You are on page 1of 13

PENGUJIAN SENSITIVITAS BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIK:

METODE KIRBY-BAUER DAN METODE MIC

LAPORAN PRAKTIKUM BAKTERIOLOGI

Nama :
NIM :
Rombongan :
Kelompok :
Asisten :

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mikroorganisme adalah makhluk hidup yang memiliki aktivitas untuk


tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan mikroba dapat terganggu
akibat pengaruh dari lingkungan maupun dari mikroba itu sendiri. Salah satu
pengaruh yang paling berkompten adalah senyawa antimikroba. Antimikroba adalah
senyawa yang dapat menghambat atau membunuh mikroorganisme. Salah satu
contoh senyawa antimikroba adalah antibiotik (Gobel, 2008).
Sebelum suatu antibiotik diperlukan untuk keperlukan pengobatan, antibiotik
harus diuji terlebih dahulu apakah memiliki efek terhadap spesies bakteri tertentu
atau tidak. Jika terbukti mampu menghambat atau menbunuh spesies bakteri tertentu
(pathogen penyebab penyakit), maka antibiotik tersebut layak digunakan terhadap
pasien. Antibiotik dapat diberikan kepada pasien melalui penyuntikan dengan
intramuscular sesuai dengan keperluan (Dwidjoseputro, 2005). Berdasarkan luas
aktivitasnya, antibiotik dapat digolongkan atas senyawa dengan spectrum luas dan
sempit. Contoh senyawa yang tergolong antibiotik yaitu penicillin, sefalosparin,
aminoglikosida, chlorampenicol, tetrasiklin, makrosida, dan quinolon (Waluyo,
2004).
Menurut Hadioetomo (1996), suatu antibiotik dikatakan ideal apabila
memenuhi syarat-sayrat berikut:
1. Mempunyai kemampuan untuk mematika atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme secara luas (tidak satu spesies).
2. Tidak menyebabkan resisten saat digunakan pada mikroorganisme pathogen.
3. Tidak menimbulkan efek samping yang buruk pada host, seperti reaksi alergi,
kerusakan saraf, iritasi lambung, dan sebagainya.
4. Tidak mengganggu keseimbangan flora normal, seperti flora usus dan flora kulit.
Menurut Singleton (2006), kemampuan antibiotik dalam melawan bakteri
dapat diukur menggunakan dua metode, yaitu:
1. metode konvensional, contohnya dilusi (agar atau kaldu), difusi (Kirby-Bauer)
dan Etest.
2. Metode komersial, contohnya meliputi metode mikrodilusi perbenihan cair (broth
microdilution methods), Agar dilusi derivative (agar dilution derivations), difusi
pada agar derivative (diffusion in agar derivations), sistem pengujian otomatis
(automated suscebtibility test system), metode pengujian alternative dan
suplemen, metode yang langsung mendeteksi, mekanisme resistensi spesifik,
metode dengan pengukuran antimikroba berdasarkan keberadaan mekanisme
khusus (misalnya berdasarkan fenotip, deteksi acetil-transferase
chloranphenicol), metode khusus untuk mendeteksi kompleks interaksi
antimikroba pada organisme, tes kombinasi aktivitas mikroba, dan Spiral
Gradient Endpoint Test (SGE).

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah melakukan uji sensitivitas senyawa


antagonis secara kualitatif dan kuantitatif.
II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang digunakan adalah baki isolat, inkubator, rak tabung berdiri, tabung
reaksi, cawan petri, pinset, pipet ukur 1 mL, pembakar spiritus, kamera, drugalski,
kertas cakram diameter 6 mm yang mengandung antibiotik amoxycillin dan
tetracyclin, penggaris, dan alat tulis.
Bahan yang digunakan adalah kultul bakteri Gram negatif (Escherichia coli),
bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus), akuades steril, medium Nutrient Agar,
medium Nutrient Broth, amoxycillin, dan tertracyclin.

B. Metode

 Metode uji kualitatif Kirby-Bauer


1. Isolat E. coli dan S. aureus masing-masing dipipeting spread plate sebanyak 0,1
mL secara aseptis ke dalam cawan petri yang berbeda, kemudian diratakan
dengan drugalski.
2. Setiap cawan petri yang berisi biakan E. coli dan S. aureus diberi dua kertas
cakram yang mengandung antibiotik amoxycillin dan tetracyclin di bagian
tengahnya.
3. Cawan uji diinkubasi pada suhu 370C selama 48 jam.
4. Setelah masa inkubasi, diukur zona penghambatan yang terbentuk pada masing-
masing antibiotik terhadap biakan bakteri S. Aureus dan E. coli dengan rumus
𝑑1+𝑑2
.
2

5. Hasil pengukuran dibandingkan dengan standard zona penghambatan dari


masing-masing antibiotik dan ditentukan pengaruh yang sensitif, resisten, dan
intermediet dari bakteri uji terhadap masing-masing antibiotik.
 Metode Minimun Inhibitory Concentration (MIC)
1. Secara aseptis 0,8 mL medium NB dimasukkan ke dalam tiap sumuran dalam 24
microwell plate steril.
2. Setiap kultur ditambahkan 0,1 mL ke dalam 9,9 mL akuades steril sehingga
diperoleh pengenceran 10-2.
3. Sebanyak 0,1 mL pengenceran 10-2 dari S. aureus ditambahkan ke dua baris 6
sumuran, sehingga diperoleh baris A dan B diinokulasi dengan S. aureus.
4. Pekerjaan yang sama dilakukan inokulasi E. coli terhadap dua baris 6 sumuran
yang lain, sehingga diperoleh baris C dan D diinokulasi dengan E. coli.
5. Pengenceran masing-masing antibiotik disiapkan sehingga diperoleh konsentrasi
640, 320, 160, 80, 40, 20 µg/mL. Pengenceran dibuat dengan cara : 64 mg
antibiotik ditambahkan ke dalam 10 mL air steril, dikocok agar larut. Kemudian
ditambahkan 1 mL larutan ini ke 9 mL air steril untuk untuk menghasilkan
konsentrasi 640 µg/mL. Sebanyak 5 mL larutan ini ditambahkan ke 5 mL air
steril untuk mendapatkan konsentrasi 320 µg/mL. demikian seterusnya untuk
konsentrasi lainnya.
6. Sebanyak 0,1 mL larutan penicillin ditambahkan ke baris A dan C dengan urutan
konsentrasi tertinggi pada A1 dan C1 dan konsentrasi terendah pada A6 dan C6.
7. Pekerjaan yang sama dilakukan untuk larutan erythromycin terhadap baris B dan
D, dengan konsentrasi tertinggi pada B1 dan D1 sedangkan konsentrasi terendah
pada B6 dan D6. Dengan menambahkan 0,1 mL ke 0,9 mL maka akan diperoleh
baris dengan konsentrasi antibiotik 640, 320, 160, 80, 40, dan 20 µg/mL.
8. Plate diinkubasi pada suhu 370C selama 24-48 jam.
9. Setelah masa inkubasi, setiap sumuran diamati terjadinya kekeruhan. Bila
terbentuk kekeruhan/ terjadi pertumbuhan menunjukkan bahwa organisme
resisten terhadap antibiotik pada konsentrasi yang dicobakan. Pencatatan:
pertumbuhan + dan pertumbuhan -.
10. Konsentrasi penghambatan minimum (MIC), setiap antibiotik terhadap setiap
spesies bakteri. MIC diinterpretasikan pada sumuran pertama yang menunjukkan
tidak adanya pertumbuhan dan bukan pada sumuran terakhir dimana
pertumbuhan terjadi.
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Table 3.1. Data Pengamatan Rombongan II


MIC
Kel Isolat Antibiotik Interpretasi
S. aureus E. coli
Amoxycillin Resisten (8 mm) Resisten Resisten
1 E. coli
Erytromycin Resisten (–) Resisten Resisten
Amoxycillin Resisten (10 mm) Resisten Resisten
2 S. aureus
Erytromycin Resisten (6,5 mm) Resisten Resisten
Amoxycillin Resisten (–) Resisten S (640 mg)
3 E. coli
Erytromycin Resisten (–) Resisten Resisten
Amoxycillin Intermediet (16,5 mm) (S) 160 mg S (160 mg)
4 S. aureus
Erytromicin Resisten (–) Resisten Resisten
Amoxycillin Suscebtible (26 mm) (S) 40 mg S (160 mg)
5 E. coli
Erytromycin Resisten (–) (S) 80 mg Resisten
Amoxycillin Intermediet (S) 160 mg S (160 mg)
6 S. aureus
Erytromycin Resisten Resisten Resisten
Keterangan:
Suscebtible intermediet resistant
Amoxycilin & Erythromycin : ≤ 13 mm 14-17 mm ≥ 18 mm

Gambar 3.1. Hasil Uji MIC isolat E. coli


B. Pembahasan

Menurut Erlindawati et al. (2015), antibiotik adalah salah satu produk


metabolit sekunder yang dihasilkan suatu orgaisme tertentu dalam jumlah sedikit dan
bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lain. Bagi bakteri, senyawa
metabolit sekunder tersebut digunakan untuk pertahanan diri dalam menghadapi
lingkungan yang kurang menguntukan. Berdasarkan toksisitas selektifnya, senyawa
antibiotik dapat bersifat bakteriostastatik dan bakteriosidal. Bakteriostatik berarti
antimikroba yang menghambat pertumbuhan atau perkembangan bakteri, sedangakn
bakteriosidal bekerja mematikan bakteri. Mekanisme kerja dari antibiotik yang
bersifat bakteriosidal biasanya mempengaruhi sintesis dinding sel atau permeabilitas
membrane, sedangkankan yang bersifat bakteriostatik akan menghalangi sintesis
protein.
Menurut Usmiati (2012), cara kerja senyawa antibiotik adalah sebagai berikut:
1. Menghambat metabolism sel
Antibiotik jenis ini biasanya memiliki struktur molekul mirip senyawa yang
dibutuhkan mikroorganisme dalam metabolism. Antibiotik akan berkompetisi
dengan senyawa tersebut membentuk suatu senyawa yang dibutuhkan mikroba
untuk pertumbuhannya, sehingga antibiotik dengan mekanisme seperti ini
memiliki sifat menghambat pertumbuhan bakteri atau bakteriostatik. Contohnya
adalah antibiotik sulfonamide yang berkompetisi dengan PABA untuk
membentuk asam folat yang pada bakteri pathogen senyawa ini harus disintesis
sendiri. Contoh lainnya adalah trimetropin dan asam p-aminosalisilat.
2. Menghambat sintesis dinding sel
Antibiotik golongan ini dapat menghambat biosintesis peptidoglikan, sintesis
mukopeptida atau menghambat sintesis peptide dinding sel, sehingga dinding sel
menjadi lemah, kemudian karena tekanan turgor dari dalam, dinding sel akan
pecah atau lisis sehingga bakteri kan mati. Contoh antibiotik yang bekerja dengan
mekanisme ini adalah penisilin, sefalosporin, sikloserin, vankomisin, basitrasin
dan antifungi golongan azal.
3. Menghambat sintesis protein
Antibiotik golongan ini akan menghambat reaksi transfer antara donor dengan
aseptor atau menghambat translokasi t-RNA peptidil dari situs aseptor ke situs
donor yang menyebabkan sintesis protein terhenti. Contoh antibiotiknya adalah
chlorampenicol, tetrasiklin, erythromycin, kindamycin, dan pristinamycin.
4. Menghambat sintesis asam nukleat
Antibiotik golongan ini biasanya bekerja dengan cara mengikat enzim-enzim
yang berfungsi dalam sintesis asam nukleat, seperti enzim RNA polimerase dan
enzim girase (berfungsi untuk menata DNA bakteri menjadi pilinan agar muat
dalam sel mikroba yang kecil). Contoh antibiotik golongan ini adalah rifamphycin
dan kuinolon.
5. Mengganggu keutuhan membran sel
Mekanisme kerja antibiotik golongan ini yaitu bereaksi dengan fosfat pada
fosfolipid bilayer atau struktur sterol yang akan merusak permeabilitas selektif
membran plasma bakteri, sehingga molekul-molekul penting dalam sitoplasma
akan keluar. Bakteri dengan persentase fosfat kecil atau tidak memiliki struktur
sterol pada membrane selnya akan cenderung lebih resisten terghadap antibiotik
golongan ini, misalnya bakteri Gram positif yang memiliki kadar fosfat rendah
pada membrane plasma atau bakteri Gram negatif yang telah mengalami mutasi
menjadi resisten. Contoh antibiotik golongan ini adalah polymyxin, polien dan
berbagai kemoterapeutik lain seperti surface active agents.
Menurut Pelczar & Chan (1986), beberapa factor yang mempengaruhi kerja
antibiotik adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi atau intensitas antibiotik (semakin tinggi akan semakin efektif
membunuh bakteri, namun terkadang bisa menimbulkan resistensi).
2. Jumlah mikroorganisme (jumlah mikroba yang banyak akan membuat antibiotik
perlu waktu lama untuk membunuhnya).
3. Suhu (semakin tinggi suhu maka akan meningkatkan efektivitas kerja antibiotik
karena pada dasarnya kerja antibiotik merupakan reaksi kimia yang sangat
bergantung pada suhu optimum).
4. Spesies mikroorganisme (tiap spesies mikroorganisme menunjukkan sensitivitas
yang berbeda-beda terhadap senyawa antibitik tertentu).
5. Adanya bahan organik yang akan menghambat kerja antibiotik melalui tiga cara,
yaitu antibiotik akan bergabung dengan bahan organic membentuk senyawa yang
bersifat netral bagi mikroba, atau membentuk endapan yang tidak bisa berikatan
dengan komponen sel mikroba, atau bahan organik menjadi barrier bagi
antibiotik yang akan melakukan kontak dengan sel mikroba.
6. pH (beberapa antibiotik sangat dipengaruhi oleh pH, sebagian ada yang bekerja
pada pH asam dan beberapa yang lain ada yang bekerja pada pH basa, walaupun
banyak juga yang bekerja pada pH netral).
Erythromycin adalah antibiotik yang bersifat bakteriostatik atau bakteriosidal,
tergantung dari jenis bakteri dan kadarnya dalam darah (Rahman, 2011). Mekanisme
kerja Erythromycin seperti telah dijelaskan di atas adalah menghambat sintesis
protein dengan cara berikatan secara reversible dengan ribosom subunit 50S.
Antibiotik ini memiliki spectrum cukup luas terhadap bakteri Gram positif
(Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae) dan
Gram negatif (Haemophilus influenza, Pasteurella multocida, Brucella dan Rickttsia)
maupun mikoplasma (Chlamydia), namun tidak memiliki antivitas terhadap virus,
ragi ataupun jamur (Rahman, 2011).
Amoxycillin merupakan antibiotik yang umum digunakan untuk
menonaktifkan bakteri penyebab penyakit. Amoxycillin merupakan antibiotik
golongan penicillin yang mekanisme kerjanya dengan jalan merusak sintesis dinding
sel bakteri. Antibiotik ini efektif untuk bakteri H. influenza, N. gonorrhea, E. coli,
Pneumonia, Streptococcus, dan beberapa Staphylococcus (Pelczar dan Chan, 2005).
Menurut Kim et al. (2015), pengobatan yang efektif dari infeksi bakteri
bergantung pada diagnosis dan dosis yang tepat terhadap obat antibiotik, sehingga
diperlukan uji sensitivitas antibiotik. Uji sensitivitas bakteri merupakan metode untuk
menentukan konsentrasi minimum bakteri terhadap senyawa antibiotik dan untuk
mengetahui senyawa murni yang memiliki aktivitas antibiotik. Metode uji sensitivitas
bakteri adalah metode untuk mengetahui kemampuan senyawa antibiotik dalam
menghambat pertumbuhan dan membunuh mikroba. Uji sensitivitas bakteri
merupakan satuan metode untuk menentukan tingkat kerentanan bakteri terhadap
antibiotik dan untuk mengetahui senyawa murni yang memiliki antivitas antibiotik
(Hastowo, 1992).
Menurut Singleton (2006), salah satu metode konvensional yang digunakan
untuk menentukan sensitivitas bakteri adalah metode difusi kertas cakram. Metode ini
merupakan metode pengujian kualitatif. Metode ini lebih dikenal dengan metode
Kirby-Bauer. Inokulum bakteri pada metode ini ditanam secara merata pada
permukaan agar. Kertas cakram yang mengandung antibiotik diletakkan pada
permukaan agar dan dibiarkan berdifusi ke dalam media sekitarnya. Hasilnya berupa
zona hambat antibiotik terhadap pertumbuhan bakteri, semakin luas zona jernih maka
semakin bakteri sensitif/susceptibel terhadap senyawa antibiotik, dan sebaliknya jika
semakin sempit maka semakin resisten. Ukuran zona hambat tergantung kecepatan
difusi antibiotik, derajat sensitivitas mikroorganisme dan kecepatan pertumbuhan
bakteri (Cappucino dan Shraman, 1983).
Kelebihan metode Kirby-Bauer adalah mudah dilakukan, tidak memerlukan
peralatan khusus dan relative murah, sedangkan kelemahannya adalah ukuran zona
bening yang terbentuk tergantung oleh kondisi inkubasi, inokulum, predifusi, dan
preinkubasi serta ketebalan medium. Apabila keempat factor tersebut tidak sesuai,
maka hasil dari metode kertas cakram relative sulit untuk diinterpretasikan. Selain itu,
metode kertas cakram ini tidak bias diaplikasikan pada mikroorganisme yang
pertumbuhannya lambat dan mikroorganisme yang bersifat anaerob obligat (Hastowo,
1992).
Menurut Kim et al. (2015), metode konvensional lain yang digunakan untuk
menentukan sensitivitas bakteri adalah dengan metode minimum inhibitory
concentration (MIC). Konsep metode ini adalah senyawa antibiotik dilarutkan ke
dalam cairan pada wellplate dengan konsentrasi bertingkat, kemudian ditambahkan
strain bakteri yang diuji, batas sumuran bening pertama merupakan dosis terendah
yang akan menekan pertumbuhan bakteri. Hasil dari metode ini dapat digunakan
sebagai acuan untuk pencegahan bakteri yang resisten. Pelczar & Chan (2005)
menambahkan bahwa metode dilusi digunakan untuk menentukan kadar hambat
minimum (KHM) dan kadar bunuh minimla (KBM) dari senyawa antibiotik.
Kelebihan metode MIC adalah memungkinkan penentuan sensitivitas
antibiotik secara kuantitatif. MIC dapat membantu dalam penentuan tingkat resistensi
dan dapat menjadi petunjuk pengunaan antibiotik. Kekurangan metode ini adalah
tidak efisien karena pengerjaannya yang rumit, memerlukan banyak bahan-bahan dan
peralatan serta persiapan yang cukup lama terutama dalam membuat konsentrasi
antibiotik yang bervariasi. Soleha (2015) mengatakan bahwa perbedaan antara
metode Kirby-Bauer dan MIC adalah, jika Kirby-Bauer merupakan metode uji
sensitivitas bakteri terhadap antibiotik secara kualitatif, sedangkan MIC merupakan
metode kuantitatifnya. Metode Kirby-Bauer hanya menggunakan 1 konsentrasi
antibiotik, meskipun antibiotik yang digunakan bermacam-macam, sedangkan MIC
menggunakan berbagai tingkatan konsentrasi antibiotik meskipun hanya digunakan 1
macam antibiotik. Interpretasi hasil dari metode Kirby-Bauer berupa zona jernih pada
media agar cawan, sedangkan MIC berupa kekeruhan atau kejernihan larutan
antibiotik pada wellplate (Soleha, 2015).
Berdasarkan hasil pengamatan uji sensitivitas bakteri menggunakan metode
Kirby-Bauer didapatkan zona jernih pada isolat S. aureus lebih kecil dibanding E.
coli, tepatnya pada kelompok 5 isolat E. coli suscebtible dengan antibiotik
Amoxycillin karena terbentuk zona hambat sebesar 26 mm, sedangkan pada kelompok
4 dan 6, isolat S. aureus menunjukkan hasil intermediet (16,5 mm) terhadap antibiotik
yang sama. Sementara hasil pengujian pada kelompok lainnya menunjukkan hasil
resisten untuk semua isolat terhadap antibiotik Amoxycillin dan Erythromycin.
Adapun hasil uji MIC didapatkan konsentrasi minimum untuk menghambat
pertumbuhan isolat E. coli dengan antibiotik Amoxycillin adalah 160 µg (kelompok 4,
5 dan 6) dan 640 µg (kelompok 3). Konsentrasi minimum untuk menghambat
pertumbuhan isolat S. aureus dengan antibiotik amoxycillin adalah 40 µg (kelompk 5)
dan 160 µg (kelompok 4 dan 6). Konsentrasi minimum untuk menghambat
pertumbuhan isolat S. aureus dengan antibiotik erythromycin adalah 80 µg (kelompk
5). Hasil kelompok lainnya menunjukkan kedua isolat bakteri yang diuji resisten
terhadap semua konsentrasi antibiotik yang digunakan baik amoxycillin maupun
erythromycin. Hasil tersebut secara umum menjelaskan bahwa isolat E. coli lebih
resisten terhadap kedua jenis antibiotik daripada isolat S. aureus baik dengan metode
Kirby-Bauer maupun dengan metode MIC. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pelczar
& Chan (2005) yang menyatakan bahwa bakteri Gram positif (S. aureus) membentuk
zona jernih lebih luas dibandingkan dengan bakteri Gram negatif (E. coli). Volk dan
Wehler (1997) menambahkan bahwa perbedaan nyata dalam struktur dan kompsisi
dinding sel antara bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif diyakini
menyebabkan kedua kelompok bakteri tersebut memberikan perbedaan respon
resitensi terhadap senyawa antibiotik.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan


bahwa:
1. Uji sensitivitas senyawa antibiotik secara kualitatif menggunakan metode Kirby-
Bauer dan secara kuantitatif menggunakan metode minimum inhibitory
concentration (MIC).
2. Hasil pengujian sensitivitas senyawa antibiotik secara kualitatif dan kuantitatif
adalah isolat E. coli lebih resisten daripada isolate S. aureus.

B. Saran

Saran untuk praktikum selanjutnya adalah optimalisasi kerja laboratorium


mikrobiologi (aseptis) utamanya pada saat inokulasi pada wellplate, sehingga akan
mengurangi kontaminasi yang mungkin mempengaruhi hasil atau interpretasi.
Optimalisasi penggunaan jenis antibiotik dengan menambah jenis antibiotik dari dan
untuk golongan bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif, mikoplasma, atau
keduanya dan antibiotik dari aktinomycetes, yeast dan fungi yang dapat menghambat
atau mematikan bakteri.
DAFTAR REFERENSI

Cappucino, J.G., & Sherman, N. 1983. Microbiology A Laboratory Manual. New


York: Addison-Wesley Publishing Company.
Gobel, R. 2008. Mikrobiologi Umum dalam Praktik. Makassar: Universitas
Hasanuddin Press.
Dwidjoseputro, D. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.
Erlindawati, Puji, A., & Afgani, J. 2015. Identifikasi dan uji aktivitas antibakteri dari
tiga isolate tanah gambut Kalimantan Barat. JKK 4(1): 12-16.
Hadioetomo, R. 1996. Mikrobiologi Dasar dalam Praktik. Jakarta: Gramedia.
Hastowo, S. 1992. Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali Press.
Kim, S.C., Stefano, C.B., Keisuke, I., & Richard, N.Z. 2015. Miniaturized
antimicrobial suscebtibility test by combining concentration gradient
generation and rapid cell culturing. Antibiotiks 4: 455-466.
Pelczar, M.J., & Chan, E.C.S. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI press.
Pelczar, M.J., & Chan, E.C.S. 2005. Mikrobiologi. New York: Mc GrawHill
Company.
Rahman, I.R. 2011. Uji stabilitas fisik dan daya antibakteri suspense eritromisin
dengan Suspending Agen Gummi Arabici. Pharmacon 12 (2): 44-49.
Singleton, P. 2006. Dictionary of Microbiology and Molecular Biology 3rd Edition.
England: John Wiley & Sons Inc.
Soleha, T.U. 2015. Uji Kepekaan terhadap Antibiotik. J Kedokteran UNILA 5(9):
118-123.
Volk, W.A., & Wehler, M.F. 1997. Mikrobiologi Dasar Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Waluyo, L. 2004. Mikrobiologi Umum. Malang: UMM.
Usmiati, S. 2012. Daging tahan simpan dan bakteriosin. Warta Penelitian
Pengembangan Pertanian 34(2): 12-14.

You might also like