You are on page 1of 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Gagal ginjal kronik (GGK) juga dikenal sebagai penyakit gagal
ginjal tahap akhir, merupakan sindroma yang ditandai dengan kehilangan
fungsi ginjal secara progresif dan ireversibel, saat ini angka kejadian gagal
ginjal kronik meningkat secara pesat (Kizilcik et al.2012). Meningkatnya
jumlah pasien dengan gagal ginjal kronik menyebabkan kenaikan jumlah
pasien yang menjalani hemodialisis.
Berdasarkan Data Laporan Tahunan United States Renal Data
System (2013) disebutkan bahwa lebih dari 615.000 orang Amerika
sedang dirawat karena gagal ginjal. Dari jumlah tersebut, lebih dari
430.000 adalah pasien dialisis dan lebih dari 185.000 melakukan
transplantasi ginjal.
Di Indonesia, prevalensi penyakit ginjal terus meningkat setiap
tahunnya dari hasil survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI),
ada sekitar 12,5% atau 18 juta orang dewasa di Indonesia yang menderita
penyakit ginjal kronik dan pasien yang mengalami atau menderita penyakit
ginjal tahap akhir ( PGTA) mencapai 100 ribu pasien dan diperkirakan
akan terus bertambah. Sehingga penyait ginjal kronik (PGK) saat ini telah
diakui oleh badan PBB bidang kesehatan WHO, sebagai masalah
kesehatan serius dunia. Baru kira - kira 30/1.000.000 penduduk masuk
dalam penyakit ginjal tahap akhir. Di Indonesia, menurut data Asuransi
Kesehatan (ASKES) sebanyak 80.000 - 90.000 orang memerlukan terapi
pengganti ginjal (Tjempakasari,A., 2012dalam Panjaitan, 2014).

1
Pasien dengan gagal ginjal kronik yang telah terdiagnosa dalam
kondisi terminal pada umumnya akan merasakan distress emosional yang
sangat berat antara lain merasakan syok, cemas, distress dan depresi.
Pasien yang mengalami distress yaitu pengalaman emosional, psikologis,
sosial ataupun spiritual yang tidak menyenangkan akan mempengaruhi
kemampuan adaptasi atau koping pasien terhadap pengobatan. Pada
kondisi yang berat, distres dapat menyebabkan masalah seperti gangguan
ansietas, depresi, panik, dan perasaan terisolasi atau krisis
spiritual,masalah finansial beserta masalah pekerjaan. (Grimsbø, 2012).
Menurut WHO pada tahun 2007 bahwa dampak emosional,
spiritual, sosial, dan ekonomi yang dialami klien, dengan pemberian
konseling dan perawatan paliatif berdasarkan kebutuhan pasien sejak
diagnosis itu sangat penting untuk dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien dan kemampuan kopingnya (Widianti, 2012).
Berdasarkan tingkat insidensi beberapa kasus diatas dibutuhkan
upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien
dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan selain dengan
perawatan kuratif dan rehabilitatif bagi pasien dengan stadium terminal.
(Fitria C.N, 2010).

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja permasalahan paliatif care pada gagal ginjal kronik?
2. Apa jenis – jenis tindakan terapeutik untuk perawatan paliatif pada
gagal ginal kronik?
3. Bagaiamna asuhan keperawatan paliatif pada penderita gagal ginjal
kronik mengalami permasalahan paliatif?
4. Bagaimana kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik?
5. Bagaimana aspek psikospiritual dalam perawatan ginjal kronik?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu:
1. Mahasiswa mampu mengetahui apa saja permasalahan paliatif care
pada gagal ginjal kronik.
2. Mahasiswa mampu mengetahui jenis – jenis tindakan terapeutik untuk
perawatan paliatif pada gagal ginjal.
3. Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan paliatif pada
penderita gagal ginjal kronik.
4. Mahasiswa mampu mengetahui kualitas hidup penderita gagal ginjal
kronik.
5. Mahasiswa mampu mengetahui aspek psikospiritual dalam perawatan
ginjal kronik.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gagal Ginjal Kronik
1. Pengertian Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah
metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang
biasanya di eliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan
metabolik, cairan, elektrolit serta asam-basa (Suharyanto & Madjid, 2009).
Gagal ginjal adalah suatu kondisi dimana fungsi ginjal mengalami
penurunan sehingga tidak mampu lagi untuk melakukan filtrasi sisa
metabolisme tubuh dan menjaga keseimbangan cairan elektrolit seperti
sodium dan kalium di dalam darah atau urin. Penyakit ini terus berkembang
secara perlahan hingga fungsi ginjal semakin memburuk sampai ginjal
kehilangan fungsinya (Price & Wilson, 2006).
2. Etiologi
Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti
glomerolunefritis akut, gagal ginjal akut, penyakit ginjal polikistik,
obstruksi saluran kemih, pielonefritis, nefrotoksin, dan penyakit sistemik,
seperti diabetes melitus, hipertensi, lupus eritematosus, poliartritis, penyakit
sel sabit, serta amiloidosis (Bayhakki, 2013).
3. Patofisiologi
Patogenesis gagal ginjal kronik melibatkan penurunan dan kerusakan
nefron yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Total laju
filtrasi glomerulus (GFR) menurun dan klirens menurun, BUN dan kreatinin
meningkat. Nefron yang masih tersisa mengalami hipertrofi akibat usaha
menyaring jumlah cairan yang lebih banyak. Akibatnya, ginjal kehilangan
kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk melanjutkan ekskresi,
sejumlah besar urine dikeluarkan, yang menyebabkan klien mengalami
kekurangan cairan.

4
Tubulus secara bertahap kehilangan kemampuan menyerap elektrolit.
Biasanya, urine yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi
poliuri (Bayhakki, 2013).
4. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronik dikarenakan gangguan
yang bersifat sistemik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran
sirkulasi memiliki fungsi yang banyak (organs multifunction), sehingga
kerusakan kronis secara fisiologis ginjal akan mengakibatkan gangguan
keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Berikut ini adalah tanda dan gejala
yang ditunjukkan oleh gagal ginjal kronik (nanda nicnoc, 2016):
a. Memnurunnya cadangan ginjal pasien asimtomik,
b. infisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami poliuria nokturia,
kadar critenin serum sedikit meningkat di atas normal.
c. Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik (lemah
retalgi anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan,
nouropati perifer, pruritus, kejang – kejang sampai koma).
Gejala komplikasi lainnya: hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit.
5. Pemeriksaan Diagnostic
a. Laboratorium :
1) Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia,
dan hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan
jumlah retikulosit yang rendah.
2) Ureum dan kreatini : Meninggi, biasanya perbandingan antara
ureum dan kreatinin kurang lebih 20 : 1. Perbandingat meninggi
akibat pendarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas,
pengobatan steroid, dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini
berkurang ketika ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet
rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.

5
3) Hiponatremi : Umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia :
biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunya dieresis
4) Hipokalemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya
sintesis vitamin D3 pada GGK.
5) Phosphate alkaline : meninggi akibat gangguan metabolisme
tulang, terutama isoenzim fosfatase lindi tulang.
6) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia : umunya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein.
7) Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat
pada gagal ginjal ( resistensi terhadap pengaruh insulin pada
jaringan perifer ).
8) Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan
peninggian hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
9) Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukan Ph
yang menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun,
PCO2 yang menurun, semuanya disebabkan retensi asam-asam
organic pada gagal ginjal.
b. Radiology
Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal
( adanya batu atau adanya suatu obstruksi ). Dehidrasi karena proses
diagnostic akan memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab itu penderita
diharapkan tidak puasa.
c. USG
Untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih dan prostat.
d. EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia)

6
6. Penatalaksanaan Medis
Mengingat fungsi ginjal yang rusak sangat sulit untuk dilakukan
pengembalian, maka tujuan dari penatalaksanaan klien gagal ginjal kronik
adalah untuk mengoptimalkan fungsi ginjal yang ada dan mempertahankan
keseimbangan secara maksimal untuk memperpanjang harapan hidup
klien. Sebagai penyakit yang kompleks, gagal ginjal kronik membutuhkan
penatalaksanaan terpadu dan serius, sehingga akan meminimalisir
komplikasi dan meningkatkan harapan hidup klien.
Tujuan penatalaksanaan pada gagal ginjal kronis adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Semua
factor yang berperan dalam terjadinya gagal ginjal kronis dicari dan diatasi.
Adapun penatalaksanaannya yaitu : Penatalaksanaan konservatif,
Meliputi pengaturan diet, cairan dan garam, memperbaiki
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, mengendalikan hiperensi,
penanggulangan asidosis, pengobatan neuropati, deteksi dan mengatasi
komplikasi. Dan penatalaksanaan pengganti diantaranya dialysis
(hemodialisis, peritoneal dialysis) transplantasi ginjal.
Selain itu tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan
cairan dan elektrolit dan mencegah komplikasi yaitu sebagai berikut :
a. Dialisis
Dialysis dapat dlakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal
yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis
memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan
natrium dapat dikonsumsi sevara bebas, menghilangkan
kecenderungan pendarahan, dan membantu menyembuhkan luka.
b. Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi
dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus
diingat adalah jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan
pemeriksaan darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG
dan EKG.

7
Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan
mengurangi intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian
infuse glukosa.
c. Koreksi anemia
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat
meninggikan Hb. Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada
indikasi yang kuat, missal pada adanya insufisiensi koroner.
d. Koreksi asidosis.
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari.
Natrium bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral.
Hemodialisis dan dialysis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis
e. Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator
dilakukan. Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi
harus hati-hati karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
f. Transplantasi ginjal
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka
seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronik adalah
(Prabowo, 2014):
a) Penyakit tulang
b) Penyakit kardiovaskuler
c) Anemia
d) Disfungsi seksual

8
BAB III
PALIATIF CARE
PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK

A. Permasalahan Paliatif Care Pada GGK (Gagal Ginjal Kronik)


1. Depresi
Depresi adalah kondisi gangguan kejiwaan yang paling banyak
ditemukan pada pasien gagal ginjal. Prevalensi depresi berat pada
populasi umum adalah sekitar 1,1%-15% pada laki-laki dan 1,8%-23%
pada wanita, namun pada pasien hemodialisis prevalensinya sekitar
20%-30% bahkan bisa mencapai 47%. Hubungan depresi dan
mortalitas yang tinggi juga terdapat pasien-pasien yang menjalani
hemodialisis jangka panjang (Chen et al. 2010). Kondisi afeksi yang
negatif pada pasien gagal ginjal juga seringkali bertumpang tindih
gejalanya dengan gejala-gejala pasien gagal ginjal yang mengalami
uremia seperti iritabilitas, gangguan kognitif, encefalopati, akibat
pengobatan atau akibat hemodialisis yang kurang maksimal (Cukor et
al.2007)
Pendekatan psikodinamik pada gangguan depresi adalah suatu
kondisi yang berhubungan dengan hilangnya sesuatu di dalam diri
manusia tersebut. Hal ini disebut sebagai faktor eksogen sebagai
penyebab depresinya. Kondisi gagal ginjal yang biasanya dibarengi
dengan hemodialisis adalah kondisi yang sangat tidak nyaman.
Kenyataan bahwa pasien gagal ginjal terutama gagal ginjal kronis yang
tidak bisa lepas dari hemodialisis sepanjang hidupnya menimbulkan
dampak psikologis yang tidak sedikit.

9
Faktor kehilangan sesuatu yang sebelumnya ada seperti kebebasan,
pekerjaan dan kemandirian adalah hal-hal yang sangat dirasakan oleh
para pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. Hal ini bisa
menimbulkan gejala-gejala depresi yang nyata pada pasien gagal ginjal
sampai dengan tindakan bunuh diri.
Kepustakaan mencatat bahwa tindakan bunuh diri pada pasien
gagal ginjal kronis yang mengalami hemodialisis di Amerika Serikat
bisa mencapai 500 kali lebih banyak daripada populasi umum. Selain
tindakan nyata dalam melakukan tindakan bunuh diri, sebenarnya
penolakan terhadap kegiatan hemodialisis yang terjadwal dan
ketidakpatuhan terhadap diet rendah potasium adalah salah satu hal
yang bisa dianggap sebagai upaya “halus” untuk bunuh diri.
2. Sindrom Disequilibrium
Kondisi sindrom disequilibrium cukup sering terjadi pada pasien
yang menjalani hemodialisis. Hal ini biasanya terjadi selama atau
segera setelah proses hemodialisis. Kondisi ini disebabkan oleh koreksi
berlebihan dari keadaan azotemia yang membuat ketidakseimbangan
osmotik dan perubahan pH darah yang cepat. Kondisi
ketidakseimbangan ini yang membuat adanya edema serebral yang
menyebabkan timbulnya gejala-gejala klinik seperti sakit kepala, mual,
keram otot, iritabilitas, agitasi, perasaan mengantuk dan kadang
kejang. Gejala psikosis juga bisa terjadi. Sindrom disequilibrium biasa
terjadi setelah 3 s.d. 4 jam setelah hemodialisis namun bisa juga terjadi
8-48 jam setelah prosedur itu dilakukan.
3. Demensia Dialisis
Demensia Dialisis juga dikenal dengan sebutan ensefalopati
dialisis adalah sindroma yang fatal dan progresif. Pada prakteknya hal
ini jarang terjadi dan biasanya terjadi pada pasien yang sudah
menjalani dialisis paling sedikit satu tahun.

10
Kondisi ini diawali dengan gangguan bicara, seperti gagap yang
kemudian berlanjut menjadi disartria, disfasia dan akhirnya tidak bisa
bicara sama sekali. Semakin lama kondisi ini semakin berat sampai
berkembang menjadi mioklonus fokal maupun menyeluruh, kejang
fokal atau umum, perubahan kepribadian, waham dan halusinasi.
Demensia dialisis disebabkan karena keracunan alumunium yang
berasal dari cairan dialisis dan garam alumunium yang digunakan
untuk mengatur level fosfat serum. Pencegahannya dengan
menggunakan bahan dialisis yang tidak mengandung alumunium. Pada
awalnya kondisi ini dapat kembali baik namun jika dibiarkan dapat
menjadi progresif sampai dengan periode 1-15 bulan ke depan setelah
gejala awal. Kematian biasanya terjadi dalam rentang 6-12 bulan
setelah permulaan gejala.
4. Secara Fisik
Mual, muntah, nyeri, odema, lemas, sianosis, sering terjaga
5. Secara Psikologi
Ansietas (cemas), binggung, putus asa
6. Secara Sosial
Tidak mau bicara, tidak member respon terhadap pembicaraan
7. Secara Spiritual
Kehilangan keyakinan nilai luhur atau yang maha kuasa (Tuhan)
8. Secara Kultural
Persepsi pasien tentang penyakit yang dihadapinya dikaitkan dengan
kepercayaan yang dianut pasien, gelisah.

11
B. Jenis Tindakan Terapeutik Untuk Perawatan Paliatif
1. Tujuan Komunikasi Terapeutik
Dalam hal perawatan pasien, dikenal dengan istilah terapeutik atau
komunikasi terapeutik. Northouse (Dalam Suryani, 2005 : 12)
menjelaskan bahwa komunikasi terapeutik itu adalah kemampuan atau
keterampilan perawatuntuk membantu pasien beradaptasi terhadap stres,
mengatasi gangguan psikologis dan belajar bagaimaa berhubungan
dengan orang lain.Dengan demikian, tujuan dari komunikasi terapeutik
adalah untuk mengembangkan pribadi klien ke arah yang lebih positif
atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan pasien yang meliputi:
a. Penerimaan diri dari pasien terhadap penyakit, sehingga pasien bisa
menghargai dan menerima dirinya dengan penyakit yang ada dalam
tubuhnya.
b. Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak
superfisial dan saling bergantung dengan orang lain.
c. Adanya tujuan yang realistik pada diri pasien untuk kehidupan ke
depannya, serta meningkatkan kemampuan pasien untuk memenuhi
kebutuhan dirinya.
2. Penggunaan Bahasa Verbal dalam Komunikasi Perawat dan Pasien
Gagal Ginjal
Seorang pasien hemodialisis akan melakukan cuci darah minimal 2
kali dalam satu minggu dan akan berlangsung selama hidupnya. Dengan
kata lain, hemodialisis akan dilakukan secara rutin oleh pasien yang
dinyatakan gagal ginjal kronik. Hemodialisis yang dilakukan tidak
menyembuhkan penyakit gagal ginjal kronik, akan tetapi dapat
memperpanjang usia pasien, karena ginjal pasien sudah tidak berfungsi
dan digantikan dengan ginjal buatan (mesin).

12
Pada saat melakukan hemodialisis, pasien akan dicuci ginjalnya
selama 3 sampai 4 jam. Sebagai penyakit yang sudah tidak dapat
disembuhkan, maka pada tahap awal sebelum hemodialisis dilakukan,
pasien perlu memperoleh informasi yang lengkap mengenai penyakit
gagal ginjal dan konsekuensi yang akan dilalui selama hidupnya. Proses
penyampaian informasi mengenai penyakit gagal ginjal dan konsekuensi
yang ditanggung pasien.
Dalam komunikasi ada tiga hal penting yang harus ditunjukkan oleh
pelaku kesehatan, mulai dari dokter, perawat, dan berbagai profesi
kesehatan lainnya ketika berkomunikasi dengan pasien, yaitu perhatian
(attention), empati(empathy), dan kepedulian (care).
3. Penggunaan Bahasa Nonverbal dalam Komunikasi Perawat dan Pasien
Gagal Ginjal
Proses komunikasi terapeutik yang dilakukan dalam rangka
perawatan pasien tidak hanya melibatkan bahasa verbal saja, akan tetapi
juga melibatkan bahasa nonverbal seperti gerakan tubuh, sentuhan,
pakaian, jarak komunikasi, dan konsep waktu.
Dalam rangka perawatan pasien gagal ginjal kronik melalui
hemodialisis bahasa nonverbal yang turut memengaruhi komunikasi
terapeutik adalah: bahasa tuhuh, sentuhan, parabahasa, penampilan fisik,
proksemik, konsep waktu, dan artefak.
a. Bahasa tubuh
Bahasa tubuh dari para perawat dalam proses hemodialisis dapat
menjadi simbol dalam proses komunikasi terapeutik seperti wajah
(termasuk senyuman dan pandangan mata), tangan, kepala, kaki, dan
bahkan tubuh secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan perawat harus
hadir secara utuh (fisik dan psikologis) sewaktu berkomunikasi
dengan klien.

13
Perawat tidak cukup hanya mengetahui teknik komunikasi dan isi
komunikasi, tetapi yang sangat penting adalah penampilan dalam
berkomunikasi. Menghadirkan diri ini terdiri dari menghadirkan diri
secara fisik dan secara psikologis.
b. Sentuhan
Sentuhan dari sesorang akan memberikan makna yang berbeda,
tergantung pada konteks komunikasi yang dilakukan, juga tergantung
budaya yang menjadi latar belakangnya. Nilai berkomunikasi melalui
sentuhan, dianggap sangat penting dalam komunikasi antarmanusia,
seperti halnya antara dokter, perawat, dan pasien. Dalam perawatan
pasien hemodialisis, perawat seringkali menggunakan sentuhan seperti
memijat tangan atau kaki pasien dan ketika selesai melakuak
hemodialisa perawat harus memegang tangan dan menekan luka
dimana terdapat bekas tusukan jarum untuk menghentikan pendarahan
c. Parabahasa
Parabahasa atau vokalic adalah aspek dari suara, selain ucapan,
yang meliputi kecepatan berbicara, nada suara (tinggi/rendah),
intensitas (volume) suara, intonasi, kualitas vokal (kejelasan), warna
suara, dsb. Parabahasa ini akan memberikan simbol tentang perasaan
yang akan memengaruhi komunikasi di antara perawat dan pasien.
Bagaimana perawat menggunakan para bahasa dalam perawatan
hemodialisis,karena Orang yang terkena GGK biasa terjadi perubahan
dari sisi psikologis emosinya yang jadi pemarah, perasaan putus asa,
maupun tidak menerima keadaan dirinya sebagai orang yang
menderita GGK. Dengan kondisi ini, pasien seringkali dalam
hemodialisis menjadi cepat marah, atau merajuk dengan berbagai
keluhan, dan sebagainya.Disinilah peran perawat untuk membujuk
pasien dan menenangkan mereka dengan suara yang lembut dan
memberikan arahan dari sisi keagamaan.

14
Nada suara pembicara mempunyai dampak yang besar terhadap
arti pesan yang dikirimkan, karena emosi seseorang dapat secara
langsungmemengaruhi nada suaranya. Perawat harus menyadari dan
mengontrol emosinya ketika sedang berinteraksi dengan klien, karena
maksud untuk menyampaikan perhatian yang tulus terhadap klien
dapat terhalangi oleh nada suara perawat yang kurang simpatik (Stuart
dan Sundeen, dalam Suryani, 2006;48).
d. Penampilan fisik (busana)
Penampilan seseorang merupakan salah satu hal utama yang
diperhatikan selama komunikasi interpersonal. Bentuk fisik, cara
berpakaian, dan berhias, menunjukkan kepribadian, status sosial,
pekerjaan, agama, budaya, dan konsep diri (Forsyth, dalam
Suryani, 2006;47). Perawat yang memperhatikan penampilan
dirinya dapat menimbulkan citra diri yang positif dan sikap
profesional yang positif.
Penampilan fisik perawat memengaruhi persepsi klien terhadap
pelayanan/asuhan keperawatan yang diterima, karena tiap klien
mempunyai pandangan atau citra bagaimana seharusnya perawat
berpenampilan (Antai-Otong, dalam Suryani,2006;47). Walaupun
penampilan tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan, tetapi
penampilan perawat dapat memengaruhinya dalam membina
hubungan saling percaya dengan klien (Forsyth, 1993).

15
4. Perawatan Paliatif Care Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik
a. Definisi perawatan paliatif
Perawatan Paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu
yang bersifat aktif dan menyeluruh, dengan pendekatan
multidisiplin yang terintegrasi.
Perawatan paliatif untuk mencegah, memperbaiki,
mengurangi gejala-gejala suatu penyakit, namun bukan berupaya
penyembuhan.Suatu pendekatan untuk memperbaiki kualitas hidup
pasien dan keluarganya dalam menghadapi penyakit yang
mengancam jiwa, melalui pencegahan, penilaian, pengobatan nyeri
dan masalah-masalah fisik lain, juga masalah psikologis dan
spiritual lainnya .
b. Prinsip perawatan paliatif
1) Menghilangkan nyeri & gejala-gejala yang menyiksa lain
2) Menghargai kehidupan & menghormati kematian sebagai suatu
proses normal
3) Tidak bermaksud mempercepat atau menunda kematian
4) Perawatan yang mengintegrasikan aspek psikologis dan
spiritual, sosial, budaya dari pasien dan keluarganya, termasuk
dukungan saat berkabung.
5) Memberi sistim dukungan untuk mengusahakan pasien sedapat
mungkin tetap aktif sampai kematiannya.
6) Memberi sistim dukungan untuk menolong keluarga pasien
melalui masa sakit pasien, dan sewaktu masa perkabungan
c. Karakteristik perawatan paliatif
1) Menggunakan pendekatan tim untuk mengetahui kebutuhan
pasien dan keluarganya, termasuk konseling kedukaan bila
diperlukan.
2) Meningkatkan kwalitas hidup, dan juga secara positif
mempengaruhi perjalanan penyakit.

16
3) Perawaatan aktif, total bagi pasien yang menderita penyakit
yang tidak dapat disembuhkan
4) Pendekatan holistik : fisik, mental, spiritual, sosial
5) Pendekatan multi-disipliner : medis, non-medis, keluarga
d. Manfaat perawatan paliatif
1) Meningkatkan kualitas hidup Pasien GGK dan keluarganya
2) Mengurangi penderitaan pasien
3) Mengurangi frekuensi kunjungan ke rumah sakit
4) Meningkatkan kepatuhan pengobatan
e. Syarat perawatan paliatif yang baik
1) Menghargai otonomi dan pilihan pasien
2) Memberi akses sumber informasi yang adekuat
3) Ciptakan hubungan saling menghargai dan mempercayai antara
pasien dengan pemberi perawatan
4) Berikan dukungan bagi keluarga, anak, petugas sosial yang
memberikan perawatan.
5) Hormati dan terapkan nilai-nilai budaya setempat, kepercayaan
/ agama, dan adat istiadat.
f. Jenis perawatan paliatif
1) Pengobatan medikamentosa terutama penatalaksanaan nyeri
dan gejala-gejala lain
2) Perawatan psikososial berupa
a) Psikologis
b) Social
c) Spiritual
d) Kedukaan/berkabung.

17
g. Pengkajian pada Asuhan Keperawatan Paliatif Care
1) Pengkajian Fisik
Meliputi pemeriksaan kondisi fisik pasien secara keseluruhan
dari ujung rambut hingga keujung kaki (head to toe).
2) Pengkajian Psikososiospiritual
a) Kemampuan fungsi sosial
b) Kondisi mental/emosional
c) Hubungan interpersonal
d) Kegiatan yang dilakukan
e) Konflik dengan keluarga
f) Peran sstem budaya,spiritual dan aspek religius
g) Sumber keuangan
h) Komunikasi
i) Kepribadian atau personality
j) Adat isitadat yang akan memperngaru dalam pembuatan
keputusan
k) Hubungan antar anggota keluarga
l) Adanya stressor
h. Permasalahan pada pasien paliatif care
a) Nyeri 55,76%
b) Nutrisi 24%
c) Luka kanker,luka decubitus,stoma,pendarahan,inkotinensia
d) Masalah eliminasi,pernafasan,psikososiospiritual 20,24%

18
5. Asuhan Keperawatan Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik
a. Contoh Kasus
Pasien bernama Tn. F berusia 50 tahun, dirawat di Rumah
Sakit Umum AW. Sjahranie, Samarinda, karena mengidap
penyakit CKD (Chronic Kidney Diseas / Gagal Ginjal Kronis).
Pasien masuk pada tanggal 25 Oktober 2017 pada pukul 20.10
WITA. Sebelum masuk RSUD, pasien mengeluh BAK sedikit,
mual, muntah, pusing, demam hingga menggigil ketika malam
hari. Ketika dibawa ke RSUD, pasien mengeluh kedua kakinya
bengkak. Pasien mengatakan sering mengonsumsi obat – obatan
diwarung dekat rumahnyatanpa periksa terlebih dahulu mengenai
penyakitnya. Sebelumnya, pasien sudah pernah di diagnose gejala
stroke ringan, di RS. Dirgahayu Samarinda.

b. Pengkajian
1. Identitas Klien
a) Klien
 Nama : Tn. F
 Umur : 50 tahun
 Agama : Islam
 Jenis kelamin : Laki – laki
 Pekerjaan : Guru
 Suku/bangsa : Jawa/ Indonesia
 Alamat lengkap : Jl. Sirat Salman No. 19, Samarinda
 Status perkawinan : Menikah
 Tgl masuk HD : 25 Oktober 2017
 Tgl pengkajian : 25 Oktober 2017
 No. RM : 2017.987216
 Diagnose medis : CKD on HD
b) Penanggung Jawab Klien
 Nama : Ny. P
 Umur : 47 tahun
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
 Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
 Hubungan dgn Klien : Istri
 Alamat : Jl. Sirat Salman no.19,
Samarinda

19
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan
1) Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan kedua kakinya bengkak dan
terasa kaku.
2) Alasan Masuk RS
Pasien mengatakan kedua kakinya bengkak dan
kulit terasa gatal dan kering. Pasien juga mengatakan
sering mengonsumsi obat – obatan yang dibeli di
warung dekat rumah tanpa memeriksa terlebih dahulu
penyakitnya. Keluarga pasien mengatakan,
sebelumnya pasien pernah dirawat di RS. Dirgahayu
pada tahun 2014 karena gejala stroke yang di alami
oleh pasien. Pasien mulai dilakukan HD pada tanggal
20 September 2017 di Instalasi Dialysis RSUD. AW.
Sjahranie untuk dilakukan HD rutin 2 kali per minggu.
3) Kesehatan Sekarang
Pada saat pengkajian kondisi pasien terlihat
lemas. Pasien masih dalam keadaan bed rest.
Terpasang AV Blood Line pada HD Kateter. Terdapat
luka jahitan pada tangan sebelah kiri karena dipasang
AV Shunt. Pasien sudah cuci darah selama 7 kal,
seminggu selama 2 kali setiap hari Selasa dan Jumat
pagi di RSUD AW. Sjahranie.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Sebelumnya pasien sudah pernah di diagnose gejala
stroke ringan di RS. Dirgahayu pada 8 Oktober 2017.
Keluarga pasien menyatkan pasien mempunyai riwayat
Hipertensi dan Diabetes Mellitus sejak 10 tahun yang lalu.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga pasien ada yang menderita gejala stroke yaitu
kakak pasien. Keluarga pasien mempunyai riwayat
hipertensi. Tidak ada pentyakit menular dari keluarga
pasien seperti TBC, HIV/AIDS, Gonorrhae, Kusta, dll.

20
3. Pola Kebiasaan
a. Aspek Fisik dan Psikologi
1) Pola Nutrisi
a) Intake Nutrisi
(1) Sebelum Sakit
Pasien mengatakan makan 3 x sehari, dengan menu
nasi, sayur, dan lauk. Keluarga pasien mengatakan
pasien dilarang makan makanan yang terlalu asam,
pedas, bersantan pekat, terlalu asin, dan dagung
merah.
(2) Selama Sakit
Keluarga pasien mengatakan nafsu makan pasien
berkurang. Pasien mengatkan merasa mual dan
terkadang muntah. Pasien mengkonsumsi nasi dan
bubur 3 x sehari dengan porsi satu entong nasi atau
setengah mangkok bubur. Dengan membatasi
asupan garam dan makan minuman manis.
b) Intake Cairan
(1) Sebelum sakit
Pasien mengatakan minum ±5 – 10 gelas (± 2500
cc) perhari. Pasien hanya suka minum air putih dan
teh manis.
(2) Selama sakit
Saat sakit dokter menganjurkan untuk mengurangi
minum menjadi ± 4 gelas perhari (± 1000 cc) air
putih setiap harinya.
2) Pola Eliminasi
a) BAK
(1) Sebelum sakit
Pasien mengatakan BAK warna kuning jernih, ± 4 –
6 x dalam sehari dan suka menahan miksi. Saat
malam sering terbangun karena terasa ingin BAK.
(2) Selama sakit
Pasien mengatakan BAK yang semula ( sebelum
sakit) banyak, sekarang menjadi sedikit dan jarang.
Keluarga pasien mengatakan pasien menggunakan
pempers, tidak terlihat darah dalam urin.

21
b) BAB
(1) Sebelum sakit
Pasien mengatakan BAB lancer yaitu 1x/hari tiap
pagi, warna kuning, konsistensi feses lunak, feses
berbau khas dan tidak ada lender.
(2) Selama sakit
Pasien mengatakan BAB terkadang 3x/hari dengan
konsitensi encer, berwarna kuning, feses berbau
khas dan berlendir.
Output : 980 cc
Input : 1432 cc
BC : + 452 cc
3) Pola Istirahat
a) Jumlah : sebelum sakit pasien tidur ±8 jam/hari, selama
sakit pasien tidur ± 11 jam/hari
b) Waktu : sebelum sakit pasien tidur mulai pukul 21.00 –
05.00 WITA, tidak tidur siang. Selama sakit pasien
tidur mulai 19.00 – 05.00 WITA dan tidur siang 13.00 –
14.00 WITA.
4) Personal Hygine
a) Frekuensi mandi : sebelum sakit pasien mandi 2x/hari
secara mandiri, selama sakit pasien hanya seka 2x/hari
dibantu keluarga.
b) Kebersihan : rambut terlihat lepek berminyak,
kuku bersih dan pendek, mulut bersih dan pakaian
diganti setiap hari.
5) Pola Aktivitas

Kemampuan
perawatan 0 1 2 3 4
diri
Makan dan

minum
Mandi 

Toileting 

Berpakaian 
Mobilitas di

tempat tidur

22
Berpindah 

ROM 
Keterangan :
0 : Tergantung total
1 : Dibantu orang lain dan alat
2 : Dibantu orang lain
3: Alat bantu
4: Mandiri
Kesimpulan : klien dibantu oleh orang lain dalam
melaksanakan aktivitasnya seperti mandi dan berpakaian
makan dan minum, mobilitas di tempat tidur, berpindah dan
ROM. Sedangkan untuk toileting klien dibantu oleh alat
yaitu pempers..

6) Pola Kebiasaan Yang Mempengaruhi Kesehatan


a. Merokok :-
b. Minuman keras :-
c. Ketergantungan obat : -
4. Pemeriksaan Fisik
a. Kesan Umum / Keadaan Umum
Pasien terlihat lemah dan gelisah di atas tempat tidur.
b. Tanda – Tanda Vital
1) Tekanan darah : 128/71mmHg
2) Suhu tubuh : 37°C
3) Pernafasan : 25x/menit
4) Nadi : 100x/menit
5) Kesadaran : compos mentis
6) Tinggi badan : 150 cm
7) Berat badan terakhir : 60 kg
8) Berat badan sebelum HD : 58 kg
9) Berat badan setelah HD : 55kg

23
a. Pemeriksaan Kepala dan Leher
1) Kepala bulat simetris, kulit berminyak tidak ada
lesi, penyebaran rambut merasa berwarna hitam
dan beruban.
2) Wajah simetris dengan warna kulit sawo matang.
3) Mata lengkap simetris kanan dan kiri, kelopak
mata dapat membuka dan menutup dengan baik,
kornea mata jernih tidak ada pendarahan, pupil
isokor, iris bulat dan anemis, penglihatan focus,
tidak ada nyeri tekan di kedua bola mata pasien.
4) Tidak ada pernafasan cuping hidung, lubang
hidung bersih, tulang hidung dan septum nasal
simetris.
5) Ukuran telinga sedang dengan elastisitas yang
baik, terdapat serumen pada lubang telinga, pasien
tiding menggunakan alat bantu dengar.
6) Keadaan bibir kering berwarna coklat. Gusi merah
kehitaman, tidak ada pendarahan pada gusi
dengan gigi yang masih lengka, tidak ada kelainan
pada langit – langit mulut dan tidak ada
peradanagn pada pasien.
7) Posisi trakea simteris, suara terdengar jelas, tidak
ada pembesaran pada tiroid dan kelenjar lymfe,
denyut nadi karotis : 100x/menit.
b. Pemeriksaan Thoraks/dada/Tulang Punggung
1) Inspeksi thoraks : bentuk thoraks simetris, tidak
terdapat penggunaan otot bantu pernafasan, tidak
ada lesi atau jejas, pernafasan teratur dengan
frekuensi 25x/menit.

24
Di sebelah kanan atas dada terpasang HD kateter,
tidak terlihat kemerahan, rembesan, pus, darah dan
tidak terlihat tanda – tanda infeksi.
2) Palpasi thoraks : tidak ada nyeri tekan baik pada
dada maupun pada punggung, dada kanan dan kiri
mengembang dan mengempis secara bersamaan,
getaran pada saat vocal premitus sama getarannya
dia antara kanan dan kiri dad pasien.
3) Perkusi : sonor
4) Auskultasi : suara nafas vesikuler, tidak ada suara
nafas tambahan.
c. Pemeriksaan Jantung
1) Inspeksi dan palpasi : iktus kordis tidak terlihat.
2) Perkusi batas jantung : basic jantung terletak pada
ICS 2 line sterna dextra sinistra, pinggang jantung
terletak pada ICS 4 line sternal dextra, apeks
jantung terletak pada ICS 5 line sterna sinistra.
3) Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular, tunggal
dan intensitasnya kuat, tidak ada bunyi jantung
tambahan, frekuensi denyut jantung 80x/menit.
d. Pemeriksaan Abdomen
1) Inspeksi : bentuk abdomen menonjol dan terdapat
massa, tidak ada bayangan pembuluh darah.
2) Auskultasi : 18x/menit
3) Perkusi : timpani
e. Pemeriksaan kelamin dan Sekitarnya
1) Pubis simteris, tidak ada inflmasi pada meatus
uretra, perineum utuh, lubang anus normal tidak
ada pelebaran vena maupun massa.

25
f. Pemeriksaan Musculoskeletal (Ekstremitas)
1) Bentuk ekstremitas atas simetris antara kanan dan
kiri. Terdapat pitting oedema. Ekstremitas atas
dan bawah dapat digerakkan. Terdapat luka
jahitan AV Shunt di tangan kiri sepanjang ± 5 cm
dengan keadaan luka kering, tidak terlihat
kemerahan.
g. Pemeriksaan Integumen
1) Hangat merata, warna kulit coklat (sawo matang)
turgor kembali dalam 2 detik, tekstur kulit lembut
dan bergelambir dan lembab.
5. Terapi Yang Dijalani saat Ini
a. Terapi hemodialisa setiap Selasa dan Jumat pagi dengan
akses HD Kateter di RSUD AW. Sjahranie
b. Heparin 833 unit/jam saat dilakukan HD
c. Captopril 1x25 mg
d. Asam Folat 2x1
e. CaCo3 3x1
f. Furosemide 1x40 mg
g. Diet RGCP
6. Pemeriksaan Yang Pernah Dilakukan
Hasil laboraturium 24 Oktober 2017
a. Ureum 243 mg/dl
b. Kreatinin 12,2 mg/dl
c. Clearen creatinin 4,44%
d. Hb 11 mg/dl

26
7. Analisa Data

1. Ds : Kelebihan volume cairan Penurunan haluaran urine,


1. Pasien mengatakan selama retensi cairan dan natrium
sakit BAK berkurang sekunder terhadap
hanya keluar sedikit. penurunan fungsi ginjal
2. Pasien mengatakan
bengkak pada kedua
kakinya.
Do:
1. Pasien terlihat lemas
2. Terlihatoedema pada
kedua ekstremitas bawah
pasien
3. Terdapat pitting oedema.
4. Ureum : 243 mg/dl
5. Kreattinin 12.2 mg/dl
6. Clearean creatinin : 4.44%
7. Balance cairan + 452 cc
2. Ds : Ketidakseimbangan nutrisi Peningkatan metabolisme
1. Pasien mengatakan nafsu kurang dari kebutuhan anoreksia, mual dan
makan berkurang, makan tubuh muntah
sedikit terasa penuh dan
mual bahkan terkadang
muntah.
Do:
1. pasien hanya
menghabiskan setengah
mangkok bubur
A : TB : 150 cm
BB : 55 cm
LP : 88 cm
LK : 57 cm
LILA : 25 cm
IMT : 20,7
B : ureum : 243 mg/dl
Kreatinin : 12.2 mg/dl
Clearean cr. : 4.44%
Hb : 11 mg/dl
C : demam, pusing, mual dan
muntah.
D : Diit RGCP

27
3. Ds : Intoleransi aktivitas Kelemahan fisik
1. Klien mengatakan badan
terasa lemah.
Do:
1. Klien tampak hanya
berbaring di tempat tidur.
2. Aktivitas klien dibantu
oleh keluarga terutama
masalah personal hygine
3. Klien terlihat lemah

8. Diagnosa Keperawatan

Tanggal Tanggal
No Diagnosa Keperawatan terselesaikan
ditemukan
1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan keluaran urine,
retensi cairan dan natrium sekunder terhadap penurunan
fungsi ginjal, ditandai dengan :
Ds :
1. Pasien mengatakan selama sakit BAK berkurang
hanya keluar sedikit.
2. Pasien mengatakan bengkak pada kedua kakinya.
Do:
1. Pasien terlihat lemas
2. Terlihatoedema pada kedua ekstremitas bawah pasien
3. Terdapat pitting oedema.
4. Ureum : 243 mg/dl
5. Kreattinin 12.2 mg/dl
6. Clearean creatinin : 4.44%
7. Balance cairan + 452 cc
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b.d peningkatan metabolisme anoreksia, mual dan
muntah, ditandai dengan :
Ds :
1. Pasien mengatakan nafsu makan berkurang, makan
sedikit terasa penuh dan mual bahkan terkadang
muntah.
Do:
1. pasien hanya menghabiskan setengah mangkok bubur
A : TB : 150 cm
BB : 55 cm
LP : 88 cm
LK : 57 cm
LILA : 25 cm

28
IMT : 20,7
B : ureum : 243 mg/dl
Kreatinin : 12.2 mg/dl
Clearean cr. : 4.44%
Hb : 11 mg/dl
C : demam, pusing, mual dan muntah.
D : Diit RGCP

3. Intoleransi aktivitas b.d Kelemahan fisik, ditandai dengan


:
Ds :
1. Klien mengatakan badan terasa lemah.
Do:
1. Klien tampak hanya berbaring di tempat tidur.
2. Aktivitas klien dibantu oleh keluarga terutama
masalah personal hygine
3. Klien terlihat lemah

9. Intervensi Keperawatan

No. Perencanaan
No. Tgl/jam Rasional
Dx Tujuan dan KH Intervensi
1. 25 1 Setelah dilakukan tindakan 1.1 Kaji adanya  Oedema
September keperawatan selama 3x24 oedema menunjukkan
2017 jam, diharapkan volume adanya kelebihan
08.00 cairan dapat seimbang volume cairan
dengan Kriteria Hasil : 1.2 Kaji TTV  Perawatan invasive
1. Terbebas dari oedema diperlukan untuk
2. Vital sign dalam batas mengkaji volume
normal intravaskuler
1.3 Monitor  Untuk menetukan
masukan cairan fungsi ginjal
1.4 Ukur Balance  Untuk menentukan
cairan output dan input
1.5 Beri informasi  Sedikit minum
untuk sedikit dapat
minum. menyeimbangkan
cairan
 Untuk mempercepat
1.6 Kolaborasi proses pengeluaran
pemberian obat urin, dan
diuretic dengan mengurangi volume
dokter cairan.

29
2. 25 2 Setelah dilakukan tindakan 2.1 Kaji/catat  Membantu dalam
Oktober keperawatan selama 3x24 pemasukan diit. mengidentifikasi
2017 jam diharapkan pasien dapat 2.2 Tawarkan defisiensi dan
08.00 mempertahankan/meningkat perawatan kebutuhan diit.
kan status nutrisi dengan KH mulut/sering  Memberi
: cuci mulut. kesegaran pada
1. Adanya peningkatan 2.3 Anjurkan / mulut dan
berat badan berikan makanan meningkatkan
2. Tidak ada tanda – tanda sedikit tapi selera makan
malnutrisi sering  Meminimalkan
3. Tidak terjadi penurunan 2.4 Kolaborasikan aoreksia dan mual.
berat badan yang berarti dengan ahli gizi  Diit untuk pasien
untuk diit RGCP gagal ginjal.
3. 25 3 Setelah dilakukan tindakan 3.1 Monitor intake  Nutrisi yang cukup
Oktober keperawatan selama 3x24 nutrisi untuk dapat memberikan
2017 jam diharapkan pasien dapat memastikan sumber energy
08.00 mampu melakukan aktivitas kecukupan yang cukup pula
secara mandiri dengan KH : sumber energy.  Pasien dapat
1. Mampu melakukan ADL 3.2 Beri bantuan merasa nyaman
secara mandiri dalam dan aman
2. Vital sign dalam batas melakukan  Memberikan rasa
normal personal hygine. aman pada pasien
3. Mampu melakukan 3.3 Beri bantuan  Menghemat energy
aktivitas fisik tanpa dalam dalam tubuh
disertai peningkatan TTV melakukan  Memulihkan
aktivitas dan kembali otot yang
ambulansi. mengalami
3.4 Ajarkan teknik kekakuan.
mengontrol
pernafasan.
3.5 Kolaborasi
dengan
fisioterapi.

30
6. Kualitas Hidup Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik

a. Pengertian Kualitas Hidup


Kualitas hidup (Quality of Life) merupakan konsep analisis
kemampuan individu untuk mendapatkan hidup yang normal
terkait dengan persepsi secara individu mengenai tujuan, harapan,
standar dan perhatian secara spesifik terhadap kehidupan yang
dialami dengan dipengaruhi oleh nilai dan budaya pada lingkungan
individu tersebut berada (Adam, 2006).
Kualitas hidup adalah sasaran utama yang ingin dicapai di
bidang pembangunan sehingga kualitas hidup ini sejalan dengan
tingkat kesejahteraan. Diharapkan semakin sejahtera maka kualitas
hidup semakin tinggi. Kualitas hidup ini salah satunya dipengaruhi
oleh derajat kesehatan. Semakin tinggi derajat kesehatan seseorang
maka kualitas hidup juga semakin tinggi (Nursalam, 2013).
b. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Avis (2005) dalam Riyanto (2011) menyatakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup dibagi menjadi
dua bagian. Bagian pertama adalah sosio demografi yaitu jenis
kelamin, usia, suku/etnik, pendidikan, pekerjaan dan status
perkawinan. Kedua adalah medik yaitu lama menjalani
hemodialisis, stadium penyakit, dan penatalaksanaan medis yang
dijalani.
c. Pengukuran Kualitas Hidup (Quality Of Life/QOL)
WHO telah menginisiasiasi sebuah proyek bernama World
Health Organization Quality of Life (WHOQOL), pada tahun
1991, yang bertujuan membentuk suatu instrumen pengukuran
kualitas hidup yang terstandardisasi secara internasional.
WHOQOL mengukur persepsi seseorang dalam konteks budaya,
sistem nilai, tujuan hidup, standard dan pertimbangan mereka.

31
Instrumen ini telah dikembangkan dan diuji lapangan
secara mendunia. WHOQOL-BREF terdiri dari 26 item pertanyaan
yang terdiri dari 4 dimensi (Rasjidi, 2010).
d. Dampak Hemodialisa terhadap Kualitas Hidup
Dampak hemodialisa akan berakibat terhadap respon
pasien. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
karakteristik individu, pengalaman sebelumnya dan mekanisme
koping. Tiap dimensi mempunyai pengaruh tersendiri terhadap
kualitas hidup (Mardyaningsih, 2014).
Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
dapat mengalami penurunan kualitas hidup dan meningkatkan
resiko morbiditas dan mortalitas.Resiko morbiditas dan mortalitas
dapat berkurang jika pasien berada dalam keadaan yang baik saat
menjalani terapi hemodialisis (Rakhmayanti, 2011).
Menurut Ginieri-Coccosis et al (2008), penurunan kualitas
hidup terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis dalam kurun
waktu yang lama. Permasalahan yang dikeluhkan oleh pasien
berkaitan dengan kesempatan beraktivitas, beban biaya yang
dikeluarkan, beban pembatasan asupan cairan dan pelayanan yang
diberikan oleh petugas medis.
Kastrouni et al (2010), menyatakan bahwa terdapat
interaksi yang kompleks dari beberapa faktor yang mengalami
perubahan pada kehidupan pasien. Faktor-faktor tersebut meliputi
aktivitas fisik dan kemampuan bekerja, isu psikologis (kepuasan
hati, kegembiraan, kemakmuran, tingkat harga diri, tekanan,
kecemasan, depresi dan kesedihan) dan hubungan sosial (resiko
kehilangan pekerjaan, hiburan, rekreasi, interkasi dengan keluarga
dan sosial).

32
7. Aspek Psikospiritual Dalam Perawatan Gagal Ginjal Kronik
a. Faktor Psikospiritual
1) Emosi
Perasaan takut adalah ungkapan emosi pasien gagal ginjal
yang paling sering diungkapkan. Pasien sering merasa takut akan
masa depan yang akan dihadapi dan perasaan marah yang
berhubungan dengan pertanyaan mengapa hal tersebut terjadi
pada dirinya. Ketakutan dan perasaan berduka juga kerap datang
karena harus tergantung seumur hidup dengan alat cuci ginjal.
Perasaan ini tidak bisa dielakan dan seringkali afeksi emosional
ini ditujukan kepada sekeliling seperti pasangan, karyawan dan
staf di rumah sakit. Kondisi ini perlu dikenali oleh semua orang
yang terlibat dengan pasien.
2) Harga Diri
Pasien dengan gagal ginjal sering kali merasa kehilangan
kontrol akan dirinya. Mereka memerlukan waktu yang panjang
untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan apa yang
dialaminya. Perubahan peran adalah sesuatu yang tidak bisa
dihindari. Sebagai contoh seorang pencari nafkah di keluarga
harus berhenti bekerja karena sakitnya. Perasaan menjadi beban
keluarga akan menjadi masalah buat individu ini.
Selain itu juga pasien sering kali merasa dirinya “berubah”.
Adanya kateter yang menempel misalnya pada pasien dengan
dialisis peritoneal, lesi di kulit, nafas berbau ureum dan perut
yang membuncit membuat percaya diri dan citra diri pasien
terpengaruuh.
3) Gaya Hidup
Gaya hidup pasien akan berubah. Perubahan diet dan
pembatasan air akan membuat pasien berupaya untuk melakukan
perubahan pola makannya.

33
Keharusan untuk kontrol atau melakukan dialisis di rumah
sakit juga akan membuat keseharian pasien berubah. Terkadang
karena adanya komplikasi pasien harus berhenti bekerja dan
diam di rumah. Hal-hal ini yang perlu mendapatkan dorongan
untuk pasien agar lebih mudah beradaptasi.
4) Fungsi Seksual
Fungsi seksual pada pasien yang mengalami gagal ginjal
akan sering terpengaruh. Hal ini bisa disebabkan karena faktor
organik ( perubahan hormonal atau karena insufisiensi vaskuler
pada kasus gagal ginjal dengan diabetes), psikososial (perubahan
harga diri,citra diri dan perasaan tidak menarik lagi) atau
masalah fisik (distensi perut, perasaan tidak nyaman dan
keluhan-keluhan fisik akibat uremmia). Masalah pengobatan
yang mengganggu fungsi seksual juga bisa menjadi masalah.

b. Intervensi Psikospiritual
Intervensi psikososial harus dilakukan sedini mungkin sejak
diagnosis gagal ginjal ditetapkan. Hal ini juga membutuhkan usaha
yang terus menerus untuk membuatnya tetap berjalan.
1) Implikasi Keperawatan
Gagal ginjal kronis mempunyai karakteristik penurunan
kondisi yang cepat. Bantuan keperawatan dalam bidang
psikososial dan spiritual harus berusaha memfasilitasi
penyesuaian perubahan akibat sakit yang dialami. Perawat juga
perlu memperbaiki interaksi sosial dan gaya hidup dengan
mencegah kondisi sakit yang lebih jauh, mengontrol gejala dan
menjadikan hemodialisis menjadi bagian dari kehidupan normal
sehari-hari. Pengetahuan pasien yang baik tentang penyakit yang
dideritanya akan mengurangi kecemasan pasien.

34
Hal ini yang membuat sangat penting bagi perawat untuk
mempunyai keahlian dalam menyediakan informasi yang jelas
demi membantu pasien untuk menentukan tujuan dari perawatan
dan membantu pemecahan masalah untuk kemampuan
fungsional fisik yang lebih baik.
2) Penilaian Kondisi
Penilaian kondisi pasien akan menentukan kebutuhan
pasien, mengidentifikasi masalah dan masalah-masalah yang
menjadi potensial untuk timbul serta mengumpulkan informasi
untuk rencana pengobatan sehingga bantuan yang sesuai bisa
diberikan.
Penilaian ini berfokus pada efek sakit terhadap pasien.
Beberapa informasi berguna termasuk gaya hidup, pola
kehidupan sehari-hari, kekuatan kepribadian dan minat, cara
adaptasi sehari-hari, pengertian akan penyakit saat ini, persepsi
terhadap pengobatan yang diberikan, tekanan hidup atau
perubahan belakangan ini dan beberapa masalah yang terkait
dengan penyakit.
Dengan mendengarkan pasien dan keluarga dalam diskusi,
perawata bisa mengidentifikasi masalah-masalah psikososial
yang terkait denga penyakit dan kebutuhan akan bantuan. Di
waktu yang sama informasi tentang pengobatan yang dilakukan
dan bagaimana kondisi harapan dari sakit yang diderita bisa
dijelaskan.
3) Membesarkan Hati
Peran dari tenaga kesehatan adalah membesarkan hati dan
jika mungkin membuat pasien mampu menerima tanggung jawab
akan kesehatan dan kebahagiaan serta mampu mengisi tanggung
jawab mereka di keluarga dan masyarakat.

35
Pada kondisi ini perawat dapat membesarkan hari pasien
untuk menerima keterbatasan pribadi akibat kondisi sakit dan
pengobatannya. Kondisi-kondisi seperti ini yang bisa
memberikan persesi positif dan pengertian di antara pasien dan
petugas kesehatan.
4) Peningkatan Kualitas Hidup
Pasien dengan karakter dependen atau tergantung mungkin
beradaptasi dengan terapi lebih mudah, namun ketergantungan
yang berlebihan dapat menciptakan permintaan yang esktrim
kepada pengasuh dan dapat menghambat rehabilitasi. Beberapa
pasien mungkin mendapatkan “secondary gain” dari penyakit
yang diderita dan beberapa yang lainnya menikmati peran
menjadi pasien.
Perawat dapat memfasilitasi adaptasi pasien terhadap hal-
hal yang dibutuhkan sehubungan dengan perawatan dengan
memaksimalkan kekuatan pasien dan mendorong pasien lebih
baik lagi. Terapi yang lebih bersifat individu dan meminimalkan
kompleksitasnya dapat membantu perilaku yang lebih menurut.
Penilaian, edukasi, motivasi, pemberian dukungan, membesarkan
hati, mengajarkan cara membantu diri sendiri dan memonitor diri
sendiri akan membuat pada akhirnya peningkatan kepatuhan
pasien dan pasien mampu hidup dengan kondisi kronis yang
dialaminya.
Jika dalam program rehabilitasi terdapat kelompok-
kelompok suportif seperti latihan fisik bersama, program edukasi
bersama atau kegiatan bersama lainnya maka hal ini akan
membuat pasien lebih nyaman. Hal ini disebabkan karena adanya
hubungan kebersamaan dengan orang yang senasib dan adanya
penghargaan sosial serta apresiasi dari rekan senasib.

36
Kegiatan ini bisa membuat isolasi pasien terhadap
lingkungan berkurang. Pada akhirnya kegiatan-kegiatan ini
sangat berkontribusi dengan peningkatan kepatuhan pasien
dalam proses terapi.
5) Peran Keluarga
Anggota keluarga memerankan hal yang penting dalam
kesejahteraan pasien. Mereka tidak boleh dikesampingkan dalam
proses penanganan pasien. Perubahan pola kehidupan keluarga
mungkin diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pasien. Pasien
dan keluarga harus dibantu untuk menceritakan perasaan mereka
dalam suatu hubuungan saling percaya agar dapat menyesuaikan
dengan proses adaptasi dari sakit pasien.
Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa perasaan
bersalah, kesedihan dan kehilangan yang sangat dan sering
terjadi pada pasangan pasien. Edukasi dan informasi yang
adekuat bagi pasien dan keluarga tentang penyakit yang dialami
dan perjalanan penyakit akan sangat penting dan harus dimulai
sejak sebelum memutuskan untuk melakukan dialisis.
6) Peran Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan yang berkecimpung dalam bidang ini,
dokter spesialis, dokter jaga, perawat dan staf lainnya bisa
mempengaruhi dan dipengaruhi secara negatif maupun positif
jika berhubungan dengan pasien gagal ginjal. Adanya harapan
hidup dengan program rehabilitasi akan membuat sikap positif
dari para petugas kesehatan yang terlibat. Hal ini berhubungan
dengan keteraturan berobat, latihan dan perawatan diri. Namun
demikian sering terjadi petugas kesehatan menjadi sangat tidak
nyaman karena perilaku yang sulit dari pasien, penurunan
kondisi pasien pada pasien yang hubungan rapport telah terbina
baik dan kegagalan terapi.

37
Terjadinya kecemasan berkaitan dengan tuntutan kerja dan
distres spiritual akibat kesulitan menemukan arti atau tujuan dari
kehidudapan pribadi dan profesional seringkali dikatakan oleh
petugas kesehatan. Petugas kesehatan yang terlibat dalam tim
bisa diberikan kesempatan untuk menilai penyebab stres,
membangun ide-ide, membagikannya dengan sejawat dan
menciptakan kesempatan untuk saling menghormati dan
memberikan dorongan kepada anggota yang lain. Cara lain untuk
mengganti perhatian dari stres ke hal lain adalah mencari hal-hal
yang lucu dalam pengalaman kerja, belajar dari pasien untuk
menerima keterbatasan dan untuk mengambil waktu yang sesuai
lepas dari pekerjaan untuk bermain dan beristirahat.
7) Psikologikal (Psychological)
Istilah “psikologi” secara epistemologi berasal dari
bahasa Yunani, yaitu kata psyche dan logos. Pysche artinya jiwa
dan logos artinya ilmu. Dengan demikian, secara harfiah
psikologi adalah ilmu jiwa atau dengan pengertian lain ilmu yang
mempelajari gejala-gejala kejiwaan (Saam & Wahyuni, 2014).
Psikologikal merupakan hal yang merupakan kepribadian
atau kejiwaan dan kemampuan individu dalam memanfaatkannya
menghadapi stres yang disebabkan situasi dan lingkungan
(Nursalam, 2013).
8) Psychological intervention
Merupakan salah satu intervensi melalui pendekatan
psikologis/kejiwaan seperti pemberian relaksasi spiritual dzikir
dan meditasi yang berfungsi untuk meningkatkan motivasi dan
kualitas hidup seseorang yang mengalami penyakit-penyakit
terminal seperti gagal ginjal kronik.

38
9) Relaksasi Spiritual Dzikir
a) Relaksasi
Relaksasi merupakan kegiatan untuk mengendurkan
ketegangan, pertama-tama ketegangan jasmaniah yang nantinya
akan berdampak pada penurunan ketegangan jiwa
(Wiramihardja, 2006). Adapun pendapat Benson (Buchori,
2008), relaksasi adalah prosedur empat langkah yang
melibatkan: (1) menemukan suasana lingkungan yang tenang;
(2) mengendorkan otot-otot tubuh secara sadar; (3) selama
sepuluh sampai dua puluh menit memusatkan diri pada
perangkat mental; (4) menerima dengan sikap yang pasif
terhadap pikiran-pikiran yang sedang bergolak (Zuliani, 2014).
b) Spiritual
Spiritual adalah keyakinan dalam hubungannya dengan
Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebagai contoh
seseorang yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta atau
sebagai Maha Kuasa. Spiritualitas mengandung pengertian
hubungan manusia dengan Tuhannya dengan menggunakan
instrumen (medium) sholat, puasa, zakat, haji, doa dan
sebagainya (Hawari, 2004).
c) Dzikir
Secara umum dzikir ialah semua amal atau perbuatan
baik yang lahir maupun batin, yang membawa seseorang untuk
mengingat Allah dan mendekat (taqarrub) kepada-Nya (Al-
Halaj, 2014).
d) Relaksasi Spiritual Dzikir
Relaksasi spiritual dzikir adalah salah satu ritual yang
biasa dilakukan oleh umat Islam yang dapat menimbulkan
respon relaksasi dan memberikan efek terhadap kesehatan
jangka panjang dan perasaan bahagia.

39
Terapi dzikir juga merupakan bagian dari meditasi
transcendental yang dapat menghambat efek stres dengan
menurunkan kadar kortisol (Yanti, 2012).
c. Perawatan Aspek Psikososiospiritual
1) Berikan informasi dengan tepat dan jujur
2) Lakuan komunikasi terapeutik,jadilah pendengar yang aktif
3) Tunjukkan rasa empati yang dalam
4) Support pasien meskipun pasien akan melewati hari-hari terakhir
tetapi ia tetap berarti dan sangat penting bagi keluarga dan
lingkungan
5) Tetap menghargai pasien sesuai dengan perannya dalam keluarga
6) Sealulu melibatkan pasien dalam membuat keputusan
7) Tingkatkan penerimaan lingkungan terhadap perubahan kondisi
pasien
8) Lakukan pendampingan spiritual yang intensif.
d. Hal-hal yang harus menjadi perhatian perawat dalam melakukan
paliatif care
1) Asuhan keperawatan Paliatif berarti asuhan yang intensif dan
komprehensif
2) Jangan mengatakan tindakan yang dilakukan telah maksimal dan
tidak ada hal yang dapat dilakukan lagi (Hopeless) Buat selalu
ada yang bisa dilakukan walaupun sederhana
3) Selalu pelajari hal baru dari setiap pasien
4) Melibatkan keluarga
5) Gunakan bahasa yang mudah dipahami
6) Beri kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk bertanya dan
jawab dengan jujur
7) Jangan memberikan janji kosong
8) Tunjukkan rasa empati,keseriusan serta sikap yang mendukung
untuk siap membantu

40
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah
metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronik
adalah (Prabowo, 2014): penyakit tulang, penyakit kardiovaskuler, anemia,
disfungsi seksual. Pasien yang mengalami gagal ginjal kronik tidak ada
pilihan lain selain melakukan hemodialisi ataupun transplatasi ginjal. Seorang
pasien hemodialisis akan melakukan cuci darah minimal 2 kali dalam satu
minggu dan akan berlangsung selama hidupnya. Dengan kata lain,
hemodialisis akan dilakukan secara rutin oleh pasien yang dinyatakan gagal
ginjal kronik.Sering kali pasien yang melakukan perawatan hemodialisi
mengalami permasalahan pisikis sperti depresi, sindrom disequilibrium,
demensia dialisis.
Orang yang terkena GGK biasa terjadi perubahan dari sisi psikologis
emosinya yang jadi pemarah, perasaan putus asa, maupun tidak menerima
keadaan dirinya sebagai orang yang menderita GGK. Dengan kondisi ini,
pasien seringkali dalam hemodialisis menjadi cepat marah, atau merajuk
dengan berbagai keluhan, dan sebagainya. Adapun cara berkomunikasi secara
terapeutik dengan paisen GGK yaitu dengan bahasa verbal dalam
komunikasiperawat dan pasien gagal ginjal dan bahasa nonverbal dalam
komunikasi perawat dan pasien gagal ginjal.
Selain itu pasien GGK juga perlu mendapatkan asuhan paliatif dimana ia
mendapatkan bimbingan secara spritual menganjurkan pasien untuk berdzikir
guna mendekatkan diri kepada Tuhan YME sehingga merasakan ketenangan
di massa hidupnya hingga ajalnya.

41
B. Saran
Diharapkan makalah ini bisa memberikan masukan bagi rekan-rekan
mahasiswa perawat, untuk dapat memahami mengenai penyakit gagal ginjal
kronis menjadi bekal dalam pengaplikasian dan praktik asuhan paliatif bila
menghadapi kasus gagal ginjal kronik.

42
DAFTAR PUSTAKA

Wahidi R.Kemala,2010.Peran Perawat Pada Perawatan


Paliatif.Jakarta : Seminar Sehari Perawatan Holistik Pada Penyakit
Kronik
Rustikayanti Nety,2014.Asuhan Keperawatan Paliatif.Sumatera :
Universitas Sumatera Utara
Hardhi amin,2015,Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis Dan Nanda Nic Noc,Jogjakarta.Penerbit
Mediaction Publishing.

43

You might also like