Professional Documents
Culture Documents
Johan Irawanto
M.Satrio Prabowo
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Illahi Rabbi, berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Dan tak lupa pula
shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang telah
membimbing umatnya hingga sampai pada zaman yang penuh dengan ilmu
pengetahuan ini.
Makalah saya susun untuk memenuhi salah satu tugas AGAMA ISLAM ,
yang membahas tentang “RIBA”. saya menyadari bahwa masih terdapat beberapa
kelemahan atau kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, segala tegur sapa,
kritik, koreksi dan saran yang diberikan akan saya sambut dengan kelapangan hati
guna perbaikan pada masa yang akan datang.
Akhir kata, saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan motivasi
bagi siapa saja yang membaca dan memanfaatkan.
~1~
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................1
DAFTAR ISI......................................................................................2
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................... 3
B. Rumusan masalah......................................................... 3
C. Tujuan Pembahasan..................................................... 3
DAFTAR PUSTAKA.................................................................13
~2~
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dewasa ini riba telah menjadi teman bahkan sahabat yang sulit
dipisahkan bagi kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan tentang riba, hukum-hukum yang mendasari
riba, sebab-sebab pengharamanya riba, hal-hal yang menyebabkan riba
serta dampak yang diakibatkan oleh riba.
Oleh karena itu perlu adanya pemahaman tentang riba agar tidak
semakin terjerumus kedalam riba dan atau berhenti dari riba. Karena
riba hanyalah kesenangan yang semu dan menyebabkan ketidak
sejahteraannya rakyat. Makalah ini dibuat untuk memberikan
pemahaman terhadap riba sendiri.
B.Rumusan Masalah
1. Apa pengertian riba?
2. Apa saja macam-macam riba?
3. Apa dasar hukum riba?
4. Apa perbedaan riba dengan jual beli?
5. Apa hikmah dengan di haramkan jual beli?
~3~
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Riba
Riba menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:
1.Bertambah, adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2. Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah
membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang
lain.
3. Berlebihan atau menggelembung.
~4~
B. Macam-macam Riba
1) Riba Al-Fadhl
Riba Al-Fadhl adalah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara tukar
menukar benda-benda sejenis dengan tidak sama ukurannya, seperti satu gram
emas dengan seperempat gram emas,maupun perak dengan perak.[5] Hal ini sesuai
dengan hadist nabi saw. sebagai berikut:
َّ ً ْل ِب َو ْزنَّ َو ْزنًا ِب ْال ِفض َِّة َو ْال ِفضةَّ ِب ِمثْلَّ ِمث
َِّ ل ِب َو ْزنَّ َو ْزنًا ِبالذ َه
َّب الذَّهَب َّ ً ْن ِب ِمثْلَّ ِمث
َّْ ِربًا فَه ََّو ا ْست َزَ ا َّدَ أ َ َّْو زَ ا َّدَ فَ َم
“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan
semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka
(tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
2) Riba Al-Yadd
Riba Al-Yadd, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah
terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal
beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung
belum ditimbang apakah cukup atau tidak.
َّب الذهَب َِّ ير َوالش ِعيرَّ َوهَا ََّء هَا ََّء ِإّلَّ ِربًا ِبالت ْم َِّر َوالتَّ ْمرَّ َوهَا ََّء هَا ََّء ِإّلَّ ِربًا ِب ْالب َِّر َو ْالبرَّ َوهَا ََّء هَا ََّء ِإّلَّ ِربًا ِبالذ َه
َِّ ِإّلَّ ِربًا ِبالش ِع
َوهَا ََّء هَا ََّء
“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum
riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan
dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan
(HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
3) Riba An-Nasi’ah
Riba Nasi’ah, adalah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari
orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran
utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan
perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum
dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan
pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan
kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan
memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:
َّْ س َم َرة َع
ن َ ْن َ سل ََّم َعلَ ْي َِّه
َِّ صلىاللَّ النبِيَّ اَنَّ جَّ ْندبَّ ب َّْ ان بَي َّْعِ َع
َ ن نَهى َو َِّ نَ ِس ْيئ َ َّةً بِ ْال َحيَ َو
َِّ ان الَ َحيَ َو
“Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual
beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan
dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)”
4) Riba Qardhi
Riba Qardhi adalah riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau
pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam
atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp.
~5~
1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu
juta Tiga ratus ribu rupiah).
Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti
sabda Rasulullah Saw.:
َّفَه َو ِربًا َم ْنفَعَ َّةً َجرَّ قَ ْرضَّ كل
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi).
Pada periode Madinah turun ayat yang seccara jelas dan tegas tentang
keharaman riba, terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 130:
ِين أَي َها يَا َّ َ الربَا ت َأْكلوا
ََّ ّل آ َمنوا الذ ْ َضا َعفَ َّةً أ
ِ ضعَافًا َّ ون لَعَلك َّْم
َ ّللاَ َواتقوا م ََّ ت ْف ِلح
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”.
Dan ayat terakhir yang memperkuat keharaaman riba terdapat dalam surat Al-
Baqarah ayat 278-279.[8]
ِين أَي َها يَا
ََّ ّللاَ اتقوا آ َمنوا الذ َّ ي َما َوذَروا ََّ ن بَ ِقََّ الربَا ِم
ِ ن َّْ ِين ك ْنت َّْم إ َّْ ِ ن بِ َح ْربَّ فَأْذَنوا ت َ ْفعَلوا لَ َّْم فَإ
ََّ ( مؤْ ِم ِن278) ن ََّ ّللاِ ِم
َّ
ن َو َرسو ِل َِّه َ
َّْ ّل أ ْم َوا ِلك َّْم رءوسَّ فَلَك َّْم تبْت َّْم َو ِإ َّ َ ون ْ َّ َ ون َو
ََّ ّل ت َظ ِلم ََّ ( تظ َلم279)
ْ
278.”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”.
279.“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
Dua ayat terakhir di atas mempertegas sebuah penolakan secara jelas terhadap
orang yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda. Allah
tidak memperbolehkan pengembalian utang kecuali mengembalikan modal pokok
tanpa ada tambahan.
~6~
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah
perbuatan haram, termasuk salah satu dari lima dosa besar yang membinasakan.
Dalam hadist lain keharaman riba bukan hanya kepada pelakunya, tetapi semua
pihak yang membantu terlaksananya perbuatan riba sebagaimana hadist yang
diriwayatkan oleh Muslim:
ََّ َللاِ َرس ْولَّ لَع
ن َ َّسل ََّم َعلَ ْي َِّه للا
َّ صلى َ ل َو ِ َّوشَا ِهدَ ْي َِّه َوكَاتِبَهَّ َوم ْو ِكلَه,
ََّ الربَّا َ آ ِك َ لََّ وقَا:
َ س َواءَّ ه َّْم
َ
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba,
penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR
Muslim).
~7~
E.Pembolehan Pengambilan Riba
1. Darurat
Untuk memahami pengertian darurat, kita seharusnya melakukan pembahasan yang
komprehensif tentang pengertian darurat seperti yang dinyatakan syara’ (Alah
dan Rasul-Nya), bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
a. Imam Suyuti3 dalam bukunya, al-Asybah wan Nadzair menegaskan bahwa “darurat
adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak segera melakukan
tindakan dengan cepat, akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.”
b. Dalam literatur klasik, keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang
yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang
diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi
dengan dua batasan.
Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai
dengan metodologi ushul fiqh, terutama penerapan al-qawaid al-fqhiyah seputar
kadar darurat.
2. Berlipat Ganda
Ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan
membertkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan.5 pendapat ini
berasal dari pemahaman yang keliru atas surah Ali-Imran ayat 130,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”
Sepintas, surat Ali Imran:130 memang hanya melarang riba yang berlipat ganda.
Akan tetapi, memahami kembali ayat tersebut secara cermat, termasuk
mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta
~8~
pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai
pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.
· Kriteria berlipat ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari
riba dan sama sekali bukan merupakan syarat. Syarat berarti kalau terjadi
pelipatgandaan maka riba, jika kecil maka tidak riba.
· Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fiqh Islami di
Paris tahun 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Ia menjelaskan
secara linguistik() arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari
semula, sedangkan() adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah
3. Dengan demikian () berarti 3x2=6 kali. Adapun () dalam ayat adalah ta’kid ()
untuk penguatan.
Dengan demikian, menurutnya, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat maka
sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%. Secara
operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan
maupun simpan pinjam.
1. Menanggapi pembahasan surah Ali-Imran ayat 130 ini, Syekh Umar bin Abdul Aziz
al-Matruk, penulis buku ar-riba wal Muamalat al-Mashrafiyyah fi Nadzari ash-
Shariah al-Islamiah, menegaskan,
“Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 surah Ali-Imran, termassuk redaksi
berlipat ganda dan penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa
riba harus sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba
secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan belipat
sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian, redaksi ini(berlipat ganda)
menjadi sifat umum dari riba dalam terminologi syara (Allah dan Rasul-Nya).”
2. Dr. Sami Hasan Hamoud dalam bukunya, Fathwiir al-A’maali al-Masyrifiyyah bimaa
Yattafiqu wasy-Syarii’ah al-Islamiyah hlm. 139-138, 6 menjelaskan bahwa bangsa
Arab disamping melakukan pinjam-meminjam dalam bentuk uang dan barang
bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka biasa meminjamkan ternak
berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bin
labun). Kalau meminjamkan bin labun, meminta kembalian haqqah(berumur 4 tahun).
Kalau meminjamkan haqqah, meminta kembalian jadzaah( berumur 5 tahun).
Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan
bergantung pada kekuatan supply and demand (permintaan dan penawaran) di
pasar. Dengan demikian, kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2,
bahkan ke 3 tahun.
~9~
Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah mafhum mukhalafah dalam konteks
Ali-Imran:130 sangatlah menyimpang, baik dari siyaqul kalam, konteks antar ayat,
kronologis penurunan wahyu, maupun sabda-sabda Rasulullah seputar pembungaan
uang serta praktik riba pada masa itu.
Secara sederhana, jika kita menggunakan logika mafhum mukhalafah yang berarti
konsekuensi secara terbalik-jika berlipat ganda dilarang, kecil boleh; jika tidak
sendirian, bergerombol; jika tidak di dalam, di luar dan sebagainya-kita akan salah
kaprah dalam memahami pesan-pesan Allah SWT.
Sebagai contoh, jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara mafhum
mukhalafah.
“Dan, janganlah, kalian mendekati zina’ sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. “(al-Isra’: 32)
“Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi,(daging hewan)
yang disembelih) atas nama selain Allah...”(al-Maaidah: 3)
Janganlah mendekati zina! Yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina
sendiri tidak dilarang. Demikian juga larangan memakan daging babi.
3. Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 surah ali-Imran
diturunkan pada tahun ke-3 H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari
surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 H. Para ulama menegaskan bahwa
pada ayat terakhir tersebut merupakan “ayat sapu jagat” untuk segala bentuk,
ukuran, kadar. Dan jenis riba. 7
~ 10 ~
a. Tidaklah benar bahwa pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan hukum” sama
sekali. Sejarah Romawi, Persia, dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan
yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, perseroan
mereka telah masuk ke lembaran negara.
b. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical
personality atau syahsyiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum
adalah sah mewakili individu-individu secara keseluruhan.
Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat melakukan mudharat
jauh lebih besar dari perseorangan. Kemampuan seorang pengedar narkotika
dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi, mengekspor, dan
mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama; lembaga mafia jauh lebih
besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita menyatakan bahwa apa pun yang
dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan insan
mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Demikian juga dengan lembaga
keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir dengan lembaga rente. Kedua-
duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir dalam skala
kecamatan atau kabupaten, sedangkan lembaga rente m,eliputi provinsi, negara
bahkan global.
~ 11 ~
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
a). Riba adalah sesuatu bentuk tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan
sebagai syarat terjadinya transaksi hutang piutang atau pinjam meminjam.
b). Dasar hukum pelanggaran riba diantaranya
QS. Al-Baqarah ayat 275-280
QS. Ar-Rum ayat 39
QS. Ali Imran ayat 130-131
c). Macam-macam riba ada 4, yaitu :
Riba Fadli (menukarkan dua barang yang sejenis tapi kwalitas berbeda)
Riba Qardhi (meminjamkan dengan ada syarat bagi yang mempiutangi)
Riba Yadh (bercerai dari tempat aqad sebelum timbang terima)
Riba Nasa’ (Nasiah) yaitu riba yang terjadi karena adanya penundaan waktu
pembayaran, dengan menetapkan adanya dua harga yaitu harga kontan atau harga
yang dinaikan karena pembayaran tertunda.
d). perbedaan Riba dengan jual beli adalah Di antara perbedaan jual beli dengan
riba adalah adanya sesuatu tambahan pada suatu akad yang tidak sesuai dengan
syara’, karena bisa memberatkan salah satu pihak,dan agama islam melarang hal
semacam ini. Sedangkan tambahan atau laba dalam jual-beli yang di sahkan adalah
dengan cara yang telah ditentukan syara’.
e). Hikmah di Haramkannya Riba
1.Ia dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan meengikishabi
ssemangat kerjasama/saling menolong sesame manusia.Padahal semua
agama terutama islam amat menyeru agar manusia saling tolong menolong.
Disisi lain Allah membenci orang yang mengutamakan kepentingan sendiri
dan orang yang memeras hasil kerja keras orang lain.
2.Riba akan menimbulkan adanya mental pemboros yang malas bekerja.
Dapat pula menimbulkan kebiasaan menimbun harta tanpa kerja keras,
sehingga seperti pohon benalu yang hanya biasa menghisap tumbuhan lain.
3. Riba merupakan cara menjajah. Karena itu orang berkata ,“penjajahan
berjalan dibelakang pedagang dan pendeta.
Dan kita telah mengenal riba dengan segala dampak negatifnya di
dalam menjajah Negara kita.
4. Setelah semua ini,islam menyeru agar manusia suka mendermakan harta
kepada saudaranya dengan baik,yakni ketika saudaranya membutuhkan
bantuan.
~ 12 ~
DAFTAR PUSTAKA
Al Qalami, Abu Fajar dan Al Banjary, Abdul Wahid ,
Tuntunan jalan lurus dan benar, (tanpa kota dan tahun
terbi Gita media Press)
Azim, Abdul Aziz Muhammad, Prof. Dr, Fiqh Muamalat,
(Jakarta: Amzah, 2010)
Ghazaly, Abdul Rahman,Prof. Dr., H.,MA.,dkk., Fiqh
Muamalat.(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2010)
Rasjid, Sulaiman, H. Fiqih Islam (Hukum Fiqih Islam),
(Bandung: PT. Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2012)
Suhendi, Hendi, M.si., Dr., H..Fiqih Muamalah, (Jakarta:PT.
Raja Grafindo Persada,2005)
~ 13 ~
~ 14 ~