You are on page 1of 54

DAFTAR ISI

BAB I LAPORAN PENDAHULUAN .......................................................................................... 2


A. Konsep Dasar ....................................................................................................................... 2
1. Anatomi dan Fisiologi ...................................................................................................... 2
2. Pengertian ......................................................................................................................... 6
3. Etiologi ............................................................................................................................. 7
4. Patofisiologi ..................................................................................................................... 7
5. Klasifikasi Fraktur ............................................................................................................ 8
6. Manifestasi klinik ........................................................................................................... 10
7. Test diagnostis ................................................................................................................ 10
8. Penatalaksanaan medic ................................................................................................... 11
9. Proses penyembuhan luka .............................................................................................. 13
10. Komplikasi.................................................................................................................. 15
BAB II KONSEP KEPERAWATAN .......................................................................................... 17
A. Pengkajian .......................................................................................................................... 17
1. Pengumpulan data .......................................................................................................... 17
B. Diagnosa Keperawatan ...................................................................................................... 24
C. Intervensi............................................................................................................................ 25
BAB III LAPORAN KASUS ...................................................................................................... 31
A. Pengkajian .......................................................................................................................... 31
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................................................ 50
A. Penjelasan .......................................................................................................................... 50
B. Penjelasan Perdiagnosa ...................................................................................................... 51
BAB V PENUTUP ...................................................................................................................... 53
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 53
B. Saran .................................................................................................................................. 54

1
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar
1. Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intraseluler. Tulang berasal dari
embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi
tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses
mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium. Ada 206 tulang dalam
tubuh manusia, Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima bentuknya :
1) Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang disebut
diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis
terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan
yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang
panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang
rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang
memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk
dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja
tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh.
Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosterone merangsang pertumbuhan
tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng
epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis
medularis. Kanalis medularis berisi sumsum tulang.
2) Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous (spongy)
dengan suatu lapisan luar dari tulang yang pada
3) Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan
lapisan luar adalah tulang concellous
4) Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.

2
5) Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang
berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial,
misalnya patella (kap lutut).

Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri
atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam
pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas
98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan
proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral
anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan
fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel
multinuclear (berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan
remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah
osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang
dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi
melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang
menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan periosteum.
Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain
sebagai tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf,
pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang
mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum
tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang
melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan
dalam lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang).
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70 %
endapan garam. Bahan organic disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 % serat
kolagen dan kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam
terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan

3
ion magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat
kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan organic menyebabkan tulang memiliki
kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-
garam menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan
tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa
pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama
hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor makanan,
dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-
sel pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon
terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu
pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari
garamgaram kalsium mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa
minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari
osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya
tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang menghubungkan
osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik
di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang, sebagian
ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal ini dianggap
sebagai kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat
antara tulang, cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan dengan
pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel yang disebut
osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-
sel mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan
berbagai asam dan enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis.
Osteoklas biasanya terdapat pada hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan
memfagosit tulang sedikit demi sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas
menghilang dan muncul osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong

4
tersebut dengan tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah
melemah diganti dengan tulang baru yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan tulang
terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan remaja,
aktivitas osteoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih
panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada
tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan
osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total massa tulang konstan. Pada usia
pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang
mulai berkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang yang
mengalami imobilisasi. Pada usia decade ketujuh atau kedelapan, dominansi
aktivitas osteoklas dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah
patah.. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh beberapa factor fisik dan
hormone.
Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas dirangsang oleh olah raga
dan stres beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang.
Fraktur tulang secara drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme
pastinya belum jelas. Estrogen, testosteron, dan hormone perturnbuhan adalah
promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan
tulang dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya kadar hormon-hormon
tersebut. Estrogen dan testosteron akhirnya menyebabkan tulang-tulang panjang
berhenti tumbuh dengan merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung
pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas
osteoblas berkurang. Defisiensi hormon pertumbuhan juga mengganggu
pertumbuhan tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama dikontrol
oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang
terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat
sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid
meningkatkan aktivitas osteoklas dan merangsang pemecahan tulang untuk
membebaskan kalsium ke dalam darah. Peningkatan kalsium serum bekerja secara

5
umpan balik negatif untuk menurunkan pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut.
Estrogen tampaknya mengurangi efek hormone paratiroid pada osteoklas.
Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan
menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan ekskresi
ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin
D di ginjal bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu
hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai respons terhadap peningkatan
kadar kalsium serum. Kalsitonin memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan
pernbentukan osteoklas. Efek-efek ini meningkatkan kalsifikasi tulang sehingga
menurunkan kadar kalsium serum.

b. Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
1) Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
2) Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paruparu) dan jaringan
lunak.
3) Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan).
4) Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema
topoiesis).
5) Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

2. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku
Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang dating lebih besar dari yang
dapat diserap oleh tulang.
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2000). Pendapat lain menyatakan

6
bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh
atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).

3. Etiologi
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam
jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.

4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan
yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
a. Faktor Ekstrinsik

7
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap
besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
b. Faktor Intrinsik Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbs dari tekanan, elastisitas,
kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.

5. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alas an yang praktis , dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.


1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.

c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.


1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.

8
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.

d. Berdasarkan jumlah garis patah.


1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.

e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.


1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu
dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

f. Berdasarkan posisi frakur


Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
 1/3 proksimal
 1/3 medial
 1/3 distal

9
g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulangulang.
h. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.

6. Manifestasi klinik
a. Deformitas
b. Bengkak/edema
c. Echimosis (memar)
d. Spasme otot
e. Nyeri
f. Kurang/hilang sensasi
g. Krepitasi
h. Pergerakan abnormal
i. Rontgen abnormal

7. Test diagnostis
a. Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnyatrauma, skan
tulang, temogram, scan CI: memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
b. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.

10
c. Peningkatan jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple,
atau cederah hati.

8. Penatalaksanaan medic
a. Fraktur terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum
terlalu jauh meresap. Dilakukan :
1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotic
b. Seluruh fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis
(brunner, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun
prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi
fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan
kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus
dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan
prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan

11
anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips,
biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi
dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus
dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran
yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x
digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang.
Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika
kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk
pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang
yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke
rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat
bagi fragmen tulang.

3) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. - Imobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam

12
dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur

4) Rehabilitasi.
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi
harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. Pengkajian
peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi
diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas
dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan,
perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan
isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian
bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya,
fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang
memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres
pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan
beban berat badan.

9. Proses penyembuhan luka


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru
diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada
lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
a. Stadium satu-pembentukan Hematoma’
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel
darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat
tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan
perdarahan berhenti sama sekali.
b. Stadium dua-proliferasi seluler

13
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago
yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami
trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang
lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen
tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai,
tergantung frakturnya.
c. Stadium tiga-pembentukan kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik,
bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga
kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai
berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal
dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman
tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4
minggu setelah fraktur menyatu.
d. Stadium empat-konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast
menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya
osteoclast mengisi celahcelah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang
baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum
tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
e. Stadium lima-Remodelling
f. Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan
pembentukan tulang yang terusmenerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan
pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan
normalnya.

14
10. Komplikasi
a. Komplikasi awal
1) Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan
2) Kompartement syndrome
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan
yang terlalu kuat.
3) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak
yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
4) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam.
Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia

15
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.

b. Komplikasi dalam waktu lama


1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

16
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan data
a. Anamnesa
1) Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.

17
3) Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini
bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
4) Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-
penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain
itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
5) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetic (Ignatavicius, Donna D, 1995).
6) Riwayat psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
7) Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi

18
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain
itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
b) Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua klien
fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
c) Pola aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko
untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius,
Donna D, 1995)
d) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995)
e) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995)..

19
f) Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola reproduksi seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
h) Pola penanggulangan stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
i) Pola tata nilai dan keyakian
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena
nyeri dan keterbatasan gerak klien

b. Pemeriksaan fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi
hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran umum
a) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda
seperti :
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.

20
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1) System integument
Terdapat erytema, suhu sekitar trauma meningkat, bengkak, oedema,
nyeri tekan
(2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu normo chepalik, simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada
(3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada
(4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(5) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan)
(6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal, tidak ada lesi atau
nyeri tekan
(7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernapasan cuping hidung.
(8) Mulut dan faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
(9) Thoraks
Tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.

21
(10) Paru
(a) Inspeksi
Pernapasan meningkat, regular atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru
(b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan lainnya
(d) Auskultasi
Suara napas normal, tak ada wheezing atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronhi
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung
(b) Palpasi
Turgor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan
(d) Auskultasi
Peristaltic usus normal ±20 kali/menit

c. Pemeriksaan diagnostic
1) Pemeriksaan radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu
AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena
adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan xray harus atas dasar
indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:

22
(a) Bayangan jaringan lunak.
(b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi.
(c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(a) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan
struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada
struktur lain juga mengalaminya.
(b) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(c) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
(d) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

2) Pemeriksaan labratorium
(a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
(b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.

3) Pemeriksaan lain-lain
(a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
(b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.

23
(c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
(d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
(e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
(f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

B. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah sebagai
berikut:
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
2. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler,
edema, pembentukan trombus)
3. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,
4. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi)
5. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
6. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang
terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang
akurat/lengkapnya informasi yang ada
(Doengoes, 2000).

24
C. Intervensi
No Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi
1. 1. Nyeri akut b/d spasme otot, Klien mengataka nyeri 1. Pertahankan imobilasasi
gerakan fragmen tulang, edema, berkurang atau hilang bagian yang sakit dengan
cedera jaringan lunak, dengan menunjukkan tirah baring, gips, bebat dan
pemasangan traksi, stress/ tindakan santai, mampu atau traksi
ansietas. berpartisipasi dalam
beraktivitas, tidur, istirahat 2. Tinggikan posisi ekstremitas
dengan tepat, menunjukkan yang terkena.
penggunaan keterampilan
relaksasi dan aktivitas 3. Lakukan dan awasi latihan
trapeutik sesuai indikasi gerak pasif/aktif.
untuk situasi individual
4. Lakukan tindakan untuk
meningkatkan kenyamanan
(masase, perubahan posisi)

5. Ajarkan penggunaan teknik


manajemen nyeri (latihan
napas dalam, imajinasi
visual, aktivitas dipersional)

6. Lakukan kompres dingin


selama fase akut (24-48 jam
pertama) sesuai keperluan.

7. Kolaborasi pemberian
analgetik sesuai indikasi.

25
22. Risiko disfungsi neurovaskuler Klien akan menunjukkan 1. Dorong klien untuk secara
2. perifer b/d penurunan aliran fungsi neurovaskuler baik rutin melakukan latihan
darah (cedera vaskuler, edema, dengan kriteria akral hangat, menggerakkan jari/sendi
pembentukan trombus) tidak pucat dan syanosis, bisa distal cedera.
bergerak secara aktif
2. Hindarkan restriksi sirkulasi
akibat tekanan bebat/spalk
yang terlalu ketat.

3. Pertahankan letak tinggi


ekstremitas yang cedera
kecuali ada kontraindikasi
adanya sindroma
kompartemen.

4. Berikan obat antikoagulan


(warfarin) bila diperlukan.

5. Pantau kualitas nadi perifer,


aliran kapiler, warna kulit
dan kehangatan kulit distal
cedera, bandingkan dengan
sisi yang normal.

3. 3. Gangguan pertukaran gas b/d Klien akan menunjukkan 1. Instruksikan/bantu latihan


perubahan aliran darah, emboli, kebutuhan oksigenasi napas dalam dan latihan
terpenuhi dengan kriteria batuk efektif.
klien tidak sesak nafas, tidak
cyanosis analisa gas darah 2. Lakukan dan ajarkan
dalam batas normal perubahan posisi yang aman
sesuai keadaan klien.

26
3. Kolaborasi pemberian obat
antikoagulan (warvarin,
heparin) dan kortikosteroid
sesuai indikasi.

4. Analisa pemeriksaan gas


darah, Hb, kalsium, LED,
lemak dan trombosit

5. Evaluasi frekuensi
pernapasan dan upaya
bernapas, perhatikan adanya
stridor, penggunaan otot
aksesori pernapasan, retraksi
sela iga dan sianosis sentral.

4. 4. Gangguan mobilitas fisik b/d Klien dapat meningkatkan/ 1. Pertahankan pelaksanaan


kerusakan rangka neuro mempertahankan mobilitas aktivitas rekreasi terapeutik
muskuler, nyeri, terapi restriktif pada tingkat paling tinggi (radio, koran, kunjungan
(imobilisasi) yang mungkin dapat teman/keluarga) sesuai
mempertahankan posisi keadaan klien.
fungsional meningkatkan
kekuatan/fungsi yang sakit 2. Bantu latihan rentang gerak
dan mengkompensasi bagian pasif aktif pada ekstremitas
tubuh menunjukkan tekhnik yang sakit maupun yang
yang memampukan sehat sesuai keadaan klien.
melakukan aktivitas
3. Berikan papan penyangga
kaki, gulungan
trokanter/tangan sesuai
indikasi.

27
4. Bantu dan dorong
perawatan diri (kebersihan/
eliminasi) sesuai keadaan
klien.

5. Ubah posisi secara periodik


sesuai keadaan klien.

6. Dorong/pertahankan asupan
cairan 2000-3000 ml/hari.

7. Berikan diet TKTP.

8. Kolaborasi pelaksanaan
fisioterapi sesuai indikasi.

9. Evaluasi kemampuan
mobilisasi klien dan
program imobilisasi
5. Gangguan integritas kulit b/d Klien menyatakan ketidak 1. Pertahankan tempat tidur
fraktur
5 terbuka, pemasangan nyamanan hilang, menunjuk yang nyaman dan aman
5. traksi (pen, kawat, sekrup) kan perilaku tekhnik untuk (kering, bersih, alat tenun
mencegah kerusakan kulit/ kencang, bantalan bawah
memudahkan penyembuhan siku, tumit).
sesuai indikasi, mencapai
penyembuhan luka sesuai 2. Masase kulit terutama
waktu/penyembuhan daerah penonjolan tulang
lesi terjadi dan area distal bebat/gips

3. Lindungi kulit dan gips


pada daerah perianal

28
4. Observasi keadaan kulit,
penekanan gips/bebat
terhadap kulit, insersi
pen/traksi.

6. Risiko infeksi b/d Klien mencapai 1. Lakukan perawatan pen steril


ketidakadekuatan pertahanan penyembuhan luka sesuai dan perawatan luka sesuai
6. primer (kerusakan kulit, waktu, bebas drainase protokol
taruma jaringan lunak, purulen atau eritema dan
prosedur invasif/traksi tulang) demam 2. Ajarkan klien untuk
mempertahankan sterilitas
insersi pen.

3. Kolaborasi pemberian
antibiotika dan toksoid
tetanus sesuai indikasi.

4. Analisa hasil pemeriksaan


laboratorium (Hitung darah
lengkap, LED, Kultur dan
sensitivitas luka/ serum/
tulang)

5. Observasi tanda-tanda vital


dan tanda-tanda peradangan
lokal pada luka.

7. Kurang pengetahuan tentang klien akan menunjukkan 1. Kaji kesiapan klien mengikuti
7. kondisi, prognosis dan pengetahuan meningkat program pembelajaran.
kebutuhan pengobatan b/d dengan kriteria klien
kurang terpajan atau salah mengerti dan memahami

29
interpretasi terhadap tentang penyakitnya 2. Diskusikan metode mobilitas
informasi, keterbatasan dan ambulasi sesuai program
kognitif, kurang akurat/ terapi fisik.
lengkapnya informasi yang
ada 3. Ajarkan tanda/gejala klinis
yang memerluka evaluasi
medik (nyeri berat, demam,
perubahan sensasi kulit distal
cedera)

4. Persiapkan klien untuk


mengikuti terapi pembedahan
bila diperlukan.

30
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Pengkajian

Ruang Rawat : ICU

No. Rawat : 10-22-09

1. Nama/umur : Tn. F/44 tahun Agama : Kristen

Pendidikan : SD Bahasa yg digunakan : Indonesia

Pekerjaan : Wiraswata Status perkawinan : M/S/D/J

Tanggal MRS : 10-02-2018 Tgl & Jam pengambilan data : 16-02-2018

Diagnosa Medis : Fraktur Humerus Sinistra + Syok Hipovolemik

2. Riwayat kesehatan :
a. Riwayat kesehatan sekarang :
1) Alasan MRS :
Klien mengalami kecelakaan lalu lintas, cedera tangan bagian kiri.
2) Keluhan utama :
Mengeluh nyeri pada tangan sebelah kiri
3) Riwayat keluhan utama :
Klien mengalami kecelakaan lalu lintas dengan keadaan tangan bagian kiri klien
cedera, pada tanggal 10-02-2018. Klien di antar oleh keluarganya dengan keluhan
nyeri pada tangan bagian kiri, klien tampak meringis, nyeri dalam skala 5, nyeri
yang klien rasakan ketika klien banyak beraktivitas.

31
b. Riwayat kesehatan
Klien mengatakan tidak pernah mengalami keadaan yang sama seperti sekarang dan
tidak pernah mengalami operasi serta pengobatan yang lama di rumah sakit.

c. Riwayat kesehatan keluarga :


Klien mengatakan tidak ada anggota keluarganya yang mengalami keadaan yang
sama seperti klien

3. Pemeriksaan fisik/biologis :
a. Kesadaran umum : Lemah
b. TTV : TD :120/70 mmHg SUHU : 36,3°C
Nadi : 76x/m Pernapasan : 32x/m
1) BB sebelum/setelah sakit : 55/52 kg TB : 165 cm
2) Kesadaran : Composmentis
3) Kepala : rambut terlihat kotor, terdapat uban, adanya luka jahitan di dahi
bagian kiri
4) Muka : tampak meringis menahan nyeri, wajah tampak pucat
5) Mata : mata simetris, keadaan penglihatan baik
6) Telinga : telinga simetris, pendengaran sebelah kiri berkurang dan terdapat
bekas luka
7) Hidung : keadaan hidung simetris, penciuman baik, dapat membedakan
bau
8) Mulut : mukosa bibir kering, tidak terdapat luka
9) Gigi : gigi lengkap, terdapat lubang di gigi bagian belakang kiri dan
kanan
10) Lidah : tidak terdapat luka, masih dapat merasakan makanan yang
diberikan
11) Tenggorokan : tidak terdapat nyeri pada saat menelan
12) Leher : tidak terdapat pembengkakan kelenjar tiroid, tidak ada nyeri

32
tekan.
13) Dada : tidak tersapat nyeri tekan, bentuk dada barellchest, tidak terdapat
otot bantu saat bernapas
14) Abdomen : tidak terdapat nyeri tekan pada bagian perut pasien, tidak terdapat
Lesi dan tidak terdapat kelainan lainnya
15) Genital : klien menggunakan kateter
16) Integument : keadaan kulit lembab karena berkeringat, turgor kulit baik, dan
tidak terdapat kelainan
17) Ekstremitas : kaki kiri terdapat luka,di karenakan pengambilan keadaan kaki
simetris dapat digerakan ke kiri dan Ke kanan, pada tangan kiri
terdapat luka dan tidak dapat di gerakan, nekrotik, akral tangan
kiri dingin, tangan dalam keadaan di perban dan terpasang drain,
tidak terdapat nadi.

4. Pemeriksan Status Neurologis (Khusus untuk pasien dengan gangguan system


persyarafan)
 GCS : E..4 M..5 V..6
 Koordinasi dan kekuatan otot :
5 0

5 5

33
a. Pola Kebiasaan Klien
1) Nutrisi
Kegiatan Sebelum sakit Saat Sakit
Jenis makanan Nasi + sayur dan ikan Nasi + sayur dan ikan
Frekuensi makan 3x/ hari + Porsi habis 3x/hari tidak dihabiskan
Makanan pantangan Tidak ada Tidak ada
Kebiasaan Merokok. Mencuci Tidak ada
sebelumakan tangan
Diet - -

2) Eliminasi Urine
Kegiatan Sebelum sakit Saat sakit
Frekuensi 7x/hari Klien menggunakan
kateter
Warna Kuning Kuning
Bau Amoniak Amoniak
Jumlah urine 1500ml 1.800 ml / hari

3) Eliminasi fecal
Kegiatan Sebelum sakit Saat sakit
Frekuensi 1x/hari Belum ada BAB
Warna Kuning -
Bau Khas feses -
Konsistensi Lunak -
Penggunaan obat Tidak ada -
pencahar

34
4) Balance Cairan
Kegiatan Sebelum sakit Saat sakit
Masukan cairan (1 Hari) 1. 4 botol Rl (2.000
ml/hari)
- 2. Minum 1 botol aqua
besar ( 1.500 ml/hari)
3. Total = 3500 ml
Haluaran cairan (1 Hari) 1. Pagi 750 ml
2. Siang 550 ml
-
3. Malam 500 ml
4. Total = 1.800 ml / hari
Frekuensi
Jenis cairan Air minera + RL
IWL (1 hari)

5) Aktivitas
Kegiatan Sebelum sakit Saat sakit
Aktivitas ringan Bekerja di rumah Berbaring di tempat tidur
Aktivitas berat Supir truk angkut Tidak ada
pasir
Frekuensi Setiap hari Pasien hanya dibantu

6) Istirahat dan Tidur


Kegiatan Sebelum sakit Saat sakit
Tidur siang (Jmlh dlm 3 jam dan Cuma hari 3 jam
Jam) minggu dapat tidur
siang
Tidur malam (jmlh dlm 3 jam 5 jam
Jam)
Gangguan tidur Karena sibuk kerja Posisi tidur kurang

35
nyaman
Kebiasaan sebelum tidur Minum kopi, Tidak ada
merokok

7) Kebiasaan lainnya : Kebiasaan klien merokok

b. Data Psikologi, Sosiologis, seksual dan spiritual


1) Psikologi
Klien terlihat gelisa dengan keadaannya yang di alaminya saat ini
2) Sosiologis
Pada sosiologis klien tidak ada keluhan yang dilontarkan klien
3) Seksual
Pada seksual klien tidak ada keluhan / gangguang
4) Spiritual
Klien hanya bisa menjalani ibadahnya di tempat tidur, dan selalu berdoa untuk di
berikan jalan terbaik bagi dirinya dan penyakit yang di deritanya

c. Data Penunjang ( EKG, EEG. Laboratorium, Pemeriksaan radiologi dan lain – lain) :
Pemeriksaan Radiologi Laboratorium Terapi Medis
1. Fraktur Humerus 1. WBC : 15,8 1. Inj Ranitidine 1 gr /
Sinistra pada 2. LYM : 2,4 12 jam / iv
bagian tangan 3. MON : 1,3 2. Inj metronidazole / 8
sebelah kiri 4. GRA : 12,1 jam / iv
5. LYM % : 15,4 3. Inj pumpisel 40 gm /
6. MON % : 8,0 12 jam / iv
7. GRA : 76, 6 4. Inj antrain 8 jam / iv
8. RBC : 3,30 5. Inj dexamethasone 8
9. HGB : 9,5 jam / iv
10. HCT : 28,8 6. Metropenazole 1 gr /
11. MCV : 87,3 12 j
12. MCH : 28,8

36
13. MCHC : 33,0
14. RDWC : 13,8
15. RDWS : 53,6
16. PLT : 240
17. MPV : 7,4
18. PCT : 0,178
19. POW : 13,7
20. PLCR : 9,5

d. Rumusan Masalah
1) Resiko syok berhubungan hypovolemik
2) Nyeri akut berhubungan dengan cedera fisik
3) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan suplai
darah ke jaringan Humerus Sinistra
4) Hambatan mobilitas fisik di tempat tidur berhubungan dengan gangguan
musculoskeletal

37
ANALISA DATA

NO DATA ETIOLOGI MASALAH


1  Hipovolemia Hipovelemik Risiko syok
 Infeksi
 Sepsis
 Hipoksia

2 DS: Cidera fisik Nyeri akut


 klien mengatakan merasa
nyeri pada bagian bekas
operasi

DO:
 wajah tampak pucat
 ekspresi wajah meringis
 skala nyeri 5
 klien tidur hanya 1 jam
karena merasa nyeri

3 DS:
 klien mengatakan nyeri Penurunan suplai darah Ketidakefektifan perfusi
pada tangan kirinya pada kejaringan jaringan perifer
luka oprasinya
 klien mengatakan tidak
merasakan perabahan
pada area tangan kirinya
DO:
 terdapat luka pada tangan
kiri klien

38
 tangan kiri klien tidak
berfungsi dengan baik
 terdapat verban pada
tangan kiri klien
 akral tampak nekrotik
 klien tampak berkeringat
 HB kurang
HGB : 9,5

4 DS:
 klien mengatakan tidak Gangguan Hambatan mobilitas di
dapat menggerakan musculoskeletal tempat tidur
tangan kirinya
 klien mengatakan di bantu
saat melakukan aktivitas
 separti merubah posisi
tidur
DO:
 klien tampak susah dan
tidak dapat menggerakan
tangan kirinya
 klien tampak di bantu saat
melakukan aktivitas
seperti merubah posisi
tidur
 terpasang drain pada
tangan kiri klien
 akral dingin
 nicrotik

39
RENCANA KEPERAWATAN

NO Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi (NIC)


(NOC)
1 Risiko syok b/d Setelah di lakukan tindakan Pemberian produk –
hipovelemik keperawatan selama 3x24 produk darah
jam di harapkan masalh 1. Cek kembali instruksi
keperawatan nyeri dapat dokter
berkurang dari sedang ke 2. Dapatkan atau
ringan dengan kriteria hasil verifikasi kesediaan
1. keparahan komplikasi (informed consent )
akibat reaksi transfusi pasien.
darah ( reaksi transfusi 3. Cek kembali pasien
darah) dengan benar, tipe
darah, tipe RH,
jumlah unit, waktu
kadarluarsa dan catat
per protocol di agensi
4. Instruksikan pasien
mengenai tanda dan
gejala reaksi terhadap
transfuse ( gatal,
pusing, nafas pendek,
dan atau nyeri dada.)
5. Berikan saline ketika
transfusi di selesaikan

40
2 Nyeri akut b/d Cidera fisik Setelah di lakukan tindakan Manejemen nyeri
keperawatan selama 6x24 1. lakukan pengkajian
jam di harapkan masalh nyeri
keperawatan nyeri dapat 2. tentukan akibat dari
berkurang dari sedang ke pengalaman nyeri
ringan dengan kriteria hasil: 3. berikan informasi
1. klien mampu mengontrol mengenai nyeri
nyeri (Pain Control ) 4. dorong pasien untuk
menggunakan obat-
obat penurun nyeri
5. dukung istrahat /tidur
yang akurat untuk
membantu penurunan
nyeri
6. dorong pasien untuk
memonitoring nyeri
dan menangani nyeri
dengan terapi

3 Ketidakefektifan perfusi Setelah di lakukan tindakan Manajemen Hipovolemi


jaringan perifer b/d keperawatan selama 6x24 1. Monitor adanya tanda
Penurunan suplai darah jam masalah keperawatan – tanda dehidrasi (
kejaringan humerus Sinistra ketidakefektifan perfusi misalnya, tugor kulit
jaringan perifer dapat buruk, capillary refill
terartasi dengan kriteria hasil: terlambat, nadi lemah,
1. Keadekuatan aliran darah sangat haus,
melalui pembulu darah membrane muskosa
kecil ekstremitas untuk kering, dan penurunan
mempertahankan fungsi urine output.

41
(perfusi jaringan perier) 2. Monitor adanya
sumber – sumber
kehilangan cairan
(misalnya,
pendarahan, muntah,
diare, keringat yang
berlebihan, dan
takipnea)
3. Monitor adanya bukti
laboratorium terkait
dengan kehilangan
darah ( misalnya,
Hemoglobin,
Hematokrit, Tes fekal
adanya gumpalan
darah) jika tersedia.
4. Berikan cairan IV
isotonic yang
diresepkan (misalnya
cairan normal saline /
lactated ringer) untuk
rehidrasi ekstra seluler
dengan tetesan dan
aliran yang tepat
5. Berikan cairan
hipotonik IV yang
diresepkan (misalnya,
5% dextrose dalam
cairan / 0.45% sodium
chloride ) untuk
rehidrasi intra seluler

42
pada tetesan aliran
yang tepat dengan
tepat.
6. Berikan produk darah
yang diresepkan untuk
meningkatkan tekanan
plasma onkotik dan
mengganti volume
darah, dengan tepat.
4 Hambatan mobilitas di Setelah di lakukan tindakan Pengaturan Posisi
tempat tidur b/d Gangguan keperawatan selama 6x24 1. imobilitas atau topang
musculoskeletal jam masalah keperawatan bagian tubuh yang
hambatan mobilitas di tempat terganggu dengan
tidur dapat teratasi dengan tepat
kriteria hasil: 2. berikan posisi yang
1. gerakan sendi dengan terapeutik
bantuan ( pergerakan 3. jangan berikan
sendi pasif) tekanan pada bagian
tubuh yang terganggu
4. pertahankan posisi
yang tepat saat
mengatur posisi pasien
5. pertahankan
kesejajaran tubuh yang
tepat
6. dukung pasien untuk
berpartisipasi dalam
perubahan posisi

43
No Diagnose keperawatan Implementasi Evaluasi
1 Risiko syok b/d Pemberian produk – S: - klien mengatakan tidak
hipovelemik produk darah merasakan syok
1. mencek kembali instruksi
dokter dengan Hasil :
pemberian tranfusi darah
dengan golongan darah A
sebanyak 2 kantong

2. memverifikasi kembali
kesediaan (informed
consent ) pasien. Dengan
hasil : menanyakan
kembali pada pasien
kesediaanya untuk di
lakukan transfusi darah

3. mencek kembali pasien


dengan benar, tipe darah,
tipe RH, jumlah unit,
waktu kadarluarsa dan
catat per protocol di
agensi Dengan hasil : tipe
darah gol. A sebanyak 2
kantong yang di berikan
pada pasien

4. menginstruksikan pasien
mengenai tanda dan

44
gejala reaksi terhadap
transfuse ( gatal, pusing,
nafas pendek, dan atau
nyeri dada.) Dengan
Hasil : menanyakan
kembali pada pasien apa
yang di rasakan pasien
selama di lakukan
transfusi darah dan klien
mengatakan tidak
mengalami pusing, sakit
gatal dan sesak nafas.

5. memberikan saline ketika


transfusi di selesaikan
Dengan Hasil :
membersihkan kembali
atau melanjutkan kembali
pemberian cairan melalui
IVFD dengan cairan RL
20 tts/mnt

2 Nyeri akut b/d Cidera Manejemen nyeri S: Klien mengatakan masih


fisik 1. melakukan pengkajian merasa nyeri
nyeri pada pasien dengan
hasil sakala nyeri 5
(sedang) dari 1-10 O: Wajah klien tampak
meringis
2. menentukan akibat dari

45
pengalaman nyeri

A: Masalah belum teratasi


3. memberikan informasi
mengenai nyeri

4. mendorong pasien untuk P: Lanjutkan intervensi


menggunakan obat-obatan
penurun nyeri dengan
hasil klien di berikan
Inj. Antrain 8j/iv

5. mendukung istrahat/tidur
yang adekuat untuk
membantu penurunan
nyeri dengan hasil klien
dapat tertidur hanya 1 jam.

6. Mendorong pasien untuk


memonitoring nyeri dan
menangani nyeri dengan
tepat dengan hasil
3 Ketidakefektifan Manajemen Hipovolemi S : klien masih tidak
perfusi jaringan perifer 1. Monitor adanya tanda – merasakan perabahan pada
b/d Penurunan suplai tanda dehidrasi ( misalnya, area tangan kirinya
darah kejaringan tugor kulit buruk, capillary
refill terlambat, nadi O : - keadaan tangan kiri
lemah, sangat haus, nicrotik
membrane muskosa
kering, dan penurunan
urine output. Dengan hasil

46
: tugor kulit buruk (
nekrotik) pada tangan
sebelah kanan

2. Monitor adanya sumber –


sumber kehilangan cairan
(misalnya, pendarahan,
muntah, diare, keringat
yang berlebihan, dan
takipnea) dengan hasil
: pasien berkeringat
Berlebihan

3. Monitor adanya bukti


laboratorium terkait
dengan kehilangan darah (
misalnya, Hemoglobin,
Hematokrit, Tes fekal
adanya gumpalan darah)
jika tersedia.dengan hasil
: HGB : 9,5
WBC : 15,8

4. Berikan cairan IV isotonic


yang diresepkan (misalnya
cairan normal saline /
lactated ringer) untuk
rehidrasi ekstra seluler
dengan tetesan dan aliran
yang tepat dengan hasil
: pemberian cairal RL

47
500ml

5. Berikan cairan hipotonik


IV yang diresepkan
(misalnya, 5% dextrose
dalam cairan / 0.45%
sodium chloride ) untuk
rehidrasi intra seluler pada
tetesan aliran yang tepat
dengan tepat.dengan hasil
: pemberian cairan Nacl
500ml

6. Berikan produk darah


yang diresepkan untuk
meningkatkan tekanan
plasma onkotik dan
mengganti volume darah,
dengan tepat. Dengan hasil
: pemeberian transfuse
darah golongan darah A 2
kantung sebanyak 700cc
4 Hambatan mobilitas di Pengaturan Posisi S:
tempat tidur b/d 1. Melakukan tindakan 1. Klien mengatakan
Gangguan menopang bagian tubuh masih susah untuk
musculoskeletal yang terganggu dengan menggerakan
hasil menopangnya tangannya
dengan bantal 2. Klien mengatakan
masih di bantu untuk
2. Memberikan posisi semi merubah posisi
fowler dan supinasi sesuai tidurnya

48
dengan kenyamanan dan
permintaan klien O:
Klien tampak masih di
bantu saat merubah
3. Tidak memberikan posisi tidurnya
tekanan pada daerah
tangan yang mengalami
masalah
A: Masalah belum teratasi
4. Mempertahankan posisi
yang di berikan sesuai
tingkat kenyamanan P: Lanjutkan intervensi
pasien seperti posisi semi
fowler dan posisi supinasi

5. Menganjurkan pada
pasien untuk
mempertahankan posisi
sesuai kenyamanannya
yang sudah di berikan

6. Mengajarkan keluarga
untuk mengatur posisi
pasien sesuai tingkat
kenyamanannya

49
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Penjelasan
Perbadingan terhadap perdiagnosa yang telah di pilih sebagai diagnosa prioritas utama
pada kasus Fraktur Humerus Sinistra + Syok Hipovolemik, pada kelompok kami
mengangkat diagnose yaitu
1. AResiko syok berhubungan hypovolemik
2. Nyeri akut berhubungan dengan cedera fisik
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan suplai darah ke
jaringan Humerus Sinistra
4. Hambatan mobilitas fisik di tempat tidur berhubungan dengan gangguan
musculoskeletal

50
Dengan diagnosa di atas yang telah kelompok angkat sebagai mana menjadi prioritas
masalah dalam kasus Fraktur Humerus Sinistra + Syok Hipovolemik berdasarkan hasil
pengkajian kelompok dan pengamatan kelompok.

B. Penjelasan Perdiagnosa
1. Resiko syok berhubungan dengan Hypovolemik
Diagnosa ini kami angkat dikarenakan pasien kami mengalami pendarahan dan pada
pemeriksaan Laboratorium di RSUD Poso di dapatkan bahwa HB dari Tn F mengalami
kekurangan, dimana orang dewasa normalnya memiliki volume darah Pada orang
dewasa, rata-rata terdapat 4,5 - 5,5 liter darah yang bersirkulasi dalam tubuh. Dan rata
nilai HB normal pada org dewasa pemeriksaan leb laboratorium adalah Pria 14-18 gr/dl
dan pada HB Tn F adalah HGB : 9,5.
Dan dikarenakan hal ini kami mengangkat diagnose Resiko Syok berhubungan
dengan Hypovolemik yang bertujuan untuk melakukan tindakan pencegahan resiko syok
terhadap pasien pada Tn F tersebut.

2. Nyeri akut berhubungan dengan cedera fisik


Diagnosa ini kami angkat dikarenakan pasien kami mengalami nyeri yang berskala 5
yang membuat dirinya tidak nyaman dan terganggu dalam beraktivitas, menggerakan
badan dan ekstremitasnya, dan membuat dirinya sulit untuk beristirahat dengan tenang,
nyeri yang di alami oleh Tn F membuat dirinya tidak tenang dan selalu sulit untuk
bergerak dan tidak merasa nyaman, pada saat di kaji Tn F mengeluh kesakitan terhadap
tangan kirinya dan membuat dirinya berkeringat menahan nyeri pada tangan kirinya.
Dalam hal ini kami mengangkat diagnose nyeri akut berhubungan dengan cedera
fisik untuk meringankan rasa nyeri yang di alami Tn F agar dirinya bisa seluasa untuk
dapat beristirahat dengan baik tanpa ada gangguan terhadap nyeri yang ia rasakan.

51
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan suplai darah ke
jaringan Humerus Sinistra
Pada diagnosa ini kami memilih ini di karenakan pada saat pengkajian terhadap
ekstremitas atas sebela kirinya, keadaan tangan kiri dari Tn F mengalami nicrotik, tugor
kulit buruk, dan keadaan akralnya sangat dingin, Tn F sudah tidak bisa merasakan
sentuhan pada tangan sebelah kirinya dan tidak dapat lagi ia gerakan jari- jari pada
tangan kirinya. Dalam diagnosa ini dalam intervensi nya kami memonitoring keadaan
tangan Tn F, melihat tugor kulitnya, Monitor adanya sumber – sumber kehilangan cairan
(misalnya, pendarahan,) dan Berikan produk darah yang diresepkan untuk meningkatkan
tekanan plasma onkotik dan mengganti volume darah, dengan tepat.

4. Hambatan mobilitas fisik di tempat tidur berhubungan dengan gangguan


musculoskeletal
Dan diagnosa ini kami angkat di karenakan pasien Tn F dalam mobilitas fisiknya
terganggu dan sulit untuk beraktivitas dengan keadaan Tn F yang dialaminya saat ini.
Dan Tn F tidak merasa nyaman dengan ketergantungan mobilitas fisik yang di alaminya
saat itu.
Dan kami mengangkat diagnosa hambatan mobilitas fisik di tempat tidur ini agar
pasien dapat leluasa dan nyaman dalam mobilitas di tempat tidur dan merasa tidak
terganggu dan dapat beristirahat dengan baik agar pasien tidak gelisa dengan keadaan
yang ia derita saat ini.

52
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya) atau setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. hal ini di sebabkan
karena
1. Kekerasan langsung
2. Kekerasan tidak langsung
3. Kekerasan akibat tarikan otot

53
Maka dari itu kami menyimpulkan bahwa pasien Tn. F mengalami fraktur kekerasan
secara langsung. Karena fraktur dengan kekerasan secara langsung yaitu Kekerasan
langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian
sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.

B. Saran
Setelah membaca makalah ini penulis menyarankan agar pembaca dapat memahami
tentang gejala, penyebab fraktur sehingga dapat membuat kita lebih hati-hati dalam bekerja
ataupun melakukan aktifitas sehari-hari serta dapat membantu pasien fraktur .

54

You might also like