You are on page 1of 7

Apa Perbedaan Praktik Penghindaran Pajak dan Penggelapan Pajak?

Beberapa hari terakhir kita dihebohkan dengan munculnya dokumen “Panama Papers”.

Dokumen ini menyajikan informasi tentang berbagai pemimpin negara, pejabat dan petinggi
politik, pebisnis, olahragawan, hingga profesional yang menggunakan jasa firma hukum
Mossack Fonseca di Panama untuk berbagai tujuan, baik bisnis, penyamaran kepemilikan,
maupun penghindaran pajak.

Nah, bagian kedua pembahasan ini adalah tentang “Tax Avoidance vs Tax Evasion”.

Bagaimana sekilas sistem perpajakan Indonesia?

Perpajakan di Indonesia dibangun di atas prinsip kegotongroyongan. Sejak 1984 Indonesia


menganut self-assessment system yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutang.

Peran otoritas pajak adalah melakukan fungsi pembinaan, penelitian, pengawasan, dan
penerapan sanksi administrasi.

Keberhasilan self-assessment system sangat bergantung pada kesadaran dan peran serta
masyarakat (voluntary compliance), maka edukasi dan komunikasi perlu terus-menerus
dilakukan.

Di samping itu, kepercayaan pada pemerintah dan otoritas perpajakan perlu terus dipupuk
melalui pembentukan badan penerimaan negara yang profesional, kredibel, dan akuntabel
serta redistribusi pendapatan yang merata dan berkeadilan (Kirchler:2007; Belkaoui:2009).

Mengapa terdapat praktik tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion
(penggelapan pajak)?

Ada adagium kuno “tak seorang pun senang membayar pajak”, namun semua sepakat bahwa
pajak sangat penting dan bermanfaat bagi kepentingan publik.

Apa yang disebut voluntary (sukarela) dalam perpajakan selalu berarti quasi-voluntary atau
kesukarelaan yang timbul karena adanya paksaan oleh undang-undang dan harapan akan
manfaat dari pembayaran pajak (Brautigam:2008).

Mengingat sifatnya yang naluriah, maka memahami konsep penghindaran pajak dan
penggelapan pajak merupakan hal yang sangat penting. Penghindaran pajak hanya mungkin
terjadi apabila terdapat ruang yang membuka penafsiran berbeda dalam undang-undang.

Apa perbedaan antara penghindaran pajak dan penggelapan pajak?

Tidak mudah membedakan kedua hal yang secara teknis sangat terkait erat. Kedua hal
ini distinct but inseparable (dapat dibedakan meski sulit terpisahkan), terutama karena
dipengaruhi kompleksitas hukum di negara yang bersangkutan (Palan dkk:2008).
Pada prinsipnya, tax planning (perencanaan pajak) bukan merupakan sesuatu yang keliru atau
terlarang. Namun sebuah skema perencanaan pajak harus diuji apakah skema tersebut sesuai
atau melanggar Undang-undang.

Yang membedakan antara tax avoidance dan tax evasion adalah legalitasnya, yaitu tax
avoidance bersifat legal, sedangkan tax evasionbersifat ilegal. Dalam praktik,
pengelompokan antara keduanya tergantung pada interpretasi otoritas pajak di masing-
masing negara.

Dapat disimpulkan bahwa yang membedakan suatu skema perencanaan pajak termasuk
kategori tax avoidance atau tax evasion adalah legalitasnya, sedangkan dari sisi etis, kedua
praktik ini sebenarnya bertentangan dengan maksud dari undang-undang.

Apakah yang dimaksud dengan Tax Avoidance?

Tax Avoidance (penghindaran pajak) berciri fraus legis yaitu kawasan grey area yang
posisinya berada di antara tax compliance dan tax evasion. Beberapa pihak mencoba
mendefinisikan tax avoidance.

Justice Reddy (dalam kasus McDowell & Co Versus CTO di US) merumuskan tax avoidance
sebagai seni menghindari pajak tanpa melanggar hukum. Black’s Law Dictionary
menjelaskan, tax avoidance adalah upaya meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan
peluang penghindaran pajak (loopholes) dengan tidak melanggar hukum pajak.

Lebih lanjut, OECD mendeskripsikan bahwa tax avoidance adalah usaha wajib pajak
mengurangi pajak terutang, meskipun upaya ini bisa jadi tidak melanggar hukum (the letter of
the law), namun sebenarnya bertentangan dengan tujuan dibuatnya peraturan perundang-
undangan perpajakan (the spirit of the law).

Ronen Palan (2008) menyebutkan suatu transaksi diindikasikan sebagai tax avoidance apabila
melakukan salah satu tindakan berikut :

(a) Wajib Pajak (WP) berusaha untuk membayar pajak lebih sedikit dari yang seharusnya
terutang dengan memanfaatkan kewajaran interpretasi hukum pajak.

(b) WP berusaha agar pajak dikenakan atas keuntungan yang di declare dan bukan atas
keuntungan yang sebenarnya diperoleh; (c) WP mengusahakan penundaan pembayaran pajak.

Lalu, apakah yang dimaksud dengan Tax Evasion?

Tax Evasion (Tax Fraud) atau penggelapan pajak adalah tindakan yang dilakukan oleh wajib
pajak untuk mengurangi jumlah pajak terutang atau sama sekali tidak membayarkan pajaknya
melalui cara-cara ilegal.

Rohatgi (2007) menyatakan bahwa tax evasion adalah niat untuk menghindari pembayaran
pajak terutang, dengan cara menyembunyikan data dan fakta secara sengaja dari otoritas
pajak, dan ini merupakan tindakan ilegal.
Selain itu, Russo (2007) mendefinisikan tax evasion sebagai kondisi di mana wajib pajak
menghindar untuk membayar pajak terutang tanpa menghindar dari kewajiban pajak sehingga
hal ini melanggar ketentuan perpajakan.

Contoh umum penggelapan pajak misalnya wajib pajak tidak melaporkan sebagian atau
seluruh penghasilannya dalam SPT atau membebankan biaya-biaya yang tidak seharusnya
dijadikan pengurang penghasilan untuk tujuan meminimalkan beban pajak. Tindakan illegal
ini menyebabkan kerugian negara.

Sebagian besar negara mengenakan sanksi administrasi dan sanksi pidana terhadap wajib
pajak yang melakukan penggelapan pajak.

Apakah Indonesia sudah memiliki ketentuan tentang penghindaran pajak?

Untuk menangkal praktik penghindaran pajak, negara-negara membuat aturan dan kebijakan
anti penghindaran pajak. Meski belum sempurna, Indonesia telah memiliki beberapa
ketentuan anti penghindaran pajak.

Pertama. Ketentuan anti thin capitalization yaitu upaya wajib pajak mengurangi beban pajak
dengan cara memperbesar pinjaman – bukan justru menambah modal – agar dapat
membebankan biaya bunga dan mengecilkan laba.

Hal ini diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 169/PMK.03/2015 yang mengatur Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang
dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan (Debt to Equity
Ratio).

Kedua. Ketentuan mengenai Controlled Foreign Corporation (CFC) Rules di Pasal 18 ayat
(2) UU PPh, yang mengatur kewenangan Menteri Keuangan menetapkan saat diperolehnya
dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar
negeri paling rendah 50 persen, selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek.

Ketiga. Ketentuan tentang transfer pricing dalam Pasal 18 ayat (3) UU PPh yang mengatur
kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa.

Keempat. PER-43/PJ/2010 jo PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan


Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai
Hubungan Istimewa.

Kelima. Ketentuan anti-treaty shopping, yang diatur dalam PER-62/PJ/2009 jo PER-


25/PJ/2010 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/04/14/083000826/Apa.Perbedaan.Praktik.Peng
hindaran.Pajak.dan.Penggelapan.Pajak.
Mengenal "Tax Haven" atau Suaka Pajak, dan Fakta Mencengangkan di Baliknya

Beberapa hari terakhir kita dihebohkan dengan munculnya dokumen “Panama Papers”.

Dokumen ini menyajikan informasi tentang berbagai pemimpin negara, pejabat dan petinggi
politik, pebisnis, olahragawan, hingga profesional yang menggunakan jasa firma hukum
Mossack Fonseca di Panama untuk berbagai tujuan, baik bisnis, penyamaran kepemilikan,
maupun penghindaran pajak.

Untuk memahami apa dan bagaimana “Panama Papers” berikut kami buat penjelasan singkat
agar mudah dipahami, dimulai dengan “tax havens”.

Asal-usul Istilah

Istilah tax havens sering disebut juga “tax heaven” atau surga pajak. Tax havens sebenarnya
lebih tepat diterjemahkan suaka pajak, karena merupakan perlindungan dari pengenaan pajak.

Istilah surga selain menjadi penanda “sesuatu yang nikmat dan menyenangkan”, ternyata juga
dekat dengan istilah yang dipakai Prancis yaitu paradis fiscaux, atau di Spanyol
disebut paradisos fiscales, di Italia bernama rifugio fiscale, dan Jerman
menyebutnya Stuerhafens.

Sejak kapan “tax havens” ada?

Tax havens lahir sebagai konsekuensi meningkatnya tarif pajak. Istilah ini pertama kali
muncul di majalah The Times 17 Mei 1894, ketika banyak wajib pajak di Inggris
memindahkan kekayaannya untuk menghindari pajak.

Pasca Perang Dunia I kebutuhan biaya akibat kehancuran ekonomi pasca perang mendorong
negara-negara untuk menaikkan tarif pajak agar pendapatan negara meningkat.

Tarif pajak pada 1924 bahkan mencapai 72 persen. Sejak saat itulah tax havens lahir dan tiga
kota di Swiss – Geneva, Zurich, dan Basel – menjadi pusat penghindaran pajak yang aman.

Pada kurun 1930-an, pemungutan pajak yang semakin agresif mendorong lahirnya tax
havens baru.

Ketika Roosevelt berkuasa, para pengusaha di AS menggunakan Bahama sebagai tempat


menyembunyikan penghasilan.

Pada tahun 1960, Cayman Island lahir sebagai tax havens baru yang didukung perbankan
Kanada.

The Rolling Stones meninggalkan Inggris pada 1971 karena beban pajak yang terlampau
tinggi. Mereka pun melakukan eksodus ke AS, dan diikuti banyak profesional lainnya.

Pada saat bersamaan Panama juga lahir sebagai tax havens yang menyimpan dana milik
pengusaha AS dan Amerika Tengah, terutama Kuba.

Apa yang dimaksud “tax havens”?


Secara umum tax havens didefinisikan sebagai suatu negara atau wilayah yang mengenakan
pajak rendah atau sama sekali tidak mengenakan pajak dan menyediakan tempat yang aman
bagi simpanan untuk menarik modal masuk.

OECD memberi tiga ciri tax havens yaitu menerapkan tarif pajak rendah atau bebas
pajak, lack of transparency, dan lack of effective exchange of information.

Dengan demikian tidak semua yurisdiksi dengan tarif pajak rendah merupakan tax havens
karena mau bekerja sama dalam pertukaran informasi.

Dalam perpajakan internasional, kerap digunakan tiga istilah yang bisa dipertukarkan satu
sama lain yaitu: Preferential Tax Regime’s (PTRs), Offshore Financial Centers (OFCs), dan
tax havens.

Apa saja yang ditawarkan oleh “tax havens”?

Negara suaka pajak pada umumnya menawarkan manfaat: (i) peluang diversifikasi investasi,
(ii), strategi menangguhkan beban pajak, (iii) perlindungan asset yang kuat, (iv) hasil
investasi bebas pajak, (v) offshore banding dengan keleluasaan dan privasi, (vi) imbal hasil
yang lebih besar, (vii) mengurangi beban pajak, (viii) menghindari restriksi mata uang, (ix)
peluang mengembangkan bisnis.

Bahaya penggunaan tax havens antara lain money laundering, penyalahgunaan perusahaan
cangkang (shell companies), pendanaan yang keliru, penggelapan pajak, dan ancaman pada
stabilitas sistem keuangan.

Siapa saja yang dikategorikan "tax havens"?

Kita sering berpikir tax havens adalah teritori yang sangat jauh dari kita. Faktanya tax
havens semakin marak seiring dengan globalisasi. Bahkan kaitan pajak dan globalisasi sangat
erat karena efisiensi pajak merupakan motif utama modal mencari keuntungan maksimal.

OECD pada tahun 1998 mengeluarkan dokumen Anti-Harmful Tax Competition dan
menyusun daftar hitam negara suaka pajak. Sejak saat itu genderang perang terhadap tax
havens dimulai.

Menurut IMF, setidaknya diidentifikasi 60 teritori suaka pajak. Tujuh tax havens terbaik
(Hoyt:2007) adalah Switzerland, Liechtenstein, Austria, Panama, Saint Kitts and Nevis,
Belize, Hong Kong.

Sedangkan 11 tax havens terbaik untuk melindungi asset (Hadnum:2011) adalah Jersey
(Channel Island / European Mediterania), Liechtenstein, The Cayman Island, St Kitt Nevis,
Panama, Gilbatar, Isle of Man, Bermuda, Bahamas, Austria, New Zealand.

Dalam taraf tertentu Irlandia juga merupakan low tax regime karena pemberlakuan “Double
Irish” yang mengenakan pajak sangat rendah untuk perusahaan yang berkedudukan di
Irlandia namun kontrol manajemen dilakukan di luar Irlandia.
Belanda juga dikenal dengan ‘Dutch Sandwich” yang tidak mengenakan pajak terhadap
pembayaran royalti dan bunga sehingga sering digunakan sebagai tempat pendirian special
purpose vehicle (SPV).

Adakah data dan fakta yang mencengangkan terkait "tax havens"?

Sebanyak 33 persen Modal Asing Langsung atau FDI berasal dari tax havens. Pada tahun
2010 Barbados, Bermuda dan the British Virgin Islands (BVI) menerima FDI 5,11 persen
dari FDI global, melebihi Jerman (4,77 persen) atau Jepang (3,76 persen).

Investasi ketiga negara ini mencapai 4,54 persen terhadap investasi global, melebihi Jerman
(4,28 persen).

Sementara itu, tahun 2010 lalu BVI merupakan investor terbesar kedua ke China (14 persen),
setelah Hong Kong (45 persen), dan di atas AS (4 persen). Bermuda merupakan investor
terbesar ketiga di Chili (10 persen).

Mauritius adalah investor terbesar ke India dengan kontribusi hingga 24 persen, Cyprus (28
persen), BVI (12 persen), Bermuda (7 persen). Bahama (6 persen) adalah investor terbesar ke
Russia.

BVI berpenduduk 19.000 orang tetapi memiliki 830.000 perusahaan terdaftar dan 300.000
perusahaan cangkang.

Adapun negara Cayman memiliki 70.000 perusahaan, 430 bank, 720 perusahaan asuransi,
7.000 lembaga pembiayaan.

Padahal tercatat hanya 5.400 pegawai dan terdapat satu alamat dengan 18.000 perusahaan.
Cayman memiliki asset 1,3 kali GDP Norwegia dan total assetnya sebesar 700 kali GDP.

Contoh lain, Swiss menyimpan 2.300 miliar dollar AS dana asing. Dan AS kehilangan
potensi pajak sebesar Rp 6.000 triliun, karena Rp 30 triliun laba perusahaan diparkir di luar
negeri.

Siapa saja yang pernah memanfaatkan jasa "Tax Havens”?

Yang paling hangat adalah Apple, Google, Starbucks dan Amazon. Sebelumnya Airbus,
Mark Spencer, Vodafone, Coca Cola, Cisco, Pfizer, LTCM, Parmalat, Refco, Enron,
Northern Rock.

Pada 2008, seekor anjing bernama Gunter terdaftar bersama 1.400 orang pemilik trusts di
Leichenstein, untuk menghindari pajak Jerman.

Juni 2008, pegawai senior bank UBS Swiss mengaku telah membantu menghindari pajak
orang AS senilai 20 miliar dollar AS, dengan biaya 200 juta dollar AS.

Apa yang dilakukan untuk menangkal “Tax Havens”?

Inisiatif yang pernah dilakukan adalah Financial Action Task Force (1989), membentuk
OECD Forum on Harmful Tax Practices dan OECD Global Forum, Tax Information
Exchange Agreement (2001), dan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan
(2013) yang diinisiasi OECD dan G-20.

Berapa potensi pajak orang Indonesia di “Tax Havens”?

Menurut penelitian Tax Justice Network (2010), lebih dari 331 miliar dollar AS (setara Rp
4.500 triliun) asset orang Indonesia berada di tax havens.

Sedang, menurut Global Financial Integrity (2014), sedikitnya terdapat Rp 200 triliun aliran
dana ilegal keluar Indonesia setiap tahunnya.

Lembaga lain seperti McKinsey pernah menyebut jumlah asset orang Indonesia di luar negeri
mencapai Rp 4.000 triliun. (Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia
Taxation Analysis (CITA)).

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/04/11/060300926/Mengenal.Tax.Haven.atau.S
uaka.Pajak.dan.Fakta.Mencengangkan.di.Baliknya

You might also like