You are on page 1of 8

The Vulnerability of women with HIV and GBV

Kerentanan perempuan dengan HIV dan GBV


Reports and studies show that gender inequalities have negative impacts on the HIV and AIDS epidemic
(Depkes, 2009; Indah, S, 2007; Aditya, BJ, 2005). Women's vulnerability to HIV infection also increases
vulnerability to violence. Similarly, sexual violence will lead women vulnerable to HIV infection. In a
study conducted by the IPPI (2012) for the past 5 years, more women are reportedly contracting HIV
from their partners, and even infected the babies in their womb. The increasing cases of women with
HIV is a phenomenon that undeniably interrelated with violence against women. In a survey of IPPI
about violence situations in its 111 members in 8 provinces, 6 categories of violence against women
with HIV were found: economic violence, psychological violence, sexual violence, discrimination of HIV
status, physical violence, and sterilization.
Laporan dan studi memperlihatkan adanya fakta ketidaksetaraan gender yang berdampak buruk bagi
epidemi HIV dan AIDS (Depkes, 2009; Indah, S, 2007; Aditya, BJ, 2005). Kerentanan perempuan akibat
infeksi HIV juga meningkatkan kerentanan perempuan pada situasi kekerasan lainnya. Begitupun
kekerasan seksual terhadap perempuan juga mengakibatkan perempuan rentan terinfeksi HIV1. Dalam
study yang dilakukan IPPI (2012) dalam 5 tahun terakhir Semakin banyaknya perempuan yang
dilaporkan tertular HIV dari pasangannya, penularan ini bahkan terjadi kepada bayi-bayi yang
dikandungnya. Tren peningkatan kasus perempuan dengan HIV merupakan fenomena yang tidak bisa
dinafikkan saling kait-mengkait dengan kekerasan terhadap perempuan Dalam survey gambaran sitausi
kekerasan yang dilakukan IPPI pada 111 anggota IPPI di 8 propinsi ditemukan 6 kategori kekerasan
terhadap perempuan dengan HIV, yakni: kekerasan ekonomi, kekerasan psikis, kekerasan seksual,
diskriminasi status HIV, kekerasan fisik, sterilisasi.2

The results of the study also show that most women at various social and economic levels have a lower
percentage of HIV prevention knowledge than their partners (World Bank, 2000; BPS, BKKBN, MOH,
ORC Macro, USAID, 2008). Some of these studies strengthen the existence of gender inequality which
assumes that women do not need to know much about HIV compared to men. Women’s low access to
information on reproductive health and HIV increases the vulnerability of women to HIV transmission.
Hasil studi juga menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan pada berbagai tingkatan sosial
ekonomi selalu mempunyai persentase pengetahuan pencegahan HIV yang lebih rendah daripada
pasangannya (World Bank, 2000; BPS, BKKBN, Depkes, ORC Macro, USAID, 2008). Beberapa studi
diatas menguatkan tentang ketidaksetaraan gender yang menganggap bahwa perempuan tidak
perlu banyak tahu HIV dibandingkan dengan laki-laki3. Rendahnya akses perempuan pada informasi
kesehatan, kesehatan reproduksi dan HIV meningkatkan kerentanan perempuan pada penularan HIV.

Based on the data below, number of cases of women with HIV shows an increasing trend. Although the
current ratio of men with HIV to women is 2: 1, the increasing number of women with HIV suggests the
expansion of the affected groups, especially their children.
Berdasar data di bawah ini angka kasus perempuan dengan HIV menunjukkan trend peningkatan.
Walaupun saat ini rasio HIV laki-laki dibandingkan perempuan adalah 2:1 namun peningkatan jumlah
perempuan dengan HIV juga menunjukkan perluasan kelompok terdampak, khususnya anak-anaknya.

1
Studi Kualitatif Dan Pendokumentasian Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Dengan Hiv
Dan Aids Di 8 (Delapan) Provinsi Dki Jakarta, Banten, Jawa Barat, Sumatera Utara,
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali Dan Ntb 2013, Ippi
2
Laporan Survey Kekerasan Anggota IPPI, IPPI – 2012
3 Laporan Akhir: Ketidakadilan Gender Dalam Pelaksanaan Kebijakan HIV dan AIDS, Studi Kasus di Dua
Pelayanan VCT di Jakarta. Yayasan Puspa Keluarga dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. 2010.
Jumlah Infeksi HIV yang Dilaporkan Menurut Jenis Kelamin Tahun
2008 - 2016
Total HIV Infections Reported by Gender 2008 - 2016
Laki- Perem Tak Jumlah/
laki/ puan/ Diketa Total
Male Femal hui/
e NK
2008 6.797 3.565 10.362
2009 6.334 3.459 9.793
2010 13.231 8.360 21.591
2011 11.766 9.265 21.031
2012 12.193 9.318 21.511
2013 16.758 12.279 29.037
2014 19.244 13.467 32.711
2015 18.362 12.573 30.935
2016* 26.099 15.151 41.250
* Laporan Provinsi Melalui SIHA per Dec 2016 / Provincial Report through SIHA
per Dec 2016

Ref: Laporan Perkembangan HIV-AIDS, Triwulan IV, Tahun 2016


Tabel 3/Table 3

In the Info Pusdatin Ministry of Health December 2016, according to the type of work, most AIDS cases
in Indonesia come from the Housewife group. Women in this case Housewives become very vulnerable
groups due to their traditional roles that construct them to be submissive to their partners. Generally,
they are infected through husbands or partners who have unprotected sex with sex workers who have
HIV or have unprotected sex with men with HIV. The risk of HIV transmission from mother to child is
also high. In 2011, only 15.7% of pregnant women with AIDS received antiretroviral treatment (ART). In
fact, antiretroviral therapy is crucial to minimize HIV transmission from mother to baby in the womb.
Sementara itu dalam Info Pusdatin Kementerian Kesehatan Desember 2016, menurut jenis pekerjaan,
kasus AIDS di Indonesia paling tinggi berasal dari kelompok Ibu Rumah Tangga. Perempuan dalam hal
ini Ibu Rumah Tangga menjadi kelompok yang sangat rentan akibat peran tradisionalnya yang
mengkonstruksi mereka untuk submisif pada pasangan. Umumnya mereka tertular dari suami atau
pasangan yang melakukan seks yang tidak aman dengan pekerja seks dengan HIV atau melakukan
hubungan seksual tidak aman dengan laki-laki dengan HIV. Resiko penularan HIV dari ibu kepada
anaknya juga tinggi. Pada tahun 2011, hanya 15,7 % perempuan hamil dengan AIDS yang mendapatkan
perawatan ARV4. Padahal ARV sangat penting untuk meminimalkan transmisi HIV dari Ibu kepada
bayinya.

Another example that has a role in HIV transmission is the fact that the majority of women sex worker
eventually accept to not using condoms due to the clients’ request (CHR-UI, MoH, HAPP, FHI, 2006;
UNAIDS, UNICEF, WHO, ADB, 2007). Women are also more susceptible to HIV because biologically
female reproductive organ are more vulnerable than men’s. Minor injuries to the genitals due to sexual
intercourse will greatly facilitate the transmission of HIV. The concentration of HIV virus in semen is
also higher than in the vaginal fluid so that HIV is transmitted more often from men to women, not vice
versa.
Contoh kasus lain yang turut menyumbang transmisi HIV adalah fakta bahwa sebagian besar prempuan
pekerja seks akhirnya mengalah untuk tidak menggunakan kondom karena klien menolak (CHR-UI,
MoH, HAPP, FHI, 2006; UNAIDS, UNICEF, WHO, ADB, 2007). Perempuan juga lebih rentan tertular
HIV karena secara biologis alat reproduksi perempuan lebih rentan daripada laki-laki. Luka sedikit saja
pada alat kelamin akibat hubungan seksual memudahkan penularan HIV. Konsentrasi virus HIV pada air
mani juga lebih tinggi daripada dalam cairan Vagina sehingga penularan HIV lebih banyak terjadi dari
laki-laki terhadap perempuan, bukan sebaliknya.5

Women's vulnerability to HIV infection has also increased due to the increasing cases of violence against
women, children and disabilities. Catahu Komnas Perempuan 2017 recorded 259,150 cases of violence
against women that reported throughout 2016. Violence against wives ranked first in personal or
domestic violence (56%), followed by courtship violence (21%) and violence against girls (17%).
Manifestations of domestic violence include the physical violence (42%), sexual violence (34%),
psychological violence (14%) and economic violence (10%). In the community level, 74% are sexual
violence, physical violence (16%), other violence (10%), which includes psychological violence, migrant
workers and trafficking. Nevertheless, there is no data indicating the situation of HIV-related violence,
as to date no women's HIV organizations have reported any case.
Kerentanan pada perempuan pada infeksi HIV juga mengalami peningkatan akibat kenaikan kasus
kekerasan terhadap perempuan, anak dan difabel. Catahu komnas perempuan tahun 2017
menunjukkan terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan sepanjang
tahun 2016.6 Kekerasan terhadap istri menempati peringkat pertama kekerasan di ranah personal atau
di rumah tangga (56%), diikuti kekerasan dalam pacaran (21%) dan kekerasan terhadap anak
perempuan (17%). Kekerasan dalam rumah tangga termanifestasi dalam bentuk kekerasan fisik (42%),
kekerasan seksual (34%), kekerasan psikis (14%) dan kekerasan ekonomi (10%). Di ranah komunitas,
74% diantaranya merupakan kekerasan seksual, kekerasan fisik (16%), kekerasan lain (10%) yang
meliputi kekerasan psikis, buruh migran dan trafiking. Meskipun demikian belum terdapat data yang

4 ibid.
5 Pemberdayaan Perempuan Dalam Pencegahan HIV AIDS. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI
Tahun 2008.
6
Terdapat kecenderungan korban untuk datang ke layanan yang dibuat CSO/LSM, walaupun saat ini
Negara tengah memperbanyak layanan dan menguatkan infrastruktur pelayanan korban kekerasan di
berbagai daerah. Hal ini menunjukkan ketersediaan layanan saja tidak memadai tanpa adanya kualitas
layanan yang ramah pada korban dan petugas yang memahami isu dan prinsip layanan yang
memulihkan korban.
menunjukkan situasi kekerasan karena HIV, hingga saat ini belum terdapat organisasi perempuan
dengan HIV yang melaporkan kasusnya.

Despite that, Catahu Komnas Perempuan in 2017 specifically give special attention to issues related to
key populations and factors that increase the risk of HIV, such as: (1) The vulnerability of groups with
diverse sexual orientation and expression is increased, and their space of expression is narrowed so
that depriving them from their basic right to access livelihoods due to the prohibition of employment,
access to health and other basic rights; (2) Policy to provide children marriage age dispensation; (3)
Discrimination and sexual violence in women with disabilities are increasingly emerging; (4)
Criminalization of women victims of domestic violence by husbands or ex-husbands is also increased.
Walaupun demkian, Catahu Komnas Perempuan tahun 2017 secara khusus telah memberi perhatian
khusus pada persoalan terkait populasi kunci dan factor yang meningkatkan resiko HIV, antara lain: (1).
Kerentanan kelompok dengan keragaman orientasi dan ekspresi seksual semakin tinggi, dan ruang
ekpresi semakin menyempit, hingga mencerabut hak dasar mereka atas akses penghidupan karena
dilarang bekerja, akses kesehatan dan hak dasar lainnya; (2). Kebijakan memberikan dispensasi
perkawinan usia anak; (3). Diskriminasi dan kekerasan seksual pada penyandang disabilitas perempuan
semakin muncul kepermukaan; (4). Kriminalisasi pada perempuan korban KDRT oleh suami atau mantan
suami juga mengalami peningkatan.

1. Policy, HIV Countermeasure Strategy and Implementation of HIV Programs at


National and Local Levels (Lampung & South Sulawesi)
Kebijakan, Strategi penanggulangan HIV dan Implementasi program HIV di tingkat
Nasional dan Daerah (Lampung & Sulawesi Selatan)

Until 1997, HIV prevention efforts were very limited. In 1994, a special commission for AIDS was
established, namely the National AIDS Commission (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/ KPAN)
through Presidential Decree no. 36/1994. In the same year, for the first time the National Strategy of
AIDS Prevention in Indonesia was formulated.
Sampai dengan tahun 1997 upaya penanggulangan HIV masih sangat terbatas. Tahun 1994 dibentuklah
komisi khusus untuk penanggulan AIDS yaitu Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) melalui
Keputusan Presiden No 36/1994. Di tahun yang sama untuk pertamakalinya disusun Strategi Nasional
Penanggulangan AIDS di Indonesia.

HIV and AIDS prevention since 2004 also continues to grow with the Sentani Commitment. The Sentani
Commitment is a commitment to improve HIV prevention and countermeasure efforts in 6 provinces
with the highest HIV prevalence rate. This commitment contains a comprehensive multisectoral
approach consisting of: prevention of transmission through sexual transmission and injected drug;
improvement of health services; strengthening KPA institutions at all levels; strengthening regulation
to create a conducive environment; and the provision of budget for HIV prevention.
Penanggulangan HIV dan AIDS mulai tahun 2004 juga terus berkembang dengan adanya Komitmen
Sentani. Komitmen Sentani merupakan suatu komitmen untuk meningkatkan upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV di 6 propinsi dengan tingkat prevalensi HIV tertinggi. Komitmen ini berisi
pendekatan komprehensif multisektoral terdiri dari: upaya pencegahan penularan melalui transmisi
seksual dan NAPZA suntik; peningkatan layanan kesehatan; penguatan kelembagaan KPA semua
tingkat; penguatan peraturan perundangan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif; dan
penyediaan anggaran untuk penanggulangan HIV 7.

Birth of KPAN and New Strategy of HIV prevention


Kelahiran KPAN dan strategi baru penanggulangan HIV
The efforts to prevent and control HIV in Indonesia enter a new phase with the presence of Presidential
Regulation no. 75/2006 on the National AIDS Commission (KPAN). In the regulation, the new KPAN is
assigned to increase the prevention and control of AIDS which is more intensive, comprehensive,
integrated and coordinated. KPAN is under and directly responsible to the President. The other
significant changes can also be seen from a more inclusive composition of KPAN. Previously, KPAN
consisted of government and military apparatus, then the KPAN consisted of national networks of key
populations, NGOs, and private organizations and sectors.
Upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan HIV di Indonesia memasuki tahapan baru dengan
hadirnya Peraturan Presiden No 75/2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Dalam
peraturan tersebut KPAN yang baru ditugaskan untuk meningkatkan upaya pencegahan dan
penanggulangan AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, terpadu dan terkoordinasi. KPAN berada
dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Perubahan lainnya yang cukup signifikan juga dapat
dilihat dari komposisi yang lebih inklusif. Apabila sebelumnya diisi oleh aparatur pemerintah dan militer,
KPAN kemudian diisi oleh jaringan nasional populasi kunci8, LSM, serta organisasi dan sektor swasta.

In addition to the Presidential Regulation No. 75/2006 on KPAN, there is also the Minister of Home
Affairs Regulation (Permendagri) No. 20/2007 as its derivatives. This Minister of Home Affairs regulates
the General Guidelines for the Establishment of the Commission for the Control of AIDS and Community
Empowerment in the context of HIV Prevention in the regions. This regulation governs the position of
the AIDS Prevention Commission down to the local level in order to make the response towards HIV
more systematic, comprehensive and coordinated at all levels. The 2007-2010 National Strategy and
Action Plan for the first time is set up as a common reference for HIV prevention.
Selain hadirnya Peraturan Presiden No 75/2006 mengenai Komisi Penanggulangan HIV AIDS Nasional,
hadir pula Peraturan Menteri Dalam Negeri No 20/2007 sebagai turunannya. Permendagri ini mengatur
tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat
dalam rangka Penanggulangan HIV di Daerah. Peraturan ini mengatur kedudukan Komisi
Penanggulangan AIDS hingga tingkat daerah agar penanggulangan HIV lebih sistematis, menyeluruh
dan terkoordinasi pada semua tingkatan9. Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2007-2010 untuk
pertama kalinya juga disusun sebagai acuan bersama penanggulangan HIV.

Indonesia's policy on HIV prevention and countermeasure is also supported by the emergence of global
agreements. Among them are the General Assembly Meeting of the United Nations in 2011 which
adopted the political commitment of HIV prevention and set the 2015 global targets. Then the 2011
ASEAN Summit in Bali adopted the Getting to Zero Declaration of Commitment. Indonesia also actively
supports the regional ESCAP Resolution and is committed to improve universal access, treatment, care
and intensive support for HIV prevention and control.

7 Ibid. hal.2
8 ‘jaringan nasional populasi kunci’ seperti GWL INA/Gaya Warna Lentera Indonesia (jaringan nasional MSM dan
waria), IPPI/Ikatan Perempuan Positif Indonesia (jaringan nasional perempuan yang hidup dan terdampak oleh
HIV ), OPSI/Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (Jaringan Nasional Pekerja Seks Indonesia),
PKNI/Persaudaraan Korban Napza Indonesia (Jaringan nasional pengguna NAPZA) dan JIP (jaringan nasional
orang yang hidup dengan HIV )
9 Strategi dan Rencana Aksi Nasional 20015-2019 Penanggulangan HIV AIDS di Indonesia. Komisi
Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional. 2015.hal.3
Kebijakan Indonesia dalam upaya penanggulangan dan pencegahan HIV juga didukung oleh lahirnya
kesepakatan-kesepakatan global. Diantaranya Pertemuan Tingkat Tinggi Majelis Umum PBB tahun 2011
yang mengadopsi komitmen politik penanggulangan HIV serta menentukan target global 2015.
Kemudian KTT ASEAN tahun 2011 di Bali mengadopi Deklarasi Komitmen Getting to Zero. Indonesia
secara aktif juga mendukung Resolusi ESCAP regional dan berkomitmen meningkatkan akses universal,
pengobatan, perawatan dan dukungan intensif penanggulangan dan pencegahan HIV.

In addition, the goal of the global AIDS response which proclaimed by UNAIDS also inspire Indonesia.
These goals are the Three Zero: Zero new infection, Zero AIDS-related death, then Zero stigma and
discrimination. In the Sustainable Development Goal (SDGs), HIV and AIDS are integrated as one of the
goals of health and social development.
Selain itu, tujuan penanggulangan AIDS dunia yang dicanangkan UNAIDS juga menjadi aspirasi bagi
Indonesia. Tujuan tersebut adalah Tiga Zero, yaiti Zero infeksi baru, Zero kematian terkait AIDS,
kemudian Zero stigma dan diskriminasi. Dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) HIV dan
AIDS diintegrasikan sebagai salah satu tujuan kesehatan dan pembangunan sosial.10

In the Strategy and National Action Plan (Strategi dan Rencana Aksi Nasional/ SRAN) 2015-2019 HIV and
AIDS countermeasure stated that the framework of SRAN 2015-2019 has strategies: Strengthening
Access and Quality of Comprehensive HIV and AIDS Prevention through Continuum of Care PMTS-LKB
for Key Populations in Priority Areas, through the Strengthening of Health Systems and Human
Resource Development, the Availability of Medicines, Medical Devices and Logistics and Community
Strengthening.
Dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) 2015-2019 Penganggulangan HIV dan AIDS tertuang
bahwa kerangka pikir SRAN 2015-2019 memiliki strategi: Penguatan Akses dan Kualitas Pencegahan HIV
dan AIDS Komprehensif melalui Continum of Care PMTS-LKB untuk Populasi Kunci di Daerah Prioritas,
melalui Penguatan Sistem Kesehatan dan Pengembangan SDM, Ketersediaan Obat, Alat Kesehatan dan
Logistik serta Penguatan Komunitas.

Presidential Regulation No. 75/2006 on the National HIV and AIDS Commission becomes a reference
for the regions to establish KPA in their area. The establishment of KPA is even supported by a policy
foundation in the form of local regulations. Local Government of Lampung Province issued Local
Regulation no. 1/2013 on the Prevention, Control and Countermeasure of HIV, AIDS and STIs in
Lampung province. In South Sulawesi even since 2010 has had a regional regulation on HIV and AIDS
through Local Regulation no. 4/2010.
Peraturan Presiden No 75/2006 mengenai Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional menjadi
acuan daerah-daerah untuk membentuk KPA di daerahnya. Bahkan pembentukan KPA didukung
dengan landasan kebijakan dalam bentuk Peraturan daerah. Pemerintah Daerah Propinsi Lampung
mengeluarkan Peraturan Daerah No 1 Tahun 2013 mengenai Pencegahan, Penanggulangan dan
Pengendalian HIV , AIDS dan IMS di propinsi Lampung. Di Sulawesi Selatan bahkan semenjak tahun 2010
telah memiliki Peraturan daerah mengenai HIV dan AIDS melalui Peraturan Daerah No 4 Tahun 2010.

The challenge on Decentralizing HIV Prevention Policies


Tantangan desentralisasi kebijakan penanggulangan HIV

10 https://sustainabledevelopment.un.org/sdg3
HIV and AIDS prevention and countermeasure policies also face challenges, such as the decentralization
of health policies. The findings of PKMK FK UGM show that health decentralization policy praxis,
particularly related to HIV / AIDS prevention, is not yet part of an integrated health care system (page
41, 2016). There is also a tendency that areas that have not receive international donor support will
not pay serious attention. According to preliminary findings of PKMK FK UGM, the effectiveness of
policy implementation is influenced by: first, the legal tool is more as an effort to fulfill the legality and
procedural aspect as the evidence of the local government's willingness in responding to AIDS epidemic.
But the practical commitment in funding is still very small, which largely depends on the abroad fund
support. Second, the implementation of this policy is also influenced by the limited capacity of
resources. These factors have a direct impact on the process of planning, implementing and evaluating
program interventions, including limited funding allocations and incomprehensible planning
mechanisms. Third, the actors factor becomes one of the determinants in the implementation of AIDS
policy. That is, the local leadership factor becomes a critical aspect of program success, as can be seen
in Bali and Makassar.
Kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS juga menemui tantangan, diantaranya
desentralisasi kebijakan kesehatan. Temuan PKMK FK UGM menunjukkan praksis kebijakan
desentralisasi kesehatan, khususnya terkait penanggulangan HIV & AIDS, belum menjadi bagian dari
sistem layanan kesehatan yang terintegrasi (hal 41, 2016). Juga ada kecenderungan bahwa daerah yang
tidak mendapatkan dukungan donor internasional tidak akan memberikan perhatian serius. Menurut
temuan awal PKMK FK UGM, belum efektifnya implementasi kebijakan dipengaruhi oleh, pertama
perangkat hukum lebih merupakan upaya pemenuhan aspek legalitas dan prosedural sebagai bukti
adanya itikad dari pemerintah daerah dalam merespons epidemi AIDS, tetapi komitmen secara praktis
dalam pendanaan masih sangat kecil, dalam hal ini sebagian besar bergantung pada suntikan dana dari
luar negeri. Kedua, implementasi kebijakan ini dipengaruhi juga oleh faktor kapasitas sumber daya yang
masih terbatas. Faktor ini berdampak langsung pada proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi
intervensi program, di antaranya alokasi pendanaan yang terbatas dan ketidakpahaman mekanisme
perencanaan. Ketiga, faktor pelaku (aktor) menjadi salah satu penentu dalam implementasi kebijakan
AIDS. Maksudnya, faktor kepemimpinan lokal menjadi aspek penentu keberhasilan program,
sebagaimana dapat dilihat di Bali dan Makassar.

These local regulations still have a lot of criticisms due to their non-participatory drafting process and
not involving the key populations. Moreover, the substance of law is considered not to have gender
and human rights perspective. The article on women and children as well as the key population is not
regulated in the Perda, and does not consider other potential triggers such as trafficking victims,
violence, rape, street children, inter-island fishermen and migrant workers. In addition, local
regulations are not preventive-oriented as prevention aspects are deemed to be resolved by the
community using social and moral considerations, which often leads to the stigma, discrimination and
exclusion of key populations, women and children victims of violence. Nevertheless, the existence of
Perda and KPA is still felt necessary by the key populations as a legal umbrella as well as a home for
protection and fighting for the right to service.
Perda-perda tersebut masih memiliki banyak kritik dikarenakan proses penyusunannya yang tidak
partisipatif serta tidak melibatkan populasi kunci, selain itu substansi perda dinilai tidak berperspektif
gender dan Hak Asasi Manusia. Pasal mengenai perempuan dan anak serta populasi kunci tidak diatur
dalam Perda-perda tersebut, serta tidak mempertimbangkan ragam potensi pencetus lain seperti
korban traficking, kekerasan, perkosaan, anak jalanan, nelayan antar pulau serta buruh migran11. Selain
itu perda juga tidak berorientasi pencegahan karena aspek pencegahan dianggap dapat diselesaikan
oleh masyarakat dengan menggunakan pertimbangan sosial dan moral, yang seringkali justru berujung
pada stigma, diskriminasi dan eksklusi populasi kunci serta perempuan dan anak korban kekerasan.
Meskipun demikian, keberadaan perda dan KPA dinilai oleh populasi kunci masih diperlukan sebagai
payung hukum sekaligus rumah untuk perlindungan dan memperjuangkan hak atas layanan.

11 http://rakyatsulsel.com/dprd-sulsel-akan-cabut-perda-no-4-tahun-2010.html
Presidential Regulation no. 124/2016 and step back on HIV countermeasure
Perpres 124/2016 dan langkah mundur penanggulangan HIV
Amid the lack of protection and support of budgets and programs which oriented to the key populations
and vulnerable groups, the issuance of Presidential Regulation No. 124/2016 which regulates the
amendment of Presidential Regulation (Perpres) No. 75/2006 on the National AIDS Commission brings
a confusing situation of HIV & AIDS prevention and countermeasure for regional stakeholders.
According to Perpres 124/2016, KPAN ends its term of office by 31 December 2017. The duties of KPAN
are then transferred to the minister responsible for the administration of health affairs. Perpres
124/2016 will result in limited countermeasures in the health sector, the function of KPA as the
coordinator will turn into the administrator function only, then the involvement of other stakeholders
will be hampered because of the policy changes. The issuance of Perpres 124/2016 is considered not
to involve KPAP and other key populations, therefore it needs to be reviewed.
HIV and AIDS policies in Indonesia still require serious attention and commitment from the government.
Ditengah belum cukup kuatnya perlindungan serta dukungan anggaran dan program yang berorientasi
pada populasi kunci dan kelompok rentan, keluarnya Peraturan Presiden No 124 tahun 2016 yang
mengatur perubahan tentang Perpres No 75 tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
membawa situasi yang membingungkan bagi stakeholder pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS
di daerah. Menurut Perpres 124/2016, KPAN berakhir masa tugasnya paling lambat pada 31 Desember
2017. Tugas-tugas KPAN kemudian dialihkan tanggungjawabnya kepada menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kesehatan. Perpres 124/2016 akan mengakibatkan
diantaranya upaya penanggulangan terbatas di sektor kesehatan, fungsi KPA sebagai koordinator akan
beralih menjadi fungsi administrator saja, kemudian keterlibatan stakeholder lain akan terhambat
karena perubahan kebijakan tersebut. Kelahiran Perpres 124/2016 sendiri dianggap tidak melibatkan
KPAP dan populasi kunci lainnya sehingga perlu ditinjau kembali.
Kebijakan HIV dan AIDS di Indonesia masih memerlukan perhatian dan komitmen yang sungguh-
sungguh dari pemerintah.12

Barriers to national prevention and countermeasure of HIV and AIDS become greater with the absence
of Presidential Regulation no. 75/2006. Similarly, the development of policies and regulations related
to HIV and AIDS control are actually have quite a lot. Until 2013, KPAN noted that there are about 245
regulations related to the AIDS prevention from national to regional level became loss of reference. As
a result, regions that have developed coordination of HIV prevention through KPA in the regions are
beginning to lose motivation and political support as well as budget. In many parts of Indonesia, KPA
shutdown their activity or office and lost their coordination function.
Hambatan terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS nasional menjadi lebih besar
dengan tidak berlaku Peraturan Presiden No 75/2006. Demikian juga pengembangan kebijakan dan
peraturan terkait pengendalian HIV dan AIDS yang sebetulnya sudah cukup banyak, sampai 2013 KPAN
mencatat terdapat sekitar 245 peraturan terkait penanggulangan AIDS di tingkat nasional hingga
daerah13 menjadi kehilangan acuan. Akibatnya daerah yang telah mengembangkan koordinasi
penanggulangan HIV melalui KPA di daerah mulai kehilangan motivasi dan dukungan politik sekaligus
anggaran, di banyak daerah di Indonesia KPA mengalami penghentian aktivitas/mengalami penutupan
kantor dan kehilangan fungsi koordinasinya.

12 Upaya Penanggulangan HIV Paska PerPres 124 Tahun 2016. Yayasan Vesta Indonesia, Februari 2017.
Diunduh dari www.kebijakanaidsindonesia.net
13 Meningkatkan Efektivitas Implementasi Kebijakan AIDS dalam Catatan Atas Kebijakan dan Program HIV AIDS
di Indonesia. PKMK FK UGM 2016.

You might also like