You are on page 1of 133

TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA MANUSIA

YANG DILAKUKAN OLEH ANAK


(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pidana
Nomor : 55/ Pid.Sus/ 2011/ PN.Pwt)

SKRIPSI

Oleh :

LILIK SIYAGA
E1E008039

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA MANUSIA
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pidana
Nomor : 55/ Pid.Sus/ 2011/ PN.Pwt)

SKRIPSI

Diajukan dalam rangka memenuhi Persyaratan Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Oleh :
LILIK SIYAGA
E1E008039

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
SKRIPSI

TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA MANUSIA


YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pidana Nomor : 55/ Pid.Sus/ 2011/ PN.Pwt)

Oleh:

LILIK SIYAGA
E1E008039

Untuk memenuhi salah satu persyaratan


Memperoleh gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan disahkan


Pada tanggal 18 Februari 2013

Para penguji/pembimbing/

Penguji I/ Penguji II/ Penguji III


Pembimbing I Pembimbing II

Sunaryo, S.H.,M.Hum. Dr. Setya Wahyudi, S.H.,M.H. Haryanto Dwiatmodjo,S.H,M.H.


NIP. 19531224 198601 1 001 NIP. 19610527 198702 1 001 NIP. 19630926 199002 2 001

Mengetahui,
Dekan

Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.


NIP. 196409231 98901 1 001
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : LILIK SIYAGA

NIM : E1E008039

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Skripsi : TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA MANUSIA

YANG DILAKKAN OLEH ANAK (Tinjauan Yuridis

Terhadap Putusan Nomor: 55/Pid.Sus/2011/PN. Pwt)

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil

karya saya, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain

yang saya aku sebagai tulisan atau pikiran saya, kecuali yang tersebut di dalam

daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil

jiplakan, atas perbuatan tersebut maka saya bersedia menerima sanksi sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.

Purwokerto, 18 Februari 2013


Yang membuat pernyataan

LILIK SIYAGA
NIM. E1E008039
ABSTRAK

Kaidah-kaidah dan norma-norma yang hidup di dalam masyarakat


berfungsi untuk membentengi tingkah laku masyarakat dalam melakukan
perbuatanya sehari-hari, akan tetapi dengan bergesernya waktu, maka
perubahan perilaku masyarakat pun semakin terlihat, norma-norma yang
sebelumnya ditaati oleh masyarakat semakin ditinggalkan, perilaku-perilaku
masyarakat saat ini mencerminkan merosotnya budaya masyarakat.

Salah satu faktanya dapat dilihat dalam kasus yang terjadi dalam
Surat Putusan No.55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, dalam kasus ini telah terjadi
suatu tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak yang bernama
Agus Panca Rotama terhadap seorang teman yang bernama Yoga Afriaji.

Dalam penelitian ini, penulis bermaksud untuk meneliti tentang,


Apakah sudah tepat penerapan unsur-unsur Pasal 338 KUHP yang dijadikan
sebagai dasar hukum atas pertanggungjawaban mengenai perbuatan anak
dalam melakukan tindak pidana terhadap nyawa orang lain sesuai dengan
putusan NO.55/Pip.Sus/2011/PN,Pwt? Pertimbangan hukum hakim dalam
memutus perkara tindak pidana terhadap nyawa orang lain yang dilakukan
oleh anak ?

Metode penelitian yang digunakan adalah: deskritif-analitis, dengan


metode pendekatan Yuridis-Normatif, yakni penelitian yang dilakukan
dengan konsep kepustakaan, data diperoleh melalui studi kepustakaan,
sehingga datanya berbentuk data sekunder. Metode analisis data yang
digunakan adalah, Yuridis-Normatif.

Dari penelitian ini maka dapat di ambil kesimpulan bahwa, Anak


dibawah umur yang bernama Agus Panca Rotama sebagai pelaku telah
melakukan tindak pidana pembunuhan yang melanggar perundang-
undangan sebagai berikut, yakni Melanggar Pasal 338 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana. Sebab Peristiwa tersebut telah mengakibatkan
korban yang merupakan seorang teman meninggal dunia.

Kata Kunci: Tindakan (Pembunuhan); Putusan Pengadilan No. 55/


Pid.Sus / 2011 / PN. Pwt. Perlindungan Anak.
ABSTRACT

Principles and norms that live in society which has function to fortify
society’s behavior in doing their daily deed, however, by moving the time , then
changing of society’s behavior also is more appeard, the norms that before
obeyed by society’s is more lived behind, the society’s behavior recently reflect
the regressof society’s culture.
One of the facts can be seen in a case that occurred in Court Decision No.
55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. In this case, has happened a criminality act of murder
which is done by child of under age named Agus Panca Rotama on purpose doing
the murder to a friend named Yoga Afriaji.
In this research, the writer attends to observe about, this is precisely the
application of the elements of article 338 of the Penal Code which serve as the
legal basic for accountability regarding the child acts in a criminal act against
another person’s life in accordance with is it right if the rules of legislation which
is become as basic of law for responsibility of what the child of under age did, in
doing criminality act of murder to a friend appropriate with court decision no
55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt? Legal reosoning of judges in deciding criminal cases
against the life of another person by a child?
The research method used was descriptive-analytical, with juridical-
normative approach method, that is, a research conducted by literature concept.
The data were obtained from literature study, so that the data were in form of
secondary data. The data analysis method used was juridical-normative.
From this research it could be concluded that the child named Agus Panca
Rotama as suspected has done the criminal act of murder which broke the
legislation as follow, that is break the section 338 book of prophecy . that even
has caused some victim who is a friend died.

Keywords: Action (Murder); Court Decision No. 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. Court


Children .
MOTTO

“Aku akan selalu berusaha untuk menggapai impianku, dan

aku tidak akan pernah diam karena aku tahu pemenang itu

bukan pendiam”

“Kegagalan tidak akan menghentikan langkahku karena itu

bukan tujuanku, melainkan pelajaran untuk mencapai

SUKSES”

“Aku lebih suka memandang lukisan ombak dilaut yang tak

kenal putus menghantam karang dari pada lukisan

hamparan sawah subur yang tenang”

( Ir. Soekarno )
PERSEMBAHAN

Karya kecilku ini aku persembahkan teruntuk :


Almarhum bapakku yang mendewasakan aku semenjak

remaja dan ibuku yang telah melahirkan aku ke dunia ini:

Raisha Istriku yang sangat aku cintai dan mencintaiku

dengan memberikan perhatian, semangat, mengingatkan

untuk selalu berdoa, berusaha dan sholat lima waktu serta

menerima keluhanku dengan kebesaran hatinya yang

cantik...
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim

Segala Puji dan syukur hanya bagi ALLAH SWT seru sekalian alam,

karena atas rahmatnya dan ridho-Nya, maka skripsi ini yang berjudul “TINDAK

PIDANA TERHADAP NYAWA MANUSIA YANG DILAKUKAN OLEH

ANAK (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pidana Nomor : 55/Pid.

Sus/2011/PN.Pwt )” Sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai gelar sarjana

strata satu (S1) Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman Purwokerto, Serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi

Muhammad SAW dan beserta para sahabatnya.

Dengan mengingat segenap kekurangan yang ada, penulis telah berusaha

memaksimalkan diri untuk menulis dan menyelesaikan skripsi ini sebaik

mungkin. Namum penulis mengerti bahwa hasil penelitian ini masih perlu untuk

disempurnakan lagi, mohon para pembaca untuk memberikan kritik dan saran

yang membangun.

Penulisan skripsi ini bukan merupakan hasil tunggal penulis, melainkan

tidak terlepas dari pikiran dan budi baik banyak orang, dengan kesungguhan hati

penulis ucapkan terima kasih kepada kedua orangtua yang senantiasa penulis

hormati, karena merekalah penulis bisa seperti sekarang ini dan tak lupa untuk

orang yang sangat spesial dalam hidupku yaitu istriku tersayang Raisha Putri

Kemala, SH yang tanpa lelah memberikan dukungan moril dan materiil.


Pada kesempatan ini pula izinkanlah penulis dengan kerendahan hati dan

rasa syukur menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada yang

terhormat Sunaryo, S.H., M.Hum selaku Pembimbing I dan Dr. Setyo Wahyudi,

S.H., M.H selaku Pembimbing II, yang selalu menjadi panutan dalam keilmuan

serta telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada yang terhormat:

1. Prof. Drs. Edy Yuwono, PhD, selaku Rektor Universitas Jenderal

Soedirman Purwokerto;

2. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto;

3. Dr. Agus Raharjo,S.H.,M.Hum, selaku pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto;

4. Haryanto Dwiadmodjo, S.H., M.Hum,, selaku Ketua Bagian Hukum

Pidana serta dosen Penguji pada Seminar skripsi dan Ujian skripsi;

5. Saryono Hanadi, S.H. M.Hum., selaku Pembimbing Akademik yang

memberikan bimbingan sejak awal perkuliahan;

6. Kapolres Banyumas selaku atasan langsung yang telah mengijinkan

penulis untuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman Purwokerto;

7. Dosen Fakultas Hukum selama penulis kuliah di Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman;


8. Seluruh pihak yang memberikan motivasi, saran dan kritik selama

punulisan skripsi ini;

Penulis berharap dengan selesainya skripsi ini dapat memberikan manfaat

khususnya bagi peneliti sendiri serta bagi perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya dalam ruang lingkup hukum pidana.

Semoga Allah SWT membalas amal baik semua pihak yang telah

memberikan bantuan selama penyusunan skripsi ini, Amin.

Wasaalamu’alaikum Wr.Wb.

Purwokerto, 18 Februari 2013

Penulis,
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................... iii

ABSTRAKS .......................................................................................................... iv

ABSTRACT ..............................................................................................................v

HALAMAN MOTTO ........................................................................................... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vii

KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii

DAFTAR ISI...........................................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang .......................................................................1

B. Perumusan Masalah ................................................................ 15

C. Tujuan Penelitian .................................................................... 16

D. Kegunaan Penelitian................................................................ 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................18

A. Pengertian Tindak Pidana........................................................18

1. Pengertian Tindak Pidana Menurut Para Ahli Hukum...... 18

2. Unsur Tindak Pidana......................................................... 21

3. Macam-macam tindak pidana............................................ 24

B. Tindak Pidana Pembunuhan....................................................26


1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan............................ 26

2. Unsur Tindak Pidana Pembunuhan................................... 28

3. Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Pembunuhan.... 32

4. Kualifikasi Tindak Pidana Pembunuhan............................ 35

C. Pemidanaan........................................................................... 43

1. Teori-teori pemidanaan..................................................... 43

2. Tujuan pemidanaan............................................................ 50

BAB III METODE PENELITIAN....................................................................51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...................................57

A. Hasil Penelitian..............................................……….............57

B. Pembahasan ............................................................................79

BAB V PENUTUP ........................................................................................114

A. Simpulan ...............................................................................114

B. Saran .....................................................................................115

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................117


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam

dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak

mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak

yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal

ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of

the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan

Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang –

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya

mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non

diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh

kembang, dan menghargai partisipasi anak.1

Keberadaan anak yang ada di lingkungan kita memang perlu mendapat

perhatian, terutama mengenai tingkah lakunya. Dalam perkembangan kearah

dewasa, kadang-kadang seorang anak melakukan perbuatan yang lepas kontrol,

ia melakukan perbuatan tidak baik. Sehingga merugikan diri sendiri bahkan

orang lain. Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa

pertumbuhan, sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari

1
http://anjarnawanyep.wordpress.com-konsep-restorative-justice, diakses melalui
internet pada tanggal 26 desember 2012
lingkungan pergaulannya. Disamping itu keadaan ekonomi pun juga bisa

menjadi pendorong bagi anak untuk melakukan perbuatan yang dilarang.2

Setelah keluarga merupakan salah satu penyebab anak melakukan

tindak pidana atau pelanggaran, tempat anak bersosialisasi adalah lingkungan

sekolah dan lingkungan tempat bermainnya. Mau tidak mau, lingkungan

merupakan institusi pendidikan kedua setelah keluarga, sehingga kontrol di

sekolah dan siapa teman bermain anak juga mempengaruhi kecenderungan

kenakalan anak yang mengarah pada perbuatan melanggar hukum. Tidak

semua anak dengan keluarga tidak harmonis memiliki kecenderungan

melakukan pelanggaran hukum, karena ada juga kasus dimana anak sebagai

pelaku ternyata memiliki keluarga yang harmonis. Hal ini dikarenakan begitu

kuatnya faktor lingkungan bermainnya yang negatif.

Anak dengan latarbelakang ketidak harmonisan keluarga, tentu akan

lebih berpotensi untuk mencari sendiri lingkungan diluar keluarga yang bisa

menerima apa adanya. Apabila lingkungan tersebut positif tentu akan

menyelesaikan masalah si anak dan membawanya kearah yang positif juga.

Sebaliknya, jika lingkungan negatif yang didapat, inilah yang justru akan

menjerumuskan si anak pada hal-hal yang negatif, termasuk mulai melakukan

pelanggaran hukum seperti mencuri, mencopet, bahkan membunuh.

Kedudukan keluarga sangat fundamental dalam pendidikan anak.

Apabila pendidikan keluarga gagal, maka anak cenderung melakukan tindakan

2 anak&&nomorurut_artikel=390
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=kriminalitas ,
diakses melalui internet tanggal 26 desember 2012
kenakalan dalam masyarakat dan tidak jarang menjurus ke arah tindakan

kejahatan atau criminal. Dalam bukunya yang berjudul Kriminologi, B.

Simanjuntak berpendapat bahwa, kondisi-kondisi rumah tangga yang

mungkin dapat menghasilkan “anak nakal”, adalah:3

1. Adanya anggota lainnya dalam rumah tangga itu sebagai penjahat,

pemabuk, emosional.

2. Ketidakadaan salah satu atau kedua orangtuanya karena kematian,

perceraian atau pelarian diri.

3. Kurangnya pengawasan orangtua karena sikap masa bodoh, cacat

inderanya, atau sakit jasmani atau rohani.

4. Ketidakserasian karena adanya main kuasa sendiri, iri hati,

cemburu, terlalu banyak anggota keluarganya dan mungkin ada

pihak lain yang campur tangan.

5. Perbedaan rasial, suku, dan agama ataupun perbedaan adat istiadat,

rumah piatu, panti-panti asuhan.

Perkembangan peradaban dan pertumbuhan pada masyarakat cukup

pesat, dimana kejahatan ikut mengiringi dengan cara-cara yang telah

berkembang pula. Kejahatan senantiasa ada dan terus mengikuti perubahan.

Pengaruh modernisasi tidak dapat dielakkan, disebabkan oleh ilmu

pengetahuan yang telah mengubah cara hidup manusia dan akhirnya hanya

dapat untuk berusaha mengurangi jumlah kejahatan serta membina penjahat

tersebut secara efektif dan intensif. Maka sulit kalau dikatakan Negara akan

3
B. Simanjuntak. Kriminologi. Bandung : Tarsito, 1984, hlm. 55.
melenyapkan kejahatan secara total. Emile Durkheim menyatakan bahwa

kejahatan adalah:4

“suatu gejala normal didalam setiap masyarakat


yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan
sosial dan karena itu tidak mungkin dapat
dimusnahkan sampai tuntas”.

Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk

menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan

demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut

bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif,

yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang

disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai

suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima

sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih

menimbulkan perbedaan pendapat.5

Kejahatan menurut non hukum atau kejahatan menurut aliran sosiologis

merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat.

Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang berbeda-beda,

akan tetapi memiliki pola yang sama. Gejala kejahatan terjadi dalam proses

interaksi antara bagian-bagian dalam masyarakat yang mempunyai

kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan kelompok-

kelompok masyarakat mana yang memang melakukan kejahatan. Kejahatan

(tindak pidana) tidak semata-mata dipengaruhi oleh besar kecilnya kerugian

4
Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya,
Jakarta:Pradya Paramita, 1987, Hal. 1.
5
Digitized by USU digital library, 2003.
yang ditimbulkannya atau karena bersifat amoral, melainkan lebih dipengaruhi

oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya, sehingga perbuatan-

perbuatan tersebut merugikan kepentingan masyarakat luas, baik kerugian

materi maupun kerugian/bahaya terhadap jiwa dan kesehatan manusia,

walaupun tidak diatur dalam undang-undang pidana.6

Ditinjau dari sosiologi, Sutherland menyelidiki bahwa kejahatan

merupakan suatu persoalan yang paling serius atau penting yang bersumber

dimasyarakat, masyarakat yang memberi kesempatan untuk melakukan

kejahatan dan masyarakat sendiri yang menanggung akibat dari kejahatan

tersebut, walaupun secara tidak langsung. Oleh karena itu untuk mencari

sebab-sebab kejahatan adalah di masyarakat. Kajahatan atau sifat jahat itu

sendiri bukan karena pewarisan, tetapi karena dipelajari dalam pergaulan di

masyarakat, sedangkan pergaulan di masyarakat itu adalah berbeda-beda, yang

sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya sendiri.7

Secara sosiologis seseorang yang melakukan tindak pidana kejahatan

merupakan hasil perubahan-perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat

sebagai bentuk deviasi sosial (pelanggaran norma-norma masyarakat).

Soerjono Soekanto merumuskan bahwa, deviasi adalah: 8

“penyimpangan terhadap kaidah-kaidah dan nilai-


nilai dalam masyarakat. Kaidah-kaidah timbul dalam
masyarakat karena diperlukan sebagai pengatur
dalam hubungan antara seseorang dengan orang lain,
atau antara seseorang dengan masyarakatnya”.

6
H. R. Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia dalam Mewujudkan Rasa
Keadilan Masyarakat Jilid II, Jakarta: Restu Agung , 2006
7
Edwin H. Sutherland, Azas-Azas Kriminologi, Bandung , Hal. 106
8
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002, Hal. 214.
Pengertian penjahat dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya.9

Penjahat atau pelaku kejahatan ditinjau dari aspek yuridis merupakan

seseorang yang melanggar peraturan atau undang-undang pidana dan telah

diputus oleh pengadilan atas pelanggarannya dan telah dijatuhi hukuman, dan

dalam hukum pidana dikenal dengan istilah narapidana.

Tindak pidana memang tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa

namun anak juga turut andil dalam melakukan suatu kejahatan yang tidak kalah

dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa, memang disayangkan

bahwa prilaku kriminalitas dilakukan oleh anak, karena masa anak adalah

dimana anak seharusnya bermain dan menuntut ilmu, tapi pada kenyataannya

anak zaman sekarang tidak kalah bersaing dengan orang dewasa untuk

melakukan tindak pidana, namun Negara membedakan tindak pidana yang

dilakukan oleh orang dewasa dan yang dilakukan oleh anak, Negara lebih

meringankan tindak pidana yang dilakukan oleh anak karena anak merupakan

tunas bangsa dan generasi penerus bangsa sehingga setiap anak pelaku tindak

pidana yang masuk sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara

manusiawi sebagaimana yang termuat dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang

Perlindungan Anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak

untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan

terhadap pendapat anak.

Diambil dari sebuah contoh kejadian nyata, pada zaman sekarang

nyatanya anak sudah berani melakukan tindak pidana pembunuhan, adalah

9
A. Gumilang, Kriminalistik, Bandung: Angkasa, 1993, Hal. 4.
Agus Panca Rotama bin Sukiswo yaitu seorang anak yang berumur 17 Tahun

dan telah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap salah seorang teman

yaitu yang bernama Yoga Afriaji bin Sukardi, dalam putusan Pengadilan

Negeri Purwokerto Nomor 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, Agus telah dinyatakan

bersalah karena telah menghilangkan nyawa orang lain sesuai dengan Pasal

338 KUHP. Pada awalnya bermula dari rasa jengkel Agus terhadap Yoga yang

sering kali ketika mereka bertemu menghina dengan kata-kata “BANGSAT,

BAJINGAN” Agus bertanya kepada Yoga dengan mengatakan “

MAKSUDNYA APA KAMU SETIAP KETEMU SAYA NGOMONG “

BANGSAT, BAJINGAN “ kemudian Yoga menjawab “ EMANG KENAPA,

KAMU EMOSI “ dan Agus menjawab “ YA JELAS SAYA EMOSI KARENA

SETIAP KETEMU SAYA KAMU BILANG “ BANGSAT, BAJINGAN”

kemudian Agus berkata lagi kepada Yoga sambil mengajak“ KALAU

MEMANG BERANI KITA KEATAS, atas ajakan tersebut Yoga

menyanggupi dan mau pergi ke bukit hutan Jatisaba.

Bahwa sesampai di hutan Jatisaba turut Grumbul Wadas Plasa Desa

Jatisaba Kec. Cilongok Kab. Banyumas sekitar pukul 24.00 Wib Agus turun

dari motor sedangkan Yoga langsung melepas helm yang dipakainya,

selanjutnya Yoga turun dari kendaraan dan langsung menyerang Agus dengan

memukul dengan tangan kosong ke arah pelipis sebelah kiri Agus satu kali dan

memukul ke arah pipi kiri satu kali, kemudian Agus mengambil bambu

sepanjang setengah meter yang ada, lalu Agus memukul ke arah kepala Yoga

sebelah kiri sebanyak satu kali, sehingga dari kepala Yoga sebelah kiri keluar
darah dan langsung sempoyongan, pada saat sempoyongan Yoga masih sempat

menarik kepala Agus dengan memegang rambut Agus ditekankan ke bawah

sampai tertunduk, pada saat kepala Agus ditekan ke bawah oleh Yoga, Agus

langsung mengambil parang / bendo yang sudah di bawa dan disimpan di balik

baju Agus, kemudian Agus menyerang Yoga dengan mengayunkan parang /

bendo kearah leher sebelah kiri, akan tetapi di tangkis oleh Yoga dengan

menggunakan tangan kanan, sehingga melukai tangan kanan Yoga hingga tiga

jari putus, kemudian Agus menyerang lagi dengan mengayunkan parang/bendo

itu ke arah leher sebelah kiri dan melukai leher Yoga sebelah kiri, selanjutnya

Agus menyerang lagi dengan mengayunkan parang/bendo mengenai leher

sebelah kanan dan juga melukai leher sebelah kanan, kemudian Yoga jatuh

tersungkur ketanah, mengetahui Yoga sudah jatuh tersungkur kemudian Agus

menyerang lagi dengan mengayunkan parang/bendo kearah telinga sebelah

kiri, kemudian Yoga di bangunkan dan di dudukkan ditanah dengan di

senderkan di PAL/PATOK, pada saat itu melihat kalau Yoga masih hidup,

kemudian Agus mengambil tangan kiri Yoga lalu ditaruh di atas PAL

kemudian menebas tangan kiri dengan parang/bendo sebanyak dua kali,

sehingga dia tidak bergerak lagi dan mengakibatkan meninggal.10

Salah satu contoh kenakalan yang dilakukan anak nyatanya terjadi

zaman sekarang, Agus merupakan salah satu contoh anak nakal yang telah

melakukan tindak pidana pembunuhan, dan terbukti bersalah di pengadilan,

sehingga pengadilan menjatuhkan pidana penjara 7 ( tujuh ) tahun pada Agus,

10
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt
sesuai dengan amanat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak diatur bahwa apabila anak melakukan tindak

pidana pada batas umur yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tetapi diajukan

ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur

tersebut namun belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, maka tetap

diajukan ke Sidang Anak. Berdasarkan ketentuan yang tercantum di dalam

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut, maka petugas dituntut

ketelitiannya dalam memeriksa surat-surat yang berhubungan dengan bukti-

bukti mengenai kelahiran serta umur dari anak yang bersangkutan, dalam

masalah anak penyelesaian sengketa tidak hanya dilakukan dalam sistem

peradilan saja akan tetapi juga dikenal adanya restorative justice.

Pada tahun 1980an, Braithwaite memperkenalkan sistem

penghukuman dengan pendekatan restorative justice, karena terinspirasi oleh

masyarakat Maori dalam menangani penyimpangan di lingkungan mereka,

yang menekankan penyelesaian masalah dengan melibatkan masyarakat dan

petinggi masyarakat setempat untuk menyelsaikan masalah secara

kekeluargaan.11

Tony Marshall memberikan definisi dari restorative justice sebagai 12

“proses yang melibatkan semua pihak yang memiliki


kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk datang
bersama-sama menyelesaikan secara kolektif bagaimana

11
Braithwaite, John. Restorative Justice and Responsive Regulation. Ofxord: Oxford
University Press, 2002.

12
Ibid.
menyikapi dan menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan
implikasinya untuk masa depan.”,

Sedangkan Marian Liebmann secara sederhana mengartikan

restorative justice sebagai suatu sistem hukum yang13

“bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku


dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk
mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut.”

Pada dasarnya terdapat banyak definisi dari restorative justice. Dan pada tahun

2006, Restorative Justice Consortium, memberikan definisi sebagai berikut:

Restorative Justice works to resolve conflict and repair harm. It

encourages those who have caused harm to acknowledge the impact of what

they have done and gives them an opportunity to make reparation. It offers

those who have suffered harmthe opportunity to have their harmor loss

acknowledged and amends made. (Restorative Justice Consortium 2006)14

James Dignan, mengutip Van Ness dan Strong , menjelaskan bahwa

restorative justice pada mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash yang

berusaha melihat tiga bentuk yang berbeda dari peradilan pidana. Yang

pertama berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan utamanya adalah

pada penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Yang kedua

berhubungan dengan „keadilan distributif‟, yang penekanan utamanya adalah

pada rehabilitasi pelaku kejahatan. Dan yang ketiga adalah „keadilan

restoratif‟, yang secara luas disamakan dengan prinsip restitusi. Eglash


13
ibid

14
Liebmann, Marian. Restorative Justice: How It Works. London: Jessica Kingsley
Publisher, 2007.
dianggap sebagai orang pertama yang menghubungkan tiga hal tersebut dengan

pendekatan yang mencoba untuk mengatasi konsekuensi yang berbahaya dari

tindakan pelaku kejahatan dengan berusaha untuk secara aktif melibatkan, baik

korban dan pelaku, dalam suatu proses yang bertujuan untuk mengamankan

reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelanggar15

Liebmann memberikan, merumuskan prinsip dasar restorative justice sebagai

berikut:

1. Memprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban

2. Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan

3. Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman

4. Ada upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan

5. Pelaku pelanggar harus sadar tentang bagaimana cara menghindari

kejahatan di masa depan

6. Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak,

baik korban maupun pelaku.

Sedangkan proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan cara

mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali

segala hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang melibatkan keluarga

dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat), dan victim

awareness work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari

perbuatannya).16

15
Ibid
16
Ibid.
Peradilan Anak merupakan suatu pengkhususan pada lingkungan

Peradilan Umum, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan kualifikasi

perkara yang sama jenisnya dengan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam

hal melanggar ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP). Oleh karena hal tersebut, maka secara sistematika hukum (recht

sistematisch) isi kewenangan Peradilan Anak tidak akan dan tidak boleh.

1. Melampaui kompetensi absolut (absolute competenties) Badan

Peradilan Umum.

2. Memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara yang telah

menjadi kompetensi absolut lingkungan badan peradilan lain, seperti

Badan Peradilan Agama.

Secara internasional pelaksanaan peradilan pidana anak berpedoman

pada standard minimum Rules for the Adminitration of Juvenile Justice (The

Beijing Rules), yang memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:17

1. Kebijakan sosial memajukan kesejahtraan remaja secara maksimal

meperkecil intervensi sistem peradilan pidana.

2. Nondiskriminasi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses

peradilan pidana.

3. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya akhir.

4. Penentuan batas usia pertanggungjawaban kriminal terhadap anak.

17
United Nation Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (the
Beijing Rules) Adopted by General Assembly resolution 40/33 tanggal 29 November 1985.
5. Tindakan diversi dilakukan dengan persetujuan anak atau orang

tua/wali.

6. Pemenuhan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana anak.

7. Perlindungan privasi anak pelaku tindak pidana.

Seorang anak yang melakukan tindak pidana juga membutuhkan

perlindungan hukum sebagai salah satu cara melindungi tunas bangsa di masa

depan, perlindungan hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum

yang berlaku. Perlindungan ini perlu karena anak merupakan bagian

masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik maupun mental, oleh

karena itu anak memrlukan perlindungan dan perawatan khusus.18

Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara

tidak langsung. Secara langsung, maksudnya kegiatan tersebut langsung

ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan

seperti ini, antara lain dapat berupa cara melindungi anak dari berbagai

ancaman baik dari luar maupun dari dalam dirinya, mendidik, membina,

mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah kelaparan dan

mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, serta dengan cara

menyediakan pengembangan diri bagi anak. Sedangkan yang dimaksud dengan

perlindungan anak secara tidak langsung adalah kegiatan yang tidak langsung

18
Harkristuti Harkrisnowo. Menelaah Konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu (dalam
Konteks Indonesia). Seminar Keterpaduan Sistem Peradilan Pidana di Danau Toba. Medan .
Tanggal 4-5 April 2002, hlm. 3.
ditujukan kepada anak, melainkan orang lain yang terlibat atau melakukan

kegiatan dalam usaha perlindungan terhadap anak tersebut.19

Aspek hukum perlindungan anak secara luas mencakup hukum pidana,

hukum acara, dan hukum perdata, di Indonesia pembicaraan mengenai

perlindungan hukum mulai tahun 1997 dalam seminar perlindungan

anak/remaja yang diadakan prayuwana. Seminar tersebut menghasilkan dua hal

penting yang harus diperhatikn dalam perlindungan anak yaitu:

1. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang ataupun

lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan

pengamanan, penguasaan, dan pemenuhan kesejahtraan fisik, mental dan

sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.

2. Segala daya upaya bersama yang dilakukan dengan sadar oleh

perseorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta

untuk pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahtraan rohani dan

jasmani anak yang berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah nikah,

sesuai dengan hak asasi dan kepentingan agar dapat mengembangkan

hidupnya seoptimal mungkin.20

Sehingga pergerakan dan perkembangan pemikiran terfokus pada

kesejahteraan anak, dengan bertujuan memisahkan proses peradilan anak dan

orang dewasa serta melindungi anak dari penerapan hukum orang dewasa.21

19
Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung, PT Refika Aditama,
2008, hlm,.2.
20
Irma Setiyowati Sumitro. Op.cit., hlm. 4.
21
Anthony M. Platt. 1997. The Child Savers: the invention of Delinquency. Chicago dan
London: The University of Chicago Press. Second Edition, Englanrge, hlm. 54.
Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, telah diatur bahwa yang berkewajiban dan

bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara,

pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Jadi yang mengusahakan

perlindungan bagi anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan

kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi

tertentu. Perlindungan anak menyangkut berbagai aspek kehidupan agar anak

benar-benar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak

asasinya. Dalam masyarakat, ketentuan-ketentuan yang mengatur

mengenai masalah perlindungan anak dituangkan pada suatu bentuk aturan

yang disebut dengan Hukum Perlindungan Anak.

Hukum Perlindungan Anak merupakan sebuah aturan yang menjamin

mengenai hak-hak dan kewajiban anak yang berupa : hukum adat, hukum

perdata, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, maupun

peraturan lain yang berhubungan dengan permasalahan anak. Dalam bukunya

yang berjudul Hukum dan Hak-Hak Anak, mantan hakim agung, Bismar

Siregar mengatakan bahwa masalah perlindungan hukum bagi anak-anak

merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia,

di mana masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis saja tetapi

juga perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya.22

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk membuat skripsi

dengan judul: TINDAK PIDANA TERHADAP NYAWA MANUSIA

22
Bismar Siregar dkk. Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta : Rajawali, 1986, hlm. 22.
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Tinjauan Yuridis Terhadap

Putusan Pidana Nomor : 55 / Pid. Sus / 2011 / PN. Pwt )

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka peneliti dapat

membatasi masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan unsur-unsur dari Pasal 338 Kitab Undang Undang

Hukum Pidana pada tindak pidana terhadap nyawa manusia yang

dilakukan oleh anak dalam perkara Nomor : 55 / Pid. Sus / 2011 / PN.

Pwt?

2. Apa dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak

pidana terhadap nyawa manusia yang dilakukan anak pada perkara Nomor

: 55 / Pid. Sus / 2011 / PN. Pwt ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dari skripsi ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui penerapan unsur-unsur dari Pasal 338 Kitab Undang

Undang Hukum Pidana pada tindak pidana terhadap nyawa manusia yang

dilakukan oleh anak dalam perkara Nomor : 55 / Pid. Sus / 2011 / PN.

Pwt.

2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus

perkara tindak pidana terhadap nyawa manusia yang dilakukan anak pada

perkara Nomor : 55 / Pid. Sus / 2011 / PN. Pwt.


D. Kegunaan Penelitian

Dari tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diharapkan penulisan dan

pembahasan penulisan hukum ini dapat memberikan kegunaan atau manfaat

baik secara teorits maupun praktis sebagai bagian yang tak terpishkan, bagi

kalangan akademisi hukum, yaitu :

1. Manfaat Teoritis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan

ilmu hukum, khususnya untuk memperluas pengetahuan dan menambah

referensi khususnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penerapan

hukuman terhadap anak di Indonesia.

2. Manfaat Praktis:

Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah khususnya

aparat penegak hukum mudah-mudahan dapat melakukan perubahan

paradigma dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan

perubahan dinamika yang terjadi dalam memenuhi keadilan

masyarakat, sehingga dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara

profesional, manusiawi, dan berkeadilan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

D. Pengertian Tindak Pidana

1. Pengertian tindak pidana menurut para ahli hukum

Pengertian “het strafbaarfeit” telah diterjemahkan oleh para sarjana

menjadi berbagai macam arti, dan para sarjana itu mempunyai batasan dan

alasan tersendiri untuk menentukan pengertian het strafbaarfeit.

Untuk lebih jelasnya, peneliti mengutip beberapa pengertian tentang tindak

pidana menurut pakar dan ahli hukum pidana seperti tersebut di bawah ini:

Menurut Moeljatno dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana,

menerjemahkan istilah perbuatan pidana adalah:23

“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan


mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga
dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh
suatu aturan dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada
itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu
suatu keadaan atau kejadian yang ditentukan oleh kelakuan
orang. Sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang
yang menimbulkan kejadian itu.”

Pengertian tindak pidana menurut Bambang Purnomo dalam

bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, yang mengatakan bahwa:24

“Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung


suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana sebagai istilah
yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri
tertentu pada peristiwa hukum pidana, perbuatan pidana
23
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, Hlm. 54.
24
Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, Hlm.
16.
mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa
konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan
pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan
ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah
yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat”.

Sianturi dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan

penerapannya, mengartikan het strafbaarfeit ke dalam Bahasa Indonesia

menjadi:

1) Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum

2) Peristiwa Pidana

3) Perbuatan Pidana

4) Tindak Pidana

Selanjutnya Sianturi mengutip pendapat Moeljatno bahwa perbuatan pidana

maksudnya adalah, bahwa:25

“Hal itu dibuat oleh seseorang dan ada sebab maupun


akibatnya, sedangkan pengertian peristiwa tidak menunjukkan
bahwa yang melakukan adalah seorang manusia, bisa hewan
atau alam melakukannya”.

Menurut Simons, strafbaarfeit yang dikutip oleh P.A.F.

Lamintang dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, yang

mengatakan bahwa:26

“Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan


sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan
sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.

25
Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta,
1990,
26
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,
1994, Hlm 172.
Adapun menurut J.E.Jonkers, yang dikutip oleh Martiman

Prodjohamidjojo dalam bukunya Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana

Indonesia, memberikan definisi strafbaarfeit menjadi dua pengertian,

yaitu:27

1) Definisi pendek memberikan pengertian bahwa strafbaarfeit


adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh
undang-undang.
2) Definisi panjang atau lebih mendalam bahwa strafbaarfeit
adalah suatu kelakuan melawan hukum berhubung dilakukan
dengan sengaja atau alpa oleh orang dapat
dipertanggungjawabkan.

Perbuatan pidana oleh Moeljatno dirumuskan sebagai perbuatan

yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar

larangan tersebut dan perbuatan tersebut harus betul-betul dirasakan oleh

masyarakat sebagai perbuatan yang menghambat tercapainya tata

pergaulan dalam masyarakat seperti yang dicita-citakan masyarakat,

perbuatan itu juga harus memenuhi unsur formil dan materil, unsur formil

adalah unsur yang sesuai dengan rumusan Undang-undang, dan unsur

materil adalah yang bersifat melawan hukum atau tidak sesuai dengan

dicita-citakan mengenai pergaulan masyarakat. Perbuatan atau rangkaian

perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-undang atau

Peraturan lainnya, yaitu perbuatan tersebut dikenai tindakan penghukuman.

Selanjutnya Sianturi mengutip pendapat Satochid Karta Negara

mengenai istilah tindak pidana (tindakan) menurutnya tindak pidana

27
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, Hlm. 15-16
mencakup pengertian melakukan atau perbuatan atau pengertian tidak

melakukan, dan istilah peristiwa tidak menunjukkan kepada hanya

tindakan manusia saja.

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-asas

Hukum Pidana di Indonesia mengatakan, bahwa:28

“Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman.

Dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak

pidana”.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam bukunya Memahami

Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia menerangkan dari beberapa pakar

hukum pidana memberikan definisi mengenai strafbaarfeit, antara lain:29

1) Simons, mengatakan bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan


yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum yang
berhubungan dengan kesalahan dan di lakukan oleh orang
yang mampu bertanggung jawab.
2) Hamel dan Noyon-Langemeyer, mengatakan bahwa
strafbaarfeit itu sebagai kelakuan orang yang bersifat
melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan
kesalahan.
3) Van Hatum, mengatakan bahwa perbuatan oleh karena
mana seseorang dapat dipidana.
4) Moeljatno, mengatakan perbuatan pidana adalah perbuatan
yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam
dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.

2. Unsur tindak pidana


Dari beberapa perumusan Strafbaarfeit jelas bahwa adanya suatu

perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut merupakan unsur-unsur

28
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986,
Hlm. 55.
29
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.
yang sangat penting di dalam usaha mengemukakan adanya suatu tindak

pidana.

Unsur-unsur tindak pidana, menurut Leden Marpaung dalam

bukunya Hukum Pidana Bagian Khusus, membedakan 2 macam unsur

yaitu:30 Unsur subjektif; Unsur objektif.

Selanjutnya Leden Marpaung menjelaskan beberapa unsur-unsur

tindak pidana diantaranya adalah: Unsur Subjektif adalah unsur-unsur

yang melekat pada si pelaku tindak pidana dalam hal ini termasuk juga

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur-unsur Subjektif dari suatu tindak pidana adalah :

a. Kesengajaan atau ketidak sangajaan (dolus atau culpa)


b. Maksud pada suatu percobaan
c. Macam-macam maksud seperti yang terdapat di dalam
kejahatan–kejahatan Pembunuhan, Pencurian,
Penipuan.
d. Merencanakan terlebih dahulu, Pasal 340 KUHP.

Kemudian yang dimaksud dengan Unsur Objektif adalah unsur

yang ada hubungan dengan keadaan tertentu di mana keadaan-keadaan

tersebut sesuatu perbuatan telah dilakukan.

Unsur-unsur Objektif dari suatu tindak pidana adalah :

a. Sifat melawan hukum. Misalnya Pasal 338 KUHP.


b. Kausalitas (sebab-akibat) dari pelaku.
c. Kausalitas yaitu hubungan antara sesuatu tindakan
sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan akibat.

30
Leden Marpaung, Hukum Pidana Bagian Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, Hlm. 9
Adapun istilah unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno,

terbagi ke dalam beberapa unsur antara lain :

a. Kecaman dan akibat (perbuatan).


b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
d. Unsur melawan hukum.yang objektif.
e. Unsur melawan hukum yang subjektif.

Adapun menurut J. B. Daliyo dalam bukunya Pengantar Hukum

Indonesia, mengatakan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga

suatu peristiwa pidana ialah:31

a. Harus ada suatu perbuatan, maksudnya bahwa memang


benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau beberapa orang, kegiatan itu terlihat
sebagai suatu perbuatan yang dapat dipahami oleh orang
lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan
dalam ketentuan hukum artinya perbuatannya sebagai
suatu peristiwa hukum yang dapat memenuhi isi
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu,
pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti
yang terjadi dan terhadapnya wajib mempertanggung
jawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu.
Berkenaan dengan syarat ini hendaknya dapat dibedakan
bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat
dipersalahkan dan terhadap pelakunya tidak perlu
mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak dapat
dipersalahkan itu karena dilakukan oleh seseorang atau
beberapa orang dalam melaksanakan tugas, membela
diri dari ancaman orang lain yang mengganggu
keselamatanya dan dalam keadaan darurat.
c. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat
dipertanggung jawabkan. Maksudnya bahwa perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu
dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang
disalahkan oleh ketentuan hukum.
d. Harus berlawanan dengan hukum. Artinya suatu
perbuatan yang berlawanan dengan hukum dimaksudkan

31
J.B.Daliyo ,Pengantar Hukum Indonesia, PT. Prenhallindo, Jakarta, 2001, Hlm. 14
kalau tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan
aturan hukum.

Harus tersedia ancaman hukumannya. Maksudnya kalau ada

ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu

perbuatan tertentu dan ancaman hukuman itu dinyatakan secara tegas

maksimal hukumannya yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Kalau

di dalam suatu perbuatan tertentu maka dalam peristiwa pidana terhadap

pelakunya tidak perlu melaksanakan hukuman tertentu.

Dengan mencermati pengertian di atas, maka unsur-unsur tindak

pidana berhubungan dengan unsur-unsur kesalahan yang mencakup

beberapa hal yang penting yaitu, unsur-unsur tindak pidana yang dilihat dari

segi adanya perbuatan melawan hukum, perbuatan tersebut dapat

dipertanggung jawabkan adanya unsur kesalahan, memenuhi rumusan

undang-undang dan tidak adanya alasan pembenaran dan pemaaf.

3. Macam-macam tindak pidana

Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana,

delik itu dapat dibedakan atas pelbagai pembagian tertentu seperti tersebut

dibawah ini :

a. Delik kejahatan dan delik pelanggaran (misdrijven en


oventredingen)
Kejahatan ialah delik-delik yang melanggar kepentingan
hukum dan juga membahayakan secara konkret,
pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja.
Secara kuantitatif pembuat Undang-undang membedakan
delik kejahatan dan pelanggaran itu: Untuk mengetahui
yang mana delik kejahatan dan yang mana pula delik
pelanggaran, dalam KUHP lebih mudah karena jelas
kejahatan pada buku II sedangkan pelanggaran pada
buku III .
b. Delik materiel dan formel ( materiele end formele
delicten)
Pada delik materil disebutkan adanya akibat tertentu,
dengan atau tanpa menyebut perbuatan tertentu. Pada
delik formil, disebut hanya suatu perbuatan tertentu
sebagai dapat dipidana misalnya Pasal 160, 209, 242,
263, 362 KUHP.
c. Delik komisi dan delik omisi (commissiedelicten end
omissiedelicten)
Delik komisi (delicta commissionis) ialah delik yang
dilakukan dengan perbuatan. Delik omisi
(ommissiedelicten) dilakukan dengan membiarkan atau
mengabaikan (nalaten).
Delik omisi terbagi menjadi dua bagian:
1) Delik omisi murni adalah membiarkan sesuatu yang
diperintahkan seperti pasal 164, 224, 522, 511 KUHP.
2) Delik omisi tidak murni (delicto commissionis per
omissionem)
Delik ini terjadi jika oleh Undang-undang tidak
dikehendaki suatu akibat (yang akibat itu dapat
ditimbulkan dengan suatu pengabaian). Seperti Pasal
338 KUHP yang dilakukan dengan jalan tidak
memberi makan.
d. Delik selesai dan delik berlanjut (af lopende en
voordorende delicten)
Delik selesai adalah delik yang terjadi dengan melakukan
suatu atau beberapa perbuatan tertentu. Delik yang
berlangsung terus ialah delik yang terjadi karena
meneruskan keadaan yang dilarang.
e. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en
samengesteede delicten)
Delik berangkai berarti suatu delik yang dilakukan
dengan lebih dari satu perbuatan untuk terjadinya delik
itu. Van Hamel menyebut ini sebagai delik kolektif.
Contoh yang paling utama ialah delik yang dilakukan
sebagai kebiasaan seperti pasal 296 KUHP.
f. Delik bersahaja dan delik berkualifikasi (eenvoudige
en gequalificeerde delicten)
Delik berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai
semua unsur bentuk dasar, tetapi satu atau lebih keadaan
yang memperberat pidanaatau tidak menjadi soal apakah
itu merupakan unsur atau tidak misalnya pencurian
dengan membongkar, pembunuhan berencana (sebagai
lawan pembunuhan). Sebaliknya ialah delik berprivilege
(geprivilegieer de delict), bentuk khusus yang
mengakibatkan keadaan-keadaan pengurangan pidana
(tidak menjadi soal apakah itu unsur ataukah tidak),
dipidana lebih ringan dari bentuk dasar, misalnya
pembunuhan anak lebih ringan dari pembunuhan biasa.
Perbedaan antara delik bersahaja dan delik berkualifikasi
(termasuk berprivilege) penting dalam mempelajari teori
percobaan objektif dan penyertaan.

g. Delik sengaja dan delik kelalaian atau culpa (doleuse


en culpose dellicten)
Delik yang dilakukan sengaja dan delik kelalaian penting
dalam hal percobaan, penyertaan, pidana kurungan,
pidana perampasan.
h. Delik politik dan delik komun atau umum (politeeke
en commune delicten)
Delik politik dibagi atas:
1) Yang murni, tujuan politik yang hendak dicapai yang
tercantum didalam bab I buku II, pasal 107. Disini
termasuk Landes Verrat dan Hochverrat. Di dalam
komperensi hukum pidana di Kopenhagen 1935
diberikan definisi tentang delik politik sebagai
berikut:
Suatu kejahatan yang menyerang baik
organisasi, maupun fungsi-fungsi negara dan juga
hak-hak warga negara yang bersumber dari situ.
2) Delik politik campuran, setengah delik politik
setengah delik komun (umum).
i. Delik propria dan delik komun (delicta propria en
commune deliction)
Delik propia diartikan delik yang hanya dapat dilakukan
oleh orang-orang yang mempunyai kualitas tertentu,
seperti delik jabatan, delik militer, dsb

B. Tindak Pidana Pembunuhan

1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan

Perkembangan kehidupan dalam suatu masyarakat yang sangat

pesat menimbulkan persaingan yang ketat untuk memperoleh penghidupan

yang layak, sehingga tidak sedikit dari masyarakat untuk menghalalkan

segala cara untuk mendapat apa yang mereka inginkan, keadaan tersebut

tak mudah untuk dihadapi sehingga menyebabkan penyimpangan tingkah


laku dalam masyarakat, apabila dilihat dari keadaan faktor ekonomi

merupakan salah satu penyebab paling sensitif akan perbuatan masyarakat

yang menyimpang, perbuatan masyarakat yang menyimpang itu salah

satunya adalah membunuh, yaitu dengan kata lain merampas/ mengambil

nyawa orang lain dengan melanggar hukum, apabila dilihat dari kamus

besar bahasa Indonesia pengertian pembunuhan adalah:32

“pembunuhan menurut kamus besar bahasa Indonesia


adalah proses, perbuatan, atau cara membunuh
(menghilangkan, menghabisi, mencabut nyawa)”

Perbuatan yang dikatakan membunuh adalah perbuatan yang oleh

siapa saja yang sengaja merampas nyawa orang lain. pembunuhan

(Belanda : Doodslag) itu dincam dengan pidana penjara paling lama lima

belas tahun (Pasal 338 KUHP). jika pembunuhan itu telah direncanakan

lebih dahulu maka disebut pembunuhan berencana (Belanda : Moord),

yang diancam dengan pidana penjara selama waktu tertentu paling lama

dua puluh tahun atau seumur hidup atau pidana mati (Pasal 340 KUHP).33

Bunyi Pasal 338 KUHP adalah :

“barang siapa dengan sengaja menghilangkan


nyawa orang lain dipidana karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”.

Bunyi Pasal 340 KUHP adalah :

“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih


dahulu merampas nyawa orang lain diancam,
karena pembunuhan dengan rencana (moord),
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
32
Dekdipbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta;Balai Pustaka,2005, hlm. 257
33
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia. Bandung. Alumni 2005, hlm., 129-
130.
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua
puluh tahun”.

Perkataan nyawa sering disinonim dengan "jiwa". pembunuhan

adalah suatu perbuatan yang dilakukan sehingga menyebabkan hilangnya

seseorang dengan sebab perbuatan menghilangkan nyawa. dalam KUHP

Pasal 338-340 menjelaskan tentang pembunuhan atau kejahatan terhadap

jiwa orang. kejahatan ini dinamakan "makar mati" atau pembunuhan

(Doodslag).34

2. Unsur Tindak Pidana Pembunuhan

Kejahatan terhadap nyawa diatur dalam KUHP BAB XIX Pasal

338-350. Arti nyawa sendiri hampir sama dengan arti jiwa. Kata jiwa

mengandung beberapa arti, antara lain; pemberi hidup, jiwa, roh (yang

membuat manusia hidup). Sementara kata jiwa mengandung arti roh

manusia dan seluruh kehidupan manusia.

Dengan demikian kejahatan terhadap nyawa dapat diartikan

sebagai kejahatan yang menyangkut kehidupan seseorang

(pembunuhan/murder).

Kejahatan terhadap nyawa dapat dibedakan beberapa aspek:

a. Berdasarkan KUHP, yaitu:

1) Kejahatan terhadap jiwa manusia

2) Kejahatan terhadap jiwa anak yang sedang/baru lahir.

3) Kejahatan terhadap jiwa anak yang masih dalam kandungan

34
Lade Marpung. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta. Sinar Grafika,
1999, hlm. 4.
b. Berdasarkan unsur kesengajaan (dolus) Dolus menurut teori kehendak

(wilsiheorie) adalah kehendak kesengajaan pada terwujudnya

perbuatan.35

Sedangkan menurut teori pengetahuan kesengajaan adalah

kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur yang diperlukan.

Kejahatan itu meliputi:

a. Dilakukan secara sengaja

b. Dilakukan secara sengaja dengan unsur pemberat

c. Dilakukan secara terencana

d. Keinginan dari yang dibunuh

e. Membantu atau menganjurkan orang untuk bunuh diri.

Dalam hal menghilangkan atau merampas jiwa orang lain, ada

beberapa teori, yaitu:

a. Teori Aequivalensi yang dianut oleh Von Buri atau dikenal dengan

teori (condition sin quanon) yang menyatakan bahwa semua faktor

yang menyebabkan suatu akibat adalah sama (tidak ada unsur

pemberat)

b. Teori Adaequato yang dipegang oleh Van Kries atau lebih dikenal

dengan teori keseimbangan, yang menyatakan bahwa perbuatan itu

seimbang dengan akibat (ada alasan pemberat).

c. Teori Individualis dan Generalis dari T. Trager yaitu bahwa faktor

dominan yang paling menentukan, suatu akibat itulah yang

35
Adami Chazawi.Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. PT RajaGrafindo, Jakarta,
2001, hlm. 50
menyebabkannya, sementara menurut teori nyawa atau generalisasi

faktor yang menyebabkan itu akibatnya harus dipisah satu-persatu.36

Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau

dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu:

a. Atas dasar unsur kesalahannya.

Berkenaan dengan tindak pidana terhadap nyawa tersebut pada

hakikatnya dapat dibedakan sebagai berikut:

1) Dilakukan dengan sengaja yang diatur dalam pasal bab XIX

KUHP

2) Dilakukan karena kelalaian atau kealpaan yang diatur bab XIX

3) Karena tindak pidana lain yang mengakibatkan kematian yang

diatur dalam Pasal 170, 351 ayat 3, dan lain-lain.

b. Atas dasar obyeknya (nyawa).

Atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka

kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 macam,

yaitu:

1). Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam

Pasal 338, 339, 340, 344, 345 KUHP.

2). Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah

dilahirkan, dimuat dalam Pasal 341, 342, dan 343 KUHP.

3) Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan

ibu (janin), dimuat dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP.

36
Ibid., hlm 63-64
Kejahatan terhadap nyawa ini disebut delik materiil yakni delik

yang hanya menyebut sesuatu akibat yang timbul tanpa menyebut cara-

cara yang menimbulkan akibat tersebut. Perbuatan dalam kejahatan

terhadap nyawa dapat berwujud menembak dengan senjata, api, menikam

dengan pisau, memberikan racun dalam makanan, bahkan dapat berupa

diam saja dalam hal seseorang berwajib bertindak seperti tidak

memberikan makan kepada seorang bayi.

Timbulnya tindak pidana materiil sempurna, tidak semata-mata

digantungkan pada selesainya perbuatan, melainkan apakah dari wujud

perbuatan itu telah menimbulkan akibat yang terlarang ataukah belum atau

tidak. Apabila karenanya (misalnya membacok) belum mengakibatkan

hilangnya nyawa orang lain, kejadian ini dinilai baru merupakan

percobaan pembunuhan (338 jo 53),dan belum atau bukan pembunuhan

secara sempurna sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 33837

Dan apabila dilihat dari sudut cara merumuskannya, maka tindak

pidana materiil ada 2 macam, yakni:

a. Tindak pidana materiil yang tidak secara formil merumuskan tentang

akibat yang dilarang itu, melainkan sudah tersirat (terdapat) dengan

sendirinya dari unsur perbuatan menghilangkan nyawa dalam

pembunuhan (338).

37
Ibid
b. Tindak pidana materiil yang dalam rumusannya mencantumkan unsur

perbuatan atau tingkah laku. Juga disebutkan pula unsur akibat dari

perbuatan (akibat konstitutif) misalnya pada penipuan (378) .

3. Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Pembunuhan

Berkembangnya kehidupan dalam suatu masyarakat yang

menimbulkan berbagai masalah sosial membuktikan bahwa kehidupan

manusia semakin sulit, keadaan tersebut tidak mudah dihadapi sehingga

akhirnya menyebabkan penyimpangan tingkah laku dalam suatu

masyarakat (deviant), kemudian orang lalu bertingkah laku dengan

melanggar norma-norma yang berlaku dan berbuat sekehendak dirinya

sendiri untuk mencapai kepuasan dan kepentingan sendiri tanpa

memperhatikan hak-hak dan kepentingan yang lainnya.38

Sebagai akibat dari perubahan dalam masyarakat tersebut

kemudian Romli Atmasasmita dalam bukunya Teori dan Kapita Selekta

Kriminologi, mengutip pendapat Durkheim yang mengemukakan

bahwa:39

“Terjadinya penyimpangan tingkah laku yaitu adanya


tradisi yang telah menghilang dan telah terjadi
deregulasi di dalam masyarakat”.

Selanjutnya masih menurut Romli Atmasasmita yang mengutip

pendapat Merton, mengemukakan bahwa:40

38
Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung,
1982, Hlm.21-25.
39
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung, 1992,
Hlm.23.
40
Ibid.
“Penyimpangan tingkah laku atau deviant merupakan
gejala dari suatu struktur masyarakat di mana aspirasi
budaya yang sudah terbentuk terpisah dari sarana yang
tersedia di masyarakat”.

Dari kedua pendapat yang dikemukakan oleh Durkheim dan

Merton. tersebut, maka lahirlah berbagai wujud penyimpangan tingkah

laku seperti pembunuhan, pemerkosaan, perbuatan cabul dan perbuatan

lainnya yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Keadaan

tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, ekonomi, psikologi

(kejiwaan), keluarga bahkan timbul dari dirinya sendiri, sehingga

perbuatan itu melanggar aturan-aturan hukum.

a. Faktor yang bersumber dari pribadinya

Hal ini biasanya dapat dilihat dari ciri-ciri kepribadian itu sendiri,

misalnya kurang keimanan kepada ALLAH SWT (tidak melakukan

ibadah-ibadah yang diwajibkan maupun yang disunahkan), dan kurangnya

pendidikan dalam keluarga maupun pendidikan formal.

b. Faktor Ekonomi

Berdasarkan pengamatan peneliti, timbulnya pembunuhan itu

sebagian besar disebabkan dari pergaulan dan kondisi ekonomi yang tidak

menentu mengakibatkan emosi sangat cepat meluap.

c. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan tidak kalah dominannya dengan faktor pribadi

dan faktor ekonomi yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam delik

pembunuhan, di bawah ini beberapa contoh yang mempengaruhi faktor


lingkungan: Lingkungan keluarga atau rumah tangga, Lingkungan keluarga

yang diliputi dengan ajaran yang Islami tentunya berbeda dengan keluarga

yang tidak disertai dengan Islami dalam rumah tangganya, sehingga

keluarga yang tidak Islami tentunya akan mempengaruhi anak

keturunannya dikemudian hari.

Sebagaimana dikemukakan oleh Soedjono bahwa corak-corak

keluarga yang dapat menghasilkan anak nakal adalah sebagai berikut:41

1) Anggota-anggota lainnya, karena penjudi, pemabuk,


penjahat, dan sebagainya.
2) Tidak ada salah satu dari orangtuanya karena meninggal,
perceraian, atau melarikan diri dari tanggungjawab.
3) Kurang perhatiannya dari orangtuanya, karena masa bodoh,
cacat indera, sakit jiwa dan lain-lain.
4) Tidak mampu menguasai diri sendiri, iri hati, cemburu
pada anggota keluarga dan banyaknya campur tangan
pihak lain.
5) Tekanan ekonomi seperti pengangguran, kurangnya
penghasilan dan karena orangtua sibuk bekerja diluar
rumah.

Lingkungan pergaulan, sudah kodratnya manusia lahir di dunia

mempunyai naluri dan harus hidup berkelompok serta bergaul dengan

orang lain, bahkan apabila suatu saat seseorang dipisahkan dari kelompok

orang dan hidup sendirian, maka kemungkinan besar orang tersebut akan

terganggu keseimbangan jiwanya.

Oleh karena itu sudah merupakan gejala yang wajar apabila

manusia mencari teman dari masa kanak-kanak sampai dewasa.

Sedangkan dalam pergaulan dengan kawan-kawan yang kurang baik dan

41
ibid,
terlalu bebas tanpa adanya pengawasan dari orang tua, maka akan

membentuk suatu watak kepribadian yang kurang baik.

4. Kualifikasi Tindak Pidana Pembunuhan

Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja disebut

atau diberi kualifikasi sebagai pembunuhan, yang terdiri dari :

a. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, 338 KUHP)

b. Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului dengan tindak

pidana lain (339 KUHP)

c. Pembunuhan berencana (moord, 340)

d. Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama

setelah dilahirkan (341, 342, dan 343)

e. Pembunuhan atas permintaan korban (344)

f. Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri (345)

g. Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan (346 s/d 349)42

1) Pembunuhan Biasa Dalam bentuk Pokok

Kejahatan nyawa yang dilakukan dengan sengaja

(pembunuhan) dalam bentuk pokok, dimuat dalam pasal 338 KUHP

yang rumusannya adalah :

“barang siapa dengan sengaja


menghilangkan nyawa orang lain dipidana
karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama 15 tahun”.

42
Adami Chazawi.Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa.PT RajaGrafindo, Jakarta,
2001, hlm. 55.
Rumusan Pasal 338 KUHP dengan menyebutkan unsur tingkah

laku sebagai “menghilangkan nyawa” orang lain, menunjukan bahwa

kejahatan pembunuhan adalah suatu tindak pidana materil. Tindak pidana

materil adalah suatu tindak pidana yang melarang menimbulkan akibat

tertentu (akibat yang dilarang atau akibat konsitutif/constitutief gevolg).

Untuk dapat terjadi atau timbulnya tindak pidana materil secara sempurna,

tidak semata-mata digantungkan pada selesainya perbuatan, apabila

perbuatan itu tidak mengakibatkan hilangnya nyawa orang maka perbuatan

itu merupakan percobaan pembunuhan (338 jo 53), dan belum atau bukan

pembunuhan secara sempurna sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 338

KUHP.43

Ajaran Von Buri yang dikenal dengan teori conditio sine qua non,

yang pada pokoknya menyatakan bahwa semua faktor yang ada dianggap

sama pentingnya dan karnanya dinilai sebagai penyebab dari timbulnya

akibat. Oleh karna itu setiap faktor sama pentingnya, maka satu faktor

tidak boleh dihilangkan dari rangkaian faktor penyebab, sebab apabila

dihilangkan akibat itu tidak akan terjadi44

Dalam perkembangan selanjutnya timbul banyak teori yang

berusaha memperbaiki dan menyempurnakan teori Von Buri, yang pada

dasarnya teori-teori tersebut mencari batasan antara mana faktor syarat dan

mana faktor penyebab atas suatu akibat, teori-teori ini dapat dikelompokan

kedalam dua teori besar , yakni

43
Ibid., hlm. 57-58.
44
Ibid., hlm. 60
a. Teori yang mengidividualisir (individualiserede theorien), atau

teori yang membedakan.

b. Teori yang menggeneralisir (generaliserende theorien), atau teori

yang menyamakan.

Teori yang mengidividualisir maksudnya ialah bahwa dalam

menentukan faktor sebab, hanyalah melihat pada faktor mana yang paling

berperan atau paling dominan (mempunyai andil paling besar) terhadap

timbulnya akibat, sedangkan faktor lain adalah faktor syarat.

Sedangkan teori yang menggenralisir, maksudnya ialah dalam

mencari untuk menentukan faktor sebab hanya melihat pada faktor mana

yang pada umumnya menurut kewajaran dapat menimbulkan akibat.45

Karena terdapat kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan

ketidakpuasan bagi banyak ahli hukum terhadap teori yang

mengidividualisir, maka timbulah teori yang menggenralisir, teori ini pada

garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

a) Teori Adequat Subyektif

Teori adequat sebyektif yang dipelopori oleh J Von Kries, yang

menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian

yang normal adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang

timbul, yang faktor ini diketahui atatu didasari oleh yang bersangkutan

sebagai adequat untuk menimbulkan akibat itu.

b) Teori Adequat Obyektif

45
Ibid.,hlm. 62
Apabila teori adequat sebyektif dari J Von Kries dalam hal

mencari faktor yang menurut kejadian yang normal yang didasari

sebanding atau layak untuk menimbulkan akibat, yang artinya dengan

melihat dari sudut subyektif, dan oleh karna itu pandangan Von kries ini

dinamakan subjective prognose (peramalan yang subjektif)46

Lain halnya dengan teori adequat objektif yang dipelopori oleh

Rumelin yang disebut dengan teori Obyektif nacbtraglicbe prognose

(peramalan yang obyektif). Menurut teori ini, dalam hal mencari faktor

penyebab dari timbulnya suatu akibat pada faktor-faktor obyektif yang

ada setelah (post factum) timbulnya akibat yang dapat dipikirkan secara

obyektif dapat minimbulkan akibat. Bagaimana alam pikiran/sikap batin

yang bersangkutan sebelum berbuat tidaklah penting, melainkan

bagaimana kenyataan obyektif setelah timbulnya akibat, apakah faktor

atau perbuatan tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk

menimbulkan akibat itu.47

b. Pembunuhan Yang Diikuti, Disertai Atau Didahului Oleh Tindak

Pidana Lain .

Pembunuhan yang dimaksudkan ini adalah sebagaimana yang

dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, yang berbunyi:

“Pembunuhan yang diikuti. Disertai atau didahului


oleh suatu tindak pidana lain. Yang dilaksanakan
dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pelaksanaannya, atau untuk
menghindarkan diri sendiri maupun peserta lainnya

46
Ibid.
47
Ibid., hlm. 63-64
dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun
untuk memastikan penguasaan benda yang
diperolehnya secara melawan hukum, pidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau
sementara waktu, paling lama 20 tahun.”

c. Pembunuhan Berencana

Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai

berikut:

“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu


merampas nyawa orang lain diancam, karena
pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.

Pengertian “dengan rencana lebih dahulu” menurut M.v.T.

pembentukan Pasal 340 KUHP diutarakan, antara lain :

“dengan rencana lebih dahulu” diperlukan saat pemikiran


dengan tenang dan berfikir dengan tenang. Untuk itu
sudah cukup jika si pelaku berpikir sebentar saja sebelum
atau pada waktu ia akan melakukan kejahatan sehingga
ia menyadari apa yang dilakukannya.48

M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan “direncanakan lebih dahulu”


antara lain :
“bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk
mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang.”49

Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar

dan sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan

niatnya, maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.

d. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya

48
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm.31
49
Tirtaamidjaja. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta. Fasco. 1995.
1) Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (kinder-doodslag)

Hal ini diatur oleh Pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

“Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa


anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama
sesudah dilahirkan karena takut ketahuan bahwa ia
sudah melahirkan anak dihukum karena pembunuhan
anak dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh
tahun”.

Unsur pokok dalam Pasal 341 KUHP tersebut adalah bahwa

seorang ibu dengan sengaja merampas nyawa anaknya sendiri pada saat ia

melahirkan anaknya atau tidak berapa lama setelah anak dilahirkan.

Sedangkan unsur yang penting dalam rumusan Pasal tersebut adalah bahwa

perbuatannya si ibu harus didasarkan atas suatu alasan (motief), yaitu

didorong oleh perasaan takut akan diketahui atas kelahiran anaknya.50

2) Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya Secara Berencana (kinder-moord)

Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

“Seorang ibu dengan sengaja akan menjalankan


keputusan yang diambil sebab takut ketahuan
bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak,
menghilangkan jiwa anaknya itu pada saat
dilahirkan atau tidak lama kemudian daripada itu
dihukum karena membunuh bayi secara
berencana dengan hukuman penjara selama-
lamanya sembilan tahun”.

Pasal 342 KUHP dengan Pasal 341 KUHP bedanya adalah bahwa

Pasal 342 KUHP, telah direncanakan lebih dahulu, artinya sebelum

melahirkan bayi tersebut, telah dipikirkan dan telah ditentukan cara-cara

50
Chidir Ali, Respons., hlm. 76
melakukan pembunuhan itu dan mempersiapkan alat-alatnya. Tetapi

pembunuhan bayi yang baru dilahirkan, tidak memerlukan peralatan

khusus sehingga sangat rumit untuk membedakannya dengan Pasal 341

KUHP khususnya dalam pembuktian karena keputusan yang ditentukan

hanya si ibu tersebut yang mengetahuinya dan baru dapat dibuktikan jika

si ibu tersebut telah mempersiapkan alat-alatnya.51

e. Pembunuhan Atas Permintaan Korban

Hal ini diatur oleh Pasal 344 KUHP yang bunyinya sebagai

berikut:

“Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas


permintaan orang lain itu sendiri, yang disebutkan
dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama-lamanya dua belas tahun”.

Pasal 344 KUHP ini membicarakan mengenai pembunuhan atas

permintaan dari yang bersangkutan. Unsur khususnya, yaitu permintaan

yang tegas dan sungguh/nyata, artinya jika orang yang minta dibunuh itu

permintaanya tidak secara tegas dan nyata, tapi hanya atas persetujuan

saja, maka dalam hal ini tidak ada pelanggaran atas Pasal 344, karena

belum memenuhi perumusan dari Pasal 344, akan tetapi memenuhi

perumusan Pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa).

Contoh dari pelaksanaan Pasal 344 KUHP adalah jika dalam

sebuah perang, dimana kalau salah seorang prajurit menderita sakit parah

sehingga ia tidak ada harapan untuk meneruskan perang, sedangkan ia

51
Ibid.
tidak suka membebani kawan-kawannya dalam mencapai tujuan; di dalam

hal ini mungkin ia minta dibunuh saja.52

f. Penganjuran dan Pertolongan Pada Bunuh Diri

Hal ini diatur oleh Pasal 345 KUHP yang bunyinya sebagai

berikut:

“Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang


supaya membunuh diri, atau menolongnya
dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar
kepadanya untuk itu, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun, kalau jadi
orangnya bunuh diri”.

Yang dilarang dalam Pasal tersebut, adalah dengan sengaja

menganjurkan atau memberi daya upaya kepada orang lain, untuk bunuh

diri dan kalau bunuh diri itu benar terjadi. Jadi seseorang dapat terlibat

dalam persoalan itu dan kemudian dihukum karena kesalahannya,

apabila orang lain menggerakkan atau membantu atau memberi daya

upaya untuk bunuh diri; dan baru dapat dipidana kalau nyatanya orang

yang digerakkan dan lain sebagainya itu membunuh diri dan mati

karenanya.53

Unsur “jika pembunuhan diri terjadi” merupakan “bijkomende

voor-waarde van strafbaarheid”, yaitu syarat tambahan yang harus

dipenuhi agar perbuatan yang terlarang/dilarang tadi dapat dipidana.54

g. Pengguguran dan Pembunuhan Terhadap Kandungan

Hal ini diatur oleh Pasal 346 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

52
Ibid,.hlm.77
53
Ibid.
54
Ibid.
“Perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau
mati kandungannya atau menyuruh orang lain
menyebabkan itu dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun”.

1) Pengguguran Kandungan oleh Orang Lain Tanpa Izin

Perempuan yang Mengandung

Hal ini diatur oleh KUHP Pasal 347 yang bunyinya sebagai

berikut :

“(1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan


gugur atau mati kandungan seseorang perempuan
tidak dengan izin perempuan itu, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
belas tahun

(2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu


mati, ia dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima belas tahun”.

2) Pengguguran Kandungan dengan Izin Perempuan yang

Mengandungnya

Hal ini diatur oleh Pasal 348 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

“(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan


gugur atau mati kandungan seorang perempuan
dengan izin perempuan itu, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun enam
bulan

(2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati,


ia dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya tujuh tahun”.

C. Pemidanaan

1. Teori Pemidanaan
Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana senantiasa

dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa

dilukiskan sebagai berikut :

“Pemerintah Negara harus menjamin kemerdekaan individu,


menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap
dihormati. Tetapi, kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara
menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu,
maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah Negara diserang
misalnya, yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi, pada pihak satu,
pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia
terhadap serangan siapa pun juga, sedangkan pada pihak lain
pemerintah Negara menyerang pribadi manusia yang hendak
dilindungi dan dibela itu”.55

Teori-teori pemidanaan pada dasarnya merupakan perumusan dasar-dasar

pembenaran dan tujuan pidana. Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada

umumnya dapat dibagi dalam tiga kelompok teori, yaitu :

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Penganut dari teori ini ialah Immanuel Kant dan Leo Polak. Teori ini

mengatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang

menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Kant mengatakan

bahwa konsekuensi tersebut adalah suatu akibat logis yang menyusul tiap

kejahatan. Menurut rasio praktis, maka tiap kejahatan harus disusul oleh suatu

pidana. Oleh karena menjatuhkan pidana itu sesuatu yang menurut rasio

praktis,dengan sendirinya menyusul suatu kejahatan yang terlebih dahulu

55
Utrecht,Hukum Pidana I,Peenerbit Universitas,Bandung,1967,hlm.158-159.
dilakukan, maka menjatuhkan pidana tersebut adalah sesuatu yang dituntut oleh

keadilan etis.56

Menjatuhkan pidana itu suatu syarat etika, sehingga teori Kant

menggambarkan pidana sebagai suatu pembalasan subjektif belaka.

Leo Polak tidak dapat menerima teori Kant, karena teori itu

menggambarkan pidana sebagai suatu paksaan (dwang) belaka. Bukankah bagi

siapa yang bertujuan mempertahankan kehendaknya sudah sukup melakukan

paksaan saja. Etika dan sebagainya tidak perlu diperhatikannya. Akan tetapi

pidana itu harus bersifat suatu penderitaan yang dapat dieprtanggungjawabkan

kepada etika. Pidana itu bukan penderitaan, karena pidana hendak memaksa.

Sebaliknya, pidana itu bersifat memaksa supaya pidana itu dapat dirasakan

sebagai suatu penderitaan.

Menurut Leo Polak, maka pemidanaan harus memenuhi tiga syarat ialah :

a) Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang

bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata

hukum objektif;

b) Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pidana tidak

boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi. Jadi,

pidana tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi. Umpanya

pidana dijatuhkan dengan maksud prevensi, maka kemungkinan besar

penjahat diberi suatu penderitaan yang beratnya lebih daripada maksimum

yang menurut ukuran-ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat.

56
Djoko Prakoso dan Nurwachid,Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana
Mati Di Indonesia Dewasa Ini,Ghalia Indonesia,Jakarta,1984,hlm.19.
Menurut ukuran-ukuran objektif berarti sesuai dengan beratnya delik yang

dilakukan penjahat;

c) Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik.

Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya

penjahat tidak dipidana secara tidak adil.57

Wirjono Prodjodikoro didalam bukunya yang berjudul Azas-azas

Hukum Pidana Di Indonesia mengatakan :

“Pada masyarakat Jawa ada semboyan “hutang pati nyaur pati”, yang

maksudnya orang yang membunuh harus juga dibunuh.

Dalam Kitab Suci Al-Qur‟an Surat An Nisaa ayat 93, menyatakan :

‫ب فِيهَا َٰ َخلِ ًۭدا َجهَنَّ ُم فَ َجزَ ٓا ُؤ ۥهُ ُّمتَ َع ِّم ًۭدا ُم ْؤ ِم ًۭنا يَ ْقتُلْ َو َمن‬ َّ ‫َع َذابا لَ ۥوُ َوأَ َع َّد َولَ َعنَ ۥوُ َعلَ ْي ِو‬
ِ ‫ٱَّللُ َو َغ‬
َ ‫ض‬

‫َظ ًۭيما‬
ِ ‫ع‬

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan

sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya

dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan

azab yang besar baginya”58

Berdasarkan kutipan tersebut menunjukkan bahwa di dalamnya

terkandung makna pembalasan yang setimpal di dalam suatu pidana. Tindakan

pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu:

a) Ditujukan kepada pelakunya (sudut subyektif dari pembalasan);

b) Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan

masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).


57
Ibid,hlm.20.
58
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana Di Indonesia, Eresco, Jakarta, 1981, hlm.20
b. Teori Relatif atau Teori tujuan

Menurut teori relative, maka dasar pemidanaan adalah pertahanan tata

tertib masyarakat. Oleh sebab itu, tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan

(prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari

pemidanaan ialah prevensi umum dan pevensi khusus.

Dalam teori prevensi umum seperti dikemukakan oleh Von Feurbach,

ialah jika seseorang terlebih dahulu mengetahui bahwa ia akan mendapat suatu

pidana apabila ia melakukan suatu kejahatan, maka sudah tentu ia akan lebih

berhati-hati akan tetapi, penakutan tersebut bukan suatu jalan mutlak (absolut)

untuk menahan orang melakukan suatu kejahatan. Sering suatu ancaman pidana

belum cukup kuat untuk menahan mereka yang sudah merencanakan melakukan

suatu kejahatan, yaitu khususnya mereka yang sudah biasa tinggal dalam penjara,

meraka yang belum dewasa pikirannya, para psikopat dan lain-lainnya.59

Selanjutnya menurut teori prevensi khusus , maka tujuan pemidanaan ialah

menahan niat buruk pembuat, pemidanaan bertujuan menahan pelanggar

mengulangi perbuatannya atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan

jahat yang telah direncanakannya.

Pembela teori prevensi khusus adalah Van Hamel. Van Hamel membuat

suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat prevensi khusus itu sebagai

berikut :

a) Pemidanaan harus memuat suatu anasir menakutkan supaya si pelaku tidak

melakukan niat yang buruk;

59
Djoko Prakoso dan Nurwachid,Loc Cit.
b) Pemidanaan harus memuat suatu anasir yang memperbaiki bagi terpidana,

yang nanti memerlukan suatu reclassering;

c) Pemidanaan harus memuat suatu anasir membinasakan bagi penjahat yang

sama sekali tidak dapat diperbaiki lagi;

d) Tujuan satu-satunya dari pemidanaan ialah mempertahankan tata tertib

hukum.60

Menurut pandangan modern, prevensi khusus sebagai tujuan dari hukum

pidana adalah merupakan sasaran utama yang akan dicapai. 61 Sebab tujuan

pemidanaan disini diarahkan ke pembinaan atau perawatan bagi si terpidana, yang

berarti dengan pidana itu ia harus dibina sedemikian rupa sehingga setelah selesai

menjalani pidananya ia menjadi orang yang lebih baik daripada sebelum ia

mendapat pidana.

c. Teori Gabungan

Dengan adanya keberatan-keberatan terhadap teori-teori pembalasan dan

teori tujuan, maka timbullah golongan ketiga yang mendasarkan pada jalan

pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan

mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterangkan secara kombinasi

dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur

yang ada.

Teori gabungan ini dibagi dalam tiga golongan, yaitu :

60
Ibid,hlm.23.
61
Sudarto,Op Cit,hlm.89.
1) Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi membalas itu

tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat

mempertahankan tata tertib masyarakat.

Pendukung teori ini adalah Pompe, yang berpandangan bahwa pidana

adalah pembalasan pada pelaku, juga untuk mempertahankan tata tertib

hukum, supaya kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari

kejahatan. Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila

bermanfaat bagi pertahanan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.

Sedangkan Zevenbergen, berpandangan bahwa makna setiap pidana

adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata tertib

hukum. Sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan

ketaatan pada hukum. Oleh sebab itu, pidana baru dijatuhkan jika memang

tidak ada jalan lain untuk mempertahankan tata tertib hukum;

2) Teori gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib

masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang

beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.

Menurut pendukung teori ini, Thomas Aquino, yang menjadi dasar

pidana itu ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana maka harus

ada kesalahan pada pelaku, dan kesalahan (schuld) itu hanya terdapat pada

perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Sifat membalas dari

pidana merupakan sifat umum dari pidana, tetapi bukan tujuan pidana,

sebab tujuan pidana adalah pertahanan dan perlindungan tata tertib

masyarakat;
3) Teori gabungan yang menganggap kedua asas tersebut harus

dititikberatkan sama.

Penganutnya adalah De Pinto. Selanjutnya oleh Vos diterangkan, karena

pada umumnya suatu pidana harus memuaskan masyarakat maka hukum

pidana harus disusun sedemikian rupa sebagai suatu hukum pidana yang

adil, dengan ide pembalasannya yang tidak mungkin diabaikan baik secara

negatif maupun secara positif.62

2. Tujuan Pemidanaan

Tujuan dari pada pemidanaan adalah :

a. Restorasi, menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan

dan mendatangkan rasa damai

b. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana

c. Pemidanaan tidak dimaksudkan utk menderitakan dan

merendahkanmartabat manusia.

d. Sampai saat ini Hukum Pidana Indonesia belum memiliki

Sentencing Guidelines (pedoman yang memuat tentang

pemidanaan), tapi sudah dirumuskan dalam Pasal 55 R-KUHP

2008.

Dalam pemidanaan anak tidak akan menemukan perbedaan

kecuali yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002

Tentang perlindungan Anak.

62
Djoko Prakoso dan Nurwachid,Op Cit,hlm.24.
BAB III

METODE PENELITIAN

Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas, diperlukan data dan

informasi yang relevan terhadap judul dan perumusan masalah serta identifikasi

masalah, untuk itu agar diperoleh data yang akurat, penulis menggunakan metode

penelitian sebagai berikut :

A. Metode pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam menganalisa dan

mengembangkan permasalahan dalam skripsi adalah metode pendekatan

yuridis normatif, yaitu metode yang dapat digunakan dalam suatu

penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, tetapi di samping itu juga

berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam

masyarakat,63 dengan cara menguji dan mengkaji secara yuridis mengenai

permasalahan yang diteliti dengan peraturan atau ketentuan-ketentuan

yang lalu dan saat ini diberlakukan, agar mendapatkan gambaran yang

jelas tentang masalah yang diteliti dalam skripsi ini.

B. Spesifikasi penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif analitis, menurut pendapat komarudin ; “Deskriptif Analitis ialah

menggambarkan masalah yang kemudian menganalisa permasalahan yang

ada melalui data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah serta


63
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghlm.ia
Indonesia, Jakarta, 1990, Hlm. 160,
disusun dengan berlandaskan kepada teori-teori dan konsep-konsep yang

digunakan”.64

C. Tahapan Penelitian

Sebelum penulis melakukan penelitian, terlebih dahulu penetapan

tujuan penelitian harus jelas, kemudian mencari perumusan masalah yang

akan dibahas, kemudian mencari teori dan konsep, kemudian mencari dan

menelusuri dan mengumpulkan data primer dan data skunder yang relevan

setelah itu diolah dan dituangkan dalam skripsi ini, untuk mendapatkan

data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui dua tahap, yaitu :

1. Penelitian kepustakaan ( Library Research ) .

Menurut Ronny Hanitijo Soemintro, yang dimaksud dengan

penelitian kepustakaan yaitu :65

“Penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder dalam bidang

hukum dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya dapat

dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tersier”.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder,

yaitu :

1) Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang


66
mengikat, terdiri dari beberapa peraturan perundang-

undanagn sebagai berikut : Kitab Undang-Undang Hukum

64
Martin Steinman dan Gerald Willen, Metode Penulisan Skripsi dan Tesis, Angkasa,
Bandung. 1974, hlm. 97.
65
Ibid, Hlm. 11.
66
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”, Rajawali
Pers, Jakarta, 1985, hlm. 11.
Pidana67, UU No. 4 Tahun 1979,UU No 3 Tahun 1997, UU No

23 Tahun 2002

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku-buku

yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum

primer dan skunder,68 seperti kamus hukum.

2 . Penelitian Lapangan ( Field Research ).

Untuk menunjang data sekunder yang diperoleh dari

penelitian kepustakaan, maka dilakukan penelitian lapangan yaitu guna

mengambil data lapangan yang berada di instansi-instansi yang terkait

dengan punulisan skripsi ini, sebagai penunjang data sekunder.

Sebelum melakukan penelitian lapangan, penulis terlebih dahulu

mempersiapkan surat izin untuk memperoleh data terkait instansi yang

relevan dengan penulisan skrpsi ini. Dapat berupa dokumen, kemudian

dikumpulkan lalu dianalisa dan diolah secara sistematis dan terarah.

D. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder

yang diperoleh dari kepustakaan dan data primer dari lapangan yang

berada di instansi-instansi yang bersangkutan, adapun data-data tersebut

adalah sebagai berikut :

67
Ibid, hlm. 14.
68
Ronny Hanitijo Soemantiro, Op.Cit, hlm. 116.
1. Studi kepustakaan ( library Research ), yaitu melalui penelaahan

data yang diperoleh dalam peraturan perundang-undangan, buku,

teks, jurnal, hasil penelitian, dan lain-lain melalui inventarisasi data

secara sistematis dan terarah, apakah satu aturan bertentangan

dengan aturan lain atau tidak, sehingga data yang diperoleh lebih

akurat. Dengan menggunakan metode pendekatan Yuridis-

Normatif, yaitu dititk beratkan pada pengunaan dan kepustakaan

atau data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan

tersier yang ditunjang oleh data primer, metode pendekatan ini

digunakan dengan mengingat bahwa permasalahan yang diteliti

berkisar pada peraturan perundangan yaitu hubungan peraturan

satu dengan peraturan lainnya serta kaitannya dengan penerapan

dalam praktek.

1) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer ini mencakup peraturan

perundang-undangan yang meliputi Undang-Undang Dasar

Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak, Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan pustaka yang berisikan informasi tentang

bahan primer mengacu pada buku-buku, karya ilmiah dan


lain-lain. Sehingga dapat membantu untuk menganalisa dan

memahami bahan hukum dan objek penelitian.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan lain yang ada relevansinya dengan

pokok permasalahan yang memberikan informasi tentang

bahan hukum primer dan skunder antara lain artikel, berita

dari internet, majalah, Koran, kamus hukum dan bahan

diluar bidang hukum yang dapat menunjang dan

melengkapi data penelitian sehingga masalah tersebut

dapat dipahami secara komprehensip.

2. Untuk mendukung data sekunder yang diperlukan, maka penulis

akan mengumpulkan data lapangan yang tersedia di berbagai

lingkungan instansi terkait, dengan wawancara dengan para pejabat

dalam instansi yang terkait, demi kelengkapan data sekunder dalam

skripsi ini. Kemudian hasilnya akan dianalisis bersama-sama

dengan data sekunder, sehingga penulis akan mendapatkan

gambaran secara jelas, guna membahas permasalahan dalam

penelitian skripsi ini.

E. Lokasi Penelitian

Dalam hal penelitian pustaka peneliti melakukan di berbagai lokasi antara

lain:

1. Perpustakaan
1).Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Jl. Prof.

HR Boenyamin No. 708 Purwokerto

2).Perpustakaan Daerah Kabupaten Banyumas Jl. Jend. Gatot

Soebroto No. 85 Purwokerto

2. Penelitian Lapangan

1). Pengadilan Negeri Purwokerto Jl. Gerilya Purwokerto

F. Analisis Data

Sebagai cara Untuk menarik kesimpulan dari penelitian yang sudah

terkumpul, disini penulis sebagai instrumen analisis, akan menggunakan

metode analisis yuridis-kualitatif. Dalam arti bahwa melakukan analisis

terhadap data yang diperoleh dengan menekankan pada tinjauan normatif

terhadap objek penelitian dan peraturan-peraturan yang ada sebagai hukum

positif:

1. Mengkaji peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang

lain tidak boleh saling bertentangan.

2. Memperhatikan hirakis peraturan perundang-undangan, artinya

peraturan yang lebih rendah kedudukannya tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undngan yang lebih

tinggi kedudukannya.

3. Kepastian hukum, artinya apakah undang-undang sudah benar-

benar dilaksanakan oleh penegak hukum.

Setelah dianalisis baru kemudian pada akhirnya diambil

kesimpulan dengan memberikan rekomendasi.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Hasil Penelitian

1. Duduk Perkara

Terdakwa bernama Agus Panca Rotama pada hari Rabu tanggal 10

Agustus 2011 sekira jam 00.30 WIB atau setidaknya pada waktu lain dalam

Bulan Agustus 2011 atau setidaknya masih dalam tahun 2011 bertempat di

Jatisaba Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas masih dalam daerah

hukum Pengadilan Negeri Purwokerto, telah melakukan tindak pidana

terhadap nyawa manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.

Pada awalnya bermula dari rasa jengkel Agus terhadap Yoga yang sering kali

ketika mereka bertemu menghina dengan kata-kata “BANGSAT,

BAJINGAN” kemudian Agus berkata kepada Yoga sambil mengajak“

KALAU MEMANG BERANI KITA KEATAS, atas ajakan tersebut Yoga

menyanggupi dan mau pergi ke bukit hutan Jatisaba.

Sesampai di hutan Jatisaba turut Grumbul Wadas Plasa Desa Jatisaba

Kec. Cilongok Kab. Banyumas sekitar pukul 24.00 Wib Agus turun dari

motor sedangkan Yoga langsung melepas helm yang dipakainya, selanjutnya

Yoga turun dari kendaraan dan langsung menyerang Agus dengan memukul

dengan tangan kosong ke arah pelipis sebelah kiri Agus satu kali dan

memukul ke arah pipi kiri satu kali, kemudian Agus mengambil bambu

sepanjang setengah meter yang ada, lalu Agus memukul ke arah kepala Yoga
sebelah kiri sebanyak satu kali, sehingga dari kepala Yoga sebelah kiri keluar

darah dan langsung sempoyongan, pada saat sempoyongan Yoga masih

sempat menarik kepala Agus dengan memegang rambut Agus ditekankan ke

bawah sampai tertunduk, pada saat kepala Agus ditekan ke bawah oleh

Yoga, Agus langsung mengambil parang / bendo yang sudah di bawa dan

disimpan di balik baju Agus, kemudian Agus menyerang Yoga dengan

mengayunkan parang / bendo kerah leher sebelah kiri, akan tetapi di tangkis

oleh Yoga dengan menggunakan tangan kanan, sehingga melukai tangan

kanan Yoga hingga tiga jari putus, kemudian Agus menyerang lagi dengan

mengayunkan parang/bendo itu ke arah ke leher sebelah kiri dan melukai

leher Yoga sebelah kiri, selanjutnya Agus menyerang lagi dengan

mengayunkan parang/bendo mengenai leher sebelah kanan dan juga melukai

leher sebelah kanan, kemudian Yoga jatuh tersungkur ketanah, mengetahui

Yoga sudah jatuh tersungkur kemudian Agus menyerang lagi dengan

mengayunkan parang/bendo kearah telinga sebelah kiri, kemudian Yoga di

bangunkan dan di dudukkan ditanah dengan di senderkan di PAL/PATOK,

pada saat itu melihat kalau Yoga masih hidup, kemudian Agus mengambil

tangan kiri Yoga lalu ditaruh di atas PAL kemudian menebas tangan kiri

dengan parang/bendo sebanyak dua kali, sehingga dia tidak bergerak lagi dan

mengakibatkan meninggal.

Akibat perbuatan Terdakwa korban Yoga Afriaji meninggal dunia

dengan luka sebagaimana diterangkan dalam Visum Et Repertum nomor

474.3/21943/IPG/18-08-2011 tertanggal 18-08-2011 yang dibuat dan


ditandatangani oleh Dr. M. Zaenuri Syamsu Hidayat, SpKF, MSiMed dokter

pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto yang pada kesimpulannya antara lain disebutkan :

 Luka memar di dahi akibat trauma tumpul;

 Luka bacok di kepala dan telinga kiri dan kanan akibat trauma tajam;

 Luka lecet di kaki akibat trauma tumpul;

 Luka amputasi di pergelangan tangan kiri akibat trauma tajam;

 Luka bacok pada tangan kanan akibat trauma tajam;

 Perdarahan di bawah selaput laba-laba akibat trauma tumpul;

 Tanda-tanda perdarahan hebat.

Kematian akibat perdarahan hebat yang disebabkan oleh terputusnya

pergelangan tangan kiri.

2. Dakwaan Jaksa

Oleh Jaksa Penuntut Umum Terdakwa didakwa dengan dakwaan

Alternatif Subsideritas, yaitu :

KESATU :

PRIMAIR :

Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur

dan diancam pidana dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 1 angka 1 UU RI No 3

Tahun 1997.
SUBSIDIAIR :

Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 338 KUHP jo Pasal 1 angka 1 UU RI No 3

Tahun 1997.

LEBIH SUBSIDIAIR :

Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 1 angka 1 UU RI

No 3 Tahun 1997.

ATAU:

KEDUA :

Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur

dan diancam pidana dalam Pasal 339 KUHP jo Pasal 1 angka 1 UU RI No 3

Tahun 1997.

3. Barang Bukti

Di persidangan Jaksa Penuntut Umum mengajukan barang bukti

berupa :

- 1 (satu) buah HP warna biru abu-abu merk NOKIA Type 1200.

- 1 (satu) buah Dompet warna merah bertuliskan “Rolling stones”.

- 1 (satu) unit SPM Yamaha Mio warna hijau, thn 2011 No.Pol.R.5636.WE,

Nosin.28D2497928, Noka.MH328D305BK503945.
- 1 (satu) buah STNK An. NUR HARTATI Alamat Ds, Kasegeran

RT.10/RW.01 Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas beserta kunci

dan

- Helm warna hitam bertuliskan YAMAHA, barang bukti tersebut adalah

milik dari Yoga Afriaji dan Nurhartati, maka dikembalikan kepada ahli

waris korban Yoga Afriaji yaitu saksi Nurhartati ;

- 1 (satu) buah HP warna biru putih merk NOKIA Type N.6300.

- 1 (satu) pasang sandal japit warna hitam bertuliskan “BIERO”.

- 1 (satu) buah jaket jeans warna abu-abu merk “lesfgreen”.

- 1 (satu) buah celana pendek boxer warna hitam motif tulisan.

- 1 (satu) buah kaos singlet warna hitam motif tulisan.

- 1 (satu) buah celana jeans warna abu-abu merk “ Nevada” kondisi bekas

dibakar.

- 1 (satu) buah kaos kerah warna putih kondisi bekas dibakar.

- 1 (satu) buah celana panjang kain warna cokelat.

- 1 (satu) buah parang /golok /bendo betangkai kayu.

- 1 (satu) buah jemper lengan panjang warna cokelat bertuliskan “BECHEK

KNOWLEDGE SPOWER”dan ada noda darah.


- 1 (satu) buah kaos lengan pendek warna cokelat bertuliskan “arrange” dan

ada noda darah.

- 1 (satu) buah celana jeans ukuran ¾ warna abu-abu merk LEAD jeans dan

ada noda darah.

- 1 (satu) buah ikat pinggang warna hitam dengan timang gambar garuda.

- 1 (satu) pasang sandal japit warna hitam bertuliskan “Rotex”. Oleh karena

barang bukti tersebut dipergunakan dalam pembunuhan, maka dirampas

untuk dimusnahkan.

4. Alat Bukti

a. Keterangan Saksi

Para saksi yang keterangannya didengarkan di persidangan atas

persetujuan Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa yang sebelumnya diambil

sumpahnya oleh penyidik yaitu:

1. Saksi. NUR HARTATI.

- Bahwa saksi mengetahui adik saksi meninggal dunia pada hari Rabu

tanggal 10 Agustus 2011sekitar jam 11.00 wib.

- Bahwa yang memberitahu saksi bahwa adik saksi meninggal dunia

adalah warga.

- Bahwa adik saksi meninggal dunia di hutan jati ikut Grumbul Wadas

Mlasa, Desa Jatisaba, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas.

- Bahwa nama adik saksi yang meninggal dunia namanya Yoga Afriaji

umur 13,5 tahun pelajar Kelas 2 SMP PGRI Cilongok .


- Bahwa saksi hafal, ciri-ciri adik saksi adalah muka oval, tinggi sekitar

165 cm, badan sedang, kulit sawo matang, rambut pendek hitam lurus.

- Bahwa adik saksi tinggal satu rumah dengan saksi dan dengan kedua

orang tua saksi.

- Bahwa saksi tidak pernah melihat adik saksi bertemu dengan terdakwa.

- Bahwa adik saksi pergi terakhir dan tidak kembali lagi pada hari Selasa

tanggal 9 Agustus 2011 sekitar pukul 18.15 wib.

- Bahwa saksi masih ingat pakaian yang dipakai adik pada saat adik pergi,

adik saksi memakai jemper warna coklat, celana jeans panjang ¾ warna

biru, dan sandal jepit warna hitam.

- Bahwa pada waktu adik saksi mau pergi adik saksi Yoga Afriaji pamit

dengan saksi.

- Bahwa setahu saksi adik saksi Yoga Afriaji meninggal dunia karena

dibunuh oleh terdakwa .

- Bahwa kejadian pembunuhan tersebut awalnya pada hari Selasa tanggal 9

Agustus 2011 sekitar pukul 18.15 wib sehabis Yoga Afriaji buka puasa

dengan saksi dan ibu saksi, adik saksi Yoga Afriaji berpamitan hendak

pergi ke Tanjung Purwokerto, waktu itu ibu saksi melarang karena sudah

waktunya sholat tarawih, akan tetapi adik saksi Yoga Afriaji tetap

memaksa pergi dan meminta uang kepada ibu saksi sebesar Rp.15.000,-.

- Bahwa pada waktu itu adik saksi Yoga Afriaji berpamitan hendak pergi

ke Tanjung Purwokerto dengan temannya anak Panusupan, Kecamatan

Cilongok, Kabupaten Banyumas, tetapi ditanya siapa temannya tersebut,


tidak dijawab oleh adik saksi Yoga Afriaji melainkan langsung pergi,

dengan mengendarai sepeda motor Mio warna hijau No.pol.R.5636.WE.

- Bahwa pada hari Selasa tanggal 9 Agustus 2011 sekitar pukul 23.00 wib

karena sudah malam dan adik saksi Yoga Afriaji belum pulang saksi

kawatir, maka saksi SMS adik saksi Yoga Afriaji dengan maksud untuk

menyuruh pulang, karena janjinya sebelum berangkat adik saksi Yoga

Afriaji akan pulang jam 22.00 wib dan oleh adik saksi Yoga Afriaji

dijawab “ Ya nanti aku di Tanjung “.

- Bahwa pada hari Selasa tanggal 9 Agustus 2011 sekitar pukul 24.00 wib

saksi SMS lagi ke adik saksi lagi Yoga Afriaji “ Yoga jam segini kok

kamu belum pulang ini kan sudah malam, besok mau sekolah,” dan

oleh saudara Yoga dijawab “ nanti Mba, aku pulang, jangan

dipikirkan terus “.

- Bahwa pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2011 sekitar pukul 01.07 wib

ada SMS ke HP saya darti HP milik adik saksi Yoga Afriaji yang isinya “

Mba Yoga kabur ke Jawa Timur, Yoga ada masalah menghamili

anak orang, Yoga kabur bersama anak GOR”.

- Bahwa pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2011 sekitar pukul 03.00 wib

saksi coba telepon adik saksi Yoga Afriaji tetapi HP milik adik saksi

Yoga Afriaji sudah tidak aktif.

- Bahwa pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2011 sekitar pukul 06.47 wib

ada SMS lagi ke HP saksi dari HP milik adik saksi Yoga Afriaji yang

isinya sama seperti SMS pada pukul 01.07 wib yaitu Mba Yoga kabur
ke Jawa Timur, Yoga ada masalah menghamili anak orang, Yoga

kabur bersama anak GOR”.

- Bahwa pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2011 sekitar pukul 07.01 wib

saksi mendapatkan telepon dari seorang laki-laki dengan menggunakan

nomor HP milik adik saksi Yoga Afriaji.

- Saya : “ Ini Yoga apa bukan ?” dijawab “ ini temannya “.

- Saya : “ Yoganya dimana ? “ dijawab “ lagi tidur “.

- Saya : “ coba tolong bangunkan. “ dijawab “ Dia tidak mau bangun,

katanya dia takut karena ada masalah, dia takut kalau dimarahi

sama mbak dan keluarga“.

- Saya : “ Lho kamu kok bisa pegang HP Yoga ? tidak dijawab

melainkan telepon dimatikan dan saya telepon balik HP sudah tidak

aktif.

- Bahwa pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2011 sekitar pukul 07.10 wib

setelah saksi menerima telepon dari HP adik saksi Yoga Afriaji, ibu dan

bapak saksi melakukan pencarian kerumah teman-temannya adik saksi

Yoga Afriaji, yang bernama Jemi di Desa Jatisaba, Kecamatan Cilongok,

akan tetapi adik saksi tidak ditemukan.

- Bahwa pada hari rabu tanggal 10 Agustus 2011 sekitar pukul 11.00 wib

saksi dan keluarga mendapatkan kabar bahwa ada anak laki-laki

ditemukan meninggal dunia di Grumbul Wadas Mlasa Desa Jatisaba,

Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, dan setelah ditengok oleh


paman saksi ternyata anak yang ditemukan meninggal dunia tersebut

adalah adik kandung saksi Yoga Afriaji.

- Bahwa saksi tidak tahu kenapa adik saksi dibunuh oleh terdakwa.

- Bahwa setahu saksi adik saksi tidak mempunyai masalah dengan

keluarga dan dengan orang lain.

- Bahwa saksi membenarkan barang bukti yang diajukan dipersidangan

berupa, 1 (satu) buah jemper lengan panjang warna cokelat bertuliskan

“BECHEK KNOWLEDGE SPOWER”dan ada noda darah, 1 (satu) buah

kaos lengan pendek warna cokelat bertuliskan “arrange” dan ada noda

darah, 1 (satu) buah celana jeans ukuran ¾ warna abu-abu merk LEAD

jeans dan ada noda darah, 1 (satu) buah ikat pinggang warna hitam

dengan timang gambar garuda, 1 (satu) pasang sandal japit warna hitam

bertuliskan “Rotex”.) adalah milikadik saksi.

- Bahwa saksi membenarkan barang bukti sepeda motor Mio yang

diajukan dipersidangan yang waktu itu dipakai oleh adik saya.

- Bahwa adik saksi kalau pergi main selalu pamit sama saksi dan kalau

saksi tidak ada ya dengan orang tua saksi.

- Bahwa kalau adik saksi sedang berkumpul dengan teman-temannya

seringnya berkumpul didepan rumah.

- Bahwa saksi tidak pernah melihat adik saksi membawa dan minum-

minuman keras.
2. Saksi. WARYANTO.

- Bahwa awal mula saksi melihat mayat adalah pada hari Rabu 10 Agustus

2011 sekitar pukul 05.30 wib, pada saat saksi jalan kaki melintasi jalan

tersebut, melihat darah segar berceceran dipinggir jalan dan saat itu

saksi merasa curiga, berhubung saat itu sedang mengantar anak saksi ke

sekolah jadi saksi tidak berhenti dan saksi langsung berjalan kearah

utara, dan saksi pulang juga melewati jalan terebut dan sekaligus mampir

dirumah Pak. RT.namanya Rasmuji dan memberitahu bahwa dijalan

hutan jati banyak berceceran darah , dan saksi langsung nderes kelapa,

sekitar pukul 10.00 wib saksi bertujuan mencari rumput dan saksi

merasa penasaran adanya darah tersebut dan saksi cek dan saksi telusuri

didalam hutan tersebut ternyata ada sesosok mayat laki-laki yang tidak

saksi kenal dan saksi merasa takut dan saksi pulang menghubungi Pak

RT. Lagi memberitahu bahwa benar-benar ada mayat yang

dimungkinkan dibunuh, dan saat itu pula saksi bersama pak RT dan

warga lainnya mengecek lagi adanya mayat tersebut namun saksi tidak

mendekat mayat tersebut karena takut. Dan setelah banyak yang

berdatangan melihat,ada orang yang paham dengan mayat tersebut

katanya bernama Yoga Afriaji alamat Desa Kasegeran, Kecamatan

Cilongok, Kabupaten Banyumas.

- Bahwa yang pertama kali melihat mayat yang diketahui bernama Yoga

Afriaji adalah saksi.


- Bahwa jarak pertama kali saksi melihat darah dengan ditemukannya

mayat kurang lebih 30 meter.

- Bahwa setelah saksi mengetahui bahwa darah yang dilihat tersebut

adalah darah orang yang habis dibunuh, saksi langsung lapor pak RT.

- Bahwa kejadian pembunuhan tersebut pada hari Rabu tanggal 10

Agustus 2011 sekitar pukl 10.00 wib di jurang hutan kayu jati Wadas

Mlasa ikut Desa Jatisaba RT.05/03, Kecamatan Cilongok, Kabupaten

Banyumas.

- Bahwa yang pertama kali melihat mayat adalah saksi sendiri, saat itu

saksi langsung lapor kerumah pak Ketua RT.08/04 Desa Jatisaba,

kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, dan selanjutnya saya

bersama pak RT dan warga lainnya kembali ke lokasi mayat tersebut.

- Bahwa saksi awalnya tidak mengenali sosok mayat tersebut, namun

setelah beberapa saat kemudian ada beberapa orang yang paham yang

katanya bernama Yoga Afriajialamat Desa Kasegeran Cilongok.

- Bahwa sepengetahuan saksi mayat bisa masuk kejurang kemungkinan

diseret

- Bahwa saksi tidak tahu pada malam kejadian pembunuhan tersebut

suasana terang atau gelap.

- Bahwa disekitar pal tempat terjadinya pembunuhan tersebut tidak ada

lampu penerangan.

- Bahwa didekat pal ditemukan juga potongan tangan dan potongan jari.
- Bahwa setahu saksi rumput yang rusak adalah dari pal sampai ke tempat

ditemukannya mayat.

3. Saksi ahli , dr. HM. ZAENURI SYAMSU H, Sp.KF.Msi Med

- Bahwa saksi sebagai saksi ahli bidang outopsi dalam perkara

pembunuhan.

- Bahwa saksi menerima surat dari Kepolisian Resort Cilongok tanggal 10

Agustus 2011 No. R/05/VII/2011/Sek Clk tentang permintaan Visum

et repertum.

- Bahwa saksi membuat visum et repertum dengan cara melakukan outopsi

/bedah mayat .

- Bahwa nama mayat yang di outopsi bernama YOGA AFRIAJI bin

SUKARDI, umur 14 tahun, jenis kelamin laki-laki.

- Bahwa saksi melakukan autopsi pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2011

jam 20.00 WIB di RS. Margono Sukarjo.

- Bahwa saksi membenarkan Visum Et Repertum No.474.3/21943/IP9/18-

8-2011 tertanggal 18 Agustus 201yang ditunjukan oleh Hakim.

- Bahwa saksi melihat, luka memar di dahi, luka bacok di kepala dan

telinga kiri dan kanan, luka lecet di kaki, luka amputasi di pergelangan

tangan kiri, luka bacok pada tangan kanan dan pendarahan di bawah

selaput laba-laba.
- Bahwa Luka memar di dahi dan perdarahan di bawah selaput laba-laba

karena trauma tumpul, sedangkan luka bacok di kepala, telinga kiri dan

kanan serta luka amputasi di pergelangan tangan kiri akibat trauma tajam.

- Bahwa kalau hanya luka memar di dahi, perdarahan dibawah selaput

laba-laba dan luka bacok di bagian kepala, telinga kiri dan telinga kanan

tidak menyebabkan kematian secara langsung pada korban, namun luka

amputasi di pergelangan tangan bisa menyebabkan kematian yang sangat

cepat atau dalam hitungan menit .

- Bahwa amputasi di pergelangan tangan cepat sekali menyebabkan

kematian, karena pada pergelangan tangan banyak sekali pembuluh darah

besar yang apabila terputus akan menyebabkan perdarahan hebat.

- Bahwa menurut keterangan saksi, kematian diperkirakan kurang dari 5

jam setelah makan terakhir.

- Bahwa yang ditemukan dimayat makanan yang terakhir masuk adalah

makanan besar dan pada saat di autopsi tidak ditemukan adanya tanda-

tanda pembusukan.

- Bahwa saksi membenarkan foto mayat yang waktu itu diotopsi oleh

saksi.

- Bahwa mayat bisa diketahui kapan matinya setelah dilihat dari makanan

terakhir yang masuk sudah sampai dimana baik makanan besar maupun

makanan kecil/ringan.

- Bahwa saksi tidak bisa membedakan makanan besar atau makanan kecil

karena sudah bercampur.


b. Keterangan Terdakwa

Dipersidangan telah didengar keterangan Terdakwa yang pada

pokoknya menerangkan sebagai berikut :

- Bahwa terdakwa masih ingat kejadian pembunuhan tersebut terjadi pada

hari Rabu tanggal 10 Agustus 2001 sekitar jam 00.30. wib.

- Bahwa terdakwa mempunyai niat ingin membunuh korban awalnya

terdakwa mempunyai rasa sakit hati karena sering dibilangi dengan kata-

kata kotor “bangsat, Bajingan “ timbul emosi dan mempunyai niat untuk

membunuh.

- Bahwa waktu terdakwa berada dijembatan dengan korban, waktu itu

terdakwa bilang “ Maksudnya apa kamu setiap ketemu saya ngomong “

Bangsat, Bajingan “, kemudian korban menjawab “ Emang kenapa kamu

emosi “ dan saya jawab “ Ya jelas saya emosi, karena setiap ketemu saya

kamu bilang “ Bangsat, Bajingan “ kemudian saya bilang lagi “ kalau

memang berani kita keatas (maksudnya kebukit hutan jati saba ikut

grumbul Wadas Plasa) dan korban menyetujuinya.

- Bahwa setelah sampai di bukit wadas Plasa terdakwa turun dari motor

dan korban langsung melepas helm, lalu turun dari motor langsung

menyerang terdakwa dengan memukul kearah pelipis sebelah kiri satu

kali dan kearah pipi sebelah kiri satu kali, mengetahui terdakwa langsung

diserang/dipukul sebanyak dua kali, kemudian terdakwa langsung

mengambil bambu sepanjang setengah meter yang ada disekitar situ,

kemudian terdakwa pukulkan kearah kepala korban sebelah kiri sebanyak


satu kali, dan kepala korban sebelah kiri langsung keluar darah dan

langsung sempoyongan, pada saat korban sempoyongan tersebut korban

masih sempat menarik kepala terdakwa dengan memegang rambut saya

ditekankan kebawah sampai terdakwa tertunduk, mengetahui kepala

terdakwa ditekan kebawah tersebut terdakwa langsung mengambil

parang/bendo yang sudah terdakwa bawa dan terdakwa taruh dibelakang

baju terdakwa, kemudian terdakwa keluarkan untuk menyerang korban

kearah leher sebelah kiri, akan tetapi ditangkis oleh korban dengan

menggunakan tangan kanan, sehingga parang/bendo melukai tangan

kanan korban tepatnya kena bagian telapak tangan, setelah tangan kanan

korban kena selanjutnya terdakwa serang lagi leher sebelah kiri sampai

leher korban kena, dan kemudian terdakwa serang lagi leher sebelah

kanan dan melukai, kemudian korban jatuh tersungkur ketanah,

mengetahui korban jatuh tersungkur ketanah terdakwa serang lagi keraah

bagian belakang sebanyak satu kali dan juga dapat melukai, kemudian

terdakwa serang lagi kearah telinga sebelah kiri dan dapat melukai,

kemudian korban terdakwa dudukan terdakwa senderkan di Pal/yang

terbuat dari cor, setelah terdakwa dudukan tersebut terdakwa ketahui

korban masih hidup kemudian korban terdakwa ambil tangan kirinya

terdakwa taruh diatas pal kemudian terdakwa tebas/potong dengan

parang/bendo sebanyak dua kali, setelah terdakwa tahu korban meninggal

kemudian korban terdakwa dorong ke jurang .


- Bahwa potongan tangan kiri korban dan parang/bendo terdakwa buang ke

jurang.

- Bahwa waktu nenek terdakwa melihat ada darah dipakaian dan celana

terdakwa bilang habis menolong orang kecelakaan di hutan Wadas Plasa

lalu dibawa ke RS.Margono .

- Bahwa terdakwa mengambil parang dirumah nenek pada hari selasa

tanggal 9 Agustus 2011 sekitar jam 15.00 wib.

- Bahwa sebelum kejadian pembunuhan terdakwa pernah menawarkan

sepeda motor milik temannya kepada Sucipto.

- Bahwa terdakwa ditangkap polisi sekitar jam 14.00 wib pada saat

terdakwa sedang berada di gang depan rumah.

- Bahwa maksud terdakwa mengajak korban janjian ketemu dilapangan

adalah terdakwa ingin menanyakan sebab apa setiap ketemu terdakwa

korban bilang “Bajingan dan Bangsat “.

- Bahwa parang/bendo yang digunakan untuk membunuh korban adalah

milik nenek terdakwa dan pada saat terdakwa mengambil parang atau

bendo dirumah nenek terdakwa tidak seijin nenek terdakwa.

- Bahwa pada saat terdakwa melakukan pembunuhan terhadap korban

suasana ditempat kejadian pembunuhan terang bulan.

- Bahwa korban mengolok-ngolok terdakwa sejak sebulan yang lalu dan

terdakwa mulai tersinggung dengan kata-kata korban sejak seminggu

yang lalu.
- Bahwa terdakwa kalau berkelahi dengan korban tidak membawa parang

terdakwa kalah.

- Bahwa pada saat pinjam celana ke Rahmat Tirtaman terdakwa ambil

sendiri dan saudara Rahmat Triatman masih tiduran di kasur, waktu itu

Rahmat Triatman hanya memberitahu kalau celanannya ada dibelakang

pintu.

- Bahwa pada saat terdakwa menitipkan sepeda motor ditempat nenek

terdakwa, terdakwa ketemu dengan nenek terdakwa dan terdakwa bilang

kalau sepeda motor tersebut adalah milik teman terdakwa.

- Bahwa terdakwa merencanakan pembunuhan terhadap korban sejak hari

Senin tanggal 8 Agustus 2011.

- Bahwa alasan terdakwa menjual sepeda motor milik korban adalah untuk

menghilangkan jejak karena waktu terdakwa pergi yang terkakhir dengan

korban ada yang melihat adalah saksi Imron.

- Bahwa cara terdakwa menyimpan golok supaya tidak kelihatan adalah

disimpan dibalik baju lalu ditutupi dengan jaket.

- Bahwa terdakwa tahu bahwa korban sudah mati, pada waktu malam itu

juga.

- Bahwa terdakwa membenarkan barang bukti yang diajukan

dipersidangan berupa 1 unit sepeda motor jenis Yamaha Mio warna

hijau, HP merk Nokia, Dompet dan helm warna hitam yang waktu

diambil dari korban setelah korban dibunuh.


- Bahwa terdakwa membenarkan barang bukti berupa parang/bendo yang

diajukan dipersidangan adalah yang waktu itu digunakan untuk

membunuh korban.

- Terdakwa membenarkan bahwa barang bukti yang dipakai oleh korban

pada saat dibunuh adalah jamper warna hitam, kaos warna coklat

bertuliskan ARRANGE, celana jeans tiga perempat warna abu-abu,sabuk

warna hitam.

- Bahwa terdakwa belum pernah dihukum.

- Bahwa alasan terdakwa memotong tangan kiri korban adalah supaya

korban cepat mati.

- Bahwa terdakwa pertama kali mempunyai niat untuk membunuh pada

waktu dilapangan pada saat korban minta rokok ke terdakwa.

- Bahwa perasaan terdakwa setelah terdakwa membunuh korban adalah

menyesal.

- Bahwa korban setiap ketemu dengan terdakwa selalu meminta rokok.

- Bahwa waktu kakak perempuan korban SMS korban, terdakwa yang

membalasnya.

- Bahwa tujuan terdakwa menelpon kakak korban adalah untuk

menghilangkan jejak supaya orang tua korban tidak tahu.

- Bahwa terdakwa kenal dengan korban baru sekitar 6 bulan yang lalu.

- Bahwa awalnya terdakwa kenal sama korban yaitu pada waktu itu

terdakwa mau menonton acara musik rock di GOR, pada saat terdakwa

memarkir sepeda motor korban nyenggol terdakwa, waktu itu korban


dengan teman-temannya dan teman-temannya bilang kepada terdakwa

“ati-ati Mas “ terdakwa disuruh minta maaf, selang beberapa hari

terdakwa bertemu dengan korban di jalan lalu terdakwa kenalan dengan

korban.

- Bahwa karena teman korban preman-preman anak GOR, maka sangat

mempengaruhi pikiran terdakwa.

- Bahwa terdakwa mempunyai niat membunuh korban pada hari Selasa

tanggal 9 Agustus 2011 sekitar jam 17.30 wib sore.

- Bahwa tujuan terdakwa mengayunkan parang/golok ke korban adalah

supaya tangan korban lepas dari pegangan kepala terdakwa.

- Bahwa pada saat terdakwa mengeluarkan parang/golok dari balik baju,

yang ada dipikiran terdakwa hanya ingin melukai korban.

- Bahwa pembunuhan tersebut memang sudah direncanakan oleh

terdakwa, karena kalau dilukai saja nanti temannya akan balas dendam.

- Bahwa pada waktu terdakwa kepalanya dipegang oleh korban terdakwa

emosi.

5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana terhadap terdakwa yang

pada pokoknya menuntut agar Hakim yang memeriksa dan mengadili

perkara ini memutuskan :

1. Menyatakan terdakwa AGUS PANCA ROTAMA Bin. SUKISWO

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“SENGAJA MELAKUKAN PEMBUNUHAN BERENCANA “,


sebagaimana Dakwaan kesatu Primair melanggar Pasal 340 KUHP jo.

Pasal 1 angka 1 UURI No.3 Tahun 1997;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AGUS ROTAMA Bin.

SUKISWO dengan pidana penjara selama 10(sepuluh) tahun dikurangi

selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah agar terdakwa

tetap ditahan ;

3. Menyatakan barang bukti :

4. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar

Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

6. Putusan Hakim

a. Pertimbangan Hukum Hakim

Dalam fakta persidangan dapat ditemukan bahwasanya hakim

menjatuhkan vonis kepada anak dibawah umur atas dasar pertimbangan

hakim yaitu:

a. Hakim menggunakan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.

b. Pasal 84 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

c. Dasar memutus perkara yaitu Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana, yaitu mengandung tiga variabel :

a) sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

b) hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

benar-benar terjadi.
c) terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Hakim berpendapat bahwa terdakwa mampu bertanggung

jawab, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang

didakwakan dan berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP terhadap diri

terdakwa haruslah dijatuhi pidana.

Bahwa suatu pemidanaan adalah dimaksudkan disamping

membawa manfaat bagi masyarakat umum, yang terpenting adalah

diharapkan agar membawa manfaat dan berguna pula bagi diri pribadi

terpidana itu sendiri, oleh karena itu penjatuhan pidana tidaklah bertujuan

sebagai balas dendam dan untuk duka nestapa bagi terdakwa, melainkan

dimaksudkan agar terdakwa kelak di kemudian hari setelah selesai

menjalani pidana dapat kembali ke masyarakat menempuh hidup dan

kehidupannya secara layak dengan bekal penuh kesadaran penuh yang

disertai tekad dan prinsip untuk senantiasa lebih berhati-hati dalam

menapaki perjalanan hidup dan kehidupannya serta dapat berusaha

menimba kembali sebagai manusia yang berharkat di tengah-tengah

masyarakat.

Alasan hakim tersebut diperkuat dalam KUHAP Pasal 1 angka 9

mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa,

dan memutus perkara pidana. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib menerima,

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara; melainkan hakim tidak

boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada. Oleh karena itu
menurut doktrin hakim dianggap tahu hukum (ius curia novit) dan putusan

hakim dianggap benar res judicata pro veritate habetur, dalam mengadili

perkara pidana anak maka dasar pertimbangan hukum adalah berpijak pada

legal justice yang termuat dalam norma hukum yang berlaku (hukum

positif)69.

b. Putusan Hakim

1. Menyatakan Terdakwa AGUS PANCA ROTAMA Bin SUKISWO

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “PEMBUNUHAN”

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut di atas dengan pidana

penjara selama : 7 (tujuh) tahun;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa akan

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;

4. Memerintahkan Terdakwa ditahan ;

5. Menentukan barang bukti;

6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah).

D. Pembahasan

Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada Terdakwa harus

terlebih dahulu telah memenuhi semua syarat untuk dilakukan pemidanaan

69
Seminar Nasional “Optimalisasi Perlindungan Anak danTantangannya di
Indonesia”,Atas Kerjasama Universitas Atmajaya Yogyakarta, UNICEF dan Kejaksaan Agung
Republik Indonesia, Yogyakarta, 29 Oktober 2009
atas diri Terdakwa seperti dinyatakan oleh Leo Polak, maka pemidanaan

harus memenuhi tiga syarat yaitu :

a) Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang

bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan

tata hukum objektif;

b) Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pidana

tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi.

Jadi, pidana tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi.

Umpanya pidana dijatuhkan dengan maksud prevensi, maka

kemungkinan besar penjahat diberi suatu penderitaan yang beratnya

lebih daripada maksimum yang menurut ukuran-ukuran objektif boleh

diberi kepada penjahat. Menurut ukuran-ukuran objektif berarti sesuai

dengan beratnya delik yang dilakukan penjahat;

c) Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik.

Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu

supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.

Dari hasil penelitian terhadap putusan perkara Pengadilan Negeri

Purwokerto Nomor : 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt dan dengan melakukan studi

pustaka tentang materi yang berhubungan dengan obyek penelitian serta

mengacu pada pendapat Leo Polak mengenai syarat-syarat pemidanaan,

maka agar dapat menjawab permasalahan dan tujuan penelitian, dapat

disusun analisis sebagai berikut :


1. Penerapan unsur-unsur Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana pada tindak pidana terhadap nyawa manusia yang

dilakukan oleh anak dalam perkara Nomor :

55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.

Peradilan pidana anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan

pemutusan perkara pidana yang menyangkut anak. Dan sistemnya juga

berbeda dengan pemeriksaan pada pelaku tindak pidana dewasa.

Soedarto mengatakan bahwa peradilan anak meliputi segala

aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut

kepentingan anak.70

Undang-Undang Pengadilan Anak pada Pasal 40 menyatakan bahwa

hukum acara yang berlaku dalam acara pengadilan anak ialah Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kecuali ditentukan lain

dalam undang-undang ini. Dengan demikian, hukum acara yang berlaku

bagi anak adalah KUHAP dan Undang-undang Pengadilan Anak.

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus

berhadapan dengan hukum,yaitu71

1) Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila

dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan,

seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah.

70
Agung Wahyono dan Ny. Siti Rahayu , Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di
Indonesia, SinarGrafika, Jakarta, 1993, Hal. 14
71
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen
and ClifffordE. Simmonsen, dalam Correction in America : An Introduction, Analisa Situasi
Sistem Peradilan Pidana Anak ( Juvenile Justice System ) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003,
Hal.2
2) Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila

dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau

pelanggaran hukum.

Undang-undang Pengadilan Anak menyatakan bahwa “Hukum acara

yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali

ditentukan lain dalam undang-undang ini”, ini berarti hukum acara yang

berlaku (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) diterapkan juga

dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang

anak tersebut.

Rumusan Pasal 338 KUHP adalah :

“barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain,


diancam, karena pembunuhan, dengan pidana
penjara paling lama limabelas tahun”

Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam pembunuhan

biasa adalah sebagai berikut :

1. Unsur subjektif : perbuatan dengan sengaja

2. Unsur objektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain.

“Dengan sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan

kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus)

yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah

terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud

sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk
menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan

terlebih dahulu72

Unsur subjektif tersebut terdapat dalam fakta persidangan yaitu

dalam pertimbangan hakim yang menyebutkan bahwa: “Menimbang bahwa

berdasarkan keterangan terdakwa dihubungkan dengan alat bukti surat

visum et repertum atas nama korban menurut Hakim anak berpendapat

bahwa kematian korban memang telah dikehendaki dan diketahui oleh

terdakwa serta terkandung suatu kesengajaan, oleh karena itu unsur sengaja

telah terbukti dan terpenuhi”.

Unsur objektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu :

“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku

harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan

tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan

untuk menghilangkan nyawa orang lain.73

Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita tidak

mengenal ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan

dikenai sanksi yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja

orang yang mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan

khusus dengan pelaku.74

Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan

nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang

72
P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 30-31.
73
Ibid. hlm., 31
74
Ibid. hlm., 35.
yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat

dipertanggung jawabkan.75

Berkaitan dengan unsur objektif tersebut dalam fakta persidangan

terdakwa memang sudah berniat menghilangkan nyawa dari korban dengan

latar belakang, kekesalan kepada korban, berikut adalah fakta persidangan

dalam putusan pengadilan :

a) Bahwa Terdakwa melakukan perbuatan menghilangkan nyawa

seseoarang yang bernama Yoga tersebut menggunakan alat bantu

parang/bendo.

b) Bahwa sewaktu Terdakwa melakukan perbuatan menghilangkan

nyawa seseorang bernama Yoga tersebut, korban melakukan

perlawanan, yaitu sesampai di hutan Jatisaba turut Grumbul Wadas

Plasa Desa Jatisaba Kec. Cilongok Kab. Banyumas sekitar pukul

24.00 Wib Agus turun dari motor sedangkan Yoga langsung melepas

helm yang dipakainya, selanjutnya Yoga turun dari kendaraan dan

langsung menyerang Agus dengan memukul dengan tangan kosong

ke arah pelipis sebelah kiri Agus satu kali dan memukul ke arah pipi

kiri satu kali, kemudian Agus mengambil bambu sepanjang

setengah meter yang ada, lalu Agus memukul ke arah kepala Yoga

sebelah kiri sebanyak satu kali, sehingga dari kepala Yoga sebelah

kiri keluar darah dan langsung sempoyongan, pada saat

75
M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet. ke-2,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986, hlm. 122.
sempoyongan Yoga masih sempat menarik kepala Agus dengan

memegang rambut Agus ditekankan ke bawah sampai tertunduk,

pada saat kepala Agus ditekan ke bawah oleh Yoga, Agus langsung

mengambil parang / bendo yang sudah di bawa dan disimpan di

balik baju Agus, kemudian Agus menyerang Yoga dengan

mengayunkan parang / bendo kerah leher sebelah kiri, akan tetapi di

tangkis oleh Yoga dengan menggunakan tangan kanan, sehingga

melukai tangan kanan Yoga hingga tiga jari putus, kemudian Agus

menyerang lagi dengan mengayunkan parang/bendo itu ke arah ke

leher sebelah kiri dan melukai leher Yoga sebelah kiri, selanjutnya

Agus menyerang lagi dengan mengayunkan parang/bendo mengenai

leher sebelah kanan dan juga melukai leher sebelah kanan, kemudian

Yoga jatuh tersungkur ketanah, mengetahui Yoga sudah jatuh

tersungkur kemudian Agus menyerang lagi dengan mengayunkan

parang/bendo kearah telinga sebelah kiri, kemudian Yoga di

bangunkan dan di dudukkan ditanah dengan di senderkan di

PAL/PATOK, pada saat itu melihat kalau Yoga masih hidup,

kemudian Agus mengambil tangan kiri Yoga lalu ditaruh di atas

PAL kemudian menebas tangan kiri dengan parang/bendo sebanyak

dua kali, sehingga dia tidak bergerak lagi dan mengakibatkan

meninggal.
c) Bahwa Terdakwa menghilangkan nyawa korban saudara Yoga

tersebut adalah dengan sengaja karena sudah merasa kesal terhadap

korban.

d) Bahwa yang menjadi latar belakang permasalahan tersebut sehingga

terdakwa melakukan perbuatan menghilangkan nyawa seseorang

yang bernama Yoga tersebut sehubungan karena terdakwa merasa

kesal karena bermula dari rasa jengkel Agus terhadap Yoga yang

sering kali ketika mereka bertemu menghina dengan kata-kata

“BANGSAT, BAJINGAN”, selanjutnya Terdakwa emosi dan

melakukan perbuatan menghilangkan jiwa seseorang bernama

YOGA tersebut.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur objektif dalam Pasal 338

KUHP telah terpenuhi.

Kepentingan hukum dalam konteks di atas adalah tiap-tiap

kepentingan yang harus dijaga, agar supaya tidak dilanggar dan yang

semuanya itu ditujukan untuk kepentingan hukum, dapat berupa; hak-hak

hubungan keadaan, bangunan masyarakat. Sedangkan kepentingan hukum

(Rechts belangen) dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: kepentingan

perseorangan; kepentingan masyarakat; kepentingan negara.

Walaupun dikenal tiga kepentingan hukum akan tetapi sebenarnya

kepentingan hukum itu tidak dapat dipisah-pisahkan, hal ini disebabkan

karena suatu kepentingan hukum baru dapat dianggap sebagai

perseorangan, bila kepentingan itu juga merupakan kepentingan


masyarakat 76 kepentingan yang demikian itu adalah: Jiwa (leven); Badan

(lijk); Kehormatan (Eer); Kemerdekaan (Vrijheid); Harta benda

(Vermogen)

Kepentingan hukum bagi masyarakat adalah ketentraman dan

keamanan, sedangkan kepentingan hukum bagi negara adalah keamanan

negara. Pada hakekatnya kepentingan hukum itu tidak dapat dipisahkan. Di

dalam kepentingan hukum yang dilindungi oleh suatu norma tindak pidana

khususnya dalam pasal 338 KUHP adalah jiwa (leven) . Mengenai

penyelesaian hukumnya ada yang diselesaikan dengan pengaduan atau

pelaporan.

KUHP sebagai hukum publik, terdapat suatu tindak pidana terletak di

tangan penuntut umum atau kejaksaan. Permintaan dari korban tidak

mempunyai pengaruh apa-apa dan sebagai penyimpangannya dari asas ini

dapat ditunjuk atas permintaan penderita, hal ini lazim disebut pengaduan.

Delik aduan diatur secara tersebar dalam Buku II KUHP dan hanya berlaku

terhadap kejahatan-kejahatan tertentu saja, sedangkan laporan tidak

termasuk dalam rentetan delik aduan, disebabkan karena kepentingan umum

yang terkandung di dalamnya atau kerugian terhadap suatu kepentingan

khusus apabila terjadi suatu penuntutan.

76
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah dan Pendapat-Pendapat
Para ahli Hukum Terkemuka Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa Tanpa Kata dan Tahun, hlm
79
2. Pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak

pidana terhadap nyawa manusia yang dilakukan oleh anak dalam

perkara Nomor : 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.

Dalam fakta persidangan dapat ditemukan bahwasanya hakim

menjatuhkan vonis kepada anak dibawah umur atas dasar

pertimbangan hakim yaitu:

a. Hakim menggunakan dasar hukum Pasal 50 Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Kekuasaan

Kehakiman.

b. Pasal 84 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

c. Dasar memutus perkara yaitu Pasal 183 Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana, yaitu mengandung tiga variabel :

a) sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

b) hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

benar-benar terjadi.

c) terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Terdahap Tuntutan Pidana Penuntut Umum tersebut, terdakwa melalui

Penasehat hukumnya mengajukan tanggapan yang pada pokoknya sebagai

berikut:

- Niat membunuh korban justru muncul dan kemudian dilaksanakan adalah

pada saat korban telah tergeletak karena perkelahian dengan terdakwa

dikarenakan ketakutan terdakwa kalau korban masih hidup maka korban

bisa menceritakan kepada teman-temannya tentang peristiwa itu dan


terdakwa ketakutan kalau sampai dikeroyok oleh teman-teman korban,

Sehingga dengan demikian unsur dengan sengaja dan dengan rencana

terlebih dahulu ini tidak terbukti dan terpenuhi;

- Menurut hemat Penasehat hukum terdakwa dari fakta-fakta yang

terungkap dipersidangkan akan lebih tepat dan lebih bijaksana apabila

terdakwa dituntut berdasarkan/menggunakan Pasal 338 KUHP dan

mohon dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya;

Dari keterangan saksi-saksi yang dibawah sumpah yang saling

bersesuaian dan keterangan terdakwa serta alat bukti surat yang diajukan di

persidangan, maka diperoleh fakta-fakta hukum sebagai berikut :

- Bahwa kejadian pembunuhan tersebut pada hari Rabu tanggal 10 Agustus

2011 sekitar pukl 00.30 wib di jurang hutan kayu jati Wadas Plasa ikut

Desa Jatisaba RT.05/03, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas ;

- Bahwa terdakwa mempunyai rasa sakit hati karena sering dibilangi

dengan kata-kata kotor “bangsat, Bajingan “ timbul emosi dan

mempunyai niat untuk membunuh ;

- Bahwa terdakwa mengambil parang dirumah nenek pada hari selasa

tanggal 9 Agustus 2011 sekitar jam 15.00 wib.

- Bahwa terdakwa kalau berkelai dengan korban tidak membawa parang

terdakwa kalah.

- Bahwa terdakwa membawa bendo yang diambil dari rumah neneknya

guna untuk berjaga-jaga kalau teman-teman korban mau mengeroyok

apabila terjadi perkelaian antara terdakwa dengan korban.


- Bahwa maksud terdakwa mengajak korban janjian ketemu dilapangan

adalah terdakwa ingin menanyakan sebab apa setiap ketemu terdakwa

korban kok bilang “ Bajingan dan Bangsat “.

- Bahwa terdakwa dengan korban berboncengan dengan sepeda mio milik

terdakwa sedang berhenti dijembatan bertemu dengan saksi sarno.

- Bahwa waktu terdakwa berada dijembatan dengan korban, waktu itu

terdakwa bilang “ Maksudnya apa kamu setiap ketemu saya ngomong “

Bangsat, Bajingan “, kemudian korban menjawab “ Emang kenapa kamu

emosi “ dan saya jawab “ Ya jelas saya emosi, karena setiap ketemu saya

kamu bilang “ Bangsat, Bajingan “ kemudian saya bilang lagi “ kalau

memang berani kita keatas (maksudnya kebukit hutan jati saba ikut

grumbul wadas plasa) dan korban menyetujuinya.

- Bahwa setelah sampai di bukit wadas Plasa terdakwa turun dari motor

dan korban langsung melepas helm, lalu turun dari motor langsung

menyerang terdakwa dengan memukul kearah pelipis sebelah kiri satu

kali dan kearah pipi sebelah kiri satu kali, mengetahui terdakwa langsung

diserang/dipukul sebanyak dua kali, kemudian terdakwa langsung

mengambil bambu sepanjang setengah meter yang ada disekitar situ,

kemudian terdakwa pukulkan kearah kepala korban sebelah kiri sebanyak

satu kali, dan kepala korban sebelah kiri langsung keluar darah dan

langsung sempoyongan, pada saat korban sempoyongan tersebut korban

masih sempat menarik kepala terdakwa dengan memegang rambut saya

ditekankan kebawah sampai terdakwa tertunduk, dalam keadaan kepala


terdakwa ditekan kebawah tersebut terdakwa langsung mengambil

parang/bendo yang sudah terdakwa bawa dan taruh dibelakang bajunya,

kemudian terdakwa keluarkan untuk menyerang korban kearah leher

sebelah kiri, akan tetapi ditangkis oleh korban dengan menggunakan

tangan kanan, sehingga parang/bendo melukai tangan kanan korban

tepatnya kena bagian telapak tangan, setelah tangan kanan korban kena

selanjutnya terdakwa serang lagi leher sebelah kiri sampai leher korban

kena, dan kemudian terdakwa serang lagi leher sebelah kanan dan

melukai, kemudian korban jatuh tersungkur ketanah, mengetahui korban

jatuh tersungkur ketanah terdakwa serang lagi kearah bagian belakang

sebanyak satu kali dan juga dapat melukai, kemudian terdakwa serang

lagi kearah telinga sebelah kiri dan dapat melukai, kemudian korban

terdakwa dudukan terdakwa senderkan di Pal/yang terbuat dari cor,

setelah terdakwa dudukan tersebut dan mengetahui korban masih hidup,

kemudian terdakwa ambil tangan kirinya terdakwa lalu menaruhnya

diatas pal dan kemudian terdakwa tebas/potong dengan parang/bendo

sebanyak dua kali, setelah terdakwa tahu korban meninggal, kemudian

korban dorong ke jurang.

- Bahwa tujuan terdakwa mengayunkan parang/golok ke korban adalah

supaya tangan korban lepas dari pegangan kepala terdakwa.

- Bahwa pada saat terdakwa mengeluarkan parang/golok dari balik baju,

yang ada dipikiran terdakwa hanya ingin melukai korban.


- Bahwa potongan tangan kiri korban dan parang/bendo terdakwa buang ke

jurang.

- Bahwa setelah kejadian pembunuhan terdakwa pernah menawarkan

sepeda motor milik korban kepada sucipto yang rencananya digunakan

untuk biaya melarikan diri.

- Bahwa terdakwa ditangkap polisi sekitar jam 14.00 wib pada saat

terdakwa sedang berada di gang depan rumah.

- Bahwa alasan terdakwa memotong tangan kiri korban adalah supaya

korban cepat mati.

- Bahwa berdasarkan Visum et Repertum No. 474.3/21943/IPG/18-08-

2011 tertanggal 18 Agustus 2011 yang dibuat dan ditanda tangani oleh

Dr. M. ZAENURI SYAMSU HIDAYAT, SpKF, MsiMed. Dokter pada

Rumat Sakit Umum Daerah Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

dengan kesimpulannya: Kematian akibat perdarahan hebat yang

disebabkan oleh terputusnya pergelangan tangan kiri.

- Bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh terdakwa, karena kalau

dilukai saja nanti temannya akan balas dendam.

Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta-

fakta hukum yang terungkap di persidangan, terdakwa dapat dipersalahkan

melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut

Umum sebagaimana dalam dakwaannya;

Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang

disusun secara ALTERNATIF SUBSIDERITAS yaitu :


KESATU :

PRIMAIR : melanggar pasal 340 KUHP jo pasal 1 angka 1 UU

RI No.3 Tahun 1997;

SUBSIDAIR : melanggar pasal 338 KUHP jo pasal 1 angka 1 UU

RI No.3 Tahun 1997;

LEBIH SUBSIDAIR : melanggar pasal 351 ayat (3) jo pasal 1 angka 1 UU

RI No.3 Tahun 1997;

ATAU:

KEDUA : melanggar pasal 339 KUHP jo pasal 1 angka 1 UU

RI No.3 Tahun 1997;

Karena dakwaan Penuntut Umum disusun bersifat ALTERNATIF

SUBSIDERITAS, maka Majelis Hakim memilih dakwaan yang tepat

berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan yakni dakwaan

kesatu, oleh karena dakwaan tersebut bersifat subsidairitas dengan demikian

akan mempertimbangkan terlebih dahulu dakwaan PRIMAIR yaitu

melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 1 angka 1 UU RI No.3 Tahun 1997

berbunyi:

“barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih

dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena

pembunuhan berencana (moord), dengan hukuman mati atau

penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya

20 (dua puluh tahun)”,


Pasal 340 KUHP mengandung unsur-unsur adalah sebagai berikut :

1. Barang Siapa;

2. Dengan sengaja;

3. Dengan Direncanakan lebih Dahulu;

4. Menghilangkan Nyawa Orang Lain;

Ad.1. Unsur Barang Siapa;

Yang dimaksud dengan barang siapa adalah orang atau manusia

sebagai subjek hukum selaku pendukung hak dan kewajiban yang secara

hukum dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya ;

Dalam perkara ini unsur “barang siapa” ditujukan kepada orang /

manusia, hal ini sebagaimana dari fakta-fakta hukum yang terungkap di

persidangan, bahwa Penuntut Umum telah menghadapkan seorang

terdakwa ke persidangan, yaitu terdakwa AGUS PANCA ROTAMA Bin

SUKISMO, dan Terdakwa tersebut mempertanggungjawabkan terhadap

perbuatan yang dilakukannya;

Terdakwa tersebut telah membenarkan identitas dirinya sebagaimana

termuat dalam dakwaan Penuntut Umum, sehingga orang yang dimaksud

dalam perkara ini benar ditujukan kepada terdakwa tersebut di atas,

sehingga tidak salah orang atau error in persona;

Sesuai alat bukti surat berupa : Surat Kelahiran No.92/Des/28/8/93

tertanggal 23 Agustus 1993 dibuat dan ditandatangani oleh H. SODERI, a.n.

Sekretaris Desa Panusupan, menerangkan bahwa Agus Panca Rotama lahir

hari Jumat Pon, tanggal 13 Agustus 1993 dari seorang ibu bernama
KARIYAH dan ayah SUKISWO, serta hasil Laporan Petugas Pembimbing

Kemasyarakatan, dan keterangan Terdakwa serta orang tua terdakwa,

terbukti bahwa terdakwa AGUS PANCA ROTAMA Bin SUKISWO

dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 1993;

Kelahiran terdakwa tersebut di atas dikaitkan dengan peristiwa

terjadinya tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum yaitu

terjadi pada tanggal 10 Agustus 2011, maka terdakwa AGUS PANCA

ROTAMA Bin SUKISWO saat terjadinya tindak pidana berusia 17 (tujuh

belas) tahun dan 11 (sebelas) bulan;

Karena usia terdakwa AGUS PANCA ROTAMA Bin SUKISWO

masih di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah,

sehingga secara yuridis terdakwa AGUS PANCA ROTAMA Bin

SUKISWO masih tergolong anak (vide Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997), dengan demikan maka yang berwenang memeriksa perkara terdakwa

a quo adalah Pengadilan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997;

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, menurut pendapat Hakim

unsur “barang siapa” ini telah terpenuhi;

Ad.2. Unsur Dengan Sengaja;

Yang dimaksud “dengan sengaja” menurut Memori Penjelasan

(Memorie van Toelichting) adalah menghendaki dan menginsyafi terjadinya

suatu tindakan / perbuatan beserta akibatnya (willens en wetens veroorzaken

van een gevoldg);


Unsur dengan sengaja ini ditujukan pada unsur perbuatan yaitu

“Unsur Menghilangkan Jiwa Orang Lain”;

Unsur dengan sengaja ini merupakan unsur subjektif yang berkaitan

dengan keadaan dalam jiwa / bathin pelaku, yang hanya dapat diketahui dari

rangkaian perbuatannya;

Menurut doktrin hukum pidana untuk menetapkan suatu perbuatan

disengaja atau tidak dikenal dengan 3 (tiga) teori yaitu :

a. Teori kehendak adalah apabila perbuatan tersebut dikehendaki oleh

pelaku, tidak dipersoalkan apakah pelaku mengetahui atau tidak bahwa

perbuatan tersebut dilakukan akan menimbulkan akibat yang dilarang;

b. Teori pengetahuan adalah menyatakan bahwa suatu perbuatan tertentu

dikatakan sengaja apabila perbuatan tersebut diketahui oleh pelaku yang

jika perbuatan itu dilakukan akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh

hukum pidana;

c. Teori gabungan adalah gabungan dari kedua teori diatas, suatu perbuatan

yang disengaja adalah apabila perbuatan tersebut diketahui dan

dikehendaki pelaku;

Menurut doktrin Hukum Pidana Modern kesengajaan dikenal dengan

tiga gradasi, dan dipergunakan untuk menentukan hubungan kausal antara

kelakuan / perbuatan dengan akibat yang dilarang hukum pidana, yaitu :

- Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), berarti terjadinya

suatu tindakan atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai perwujudan

dari maksud atau tujuan dan pengetahuan pelaku;


- Kesengajaan sebagai kesadaran pasti (kepastian) atau keharusan (opzet

bij zekerheids bewustzijn), berarti untuk mencapai maksud yang

sebenarnya terdakwa harus melakukan suatu perbuatan yang terlarang;

- Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (voorwaardelijkopzet),

yang menjadi standar kesengajaan ini adalah sejauh mana pengetahuan

dan kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat terlarang;

Berdasarkan keterangan terdakwa sebagaimana di dalam Berita Acara

Persidangan yang menyatakan waktu terdakwa berada dijembatan dengan

korban, waktu itu terdakwa bilang “ Maksudnya apa kamu setiap ketemu

saya ngomong “ Bangsat, Bajingan “, kemudian korban menjawab “ Emang

kenapa kamu emosi “ dan saya jawab “ Ya jelas saya emosi, karena setiap

ketemu saya kamu bilang “ Bangsat, Bajingan “ kemudian saya bilang lagi “

kalau memang berani kita keatas (maksudnya kebukit hutan jatisaba ikut

grumbul wadas plasa) dan korban menyetujuinya, setelah sampai di bukit

wadas Plasa terdakwa turun dari motor dan korban langsung melepas helm,

lalu turun dari motor langsung menyerang terdakwa dengan memukul

kearah pelipis sebelah kiri satu kali dan kearah pipi sebelah kiri satu kali,

mengetahui terdakwa langsung diserang/dipukul sebanyak dua kali,

kemudian terdakwa langsung mengambil bambu sepanjang setengah meter

yang ada disekitar situ, kemudian terdakwa pukulkan kearah kepala korban

sebelah kiri sebanyak satu kali, dan kepala korban sebelah kiri langsung

keluar darah dan langsung sempoyongan, pada saat korban sempoyongan

tersebut korban masih sempat menarik kepala terdakwa dengan memegang


rambut saya ditekankan kebawah sampai terdakwa tertunduk, mengetahui

kepala terdakwa ditekan kebawah tersebut terdakwa langsung mengambil

parang/bendo yang sudah terdakwa bawa dan terdakwa taruh dibelakang

baju terdakwa, kemudian terdakwa keluarkan untuk menyerang korban

kearah leher sebelah kiri, akan tetapi ditangkis oleh korban dengan

menggunakan tangan kanan, sehingga parang/bendo melukai tangan kanan

korban tepatnya kena bagian telapak tangan, setelah tangan kanan korban

kena selanjutnya terdakwa serang lagi leher sebelah kiri sampai leher

korban kena, dan kemudian terdakwa serang lagi leher sebelah kanan dan

melukai, kemudian korban jatuh tersungkur ketanah, mengetahui korban

jatuh tersungkur ketanah terdakwa serang lagi keraah bagian belakang

sebanyak satu kali dan juga dapat melukai, kemudian terdakwa serang lagi

kearah telinga sebelah kiri dan dapat melukai, kemudian korban terdakwa

dudukan terdakwa senderkan di Pal/yang terbuat dari cor, setelah terdakwa

dudukan tersebut terdakwa ketahui korban masih hidup kemudian korban

terdakwa ambil tangan kirinya terdakwa taruh diatas pal kemudian terdakwa

tebas/potong dengan parang/bendo sebanyak dua kali, setelah terdakwa tahu

korban meninggal kemudian korban terdakwa dorong ke jurang;

Dari fakta-fakta hukum di atas terbukti bahwa perbuatan yang

dilakukan oleh terdakwa kepada korban YOGA AFRIAJI adalah bertujuan

dan menghendaki kematian korban, dan terdakwa mengetahui melakukan

pembunuhan dilarang oleh Hukum Pidana (Undang-Undang), dengan

demikian jika dihubungkan dengan teori dan gradasi kesengajaan, maka


perbuatan terdakwa masuk kedalam teori “gabungan” dan tergolong

“kesengajaan sebagai maksud” (opzet als oogmerk);

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim

berpendapat unsur “Dengan Sengaja” ini telah terpenuhi;

Ad.3. Unsur Dengan Direncanakan Terlebih Dahulu;

Dimaksud “direncanakan terlebih dahulu” (voor bedachte rade) adalah

antara timbulnya maksud dan pelaksanaan keinginan tersebut ada waktu /

masa baik untuk mengurungkan maksud tersebut ataupun memikirkan dan

mengatur cara dilakukannya keinginan tersebut atau agar tercapai

keberhasilan pelaksanaan keinginan itu;

Bahwa “direncanakan terlebih dahulu” pada dasarnya mengandung

tiga persyaratan atau elemen, yaitu :

1. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang;

2. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai

dengan pelaksanaan kehendak;

3. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang;

Berdasarkan keterangan terdakwa sebagaimana termuat dalam Berita Acara

Persidangan adalah sebagai berikut :

Bahwa terdakwa berniat menghilangkan nyawa korban YOGA

AFRIAJI yaitu pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2011 sekitar jam 00.30

wib saat menarik kepala terdakwa dengan memegang rambut saya

ditekankan kebawah sampai terdakwa tertunduk, dalam keadaan kepala

terdakwa ditekan kebawah tersebut terdakwa langsung mengambil


parang/bendo yang sudah terdakwa bawa dan taruh dibelakang bajunya,

kemudian terdakwa keluarkan untuk menyerang korban kearah leher

sebelah kiri, akan tetapi ditangkis oleh korban dengan menggunakan tangan

kanan, sehingga parang/bendo melukai tangan kanan korban tepatnya kena

bagian telapak tangan, setelah tangan kanan korban kena selanjutnya

terdakwa serang lagi leher sebelah kiri sampai leher korban kena, dan

kemudian terdakwa serang lagi leher sebelah kanan dan melukai, kemudian

korban jatuh tersungkur ketanah, mengetahui korban jatuh tersungkur

ketanah terdakwa serang lagi kearah bagian belakang sebanyak satu kali dan

juga dapat melukai, kemudian terdakwa serang lagi kearah telinga sebelah

kiri dan dapat melukai, kemudian korban terdakwa dudukan terdakwa

senderkan di Pal/yang terbuat dari cor, setelah terdakwa dudukan tersebut

dan mengetahui korban masih hidup, kemudian terdakwa ambil tangan

kirinya terdakwa lalu menaruhnya diatas pal dan kemudian terdakwa

tebas/potong dengan parang/bendo sebanyak dua kali, setelah terdakwa tahu

korban meninggal;

Terdakwa membunuh korban adalah kalau korban masih hidup,

terdakwa takut dikeroyok oleh teman-teman korban untuk melampiaskan

balas dendamnya, disamping itu terdakwa mengayunkan bendonya ke

terdakwa tujuannya hanya melukai supaya terlepas dari tarikan korban

kerambut terdakwa sampai menunduk;

Bahwa terdakwa membawa bendo yang digunakan untuk membunuh

korban YOGA AFRIAJI, yang diambil dari rumah neneknya pada hari
selasa tanggal 9 Agustus 2011 jam 15.00 wib.di Desa Jatisaba, Kecamatan

Cilongok yang awalnya hanya untuk jaga-jaga karena takut temannya

korban banyak serta dalam menggunakan bendonya tersebut, dikarenakan

emosi yang timbul dari diri terdakwa akibat kepalanya ditarik oleh tangan

kiri korban serta dalam mengayunkan bendo kearah korban hanya asal sabet

saja supaya tangan korban lepas dari pegangan ke kepala terdakwa;

Sesuai dengan fakta-fakta hukum di atas, tergambar Terdakwa dalam

memutuskan kehendaknya dalam suasana tidak tenang, dan tidak tersedia

waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan

kehendak, dengan demikian terdakwa tidak berpikir dengan tenang

bagaimana cara-cara melaksanakan pembunuhan dan tidak ada kesempatan

untuk mengurungkan niatnya, serta pelaksanaan kehendak (perbuatan) yang

dilakukan terdakwa dalam suasana tidak tenang;

Dengan demikian 3 (tiga) syarat tersebut di atas tidak terpenuhi,

sehingga unsur “Dengan Direncanakan Lebih Dahulu” ini tidak

terpenuhi;

Karena salah satu unsur dari Dakwaan Kesatu Primair tidak terpenuhi

maka Dakwaan tersebut haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan dan membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut:;

Selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan Dakwaan

Kesatu Subsidair yaitu melanggar Pasal 338 KUHP jo Pasal 1 angka 1 UU

RI No.3 Tahun 1997 yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :

1. Barang Siapa;
2. Dengan sengaja;

3. Menghilangkan Nyawa Orang Lain;

Menimbang, bahwa oleh karena unsur 1.Barang Siapa dan unsur

2.Dengan Sengaja telah dipertimbangkan dalam Dakwaan Kesatu Primair

dan unsur-unsur tersebut telah terpenuhi, maka Majelis Hakim tidak akan

mempertimbangkan lagi dan langsung mengambil alih pertimbangan

tersebut ke dalam Dakwaan Kesatu Subsidair, yang selanjutnya Majelis

Hakim akan mempertimbangkan unsur berikutnya yang ketiga yakni

Menghilangkan Nyawa Orang Lain;

Ad.3. Unsur Menghilangkan Nyawa Orang Lain;

Menimbang, bahwa pengertian “menghilangkan nyawa orang lain”

adalah akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku adalah

adanya kematian orang lain, sehingga

dengan demikian unsur “Menghilangkan Nyawa Orang lain” harus

memenuhi tiga syarat yaitu :

- Adanya wujud perbuatan,

- Adanya suatu kematian,

- Adanya hubungan sebab dan akibat antara pebuatan dan kematian (orang

lain);

Menimbang, bahwa sebagaimana pertimbangan hukum di atas, bahwa

terdakwa tidak beralasan hukum mencabut keterangannya dalam Berita

Acara pemerksaan Penyidik, maka dalam memberikan pertimbangan hukum

dalam putusan ini Majelis Hakim tetap berpegang dengan Berita Acara
Pemeriksaan Penyidik terhadap terdakwa sebab sesuai dengan ketentuan

Pasal 187 huruf a KUHAP secara hukum menyatakan “alat bukti surat”

sebagaimana diatur pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, termasuk juga

berita Acara Penyidik;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di

persidangan tersebut di atas :

Bahwa korban YOGA AFRIAJI meninggal dunia berdasarkan Visum Et

Repertum No. 474.3/21943/IPG/18-08-2011 tertanggal 18 Agustus 2011,

yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. M. Zaenuri Syamsu Hidayat,

SpKF, Msi Med., dokter pada rumah sakit Umum Daerah Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto , sebab pasti kematian korban adalah akibat

perdarahan hebat yang disebabkan oleh terputusnya pergelangan tangan kiri;

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan terdakwa sebagaimana

di dalam Berita Acara Peersidangan menerangkan, bahwa pada hari Rabu

tanggal 10 Agustus 2011 sekitar jam 00.30 Wib bertempat di Hutan Jatisaba

Grumbul Wadas Plasa, Desa Jatisaba, Kecamatan Cilongok, Kabupaten

Banyumas, terdakwa telah membunuh korban YOGA AFRIAJI karena

merasa jengkel dan marah kepada korban kalau ketemu selalu memanggil “

Bangsat, Bajingan, oleh karena itu dari pada dibuat malu maka lebih baik

Terdakwa ngajak bertemu dengan korban untuk menanyakan maksudnya

apa kalau setiap ketemu selalu bilang “ Bangsat, Bajingan”;

Cara Terdakwa melakukan pembunuhan terhadap korban YOGA

AFRIAJI, bahwa pada hari Rabu tanggal 10 Agustus sekitra jam 00.30
Wib, Terdakwa bersama-sama dengan korban menggunakan sepeda motor

Yamaha Mio milik korban warna hijau No. Pol : R 5636 WE menuju

jembatan, terdakwa bilang “ Maksudnya apa kamu setiap ketemu saya

ngomong “ Bangsat, Bajingan “, kemudian korban menjawab “ Emang

kenapa kamu emosi “ dan saya jawab “ Ya jelas saya emosi, karena setiap

ketemu saya kamu bilang “ Bangsat, Bajingan “ kemudian saya bilang lagi “

kalau memang berani kita keatas (maksudnya kebukit hutan jatisaba ikut

grumbul wadas plasa) dan korban menyetujuinya, setelah sampai di bukit

wadas Plasa terdakwa turun dari motor dan korban langsung melepas helm,

lalu turun dari motor langsung menyerang terdakwa dengan memukul

kearah pelipis sebelah kiri satu kali dan kearah pipi sebelah kiri satu kali,

mengetahui terdakwa langsung diserang/dipukul sebanyak dua kali,

kemudian terdakwa langsung mengambil bambu sepanjang setengah meter

yang ada disekitar situ, kemudian terdakwa pukulkan kearah kepala korban

sebelah kiri sebanyak satu kali, dan kepala korban sebelah kiri langsung

keluar darah dan langsung sempoyongan, pada saat korban sempoyongan

tersebut korban masih sempat menarik kepala terdakwa dengan memegang

rambut saya ditekankan kebawah sampai terdakwa tertunduk, mengetahui

kepala terdakwa ditekan kebawah tersebut terdakwa langsung mengambil

parang/bendo yang sudah terdakwa bawa dan terdakwa taruh dibelakang

baju terdakwa, kemudian terdakwa keluarkan untuk menyerang korban

kearah leher sebelah kiri, akan tetapi ditangkis oleh korban dengan

menggunakan tangan kanan, sehingga parang/bendo melukai tangan kanan


korban tepatnya kena bagian telapak tangan, setelah tangan kanan korban

kena selanjutnya terdakwa serang lagi leher sebelah kiri sampai leher

korban kena, dan kemudian terdakwa serang lagi leher sebelah kanan dan

melukai, kemudian korban jatuh tersungkur ketanah, mengetahui korban

jatuh tersungkur ketanah terdakwa serang lagi keraah bagian belakang

sebanyak satu kali dan juga dapat melukai, kemudian terdakwa serang lagi

kearah telinga sebelah kiri dan dapat melukai, kemudian korban terdakwa

dudukan terdakwa senderkan di Pal/yang terbuat dari cor, setelah terdakwa

dudukan tersebut terdakwa ketahui korban masih hidup kemudian korban

terdakwa ambil tangan kirinya terdakwa taruh diatas pal kemudian terdakwa

tebas/potong dengan parang/bendo sebanyak dua kali, setelah terdakwa tahu

korban meninggal kemudian korban terdakwa dorong ke jurang;

Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Majelis Hakim

berpendapat unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain” ini atas

perbuatan Terdakwa telah terpenuhi;

Pembelaan dari Penasehat Hukum Terdakwa yang didasarkan pada

fakta-fakta yang terungkap dipersidangkan dan hal tersebut telah sesuai

dengan keterangan saksi, keterangan terdakwa, Visum et repertum dan

barang bukti yang diajukan dipersidangan, serta telah dipertimbangkan

dalam unsur-unsur dari dakwaan kesatu subsidair oleh Majelis Hakim, maka

dengan demikian Majelis Hakim sependapat dengan argumentasi Penasihat

Hukum Terdakwa tersebut di atas, sehingga argumentasi Penasihat Hukum

Terdakwa tersebut haruslah diterima;


Karena semua unsur dari Pasal 338 KUHP telah terpenuhi, maka

perbuatan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Kesatu Subsidair

Penuntut Umum yang kualifikasinya akan di rumuskan dalam amar putusan;

Karena dakwaan Kesatu Subsidair telah terbukti, sedangkan

dakwaan Penuntut Umum disusun secara SUBSIDARITAS, maka dakwaan

selebihnya tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut;

Karena selama proses persidangan tidak ditemukan alasan-alasan

penghapus pidana dari Terdakwa, maka Terdakwa harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan telah terpenuhi syarat-syarat

penjatuhan pidana / tindakan hukum terhadap Terdakwa, sehingga terhadap

Terdakwa dapat dijatuhi pidana / tindakan;

Berdasarkan Pasal 59 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, Hakim sebelum menjatuhkan putusan hukum terhadap

Terdakwa perlu mempertimbangkan Hasil Penelitian Kemasyarakatan

(LITMAS) yang ada dalam perkara ini, yaitu dari Balai Pemasyarakatan

Purwokerto yang dibuat oleh MURWANTO, S.Sos., tertanggal 25 Agustus

2011 , yang pada pokoknya sebagai berikut :

- Bahwa klien telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan

mengulangi perbuatan yang melanggar hukum;

Telah didengar pula keterangan kedua orang tua kandung Terdakwa

bernama : SUKISWO dan KARIYAH yang pada pokoknya sebagai berikut:


bahwa para orang tua Terdakwa masih bersedia untuk mengawasi,

mengasuh, membina terdakwa apabila proses hukum sudah selesai;

Eksistensi Pejabat Pembimbing Kemasyarakatan secara yuridis

adalah untuk membantu mempelancar tugas Penyidik, Penuntut Umum,

Hakim dalam perkara anak Nakal, baik di dalam maupun di luar sidang anak

dengan membuat Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan (vide Pasal 34

ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997), dan Hakim dalam

menjatuhkan pidana atau tindakan diantaranya wajib memperhatikan

Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan (penjelasan Pasal 25 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997), walaupun demikian maka Hakim dalam

menjatuhkan putusan terhadap Terdakwa, tidak mutlak harus terikat dengan

kesimpulan dan saran yang termuat di dalam laporan Pejabat

Kemasyarakatan, sebab hakim bersandar pada asas kebebasan Hakim dan

asas kemandirian Hakim;

Berdasarkan Pasal 22, 23, dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terhadap anak nakal yang telah

terbukti melakukan tindak pidana dapat dijatuhkan pidana atau tindakan.

Pidana Pokok terdiri dari : pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda;

atau pidana pengawasan;

Pidana tambahan terdiri dari : perampasan barang-barang tertentu dan atau

pembayaran ganti rugi;

Tindakan terdiri dari :

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;


b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan,

dan latihan kerja; atau Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau

Organisasi Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan,

pembinaan, dan latihan kerja.

Karena Terdakwa memenuhi kreteria sebagaimana ketentuan Pasal 25

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka

terhadap Terdakwa dapat dijatuhkan pidana atau tindakan, dan selanjutnya

Hakim akan mempertimbangkan apakah penjatuhan pidana atau tindakan

yang cocok terhadap Terdakwa;

Dalam menentukan penjatuhan pidana atau tindakan kepada anak,

Hakim memperhatikan antara lain :

- Berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak;

- Keadaan anak;

- Keadaan rumah tangga orang tua, wali atau orang tua asuh;

- Hubungan antara anggota keluarga dan keadaan lingkungan;

- Memperhatikan laporan Pembimbing Kemasyarakatan (vide penjelasan

Pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak),

Dalam perkara Terdakwa Anak sebagai pelaku kejahatan secara

yuridis harus mendapat perhatian khusus, salah satu hal yang harus

diperhatikan Hakim adalah harus melakukan penjatuhan sanksi / pidana

yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak sebagaimana Pasal 64

ayat (2) Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak .


Dalam penentuan penjatuhan pidana atau tindakan ini, tentunya

Hakim harus berpedoman dari fakta-fakta hukum yang diperoleh di

persidangan.

Perbuatan Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana

sebagaimana dalam dakwaan KESATU SUBSIDAIR melanggar Pasal 338

KUHP yang diancam dengan hukuman paling lama 15 (lima belas) tahun,

jika dihubungkan dengan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Terdakwa dalam

perkara a quo adalah paling lama 7 (tujuh) tahun 6 (enam) bulan;

Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana pasal 338 KUHP,

sehingga tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa adalah merupakan

tindak pidana tergolong berat dan bukan berupa kenakalan remaja an sich,

dengan demikian Majelis Hakim akan menjatuhkan pidana kepada

Terdakwa;

Menurut ilmu hukum pidana / hukum penitentier, pemidanaan itu

bukan ditujukan pada upaya balas dendam semata, akan tetapi lebih

ditujukan pada upaya perbaikan diri pelaku, agar kelak di kemudian hari

tidak kembali melakukan perbuatan pidana, dan juga sebagai upaya

preventif agar masyarakat tidak melakukan perbuatan yang dapat dihukum

tersebut.

Sebagaimana teori tujuan pemidanaan integratif, yang menyatakan

bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan,

keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang menimbulkan


kerusakan bagi individu dan masyarakat, sehingga tujuan pemidanaan

adalah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh

tindak pidana yang dilakukan oleh si pelaku, sehingga diharapkan

pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim mengandung unsur-unsur yang

bersifat , pertama, kemanusiaan yang berarti bahwa pemidanaan yang

dijatuhkan hakim tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat para pelaku

tindak pidana tersebut, kedua, edukatif yang mengandung makna bahwa

pemidanaan tersebut mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas

perbuatan yang telah dilakukannya dan menyebabkan pelaku mempunyai

sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha pencegahan dan

penanggulangan kejahatan, dan yang ketiga, keadilan yaitu pemidanaan

tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun

masyarakat .

Hakim akan memperhatikan sifat yang baik dan sifat yang jahat dari

Terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta hal-hal yang memberatkan

dan hal-hal yang meringankan bagi diri Terdakwa sesuai dengan ketentuan

Pasal 197 ayat 1 huruf (f) KUHAP ;

Hal-hal Yang Memberatkan :

- bahwa perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat;

- bahwa perbuatan terdakwa tergolong sadis;

Hal-hal Yang Meringankan :

- bahwa terdakwa berterus terang dan mengakui perbuatannya


- bahwa terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi

- bahwa keluarga terdakwa telah memberikan uang duka/tali asih ;

- bahwa terdakwa masih muda dan masih dibina ;

- bahwa terdakwa belum pernah dihukum ;

oleh karenanya menurut Hakim, pidana yang akan dijatuhkan kepada

Terdakwa telah setimpal dengan beratnya dan sifat kejahatan yang

dilakukan Terdakwa, dan telah sesuai pula dengan rasa keadilan hukum dan

keadilan sosial.

Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana, dan oleh karena Terdakwa pernah ditahan dalam

proses perkara a quo, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (4)

KUHAP masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa akan

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan .

Terdakwa ditahan dalam proses persidangan ini dan karena pidana

yang dijatuhkan adalah pemidanaan, serta untuk efektifitas pelaksanaan

putusan dan untuk memenuhi kepastian hukum sesuai pasal 197 Ayat 1

huruf (k) KUHAP (UU Nomor 8 tahun 1981), maka memerintahkan agar

Terdakwa ditahan;

a). Hakim berpendapat bahwa terdakwa mampu bertanggung jawab,

maka terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang

didakwakan dan berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP terhadap diri

terdakwa haruslah dijatuhi pidana.


b). Bahwa suatu pemidanaan adalah dimaksudkan disamping membawa

manfaat bagi masyarakat umum, yang terpenting adalah diharapkan

agar membawa manfaat dan berguna pula bagi diri pribadi terpidana itu

sendiri, oleh karena itu penjatuhan pidana tidaklah bertujuan sebagai

balas dendam dan untuk duka nestapa bagi terdakwa, melainkan

dimaksudkan agar terdakwa kelak di kemudian hari setelah selesai

menjalani pidana dapat kembali ke masyarakat menempuh hidup dan

kehidupannya secara layak dengan bekal penuh kesadaran penuh yang

disertai tekad dan prinsip untuk senantiasa lebih berhati-hati dalam

menapaki perjalanan hidup dan kehidupannya serta dapat berusaha

menimba kembali sebagai manusia yang berharkat di tengah-tengah

masyarakat.

Hakim dalam memutus perkara tindak pidana anak harus mencakup

beberapa aspek sebagaimana menurut Gustaf Rutbruch dengan teorinya

“Ide des rechts”, yaitu: keadilan (Gerechtigkeit), kemanfaatan

(Zweekmossigkeit), kepastian hukum (Rechts sicherheit). Ketiga unsur

tersebut secara empiris hakim memperhatikan sisi keadilan dan kemanfaatan

bagi anak disamping itu juga kepastian hukum. Hal ini dimaksudkan untuk

memberikan efek jera bagi anak maupun pihak lain sehingga bermanfaat

pula bagi anak yang dipidana tersebut.

Dari putusan yang dijatuhkan oleh hakim tersebut, menunjukkan

bahwa sikap Hakim pemutus perkara kental atau dipengaruhi oleh alam
fikiran positivis/legalistik 77 Artinya suatu hukum baru dinyatakan sebagai

hukum apabila terumus dalam undang-undang. Atau dengan kata lain, apa

yang dinormakan dalam undang-undang, itulah yang diterapkan, tidak

terkecuali bagi anak-anak pelaku pembunuhan.

Dengan pemahaman demikian, memang terhadap anak yang

melakukan kenakalan, UU tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa bagi

anak yang diancam pidana penjara, kurungan, dan denda, maka ancamannya

menjadi dikurangi ½ dari ancaman pidana pokok yang diperuntukkan pada

orang dewasa.

Untuk menghindarkan ketidak objektivitas pembaca, sebaiknya

jika pemidanaan dianggap ringan, agar dimuat hal-hal yang meringankan

terdakwa.

Aturan dalam suatu perundang-undangan, akan menjadi tidak

hidup jika tidak dikomunikasikan kepada masyarakat terlebih dahulu. Hal

ini sangat penting bagi hukum, karena banyak yang meyakini bahwa

sebagaian besar dari hukum adalah sistem norma, dan peraturan

perundang-undangan adalah sebuah sistem norma dari karakter yang khas,

dia memberitahukan kepada seseorang atau masyarakat apa yang

seharusnya dikerjakan, serta bagaimana cara mengerjakannya, atau apa

saja yang tidak dikehendaki untuk dilakukan.

77
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum
(Susunan I), Rajawali Press, Jakarta, 1996, hal. 170
BAB V

PENUTUP
A. Simpulan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh peneliti dalam

bab-bab sebelumnya, akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penerapan unsur-unsur Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana pada tindak pidana terhadap nyawa manusia yang dilakukan

oleh anak dalam perkara Nomor : 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.

Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto telah menerapkan unsur-unsur

Pasal 338 KUHP, unsur-unsur dalam pembunuhan biasa telah terpenuhi

yaitu :

1. Unsur subjektif : perbuatan dengan sengaja

2. Unsur objektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain.

“Dengan sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja

dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja

(opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja

yang telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu.

Unsur objektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu :

“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya

pelaku harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan

menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa

tindakannya itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain.


2. Pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak

pidana terhadap nyawa manusia yang dilakukan oleh anak dalam

perkara Nomor : 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.

Hakim menggunakan pertimbangan hukum :

a. Dasar hukum Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.

b. Pasal 84 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

3. Dasar memutus perkara yaitu Pasal 183 Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana.

Karena selama proses persidangan tidak ditemukan alasan-

alasan penghapus pidana dari Terdakwa, maka Terdakwa harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Undang-Undang tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa bagi

anak yang diancam pidana penjara, kurungan, dan denda, maka

ancamannya ½ dari ancaman pidana pokok yang diperuntukkan pada

orang dewasa.

B. Saran

Karena menyangkut nyawa manusia maka negara melalui alat

penegak hukum harus bertanggung jawab untuk memproses sesuai KUHP

dan UU Pengadilan Anak.

Hakim harus memperhatikan kepentingan anak, di bidang

pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja di Lapas Khusus Anak, dengan


putusan yang bermanfaat dengan memperhatikan Pasal 64 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Adami Chazawi. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. PT Raja Grafindo,


Jakarta, 2001,
A.Gumilang, Kriminalistik, Bandung: Angkasa, 1993
Ade Maman Suherman. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. PT.
RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2004

Anthon F. Susanto. Semiotika Hukum: dari Dekonstruksi Teks Menuju


Progresivitas Makna. PT. Refika Aditama: Bandung, 2005

Anthony M. Platt. (1997). The Child Savers: the invention of Delinquency.


Chicago dan London: The University of Chicago Press. Second
Edition, Englanrge
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1992,

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra
Aditya Bakti: Bandung, 2002.

------------------------ Pembaharuan Hukum Pidana: Dalam Persfektif Kajian


Perbandingan. PT. Citra Aditya Bakti: Bandubng, 2005.

B.Simandjuntak, Beberapa Aspek Patologi Sosial, Alumni, Bandung, 1981.

---------------. “Kriminologi.” Bandung : Tarsito, 1984

Bismar Siregar dkk. Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta : Rajawali, 1986,

Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak


Pidana, Bandung: Armico, 1985,
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1989

Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. PT. Remaja


RosdaKarya: Bandung, 2005.

Dwidja Priyatno, Kapita Selekta Hukum Pidana, STHB Press, Bandung, 2005,
Esmi Warassih. Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis. PT.
Suryandaru Utama: Semarang, 2005

Edwin H. Sutherland, Azas-Azas Kriminologi, Bandung,

G.W. Bawengan, Masalah Kejahatan Dengan Sebab dan Akibat, PT. Pradnya
Paramita, Jakarta, 1997

Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid I, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2003,

Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosda karya:


Bandung, 1999.

M Hamdan. Politik Hukum Pidana. PT. Radja Grafindo Persada: Jakarta,


1997.

M. Sudrajat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab Undang-


undang Hukum Pidana, Remadja Karta, Bandung, 1984, hal 1.

Mardjonon Reksodipoetro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta, 1993

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem


Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, PT. Refika
Aditama, 2008

Moeljatno, Asas-AsasHukum Pidana, Rineka cipta, Jakarta, 2002

Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan


Masalahnya, Jakarta:Pradya Paramita, 1987.
Nyoman Serikat Putra Jaya. Relevansi Hukum Pidana Adat dalam
Pembaharuan hukum Pidana Nasional. PT. Citra Aditya Bakti:
Bandung, 2006.

P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya


Bakti, Bandung, 1997

Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni,


Bandung, 1982.

R Abdul Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. PT Radja Grafindo Persada:


Jakarta, 1993

Romli Atmasasmita. Peradilan Anak di Indonesia. Bandung : Mandar Maju,


1997
-----------------------, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung,
1992.

R.Susilo, Pokok-pokok Hukum Pidana;Peraturan Umum dan Delik-delik


Khusus,Pelita, Bogor, 1974

Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat,Angkasa Bandung 1986

Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM,


Jakarta, 1990,
Sri Rahayu Sundari dalam Nashriana, Hukum Penitensier, UNSRI,
Palembang, 2005,
Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni: Bandung, 1981

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, 2002
------------------------, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

-------------------------, dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat,


Angkasa, Bandung, 1980.

Soelaeman, Pendidikan dalam keluarga, Alfabeta, Bandung, 1994

Theo Huibers. Filsafat Hukum. Kanisius: Yogyakarta, 1995.

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, As-syaamil Press &


Grafika, Bandung 2000. Hlm 202

Wagiati sutedjo, Hukum pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2010

Warner J. Severin & James W. Tankard. Communication Theories; Origins,


Methods , and Uses in The Mass Media. Edisi ke-3 New York:
Longman, 1992.

Willis Sofyan S, Remaja dan Masalahnya, Alfabeta, Bandung, 2008,

Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco,


Bandung, 1989.

Van Bemmelem. Hukum Pidana. PT Bina Cipta: Jakarta, 1986.

Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan, Sebuah Pendekatan Sosiokultural


Kriminologi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Unpad Press,
Bandung, 2004.
--------------------- & Adang. Pembaharuan Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2008.

Sumber Lain

Moelyatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana dalam


Hukum pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta, 1969

Seminar Nasional “Optimalisasi Perlindungan Anak danTantangannya di


Indonesia”,Atas Kerjasama Universitas Atmajaya Yogyakarta,
UNICEF dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Yogyakarta, 29
Oktober 2009

Dekdipbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta;Balai Pustaka,2005.

UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (WvS)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

RUU-KUHAP

UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

UU No.48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman

Rosmi Julitasari, Dukungan Lebih Manjur dari Hukuman, Http:


www.VHRmedia.com, diakses tanggal 26, maret 2012

http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=kriminalitas
anak&&nomorurut_artikel=390, diakses melalui internet tanggal 26
desember 2012

http://anjarnawanyep.wordpress.com-konsep-restorative-justice, diakses
melalui internet pada tanggal 26 desember 2012

You might also like