You are on page 1of 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO) kesehatan adalah

suatu keadaan kesejahtraan fisik, mental dan sosial yang komplek dan

bukan semata-mata terbebas dari penyakit. Selain definisi luas diatas,

kesehatan secara tradisional dinilai dari memperhatikan morbiditas

(kesakitan) selama priode tertentu (Wong, 2009), derajat kesehatan anak

merupakan derajat kesehatan bangsa, sebab anak sebagai generasi penerus

bangsa, memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan dalam

meneruskan pembangunan bangsa (Hidayat, 2008)

Seorang anak akan mengalami gangguan kesehatan yang diderita

seseorang karena tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik.

Gangguan fisik yang sering terjadi adalah gangguan integritas kulit,

gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata, infeksi pada telinga,

gangguan fisik pada kuku, gangguan dalam pengeluaran urine yang

involunter pada waktu siang atau malam hari pada anak yang berumur

lebih dari empat tahun tanpa adanya kelainan fisik maupun penyakit

organik serta enkopresis fungsional juga bisa terjadi pada anak yang

berumur lebih dari empat tahun yang disebabkan karena kondisi psikologis

pada anak karena kegagalan dalam melakukan buang air besar. Masalah

sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan


kebutuhan rasa nyaman, aktualisasi diri, kebutuhan dicintai, kebutuhan

harga diri, dan gangguan interaksi sosial (Tarwoto 2009).

Menurut World Health Organization sekitar 100.000 anak Indonesia

meninggal akibat diare, sedangkan angka kejadian karies atau gigi

berlubang pada anak mencapai 60%-90%. Sekitar 760.000 jiwa meninggal

tiap tahunnya karena diare, yang paling banyak terjadi dibawah 8 tahun dan

untuk kejadian skabies masih mencapai sekitar 130.000 jiwa secara global

(WHO, 2013)

Data dari riskesdas proporsi penduduk umur ≥ 10 tahun menyikat

gigi setiap hari dan berperilaku menyikat gigi denga benar menurut

karakteristiknya. Menurut tempat tinggal, responden di perkotaan lebih

banyak berperilaku menyikat gigi benar dibandingkan perdesaan yaitu

laki-laki (2,0%) lebih rendah dibandingkan perempuan (2,5). Ditemukan

sebagian besar penduduk Indonesia menyikat gigi pada saat mandi pagi

maupun mandi sore (76,6%). Menyikat gigi dengan benar adalah setelah

makan pagi dan sebelum tidur malam, untuk Indonesia ditemukan hanya

(2,3%). Berdasarkan analisis kecenderungan secara rata-rata nasional,

terdapat peningkatan proporsi penduduk berperilaku cuci tangan secara

benar (47,0%) dibandingkan tahun 2007 (23,2%),namun pada angka

kematian akibat diare masih tergolong tinggi pada usian ≤ 10 tahun yaitu

(40 %) (Riskesdas, 2013).


Orang tua memiliki peranan penting dalam optimalisasi

perkembangan seorang anak. Orang tua harus selalu memberi rangsang

atau stimulasi kepada anak dalam semua aspek perkembangan baik

motorik kasar maupun halus, bahasa dan personal sosial. Stimulasi harus

diberikan secara rutin dan berkesinambungan dengan kasih sayang,

metode bermain, dan lain-lain. Sehingga perkembangan anak akan

berjalan optimal, kurangnya stimulasi dari orang tua dapat menyebabkan

keterlambatan perkembangan anak (Schmidt, 2007)

Orang tua berperan dalam dalam pengembangan kualitas pribadi

anak, melalui cara-caranya mengasuh dan mendidik anak. Cara-cara orang

tua mengasuh anak meliputi sejauh mana orang tua menjadikan dirinya

sebagai pantauan anak, hubungan kognitif dan afektif antara orang tua dan

anak, cara mengajar anak serta cara mendisiplinkan anak termasuk

didalammya peran orang tua dalam membimbing dan mendisiplinkan anak

untuk melatih melakukan personal hygiene secara mandiri (Kudwiratri,

2008).

Baumrind dalam Judy Et All, (2012) menyatakan bahwa pola asuh

orang tua dibedakan menjadi 4 bagian diantaranya pola asuh otoriter yaitu

orang tua cenderung menetapkan standar mutlak yang harus dituruti, pola

asuh demokratis yaitu orang tua lebih bersikap rasional dan mendasari

tindakanya dengan pemikiran, pola asuh permisif yaitu orang tua memberi

pengawasan yang lebih longgar dan memberikan kesempatan anaknya

untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya, dan pola
asuh tidak terlibat yaitu orang tua tidak memberi pengarahan, pengaturan

dan pembatasan terhadap sikap yang dilakukan anak secara penuh.

Kreativitas anak akan berkembang jika orang tua bersikap demokratis,

yaitu bersedia mendengarkan pembicaraan anak, menghargai pendapat

anak, mendorong anak untuk berani mengungkapkannya.

Perkembangan kemandirian anak usia dini dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, begitu juga dengan anak yang tidak mandiri. Sedangkan

menurut Solahudin dalam Malau (2012) menyatakan terdapat dua faktor

faktor yang berpengaruh pada tingkat kemandirian anak anak usia sekolah

yaitu faktor internal yaitu emosi dan intelektual anak, Faktor eksternal

yaitu lingkungan, status ekonomi keluarga, stimulasi, pola asuh, cinta dan

kasih sayang, kualitas informasi anak dengan orang tua dan status

pekerjaan ibu. Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang

diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, dimana individu akan

terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi

lingkungan (Suseno, 2010).

Dampak yang terjadi diakibatkan kurangnya kebersihan diri adalah

gangguan fisik seperti gangguan integritas kulit, gangguan membrane

mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga, diare, kecacingan, sakit gigi

dan gangguan fisik pada kuku (Tarwoto, 2011) Personal hygiene menjadi

penting karena personal hygiene yang baik akan meminimalkan pintu

masuk (portal of entry) mikroorganisme yang ada dimana-mana dan pada

akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit (Saryono, 2010),


Perawat, terutama perawat komunitas memiliki peranan yang

cukup besar dalam upaya peningkatan kesehatan sekolah diantaranya

adalah sebagai pelaksana asuhan keperawatan di sekolah dan sebagai

penyuluh dalam bidang kesehatan. Dalam hal ini, perawat bertanggung

jawab dalam promosi praktik kesehatan yang baik dan mengembangkan

pendidikan kesehatan yang efektif yang bertujuan untuk meningkatkan

penerimaan pengetahuan dan keterampilan untuk perawatan diri yang

kompeten dan menginformasikan pembuatan keputusan tentang kesehatan

(Potter dan Perry, 2005).

Hasil studi pendahuluan didapatkan dari hasil wawancara kepada

10 orang tua yang mempunyai anak usia sekolah dasar di SDN Griba 18

Antapani 7 diantaranya menyatakan bahwa anaknya jarang melakukan

aktivitas personal hygiene seperti mencuci tangan makan, gosok gigi,tidak

dapat mandi sendiri, anak tidak pernah memotong kuku sendiri. Salah satu

akibat dari kebiasaan personal hygiene yang kurang baik akan

menyebabkan anak tersebut mengalami diare, gigi bolong, cacingan, hal

itu disebabkan oleh orang tua yang tidak bisa mengawasi anaknya untuk

melakukan personal hygiene dikarenakan kebanyakan dari orang tua siswa

kebanyakan adalah seorang pekerja. Menurut data dari puskesmas di SDN

Griba 264 antapani di ditemui kasus diare dan cacingan.


Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang Hubungan pola asuh orang tua dengan

kemandirian personal hygiene anak di SDN Griba 264 Antapani

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah apakah ada hubungan pola asuh orang tua dengan

kemandirian personal hygiene anak

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi hubungan pola asuh orang tua dengan

kemandirian personal hygiene anak di SDN Griba 264 Antapani

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui bagaimana pola asuh orang tua dengan

kemandirian hygiene anak di SDN Griba 264 Antapani

b. Untuk mengetahui bagiamana kemandirian personal hygiene anak

di SDN Griba 264 Antapani

c. Untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan

kemandirian personal hygiene anak di SDN Griba 264 Antapani


D. Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat

Sebagai bahan informasi buat orangtua siswa/siswi serta menambah

wawasan dan pengetahuan mengenai kemandirian personal hygiene

2. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan

pengembangan ilmu dan juga dapat dijadikan data dasar dan acuan

untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan kemandirian

personal hygene

3. Bagi institusi

Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber rujukan bagi

pihak puskesmas dan sekolah dapat dijadikan sebagai sumber rujukan

untuk lebih memperhatikan lagi maslah kemandirian personal hygiene

dikalangan anak terutama anak sekolah dasar.

E. Ruang Lingkup Peneliti

Penelitian ini untuk mengidentifikasi hubungan pola asuh orang tua

dengan kemandirian personal hygiene anak di SDN Griya Antapani 264.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak usia sekolah

1. Pengertian

Anak diartikan sebagai seseorang yang usianya kurang dari

delapan belas tahun dan sedang berada dalam masa tumbuh kembang

dengan kebutuhan khusus, baik kebutuhan fisik, psikologis, sosial dan

spiritual. Sedangkan anak usia sekolah dapat diartikan sebagai anak

yang berada dalam rentang usia 6-12 tahun, dimana anak mulai

memiliki lingkungan lain selain keluarga (Supraptini, 2004). Anak usia

sekolah biasa disebut anak usia pertengahan. Periode usia tengah

merupakan periode usia 6-12 tahun (Santrock, 2008). Periode usia

sekolah dibagi menjadi tiga tahapan umur yaitu tahap awal 6-7 tahun,

tahap pertengahan 7-9 tahun dan pra remaja 10-12 tahun (DeLaune &

Ladner, 2002; Potter & Perry, 2005).

Kemampuan kemandirian anak dalam periode ini di luar

lingkungan rumah terutama di sekolah akan terasa semakin besar.

Beberapa masalah sudah mampu diatasi dengan sendirinya dan anak

sudah mampu menunjukkan penyesuaian diri dengan lingkungan yang

ada. Rasa tanggung jawab dan rasa percaya diri dalam menghadapi

tugas sudah mulai terwujud, sehingga ketika anak mengalami

kegagalan sering kali dijumpai reaksi seperti kemarahan dan


kegelisahan (Hidayat, 2005)Tidak seperti bayi dan anak usia pra-

sekolah, anak-anak dalam usia sekolah dinilai sudah mampu untuk

menghasilkan sesuatu yang bernilai sosial. Anak usia sekolah menurut

Erikson dalam Wong (2009) berada dalam fase industri. Anak mulai

mengarahkan energi untuk meningkatkan pengetahuan dari

kemampuan yang ada (Santrock, 2008). Anak belajar berkompetisi dan

bekerja sama dari aturan yang diberikan. Anak mulai ingin bekerja

untuk menghasilkan sesuatu dengan mengembangkan kreativitas,

keterampilan, dan keterlibatan dalam pekerjaan yang berguna secara

sosial (Santrock, 2008; Wong, 2009).

2. Tahap perkembangan anak usia sekolah

Anak usia sekolah memiliki perubahan dari periode

sebelumnya. Harapan dan tuntutan baru dengan adanya lingkungan

yang baru dengan masuk sekolah dasar saat usia 6 atau 7 tahun

(Hurlock, 2004). Anak usia sekolah mengalami beberapa perubahan

sampai akhir dari periode masa kanak-kanak dimana anak mulai

matang secara seksual pada usia 12 tahun (Hurlock, 2004; Santrock,

2008; Wong, 2009). Dalam tahap perkembangan anak di usia sekolah,

anak lebih banyak mengembangkan kemampuannya dalam interaksi

soisal, belajar tentang nilai moral dan budaya dari keluarga serta mulai

mencoba untuk mengambil bagian peran dalam kelompoknya.

Perkembangan yang lebih khusus juga mulai muncul dalam tahap ini
seperti perkembangan konsep diri, keterampilan serta belajar untuk

menghargai lingkungan sekitarnya (Hidayat, 2005) Terdapat tiga

tahapan perkembangan anak usia sekolah menurut teori tumbuh

kembang, yaitu:

a. Perkembangan Kognitif (Piaget)

Dilihat dari sisi kognitif, perkembangan anak usia sekolah

berada pada tahap konkret dengan perkembangan kemampuan

anak yang sudah mulai memandang secara realistis terhadap

dunianya dan mempunyai anggapan yang sama dengan orang

lain. Sifat ego sentrik sudah mulai hilang, sebab anak mulai

memiliki pengertian tentang keterbatasan diri sendiri. Anak usia

sekolah mulai dapat mengetahui tujuan rasional tentang kejadian

dan mengelompokkan objek dalam situasi dan tempat yang

berbeda. Pada periode ini, anak mulai mampu mengelompokkan,

menghitung, mengurutkan, dan mengatur bukti-bukti dalam

penyelesaian masalah. Anak menyelesaikan masalah secara nyata

dan urut dari apa yang dirasakan. Sifat pikiran anak usia sekolah

berada dalam tahap reversibilitas, yaitu anak mulai memandang

sesutau dari arah sebaliknya atau dapat disebut anak memiliki dua

pandangan terhadap sesuatu. Perkembangan kognitif anak usia

sekolah memperlihatkan anak lebih bersifat logis dan dapat

menyelesaikan masalah secara konkret. Kemampuan kognitif

pada anak terus berkembang sampai remaja (Hurlock, 2004)


b. Perkembangan Psikoseksual (Freud)

Pada perkembangan ini, anak usia sekolah berada pada fase

laten dimana perkembangannya ditunjukkan melalui kepuasan

anak terhadap diri sendiri yang mulai terintegrasi dan anak sudah

masuk pada masa pubertas. Anak juga mulai berhadapan dengan

tuntutan sosial seperti memulai sebuah hubungan dalam

kelompok. Pada tahap ini anak biasanya membangun kelompok

dengan teman sebaya. Anak usia sekolah mulai tertarik untuk

membina hubungan dengan jenis kelamin yang sama. Anak mulai

menggunakan energi untuk melakukan aktifitas fisik dan

intelektual bersama kelompok sosial dan dengan teman

sebayanya, terutama dengan yang berjenis kelamin sama

(Hockenberry & Wilson, 2007; Wong, 2009)

Perkembangan Psikososial Pada perkembangan ini, anak

berada dalam tahapan rajin dan akan selalu berusaha mencapai

sesuatu yang diinginkan terutama apabila hal tersebut bernilai

sosial atau bermanfaat bagi kelompoknya. Pada tahap ini anak

akan sangat tertarik dalam menyelasaikan sebuah masalah atau

tantangan dalam kelompoknya. Hal ini disebabkan oleh adanya

keinginan anak untuk mengambil setiap peran yang ada di

lingkungan sosial terutama dalam kelompok sebayanya. Pada

tahap ini, anak menginginkan adanya pencapaian yang nyata.

Keberhasilan anak dalam pencapaian setiap hal yang mereka


lakukan akan meningkatkan rasa kemandirian dan kepercayaan

diri anak. Anak- anak yang tidak dapat memenuhi standar yang

ada dapat mengalami rasa inferiority (Muscari, 2005; Wong,

2009). Anak yang mengalami 13 inferiority harus diberikan

dukungan dalam menjalankan aktivitasnya (Sarafino, 2006).

Pengakuan teman sebaya terhadap keterlibatan anak di

kelompoknya akan memberikan dukungan positif pada anak usia

sekolah. Perkembangan moral anak usia sekolah menurut

Kohlberg berada di tahap konvensional (Muscari, 2005).

Perkembangan moral sejalan dengan cara pikir anak usia sekolah

yang lebih logis (Hockenberry & Wilson, 2007). Anak pada usia

sekolah dapat lebih memahami standar perilaku yang seharusnya

mereka terapkan pada kehidupan sehari-hari. Anak dalam tahap

konvensional, mulai memahami bagaimana harus memperlakukan

orang lain sesuai dengan apa yang ingin diterima oleh mereka dari

orang lain (Muscari, 2005; Wong, 2009). Anak mulai melihat

berbagai cara pandang untuk menilai suatu tindakan benar atau

salah (Hockenberry & Wilson, 2007).

B. Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia 6-12 Tahun

Pada masa ini anak memasuki masa belajar di dalam dan diluar

sekolah. Anak belajar di sekolah, tetapi membuat latihan pekerjaan rumah

yang mendukung hasil belajar disekolah. Aspek perilaku banyak dibentuk


melalui penguatan (reinforcement) verbal, keteladanan, dan identifikasi.

Anak-anak pada masa ini harus menjalani tugas-tugas perkembangan,

yaitu:

a. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan

yang umum.

b. Membentuk sikap sehat mengenai dirinya sendiri.

c. Belajar bergaul dan menyesuaikan diri dengan teman-teman

seusianya.

d. Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat.

e. Mengembangkan keterampilan dasar: membaca, menulis, dan

berhitung.

f. Mengembangkan pengertian atau konsep yang diperlukan untuk

kehidupan sehari-hari.

g. Mengembangkan hati nurani, nilai moral, tata dan tingkatan nilai

sosial.

h. Meperoleh kebebasan pribadi.

i. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan

lembaga-lembaga (Gunarsa, D. & Gunarsa, Y., 2008).

j. Mancapai kemandirian pribadi

Tugas-tugas perkembangan ini menuntut anak mampu menjadi

pribadi-pribadi yang mandiri. Kemandirian ini ditunjukkan pada

kemampuan membuat perencanaan dan melaksanakan kegiatan

belajar/sekolahnya tanpa harus selalu diarahkan oleh guru maupun orang


tua. Sehubungan tugas pencapaian kemandirian ini, maka guru dalam

melaksanakan proses pembelajarannya mengacu pada kemandirian. Baik

kemandirian dalam tugas individual maupun kemandirian dalam tugas-

tugas kelompok. (Gunarsa,D & Gunarsa Y.,2008)

C. Kemandirian

1. Pengertian

kemandirian merupakan suatu kemampuan individu untuk

mengatur dirinya sendiri dan tidak tergantung kepada orang lain”.

Terdapat 2 tingkat kemandirian anak yaitu mandiri sebagian dan

mandiri penuh, anak yang memiliki tingkat kemandirian sebagian

misalnya anak yang mampu melakukan atau melayani dirinya sendiri

tetapi masih dalam pengawasan dan juga masih dalam tahap bantuan

dari orang tua. Sedangkan anak yang memiliki tingkat kemandirian

penuh merupakan anak yang mampu melayani dirinya sendiri tanpa

bantuan dari orang tua atau orang yang berada di sekitarnya tetapi

masih dalam pengawasan orang tua ( Indriyani,2014 ).

Maslow (dalam Ali & Asrori 2008) membedakan kemandirian

menjadi dua, yaitu ; kemandirian aman (secure autonomy) dan

kemandirian tidak aman (insecure autonomy). Yang dimaksud

kemandirian aman adalah kekuatan untuk menumbuhkan cinta kasih

pada dunia, kehidupan, dan orang lain, sadar akan tanggung jawab

bersama dan tumbuh rasa percaya terhadap kehidupan. Sedangkan


kemandirian tidak aman adalah kekuatan kepribadian yang dinyatakan

dalam prilaku menentang dunia. Sehingga Maslow menyebut kondisi

seperti ini sebagai selfish autonomy atau kemandirian mementingkan

diri sendiri.

Berdasarkan pandangan beberapa ahli di atas dapat

disimpulkan bahwa kemandirian merupakan kemampuan untuk

mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri

secara bebas serta berusaha untuk melepaskan diri dari orang tua

ataupun orang dewasa lainnya.

2. Peran orang tua dalam memandirikan anak usia sekolah

Pada masa sekolah perkembangan anak mulai beranjak menjadi

manusia dan belajar bergaul dengan orang lain. Ada beberapa peran

orang tua adalah membina kemandirian anak usia sekolah yaitu :

(Lie,2004)

a. Ajari anak untuk merawat tubunhnya sendiri

Walaupun anak hidupnya dalam keluarga kecukupan, orang

tua perlu mendidik anak untuk bersikap mandiri terutama pada

perawatan dirinya sendiri. Dalam keluarga yang bercukupan,

pelayanan yang diberikan oleh pengasuh bisa berlebihan. Hal ini

hanya merugikan anak dan menghambat perkembangan

kedewasaan. Orangtua perlu meminta anak melakukan kegiatan

kegiatan rutin seputar perawatan tubuhnya sendiri dan


mengkomunikasikan harapan ini kepada pengasuh agar bisa ikut

mendukung proses kemandirian anak.

b. Biarkan anak menyiapkan sarapan sendiri

Banyak orang tua mengeluh mengenai kesulitan makan

anak. Sebetulnya orang tua perlu menyikapi permasalahan ini

dengan lebih bijak. Orang tua perlu membedakan apakah anak

menolak makan atau memprotes hilangnya otonominya dalam

menentukan dan memenuhi kebutuhan sendiri. Dengan memberi

anak kesempatan untuk menyiapkan sarapannya sendiri, orang tua

bisa mengajar untuk mandiri dalam memenuhi kebutuhan fisiologi

mereka sendiri.

c. Ajari anak untuk menata buku sekolahnya sendiri

Pada beberapa keluarga kelas menengah dan keatas,

keberadaan pengasuh bisa membatasi anak dalam mengembangkan

kemandirian.

d. Jangan mengajarkan pekerjaan rumah anak

Disekolah dasar, anak mulai mendapatkan pekerjaan rumah

disekolah. Jumlah tingkat kesulitan pekerjaan rumah ini bisa

bervariasi dari satu sekolah kesekolah lainnya. Dibeberapa sekolah,

anak bisa mendapatkan pekerjaan rumah yang cukup berat dan

banyak. Walaupun orang tua merasa kasihan dan tidak tega melihat

beban anak, tidaklah bisak jika orang tua mengambil alih dan

mengerjakan pekerjaan rumah anak.


e. Ajari anak menyelesaikan masalahnya sendiri

orang tua wajib mengasuh dan melindungi anak. Tapi hal

ini tidak berarti orang tua perlu mengambil alih setiap maslah anak.

Orang tua yang membiasakan diri untuk ikut campur dalam

menyelesaikan permasalahan anak sebenarnya kurang mendidik

anak bersikap mandiri.

f. Ajari anak untuk merapihkan mainannya sendiri

orang tua dapat mulai menumbuhkan rasa mandiri anak

dengan memberikan tugas tugas sederhana seperti mebereskan

mainannya sendiri.

g. Ajari anak untuk merapihkan/melipat bajunya sendiri

Pada masa ini, anak juga diminta untuk merapihkan dan

melipat pakaian sendiri. Kegiatan ini bermafaat bagi

perkembangan motorik anak dan juga meningkatkan kemandirian

anak.

h. Hargai kebebasan anak dalam memilih pakaian

Ketika anak akan mulai menginjak usia belasan tahun, dia

sudah mulai enggan mengenakan pakaian dengan model yang

kekanak kanakan. Dia ingin memakai model-model yang

memberikan kesan pra remaja. Padahal orang tua masih


memandang anaknya kekanak-kanakan. Orang tua perlu bersikap

bijak dan menghargai kebebasan anak dalam memiih gayanya

sendiri sepanjang dia tidak melanggar norma-norma kesantunan

dan budaya setempat.

i. Ajak anak untuk merapikan dan membersihkan kamar sendiri

Kamar adalah teritori tanggung jawabnya secara langsung.

Mungkin beranggap mereka masih terlalu mudah untuk

membersihkan kamarnya sendiri. Tetapi tidak berarti orang tua

mengambil alih tanggung jawabnya atas kamar anak. secara

bertahap anak bisa diajak untuk mandiri terhadap rtuangannya

sendiri.

j. Ajari anak untuk mengembalikan buku yang sudah dibacanya pada

tempatnya

Jika keluarga gemar membaca dan mempunyai banyak

buku. Anak dilibatkan juga dalam menata buku-buku dan majalah

yang dikoleksi keluarga. Kemandirian anak terus berkembnang jika

orang tua terus meningkatkan harapannya.

k. Ajari anak untuk menabung dan berhemat

Ketika anak sudah terbiasa mengelola keuangannya sendiri,

anda bisa mendorong dia untuk menabung dan berhemat. Tidak

seluruh uang saku dibelanjakan. Ajari anak mengenai berbagai

manfaat menabung dan berhemat.

l. Libatkan anak dalam kegiatan masak-memasak


Orang tua bisa melibatkan anak dalam memberika

kesempatan anak untuk ikut membantu dan terlibat. Keterlibatan

anak bisa mengarahkan untuk lebih mandiri.

m. Ajak anak untuk menyediakan hidangan makan malam

Menyiapkan hidangan makanan dalam beberapa keluarga

biasanya dilakukan oleh satu orang tertentu yakni ibu atau

pembantu rumah tangga. Sekali-sekali ajak anak untuk menyiapkan

hidangan makan malam agar anak tidak tergantung kepada oranmg

lain.

n. Minta anak untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga

Sejak usia dini anak dapat diajarkan untuk ikut melakukan

beberapa pekerjaan rumah tangga. Ketika pembantu pulang orang

tua tidak perlu terlalu repot karena anak bisa diharapkan untuk ikut

membantu dalam pekerjaan rumah.

o. Libatkan anak dalam kegiatan belanja

Keterlibatan anak dalam kegiatan belanja ini bisa

ditingkatkan menjadi proses pendewasaan anak dan peningkatan

kemandirian.

p. Libatkan anak dalam perencanaan acara liburan keluarga

Acara liburan akan lebih menyenangkan jika setiap anggota

keluarga ikut terlibat dan merasa menjadi bagian yang penting.

Perencanaan liburan keluarga ini bukan hanya urusan orang tua


saja. Anak juga bisa diberikan kesempatan untuk ikut terlibat sejak

awal. Keterlibatan anak mengajarkan untuk menjadi lebih mandiri.

D. Faktor-Faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian anak usia sekolah

Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemandirian anak usia

sekolah terbagi 2 adalah : (hidayat 2011).

1. Faktor internal adalah faktor yang ada dari diri anak itu sendiri yang

meliputi :

a. Emosi

Faktor ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan

tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua.

b. Intelektual

Faktor ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi

berbagai masalah yang dihadapi.

2. Faktor ekternal adalah hal-hal yang datang atau ada dari luar dari anak

itu sendiri meliputi :

a. Lingkungan

Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan

tercapainya atau tidak tingkat kemandiriran anak usia sekolah.

Lingkungan yang baik akan meningkatkan cepat tercapainya

kemandirian anak.

b. Karakteristik sosial
Karakteristik sosial dapat mempengaruhi kemandirian anak

misalnya : tingkat kemandirian anak dari keluarga miskin berbeda

dengan anak dari keluarga kaya.

c. Stimulasi

Anak yang mendapat stimulasi terarah dan teratur akan lebih

cepat mandiri dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak

mendapat stimulasi.

d. Pola asuh

Anak dapat mandiri akan mendapat kesempatan, dukungan

dan dorongan peran orang tua sebagai pengasuh sangat diperlukan

bagi anak sebagai penguat perilaku yang telah dilakukan. Oleh

karena itu pola pengasuh merupakan hal yang penting dalam

pembentukan kemandirian anak.

e. Cinta dan kasih sayang

Cinta dan kasih sayang kepada anak hendaknya diberikan

sewajarnya karena ini akan mempengaruhi kemandirian anak bila

diberikan berlebihan akan menjadikan anak kurang mandiri.

f. Kualitas interaksi anak orang tua

Interaksi dua arah anak orang tua dapat menyebabkan anak

menjadi mandiri.

g. Pendidikan orang tua


Karena denganm pendidikan yang baik, maka orang tgua

dapat menerima segala info dari luar terutama cara memandirikan

anak.

E. Konsep personal hygiene

Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang

sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan

mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan itu sendiri

sangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan. Hal-hal yang sangat

berpengaruh itu diantaranya kebudayaan, sosial, keluarga pendidikan,

persepsi seseorang terhadap kesehatan serta tingkat perkembangan.

Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya

perorangan dan hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah cara

perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan mereka. Kebersihan

perorangan sangat penting untuk diperhatikan. Pemeliharaan kebersihan

perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanan dan

kesehatan ( Potter & Perry, 2005).

1. Tujuan personal hygiene

tujuan personal hygiene diantaranya (Tarwoto, 2006) adalah

a. Meningkatkan derajat kesehatan seseorang

b. Memelihara kebersihan diri seseorang

c. Memperbaiki personal hygiene yang kurang

d. Mencegah penyakit
e. Menyciptakan keindahan

f. Meningkatkan rasa percaya diri

2. Faktor yang mempengaruhi personal hygiene

Faktor yang mempengaruhi personal hygiene (Depkes, 2009)adalah

a. Body image

Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi

kebersihan diri misalnya karena adanya perubahan fisik sehingga

individu tidak peduli terhadap kebersihannya

b. Praktik sosial

Padaanak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka

kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene

c. Status sosial ekonomi

Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun,

pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya

memerlukan uang untuk menyediakannya

1) Pengetahuan

Pengetahuin sosial hygiene sangat penting karena

pengetahuan yang baik dapat meningkatkan

kesehatannya. Misalnya pada pasien penderita DM ia

harus menjaga kebersihan kaki

2) Budaya
Disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu

maka tidak boleh dimandikan

3) Kebiasaan seseorang

Ada kebiasaan seseorang yang menggunakan

produk tertentu dalam perawatan dirinya seperti

penggunaan sabun, shampo dan lain-lain.

4) Kondisi fisik

Pada keadaan sakit tertentu kemampuan untuk

merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk

melakukannya

3. Dampak yang sering timbul dalam masalah personal hygiene Antara

dampak yang akan timbul jika kurangnya personal hygiene adalah

a. Dampak fisik

Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena

tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik.

Gangguan fisik yang sering terjadi adalah munculnya kutu pada

rabut, nafas berbau, bau badan yang tidak enak, infeksi pada

saluran kemih, terkumpulnya kotoran pada telingan, pinworms,

dan athletes foot

b. Dampak psikososial

Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene

adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan mencintai


dan dicintai kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan

gangguan interaksi sosial.

F. Pola asuh

1. Pengertian

Pola Asuh Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pola

asuh adalah suatu bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat,

mendidik, dan membimbing anak. Pola asuh adalah perlakuan orang

tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberikan perlindungan,

dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut

Gunarsa (2000 dalam Dani, 2014)

Pola asuh orang tua merupakan pola interaksi antara anak

dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan fisik dan

psikologis tetapi juga norma-norma yang berlaku dimasyarakat agar

dapat hidup selaras dengan lingkungan. Kenny & Kenny (1991 dalam

Fortuna, 2008), menyatakan bahwa pola asuh merupakan segala

sesuatu yang dilakukan orang tua untuk membentuk perilaku anak-

anak mereka meliputi semua peringatan dan aturan, pengajaran dan

perencanaan, contoh dan kasih sayang serta pujian dan hukuman).

2. Jenis-jenis pola asuh

Anak yang hidup dalam sebuah keluarga adalah bagian dari

keluarga yang tidak lagi dianggap sebagian miniatur orang dewasa.

Kebutuhan anak berbeda antara anak yang satu dengan yang lainnya.

Orang tua harus bisa berbuat adil untuk menciptakan kondisi yang
dapat meningkatkan nilai seorang anak . sebuah perdebatan yang

dimulai dari permulaan zaman berpusat pada apakah keterampilan

membesarkan anak yang resriktif (serba memperbolehkan ) versus

keterampilan membesarkan anak yang restriktif (membatasi) orang tua

yang permisif mengetahui pentingnya kehangatan, kasih sayng, dan

rasa aman secara emosional, namun tidak mementingkan disiplin, di

sisi lain orang tua yang restriktf menekankan disiplin tanggung jawab,

dan kendali diri, namun kurang memperhatikan ikatan emosional dan

pengasuhan.

Menurut Baumrind dalam judy et all (2012) pola asuh di

klasifikasikan menjadi 4

1) Pola asuh otoriter

Keterampilan membesarkan anak dengan pola asuh otoriter

mengarah pada sifat kepatuhan (menuruti) dan rasa hormat yang

tinggi terhadap otoritas anak.Studi-studi menunjukkan bahwa

anak-anak yang berasal dari orang tua yang otoriter kurang mampu

untuk berpikir dan bertindak secara mandiri.Orang tua yang

memiliki pola asuh otoriter memiliki kendali memaksa yang tinggi,

ketat dalam menerapkan berbagai aturan, dan tepat dalam

menerapkan disiplin, namun memberikan dukungan yang rendah.

Disipin yang ketat gagal untuk memfasilitasi kompetensi

sosial, karena anak-anak tidak mengendapkan nilai-nilai dibalik

perilaku yang benar.Terutama kendali yang memaksa


(memaksaanak-anak untuk melakukan sesuatu yang bertentangan

dengan keinginan mereka)di dapati sebagai hal yang melemahkan

anak.Anak-anak yang diasuh dengan cara yang otoriter cenderung

menghormati otoritas orang tua dan siap untuk mematuhi karena

ketidak patuhan akan mengakibatkan hukuman yang disertai

dengan ancaman.Orang tua yang otoriter cenderung menetapkan

standar yang mutlak harus dituruti, seperti halnya memaksa,

memerintah, menghukum dan biasanya bersamaan dengan

ancaman-ancaman.Orang tua tipe ini tidak mengenal kompromi

dalam komunikasi, biasanya bersifat satu arah dan orang tua tidak

memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai

anaknya.

Pola asuh ini akan menghasilkan karakteristik anak yang

penakut, pendiam, tertutup,tidak berinisiatif, gemar menentang,

suka melanggar norma, berkepribadian lemahdan menarik diri,

metode pengendalian yang memaksa, baik secara fisik maupun

verbal bersifat mengganggu dan seringkali secara sewenang-

wenang berdasarkan tingkah laku orang tua. Perilaku

mengendalikan yang dilakukan dengan cara tidak memberi kasih

sayang mungkin cara yang efektif, namun hal tersebut membuat

anak-anak merasa tidak aman, cemas, dan pasrah terlepas dari

keinginannya sendiri untuk dapat diterima oleh orang tua mereka.

metode ini efektif untuk jangka pendek.


2) Pola asuh demokratis

Keterampilan membesarkan anak dengan menggunakan

pola asuh yang demokratis terbukti optimal, karena cara itu

menyebabkan perilaku bertanggung jawab dan kompeten dalam

diri anak. Keseimbangan hubungan dan pemberdayaan

(bimbingan) memberikan situasi yang paling kondusif bagi

pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal. Anak-anak

bersenang-senang dalam kualitas hubungan kasih sayang,

penerimaan, dan penegasan, namun anak-anak juga mendapatkan

kepercayaan dari orang tuanya. Struktur yang cukup,bimbingan

yang bijaksana, aturan-aturan yang dibuat secara jelas, batas-

batasyang tegas, konsekuensi- konsekuensi yang logis, dan arahan

akan memberdayakan anak untuk kompetensi, arah diri, dan

tanggung jawab.

Dalam sebuah studi yang ditunjukkan dengan baik,

Maccoby menemukan bahwa keseimbangan dukungan hubungan

dan bimbingan yang memberdayakan memberi dampak terhadap

kompetensi sosial anak. Ia menggambarkan para orangtua yang

memberdayakan anak-anak mereka sebagai berikut :Mereka

berusaha untuk mengarahkan anak dalam sebuah cara yang

rasionaldan berorientasi kepada permasalahan; mendorong untuk

memberi dan menerima yang bersifat verbal; menjelaskan alasan

dibalik permintaan-permintaan dan disiplin, namun juga


menggunakan kekuasaan apabila diperlukan, mengharapkan anak-

anak untuk menyesuaikan diri terhadap syarat-syarat untuk

menjadi orang dewasa namun juga independent dan mengarahkan

diri, mengetahui hak-hak anak, menetapkan standart dan

menegakkannya dengan tegas. Orang tua ini tidak menganggap diri

mereka sebagai orang yang sempurna, namun juga tidak

mendasarkan keputusan-keputusan secara primer pada keinginan

anak.Keseimbangan antara bimbingan dan dukungan yang

diberikan oleh orang tua menghasilkan anak yang diberdayakan

dan kompeten.

Maccoby menemukan bahwa anak dengan jenis pola asuh

yang demokratis menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi,

mencapai kapasitas akademik mereka, memiliki perkembangan

kognitif yang kuat, melatih kreatifitas, menunjukkan perilaku

moral seperti kejujuran dan sifat dapat dipercaya, dan kompeten

dalam keterampilan hidup.Orang tua dalam pola asuh ini bersikap

rasional dimana orang tua selalu mendasari tindakannya pada rasio

atau pemikiran. Orang tua juga bersikap realistis terhadap

kemampuan anak, memberikan kebebasan pada anak untuk

memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya pada

anak dengan cara yang halus. Pola asuh ini akan menghasilkan

karakteristik anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, dan

mempunyai hubungan baik dengan temannya.


3) Pola asuh permisif

Keterampilan membesarkan anak dengan pola permisif

didasarkan pada anggapan bahwa seorang anak dilahirkan seperti

sebuah kuntum bunga, yang hanya memerlukan kasih sayang yang

lembut dan dukungan untuk mekar menjadi setangkai bunga yang

indah. Anak-anak yang hidup dalam filosofi ini cenderung untuk

mendapatkan apa yang mereka inginkan dan segala pekerjaan

dikerjakan untuk mereka. Banyak dari mereka menjadi orang yang

berpusat kepada dirinyasendiri dan puas terhadap diri sendiri

sehingga kurang bertanggung jawab secara sosial dimana mereka

lebih mempedulikan diri sendiri dari pada kepedulian mereka

terhadap orang lain, Orang tua dengan pola permisif percaya

bahwa ekspresi-ekspresi yang tidak terstruktur dan bebas akan

memberikan anak kebebasan untuk dapat menarik kesimpulan

sendiri dan mengungkapkan nilai-nilai mereka sendiri. Baumrind

menemukan bahwa bimbingan yang tidak cukup membuat anak

anak tidak tahuapa yang harus dilakukan. Anak-anak mendapat

kesulitan dalam memahami aturan untuk diri mereka sendiri dan

harus belajar cara yang sulit melalui cara mencoba-coba (trial and

error).

Meskipun orang tua permisif mungkin sangat menerima dan

mencintai mereka,mereka tidak berhasil memberikan

kepemimpinan yang cukup, anak-anak membangun sebuah


pemahaman yang salah tentang diri mereka sendiri dirumah,

namum akhirnya menemukan bahwa didalam kehidupan nyata,

teman sebaya dan guru tidaklah sebaik orang tua mereka.Orang tua

yang menggunakan pola permisif memiliki perhatian terhadap

hubungan dengan anak, terdapat banyak penguatan, perlakuan-

perlakuan hangat yang tidak jelas, pujian-pujian, orang tua lebih

memberi pengawasan yang lebih longgar, memberikan kesempatan

pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang

cukup darinya, orang tua cenderung tidak menegur atau

memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan

sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh orang tua. Orang tua

seringkali mengidolakan anak mereka sendiri dan percaya bahwa

anak mereka akan menemukan cara mereka sendiri jika dibiarkan

sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak harus membuat

aturan mereka sendiri. akan tetapi, cara mencoba-coba adalah

sebuah jalan yang sulit untuk dipelajari karena anak-anak tidak

lepas dari

kesalahan dalam proses mendefinisikan batasan-batasanAnak

yang dalam pengasuhan orang tua yang permisif merindukan

bimbingan orang tua. Dalam kenyataannya, jika mereka tidak

mempunyai garis pedoman atau batasan-batasan, mereka dapat

merasa bahwa orang tua mereka tidak benar-benar benar peduli

terhadap mereka atau masa depan mereka, dukungan semata adalah


tidak cukup. Dibawah filosofi permisif, orang tua seringkali gagal

untuk memberikan pemberdayaan yang diperlukan.Pola asuh

permisif akan menghasilkan anak yang impulsif, agresif, tidak

patuh,manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya

diri, dan kurang matang secara sosial.

4) Pola asuh tidak terlibat

Kegiatan pola asuh ini merupakan kegiatan pola asuh yang

paling buruk dibandingkan kegiatan pola asuh yang lain. Jenis pola

asuh ini tidak memiliki kontrol orang tua sama sekali. Orang tua

cenderung menolak keberadaan anak dan tidak memiliki cukup

waktu bersama anak karena orang tua sendiri memiliki banyak

masalah. Orang tua sama sekali tidak mengurus anak dan respon

anak cenderung sadis. Orang tua merespon anak dengan cara

memenuhi kebutuhan anak berupa makanan atau mainan, namun

tidak berusaha ke hal-hal yang bersifat jangka panjang, seperti

aturan pekerjaan rumah dan standar tingkah laku.

Anak dari kegiatan pola asuh seperti ini cenderung terbatas

secara akademis dan sosial. Penulis berkesimpulan membedakan 4

macam kegiatan pola asuh, yaitu : pola asuh otoriter dimana orang

tua memaksa anak -anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta

mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya

serta cenderung mengekang keinginan anak; pola asuh demokratis

dimana orang tua memandang sama kewajiban dan hak antara


orang tua dan anak; pola asuh permisif dimana orang tua

cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa

memberikan kontrol sama sekali; dan pola asuh tidak terlibat

dimana orang tua sama sekali tidak mengontrol anak – anaknya.

LEMBAR KUESIONER POLA ASUH ORANGTUA

PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER

Berilah tanda ceklis pada kolom yang tersedia pada jawaban.

Pilihlah jawaban sesuai dengan pengalaman yang ibu alami dan rasakan

KUESIONER POLA ASUH ORANGTUA

SELALU :perilaku yang muncul setiap hari

SERING :perilaku yang banyak muncul tetapi pernah tidak muncul

JARANG :perilaku pernah muncul tetapi lebih banyak tidak muncul

TIDAK PERNAH :perilaku yang tidak pernah muncul sama sekali

No Pertanyaan Selalu Sering Jarang Tidak

Pernah

1 Pada saat anak saya bertanya mengapa saya

menyediakan waktu untuk menjelaskan

2 Sebagai orangtua, tindakan-tindakan saya lebih


terlihat dari pada kata-kata saya

3 Saya membantu anak saya untuk mengetahui

kemampuan yang dimilikinya

4 Saya menyusun dan memberi petunjuk yang jelas

terkait aturan untuk anak-anak saya

5 Saya merasa nyaman mengajarkan berbagai

keterampilan kepada anak saya

6 Saya memilih menunjukan kepada anak saya

bagaimana caranya melakukan berbagai hal

7 Saya sering memberi kata-kata pendorong semangat

kepada anak saya

8 Saya menyediakan fasilitas fasilitas yang

diperlukan yang akan emmungkinkan anak saya

berhasil

9 Saya mampu memberi instruksi yang jelas kepada

anak saya

10 Saya akan senang untuk melihat anak saya mengikti

contoh saya

11 Saya ada disana untuk menggembirakan anak saya

pada acara acara disekolah

12 Saya mampu untuk membiarkan anak saya

menyelesaikan tugas secara mandiri

13 Saya menjelaskan kepercayaan agama dan nilai-


nilai saya kepada anak saya

14 Anak-anak saya belajar dengan baik dengan cara

memperhatikan saya

15 Saya suportif (mendukung) terhadap anak-anak

saya

16 Saya memberi tantangan kepada anak saya untuk

mencoba hal-hal baru

17 Saya senang menolong anak saya untuk memahami

dunianya

18 Saya cekatan dalam menunjukan sesuatu kepada

anak saya

19 Saya mencari kesempatan untuk menegaskan anak

saya

20 Saya menggunakan kekuatan saya untuk

mengembangkan anak saya

Sumber : judy et all,(2012)

You might also like