You are on page 1of 2

Ketika Mencari Tuhan Yang Hilang

Posted on Mei 18, 2011 | 1 Komentar

“Ketika mereka melupakan apa-apa yang Kami peringatkan kepada mereka, justru Kami
bukakan pintu segala kesempatan buat mereka. Maka kemudian ketika mereka merasa senang, merasa gembira, dengan keberhasilan, kesuksesan mereka, tiba-tiba Kami siksa
mereka dengan sekonyong-konyong, jadilah mereka terdiam berputus asa.” (Al An’am: 44)
Itulah ayat yang tercetak di sampul belakang buku Mencari Tuhan yang Hilang karya Ustadz muda Yusuf Mansyur. Dimana 35 kisah perjalanan spiritual pimpinan Pondok
Pesantren Daarul Quran Bula Santri, Cipondoh, Tangerang dan pimpinan pengajian Wisata Hati ini dalam menepis azab dan menuai rahmat di dalamnya, akan membuat Anda
terhenyak, terharu, tercenung.
Untuk kemudian merenung.
Bahwa kita, bisa jadi termasuk salah satu hambaNya yang lalai.
***

Lalai bisa dimulai dari hal-hal kecil.


Bisa dimulai dari menunda-nunda waktu beribadah, hanya karena sedang menjalani rapat atau wawancara kerja. Bisa juga berarti tak bersyukur atas semua nikmatNya yang telah
diterima. Bisa pula berarti tak usai berkeluh kesah atas semua derita. Dan bisa pula, tak bercermin atas semua laku perbuatan yang buruk rupa.
Lalai-lalai kecil inipun menggunung. Membawa banyak dampak tak sedap yang disebut-sebut sebagai neraka dunia. Mulai dari putus kerja, sakit yang tak kunjung pulih, belitan
hutang, sulit mendapatkan jodoh, ketidakharmonisan rumah tangga, dan setumpuk masalah lainnya.
Secuil neraka dunia inilah yang sempat dicecap oleh seorang Yusuf Mansyur.
***
19 Desember tiga puluh dua tahun yang lalu, Yusuf Mansyur terlahir dari pasangan Abdurrahman Mimbar dan Humrif’ah. Dibesarkan dalam keluarga Betawi yang berkecukupan,
Yusuf tumbuh menjadi sosok yang cerdas, namun juga pembangkang. Lulusan terbaik Madrasah Aliyah Negeri 1 Grogol, Jakarta Barat, tahun 1992 ini pernah kuliah di jurusan
Informatika namun berhenti tengah jalan karena lebih suka balapan motor. ”Semua hal saya lakukan dengan pertimbangan yang konyol; ’bagaimana nanti saja’ atau ’yang penting
selamat dulu’ , arogan dan tanpa perhitungan. Tidak pernah saya berpikir apakah yang saya lakukan itu bertentangan dengan hati, melanggar hukum, moral atau tidak,” (hal 1).

Pada tahun 1996, Yusuf terjun di bisnis Informatika. Sayang bisnisnya malah menyebabkan ia terlilit utang berjumlah miliaran. Gara-gara utang itu pula, Ustadz Yusuf merasakan
dinginnya hotel prodeo selama 2 bulan. Setelah bebas, Ustadz Yusuf kembali mencoba berbisnis tapi kembali gagal dan terlilit utang lagi. Cara hidup yang keliru membawa Ustadz
Yusuf kembali masuk bui pada tahun 1998. ”Di hari kebebasan saya, 25 Juni 1999, abang saya berkata keras kepada saya bahwa sudah saatnya saya melakukan pertaubatan yang
serius. Meski hanya sempat menjadi penghuni tahanan tingkat polisi sektor, di mata abang saya hal itu sudah sangat memprihatinkan. Cukup memalukan. Saya dilahirkan dalam
keluarga kyai. Saya dibesarkan dengan pendidikan agama yang tidak kurang-kurangnya, plus pengawasan yang lumayan ketat. Tapi kok ya sempat ditahan. Dua kali lagi!
Nah, pada kali kedua inilah abang saya tidak bisa lagi mentolerir. Dia menganggap, bila kali ketiga kemudian terjadi, maka saat itulah riwayat saya akan berakhir.
Saya sempat ragu. Bagaimana mungkin saya bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat, berhenti dari kegiatan-kegiatan kejahatan, merekayasa sesuatu, mencari korban-korban
baru, merampok mereka secara halus, sementara banyak hal yang masih harus saya selesaikan. Dan di benak saya hingga saat itu, bahwa tidak mungkin masalah saya selesai
kecuali dengan melakukan kejahatan yang lebih besar lagi, yang mana saya hasilnya saya harap bisa menutup semua keburukan saya, untuk kemudian baru berhenti total.
Pikiran-pikiran seperti itulah yang juga terus mendorong saya berbuat keburukan dan aniaya. Tapi yang sesungguhnya terjadi, justru mengantar saya kepada keterpurukan yang
luar biasa. Masalah saya semakin besar.” (hal 2-3).
Namun malam itu sekaligus menjadi malam yang istimewa bagi seorang Yusuf Mansyur. ”Malam itu, tanpa sengaja, saya membuka lembaran Al Quran. Mata saya tertumbuk
pada ayat 1 sampai dengan ayat 6 surat At Taubah. Saya mengambil poin-poin penting. Ada kata-kata kunci yang membuat saya jadi tertunduk dan menangis sejadi-jadinya. Yaitu,
kebebasan; pelepasan dari kemusyrikan yang tidak saya sadari; statement Allah bahwa bertaubat itu lebih baik; memenuhi perjanjian; dari sifat Allah, Ghafur dan Rahim.
Terus, ayat 3-nya, seolah juga tahu bahwa saya ragu untuk bertaubat gaya abang saya, dengan menyatakan: ’Apapun kejadiannya, berhenti total dari semua kejahatan dan perilaku
buruk itu adalah lebih baik.’ Kemudian ayat 2-nya, memberi satu isyarat bahwa saya harus berjalan dulu selama 4 bulan (dalam proses pertaubatan).” (hal 4-5)
Seketika, pecahlah tangis Yusuf.
”Air mata saya mengalir deras. Di tengah kezaliman yang saya lakukan, di tengah kedurhakaan dan kemaksiatan yang saya perbuat, Ia, yang Maha Suci, masih sudi ’menengok’
ciptaanNya ini. Dia memberi motivasi, di tengah keputusasaan. Dia juga menemani saya di tengah kesendirian. Dan bahkan di kemudian hari, Dia pun menegur saya secara halus
di tengah kelalaian dan kesalahan-kesalahan saya yang baru.” (hal 4)
Malam itu sekaligus menjadi malam yang istimewa bagi seorang Yusuf Mansyur. Karena ”malam itu, saya ’berbicara’ dengan Tuhan.” (hal 4).
***
”Dia tidak hilang
dan tidak menghilang
Dia selalu menunggu
selalu mengulurkan tanganNya
hati yang kotor inilah yang menghalangi melihatNya,” (hal 4)
Itulah rintihan lirih Yusuf dalam kesendiriannya, yang kemudian mengawali 35 perjalanan spiritualnya dalam buku ini. Dimana Yusuf memilih menggunakan nama Luqman
Hakim. ”Tokoh Luqman Hakim dalam buku ini bukanlah Luqman Hakim yang diabadikan oleh Allah dalam ayat-ayat Al Quran, sosok tokoh yang saya ciptakan sendiri, sebagai
media penuturan saya.” (hal 7)
Perjalanan Luqman Hakim pun dimulai.
***
Dalam dua bab pertama berjudul Tersadarkan (1) dan Tersadarkan (2), Yusuf menuliskan tentang sosok Luqman yang bermimpi didatangi oleh saudara misan dan bundanya yang
menuding pertaubatan Luqman sebagai pertaubatan semua. Luqman juga bermimpi dikejar-kejar bak buronan. Yusuf juga menuliskan tentang pengalaman Luqman ketika dua kali
dipenjara. ”Pada saat dipenjara yang pertama, Luqman masih mengandalkan tiga hal; kemampuan negosiasi, kekuatan uang, dan sedikit sentuhan kekuasaan dunia (mencari
dukungan aparat yang lebih tinggi wewenang dan kekuasaannya.
Di penjaranya yang kedua, Luqman tidak bisa lagi mendapatkan sentuhan tiga hal di atas. Ia sudah tak punya apa-apa dan sudah tak bisa melakukan apa-apa. Bahkan keputusasaan
hampir merenggut nyawanya.
Rupanya disinilah perbedaan terletak. Di saat ketidakberdayaannya, ia mendatangi Allah. Di saat kemustahilan membayangi, ia mendatangi Allah. Hasilnya, Luqman malah
mendapatkan kebebasan lebih cepat dari yang pertama, yaitu hanya 14 hari masa tahanan.
Menurut hitungan matematis dan rasio manusia, tidak mungkin Luqman dapat mengeluarkan dirinya dari kurungan sel. Kasusnya terlalu berat untuk diselesaikan. Apalagi
ketiadaan pihak keluarga dan pihak-pihak yang dapat membantu. Bahkan kemungkinan ia akan dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan yang lebih berat lagi. Habislah
eiwayatnya! Itulah vonis orang atas dirinya.
Ternyata Allah berkehendak lain. Dia menghembuskan sifat Rahman dan RahimNya pada mereka yang berurusan dengan Luqman. Ada banyak keajaiban terjadi. Tanpa kekuatan
uang, tanpa kekuatan diplomasi dan negosiasi, kasus Luqman tidak dilanjutkan. ” (hal 28-29)
Disinilah Luqman belajar untuk pasrah dan berbaik sangka pada Allah. Ia juga belajar untuk selalu melibatkan Allah dalam setiap kesulitannya. Saat sakit misalnya. Sebelum ke
dokter, ia akan lapor dulu pada Allah—bahwa dirinya sakit dan butuh pertolonganNya. Baru kemudian, berikhtiar dalam upaya mencari kesembuhan. Dengan demikian, Allah pun
akan senantiasa menemani perjalanan ikhtiar.
Upaya ikhtiar ini sendiri hendaknya dilakukan kala muhasabah di waktu malam dalam kondisi suci. Bila perlu, sujudlah. ”Luqman sendiri punya kebiasaan; ketika kegelisahan
terasa, ketika kesusahan mendera, cepat ia mengambil wudlu dan menggelar sajadah, lalu shalat hajat dua rakaat. Kadang, ia lengkapi munajatnya dengan membaca surah Yasin,”
(hal 31).
***
Selepas dari penjara, bermodalkan uang Rp 15 ribu, Yusuf berjualan es di terminal Kali Deres. Malang dikata, tak satupun jualannya laku. Agar esnya awet, ia terpaksa meminjam
uang Rp 1500 untuk membeli es batu. Keesokan harinya, Yusuf memberikan lima bungkus es secara cuma-cuma pada pengemis. Subhanallah, setelah itu, semua esnya ludes.
Dari sanalah, suami dari Siti Maemunah ini belajar bahwa sedekah hendaknya dilakukan di awal. Seperti yang dituturkan tokoh Ustadz Basuni pada Luqman dalam buku ini. ”Di
sinilah letak pengorbanan yang Allah tunggu. Memang saat mereka bilang nggak ada uang buat sedekah, memang benar demikian adanya. Tapi andai mereka sedikit mau berpikir,
dan melihat ke diri mereka, pasti ada jalan untuk bersedekah. Misalkan, masih punya hp yang bagus dan bermerk. Bila ini yang terjadi, jual hpnya dan beli yang murahan. Selisih
inilah yang kita keluarkan untuk sedekah. Intip-intip aset kita, ada gak yang bisa dikecilin untuk kemudian kita jadikan modal sedekah. Entah itu aset emas, TV, perabotan rumah
tangga, alat elektronik. Cari sesuatu yang bisa membuat kita bersedekah di saat sulit,” (hal 224-225).
Adapun sedekah itu akan mengundang datangnya rezeki, menyembuhkan penyakit, menghilangkan kesulitan, menghalau musibah, dan memperpanjang umur (hal 226). Berkat
sedekah, bisnis Yusuf pun berkembang. Tak lagi berjualan dengan termos, tapi memakai gerobak, Ia juga mulai punya anak buah.
Subhanallah.
***
Hidup Yusuf berubah saat ia berkenalan dengan polisi yang memperkenalkannya dengan LSM. Selama kerja di LSM itulah, Ustadz Yusuf membuat buku ini. Tak dinyana, buku
ini mendapat sambutan luar biasa. Yusuf sering diundang untuk bedah buku tersebut. Dari sini, undangan untuk berceramah mulai menghampirinya. Di banyak ceramahnya, ia
selalu menekankan makna di balik sedekah dengan memberi contoh-contoh kisah dalam kehidupan nyata. ”Contohnya saja tentang seorang perempuan berusia 37 tahun yang tidak
kunjung dapat jodoh. Setelah balik dari berkonsultasi dengan kami dia langsung mampir ke masjid terdekat dan menanyakan apa yang bisa disumbangkan. Kebetulan masjid
tersebut perlu donatur untuk lantai yang sedang di lelang. Permeternya 150 ribu. Si perempuan yang sudah 37 tahun belum punya jodoh itu bersedekah 600 ribu atau empat meter
lantai. Subhanallah, dalam seminggu setelah itu, ada empat orang yang melamar dia,” papar Yusuf.
Karier Yusuf makin mengkilap setelah bertemu dengan Yusuf Ibrahim, Produser dari label PT Virgo Ramayana Record dengan meluncurkan kaset Tausiah Kun Faya Kun, The
Power of Giving dan Keluarga. Konsep sedekah juga membawanya masuk dunia seni peran. Melalui acara Maha Kasih yang digarap Wisata Hati bersama SinemArt. Tak hanya
itu, Yusuf juga menggarap sebuah film berjudul KUN FA YAKUUN yang dibintanginya bersama Zaskia Adya Mecca, Agus Kuncoro, dan Desy Ratnasari.
Yusuf juga menggagas Program Pembibitan Penghafal Al Quran (PPPA), sebuah program unggulan dan menjadi laboratorium sedekah bagi seluruh keluarga besar Wisatahati.
Donasi dari PPPA digunakan untuk mencetak penghafal Alquran melalui pendidikan gratis bagi dhuafa Pondok Pesantren Daarul Quran Wisatahati. Meski tak sempat
menuntaskan kuliah, Ustadz Yusuf bersama dua temannya mendirikan perguruan tinggi Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Cipta Karya Informatika.
Sementara itu, sosok Luqman Hakim tengah tersenyum lepas di halaman 343. ”Lepas sudah beban yang terbebani di pundaknya. Sebab, ia pasrahkan segenap permasalahannya
kepada Allah Azza wa Jalla… Ia menekankan, Allah menjamin semua urusan akan diselesaikanNya asal ia mau memelihara dirinya, pasrah dan beribadah kepadaNya dengan
baik,” (hal 343).

sumber : (Kutipan dalam tulisan ini dikutip dari buku Mencari Tuhan yang Hilang, 35 Kisah Perjalanan Spiritual Menepis Azab dan Menuai Rahmat, seri Refleksi Wisatahati.
Penulis Yusuf Mansyur, Penerbit Dzikrul Hakim, Cetakan Ke-6, 346 halaman). dan disalin dari Retnadi Aini di www.edumuslim.org

You might also like