnya disebabkan gangguan
metabolism dan diet rendah protein.
7) Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal
ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
8) Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolism lemak, disebabkan peninggian
hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
9) Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang
menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun,
semuanya disebabkan retensi asam-asam organic pada ginjal.
9. Radiologi.
1) Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal ( adanya batu atau
adanya obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal,oleh sebab itu
penderita diharapkan tidak puasa.
2) Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises dan uretet.
Pemeriksaan lain mempunyai risiko penurunan faal ginjal pada keadaan
tertentu. Misalnya : usia lanjut, DM dan nefropati asam urat.
3) USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung
kemih dan prostat.
4) Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vascular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
5) EKG untuk melihat kemungkinan : hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis,aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).

7. Penatalaksanaan Medis.
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan mencegah
komplikasi, yaitu sebagai berikut :
1) Dialisis.
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius,
seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas
biokimia; menyebabkan cairan, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara
bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan; dan membantu penyembuhan
luka.
2) Koreksi hiperkalemi.
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemia dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat adalah jangan
menimbulkan hipekalemia. Selain dengan pemeriksaan darah, hiperkalemia juga
dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia, maka
pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium, pemberian Na
Bikarbonat,dan pemberian infuse glukosa.
3) Koreksi anemia.
Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi faktor defisiensi, kemudian
mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengendalian gagal
ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Transfusi darah hanya dapat
diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya insufiensi koroner.
4) Koreksi asidosis.
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natrium
bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 100 mEq
natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperlukan dapat diulang.
Hemodialisis dan dialysis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
5) Pengendalian hipertensi. Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa dan
vasodilator dilakukan. Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi
harus hati-hati karena semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
6) Transplantasi ginjal.
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK maka seluruh faal ginjal
diganti oleh ginjal yang baru.
B. Diagnosa Keperawatan.
Menurut Smeltzer& Bare (2002: 1452-1456) diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul pada klien dengan penyakit ginjal kronik adalah:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin, diet
berlebih serta retensi cairan dan natrium.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet, perubahan membran mukosa.
3.  Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran kapiler-alveolar
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah
dan prosedur dialisis.
5. Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan peran,
perubahan citra tubuh dan fungsi seksual.

C. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1 Kelebihan volume cairan NOC : NIC :
berhubungan dengan  Electrolit and acid base Fluid management :
penurunan haluaran urin, balance.  Timbang popok/pembalut jika
diet berlebih serta retensi  Fluid balance. diperlukan.
cairan dan natrium  Pertahankan catatan intake dan
Kriteria Hasil: output yang akurat.
Definisi : Retensi cairan  Terbebas dari edema,  Pasang urin kateter jika
isotomik meningkat efusi, anaskara. diperlukan.
 Bunyi nafas bersih, tidak  Monitor hasil lAb yang sesuai
Batasan karakteristik : ada dyspneu/ortopneu. dengan retensi cairan (BUN ,
o Berat badan meningkat  Terbebas dari distensi Hmt , osmolalitas urin ).
pada waktu yang vena jugularis, reflek  Monitor status hemodinamik
singkat. hepatojugular (+). termasuk CVP, MAP, PAP,
o Asupan berlebihan  Memelihara tekanan dan PCWP.
dibanding output. vena sentral, tekanan  Monitor vital sign.
o Tekanan darah berubah, kapiler paru, output
 Monitor indikasi retensi /
tekanan arteri jantung dan vital sign
kelebihan cairan (cracles, CVP
pulmonalis berubah, dalam batas normal.
, edema, distensi vena leher,
peningkatan CVP.  Terbebas dari kelelahan,
asites).
o Distensi vena jugularis. kecemasan atau
 Kaji lokasi dan luas edema.
o Perubahan pada pola kebingungan.
 Monitor masukan makanan /
nafas, dyspnoe/sesak  Menjelaskanindikator
cairan dan hitung intake kalori
nafas, orthopnoe, suara kelebihan cairan
harian.
nafas abnormal (Rales
atau crakles),  Monitor status nutrisi.
kongestikemacetan paru,  Berikan diuretik sesuai
pleural effusion. instruksi.
o Hb dan hematokrit  Batasi masukan cairan pada
menurun, perubahan keadaan hiponatrermi dilusi
elektrolit, khususnya dengan serum Na < 130
perubahan berat jenis. mEq/l.
o Suara jantung SIII.  Kolaborasi dokter jika tanda
o Reflek hepatojugular cairan berlebih muncul
positif. memburuk
o Oliguria, azotemia.
o Perubahan status mental, Fluid Monitoring :
kegelisahan, kecemasan  Tentukan riwayat jumlah dan
tipe intake cairan dan
Faktor-faktor yang eliminasi.
berhubungan :  Tentukan kemungkinan faktor
 Mekanisme pengaturan resiko dari ketidak seimbangan
melemah. cairan (Hipertermia, terapi
 Asupan cairan diuretik, kelainan renal, gagal
berlebihan. jantung, diaporesis, disfungsi
 Asupan natrium hati, dll).
berlebihan  Monitor berat badan.
 Monitor serum dan elektrolit
urine.
 Monitor serum dan osmilalitas
urine.
 Monitor BP, HR, dan RR.
 Monitor tekanan darah
orthostatik dan perubahan
irama jantung.
 Monitor parameter
hemodinamik infasif.
 Catat secara akutar intake dan
output.
 Monitor adanya distensi leher,
rinchi, eodem perifer dan
penambahan BB.
 Monitor tanda dan gejala dari
odema.
2 Ketidakseimbangan nutrisi NOC : NIC :
kurang dari kebutuhan Nutritional Status : food Nutrition Management
and Fluid Intake  Kaji adanya alergi makanan.
tubuh berhubungan dengan
 Kolaborasi dengan ahli gizi
anoreksia, mual, muntah, Kriteria Hasil : untuk menentukan jumlah
pembatasan diet,  Adanya peningkatan kalori dan nutrisi yang
perubahan membran berat badan sesuai dibutuhkan pasien.
dengan tujuan.  Anjurkan pasien untuk
mukosa.
 Berat badan ideal sesuai meningkatkan intake Fe.
Kurang pengetahuan dengan tinggi badan.  Anjurkan pasien untuk
tentang kondisi dan  Mampu mengidentifikasi meningkatkan protein dan
kebutuhan nutrisi. vitamin C.
penanganan.
 Tidak ada tanda tanda  Berikan substansi gula.
malnutrisi.  Yakinkan diet yang dimakan
Definisi : Intake nutrisi  Tidak terjadi penurunan mengandung tinggi serat untuk
tidak cukup untuk berat badan yang berarti mencegah konstipasi.
keperluan metabolisme  Berikan makanan yang terpilih
tubuh. (sudah dikonsultasikan dengan
ahli gizi).
Batasan karakteristik :  Ajarkan pasien bagaimana
 Berat badan 20 % atau membuat catatan makanan
lebih di bawah ideal. harian.
  Dilaporkan adanya  Monitor jumlah nutrisi dan
intake makanan yang kandungan kalori.
kurang dari RDA  Berikan informasi tentang
(Recomended Daily kebutuhan nutrisi.
Allowance).  Kaji kemampuan pasien untuk
 Membran mukosa dan mendapatkan nutrisi yang
konjungtiva pucat. dibutuhkan
 Kelemahan otot yang
digunakan untuk Nutrition Monitoring
menelan/mengunyah.  BB pasien dalam batas normal.
 Luka, inflamasi pada  Monitor adanya penurunan
rongga mulut. berat badan.
 Mudah merasa kenyang,  Monitor tipe dan jumlah
sesaat setelah aktivitas yang biasa dilakukan.
mengunyah makanan.  Monitor interaksi anak atau
 Dilaporkan atau fakta orangtua selama makan.
adanya kekurangan  Monitor lingkungan selama
makanan. makan.
 Dilaporkan adanya  Jadwalkan pengobatan dan
perubahan sensasi rasa. tindakan tidak selama jam
 Perasaan makan.
ketidakmampuan untuk   Monitor kulit kering dan
 mengunyah makanan. perubahan pigmentasi.
 Miskonsepsi.  Monitor turgor kulit.
 Kehilangan BB dengan  Monitor kekeringan, rambut
makanan  cukup. kusam, dan mudah patah.
 Keengganan untuk  Monitor mual dan muntah.
makan.  Monitor kadar albumin, total
 Kram pada abdomen. protein, Hb, dan kadar Ht.
 Tonus otot jelek.  Monitor makanan kesukaan.
 Nyeri abdominal dengan  Monitor pertumbuhan dan
atau tanpa patologi. perkembangan.
 Kurang berminat  Monitor pucat, kemerahan,
terhadap makanan. dan kekeringan jaringan
 Pembuluh darah kapiler konjungtiva.
mulai rapuh.  Monitor kalori dan intake
 Diare dan atau nuntrisi.
steatorrhea.  Catat adanya edema,
 Kehilangan rambut yang hiperemik, hipertonik papila
cukup banyak (rontok). lidah dan cavitas oral.
 Suara usus hiperaktif.  Catat jika lidah berwarna
 Kurangnya informasi, magenta, scarlet
misinformasi

Faktor-faktor yang
berhubungan :
 Ketidakmampuan
pemasukan atau
mencerna makanan atau
mengabsorpsi zat-zat
gizi berhubungan dengan
faktor biologis,
psikologis atau ekonomi.

3 Gangguan pertukaran gas NOC : NIC :


b/d kongesti paru,  Respiratory Status : Gas Airway Management
hipertensi pulmonal, exchange
 Buka jalan nafas, guanakan
penurunan perifer yang  Respiratory Status :
teknik chin lift atau jaw thrust
mengakibatkan asidosis ventilation
bila perlu.
laktat dan penurunan curah  Vital Sign Status
 Posisikan pasien untuk
jantung.
memaksimalkan ventilasi.
Kriteria Hasil :
 Identifikasi pasien perlunya
Definisi : Kelebihan atau  Mendemonstrasikan
pemasangan alat jalan nafas
kekurangan dalam peningkatan ventilasi
buatan.
oksigenasi dan atau dan oksigenasi yang
 Pasang mayo bila perlu.
pengeluaran adekuat.
 Lakukan fisioterapi dada jika
karbondioksida di dalam  Memelihara kebersihan
perlu.
membran kapiler alveoli paru paru dan bebas dari
 Keluarkan sekret dengan batuk
tanda tanda distress
atau suction.
Batasan karakteristik : pernafasan.
 Auskultasi suara nafas, catat
 Gangguan penglihatan  Mendemonstrasikan
adanya suara tambahan.
 Penurunan CO2 batuk efektif dan suara
 Lakukan suction pada mayo.
 Takikardi nafas yang bersih, tidak
 Berika bronkodilator bial
 Hiperkapnia ada sianosis dan dyspneu
perlu.
 Keletihan (mampu mengeluarkan
 Barikan pelembab udara.
 Somnolen sputum, mampu bernafas
 Atur intake untuk cairan
 Iritabilitas dengan mudah, tidak ada
mengoptimalkan
 Hypoxia pursed lips).
keseimbangan.
 Kebingungan  Tanda tanda vital dalam
 Monitor respirasi dan status
 Dyspnoe rentang normal
O2
 AGD Normal
 Sianosis Respiratory Monitoring
 Warna kulit abnormal  Monitor rata – rata,
(pucat, kehitaman) kedalaman, irama dan usaha
 Hipoksemia respirasi.
 Hiperkarbia  Catat pergerakan dada,amati
 Sakit kepala ketika kesimetrisan, penggunaan otot
bangun tambahan, retraksi otot
 Frekuensi dan supraclavicular dan intercostal.
kedalaman nafas  Monitor suara nafas, seperti
abnormal dengkur.
 Monitor pola nafas :
Faktor faktor yang bradipena, takipenia,
berhubungan : kussmaul, hiperventilasi,
 Ketidakseimbangan cheyne stokes, biot.
perfusi ventilasi  Catat lokasi trakea.
 Perubahan membran  Monitor kelelahan otot
kapiler-alveolar diagfragma ( gerakan
paradoksis ).
 Auskultasi suara nafas, catat
area penurunan / tidak adanya
ventilasi dan suara tambahan.
 Tentukan kebutuhan suction
dengan mengauskultasi crakles
dan ronkhi pada jalan napas
utama.
 Uskultasi suara paru setelah
tindakan untuk mengetahui
hasilnya
AcidBase Managemen
 Monitro IV line
 Pertahankanjalan nafas paten
 Monitor AGD, tingkat
elektrolit
 Monitor status
hemodinamik(CVP, MAP,
PAP)
 Monitor adanya tanda tanda
gagal nafas
 Monitor pola respirasi
 Lakukan terapi oksigen
 Monitor status neurologi
 Tingkatkan oral hygiene

4 Intoleransi aktivitas NOC : NIC :


berhubungan dengan  Energy conservation Energy Management
 Self Care : ADLs  Observasi adanya pembatasan
keletihan, anemia, retensi
klien dalam melakukan
produk sampah dan Kriteria Hasil : aktivitas.
prosedur dialisi  Berpartisipasi dalam  Dorong anal untuk
aktivitas fisik tanpa mengungkapkan perasaan
Definisi : Ketidakcukupan
disertai peningkatan terhadap keterbatasan.
energu secara fisiologis
tekanan darah, nadi dan  Kaji adanya factor yang
maupun psikologis untuk
RR. menyebabkan kelelahan.
meneruskan atau  Mampu melakukan  Monitor nutrisi dan sumber
menyelesaikan aktifitas aktivitas sehari hari energi tangadekuat.
yang diminta atau aktifitas (ADLs) secara mandiri  Monitor pasien akan adanya
sehari hari. kelelahan fisik dan emosi
secara berlebihan.
Batasan karakteristik :  Monitor respon kardivaskuler 
 Melaporkan secara terhadap aktivitas.
verbal adanya kelelahan  Monitor pola tidur dan
atau kelemahan. lamanya tidur/istirahat pasien
 Respon abnormal dari
tekanan darah atau nadi Activity Therapy
terhadap aktifitas.  Kolaborasikan dengan Tenaga
 Perubahan EKG yang Rehabilitasi Medik
menunjukkan aritmia dalammerencanakan progran
atau iskemia. terapi yang tepat.
 Adanya dyspneu atau  Bantu klien untuk
ketidaknyamanan saat mengidentifikasi aktivitas
beraktivitas. yang mampu dilakukan.
 Bantu untuk memilih aktivitas
Faktor factor yang konsisten yangsesuai dengan
berhubungan : kemampuan fisik, psikologi
 Tirah Baring atau dan social.
imobilisasi.  Bantu untuk mengidentifikasi
 Kelemahan menyeluruh. dan mendapatkan sumber yang
 Ketidakseimbangan diperlukan untuk aktivitas
antara suplei oksigen yang diinginkan.
dengan kebutuhan.  Bantu untuk mendpatkan alat
 Gaya hidup yang bantuan aktivitas seperti kursi
dipertahankan. roda, krek.
 Bantu untu mengidentifikasi
aktivitas yang disukai.
 Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang.
 Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas.
 Sediakan penguatan positif
bagi yang aktif beraktivitas.
 Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri
dan penguatan.
 Monitor respon fisik, emoi,
social dan spiritual
5 Gangguan harga diri NOC : NIC :
berhubungan dengan  Tingkat depresi :  Penumbuhan harapan :
ketergantungan, perubahan keparahan alam perasaan memfasilitasi perkembangan
peran, perubahan citra melankolis dan hilang penampilan positif pada situasi
tubuh dan fungsi seksual. minat dalam peristiwa tertentu.
Definisi : evaluasi diri atau hidup.  Manajemen alam perasaan ;
perasaan negatif tentang  Kualitas hidup : tingkat menciptakan keamanan,
diri sendiri. persepsi positif tentang kestabilan, pemulihan, dan
Batasan karakteristik : situasi hidup saat ini. pemeliharaan pasien yang
 Mengungkapkan rasa  Harga diri : penilaian diri mengalami disfungsi alam
malu atau bersalah tentang penghargaan perasaan .
 Menolak umpan balik terhadap diri.  Peningkatan harga diri :
positif membantu pasien
 Bergantung pada Kriteria Hasil : meningkatkan penilaian
pendapat orang lain  Mengungkapkan penghargaan terhadap diri.
 Kurang kontak mata penerimaan diri secara  Klasifikasi nilai : membantu
 Lperkataan peniadaan verbal. individu mengklarifikasi nilai
diri  Mempertahankan positif mereka untuk memfasilitasi
tubuh tegak. pembuatan keputusan yang
Faktor yang berhubungan :  Mempertahankan kintak efektif.
 Penyakit kronis mata.
 Anomali kongenital  Menerima kritikan dari
 Gangguan psikologis orang lain.
 Harapan yang berulang  Menceritakan
kali tidak terpenuhi keberhasilan dalam
pekerjaan, sekolah atau
kelompok sosial.

D. Evaluasi Keperawatan
Hasil yang diharapkan setelah pasien gagal ginjal kronis mendapatkan intervensi adalah
sebagai berikut :
1. Pola napas kembali efektif
2. Tidak terjadi penurunan curah jantung
3. Tidak terjadi aritmia
4. Tidak terjadi kelebihan volume cairan tubuh
5. Peningkatan perfusi serebral
6. Pasien tidak mengalami defisit neurologis
7. Tidak mengalami cedera jaringan lunak
8. Peningkatan integritas kulit
9. Terpenuhinya informasi kesehatan
10. Asupan nutrisi tubuh terpenuhi
11. Terpenuhinya aktivitas sehari-hari
12. Kecemasan berkurang
13. Mekanisme koping yang diterapkan positif

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Gagal ginjal kronis (CKD/ESRD) adalah gangguan fungsi renal yang progresif
dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lainnya dalam tubuh). Ini dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti
diabetes mellitus, glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat
dikontrol, obstruksi traktus urinarius, lesi herediter, seperti penyakit ginjal polikistik,
gangguan vaskuler, infeksi, medikasi, atau agen toksik. Lingkungan dan agens berbahaya
yang mempengaruhi gagal ginjal kronis mencakup timah, kadmium,merkuri dan kromium
(Smeltzer,2001).
Klasifikasi CKD di bagi menajdi 6 stadium yaitu stadium 1 kerusakan ginjal
dengan GFR normal/meningkat, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan GFR
ringan, stadium 3 a dan 3 b kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang, stadium 4
kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat, stadium 5 gagal ginjal. Etiologi terjadinya
CKD dibagi menjadi 3, yaitu diabetik: diabetes tipe 1 dan 2, penyakit Non-Diabetik dan
penyakit pada transplantasi
Manifestasi klinis CKD adalah sebagai berikut:
1. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi perikardiac dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
2. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental, suara krekels
3. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan vomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein
dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi, dan perdarahan mulut,
nafas bau amonia
4. Gangguan musculoskeletal
Restles leg syndrom (pegal pada kaki sehingga selalu digerakkan), burning feet
syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama di telapak kaki), tremor, miopati
(kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas)

5. Gangguan integument
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan
urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh
6. Gangguan endokrin
Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan
amenore. Gangguan metabolik glukosa, lemak, dan vitamin D.
7. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa

B. SARAN
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada
umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui lebih dalam
tentang penyakit gagal ginjal kronis ini. Kepada para perawat, kami sarankan untuk
lebih aktif dalam memberikan penyuluhan untuk mengurangi angka kesakitan
penyakit gagal ginjal kronis. Dengan tindakan preventif yang dapat dilakukan
bersama oleh semua pihak, maka komplikasi dari gagal ginjal kronis akan berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Clasification (NOC) Secon Edition. New Jersey:
Upper Saddle River.

Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid


3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.

Kasuari. 2002. Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan dan Kardiovaskuler Dengan


Pendekatan Patofisiology. Magelang. Poltekes Semarang PSIK Magelang.

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media


Aesculapius.

Mary, Baradero. 2009. Klien Gangguan Ginjal : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC.

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC.

Suhardjono (2004). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2, Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Suwitra, K (2006). Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Rendy, M. Clevo dan Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedan dan Penyakit
Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.
Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT Alumni.

The International Society of Nephrology. 2013. Kidney Disease Improving Global


Outcomes(KDIGO) Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease. Inc., New York.

Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan : Diagnosis NANDA,


Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC.

You might also like