You are on page 1of 54

Jurnal

Manajemen
Pelayanan Kesehatan
The Indonesian Journal of Health Service Management
Volume 12/Nomor 01/Maret/2009

Daftar Isi

Editorial
Peran Departemen Kesehatan Sebagai Regulator dan Operator Rumah Sakit 1

Makalah Kebijakan
Usulan-Usulan Untuk Menghadapi Permasalahan Non–Paten
yang Mempengaruhi Distribusi dan Ketersediaan Obat-Obat Esensial di Indonesia
Tomi Suryo Utomo 2

Artikel Penelitian
Medical Error dan Perilaku Klinis Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Malaria
di RSU Gunung Sitoli Nias
Oktavianus Hulu, Contesa Prihatin Familynard Maruhawa,
Ari Probandari, Adi Utarini, Soesanto Tjokrosonto 12

Clinical Pathway Dalam Pelayanan Stroke Akut: Apakah Pathway Memperbaiki Proses Pelayanan?
Rizaldy Pinzon, Sugianto, Laksmi Asanti, Kriswanto Widyo 20

Community Empowerment Through Inter-Sectoral Action,


A Case Study of Gerbangmas in Lumajang District
Siswanto, Evie Sopacua 24

Persepsi Stakeholders Terhadap Latar Belakang Subsidi Premi, Sistem Kapitasi dan
Pembayaran Premi Program Jaminan Kesehatan Jembrana
Pande Putu Januraga, Chriswardani Suryawati, Septo Pawelas Arso 33

Profil Komite Medis di Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerjanya


dalam Menjamin Keselamatan Pasien
Herkutanto 41

Resensi Buku
Leadership, Theory and Practice 48

Korespondensi
Hubungan Kinerja Bidan dalam Penatalaksanaan Antenatal Care dengan
Quality Work Life di Kota Tasikmalaya Tahun 2007 50
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 01 Maret l 2009 Halaman 1
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Editorial

PERAN DEPARTEMEN KESEHATAN SEBAGAI REGULATOR


DAN OPERATOR RUMAH SAKIT

Sistem ekonomi di Indonesia memberikan buruk. Pertanyaan yang sama juga dapat diberikan
kesempatan kepada lembaga pelayanan kesehatan ke RS Pemerintah. Sayang pertanyaan ini sulit
swasta untuk bekerja, dan pihak masyarakat diberi dijawab karena memang belum ada sistem
kesempatan pula untuk memberikan sumber pencatatan mutu RS yang dapat diandalkan.
dayanya bagi pelayanan kesehatan. Keadaan ini Mengapa hal ini terjadi?
sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Sampai saat ini belum ada sistem yang
Konsekuensinya, sektor kesehatan di Indonesia memisahkan antara regulator dan operator di sektor
saat ini sudah berkembang menjadi industri dengan kesehatan. Tanpa adanya regulator yang tepat maka
dasar hukum pasar. monitoring mutu pelayanan bukan hal yang mudah
Selama 10 tahun terakhir pertumbuhan Rumah untuk dilakukan. Hal ini berbeda dengan sektor
Sakit (RS) Swasta di Indonesia lebih besar (2,91% penerbangan yang sudah tegas memposisikan
rata-rata per tahun) dari RS pemerintah (1,25% rata- Departemen Perhubungan sebagai regulator
rata per tahun). Pada tahun 1998, jumlah RS sementara berbagai perusahaan transportasi
Pemerintah (589) lebih banyak dari RS Swasta (491) (termasuk Garuda) berfungsi sebagai operator.
dengan selisih 98 buah. Sejalan dengan pesatnya Departemen Perhubungan tentunya mempunyai
perkembangan RS Swasta, pada tahun 2008 jumlah catatan tentang mutu pelayanan penerbangan
RS swasta meningkat menjadi 653 buah dan sakit termasuk angka kecelakaan. Perbandingan dengan
pemerintah menjadi 667 Buah. Dengan demikian, sektor perhubungan merupakan hal penting karena
selisih semakin mengecil yaitu 14 buah. sektor kesehatan dan sektor transportasi
Dalam waktu lima tahun terakhir, RS swasta menempatkan keselamatan (safety) sebagai isu
berbentuk perseroan terbatas naik dua kali lipat penting.
menjadi 85. Pertambahan terutama di daerah-daerah Departemen Kesehatan sendiri saat ini, masih
dengan ekonomi kuat. Rumah Sakit (RS) Yayasan rancu dalam memposisikan diri apakah sebagai
mengalami pertumbuhan antara tahun 1998 sampai regulator ataukah operator sistem pelayanan
dengan 2002. Setelah itu, jumlah RS yayasan tidak kesehatan. Sebagai gambaran Direktorat Jenderal
bertambah secara signifikan. Rumah Sakit (RS) Bina Pelayanan Medik masih bersifat rangkap:
Perkumpulan sedikit bertambah pada tahun sebagai operator sekitar 40-an RS pemerintah pusat,
2001.Selama 10 tahun terjadi perpindahan bentuk sekaligus sebagai regulator lebih dari seribu RS di
(migrasi) RS Swasta. Ada 26 RS Yayasan berubah Indonesia. Keadaan ini diharapkan tidak berlangsung
menjadi RS PT. Sebaliknya 5 RS PT berubah lama lagi. Perlu ada kebijakan jelas untuk
menjadi RS Yayasan. Sebagian besar RS yang memisahkan kedua fungsi tersebut di pemerintah.
melakukan migrasi berada di kota-kota besar. Kebijakan hal ini tidak hanya menyangkut aspek
Data ini menggambarkan dinamika kuat dalam teknis kesehatan namun juga politis dimana pasti
sektor RS di Indonesia. Dinamika ini terpengaruh banyak pihak yang akan diuntungkan oleh
oleh kekuatan pasar yang besar di Indonesia. perubahan ini, sementara itu juga ada banyak pihak
Sebagaimana suatu sektor yang dipengaruhi oleh yang akan dirugikan. Namun, membiarkan Direktorat
pasar, akan terjadi variasi dalam mutu pelayanan. Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana mutu mempunyai fungsi rangkap, jelas merupakan hal
pelayanan RS Swasta di Indonesia. Apakah sama yang tidak baik untuk pembangunan kesehatan.
mutunya atau bervariasi dari mutu baik sampai mutu Laksono Trisnantoro, trisnantoro@yahoo.com

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 1


JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 01 Maret l 2009 Halaman 2 - 11
Tomi Suryo Utomo: Usulan-Usulan Untuk Menghadapi ...
Makalah Kebijakan

USULAN-USULAN UNTUK MENGHADAPI PERMASALAHAN NON – PATEN


YANG MEMPENGARUHI DISTRIBUSI DAN KETERSEDIAAN
OBAT-OBAT ESENSIAL DI INDONESIA
PROPOSALS TO ADDRESS NON-PATENT ISSUES THAT AFFECT THE DISTRIBUTION AND
AVAILABILITY OF ESSENTIAL MEDICINES IN INDONESIA

Tomi Suryo Utomo


Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Janabadra, Yogyakarta

ABSTRACT ABSTRAK
Background: Access to affordable essential medicines is Latar Belakang: Akses terhadap obat esensial merupakan
critical for management of public health in Indonesia. This is masalah besar bagi pemerintah Indonesia. Hal ini disebabkan
because the government budget for medications is limited. karena anggaran pemerintah untuk pengadaan obat-obatan
Furthermore, Indonesian sale of generic drugs, which would sangat terbatas. Di samping itu, penggunaan obat generik di
be an effective strategy of providing cheaper drugs to the Indonesia yang hanya 10% dari obat-obatan yang ada dianggap
public, is only 10% of drug sales. This is lower than other relatif lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan obat
countries in Asia. Relating to HIV prevalence, there is a tersebut di negara-negara Asia lainnya. Penyebab lainnya
significant increase number, particularly in some regions in terkait dengan penyebaran penyakit HIV/AIDS yang
Indonesia. It is not impossible that it will increase at alarming menunjukkan angka yang relatif tinggi, terutama di beberapa
levels in the near future. Finally, the enforcement of daerah tertentu di Indonesia. Jika tidak ditangani, penyebaran
pharmaceuticals patent law in Indonesia has created a tension tersebut dapat mencapai tingkat yang mengkhawatirkan di
between national needs and domestic developmental policy masa yang akan datang. Perlindungan paten obat juga ternyata
and international patent standards. This tension has particularly membawa dampak tersendiri bagi akses terhadap obat esensial.
affected Indonesia, since the TRIPS Agreement was introduced Hal ini semakin terbukti saat pemerintah Indonesia melindungi
in 1994. The TRIPS Agreement’s protection of pharmaceutical paten obat berdasarkan persyaratan perjanjian TRIPS yang
patent has had adverse consequences for the health needs diluncurkan pada tahun 1994. Akibatnya, mayoritas masyarakat
of Indonesia since many patients cannot afford expensive tidak mampu membeli obat paten yang harganya sangat tidak
patented drugs. terjangkau.
Objective: This paper will consider the options or alternatives Tujuan: Tulisan ini berisikan beberapa pertimbangan dan
open to the Indonesian government to address the access to alternatif yang mungkin dapat diterapkan di Indonesia untuk
essential medicine issues that confront Indonesia as a member
mengatasi permasalahan akses obat esensial. Untuk tujuan
of the WTO. A number of questions will be considered. First,
tersebut, ada beberapa pertanyaan yang difokuskan dalam
what factors are major influences on access to essential
tulisan ini. Pertama, faktor-faktor apakah yang mempengaruhi
medicines, in Indonesia? Second, what strategies and policies
akses obat esensial di Indonesia? Kedua strategi dan kebijakan
will be recommended to the Indonesian Government to manage
apakah yang disarankan kepada pemerintah Indonesia untuk
the problems of limited access to affordable essential medicines?
mengatasi terbatasnya akses obat esensial?
Result: Patent law is not the only factor reducing access to
Hasil Pembahasan: Hukum paten bukanlah satu-satunya
essential medicines. Non-patent issues that affect access to
essential medicines include: rational selection and use of faktor yang mengurangi akses masyarakat terhadap obat
medicines; sustainable adequate financing; affordable prices esensial. Faktor-faktor tambahan lainnya yang sangat
and reliable health and supply systems are issues that must berpengaruh terhadap akses obat esensial di Indonesia adalah
be prioritized by the Indonesian Government. Several optional pemilihan dan penggunaan obat secara rasional, pendanaan
strategies and policies also need to be considered such as yang mencukupi dan berkesinambungan, harga-harga obat
controlling drugs promotion, maximizing the use of generic yang terjangkau serta sistem penyediaan obat dan kesehatan
drugs, improving administrative competence, drug yang dapat diandalkan. Untuk mengatasi permasalahan
procurement, distribution and storage. Finally, prescribing tersebut, beberapa strategi dan kebijakan penting seperti
practices by physicians, pharmacists and drug vendors should pengawasan promosi obat-obatan, pengoptimalan penggunaan
be a priority. Meanwhile more complex long-term goals, such obat generik, peningkatan kewenangan administratif, dan
as establishing an industry to produce raw materials for distribusi, serta penyimpanan obat-obatan perlu
pharmaceuticals, can be considered. This could reduce the dipertimbangkan oleh pemerintah. Kebijakan tambahan lain juga
impact of international pharmaceutical patents on price and dapat menjadi alternatif untuk mengatasi terbatasnya akses
availability of essential medicines. masyarakat terhadap obat esensial, diantaranya dengan
Conclusion: This paper concludes that the Indonesian membangun industri yang memproduksi bahan-bahan
government must assess a set of non-patent issues affecting pembuatan obat. Meskipun pendirian industri ini bersifat sangat
the use of available drugs, particularly generic drugs. The rumit dan memerlukan waktu yang lama, kebijakan ini dapat
recommended policies and strategies will require careful membantu pemerintah untuk mengatasi tingginya harga obat
consideration by a multi-disciplinary committee for selection akibat perlindungan paten serta terbatasnya ketersediaan obat
and use of essential medicines. esensial di Indonesia.
Kesimpulan: Pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa
Keywords: patent law, distribution and availability of essential faktor di luar hukum paten yang mempengaruhi penggunaan
medicines, access to essential medicines, public health obat yang diperlukan oleh masyarakat, khususnya obat generik.

2 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Beberapa kebijakan dan strategi yang direkomendasikan oleh protection affects only very small proportion of drugs
komite multidisipliner akan mensyaratkan pertimbangan yang in developing countries because over 95% of the
hati-hati terkait dengan pemilihan dan penggunaan obat
esensial.
WHO’s list of essential drugs, those are most needed
for treatment in developing countries, are non-
Kata kunci: hukum paten, distribusi dan ketersediaan obat- patented drugs. The protection of pharmaceutical
obat esensial, akses terhadap obat esensial, kesehatan products, therefore, does not impact the drug prices
masyarakat.
listed in the WHO’s essential medicines.13
This paper will consider the options or
INTRODUCTION
alternatives open to the Indonesian government to
Access to affordable essential medicines is
address the non-patent issues that affect the
critical for management of public health in Indonesia.
distribution and availability of essential medicine in
As a member of WTO the Indonesian government
Indonesia. A number of questions will be considered.
must balance its policy of protecting pharmaceutical
First, what factors are major influences on access
patents according to the Trade Related Aspects of
to essential medicines in Indonesia? Second, what
Intellectual Property Rights (TRIPS) Agreement
strategies and policies will be recommended to the
(international standards) and its goal of providing
Indonesian Government to manage the problems of
cheaper drugs (domestic developmental policy). The
limited access to affordable essential medicines?
tension is more evident after the Indonesian
For these purposes, this paper discusses several
government complied with the TRIPS Agreement in
possible strategies for improving access to medicines
1997. The existence of the TRIPS Agreement under
in Indonesia that are described in international
the administration of the World Trade Organization
research. Some suggestions from scholars are also
(WTO) brought new approaches in protecting
considered in this section as a basis for
intellectual property internationally. Under the TRIPS
recommendations of what might be useful for
agreement, several aspects of patent were
Indonesia.
introduced. Unless the government provides sufficient
protection for pharmaceutical patents, it faces
Factors are Major Influences on Access to
sanctions from the WTO for violating the principles
Essential Medicines, Including Generic Drugs
of international trade.
in Indonesia
On the other hand, it is often argued that
According to the WHO, four factors influencing
pharmaceutical patent protection will hamper the
access to essential medicines include rational
development of local pharmaceutical companies in
selection and use of medicines, sustainable
developing countries upon which increasing access
adequate financing, affordable prices and reliable
to medicines.1, 2, 3 These concerns are understandable
health and supply systems.14 These are briefly
because a number of studies have shown that patent
reviewed below in the Indonesian context.
protection for pharmaceuticals increases the price
Decisions about rational use of drugs in
of drugs in developing countries before and after the
Indonesia have two problems. First, neither the
TRIPS Agreement. 4,5 Pharmaceutical patent
government nor the Indonesian Medical Association
protection is associated with high prices for new
undertake monitoring of prescriptions patterns or
drugs because patent holders can charge the highest
corrective actions if the doctors prescribe non -
prices they estimate the market will pay. These for-
generic drugs. 15 Pharmaceutical companies
profit companies justify their prices by referring to
influence doctors with various promotions and
their R&D expenditure, production advertising and
incentives. Secondly, hospital pharmaceutical and
promotion costs, and markups by retailers.6, 7, 8, 9
therapeutic committees have failed to promote the
However, patent law is not the only factor
rational use of drugs in hospitals.16
reducing access to essential medicines. Attaran
Drug financing from public and private sectors
notes that only 1.4% of the WHO Essential
is a serious problem in Indonesia. The government
Medicines List (EML) are patented so that the large
cannot increase its budget for drug financing due to
majority of essential drugs should be accessible.
other obligations. After health decentralization was
He draws attention to poverty, lack of donor funding,
instituted drug financing became the responsibility
and health system infrastructure as barriers to
of local governments.17, 18 They have concluded that
access.10, 11, 12
public health is a non profit sector and is not a priority
The International Federation of Pharmaceutical
in their development agendas.19, 20 Although social
Manufacturers Association (IFPMA) makes a similar
insurance is being promoted by the government it
argument. This association states that patent
has not been well received by private sectors which

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 3


Tomi Suryo Utomo: Usulan-Usulan Untuk Menghadapi ...

would bear some of its costs through taxation. Only cause irrational use of drugs when doctors are
a small percentage of society purchases private influenced by particular pharmaceutical companies.
social insurances.21 In order to minimize the influence of unethical drug
There are four main problems of affordable price promotion on prescribing behaviour, the government
of drugs in Indonesia. The first one is because the should cultivate cooperation with medical professional
government only controls the essential and certain associations and monitor compliance with regulated
generic drugs but does not control patented drugs promotion by the Indonesian pharmaceutical
and branded generics.22 The second one is due to associations. Establishing a code of ethical promotion
the practice of unreasonable markups by which regulates the way to promote drugs would
pharmaceutical companies through distribution and improve the appropriate use of drugs.
dispensing systems. 23 Thirdly, there is an This strategy would add to other strategies by
assumption among patients in Indonesia that more the association of pharmaceutical companies and
expensive drugs must be better drugs and are the Indonesian government to handle the problems
desirable. Many people assume that better drugs of unethical promotion. Since 2002, the Association
are more expensive.24 Fourthly, the Indonesian of the Indonesian multinational pharmaceutical
insurance companies have little bargaining power to companies has launched a code of ethical promotion
influence hospital purchase or drugs producers for their members in Indonesia called the
regarding the type and price of drugs.25 pharmaceutical blue book. It has been revised once
after the first launching.26
Optional Strategies to Improve Access to The government also regulated an ethical
Essential Medicines promotion regulation under Health Ministerial Decree
Limited access to essential medicines is not just No.437 of 1987 which prohibits pharmaceutical
caused by patent law but also caused by additional companies to distribute drug samples to
factors, namely: 1) rational selection and use of physicians27 and followed by the Ministerial Decree
medicines, 2) sustainable adequate financing, 3) of 1989 requires doctors working in public health
affordable prices and 4) reliable health and supply facilities to prescribe generic drugs to their patients.
systems. In order to solve the limited access to The success of this strategy is dependent on
essential medicines in Indonesia caused by those the level of commitment of the government, the
non-patent issues, this paper will offer several optional association of pharmaceutical companies and the
strategies and policies that can improve access to Indonesian medical association. In practice,
essential medicines. These are briefly reviewed unethical promotion of drugs applied by
below. pharmaceutical companies still occurs. Most
pharmaceutical companies use physicians to
1. Rational selection and use of medicines (or promote their drugs instead of generic drugs. Another
appropriate use) problem is the failure of teaching hospitals in
From the perspective of rational selection and Indonesia in training students, house officers, and
use of medicines, there are two important strategies staff in the rational use of generic drugs and the effect
to improve access to essential medicines: (a). of drug prices on patient use. Ironically, teaching
Ethical drug promotion and (b). Generic and essential hospitals in Indonesia have contributed to the
drug promotion. These will be discussed below. irrational use of drugs.28

a. Ethical drug promotion through a code of b. Generic and essential drug promotion
conduct, regulation and the collaboration A policy to promote the use of generic drugs is
between the government and related very appropriate because generic drugs reduce the
professional associations. “drug prices in sustainable way.”29 Establishing
Ethical promotion of drugs is an important tool multidisciplinary Essential Medicines List (EML)
to reduce the problem in rational selection and use committee and periodically updating EML are
of medicines. Pharmaceutical companies hope to important if they are enforced by disseminated
influence new drug prescribing behavior through standards of care that practitioners must comply with
advertising, seminars and symposiums held by and actual prescription behavior is monitored. In
medical associations. Marketing and promotional public sector, guiding use of generic and essential
costs are passed on to consumers and increase drugs via treatment guidelines, standards of care,
the price of drugs. The relationship between with reinforcement through training, supervision and
pharmaceutical companies and physicians can also monitoring are also very important components for

4 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

prescription of generics. Similarly, on-going public because the Indonesian government is considering
education is important to promote generic drug establishing a national health insurance to provide
efficacy and value for common problems. In private affordable drugs to its people.31
sector, gaining support from medical professional In private sector, the government can also
association, medical schools and residency training encourage private sector to expand health insurance
staff is very important to promote the use of generic both at national or local levels, including employer
and essential drugs. Similar tactics for pharmacists schemes. The remaining two WHO
should also be applied. recommendations, target external funding through
This strategy complements other Indonesian grants, loans or donations and other financial
policies in public health sector to promote the rational mechanisms, including debt-relief and fund solidarity
use of drugs, including establishing committee for have less relevance for Indonesia as a sustainable
selecting and updating the EML regularly. This financing because they are temporary and dependent
suggests support for this strategy may be easily on the availability of other countries or international
realized. The only thing the government should do organizations and NGO’s funds.
is to plan, evaluate and improve the implementation Those three policies can potentially minimize
of the strategy. However, the success of the unethical promotion of drugs applied by
implementing this strategy is dependent on pharmaceutical companies. This also benefits
physicians and stakeholders. Since this involves a pharmaceutical companies because under this
lot of parties, it can be complicated and time- national insurance pharmaceutical companies do not
consuming despite the apparent the benefits of have to spend their budget for unnecessary
rational use of drugs in Indonesia. promotion involving physicians.
Since the purchasing power of Indonesian
2. Sustainable adequate financing people is very low, the introduction of health insurance
WHO states that there five key actions to both in public and private sectors will need a lot of
improve access to medicines related to sustainable efforts and is really dependent on the macro and
financing: micro economy situation.
- Increase public funding for health, including for
essential medicines; 3. Affordable prices
- Reduce out-of-pocket spending, especially by The following subsections will discuss briefly
the poor; three important optional strategies to reduce the price
- Expand health insurance through national, local, of drugs:
and employer schemes; - Eliminating duties, tariffs and taxes on essential
- Target external funding-grants, loans, donations medicines
– at specific diseases with high public health - Price controls and;
impact; - Health insurance promotion
- Explore other financing mechanisms, such as
debt-relief and solidarity funds.30 a. Eliminating duties, tariffs and taxes on
essential medicines
These strategies are relevant for Indonesia since The WHO proposals to realize affordable prices
they must deal with the limited public budget and of essential drugs includes the policy of eliminating
low purchasing power in private sectors. duties, tariffs and taxes on essential medicines32
The increase public funding for health has a as one of possible solutions. This policy is very
pivotal role in solving the problems of sustainable important because duties, tariffs and taxes are
adequate financing. However, it would require good components of determining the price of drugs in
cooperation between central and decentralized local Indonesia. If the government eliminates duties, tariffs
governments since their priorities for public health and taxes for particular essential medicines, it
and development are different. significantly reduces the price of essential medicines
The expansion of health insurance and private in Indonesia.
health insurance which covers all people in Indonesia This policy can appeal to producers of essential
could support sustainable adequate financing. medicines who could anticipate marketing their
Insurance coverage could reduce out-of-pocket product at a lower price. This might also encourage
spending, especially important for the poor. It seems other pharmaceutical companies to participate in
that this idea will be realized in the near future producing essential medicines. However, this policy

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 5


Tomi Suryo Utomo: Usulan-Usulan Untuk Menghadapi ...

can affect the government’s revenues in trade and of rational drugs and reduce unreasonable markups
commercial sector. It may also be not feasible to of drugs.
realize it in a difficult economic situation. However, national social health insurance
requires a large budget from the public sector. Since
b. Price controls the government decentralized public health in 2001
The Indonesian government policy of controlling to local governments in Indonesia, the health budget
price of drugs is limited to some generic drugs and in each province has fallen due to the low priority of
essential drugs list. This policy allows most the public health sector among local governments.
pharmaceutical companies both local and Decentralization makes the establishment of national
multinational, to set the price of their non-generic social insurance which covers all people in Indonesia
and essential drugs according to their standards. is a challenging program to achieve.
Since there is a demand for higher priced non-generic
drugs, the present price control policy has had little 4. Reliable health and supply systems
effect on overall drug expenditures. Should Making essential medicines available is an
Indonesia’s drug price control policy be extended to important role of the government in promoting public
include non-generics? The policy on price control health. The Government should regulate and monitor
can be an effective strategy to provide affordable price the distribution of generic drugs and non generic
to the society. Indonesia should make its pricing drugs from producers to consumers. The distribution
policy a critical issue for both central and local system includes procurement, storage, and
government for the objective of improving access to transferal to drug stores hospitals, and practitioners,
affordable drugs. Comprehensive price control would the main target of companies promoting their
regulate the price of patented drugs produced by pharmaceutical products.
private pharmaceutical companies, including both In 2004 the WHO proposed a check list for
local and multinational companies. policy makers to handle the problems related to
The advantage of this policy is that the price of health and supply systems. There are five
drugs is set as stable as possible and it will minimize recommendations for managing those problems:
unreasonable, unnecessary markups from - Integrate medicines in health sector
multinational companies. For Indonesia, this will development;
benefit public since patented drugs dominate - Create efficient public-private-NGO mix
consumer purchases. However, a comprehensive approaches in supply delivery;
price control policy could discourage foreign investors - Assure quality of medicines through regulatory
from investing their capital in a host country and control;
reduce drug variety in market. - Explore various purchasing schemes:
procurement co-operatives;
c. Health insurance promotion - Include traditional medicines in the health care
Limited government budget in public health provision.34
sector and low purchase power of people in private
sector affect the feasibility of health insurance in Among these policies, it seems that the policies
Indonesia. In other countries, such as Sweden, the of a) integrating medicines in health sector
role of national health insurance not only provides development; b) assuring quality of medicines
financing services, but is pivotal in providing affordable through regulatory control and; c) exploring various
price of drugs because large-volume purchasers can purchasing schemes would be the most feasible
negotiate lower drug prices. The profit margin of strategies for improving health and supply systems
pharmaceutical companies is determined by the in Indonesia. This is because all those policies have
Sweden National Social Insurance Council. It is not already been applied in Indonesia although they have
surprising that the price of drugs in Sweden in the not been maximized.
lowest one in West Europe.33 This potential effect of Integrating medicines in health sector for
national health insurance should be considered by example has been used by the government but
Indonesia to reduce the price of drugs in market. insufficient public education about essential drugs,
This policy is attractive for Indonesia which has inappropriate prescribing behaviour, and unethical
a huge population and could improve access to care, promotion are barriers for appropriate use of
including drugs, for all society. If the use and price medicines, including generic drugs. Similarly,
of drugs were controlled by the government through Indonesia has a comprehensive regulation about drug
an insurance council, this policy could help the use registration which assures the safety, efficacy, and

6 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

quality of medicines. However, the problems of Since 1998, Indonesia’s production of 26 types
counterfeit drugs still exist in the market. Regarding of raw materials has fallen to 15 types of raw
various purchasing schemes, barriers are a limited materials produced by 15 pharmaceutical
budget for health and the low purchasing power of companies. Most local pharmaceutical companies
the people. Reviewing and evaluating these strategies agree that establishing an Indonesian raw materials
for managing the problems of health and supply industry for pharmaceuticals would reduce the local
systems will be important tasks for a companies’ dependency on imported raw materials.
multidisciplinary task force. But establishing an Indonesian capability will be
Creating efficient public-private-NGO mix costly and could exceed the needs of pharmaceutical
approaches in supply delivery is feasible for Indonesia companies in Indonesia. The use of imported raw
which has huge population and geographical barriers, materials might be cheaper than establishing an
particularly in Irian Jaya and Kalimantan. However, Indonesian industry. Even if current importation
it needs time to unify the different supply and seems cheaper, variable Indonesia currency in the
distribution channels, including the storage systems last 8 years will inhibit importation. Monetary swings
owned by public and private sectors, each with its make importation more risky and expensive. On
well-established system. balance, establishing an Indonesian raw materials
Providing inexpensive traditional medicines for industry seems preferable because it will create more
health care is an appealing idea. However, it may job opportunities for Indonesians and Indonesia has
not helpful because little is known about proven abundant natural resources for producing raw
efficacy, safety or quality of traditional medicines materials. If the capacity of the factories will exceed
based on modern pharmaceutical standards. the need of the Indonesian pharmaceutical
companies, the materials might be exported although
Additional Strategies other countries have a head start.37
The solution to some issues will be more difficult Because 98% of raw materials for
and will require more time for planning, negotiation pharmaceutical are imported from overseas, a local
and implementation. Some additional strategies, industry might reduce production costs and
such as 1) the development of the Indonesian local ultimately lower the price of drugs. In addition, having
pharmaceutical industry and 2) the policy of shifting a sufficient raw materials supply domestically may
generic production oriented local pharmaceutical assist local pharmaceutical companies to be more
companies to R&D based local pharmaceutical independent and self reliance. However, establishing
companies could reduce the impact of international an industry needs a lot of capital. In addition, raw
pharmaceutical patents on price and availability of materials produced must be absorbed by local or
essential medicines. multinational pharmaceutical companies. Due to
these factors, the establishment will take time and
1. The policy of establishing industry for the costly.
production of raw pharmaceutical
materials 2. The policy of shifting the generic drugs
Indonesia could potentially deal with natural production oriented local pharmaceutical
resources and the dependency of local companies to R&D based local
pharmaceutical companies. Why cannot Indonesia pharmaceutical companies
with its natural resources reach self sufficiency in For more than 50 years, most local
raw materials? Although Indonesia has a lot of natural pharmaceutical companies enjoyed privileges as
resources its local companies have to import raw generic drugs producers from the government. As
materials from foreign countries. Natural resources generic drug producers, they have not needed a
for drugs (material medika) such as Labiatae, strong R&D climate in their companies38 reflected
Compositae, Rubiaceae, Umbiliferae, Solanaceae, by a budgeted R&D of only 1%-2%. This number is
Apocyanaceae and Euphorbiacea are readily very low compared to multinational pharmaceutical
available in Indonesia. Some research dealing with companies which provide 15%-16% for R&D
the use of those plants for drugs has also been activities.39
conducted in Indonesia. 35 Unfortunately, that Therefore, the government must encourage local
research has not affected the use of local materials pharmaceutical companies to be more innovative and
and local pharmaceutical companies still import 95% consider the benefits of encouraging those
of raw materials from India, China, Korea and South companies to be R&D based companies. Such a
American countries. 36 development would be enormously costly because

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 7


Tomi Suryo Utomo: Usulan-Usulan Untuk Menghadapi ...

the government has to prepare infrastructures and Each criterion is scored on a 1-4 basis (4
develop appropriate human resources. However, meaning high and 1 meaning difficult or low). The
under the TRIPS Agreement, only established, well resulting total scores are used to rank the options.
financed R&D based companies are likely to survive The most feasible and important actions could be
and penetrate the international pharmaceutical listed as “urgent” (U) or immediate targets (i.e. in 1-
market. 2 years). Since these are feasible, they could be
R&D based pharmaceutical companies can be achieved early and give momentum to subsequent
more independent and not dependent on generic drug objectives. The next groups are either “short term”
production. In addition, those companies can be a (2-5 years) (S) or “long-term” (likely to take 5 + years
source of expenditure for the Indonesia economy if for implementation) (L).
those companies export their pharmaceutical Among these strategies, it appears that activities
products to other countries. However, this policy 1-2 are urgent; activities 3-6 are short-term and
would require a lot of capital, including the availability activities 4, 5 and 7 are long-term. Because R&D is
of sufficient and competent human resources and a complex activity, I include this activity as task force
good infrastructures. This policy seems not really or advisory group. Activities 3-5 and 7-8 appear to
feasible because it is costly and time consuming. need collaboration by several shareholders/sectors
cooperation to have any success.
A priority matrix and summary of proposed non-
patent recommendations Related to drug price CONCLUSION
and generic availability This paper found that pharmaceutical patent
Table 1 and 2 will conclude the discussion about protection is not the only factor affecting drug prices.
supplemental or non-patent policies from previous High price of drugs in Indonesia is influenced by
pages. Table 1 discusses the feasibility of these pharmaceutical policy that results in weak control
strategies by considering three factors; importance, of drug distribution and an absence of price controls.
feasibility and political – economic. Table 2 consists Local pharmaceutical companies depend upon raw
of a set of short and long-term strategies with four materials from abroad may encounter problems and
main focus; schedule, activity, advantage and health insurance organizations have failed to use
problems. volume purchases to negotiate the price of drugs.
The following table 1 provides criteria to compare Because access to essential drugs has other
the objectives and strategies, such as importance, barriers besides pharmaceutical patent protection,
feasibility and political-economic support for that the Indonesian Governments should address non-
strategy. This makes their selection process more patent barriers. These include rational selection and
clear to decision makers, rather than simply stating use of medicines, sustainable adequate financing,
the recommendation. price controls and reliable health and supply

Table 1. A priority matrix related to access to essential medicines and


generic availability
No. Activity Importance (Advantage) (Disadvantage) Total Score;
Feasibility Political-economic Timetable
EM selection 4 3 2 9 (U)
2. Promote generics 4 3 2 9 (U)
Appropriate drug use 4 2 1 7 (S)
Financing drugs (or subsidizing) 3 1 1 5 (L)
Affordable prices 3 2 1 6 (L)
System efficiency 3 2 2 7 (S)
Raw materials 2 2 1 5 (L)
R&D models 1 1 1 3 (TF)
Remarks:
- The Highest score: 4
- The lowest score: 1
- U : urgent or immediate targets (in 1-2 years)
- S : short-term (in 2-5 years)
- L : long-term (5 + years for implementation)
- TF : task force (or advisory group)

8 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Table 2. Proposed non-patent recommendations to improve access to essential medicines


No. Schedule Activity Advantage Problems
1. Short-term
a. Essential medicines selection; Periodic review; Cost, quality of care Opposition by
promote generics Essential Medicine List pharmaceuticals, teaching
Committee; promote hospital, incentives
generic use
b. Appropriate drug use Generic list; training, Cost, quality of care Monitoring, penalties, multi
supervision, sectoral, ethics, support
professional essential medicine list and
association’s public public expectation
education
c. Drug financing Government budget Cover poor Low priority for local
government and
government drug funds
d. Affordable prices Reform duties and tax Improve quality Lose government revenue
on imported essential
medicines
e. Healthcare and supply systems See WHO list Cooperation to meet Decentralization has non-
recommendations needs health priorities;
fragmented systems.
2. Long-term
a. Raw material Need financing, local Materials in Indonesia International competition,
companies consortium option
b. Evolve from generic to R&D Procure resources, May improve prices, job Capital, researches, public
models research capability, market preferences affect
long-term venture development
capital

systems. Underlying causes are complex and will 2. Ragavan, Srividhya, Can’t We All Get Along?
require review and problem solving by a multi- The Case for a Workable Patent Model, 35
disciplinary group with the power to make necessary Arizona State Law Journal, 2003; 117 (35): 7.
changes. Therefore, other countries’ experiences in 3. Maskus, Keith E. and Denise Eby Konan. Trade-
public health and academic writings offer options Related Intellectual Property Rights: Issues and
worth considering in Indonesia. These include Exploratory Results. In. Alan V. Deardorff and
controlling drugs promotion, maximizing the use of Robert M. Stern (eds).. Analytical and
generic drugs, improving administrative competence, Negotiating Issues in the Global Trading
drug procurement, distribution and storage. Finally, System. The University of Michigan Press. Ann
prescribing practices by physicians, pharmacists and Arbor.1994: 402-403.
drug vendors should be a priority. Meanwhile more 4. UNCTAD. The TRIPS Agreement And
complex long-term goals, such as establishing an Developing Countries. United Nations
industry to produce raw materials for Publications. Geneva. 1996: 62.
pharmaceuticals, can be considered. 5. Bala, K, and Kiran Sagoo. Patents and Prices,
These factors are major influences on access h t t p : / / w w w. h a i w e b . o r g / p u b s / h a i n e w s /
to essential medicines, including generic drugs in patents%20and %20Prices .html. 2000.
Indonesia. The burden of drug promotion controlling 6. Manchanda, Puneet and Elizabeth Honka. The
cannot be put on the government’s shoulder but made Effects and Role of Direct – To – Physicians
a shared responsibility with professional Marketing in the Pharmaceutical Industry: An
associations, such as the Indonesian Pharmaceutical Integrative Review, 5 Yale Journal Health Policy,
Company Association and the Indonesian Medical Law & Ethics, 2005, 785: 1.
Association. 7. R.B. Smith. The Development of A Medicine.
The Macmillan Press Ltd. London. 1985: 99.
REFERENCES 8. Z. John Lu and William S. Comanor. Strategic
1 Fink, Carsten. How Stronger Patent Protection Pricing of New Pharmaceuticals .http://
in India Might Affect the Behavior of www.mitpressjournals.org/doi/pdf/10.1162/
Transnational Pharmaceutical Industries, http:/ 00346539855721 2?CookieSet=1: 1.
/wbln0018.worldbank.org/research/ workpapers. 9. Jay P. Bae. Research on Pharmaceutical Drug
nsf/0/5d9b67dfa0777405852568e80065f3c4/$ Development, Use, and outcomes: Drug Patent
FILE/wps2352.pdf: 7.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 9


Tomi Suryo Utomo: Usulan-Usulan Untuk Menghadapi ...

Expirations and the Speed of Generic Entry, 22. GP Farmasi. Pengantar Pemahaman Komoditi
Health Services Research, 1997, 32 (1): 88, Obat (Acara Pertemuan dengan KPPU), 2006: 3.
h t t p : / / w w w. p u b m e d c e n t r a l . n i h / g o v / 23. Suara Pembaruan Daily, Perkembangan Obat
picrender.fcgi? artid=1070171&blobtype= pdf. Generik Lamban, http://www.Suara pembaruan.
10. Attaran, Amir. How Do Patents and Economic com/News/2004/05/06/ Kesra/kes03.htm,
Policies Affect Access to Essential Medicines 2004:1.
in Developing Countries? Health Affairs, - , 23 24. Republika Online, Problema di Seputar Obat
(3) :155, http://content.health affairs.org/cgi/ Generik http://www.republika.co.id/ cetak_
reprint/23/3/155 berita.asp?id =190295&kat_id=150. 2005: 2.
11. Bale, Jr, Harvey E. Patents and Public Health: 25. Media Indonesia Online. Tarif RS Tidak Standar,
a Good and Bad Mix? http://www.cnehealth.org/ Askes Sulit Berkembang, http:// mediaindo.
pubs/bale_patents_ and_public_health.htm: 1. i2.co.id/cetak /berita.asp?action=cetak&id=
12. Owen Lippert, Poverty, Not Patents, is the 2003042923442560, 2003: 2.
Problem in Africa, http;//www.Cnehealth. org/ 26. Kompas. Buku Biru Farmasi Disosialisasikan,
pubs/lippert_poverty_not_patents.htm:1. http://www.kompas.com /kompas-cetak/0204/
13. IFPMA. The Question Of Patents The Key To 22/iptek/buku10.htm, 2002: 1.
Medical Progress And Industrial Development. 27. Kompas, “Industrio-Medical Complex” Makin
International Federation of Pharmaceutical Kompleks, http://www.Kompas.com/ kompas-
Manufacturers Association. Geneva.1998:10. cetak/0011/22/ iptek/indu37.htm, 2000: 3.
14. World Health Organization (WHO). Network For 28. Kompas. Obat Rasional Kuncinya Dokter, http:/
Monitoring The Impact of Globalization and /www.kompas.com/kompas-cetak /0011/22/
TRIPS on Access to Medicines. Report of a iptek/obat39.htm, 2000: 2.
meeting February 2001, Bangkok, Thailand, 29. Ellen ‘t Hoen. Pills and Pocketbooks: Equity
Health Economics and Drugs, EDM Series No. Pricing of Essential Medicines in Developing
11, WHO/EDM/PAR/2002.1, WHO. 2002: 20. Countries), http://www.neglecteddiseases.org,
15. Republika Online. Problema di Seputar Obat 2001:1.
Generik, http://www.republika.co.id/cetak_ 30. WHO Policy Perspective on Medicines.
berita.asp?id=190295&kat_id=150. 2005: 1-2. Equitable Access to Essential Medicines: A
16. Depkes RI (KONAS), Kebijakan Obat Nasional/ Framework for Collective Action, http://
KONAS (draft), http://www.depkes.go .id/ whqlibdoc.who.int/hq/2004/WHO_EDM_2004.
downloads/Konas.pdf, 2005:11. 4.pdf, 2004: 2.
17. Article 13 of Act No.32 of 2004 on Local 31. Suara Pembaruan Daily. Jaminan Kesehatan
Government. Nasional Menjamin Keterjangkauan Obat, http:/
18. Article 2 (10) of Government Regulation No.25 /www.suarapembaruan.com /News/2003/02/08/
of 2000 on the Authority of Government and Kesra/kes03.htm, 2003: 1.
Province as an Autonomous Area. 32. WHO Policy Perspective on Medicines.
19. Buletin Desentralisasi Kesehatan. Equitable Access to Essential Medicines: A
Desentralisasi Kesehatan dan Perubahan Peran Framework for Collective Action, http://
Pemerintah dalam Pembiayaan Kesehatan, whqlibdoc.who.int/hq/2004/WHO_EDM_2004.
http://www.desentralisasi -kesehatan.net, 2004, 4.pdf, 2004: 2.
02 (02): 16. 33. Kompas, Farmako-Ekonomi Untuk Tekan Biaya
20. Global Forum Health. The 10/90 Report on Obat, http://www.kompas.com/ kompascetak/
Health Research 2003 – 2004., http://www. 0109/01/iptek /farm10. htm, 2001: 2.
Globalforumhealth.org/Site/002_What%20we% 34. WHO Policy Perspective on Medicines.
20do/005_publications/001_10%2090%20 Equitable Access to Essential Medicines: A
reports.php. 2003-2004: 9. Framework for Collective Action, http://
21. Hasbullah Thabrany et al. Social Health whqlibdoc.who.int/hq/2004/WHO_EDM_2004.
Insurance in Indonesia: Current Status and the 4.pdf, 2004: 2.
Plan for National Health Insurance (Annex 3). 35. DEPKES. Sejarah Kesehatan Nasional
presented in Social Health Insurance Workshop, Indonesia. Depkes. Jakarta. 1980: 110.
WHO SEARO, New Delhi, March 13-15, http:// 36. Ilham Kuncahyo. Potret Industri Farmasi di
w3.whosea.org/LinkFiles/ Social_Health_ Indonesia, Kompas, http://www.kompas .com/
Insurance_an3.pdf, 2003: 146. kompas-cetak/0404/12/opini/906297.htm, 2004: 2.

10 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

37. Kompas. Industri Farmasi Indonesia (Masih 39. Heriyanto Lingga et al (eds). Geliat Industri
Tetap) Industri Tukang Jahit, http:// Farmasi Indonesia Menuju Era Globalisasi:
www.kompas.com/kompas-cetak/0011/22/ Sumbangan Pemikiran Eddie Lembong
iptek/indu42.htm, 2000: 3. Terhadap Masalah Dan Tantangan Industri
38. Kompas. Industri Farmasi Minim Anggaran Farmasi Nasional. Pustaka Sinar Harapan.
Riset, http://www.kompas.com, 2004: 1. Jakarta. 1999: 112.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 11


JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 01 Maret l 2009 Halaman 12 - 19
Oktavianus Hulu, dkk.: Medical Error dan Perilaku Klinis ...
Artikel Penelitian

MEDICAL ERROR DAN PERILAKU KLINIS PETUGAS KESEHATAN DALAM


PENATALAKSANAAN MALARIA DI RSU GUNUNG SITOLI NIAS
MEDICAL ERROR AND CLINICAL BEHAVIOUR OF HELATH STAFF
ON MALARIA CASE MANAGEMENT AT GUNUNGSITOLI HOSPITAL, DISTRICT OF NIAS

Oktavianus Hulu1, Contesa Prihatin Familynard Maruhawa1,


Ari Probandari2, Adi Utarini3, Soesanto Tjokrosonto4
1
Rumah Sakit Umum Gunung Sitoli, Nias,
2
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK Universitas Sebelas Maret Surakarta,
3
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM, Yogyakarta,
4
Bagian Parasitologi, FK UGM, Yogyakarta.

ABSTRACT Salah satu penyebab kejadian resistensi adalah karena perilaku


Background: Malaria is a major health problem in Nias. In petugas kesehatan dalam penatalaksanaan kasus malaria. Di
recent, resistance to Choroquin has occurred in Nias. One of Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunung Sitoli Nias, malaria
the potential factors is provider behaviour in diagnosing and termasuk dalam 10 besar penyakit pada tahun 2005-2006.
treating malaria cases. In Nias district hospital, malaria is one RSUD Nias merupakan satu-satunya rumah sakit dan menjadi
of the ten most frequent diseases. This hospital functions as rujukan bagi 18 Puskesmas di wilayah tersebut.
referral for 18 health centres in the area. Tujuan: Penelitian ini berfokus pada penatalaksanaan klinis
Objective: This study focused on malaria case management malaria dan bertujuan untuk: (1) mengukur kejadian diagnostic
and aimed to: (1) describe occurrence of diagnostic and dan treatment errors, (2) mengukur kejadian error of
treatment errors; (2) describe occurrence of error of omission ommission dan error of commission; (3) mengeksplorasi
and error of commission; (3) to explore provider behaviour in perilaku klinis petugas kesehatan; dan (4) mengidentifikasi
managing the disease; and (4) identify predisposing, faktor predisposisi, pendukung dan penguat perilaku klinis
enabling,and enforcing factors to medical errors. petugas kesehatan.
Method: A combination of quantitative and qualitative research Metode: Studi ini menerapkan kombinasi penelitian kuantitatif
was applied in this study. One hundred forty six (146) blood dan kualitatif. Seratus empat puluh enam (146) sediaan darah
slides available in May 2007 were re-examined in Universitas pada bulan Mei (2007) diperiksa kembali oleh laboratorium di
Gadjah Mada (UGM) laboratory to measure diagnostic Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk mengukur kesepakatan
agreement. In addition, all medical record of malaria cases diagnosis Kappa. Seluruh rekam medik pasien yang diduga
were used to identify diagnosis and treatment errors. menderita malaria juga digunakan untuk mengetahui kejadian
Interviews were carried out with general practitioners, kesalahan diagnosis dan terapi. Untuk penelitian kualitatif,
specialists, laboratory staff and nurses who dealt with malaria dilakukan wawancara terhadap dokter umum, dokter spesialis,
case management. petugas laboratorium dan perawat yang menangani kasus
Result: Kappa index was low (0.04). Among all patients malaria. Data kualitatif dikumpulkan dengan cara observasi dan
diagnosed or treated as malaria (n=92), the occurrence of wawancara mendalam.
medical error was 1.87 per patient. Among these, this study Hasil: Uji kesepakatan Kappa menunjukkan nilai kesepakatan
identified 98 diagnostic errors, consisting of 16 cases of error diagnosis yang lemah (koefisien Kappa 0,04). Kejadian
of ommission (17.39%) and 82 cases of error of commission kesalahan medis pada penatalaksanaan malaria sebesar 1,87
(89.13%). Treatment errors occurred in 92 cases, i.e. 19 cases kali per pasien. Studi ini menemukan 98 kejadian kesalahan
of error of ommission (20.65%) and 73 cases of error of diagnosis, terdiri dari 16 kejadian error of ommission (17,39%)
commission (79.35%). Provider behaviour contributed to dan 82 error of commission (89,13%). Selain itu, terdapat 92
medical errors. The behaviour was supported by lack of kejadian kesalahan terapi, terdiri atas 19 kejadian error of
training on malaria for the hospital staff, absence of standard ommission (20,65%) dan 73 kejadian error of commission
operational procedure in managing malaria cases, incompetent (79,35%). Perilaku klinis petugas berkontribusi terhadap
laboratory staff and lack of reward for good performance. terjadinya kesalahan medik. Faktor yang mempengaruhi perilaku
Conclusion: The occurrence of medical error in case klinis tersebut adalah tidak adanya pelatihan bagi petugas rumah
management of malaria was high. Improvements in clinical sakit, belum tersusunnya standar operasional prosedur,
quality should be prioritized, taken into account the underlying rendahnya kompetensi petugas laboratorium serta tidak adanya
factors. penghargaan atas kinerja klinis yang tinggi.
Kesimpulan: Studi ini menemukan tingginya kejadian
Keywords: medical errors, malaria case management, hospital, kesalahan medis pada penatalaksanaan kasus malaria.
Nias Peningkatan mutu klinis penatalaksanaan malaria perlu
diprioritaskan, dengan mempertimbangkan faktor yang
ABSTRAK mempengaruhi perilaku klinis petugas.
Latar Belakang: Malaria masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat utama di Kabupaten Nias. Bahkan, pada saat ini Kata kunci: medical errors, penatalaksanaan malaria, rumah
telah terjadi kasus resistensi pengobatan malaria di Pulau Nias. sakit, Nias

12 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

PENGANTAR BAHAN DAN CARA PENELITIAN


Malaria merupakan penyakit endemik di 109 Jenis penelitian yang digunakan adalah cross-
negara di dunia dengan jumlah kasus sebesar 247 sectional survey untuk mengukur kejadian kesalahan
juta di antara 3,3 milyar populasi berisiko malaria medik, disertai dengan penelitian kualitatif mengenai
pada tahun 20061. Malaria menjadi penyebab perilaku klinis petugas kesehatan sebagai
kematian pada kelompok risiko tinggi, yaitu bayi, pendukung. Populasi penelitian adalah semua pasien
anak balita, ibu hamil dan secara langsung dapat yang terdiagnosis malaria klinis pada bulan Mei 2007
menurunkan produktivitas kerja.2 Di Indonesia, (n=888 orang). Diagnostic errors ditemukan
insidensi kasus malaria pada tahun 2005 sebesar berdasarkan pemeriksaan sediaan darah malaria,
4,02 per 1000 populasi, dengan insidensi tertinggi dibedakan menjadi errors of ommission apabila tidak
di Indonesia bagian timur.3 Di Kabupaten Nias, kasus dilakukan pemeriksaan tersebut dan errors of
malaria menempati urutan pertama sepuluh besar commission apabila tidak ada kesepakatan hasil
penyakit, dengan jumlah kasus sebanyak 23.237 pembacaan slidenya antara Laboratorium RSU
(34,45%)4 sedangkan di RSU Gunung Sitoli Nias, Gunung Sitoli dengan Laboratorium Parasitologi
terdapat 1.189 kasus malaria pada tahun yang sama. Fakultas Kedokteran UGM (FK-UGM) sebagai gold-
Selain tingginya beban kasus, masalah yang standard. Treatment errors diidentifikasi atas dasar
lain adalah ditemukannya kasus resistensi terhadap penggunaan antimalaria, yaitu tidak diberikan
obat anti malaria klorokuin di sebagian besar daerah antimalaria (errors of ommission) dan diberikan
endemik malaria, termasuk di Pulau Nias.5,6 Kejadian antimalaria secara tidak tepat jenis obat, frekuensi,
resistensi dapat terjadi karena ketidaktepatan dalam dosis, waktu pemberian, dan lama pemberiannya
penatalaksanaan kasus malaria, termasuk pula menggunakan standar Departemen Kesehatan
penanganannya di rumah sakit. Kesalahan dalam tahun 2006 (errors of commission). Data tentang
penatalaksanaan malaria dapat dikatakan sebagai treatment error diperoleh dari rekam medik.
kesalahan medis (medical error) jika dalam proses Penelitian kualitatif digunakan sebagai
asuhan medisnya terdapat kejadian yang dapat pendukung untuk memahami perilaku klinis petugas
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan kesehatan dalam penanganan malaria dan faktor
cedera (harm) pada pasien. Terdapat dua jenis yang mempengaruhinya. Faktor tersebut dibedakan
kesalahan medis, yaitu kegagalan dalam menjadi faktor predisposisi (predisposing factors),
melaksanakan suatu rencana atau menggunakan faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor
rencana yang salah untuk mencapai tujuannya (error penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi
of commission) dan tidak melakukan tindakan yang adalah faktor yang dapat memungkinkan terjadinya
seharusnya dilakukan (error of ommission). 7 perilaku tenaga kesehatan, misalnya pendidikan,
Keduanya dapat terjadi pada kesalahan diagnosis pengetahuan dan sikap, kepercayaan, tradisi,
maupun terapi. terhadap sesuatu yang dilakukan. Faktor pemungkin
Penelitian sebelumnya yang mengkaji masalah adalah faktor yang dapat memfasilitasi perilaku,
medical error di Indonesia masih terbatas. Data misalnya tersedianya fasilitas, sarana atau
tentang angka kejadian medical error secara prasarana. Faktor penguat adalah faktor yang
nasional belum tersedia, termasuk pada penyakit mendorong atau memperkuat perilaku tersebut,
yang mempunyai prioritas kesehatan masyarakat misalnya supervisi disertai pemberian umpan balik
yang tinggi seperti halnya malaria. Sebagian besar serta pemberian penghargaan atas kinerja tertentu.
kasus medical error teridentifikasi karena menjadi Pengumpulan data dilakukan dengan observasi pada
masalah hukum akibat adanya tuntutan dari pasien.8 saat dokter memberikan pelayanan kepada pasien
Penelitian ini memfokuskan pada malaria, wawancara mendalam kepada 3 dokter
penataksanaan klinis malaria di rumah sakit dan umum, 2 dokter spesialis dan 1 petugas
bertujuan untuk: (1) mengukur kejadian kesalahan laboratorium, serta 1 Diskusi Kelompok Terfokus
diagnosis dan terapi, (2) mengukur kejadian error of (DKT) dengan kelompok perawat. Data dianalisis
ommission dan error of commission; (3) dengan thematic content analysis.
mengeksplorasi perilaku klinis petugas kesehatan
yang terkait; dan (4) mengidentifikasi faktor HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
predisposing, enabling dan reinforcing terhadap Diagnostic error
perilaku klinis petugas dalam penatalaksanaan kasus Dari 92 pasien yang didiagnosis atau
malaria. mendapatkan pengobatan malaria, diagnostic error
of ommission dalam penelitian ini terjadi pada 16

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 13


Oktavianus Hulu, dkk.: Medical Error dan Perilaku Klinis ...

Malaria klinis 888 orang

Tidak diperiksa darah 4 Positif malaria: Negatif malaria


orang (0,45%) 64 orang (7,21%) 820 orang (92,34%)

Diberi obat Tidak Diberi Tidak Diberi obat Tidak diberi


malaria diberi obat diberi malaria obat malaria
4 orang obat malaria obat 24 orang 796 orang
(0,45%) malaria 45 orang malaria (2,70%) (88,64%)
- (5,07%) 19 orang
(2,14%)

Terdiagnosis/mendapat pengobatan
malaria 92 orang (10,36%)

Gambar 1. Hasil pemeriksaan laboratorium dan pengobatan malaria di RSU Gunung Sitoli

kasus (17,39%), terdiri dari tanpa pemeriksaan diberi pengobatan malaria secara tidak tepat (errors
sediaan darah malaria (4 kasus) dan mendapatkan of commission). Dengan demikian, total kejadian
pengobatan malaria sebelum dilakukan pemeriksaan medical errors pada penatalaksanaan malaria di
sediaan darah malaria (12 kasus) (Gambar 1). rumah sakit Gunung Sitoli Nias adalah 1,87 per
Diagnostic error of commission dalam penelitian ini pasien malaria (172/92). Hal ini berarti setiap pasien
adalah pasien yang dilakukan pemeriksaan darah dapat mengalami hampir 2 kejadian medical errors.
malaria dengan pembacaan yang tidak sepakat (82
kasus atau 89,13%). Kejadian ini lebih tinggi dari Perilaku petugas kesehatan yang terkait dengan
pada kejadian diagnostic error of ommission. kesalahan medik
Hasil uji kesepakatan antara laboratorium RSU Sesuai dengan temuan penelitian di atas, hasil
Gunungsitoli dengan Bagian Parasitologi FK-UGM penelitian kualitatif menggambarkan bahwa sebagian
menunjukkan nilai kesepakatan yang lemah (indeks dokter tidak melakukan pemeriksaan laboratorium
Kappa 0,04) (Tabel 1). pada pasien dengan malaria klinis. Dalam hal
pengobatan pasien malaria, dokter yang telah bekerja
Tabel 1. Koefisien kesepakatan Kappa Cohen dalam
lebih dari 5 tahun cenderung memberikan obat
pemeriksaan sediaan darah malaria antara
laboratorium RSU Gunungsitoli dengan bagian malaria tanpa didasarkan oleh hasil pemeriksaan
Parasitologi FK-UGM (Mei 2007) laboratorium. Sebagai ilustrasi,
Hasil Hasil pemeriksaan ”...Walaupun hasil labnya negatif, tapi kalau
pemeriksaan di Laboratorium Jumlah klinisnya sudah yakin, ya tetap kita kasih obat
malaria di FK-UGM malaria” (Wawancara, R5).
laboratorium RS (+) (-)
(+) 64 0 64
(-) 82 146 228 Fenomena yang sebaliknya pun terjadi. Terdapat
Jumlah 146 146 292 dokter yang tidak memberikan obat malaria atau
Keterangan: Po: (64/146)/292 atau 0,72; Pe: (32+114)/292 atau hanya memberikan antibiotika kepada pasien
0,5; Kappa: (0,72-0,5)/(1-0,5) atau 0,04 meskipun hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan positif malaria.
“Kalau saya ya, mau positif atau negatif hasil
Treatment error labnya itu, saya nggak kasih obat malaria.
Kejadian treatment error diidentifikasi pada 92 kasus. Saya cuma kasih antibiotik, sembuh koq...”
Diidentifikasi sebanyak 19 kasus (20,65%) dengan (Wawancara, R4).
errors of omission serta 73 kasus (79.35%) yang

14 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Selain keputusan terapi yang tidak berdasarkan Dokter: “Bapak dapat darimana
hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan pula resochinnya?
variasi pola pengobatan pada kasus malaria yang Pasien: ”Saya beli di warung dekat rumah,
disebabkan oleh P. Vivax yang merupakan kasus dok.”
yang paling banyak ditemukan. Variasi yang dijumpai
adalah pemberian klorokuin tanpa primakuin dan Sedangkan error of commision dalam
kombinasi antimalaria dan antibiotika. mendiagnosis malaria cenderung terjadi dengan
faktor predisposisi antara lain ketidaksesuaian
Faktor yang mempengaruhi perilaku terkait kompetensi petugas laboratorium malaria dan
kesalahan medik dalam penanganan malaria petugas laboratorium tidak pernah mengikuti
pelatihan. Di RSUD Nias, pemeriksaan sediaan darah
Faktor predisposisi (predisposing factor) malaria dilakukan oleh seorang petugas yang bukan
Penelitian ini menemukan beberapa faktor analis laboratorium, meskipun telah bekerja lebih dari
predisposisi dalam perilaku klinis petugas kesehatan 18 tahun dalam pemeriksaan malaria. Rumah Sakit
yang terkait dengan diagnostic error of ommission. (RS) sebenarnya memiliki tenaga analis
Faktor tersebut adalah: (1) perasaan khawatir pada laboratorium, tetapi tidak dimanfaatkan untuk
petugas apabila pasien mengalami kejang pada saat pemeriksaan malaria. Meskipun petugas
pengambilan darah, (2) keraguan dokter dan perawat laboratorium malaria di RS ini mempunyai masa kerja
atas kemampuan petugas laboratorium dalam yang lama, akan tetapi para dokter mempunyai
memeriksa sediaan darah malaria dan (3) persepsi pengalaman yang meragukan kompentensi petugas
bahwa gejala malaria yang khas jarang ditemukan laboratorium tersebut. Dalam DKT, perawat juga
pada pasien rumah sakit karena masyarakat telah menyatakan bahwa terdapat sebagian dokter yang
melakukan pengobatan sendiri sebelumnya. Obat- tidak memberikan obat malaria karena meragukan
obat malaria juga dapat diperoleh dengan mudah oleh hasil laboratorium pemeriksaan malaria:
masyarakat. “... dokter kami selama ini sudah koordinasi
[untuk] tidak dikasih obat malaria. [Kenapa?]
”Memang di Nias ini saya lihat karena mungkin Dia ragu-ragu pemeriksaan malaria di labor
sudah terlalu banyak penyakit malaria, [laboratorium]” (DKT Perawat).
sehingga masyarakat sudah pintar, sudah
pintar melakukan [pengobatan] secara
sendiri-sendiri sehingga banyak gejala- Hasil yang sama juga diperoleh dari hasil triangulasi,
gejalanya yang kami jumpai sudah tidak khas yaitu dengan wawancara baik pada dokter maupun
lagi di RS.” (Wawancara, R1) perawat.
Dialog berikut ini diperoleh dari observasi dokter dalam ”. . . Ada juga itu pasien, hari ini saya suruh
memberikan pelayanan kepada pasien malaria. periksa darah hasilnya positif, besok paginya
saya suruh ulang periksa lagi, eh negatif.
Dokter: ”Dari hasil lab bapak ternyata bapak Padahal nggak ada saya kasih obat apapun.
malaria. Apa bapak pernah demam beberapa Makanya, kalau sudah begitu saya jadi kurang
hari yang lalu?” ya kurang yakinlah dengan hasil lab itu. Ntah
bagaimana mereka periksa.” (Wawancara, R4)
Pasien: ”Iya, dok. Kira-kira seminggu yang
lalu saya demam, tapi tidak demam sekali, Faktor predisposisi terjadinya perilaku yang
kadang-kadang menggigil. Lalu saya minum mendukung treatment error adalah tidak adanya
resochin.” informasi terkini tentang penyakit malaria bagi para
Dokter: ”Koq minum resochin, pak? Kenapa? dokter, contohnya dalam masalah resistensi obat
Berapa hari bapak minum resochinnya?” malaria. Dokter cenderung meragukan bahwa
(dengan pandangan heran). masalah resistensi terhadap obat malaria sudah
terjadi di Nias. Menurut mereka masalah resistensi
Pasien: ”Hanya 2 tablet, dok. Waktu saya
demam dan menggigil itu saya pikir saya obat malaria di Nias masih merupakan dugaan yang
pasti kena malaria, makanya saya minum saja harus dibuktikan dan diteliti lebih lanjut. Pengetahuan
resochin.” tentang penyakit malaria diperoleh petugas
Dokter: ”Bapak tau darimana resochin itu
kesehatan melalui buku-buku yang dipelajari selama
obat untuk malaria? pendidikan dan berdasarkan pengalaman pribadi
selama menangani penderita malaria. Seluruh
Pasien: ”Ya sudah biasa di sini, dok. Rata- responden menyatakan sama sekali belum pernah
rata orang di sini sudah tahu kalau resochin
itu obat malaria.”
mengikuti pelatihan malaria.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 15


Oktavianus Hulu, dkk.: Medical Error dan Perilaku Klinis ...

Faktor pemungkin (enabling factor) Diagnostic error antara lain ditentukan oleh
Faktor pemungkin terjadinya diagnostic error adalah akurat tidaknya hasil pemeriksaan laboratorium.
tidak ada staf laboratorium yang bertugas pada shift Keakuratan diagnosis malaria dapat dipengaruhi oleh
malam hari, sehingga tidak dapat melakukan (1) kualitas sampel darah dari tersangka malaria,
pemeriksaan laboratorium pada malam hari (2) kualitas ruang pemeriksaan dan mikroskop serta
meskipun sebenarnya dibutuhkan. Selain itu, belum (3) kemampuan petugas laboratorium dalam
tersusunnya Standar Operasional Prosedur (SOP) pembuatan dan pemeriksaan apusan darah malaria.
dalam penanganan malaria di RSUD Nias Selama ini, pengambilan sediaan darah untuk pasien
merupakan faktor pemungkin lainnya untuk terjadi suspek malaria di RSUD Nias dilakukan tidak pada
diagnostic dan treatment error. saat pasien malaria mengalami periode berkeringat
pada akhir periode demam tetapi hanya mengacu
Faktor penguat (reinforcing factors) pada kebiasaan waktu dinas. Padahal, diagnosis
Perilaku dokter yang tidak melakukan diagnosis definitif demam malaria ditegakkan dengan
dengan dasar hasil pemeriksaan laboratorium atau ditemukannya parasit plasmodium dalam darah
memberikan pengobatan tanpa memperhitungkan penderita. Selain itu, seharusnya dilakukan
hasil pemeriksaan laboratorium diperkuat dengan pemeriksaan serial dengan interval antar
tidak adanya suatu mekanisme evaluasi kinerja dan pemeriksaan satu hari karena pemeriksaan
penghargaan. Kesempatan untuk memperoleh mikroskopis satu kali dengan hasil negatif tidak
pelatihan pun sangat kecil seperti halnya ungkapan menyingkirkan diagnosis malaria. Agar pemeriksaan
dokter berikut ini: mikroskopis mempunyai nilai diagnostik yang tinggi
(sensitivitas dan spesifisitas mencapai 100%) maka
“Saya lihat sangat terbatas bu untuk saya bisa waktu pengambilan sampel harus tepat yaitu pada
ikut pelatihan di tempat ini” (Wawancara, R1).
akhir periode demam memasuki periode berkeringat.
Pihak manajemen RS dipandang kurang Pada fase ini jumlah trophozoite dalam sirkulasi
memberikan perhatian kepada petugas mencapai maksimal dan cukup matur sehingga
kesehatannya. Responden sangat mengharapkan memudahkan identifikasi spesies parasit.7
agar pihak RS Gunungsitoli dapat memperhatikan Angka 28% false negative yang ada dan
kualitas sumber daya manusianya, baik melalui ketidakpercayaan para klinisi terhadap hasil
kesempatan untuk mengikuti pelatihan ataupun pemeriksaan laboratorium mengindikasikan perlunya
kesempatan untuk menempuh pendidikan. Selain peningkatan keterampilan petugas laboratorium dan
itu, terjadi kurang koordinasi antara pihak RS dan sistem monitoring mutu laboratorium yang kontinyu
Dinas Kesehatan dalam hal pelatihan malaria bagi dan sistematis.9 Suatu penelitian studi kasus di
staf di RS. Para responden sangat mengharapkan sebuah RS Tanzania menunjukkan adanya
peran Dinas Kesehatan untuk melibatkan mereka kecenderungan penurunan masalah overdiagnosis
dalam seminar atau pelatihan malaria. Ketika hal ini kasus malaria setelah dilakukan external quality
dikonfirmasi dengan Dinas Kesehatan setempat, assurance.10 Penerapan prosedur pembuatan dan
terdapat berbagai pelatihan malaria yang telah pemeriksaan apusan darah lebih bermanfaat daripada
diadakan di Kabupaten Nias, baik oleh Dinas peningkatan peralatan mikroskop. Perbaikan SOP
Kesehatan Kabupaten Nias maupun bekerjasama diperkirakan menyumbang 72% penurunan
dengan Global Fund for AIDS, TB and Malaria overdiagnosis error dan dapat menurunkan biaya
(GFATM). Namun demikian, tidak terdapat peserta diagnosis dan pengobatan malaria, sedangkan
yang berasal dari RS. peningkatan aspek peralatan mikroskopis hanya
menyumbang 28% perbaikan.11
Pembahasan Kesalahan pengobatan yang terjadi
Angka kejadian kesalahan medik yang menggambarkan bahwa pengobatan malaria semata-
ditemukan dalam penelitian ini cukup tinggi, yaitu mata diberikan atas dasar keinginan dan pengalaman
lebih dari satu kesalahan per pasien. Selain itu, hasil dokter dan tidak ada monitoring pengobatan dengan
uji kesepakatan hasil pemeriksaan laboratorium pemeriksaan apusan darah. Pengambilan sediaan
menunjukkan kecenderungan underdiagnosis kasus darah di RSU Gunungsitoli biasanya dilakukan hanya
malaria, dengan angka 28% negatif palsu dari seluruh sekali saja. Jika hasilnya negatif, tidak diperiksa
slide apusan darah yang diuji. Treatment error ulang. Apabila hasilnya positif, maka akan dilakukan
terutama terjadi karena ketidaktepatan pengobatan pengobatan. Dalam standar pengobatan nasional
dalam hal jenis, dosis dan interval pengobatan. untuk penderita tersangka malaria yang dirawat

16 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

dinyatakan bahwa apabila pemeriksaan sediaan Selain itu, kesempatan untuk mengetahui
darah pertama negatif, perlu diperiksa ulang setiap informasi terkini dapat mendukung proses
6 jam selama 3 hari berturut-turut. Apabila hasil pengambilan keputusan klinik yang tepat. Informasi
pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari yang bersumber dari buku teks seringkali kurang
berturut-turut tidak menemukan parasit, maka memadai, sering keliru, bahkan menyesatkan.20
diagnosis malaria dapat disingkirkan.12 Selain itu, Pelatihan kepada tenaga kesehatan agar dapat
efikasi pengobatan pada malaria vivax harus mendiagnosis dan menangani penderita malaria
dilakukan setelah 28 hari pengobatan, dengan menjadi komponen yang sangat penting dalam
melakukan pemeriksaan parasitologi.13 Namun, menghindari kesalahan diagnosis. Pelatihan
dalam penelitian ini didapatkan praktik yang tidak merupakan salah satu cara yang efektif untuk
sesuai, yakni evaluasi pengobatan tidak dilakukan meningkatkan keterampilan serta mengubah sikap
dengan pemeriksaan laboratorium ulang, namun dan perilaku dalam penanganan malaria.12 Pelatihan
hanya mengacu pada berkurangnya keluhan pasien. dapat memacu penanganan kasus malaria secara
Penelitian ini juga memperkuat temuan adanya bermutu berbasis bukti, tidak lagi berdasarkan pada
pemberian antibiotika yang tidak sesuai dengan pengalaman klinis.21 Penghargaan terhadap kinerja
indikasi pada pasien malaria. Penelitian sebelumnya karyawan dapat meningkatkan rasa memiliki
oleh Utarini menyimpulkan adanya peresepan karyawan terhadap suatu organisasi, menimbulkan
antibiotik pada 76,4% dari pasien malaria, 14 perasaan betapa pentingnya karyawan tersebut bagi
Penggunaan antibiotik sebagai obat antimalaria organisasi yang akhirnya akan meningkatkan
diperkenankan jika antibiotik yang digunakan adalah motivasi kerja karyawan.22
doksisiklin dengan anjuran dosis 1 kali per/hari Hasil penelitian ini juga menggambarkan
selama 7 hari digabung dengan kina 3 kali per/hari kemungkinan bahwa RS belum proaktif dalam
selama 7 hari (dosis 10 mg/kg bb/hari). Selain program penanggulangan malaria di Kabupaten Nias.
doksisiklin, tetrasiklin juga dapat digunakan sebagai Hubungan antara RS dengan Dinas Kesehatan dalam
obat antimalaria dengan anjuran dosis 250 mg 4 kali penanggulangan dan pemberantasan malaria di
sehari selama 7 hari digabung dengan kina 3 kali Kabupaten Nias tampak belum memadai. Padahal,
sehari selama 7 hari (dosis 10 mg/kg bb). Baik RS merupakan bagian integral dari manajemen
doksisiklin maupun tetrasiklin ini tidak dapat kesehatan dan manajemen penyakit di suatu
diberikan pada anak usia di bawah 8 tahun, ibu hamil wilayah. Rumah Sakit (RS) memiliki informasi
dan menyusui dan hanya digunakan untuk malaria tentang penderita yang dirawat, termasuk kontak
dengan P. falsiparum.15 Apabila pelayanan yang dengan sumber penyakit yang sangat penting untuk
diberikan tidak sesuai dengan standar, maka hal ini penelusuran suatu kasus.17 Rumah Sakit (RS) dan
bertentangan dengan Undang-Undang No.23/1992 Dinas Kesehatan perlu mengembangkan hubungan
tentang kesehatan pasal 53 ayat 2, menyatakan yang lebih fungsional. Belajar dari program
bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan pengendalian tuberkulosis, telah dikembangkan
tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar kemitraan antara Dinas Kesehatan dan semua
profesi dan menghormati hak pasien, serta Undang- penyedia layanan kesehatan termasuk rumah sakit
Undang Praktik Kedokteran pasal 51 (a) yang dan praktisi swasta dalam bentuk Public-Private Mix
menyatakan bahwa dokter atau dokter gigi dalam (PPM). Pendekatan PPM terbukti dalam
melaksanakan praktik kedokteran mempunyai memperbaiki aspek surveilens (penemuan kasus)
kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dan meningkatkan kualitas pengobatan kasus TB.23
dengan standar profesi dan standar prosedur Dalam program malaria, initiatif untuk menjalin
operasional, serta kebutuhan medis pasien.16 kemitraan dengan praktisi swasta sudah dimulai
Oleh karena itu, penyusunan SOP yang untuk kepentingan memperluas akses terhadap
evidence-based sangat diperlukan untuk mendukung pengobatan anti malaria yang efektif.24 Kemitraan
pelayanan medis yang aman bagi pasien dan tenaga selanjutnya perlu dikembangkan untuk memperbaiki
kesehatan.17 Hal ini sesuai dengan konsep dasar praktik penatalaksaan kasus malaria di semua
clinical governance yang menyatakan bahwa dalam penyedia layanan kesehatan.
melakukan pelayanan pada pasien harus Gejala awal penyakit malaria tidak spesifik dan
mempunyai ciri accountable, continuous quality penduduk yang tinggal di daerah endemis malaria
improvement, high quality standard of care, telah terbiasa dengan gejala-gejala tersebut dan
memfasilitasi dan menciptakan lingkungan yang mendiagnosis dirinya sendiri.13 Penelitian di Butajira,
menjamin pelayanan kesehatan yang bermutu.18,19 Ethiopia Selatan, menyatakan bahwa sebagian besar

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 17


Oktavianus Hulu, dkk.: Medical Error dan Perilaku Klinis ...

pasien malaria datang berobat ke RS setelah 3. WHO SEARO. Malaria profile: Indonesia 2005
mengkonsumsi obat malaria di rumah (294 atau http://www.searo.who.int/LinkFiles/Malaria_
46,7%). Sedangkan pasien yang berobat ke RS Profile_Indonesia.pdf (diakses April 2008)
tanpa mengkonsumsi obat malaria di rumah lebih 4. Achmadi, U.F. Manajemen Penyakit Berbasis
sedikit (yaitu 210 atau 33,3%).25 Perilaku ini dapat Wilayah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.2005.
mempengaruhi terjadinya kesalahan diagnosis dan 5. Dinas Kesehatan Kabupaten Nias. Profil Dinas
pengobatan pada penanganan malaria. Kesehatan Kabupaten Nias Tahun 2006.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini semakin Pemerintah Kabupaten Nias. Jakarta. 2006.
menguatkan bahwa kesalahan medik umumnya 6. Fryauff, D.J., Leksana, B., Masbar, S., Wiady,
disebabkan oleh suatu kegagalan pola sistem I., Sismadi, P., Susanti, A.I. et al. The drug
sehingga memberikan peluang bagi terjadinya suatu sensitivity and transmission dynamics of human
error. Unsur manusia hanya merupakan salah satu malaria on Nias Island, North Sumatera,
mata-rantai dalam sistem tersebut.26 Indonesia. Annals of Tropical Medicine &
Parasitology. 2002; 96 (5):447-62
KESIMPULAN 7. Harijanto, P.N. Malaria Epidemiologi,
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kejadian Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan
medical error dalam penanganan malaria di RSU Penanganan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC,
Gunung Sitoli cukup tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh Jakarta. 2000.
perilaku klinis tenaga kesehatan yang kurang 8. Depkes RI. Panduan Nasional Keselamatan
mendukung penatalaksanaan malaria di rumah sakit. Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). Direktorat
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya Jenderal Pelayanan Medis. Jakarta. 2006.
kesalahan medik dalam penanganan malaria adalah 9. Depkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan
tidak adanya pelatihan dan informasi terkini lainnya, Republik Indonesia Nomor 496/MENKES/SK/
kompetensi petugas kesehatan yang tidak memadai, IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah
belum tersusunnya SOP penatalaksanaan malaria Sakit. Direktorat Jenderal Pelayanan Medis.
dan belum tersedianya sistem penghargaan bagi Jakarta. 2005.
kinerja klinis yang tinggi. 10. Masika, P.M., Semarundu, W.J., Urassa, R.,
Dari hasil penelitian ini, rumah sakit disarankan Mosha, J., Chandramohan,D., Gosling, R.D.
untuk membangun sistem pelayanan klinis yang Overdiagnosis of malaria is not a lost
mendorong pelayanan yang bermutu serta cause.Malaria Journal. 2006; 5:120. doi:10.1186/
meningkatkan koordinasi dengan Dinas Kesehatan, 1475-2875-5-120 (tersedia pada http://
terutama dalam penanganan penyakit-penyakit yang www.malariajournal.com/content/5/1/120)
mempunyai kepentingan kesehatan masyarakat 11. Zurovac,D., Larson, B.A., Akhwale,W., Snow,
yang tinggi seperti halnya malaria. R.W. The financial and clinical implications of
adult malaria diagnosis using microscopy in
UCAPAN TERIMA KASIH Kenya. Tropical Medicine and International
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Health. 2006;11(8):1185-94.
seluruh pihak yang telah berpartisipasi dalam 12. Depkes RI. Modul Pemeriksaan Parasit Malaria
penelitian ini. Penelitian ini dibiayai oleh Young Secara Mikroskopik. Direktorat Jenderal PPM
Researcher Grant Phase II “Promoting evidence- & PL, Direktorat Pemberantasan Penyakit
based hospital policy and management by Bersumber Binatang. Jakarta. 2003.
strengthening the quality and use of research findings 13. World Health Organization. Guidelines for the
in the decision making.” dari Alliance for Health Treatment of Malaria. Geneva. 2006.
Policy and Systems Research tahun 2006. 14. Utarini A. Evaluation of the User-Provider
Interface in Malaria Control Programme: the case
KEPUSTAKAAN of Jepara Districts, Central Java Province,
1. WHO.World Malaria Report 2008. World Health Indonesia. Umea University Medical
Organization. Geneva.2008. Dissertations. 2002.
2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman 15. Depkes RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus
Penatalaksanaan Malaria di Indonesia. Malaria Di Indonesia. Direktorat Jenderal
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Penyehatan Lingkungan. Jakarta.2006. Lingkungan. Jakarta. 2006.

18 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

16. Depkes RI. Undang-Undang Republik Indonesia 22. Djasri, H. Penerapan Clinical Governance
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Melalui ISO 9000 : Studi Kasus di Dua RSUD
Jakarta. 1992. Provinsi Jawa Timur. Jurnal Manajemen
17. Mukti, A.G. Strategi Terkini Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan. 2006;09(03):121-8.
Pelayanan Kesehatan: Konsep dan 23. Dewan, P.K., Lal, S.S., Lonnroth, K., Wares,
Implementasi. PT. Karya Husada Mukti. F. Uplekar, M., Sahu, S., et.al. Improving
Yogyakarta. 2007. tuberculosis control through public-private
18. Wright, J. & Hill, P. Clinical Governance. Elsevier collaboration in India: literature review. BMJ.
Science Limited. Newcastle. 2003. 2006;332:574-8.
19. Sabarguna, B.S. & Sumarni. Sumber Daya 24. Roll back Malaria. Roll Back Malaria Consultative
Manusia Rumah Sakit. Konsorsium Rumah Meeting on the Role of Medicine Sellers in the
Sakit Islam Jateng-DIY. Yogyakarta. 2004. Management of Malaria: what’s worked and
20. Dwiprahasto, I. Clinical Governance Konsep where do we go from here?. Meeting report Roll
Modern Pelayanan Kesehatan Yang Bermutu. Back Malaria/Malaria Case Management
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Working Group, Accra-Ghana, 26-27 May 2004.
2001;04(04):197-202 25. Deressa, W., Ali, A., Enqusellassie, F. Self-
21. Hung, L.Q., Vries, P.J., Giao, P.T., Nam, N.V., Treatment of Malaria in Rural Communities,
Binh, T.Q., Chong, M.T. et al. Control of Malaria: Butajira, Southern Ethiopia. Ethiopian Journal
A Successful Experience From Vietnam. of Health Development. 2003; 81(4):262-3.
Bulletin of The World Health Organization. 2002; 26. Guwandi, J. Medical Error Dan Hukum Medis,
80(8):660-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2005.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 19


JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 01 Maret l 2009 Halaman 20 - 23
Rizaldy Pinzon, dkk.: Clinical Pathway Dalam Pelayanan ...
Artikel Penelitian

CLINICAL PATHWAY DALAM PELAYANAN STROKE AKUT:


APAKAH PATHWAY MEMPERBAIKI PROSES PELAYANAN?
CLINICAL PATHWAY IN ACUTE STROKE: DO THE PATHWAYS WORK

Rizaldy Pinzon, Sugianto, Laksmi Asanti, Kriswanto Widyo


SMF Saraf RS Bethesda Yogyakarta

ABSTRACT PENGANTAR
Background: The stroke care pathway is a simple resource
that provides the user with a summary of the key aspects of
Stroke merupakan masalah kesehatan yang
care that should be considered for people with stroke at any utama. Stroke merupakan penyebab kematian nomor
stage in their care. There is very limited study about the use of tiga (setelah penyakit jantung dan kanker), dan
clinical pathway in Indonesia. penyebab kecacatan nomor satu.1 Proses pelayanan
Aim: This study described the process of developing clinical
care pathway and the trial of pathway for 50 patients with yang lebih terorganisir terbukti memperbaiki luaran
acute stroke. stroke. Penelitian Fagerberg, dkk2 pada 249 pasien
Method: The method of this study is after-before analysis. stroke memperlihatkan bahwa pelayanan unit stroke
We compare the process and outcome of non haemorrhagic
stroke patients before and after the pilot implementation of the
secara signifikan menurunkan angka kematian dalam
pathway. The data was obtained randomly from the medical 3 bulan pertama dibandingkan pelayanan
record of stroke patients. The data was analyzed descriptively. konvensional (28% versus 49%). Penelitian lain oleh
Result: The data from 50 non haemorrhagic stroke patients Rudd, dkk3 pada 8200 pasien stroke memperlihatkan
after the pilot implementation of clinical pathway were compared
with the data from previous year. The analysis showed that bahwa pelayanan unit stroke mampu menurunkan
there are improvement in the tracing for stroke risk factors, angka kematian akibat stroke sampai dengan 25%.
swallowing assessment, nutritional consultation, and functional Kajian sistematis yang dilakukan oleh Seenan,
status measurement after the pathway implementation. There
are not significant reductions on the average length of stay
dkk4 terhadap 72 penelitian terdahulu menyimpulkan
and mortality rate between the two periods. bahwa perawatan unit stroke yang multidisiplin
Conclusion: Our study showed that clinical pathway is menurunkan risiko kematian (OR: 0,79, 95% CI 0,73-
improving the indicator of stroke care services. The further 0,86) dalam 1 tahun pertama. Perbaikan proses
study for evaluating the effectiveness of stroke care pathway
in longer period is warranted. pelayanan yang multidisiplin merupakan salah satu
faktor penentu prognosis yang dapat dimodifikasi.
Keywords: clinical pathway, stroke, process of care, outcome Clinical pathway dapat didefinisikan sebagai
ABSTRAK pendekatan multidisiplin yang berbasis waktu yang
Latar belakang: Clinical pathway adalah daftar tilik yang digunakan untuk membantu pasien-pasien tertentu
sederhana untuk memberikan pelayanan stroke yang multi mencapai luaran positif yang diharapkan.5 Langkah-
disiplin dan menyeluruh. Penelitian tentang penggunaan clinical
langkah dalam pathway seharusnya berlaku bagi
pathway di Indonesia masih sangat terbatas.
Tujuan: Penelitian ini mendeskripsikan proses pengembangan sebagian besar pasien untuk suatu luaran yang
clinical pathway dan hasil uji coba implementasi clinical pathway diharapkan. Kondisi klinis pasien tentulah tidak
untuk 50 pasien stroke iskemik akut. sama, dan perubahan kondisi klinis pastilah
Metode: Metode penelitian ini adalah after-before analysis.
Peneliti membandingkan proses dan luaran stroke iskemik akut seringkali terjadi, sehingga diperlukan fleksibilitas
atara sebelum dan sesudah pemberlakuan uji coba clinical suatu pathway.
pathway. Data diambil secara acak dari catatan rekam medis. Clinical pathway merupakan perangkat
Data dianalisis secara deskriptif.
Hasil: Data diperoleh dari 50 pasien stroke setelah
koordinasi dan komunikasi bagi para petugas yang
pemberlakuan uji coba clinical pathway stroke. Data terlibat dalam tatalaksana pasien yang sama.6
dibandingkan dengan pasien stroke pada periode yang sama Clinical pathway merupakan perangkat bantu untuk
tahun sebelumnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada penerapan standar pelayanan medik (evidence
perbaikan dalam hal pelacakan faktor risiko stroke, penilaian
fungsi menelan, konsultasi gizi, dan pengukuran status based clinical practice guideline). Sampai saat ini
fungsional. Tidak ada beda bermakna dalam hal lama rawat penerapan standar pelayanan medis masih belum
inap dan mortalitas di antara dua periode pengamatan. sepenuhnya dapat dicapai. Standar pelayanan medis
Simpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberlakuan
clinical pathway memperbaiki proses pelayanan stroke.
tidak tersedia di bangsal pelayanan atau poliklinik,
Penelitian lebih lanjut untuk menilai efektivitas pathway dengan dan pada umumnya merupakan dokumen yang
jangka waktu yang lebih lama sangat diperlukan. tersimpan rapi di kantor sekretariat RS. Kesenjangan
dalam penerapan SPM ini dapat diatasi dengan
Kata Kunci: clinical pathway, stroke, proses perawatan,
efektivitas mengintegrasikan clinical pathway dalam rekam

20 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

medis pelayanan pasien sehari-hari. 6 Clinical Proses sosialisasi clinical pathway stroke
pathway merupakan perangkat penunjang dilakukan dengan membagikan draft clinical pathway
pemberlakuan SPM lokal atau nasional, dan stroke kepada semua petugas yang terlibat dalam
mendorong praktek klinik berbasis bukti.5 pelayanan stroke (dokter, perawat stroke, ahli gizi,
Permasalahan yang muncul adalah uji coba farmasi, dan fisioterapi). Masukan dan saran terhadap
clinical pathway untuk kasus stroke di Indonesia draft dikumpulkan dan diringkas oleh koordinator
masih sangat jarang dilakukan. Makalah ini akan pathway. Sosialisasi dilakukan dalam lokakarya satu
membahas pengembangan, sosialisasi, dan uji coba hari. Pengembangan konsensus dilaksanakan pada
clinical pathway untuk pelayanan stroke. saat lokakarya untuk menjamin bahwa clinical
pathway sesuai dengan kondisi lokal rumah sakit.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Uji coba clinical pathway dilakukan dengan Clinical pathway dan proses pelayanan stroke
metode quasi eksperimental dengan after-before Uji coba pada 50 kasus menunjukkan adanya
analysis. Pengembangan clincal pathway dilakukan perbaikan dalam hal pelacakan faktor risiko stroke,
oleh tim multidisiplin yang mewakili masing-masing penilaian fungsi menelan, pencatatan dan
profesi dalam pemberian pealayanan untuk pasien kelengkapan lembar follow up, dan konsultasi gizi.
dengan stroke akut. Tim terdiri dari dokter, perawat, Tabel 1 menunjukkan perbaikan proses pelayanan
fisioterapist, ahli gizi, farmasis. stroke setelah pemberlakuan clinical pathway. Hasil
Pengembangan clinical pathway dilakukan uji coba tidak memperlihatkan perbedaan yang
dalam bentuk lokakarya 2 minggu. Pengembangan bermakna dalam hal lama rawat inap dan angka
konsensus antara anggota tim dilakukan supaya kematian. Tabel 2 menunjukkan rerata lama rawat
clinical pathway yang dilaksanakan dapat memenuhi inap (LOS) dan angka kematian.
kondisi lokal RS. Clinical pathway dikembangkan
dalam bentuk daftar tilik (check list), sehingga Tabel 1. Perbaikan dalam proses pelayanan stroke
saat uji coba clinical pathway
mudah diingat, dilaksanakan, dan dievaluasi. Tabel 2. Rerata lama rawat inap dan angka kematian
Draft clinical pathway disebarluaskan kepada
staf yang terkait. Clinical pathway akan Indikator Sebelum uji Sesudah uji
coba (50 pasien) coba (50 pasien)
disosialisasikan pada saat pelatihan perawat stroke.
Draft akan terus diperbaiki dan disesuaikan dengan Pelacakan faktor Panel stroke Panel stroke
risiko lengkap pada lengkap pada
kondisi lokal RS. Beberapa bagian dari clinical 64% kasus 97% kasus
pathway akan disempurnakan selama pelatihan tim Penilaian fungsi Tidak dikerjakan Dikerjakan pada
stroke RS. menelan 100% kasus
Uji coba dilakukan selama 3 bulan (bulan April CT Scan kepala Dikerjakan pada Dikerjakan pada
dalam 24 jam 100% kasus 100% kasus
2008-Juli 2008). Analisis terhadap hasil uji coba sejak masuk RS
dilakukan secara acak pada 50 rekam medis dan Konsultasi gizi Dikerjakan pada Dikerjakan pada
form clinical pathway untuk stroke. Data diolah 82% kasus 100% kasus
dengan paket program statistik dan ditampilkan Penilaian status Dikerjakan pada Dikerjakan pada
fungsional 32% kasus 86% kasus
secara deskriptif. Data pembanding diperoleh dari
data 50 pasien stroke yang masuk RS sebelum
pemberlakuan clinical pathway pada periode bulan sebelum dan sesudah pemberlakuan pathway
yang sama tahun 2007. Pembahasan
2007 2008
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Apr Mei Jun Jul Apr Mei Jun Jul
Pengembangan clinical pathway LOS 7,24 6,4 7,02 7,45 14,7 6,76 7,3 7,53
Jumlah pasien 65 60 45 60 64 54 71 51
Pengembangan clinical pathway didahului % mortalitas 10,7 8,3 8,8 8,3 9,3 3,7 15,4 7,8
dengan melakukan pelacakan pustaka secara
elektronik terhadap berbagai standar pelayanan
medis berbasis bukti (evicence based clinical Pelayanan kesehatan diberikan dalam sebuah
practice guideline) untuk stroke akut. Pelacakan proses pelayanan yang sangat kompleks, mudah
dilakukan di www.guideline.gov. Seorang koordinator terjadi variasi, dan rentan terhadap kesalahan. Daftar
ditunjuk untuk merumuskan berbagai standar tilik telah digunakan untuk memperbaiki proses
pelayanan medik tersebut ke dalam langkah-langkah pelayanan dan mengurangi variasi dalam berbagai
clinical pathway yang disesuaikan dengan kondisi industri lain. Berbagai kondisi klinis yang berbeda
lokal RS. dan bersifat individual pada mulanya memunculkan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 21


Rizaldy Pinzon, dkk.: Clinical Pathway Dalam Pelayanan ...

keraguan apakah sebuah pathway dapat dilakukan luaran yang diharapkan.7 Hal ini tentu saja tidaklah
pada berbagai tindakan medis.7 benar, pathway memiliki fleksibilitas untuk berubah
Variasi dalam tindakan medis untuk kondisi sesuai dengan kondisi pasien. Variasi dalam pathway
klinis yang sama ditentukan oleh banyak hal. tentu saja harus pula sesuai dengan standar
Perubahan kondisi klinis, kompleksitas masalah pelayanan medis yang telah disepakati bersama.6
klinis, perbedaan sumber daya antar institusi, dan Hambatan utama dalam pemberlakuan sebuah
kemampuan pasien merupakan sebab munculnya clinical pathway adalah sebagai berikut: (1)
variasi dalam pelayanan medis. Sebuah standar ketidakmauan untuk berubah, (2) keterbatasan bukti
pelayanan medik memiliki target populasi tertentu ilmiah yang diacu, (3) dan kurangnya dukungan untuk
yang mencakup secara optimal 80% pasien. Hal ini perbaikan mutu pelayanan kesehatan. 10
berarti ada kondisi klinis yang tidak tercakup dalam Ketidaktaatan staf terhadap standar pelayanan medik
sebuah standar pelayanan medik berbasis bukti.7 dan clinical pathway merupakan masalah utama
Kajian Brandt8 memperlihatkan bahwa sampai dalam penerapan konsep EBM (Evidence Based
saat ini terdapat banyak variasi dalam tindakan terapi Medicine) dalam praktik medis.7
dan model organisasi untuk stroke. Perbedaan Beberapa penelitian sebelumnya telah menguji
terutama disebabkan oleh rasio petugas dan pasien. efektivitas suatu pathway dalam memperbaiki proses
Penelitian McNaughton, dkk9 memperlihatkan dan luaran pasien stroke. Metode yang digunakan
bahwa ada hubungan yang lemah antara variabel bervariasi, dengan hasil yang bervariasi pula.
proses pelayanan dan luaran pasien. Kajian sistematis yang lebih baru dari Kwan dan
Clinical pathway adalah rencana Sandercock16,17 menunjukkan bahwa masih banyak
penatalaksanaan pasien yang bersifat multidisiplin, diperlukan eksplorasi yang mendalam untuk menilai
yang berisi detail langkah-langkah penanganan efektivitas clinical pathway untuk pelayanan stroke.
seorang pasien mulai masuk RS sampai dengan Kajian tersebut menunjukkan bahwa belum ada bukti
keluar RS. Clinical pathway merupakan langkah- yang konklusif bahwa clinical pathway menurunkan
langkah protokol terapi dan standar pelayanan angka kematian. Ada bukti ilmiah yang lemah bahwa
pasien. Clinical pathway lebih merupakan pengingat pathway akan memperbaiki status fungsional saat
(reminder) dan perangkat evaluasi untuk kemajuan keluar RS dan menurunkan angka kejadian
pasien. Clinical pathway bukan merupakan tirani bukti komplikasi ISK. Dampak pemberlakuan pathway
ilmiah dan tidak mengancam kebebasan klinik. untuk menurunkan biaya perawatan dan lama tinggal
Penyimpangan/ variansi dari pathway masih sangat di RS masih belum konklusif, dan masih diperlukan
dimungkinkan sesuai dengan perkembangan kondisi penelitian tambahan untuk mencapai hasil yang lebih
pasien. konklusif. Proses pelayanan yang lebih baik tidak
Sebuah kritik tajam yang sering dialamatkan semata-mata akan memperbaiki luaran stroke, hal
pada penerapan clinical pathway adalah ancaman ini terkait dengan kompleksitas masalah medis pada
terhadap otonomi dokter. Proses yang sangat stroke.
terstandar seringkali dianggap sebagai bentuk
pengekangan otonomi medis.6 Sebagai bentuk KESIMPULAN
aplikasi dari sebuah standar pelayanan medik, Clinical pathway merupakan salah satu
sebuah pathway seringkali tidak dapat menjadi perangkat yang digunakan untuk memperbaiki
strategi yang selalu sama untuk semua pasien. proses pelayanan. Clinical pathway yang dibuat
Pathway seringkali dianggap sebagai bentuk “resep sebagai daftar tilik akan berfungsi sebagai reminder,
masalan”, yang apabila diikuti akan memperoleh dan merupakan perpanjangan tangan sebuah standar

Tabel 3. Hasil penelitian terdahulu tentang penerapan clinical pathway bagi pasien stroke
Nama (tahun) Tempat Metode Subyek Hasil
Sulch, dkk11 Inggris Uji klinik 76 pasien setiap Tidak ada beda bermakna dalam hal
kelompoknya mortalitas dan lama rawat inap
12
Panella, dkk Italia Pre and post 35 pasien stroke Dihentikan sebelum selesai karena
test analysis penolakan tenaga medis
13
Wolff, dkk Australia Pre and post 123 pasien stroke Pathway secara signifikan memperbaiki
test analysis kepatuhan program terapi
14
Kwan, dkk Inggris Pre and post 251 pasien stroke - Perbaikan proses pelayanan,
test analysis - Tidak ada beda dalam hal kematian dan
lama tinggal di RS
15
Van Exel, dkk Belanda Uji klinik non 411 pasien stroke Pemberlakuan pathway terbukti bermanfaat
randomisasi menurunkan lama inap dan pembiayaan

22 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

pelayanan medik. Hasil uji coba menunjukkan 8. Brandt T, Motor and Functional Recovery After
pathway memperbaiki proses pelayanan stroke. Stroke: A Comparison Between 4 European
Penelitian lebih lanjut sedang berjalan untuk menilai Rehabilitation Centers, Stroke, 2007; 38: 2030-
efektivitas pathway dalam memperbaiki luaran stroke. 31.
9. McNaughton H, McPherson K, Taylor W,
KEPUSTAKAAN Weatherall M, Relationship Between Process
1. American Heart Association, 2003, Heart and Outcome in Stroke Care, Stroke; 2003;
Disease and Stroke Statistics-2004, Update, 34:713-7.
Dallas (www.strokeaha.org) 10. Campbell H, Hotchkiss R, Bradshaw N,
2. Fagerberg B, Claesson L, Hedstro¨m GG, Porteous M, Integrated care pathways, BMJ,
Blomstrand C, Effect of Acute Stroke Unit Care 1998; 316:133-7.
Integrated With Care Continuum Versus 11. Sulch D, Evans A, et.al. Does an Integrated Care
Conventional Treatment: A Randomized 1-Year Pathway Improve Process of Care in Stroke
Study of Elderly Patients: The Go¨teborg 701 Rehabilitation? A Randomized Controlled Trial,
Stroke Study, Stroke. 2000;31:2578-84. Age and Ageing, 2002; 31: 175-9.
3. Rudd AG, Hoffman A, Irwin P, Pearson MG, 12. Panella M, Marchisio S, Stanisla D, Reducing
Stroke Unit Care and Outcome Results from the Clinical Variations With Clinical Pathways: Do
2001 National Sentinel Audit of Stroke (England, Pathways Work?, International Journal for
Wales, and Northern Ireland), Stroke. Quality in Health Care, 2003; 15(6): 509–21.
2005;36:103-106 13. Wolff AM, Taylor SA, McCabe JF, Using
4. Seenan P, Long M, Langhorne P, Stroke Units Checklists and Reminders in Clinical Pathways
in Their Natural Habitat: Systematic Review of to Improve Hospital Inpatient Care, MJA, 2004;
Observational Studies, Stroke. 2007;38:1886-92 181: 428–31.
5. Middleton S, Roberts A. Clinical Pathways 14. Kwan J, Hand P, Dennis M, Sandercock P,
Workbook. VFM Unit; Wrexham; 1998; 6. 2004, Effects of Introducing an Integrated Care
6. Pearson SD, Fisher DG, Lee TH, Critical Pathway in an Acute Stroke Unit, Age and
Pathways as a Strategy for Improving Care: Ageing, 2004; 33: 362–7.
Problems and Potential, Ann Intern Med, 1995, 15. Van Exel NJA, Koopmanschap, MA, Scholte
123(12): 941-48. W, et.al. Cost-effectiveness of integrated stroke
7. Timmermans S, Mauck A, The Promises And services, Q J Med, 2005; 98:415–25.
Pitfalls of Evidence-Based Medicine: 16. Kwan J, Sandercock, In-Hospital Care
Nonadherence to practice guidelines remains Pathways for Stroke: A Cochrane Systematic
the major barrier to the successful practice of Review, Stroke, 2003;34;587-8.
evidence-based medicine, Health Affairs, 2005; 17. Kwan J, Sandercock P, In-Hospital Care
24(1); 18-28. Pathways for Stroke: An Updated Systematic
Review, Stroke. 2005;36:1348-9.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 23


JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 01 Maret l 2009 Halaman 24 - 32
Siswanto, dkk.: Community Empowerment Through ...
Artikel Penelitian

COMMUNITY EMPOWERMENT THROUGH INTER-SECTORAL ACTION,


A CASE STUDY OF GERBANGMAS IN LUMAJANG DISTRICT
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN PENDEKATAN AKSI LINTAS SEKTOR,
STUDI KASUS GERBANGMAS DI KABUPATEN LUMAJANG

Siswanto, Evie Sopacua


Puslitbangkes Surabaya

ABSTRACT menciptakan kendaraan netral yang mampu mengakomodasi


The objective of this case study was to learn the policy kepentingan multi sektor.
process of the Gerbangmas movement in Lumajang district
as an innovation within decentralized system. Using qualitative Kata Kunci: pemberdayaan masyarakat, Posyandu,
approach, data was collected by in-depth interview of key Gerbangmas, aksi lintas sektor, determinan sosial kesehatan.
informants and review of documents, then analyzed
thematically. The study has revealed that the policy change of BACKGROUND
Gerbangmas initiative is not a radical but incremental process
which takes around five years period. It started from
It has been understood by public health experts
“conventional Posyandus” to be “Balai Posyandu Mandiri”, that population health status, shown by life
then revived by the Bupati into Gerbangmas movement. Health expectancy, morbidity rate, and mortality rate, is the
sector has successfully advocated the Bupati to create a outcome of medical and non-medical determinants.
common vehicle for all sectors. The study has identified that
the essences of Gerbangmas movement were (i) neutral
Blum1 stated that population health status was
vehicle, (ii) shared goals, (iii) all sectors could be passengers, influenced by 4 factors, i.e. environment, behavior,
(iv) strong power of the referee, (v) government financial health care system, and genetic (demography). Blum
stimulants, (vi) self management by community, and (vii) neutral also stated that of the four factors, environmental
cadres as the implementer (PKK). Gerbangmas movement
has encouraged multi sectors to set programs for community
and behavior factors were the most influential
empowerment. The study recommended that in conducting compared with health services and genetic factors.
community empowerment for addressing social determinants With the use of Blum’s framework, it can be
of health, it is of importance to set a neutral vehicle that can concluded that, to promote population health status,
accommodate multi sectors’ interests.
non-medical intervention should be geared for the
Keywords: community empowerment, Posyandu, improvement of community behavior and
Gerbangmas, inter-sectoral action, social determinants of environment.
health Frankish et al2 has identified ten non-medical
determinants that influenced population health
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji proses kebijakan dari
status, i.e. (i) income and social status, (ii) social
gerakan Gerbangmas di Kabupaten Lumajang sebagai sebuah support networks, (iii) education, (iv) employment
inovasi di era desentralisasi. Dengan pendekatan kualitatif, and working conditions, (v) social environments, (vi)
data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dari informan physical environment, (vii) personal health practices,
kunci dan review dokumen, kemudian dianalisis secara tematik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inisiatif kebijakan
(viii) healthy child development, (ix) culture, and (x)
Gerbangmas bukanlah proses radikal tetapi inkremental yang gender. To solve those determinants needs
memerlukan waktu selama lima tahun. Kebijakan ini dimulai dari partnership of multi sectors.
perubahan Posyandu konvensional menjadi Balai Posyandu Health promotion experts have been aware that
Mandiri, dan akhirnya oleh Bupati direvitalisasi menjadi gerakan
Gerbangmas. Sektor kesehatan telah berhasil mengadvokasi
inter-sectoral action is the key of success to improve
Bupati untuk menciptakan sebuah kendaraan netral bagi semua non-medical determinants for health development.
sektor. Studi ini berhasil mengidentifikasi hakekat gerakan However, people usually say that inter-sectoral action
Gerbangmas, yakni (i) kendaraan bersifat netral, (ii) adanya is something “sweet to talk” but “hard to implement”.
tujuan bersama, (iii) semua sektor dapat menjadi penumpang,
(iv) adanya juri yang mempunyai kekuasaan, (v) stimulan
Field experience has shown that very often the
pembiayaan dari pemerintah, (vi) manajemen sendiri oleh intersectoral action programs resulted from
masyarakat, dan (vi) adanya kader netral sebagai pelaksana coordination meetings are stopping at a “meeting
kegiatan (anggota PKK). Gerbangmas telah mendorong multi note”, but not being implemented in the field. The
sektor untuk menerapkan program pemberdayaan masyarakat.
Penelitian ini merekomendasikan bahwa dalam melaksanakan
challenge of implementation of inter-sectoral action
pemberdayaan masyarakat untuk memperbaiki determinan can be understood as each sector will have its own
sosial kesehatan, penting bagi pelaku pembangunan untuk goal and interests.

24 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Decentralization system in Indonesia launched of District PKK (the wife of Bupati) (iv) Chief, District
in 2001 has provided district/municipality’s Development Plan Body (v) Social Welfare
governments more opportunities to make innovations Commission of Local Legislative, (vi) Multi sectors
for improving community welfare. Lumajang district, (agriculture, family planning, education, community
one of 38 district/municipalities in East Java, has empowerment, religion, and cooperative, industry
shown its innovation to develop community and trade district office), (vii) Head of Sub-district
empowerment for improving non-medical administration, (viii) Head of Health Center, (ix) Head
determinants, via inter-sectoral action. Such a of Village Administration, (x) Health Cadres, and (xi)
community empowerment is called “Gerbangmas”, Informal leaders.
standing for Gerakan Membangun Masyarakat The documents to be explored are: (i)
Sehat. documents/secondary data related to the process
Through the advocacy of Lumajang District of Gerbangmas policy set-up (District Health Office
Health Office, in January 2005 Bupati of Lumajang and District Local Government), (ii) documents/
has launched Gerbangmas movement as a strategy secondary data related to policy guideline (local
of community empowerment by using Posyandu as government policy, Bupati’s decree with regard of
an entry point. Gerbangmas Posyandu, as the Gerbangmas, guideline of Gerbangmas, indicators
implementer of Gerbangmas movement, has three of program, etc) (PKK office and District Health
functions i.e. (i) the center for community education, Office), (iii) documents / secondary data related to
(ii) the center for community empowerment, and (iii) the implementation of the program (realization of the
the center for community services. action plan, community resource mobilization,
The general objective of the study is to elaborate program financing, human resource / volunteers,
the policy process and inter-sectoral action of coverage, etc) (District Health Office and Posyandus).
Gerbangmas movement. The specific objectives of Data is analyzed qualitatively based on the themes
the study are to elaborate (i) the concept of concerned.
Gerbangmas, (ii) the political process of
Gerbangmas, (iii) the operationalization of RESULTS
Gerbangmas, and (iv) the inter-sectoral action of The Concepts of Gerbangmas
Gerbangmas implementation. After a long political process, accommodating
the interests of stakeholders involved, then the
METHODS concepts of Gerbangmas was agreed upon. The
The study employed a qualitative approach. Data concepts of Gerbangmas was documented in the
and information were collected by two methods i.e. form of “Gerbangmas Guideline for Cadres”. Such a
in-depth interview of key stakeholders and exploration guideline consisted (i) background, (ii) framework of
(review) of related documents. The interview of key thinking, (iii) operational definition, (iv) goal and
informants were tape-recorded to guarantee not objectives, (v) organization, (vi) indicators to achieve,
loosing important information.3 (vii) program implementation, and (viii) reporting
Key informants to be interviewed are: (i) Chief system. As stated in “the framework of thinking” in
of District Health Office, (ii) Chief of Community the guideline, the concept of Gerbangmas can be
Health Promotion, District Health Office, (iii) Chair outlined as Table 1.

4
Table 1. The Concept of Gerbangmas using Posyandu as a Center of Community Development Activities
Basic thoughts Community Vehicle and Priorities Expected outcome
addressed
- Healthy paradigm People at sub-village Vehicle: Posyandu The realization of Healthy
- Environmental level Priorities: Lumajang 2007 and
improvement - MCH and health care qualified family in 2012
- Qualified family - Family endurance*)
- Mental and spiritual building
- Healthy environment
- Clean and healthy behavior
- Productive economy
*) Family endurance consists of underfive growth stimulation, Youth Community Activities in Health, Elderly
Community Activities in Health, and Family Planning

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 25


Siswanto, dkk.: Community Empowerment Through ...

The goal of Gerbangmas was the achievement prevents conflicts amongst passengers (sectors) is
of Healthy Lumajang 2007 to anticipate Healthy District Secretary assisted by District Planning Body.
Indonesia 2010 and of qualified family in 2012. The All sectors can therefore be on board any time as
objectives of the movement were divided into four long as to support the goals of Gerbangmas by
segments i.e. (i) community, (ii) Posyandu, (iii) implementing their development programs. In facts,
government, and (iv) private. For community, the all community empowerment programs are
objective was to increase the proportion of health demanded to make use of Gerbangmas as an entry
potencies within Posyandu areas, in order to support point. So, Gerbangmas can integrate all development
the achievement Healthy Lumajang 2007 and programs at community level.
qualified family in the year 2012. For Posyandus, In village level, Gerbangmas movement made
the objective was to increase the roles of Posyandu use of a four-cycle problem solving approach i.e. (i)
as a center for community education and training, problem identification, (ii) community dialogue to set
and a center for community empowerment and action plan, (iii) execution of community programs,
services. For the government, the objective was to and (iv) monitoring and evaluation. In Gerbangmas
increase coordination and synergy of development movement, the management system was organized
programs. For private sector, the objective was to hierarchically from the level of Posyandu, of village,
increase partnership of government and private sector of sub-district, and finally of district. It should be noted
in the development of community health and welfare.4 that Gerbangmas management cycle was done by
Gerbangmas movement had 21 indicators to be community themselves. The functions of multi
achieved, consisting 14 indicators for human sectors were to provide funding and technical
development, 1 indicator for economy, and 6 assistance with regard of their programs in
indicators for household environment, as outlined in Gerbangmas. Whatever programs, as long as
Table 2. Looking at the 21 indicators, such indicators community empowerment, will be directed to use
could accommodate the interests of multi sectors Gerbangmas as a vehicle. This system would
e.g. PKK, religion, education, cooperative, industry therefore encourage the integration all development
and trade, health, family planning, agriculture, and programs at community level.
public works. Above Posyandu’s level, hierarchical teams were
To understand Gerbangmas concept, it is worth established. At village level, it was formed Village
making an analogy as follows. The end goal of Gerbangmas Team. Head of the Village was a
Gerbangmas is Healthy Lumajang 2007 and qualified responsibility holder of Gerbangmas at village level.
of family in 2012. The vehicle to go there is At sub-district level, it was formed Sub-district
Gerbangmas vehicle (a neutral vehicle). PKK acts Gerbangmas Team. Camat, as head of sub-district
as the driver of Gerbangmas vehicle, while the government, was a responsibility holder of
passengers are all sectors involved. The referee who Gerbangmas at sub-district level.

Table 2. The Indicators of Gerbangmas and the Targets in 20074


No Indicators Target 2007
1 Worship compliance 80% Household
2 Literacy 100% Population
Compulsory basic education 100% Population
Poor people < 25% Household
Use of iodinated salt 80% Household
Underfive undernutrition (below red line) < 5% Underfives
Delivery by health staff 85% Delivery
Coverage of W/U (Weighed/Underfives) 85% Underfives
Eligible couple with family planning 80% Eligible couple
Underfive growth stimulation activity 100% Posyandu
Youth community health activity 100% Village
Elderly community health activity 100% Village
Productive economy group 60% Village
Posyandus with first or second strata (Purnama and Mandiri) 40% Posyandu
Early childhood education 100% Village
Clean, green and beautiful environment (green fences) 80% Household
Use of house yard for productive plants 80% Household
Use of healthy latrine 60% Household
Use of safe water 70% Household
Household waste management 80% Household
Healthy house 60% Household

26 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

The Political Process of Gerbangmas emphasized that the indicators should be focused
The policy process of using Posyandus as an on “three programs plus” (health, education, and
implementing institution of Gerbangmas is not a agriculture, plus tourism and small enterprises) and
short story. Rather, the policy of using Posyandus “community empowerment” in nature. Then under
for Gerbangmas movement occurred in an the commitment of the Bupati, 21 indicators of
“incremental way”. There has been an intense Gerbangmas had been decided. (see Table 2).
interaction between Head of District Health Office, From in-depth interview with the wife of Bupati
the Bupati and the wife of Bupati as chairperson of and Operational Team of Gerbangmas (all sectors
District PKK. involved in Gerbangmas), it can be noted that “the
In 2001, District Health Office wanted to improve real think tank” (the man behind the gun) of
“conventional Posyandus” (e.g. Posyandus which is Gerbangmas was Head of Health District Office, as
conducted in house yard of a community leader with stated by District PKK chairperson below.
limited activities) to be “Balai Posyandu Mandiri”
(Posyandu Hall). District Health Office has succeeded “In reality, those who encourages PKK to be
the motor of Gerbangmas is District Health
in advocating the Bupati to allocate 7.5 million IR Office. District Health Offices acts as the think
(around 800 US$) to build Posyandu Hall as stimulant tank of Gerbangmas. PKK is the heart of
for community’s movement. As a pilot project, each health sector. PKK and health sector are
united”.
sub-district should propose one village to get the (Chair of District PKK)
allocation of 7.5 million IR to build Posyandu Hall.
The stimulant has encouraged community solidarity By using stakeholder analysis, the actors of
working together to build Posyandu Hall, in terms of Gerbangmas can be identified as follows. Head of
funding, workforce, materials, in facts land. District Health Office, assisted with his staff, acted
As Posyandu Halls have been built, the activities as an advocator; key stakeholder was Bupati; the
of Posyandu were improved from five activities e.g. partners of advocator were District PKK and other
MCH, family planning, nutrition, immunization and supporting sectors; and the opposans were sectors
diarrhea control into the five activities added with not involved in the shared indicators (the 21
underfive growth stimulation and early childhood indicators). The following was the statement of Head
education. With the additional activities, Posyandus of District Health Office as obtained by in-depth
increased their opening from once a month into twice interview.
a week, enriching Posyandu activities. The sectors
involved were increasing, from health and family “We should realize that health is the outcome
planning offices expanding to health, family planning of all sectors’ programs. So, we need a
neutral vehicle that all sectors can be
and education offices. Posyandu Hall therefore has passengers. The interests of health sectors
successfully improved Posyandu’s activities and should be covered or blurred. The weakness
sectors involved. of conventional village community health
In 2005, within the ceremony of Bupati’s wife development – conventional Posyandus – is
the facts that the vehicle is claimed to be
birthday which invited all sectors, the Bupati multi sectors but the end goal is still the
requested to all sectors to establish a concept of interest of health sector. So, the coordination
community empowerment using Balai Posyandu amongst sectors is only easy to talk but hard
Mandiri as an entry point, but should accommodate to implement”.
(Head, District Health Office)
the interests of all sectors. Health Office then made
a draft of the concept of community empowerment
From the facts elaborated, it can be elucidated
as requested by the Bupati. There had been six
that the policy process of Gerbangmas is incremental
times of meeting to discuss the concept of
(evolutionary) in nature. The evolution of “conventional
Gerbangmas. Each sector was trying to include their
Posyandus” to be “Gerbangmas Posyandus” can be
indicators in Gerbangmas. However, the Bupati
diagramed as Figure 1.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 27


Siswanto, dkk.: Community Empowerment Through ...

Before 2001 2001 - 2004 2005 and after

Conventional Posyandus Balai Posyandu Mandiri Gerbangmas Posyandus


− Activities: 5 health (Posyandu Hall) − Activities: 5 health
services e.g. MCH, − Activities: 5 health services services plus family
Family Planning, plus underfive growth endurance, clean and
Nutrition, Immunization, stimulation, early healthy behavior,
Diarrhea Control. childhood education, health education for underfives
− Population targets: post for elderly. and illiterate people,
mothers and underfives − Population targets: mental and spiritual
− Place of activities: house mothers, underfives and building, productive
yard of community elderly. economy
leaders − Place of activities: Balai − Population targets:
− Sectors involved: health Posyandu Mandiri mothers, underfives,
and family planning (Posyandu Hall) elderly and all
− Sectors involved: health, community.
− No of Cadres: 5 persons
family planning, and − Place of activities:
education Posyandu Hall,
− No of Cadres: 5 persons household and
community groups
− Sectors involved: multi
sectors (all sectors)
− No of Cadres: 9 persons

Figure 1. The Evolution of “Conventional Posyandus” to be “Gerbangmas Posyandus” in Lumajang District

Operationalization of Gerbangmas at Posyandu determining priorities and action plan. The process
Level of identifying the type of activities and the people
Being chosen as Gerbangmas Posyandus, the who will get stimulants need a long discussion,
cadres should be added from 5 cadres into 9 cadres, negotiation and consensus amongst community
taken from local community leaders. The 9 cadres, members. Some Posyandus need one meeting,
together with village staff, were trained in sub-district others need twice, another need three times, in facts
level by Sub-district Gerbangmas Team assisted with more, depending on the dynamics of community
District Team. After training, the cadres were members. The results of community dialogue were
expected to be able to perform community survey, written in a proposal of community action plan,
to facilitate community dialogue, to write action plan comprising two types of activities e.g. operational
(proposal), to implement action plan, to make and intervention activities. The stimulant of 10 million
financial accountability, and to evaluate the results. IR was allocated for operational cost amount to 4
The first activity done by cadres after training million IR and for intervention cost amount to 6 million
was community survey to identify community IR. The household who got stimulant should
problems with regard of the 21 Gerbangmas contribute shared funding for executing the
indicators. Using household form, the cadres intervention.
performed survey from house to house to identify To describe the use of 10 million IR stimulant,
the problems of the 21 Gerbangmas indicators for we could elaborate one example of community action
each household. From household form, the data was plan in Gerbangmas Posyandu Srikandi, Ditotrunan
recapitulated into neighborhood group form (forms village. In 2007, the Posyandu got the stimulant of
for Neighborhood Group). From neighborhood group 10 million IR. In its action plan document, the
form, the data was recapitulated into Posyandu’s allocation of government stimulant was categorized
form. From the last forms, the cadres should make into two activities. First, operational activities
a map to show the gaps between the reality and the comprised cadre’s honorarium (incentive), meeting,
target of Gerbangmas for each indicator. From here, administrative materials, and other operational cost.
the cadres could identify a list of community Second, intervention activities comprised of (i)
problems. communication, information and education (CIE) of
The next activity was community dialogue. The compulsory basic education, (ii) CIE of underfive
list of community problems identified was then under nutrition, (iii) food supplements for underfive,
discussed in a community dialogue forum for (iv) CIE of family planning, (v) purchase of iodinated

28 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

salt, (vi) appliances for underfive growth stimulation dialogue should be considered as a reference for
and early childhood education, (vii) productive multi sectors’ programs. In this case, District
economy, and (viii) kampong passage improvement. Secretary together with District Planning Body
For intervention activities, the communities were functioned as a referee. In facts, within district
obliged to contribute additional funding to run the planning discussion, District PKK played an
interventions. important role in providing inputs regarding
The budget of 10 million IR was channeled to community problem at grass root level. The funding
cadres via Posyandu’s bank account of local bank. of Gerbangmas was therefore not solely based on
The transfer of money was divided in three steps the 10 million IR stimulant, but also coming from
e.g. the first step of 4 million was for operational multi sectors’ programs which made use of
cost, the second step of 3 million for first intervention, Gerbangmas as an entry point.
and the third step of another 3 million for second The power of Gerbangmas to direct multi
intervention. As the funding of 10 million was inherent sectors’ programs in providing budget for community
with local government budgeting system, the transfer empowerment was surprising. The 2006 multi
of money was not always smooth, which in turn sectors’ programs that supported Gerbangmas could
would disrupt program implementation. It could be seen in Table 3. In facts, Gerbangmas
happen that the household who got stimulant was encouraged multi sectors to perform a competition
ready but the money from the government was not for allocating of resources for community
ready yet. empowerment programs at “grass root level”.
Every quarter, the cadres conducted monitoring The achievement of Gerbangmas indicators was
to assess the progress of indicators’ achievement. always raised and questioned by Bupati in district’s
Supervision of community action plan was done by monthly meeting. Respective sectors and Head of
cadres assisted by steering team. At the end of the Sub-districts which showed the failure of
year, the cadres recapitulated the achievement of Gerbangmas target achievement would get warning
all activities and reported the results to village from Bupati in the meeting, as stated by Head of
authority. The results were then reported Health Promotion Section, District Health Office, as
hierarchically to Sub-district Gerbangmas Team and the following.
finally to District Gerbangmas Team. The gaps
between the achievement in the field and the target ”The Gerbangmas items or certain districts
with red color will show Bupati bad credits
became new problems in the following year. for the respective sectors or Head of Sub-
districts in the event of district monthly
The Inter- Sectoral Collaboration meeting. The warning of Bupati can make
them ashamed”.
Based on Bupati’s Decree No. 188.45/302/ (Head of Community Health Promotion, District
427.12/2005 about The Formation of Gerbangmas Health Office)
Team in Lumajang District, the roles of multi sectors
in Gerbangmas movement were quite clear e.g. Besides the improvement of Gerbangmas
providing budget and technical assistance.5 In indicators, it has been noted that the program was
operating Gerbangmas movement, the Bupati already accepted by the people of Lumajang as a
functioned as a policy commitment holder, District “social mobilization”. From observation in the field, a
Gerbangmas team as implementer at district level, number of banners, logos, and bill boards can be seen
Sub-district Gerbangmas team as implementer at in city’s roads, kampong passage, and house roofs,
sub-district level, Village Gerbangmas team as in relation with Gerbangmas. Such campaigns, for
implementer at village level, and Posyandu’s staff example, were a plea for Gerbangmas success, clean
(cadres and community leaders) as implementer at and healthy behavior promotion, stop smoking, and
operational level. others. Interestingly, all of the campaign banners and
Within District team, District Secretary together bill boards were made and taken in place by
with District Planning Body functioned as referee of community themselves. In addition, a number of
multi sectors’ planning. Multi sectors functioned as activities were labeled with Gerbangmas, like
the players on how to achieve the 21 shared Gerbangmas march championship, Gerbangmas fair,
indicators. All multi sectors’ projects at community Gerbangmas bicycle rally, etc. The examples above
level should make use of Gerbangmas system. has proved that Gerbangmas was already accepted
Therefore, the problem priorities set by community as a social mobilization for achieving better life.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 29


Siswanto, dkk.: Community Empowerment Through ...

Table 3. Multi Sectors’ Programs that Supported Gerbangmas Movement in 2006


No Sectors (Sectoral Office) Programs related to community empowerment Total budget
and services (per 1,000 IR)
1 Community Empowerment Women empowerment for family welfare, social support for 5,205,136
Office elderly, poverty reduction
2 Population, Family Birth registry for cadres and poor family, family endurance 4,103,761
Planning and Civil (underfive growth stimulation, youth health, elderly health),
Registration Office family planning services
Education Office Illiteracy alleviation, early childhood education, the supply 1,658,180
of educational tools for underfive growth stimulation
Health Office Posyandu revitalization, food supplementation for 1,216,844
underfives with undernutrition, the supply of Posyandu
appliances, cadres’ jamboree, promotion of clean and
healthy behavior
Fishery Office Promotion of sea fishery and pond fishery, campaign of fish 132,300
eating
Public Work Office Kampong improvement 2,814,000
Cleanliness and Supply of plants for community, workshop on environment 391,575
Environmental Office for cadres, clean river program, aid of garbage composter,
aid of garbage can, and other sanitation programs
Labor and Transmigration Rich labor project to decrease unemployment 359,880
Office
Religion Office Religion education for community 2,415
Planning Body Urban poverty alleviation by job training and productive 359,880
economy program
Agriculture Office Yard intensification, supply of plants for productive farming 110,675
Cooperative, Industry and Training in productive economy for community group and 192,852
Trade Office cooperative system
TOTAL 16,547,498

DISCUSSION programs at grass root level. What was interesting


The emergence of Gerbangmas initiative to be in Gerbangmas movement was the nature of the
Lumajang Local Government’s policy was not a policy. Gerbangmas initiative has a number of
radical but rather an incremental process, as the outstanding characteristics compared to
change from its embryo i.e. Posyandu Hall to conventional primary health care model (conventional
Gerbangmas movement took about five-year period. Posyandus) e.g. neutral vehicle, not sectoral, shared
This phenomenon was in line with Lindblom’s theory indicators, stimulant budget from the government,
of policy making that policy change would occur in management by community, and neutral driver (PKK).
an incremental way rather than in a radical way.6 Such characteristics of community empowerment
The acceptance of Gerbangmas initiative as a neutral were of importance to facilitate the coordination,
vehicle for accommodating multi sectors’ interests synchronization and cohesion of multi sectors and
required the process of advocacy, negotiation and to encourage social mobilization.8 Therefore, the
compromise. In the case of Gerbangmas, the role model of Gerbangmas could improve the concept of
of Head of District Health Office in continuously Alma Ata’s Primary Health Care which still stressed
advocating of a multi sectoral approach model of on health sector indicators but tries to include multi
community empowerment was very crucial. The role sectors in achieving health sector’s goals.9 In
of Bupati as key stakeholder (decision maker) to Gerbangmas model, no sectors became winner or
direct multi sectors to have “shared goals” has played looser; all were the winner. Gerbangmas model was
as an important factor as well. What really happened a tactic to address social determinants of health
in Gerbangmas policy set-up was a political process (income, environment, education, nutrition, sanitation,
as stated by Hill7 that policy determination was not housing, religion, etc.) by the hands of multi sectors
a rational process but a political process. Therefore, in the way that multi sectors fight their own interests
the set up of any policy, including community as they interpreted what they should do.
empowerment, needed a strong commitment from a The tactic of Head of District Health Office to
key stakeholder or top leader to direct multi sectors blur health sector’s goals (health status improvement)
in achieving certain goals. with a common goal (family welfare), by using a
Gerbangmas initiative had its superiority in neutral vehicle (Gerbangmas), a neutral driver (PKK),
terms of “preventing the occurrence of ego-sectoral” top leader commitment (Bupati), shared goals (21
with regard of establishing community development indicators of Gerbangmas), and a neutral referee

30 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

(District Secretary) was very important in terms of can facilitates program escalation. However, the
policy advocacy as well as health politics. In the assurance of money transfer in time as scheduled
past era, in facts now, the model that “each sector was crucial to execute the program smoothly. The
employs its own community program by establishing problem of cash flow was a kind of weakness of
its own vehicle” was still being used as a model of governmental stimulant model as compared with pure
community development program at grass root level. empowerment model. Pure empowerment model
In this case, there was likely to occur conflicting would be more sustainable if an income generating
interests amongst sectors as each sector wants to model for funding was already established. The
be the best. This situation would cause an un- examples of pure empowerment model were
healthy competition of recruiting the best cadres in Community Led Total Sanitation (CLTS) and the
the community by each of the sectors, and there program of WSP-EAP (Water and Sanitation
would be too many community based institutions Programme East Asia and Pacific).14
that make community confused. In the future, health From the findings and the discussion of the this
development actors should be smart in executing study, a proposed prescriptive model of community
health interests without defeating other sectors, as empowerment for addressing social determinants of
stated by Degeling10 that “a smart political actor health at local government context can be outlined
should be able to transform his/her interests to be as follows: (i) the key role of health sector in a local
others’ interests”. government is to advocate key stakeholders of local
The concept of Gerbangmas that included multi government (top authority and legislative) to change
sectors’ interests (21 indicators of Gerbangmas) in its political structure to support health development,
a single vehicle (Gerbangmas) was a breakthrough (ii) local government should establish a “neutral
approach in addressing social determinants of health. vehicle” with “shared goals” to execute multi sectors’
Mc Keown thesis in Szreter11 stated that health interests as social determinants of health, preventing
status of community was the out come of multi the tendency of ego-sectoral, (iii) rule of the game
sectors’ development programs that addressed social should be established, it encompasses who are the
determinants of health as a whole. Raphael in Mouy players on board, who is the referee, and how the
and Barr12 defined social determinants of health as game is played, (iv) the programs on board should
”the economic and social conditions that influence be community empowerment in nature (horizontal
the health of individuals, communities and programs rather than vertical programs) so they can
jurisdictions as a whole”. The shared indicators of be easily accepted by inter sectors, (v) management
Gerbangmas have proved to be an effective of the programs should be done by community
instrument to synchronize sectors’ programs at themselves with technical assistance from respective
community level. Other key words of the success of sectors, and (vi) government financial stimulant is
Gerbangmas were self management by community needed to show the government seriousness in
and the provision of government stimulant. The raising community living conditions.
delegation of all management process from
government staff to community (cadres and CONCLUSIONS AND POLICY
community leaders) would cause better sense of RECOMMENDATIONS
belonging of the program amongst community From the findings of this study, it can be
members, which in turn would effect to a kind of concluded that to carry out a healthy community
social mobilization. To be a successful community development movement at grass root level, health
empowerment program, social mobilization was a sectors should be able to play an elegant game by
further important step to be reached.13 It seems that creating a neutral vehicle in such a way that other
stimulant model as implemented in Gerbangmas sectors involved would not loose their interests. It
would improve the moral of cadres, as they were seems that policy process of creating such a vehicle
entrusted to manage “governmental budget” and get is incremental in nature, so health sector needs to
“money incentive” as well. This would improve continuously advocate key stakeholder (top leader)
community’s trust to the government, with regard and multi sectors, transferring health sector’s interest
government’s functions to improve their welfare. to be multi sectors’ interests. To achieve this, it
The escalation of the program from pilot project needs to develop “a single neutral vehicle of
(34 Posyandus) to district wide scale (500 community empowerment” that can accommodate
Posyandus) did not experience much obstacle. It multi sectors’ interests as well as top leader’s
seems that the high commitment of Bupati, of multi interests. The vehicle is therefore characterized as
sectors, and of local legislative was the factor that (i) having shared goals, (ii) means for all sectors to

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 31


Siswanto, dkk.: Community Empowerment Through ...

achieve their interests, (iii) having top leader 5. Local Government of Lumajang. The Bupati
authority’s support, (v) existence of government Decree No. 188.45/302/427.12/2005 about The
stimulants, (vi) self management by community, and Formation of Gerbangmas Team in Lumajang
(vii) being implemented by neutral community cadres District. Local Government of Lumajang 2005.
(as opposed to sectoral cadres). Government 6. Pugh DS. Organization Theory. Penguin Books.
stimulant should be implemented in a precautious England, 1990.
way as it faces the dilemma in terms of accelerating 7. Hill, M. The Policy Process in the Modern State.
the programs versus of bothering the sustainability Prentice Hall. London, 1997.
of the programs. 8. De Maeseneer et al. Primary Health Care as a
The study recommended that in conducting Strategy for Achieving Equitable Care: a
community empowerment programs for addressing Literature Review Commissioned by the Health
social determinants of health it is worth setting a Systems Knowledge Network. World Health
neutral vehicle that can accommodate all multi Organization, London, 2007.
sectors’ interests, hoping a voluntary involvement of 9. WHO. Health for All in the Twenty-First Century.
respective sectors to be on board. Health sector World Health Organization, Geneva, 1998.
should be able to transform its interests to be multi 10. Degeling, P. Management of Organization.
sectors’ interests to achieve health development gain. University of New South Wales, Sydney, 1997.
11. Szreter, S. Rethinking McKeown: The
REFERENCES Relationship Between Public Health and Social
1. Blum, H.L. Planning for Health: Development Change, American Journal of Public Health,
and Application of Social Change Theory. Human 2002;92:5.
Sciences Press, New York. 1974. 12. Mouy, B & Barr, A. The Social Determinants of
2. Frankish J. Moulton G. Quantz D. Carson A. Health: Is There a Role for Health Promotion
Casebeer A. Eyles J. Labonte R. Evoy B. Foundations? Health Promotion Journal of
Addressing the non-medical determinants of Australia 2006;17:3
health: a Survey of Canada’s Health Regions. 13. WHO. Community Empowerment for Heath and
Canadian Journal of Public Health, 2007; Development. Regional Office for the Eastern
98(1):41-7. Mediterranean: World Health Organization 2003.
3. Mack N, Woodsong C, Mc Queen KM. Guest 14. Kar, K & Bongartz, P. Update on Some Recent
G & Namey E. Qualitative Research Methods: Developments in Community – Led Total
A Data Collector’s Guide. North Carolina: Family Sanitation. England: Institute of Development
Health International, 2005. Studies 2006.
4. Lumajang PKK Team. Gerbangmas Guideline
for Cadres. Local Government of Lumajang 2006.

32 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 01 Maret l 2009 Halaman 33 - 40
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Artikel Penelitian

PERSEPSI STAKEHOLDERS TERHADAP LATAR BELAKANG SUBSIDI PREMI,


SISTEM KAPITASI DAN PEMBAYARAN PREMI
PROGRAM JAMINAN KESEHATAN JEMBRANA
STAKEHOLDERS PERCEPTIONS TOWARD BACKGROUND OF PREMIUM SUBSIDY,
CAPITATION SYSTEM AND PREMIUM PAYMENT
OF JEMBARANA HEALTH INSURANCE

Pande Putu Januraga1, Chriswardani Suryawati2, Septo Pawelas Arso2


1
Bagian AKK PSIKM Universitas Udayana, Badung, Bali
2
MIKM dan FKM Universitas Diponegoro, Semarang

ABSTRACT pengambil kebijakan dan PPK I JKJ memiliki persepsi yang buruk
Background: Premium subsidy of Jaminan Kesehatan terhadap sistem pembayaran kapitasi.
Jembrana or Jembrana Health Insurance (JKJ) in Jembrana
District has a rising trend since it began and needs to Kata Kunci: asuransi kesehatan, kapitasi, pembayaran premi
redistribute, it’s critical to apply the cost containment programs
by introducing capitation system to primary health care PENGANTAR
providers and premium payment to the member of JKJ.
Secara garis besar sistem kesehatan dapat
Purpose: To examine perceptions of policy makers toward
background of premium subsidy, capitation system and premium dibagi menjadi dua subsistem yaitu subsistem
payment of JKJ and perceptions of providers toward capitation pemberian pelayanan kesehatan dan subsistem
system. pembiayaan kesehatan. Diakui subsistem pemberian
Method: Research was using cross sectional design and
pelayanan kesehatan memiliki peran yang penting,
data was taken by qualitative method. The subject was policy
makers and primary health care providers of JKJ. Instrument tetapi sistem ini hanya akan berjalan jika didukung
being use was deep interview guidance. oleh subsistem pembiayaan kesehatan yang
Result and Conclusion: Generally policy makers of JKJ had mumpuni.1
misinterpretation about the concept of basic needs and equity
Salah satu bentuk reformasi pada subsistem
egaliter in health, that causing resistance on premium payment.
Generally policy makers and providers of JKJ had bad pembiayaan kesehatan di Indonesia adalah
perception about capitation system. ditetapkannya Undang-Undang (UU) No. 40/2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Keywords: health insurance, capitation, premium payment
Undang-Undang (UU) SJSN merupakan suatu
reformasi sistem jaminan sosial yang meletakkan
ABSTRAK
Latar Belakang: Sejak diluncurkan pada tahun 2003, subsidi fondasi penyelenggaraan jaminan sosial, termasuk
premi Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) terus mengalami jaminan atau asuransi kesehatan sosial. Selanjutnya
peningkatan sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian dalam perkembangannya, setiap daerah di Indonesia
biaya dengan memperkenalkan sistem pembayaran kapitasi
berhak mengembangkan suatu sistem jaminan
kepada pemberi pelayanan kesehatan I (PPK I) dan sistem
pembayaran premi oleh anggota JKJ. sosial. Kewenangan ini sesuai dengan keputusan
Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi persepsi Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Judicial review
stakeholders pengambil kebijakan terhadap latar belakang pasal 5 UU No. 40/2004 tentang SJSN dan
subsidi total premi PPK I program JKJ, sistem pembayaran
merupakan bentuk implementasi UU pemerintahan
kapitasi kepada PPK I dan pembayaran premi oleh masyarakat
non gakin, serta persepsi PPK I JKJ terhadap sistem daerah terutama pasal 22h yang mewajibkan daerah
pembayaran kapitasi. untuk mengembangkan sistem jaminan sosial
Metoda: Penelitian ini menggunakan rancangan potong lintang termasuk jaminan kesehatan.1
dan data diolah dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Salah satu daerah otonomi di Indonesia yang
Subjek penelitian adalah para pengambil kebijakan dan PPK I
program JKJ, sedangkan instrumen yang digunakan adalah berinisiatif menyelenggarakan Jaminan Kesehatan
pedoman wawancara mendalam. Daerah (JKD) adalah Kabupaten Jembrana, Bali.
Hasil dan Kesimpulan: Terdapat pemahaman yang keliru Sejak tahun 2003 Pemerintah Kabupaten Jembrana
pada sebagian besar policy makers program JKJ terhadap
mengembangkan Jaminan Kesehatan Jembrana
konsep kebutuhan dasar dan keadilan egaliter dalam bidang
kesehatan, sehingga menyebabkan timbulnya resistensi (JKJ) sebagai alternatif pembiayaan kesehatan
terhadap kebijakan pembayaran premi. Sebagian besar tingkat pertama (Pemberi Pelayanan Kesehatan/

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 33


Pande Putu Januraga, dkk.: Persepsi Stakeholders Terhadap ...

PPK I) melalui mekanisme alih subsidi premi PPK I pelaksanaan program JKJ. Hal ini menjadi sangat
JKJ. Subsidi premi PPK I ditetapkan sebesar penting untuk menjamin kesinambungan pelaksanaan
Rp2.500,00 per penduduk per bulan, sedangkan program, mengingat selama ini pelaksanaan program
pelayanan PPK I yang dijamin adalah pelayanan JKJ sangat tergantung pada kemampuan finansial
dasar yang meliputi pengobatan di dokter umum, daerah dalam mensubsidi premi JKJ di samping juga
dokter gigi, dan Puskesmas, pelayanan antenatal sangat tergantung pada dukungan atau komitmen
care (ANC) oleh bidan dan Puskesmas, serta politik yang kuat dari pimpinan daerah untuk tetap
pelayanan kegawatdaruratan sederhana di UGD RS mensubsidi program ini.
dan Puskesmas. Alternatif yang dapat diambil untuk mengatasi
Dana untuk penyelenggaraan program JKJ masalah pembiayaan pada program JKJ adalah
berasal dari Anggaran Penerimaan dan Belanja dengan menerapkan prinsip-prinsip managed care
Daerah (APBD) Kabupaten Jembrana, yang sebagian yang baik pada program JKJ. Dari sisi provider dapat
besar berasal dari Pendapatan Asli daerah (PAD) dikembangkan alternatif pembayaran klaim selain
kabupaten di samping berasal dari dana Gakin fee for service (prospective payment system; PPS),
(Askeskin dan dana Gakin Bali) dan dana Askes mengingat cara tersebut memang mengundang
PNS. Dana tersebut dihimpun di Dinas Kesehatan moral hazard provider melalui mekanisme yang
dan Sosial (Dinkessos) Jembrana yang kemudian dikenal sebagai supply induced demand dan terbukti
menyalurkannya kepada Badan Penyelenggara mengambil alokasi dana yang besar dari keseluruhan
(Bapel) JKJ untuk membayar klaim PPK I yang pembiayaan program JKJ. Salah satu mekanisme
telah memiliki ikatan kontrak melalui mekanisme pembayaran prospektif dalam konsep managed care
penggantian biaya (reimbursment/fee for service) yang telah banyak dikenal dan diterapkan di
yang besarnya telah disepakati melalui ikatan Indonesia adalah sistem pembayaran kapitasi,
kontrak.2 sedangkan dari sisi konsumen dapat dikembangkan
Pada tahun 2003 jumlah dana yang dibayarkan pembayaran premi khususnya bagi masyarakat non
Pemerintah Kabupaten untuk membayar klaim PPK gakin.4
I berada pada kisaran 43% dari subsidi premi yang Agar alternatif kebijakan tersebut bisa
dianggarkan Pemerintah Kabupaten, sedangkan diterapkan diperlukan upaya advokasi kebijakan
pada tahun 2004 jumlah tersebut naik tinggi menjadi kesehatan yang terarah kepada stakeholders
kisaran 132%, kekurangan untuk tahun tersebut pengambil kebijakan dan para PPK program JKJ.
masih ditutupi dari sisa premi tahun 2003. Pada Untuk mendukung upaya advokasi tersebut
tahun 2005 persentase klaim yang dibayarkan diperlukan pemahaman terhadap persepsi
Pemerintah Kabupaten dibandingkan premi yang stakeholders pengambil kebijakan terhadap latar
disediakan berkisar 91%. Jumlah tersebut bukan belakang subsidi total premi PPK I program JKJ,
turun karena turunnya utilisasi secara signifikan, sistem pembayaran kapitasi kepada PPK I dan
tetapi karena besar subsidi premi yang meningkat pembayaran premi oleh masyarakat non Gakin, serta
dan adanya upaya menurunkan nilai klaim PPK I persepsi PPK I JKJ terhadap sistem pembayaran
dan memperpanjang waktu kunjungan ulang pasien kapitasi.
sebagai bagian upaya pengendalian biaya program Pemahaman terhadap persepsi seseorang
JKJ.2,3 tentang kehidupan organisasionalnya mutlak
Bukti lain terjadinya peningkatan utilisasi yang diperlukan karena akan mempengaruhi perilakunya,
tidak wajar pada program JKJ dikemukakan oleh dan perilaku akan mempengaruhi motivasinya6
Santabudi3 yang menghitung besaran subsidi premi karena itu hasil analisis wawancara mendalam
JKJ Pemerintah Kabupaten Jembrana berdasarkan terhadap para policy makers dan PPK I diharapkan
standar utilisasi normatif. Hasil penelitiannya dapat dijadikan dasar pelaksanaan advokasi
menunjukkan bahwa pada tahun 2004 nilai subsidi pengembangan program JKJ ke arah kebijakan yang
premi per kapita berdasarkan tingkat utilisasi berbasis bukti (evidence based policy).
pelayanan berjumlah Rp3.634,86. Nilai tersebut jauh
lebih besar (30,20%) jika dibandingkan dengan BAHAN DAN CARA PENELITIAN
besaran subsidi premi berdasarkan standar utilisasi Penelitian ini bersifat deskriptif. Pengumpulan
normatif, yaitu sebesar Rp2.536,05. data dilakukan secara kualitatif dengan
Dari berbagai data dan fakta di atas dapat diambil menggunakan pedoman wawancara mendalam dan
kesimpulan bahwa Pemerintah Kabupaten Jembrana kemudian dilakukan analisis isi (content analysis)
perlu secara serius memperhatikan aspek untuk mengetahui persepsi stakeholders pengambil
pengendalian biaya (cost containtment) pada kebijakan terhadap latar belakang subsidi total premi

34 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

PPK I program JKJ, sistem pembayaran kapitasi Banyak pihak, termasuk Pemerintah Kabupaten
kepada PPK I dan pembayaran premi oleh Jembrana, melihat kebutuhan dasar kesehatan
masyarakat non Gakin, serta persepsi PPK I JKJ sama dengan kebutuhan lainnya seperti
terhadap sistem pembayaran kapitasi. pendidikan dasar, sedangkan kebutuhan
Subjek penelitian adalah policy makers program terhadap perawatan lanjutan dan rawat inap
JKJ yaitu Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten dianggap sebagai kebutuhan sekunder dan
Jembrana selaku pengambil kebijakan (policy maker) tertier yang bisa disamakan dengan kebutuhan
utama program JKJ, dua orang anggota DPRD akan pendidikan lanjutan. Kebutuhan dasar
Kabupaten Jembrana yaitu dari Komisi C yang kesehatan harus dipahami dan diperlakukan
menangani sektor kesehatan, selaku pihak legislatif secara berbeda. Pemahaman perbedaan
yang berperan dalam pengambilan kebijakan JKJ kebutuhan kesehatan ini sangat penting dalam
khususnya dalam penetapan anggaran dan merancang jaminan yang bersifat dasar dalam
pengawasan pelaksanaan program, Kepala Dinas bidang kesehatan.7
Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Secara filosofis kebutuhan dasar
Jembrana dan Direktur Bapel JKJ selaku pengambil kesehatan adalah kebutuhan akan pelayanan
kebijakan JKJ khususnya dalam bidang teknis yang merupakan upaya untuk mempertahankan
pelaksanaan program. Sementara itu, dari pihak PPK hidup dan tingkat produktivitas seseorang yang
I yang berhasil diwawancarai adalah Direktur RSUD secara normatif diterima oleh norma yang
Negara (poliklinik umum), seorang Kepala berlaku. Atas dasar inilah kebutuhan dasar
Puskesmas, 2 orang dokter praktik swasta, seorang kesehatan harus dikaitkan kebutuhan medis,
dokter gigi praktik swasta, dan 2 orang bidan praktik suatu kebutuhan yang relatif bagi tiap orang dan
swasta yang telah terikat kontrak dengan Bapel JKJ hanya diketahui dokter yang memeriksa
selaku pelaksana kebijakan pada tingkat lapangan. seseorang. Disinilah kunci mengapa AKN
biasanya justru terlebih dahulu menjamin
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN pelayanan rawat inap bukan pelayanan rawat
1. Persepsi policy makers terhadap latar jalan.7
belakang kebijakan mensubsidi total premi Pengembangan JKJ termasuk skema
PPK I JKJ subsidi premi JKJ sebaiknya diarahkan pada
Hasil wawancara mendalam pada para jaminan kesehatan yang bersifat komprehensif
policy makers menunjukkan adanya penekanan sehingga tanggung jawab negara atau
pada hak rakyat untuk memperoleh pelayanan pemerintah terhadap kebutuhan dasar
dasar termasuk di dalamnya hak untuk kesehatan dapat diselenggarakan secara
memperoleh pelayanan kesehatan dasar. Hak optimal.
dasar ini harus dipenuhi oleh pemerintah Penekanan lain dari jawaban policy makers
sehingga kebijakan untuk mensubsidi total premi adalah pada kewajiban Pemerintah Kabupaten
PPK I JKJ diambil Pemerintah Kabupaten untuk memenuhi hak masyarakat atas
Jembrana. Penekanan terlihat pada petikan pelayanan kesehatan secara adil, sehingga
wawancara berikut ini: muncul kebijakan memberikan subsidi premi
“...Konsep kami adalah pancasilais dimana PPK I kepada seluruh penduduk Jembrana tanpa
pelayanan dasar dalam hal ini pelayanan membedakan kemampuan finansialnya. Hal
kesehatan di tingkat dasar bagi masyarakat
adalah hak rakyat sehingga merupakan tersebut tercermin pada petikan wawancara
kewajiban pemerintah untuk membiayainya berikut:
...” (R-1) “...Memangnya orang kaya tidak mempunyai
hak untuk mendapat pelayanan kesehatan
Penekanan untuk memberikan pelayanan dasar. Orang kaya juga punya hak, mereka
sama-sama penduduk Jembrana...” (R-1)
kesehatan gratis pada PPK I JKJ adalah
respons terhadap pemenuhan kebutuhan dasar “...Saya memandangnya di sini sebagai
kesehatan masyarakat, akan tetapi apakah keadilan sosial, kan semuanya masyarakat
kebutuhan dasar kesehatan dapat dipenuhi Jembrana jadi mau tidak mau kalau ada
program ya, sebaiknya mengenai semua
dengan pelayanan kesehatan pada tingkat dasar orang tak terkecuali...” (R-2b)
yang pada memang relatif murah?
Sayangnya konsep memenuhi kebutuhan Keadilan memang harus diperjuangkan
dasar kesehatan melalui pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan jaminan kesehatan, tetapi
dasar pada PPK I sama sekali tidak tepat. harus diingat bahwa keadilan tidak hanya

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 35


Pande Putu Januraga, dkk.: Persepsi Stakeholders Terhadap ...

berkaitan dengan hak untuk memperoleh 2. Persepsi policy makers terhadap sistem
pelayanan tetapi juga terkait pada besarnya pembayaran kapitasi
kewajiban membayar sesuai dengan Dari hasil wawancara dengan kelompok
kemampuan ekonominya (equity egaliter).1,7,8 pengambil kebijakan diketahui bahwa terdapat
Equity egaliter mengandung dua kriteria tiga pendapat berbeda terhadap sistem
utama yaitu horizontal equity dan vertical equity. pembayaran kapitasi. Persepsi pertama adalah
Horizontal equity mensyaratkan semua individu sistem kapitasi dipandang tidak lebih baik
yang memiliki kebutuhan kesehatan yang sama dibanding sistem fee for service dalam hal
harus memperoleh akses yang sama ke menjaga mutu dan standar pelayanan
fasilitas kesehatan (equal treatments for equal kesehatan dan kurang mampu memenuhi
needs) dan vertical equity artinya akses ke keadilan dalam hal pemilihan tempat pelayanan
pelayanan kesehatan tersebut bisa diperoleh sehingga ditakutkan akan mengurangi tingkat
dalam kondisi kesakitan yang parah termasuk kepuasan masyarakat:
oleh mereka yang berpendapatan rendah “...Penerapan PKJ, kapitasi contohnya itu
(memenuhi unsur severe health condition dan menghilangkan kompetisi yang sehat,
sistem FFS lebih mampu meningkatkan
poverty reduction).8 kompetisi sehat yang berujung pada
Contoh ini dapat dijadikan pedoman dalam peningkatan mutu pelayanan. Lagipula
memandang sebuah keadilan dalam pelayanan standar pelayanan juga lebih bisa dikontrol
pada sistem ini...” (R-1)
kesehatan: A penduduk miskin sedangkan B
penduduk kaya, keduanya sama-sama “...Pemerintah Kabupaten ingin pelayanan
memperoleh subsidi total pelayanan rawat jalan dasar ini bisa diakses dengan mudah dimana
PPK I JKJ, ketika sakit ringan A dan B sama- saja dengan mutu yang baik, kalau cara lain
seperti kapitasi mungkin akan ada polarisasi
sama memperoleh pelayanan PPK I gratis, pelayanan...” (R-3)
bedanya A hanya pergi ke Puskesmas
Pembantu dan dilayani bidan karena hanya itu Pandangan negatif terhadap sistem PKJ
fasilitas yang terdekat yang terjangkau dari khususnya kapitasi lebih diperparah lagi dengan
rumahnya, sementara B datang ke dokter anggapan bahwa sistem kapitasi khususnya
praktek swasta yang terikat kontrak di kota. digunakan oleh organisasi asuransi kesehatan
Sejauh ini masih cukup adil karena sama-sama yang bersifat mencari keuntungan, seperti
mendapat pelayanan, kemudian A dan B sakit diuraikan oleh responden berikut:
parah dan harus dirawat di RS, bedanya adalah “...kalau askes bisa karena dia kan cari
A terpaksa memilih dirawat di rumah saja karena untung dan memakai kapitasi di dokter
biaya rawat inap tidak ditanggung, sedangkan keluarga atau Puskesmas...” (R-3)
B melenggang ke RS karena mampu
membayar. Pendapat kedua dari Direktur Bapel JKJ
Adilkah kondisi di atas, jelas tidak, karena yang menyatakan sistem PKJ khususnya
jika saja B dan penduduk non-gakin lainnya kapitasi memang lebih baik dibandingkan fee
membayar premi maka subsidi dapat dialihkan for service dalam peranannya untuk
untuk pembiayaan pelayanan lanjutan bagi mengendalikan biaya dan tingkat kunjungan
kelompok penduduk yang memerlukan. meskipun kemudian tetap ada sorotan terhadap
Asuransi kesehatan sosial termasuk JKJ harus kelemahan sistem kapitasi akibat moral hazard
dimaksudkan untuk menimbulkan subsidi silang provider.
“...sistem ini lebih memungkinkan untuk
yang luas antara anggotanya melalui melakukan pengendalian biaya dan
pembayaran premi yang proporsional terhadap kunjungan karena pengawasan yang lebih
pendapatan dan memberikan jaminan pelayanan mudah dan administrasi yang tidak rumit.....
secara komprehensif.7 Tetapi bukan berarti kapitasi selalu lebih baik,
ada juga kelemahannya dari segi pelayanan
Kebijakan yang hanya menjamin pelayanan yang tempatnya saja sudah dibatasi, belum
pada tingkat PPK I dan memberikan subsidi upaya moral hazard dari PPK menghindari
premi PPK I secara luas pada seluruh lapisan pemberian pelayanan...” (R-4)
masyarakat adalah bertentangan dengan
prinsip-prinsip equity egaliter dalam bidang Persepsi bahwa standar pelayanan dan
kesehatan. mutu pelayanan yang kurang terjaga dan
berakibat pada rendahnya tingkat kepuasan

36 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

konsumen dan PPK pada sistem kapitasi yang terus meningkat akibat pemakaian sistem
dibandingkan dengan fee for service tidak dapat fee for service.9,11
sepenuhnya dikatakan benar. RAND Asuransi PNS sendiri sesungguhnya
Corporation di Amerika pada tahun 1976-1981 adalah asuransi kesehatan sosial mengingat
melakukan penelitian untuk membandingkan sifat kepesertaan dan cara pembayaran
sistem kapitasi dengan fee for service secara preminya, memang kemudian timbul kontradiksi
sangat ketat mengontrol berbagai kontaminan melihat Bepelnya ternyata adalah BUMN
sehingga hasilnya dapat dipercaya. berbentuk perseroan terbatas (PT) yang bersifat
Mereka membandingkan utilisasi biaya, mencari laba, meskipun laba tersebut
kepuasan peserta, status kesehatan, dan disetorkan sebagai deviden ke pemerintah,
berbagai informasi lain. Tampak bahwa dari segi tetapi UU SJSN kemudian telah mempertegas
biaya, sistem praupaya telah menghemat biaya dengan menyatakan bahwa PT Askes harus
cukup besar akibat peningkatan pelayanan bersifat not for profit.7
preventif yang justru menguntungkan status Persepsi ketiga tentang PKJ berasal dari
kesehatan peserta, akan tetapi pada beberapa kalangan legislatif yang tampaknya tidak
hal memang pembayaran kapitasi sedikit memiliki pandangan apapun mengenai sistem
menurunkan kepuasan peserta, terutama pada yang dipilih, karena menurut mereka terlalu
kelompok berpenghasilan tinggi.9 bersifat teknis dan kurang disosialisasikan oleh
Di Rusia penelitian Bar dan Field pada tahun pihak eksekutif.
1996 menemukan bahwa sepertiga biaya dapat
dihemat dengan sistem kapitasi dengan tanpa “...Kami kurang diajak bicara dan memang
tidak mengerti mengenai sistem ini...”
perbedaan yang bermakna dalam mutu
pelayanan kesehatan. Hasil penelitian terhadap Kenyataan ini sesungguhnya patut
pelaksanaan kapitasi total model PT Askes juga disayangkan, mengingat peran dan fungsi
memperlihatkan keberhasilan mengendalikan DPRD yang sedemikian besar dalam
angka rujukan akibat moral hazard provider, pengawasan pelaksanaan pembangunan
suatu hal yang ditakutkan dapat terjadi oleh daerah termasuk program JKJ.
sebagian besar kalangan pada sistem Ketidakmengertian anggota DPRD terhadap
pembayaran kapitasi9. beberapa hal teknis pelaksanaan program justru
Kekhawatiran terhadap kualitas pelayanan berakibat pada lemahnya fungsi pengawasan
dan moral hazard provider pada pelaksanaan dan kontrol pelaksanaan program JKJ.
sistem kapitasi dapat ditekan dengan Bagaimana mungkin dewan yang terhormat
menerapkan kendali mutu yang terintegrasi mampu melakukan kontrol atau koreksi terhadap
dengan kendali biaya. Pada organisasi pelaksanaan program atau kebijakan jika
managed care kendali mutu dapat dilakukan mereka tidak memahami setidaknya garis besar
secara retrospektif dan prospektif. Secara pelaksanaan suatu program/kebijakan dan tidak
retrospektif kendali mutu dapat dilakukan memiliki pengetahuan akan alternatif
melalui analisis pola praktik dokter, analisis penyelenggaraan suatu program/kebiajakan.
variasi utilisasi dan pola layanan, serta penilaian Keberadaan semacam tim pendamping atau tim
hasil layanan. Secara prospektif dapat dilakukan ahli yang bisa membantu dewan dalam
dengan analisis rujukan, opini dokter kedua, menganalisis suatu kebijakan atau pelaksanaan
atau dengan prosedur tetap. Cara-cara lainnya program sepertinya menjadi sebuah kebutuhan
yang dikenal dalam managed care adalah penting.
seleksi PPK, kredensialisasi, protokol
pengobatan, program jaminan mutu dan 3. Analisis persepsi policy makers terhadap
penjaminan mutu berkelanjutan.10 pembayaran premi oleh masyarakat umum
Pandangan policy makers yang Pertanyaan diajukan untuk mengetahui
mengkaitkan sistem kapitasi dengan asuransi persepsi policy makers terhadap kemungkinan
kesehatan komersial yang bersifat for profit penerapan pembayaran premi khususnya PPK
(dicontohkan Askes PNS) juga tidak bisa I JKJ oleh penduduk umum. Dari hasil
dikatakan tepat karena sistem kapitasi muncul wawancara mendalam tampak adanya
bukan karena dipicu oleh upaya perusahaan resistensi policy makers terhadap usulan
asuransi mencari keuntungan, tetapi lebih kebijakan ini, terlihat pada penekanan mereka
kepada upaya mengendalikan biaya pelayanan pada pemenuhan hak atas kebutuhan dasar

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 37


Pande Putu Januraga, dkk.: Persepsi Stakeholders Terhadap ...

kesehatan yang sudah menjadi kewajiban Alternatif lain yang bisa dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten. Pemerintah Kabupaten Jembrana dan Bapel JKJ
“...Konsep yang kami pakai berbeda, seperti untuk mengendalikan biaya dalam sistem yang
yang tadi saya katakan, hak masyarakat premi PPK I masih sepenuhnya disubsidi adalah
adalah pada pelayanan kesehatan dasar dan
pemerintah wajib mensubsidinya. dengan menerapkan konsep iur biaya. AIur biaya
Konsepnya adalah mencegah mereka sakit dapat dilakukan dengan menerapkan deductible
lebih parah dengan mengobati lebih awal, itu atau co-insurance kepada peserta JKJ yang
preventif bukan kuratif...” (R-1)
datang berobat ke PPK I. Deductible
“...PPK I tetap disubsidi pemerintah karena diberlakukan dengan mengenakan jumlah biaya
itu memang komitmen Pemerintah tertentu menjadi beban pengguna jasa layanan,
Kabupaten pada pelayanan tingkat dasar. sedangkan di atas jumlah tersebut menjadi
Walaupun secara pribadi saya lebih menyukai
kalau subsidi justru diberikan ke pelayanan
beban Bapel sedangkan co-insurance/co-
lanjutan, bukan di PPK I, atau dihitung secara payment mengharuskan peserta membayar
global, subsidi pada premi JKJ bagi semua sejumlah tertentu berdasarkan persentase biaya
tingkat pelayanan...” (R-4) pelayanan. Kedua cara tersebut diharapkan
mampu mengurangi pemanfaatan pelayanan
Dari petikan wawancara di atas terlihat yang kurang perlu.11,12 Cara ini terbukti berhasil
bahwa ada ego otonomi daerah dalam mengendalikan utilisasi dari sisi demand pada
pengambilan kebijakan program JKJ, ada nuansa penyelenggaraan NHI di Taiwan.13
politis untuk membuat suatu inovasi atau program
yang berbeda di tingkat daerah. Sayangnya 4. Analisis persepsi PPK I JKJ terhadap sistem
kebijakan ini kurang dibekali dengan pemahaman pembayaran kapitasi
yang benar akan kebutuhan dasar medis, prinsip Dari hasil wawancara terlihat hampir
keadilan egaliter, serta prinsip-prinsip efisiensi sebagian besar PPK I kurang menyukai cara
biaya dalam asuransi kesehatan sosial. pembayaran secara kapitasi tercermin dari
Konsep pencegahan sebagai dalil petikan wawancara.
pembenaran subsidi PPK I juga tidak “...RS tidak punya pengalaman yang cukup
sepenuhnya bisa dikatakan tepat. Pencegahan dengan cara itu, disamping itu cara tersebut
sekunder memang bisa dilakukan di PPK I, membatasi kebebasan dalam pemberian
pelayanan agar PPK tidak rugi. Yang
tetapi mesti diingat bahwa diagnosis dini dan dikhawatirkan adalah penurunan kualitas
pengobatan tepat seringkali malah memerlukan pelayanan kesehatan...” (R-5)
tindakan dan piranti medis yang hanya dapat
diberikan di pelayanan lanjutan. Misalnya kasus “...Sistem ini kurang kami sukai karena ada
resiko kerugian didalamnya. Pengalaman
demam berdarah yang memang bisa didiagnosis dengan sistem ini juga tidak terlalu baik
dini di PPK I, tetapi tetap memerlukan diagnosis apalagi dengan apa yang sudah terjadi di
pasti dan penanganan yang tepat di tingkat Jembrana selama ini dimana masyarakat
lanjut, atau kanker leher rahim yang bisa sudah terbiasa berobat secara mudah dan di
mana saja. Sistem ini juga merugikan
didiagnosis dini dengan asam asetat di PPK I masyarakat dari sisi kebebasan memilih
tetapi harus memperoleh diagnosis pasti dan PPK...” (R-6)
penanganan lanjutan di PPK II dan III.
Kebijakan Kepala Daerah cukup kentara Hampir sama seperti pendapat policy
mempengaruhi para pengambil kebijakan teknis makers, sebagian besar PPK melihat PKJ
JKJ, sehingga meskipun memiliki pemahaman khususnya kapitasi sebagai sistem yang
yang baik tentang di mana sesungguhnya merugikan dari sisi kebebasan konsumen dalam
kebutuhan dasar medis harus dipenuhi dan memilih pelayanan, di samping pandangan
disubsidi pemerintah, pendapat mereka tetap negatif akan adanya risiko finansial berupa
mengacu kepada pendapat pimpinan kerugian pada pihak PPK.
organisasi. Hal tersebut wajar terjadi pada Ketakutan akan kegagalan secara finansial
organisasi yang memiliki kepemimpinan yang bahkan juga dirasakan oleh PPK yang justru
kuat, pendapat pimpinan adalah pendapat menganggap kapitasi sebagai suatu cara
organisasi, dan individu-individu dalam pembayaran yang baik. Senada dengan
organisasi akan mengacu atau berasosiasi pada pendapat sebelumnya pangkal semua ketakutan
pendapat pimpinannya.6 terjadi karena kebebasan masyarakat

38 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

memperoleh pelayanan yang menurut anggapan yang harus dikeluarkan, tetapi dengan tetap
PPK sulit untuk diubah. memperhatikan hak-hak peserta untuk
“...Kapitasi seperti yang diterapkan askes ya? memperoleh pelayanan yang optimal.
Kalau itu memang secara konsep baik, tetapi Cara terakhir adalah dengan melakukan
masalahnya masyarakat sudah terbiasa
memperoleh pelayanan kesehatan secara reinsurance. Reasuransi pada perusahaan
mudah, kalau kemudian diterapkan kapitasi reasuransi dilakukan oleh Bapel untuk
sepertinya dokter akan mengalami kesulitan menghindari terjadinya kerugian pada PPK
di tahun-tahun pertama mengingat harus
melakukan upaya mengerem jumlah pasien
akibat pengeluaran yang tidak terduga. 16
yang berobat, atau menyadarkan mereka Penyelenggaraan reasuransi di Indonesia diatur
kalau tidak semua keluhan harus dalam keputusan Menteri Keuangan Indonesia
mendapatkan pengobatan...” (R-7b) No. 422/KMK.06/200312.

Terdapat kontradiksi dalam pendapat PPK KESIMPULAN DAN SARAN


di atas. Di satu sisi mereka menyadari telah Terdapat pemahaman yang keliru pada sebagian
terjadi overutilisasi pelayanan PPK I, sedangkan besar policy makers program JKJ terhadap konsep
di sisi lainnya PPK justru merasa diuntungkan kebutuhan dasar kesehatan dan konsep keadilan
secara finansial, sehingga takut jika dilakukan egaliter dalam bidang kesehatan sehingga
perubahan pada sistem pembayaran PPK yang menimbulkan resistensi atau penolakan terhadap
akan merubah pola kunjungan pasien. Di sinilah kebijakan pembayaran premi, khususnya premi PPK
moral hazard provider pada sistem fee for I JKJ. Sebagian besar policy makers dan PPK
service semakin terlihat jelas. program JKJ memiliki persepsi yang buruk terhadap
Berbeda dengan pendapat responden PPK sistem pembayaran kapitasi karena dipandang
I JKJ, hasil penelitian Hendrartini14 terhadap memiliki kelemahan dalam pemerataan, keadilan,
dokter Puskesmas dan dokter keluarga yang kepuasan pasien dan mutu pelayanan kesehatan.
telah mengenal sistem pembayaran kapitasi Saran peneliti adalah agar policy makers program
menunjukkan sebagian besar PPK justru JKJ mengembangkan kebijakan untuk menerapkan
memandang adil sistem pembayaran ini. Hanya prinsip-prinsip managed care melalui kendali biaya
27% responden yang menganggap sistem dan mutu dalam kerangka jaminan kesehatan yang
pembayaran kapitasi merugikan PPK dan dapat komprehensif, sedangkan bagi peneliti lain untuk
mempengaruhi kepuasan PPK. Keluhan justru melakukan kajian utilisasi (utilization review) guna
muncul pada PPK Puskesmas yang merasa mengetahui tingkat dan ketepatan pemanfaatan
kapitasi yang ditetapkan lebih rendah dari unit pelayanan PPK I JKJ serta menghitung biaya per
cost riil, hal ini sejalan dengan hasil penelitian kapita pelayanan PPK I untuk mengetahui tingkat
Wintera 15 yang menunjukkan tingginya efisiensi subsidi. Melalui kajian tersebut diharapkan
ketidakpuasan dokter Puskesmas terhadap Pemerintah Kabupaten Jembrana dapat mengambil
besaran kapitasi PT Askes yang dinilai lebih kebijakan pengembangan program JKJ yang lebih
kecil dibandingkan pasien umum. berbasis bukti.
Untuk mengatasi hal itu sebaiknya besaran
biaya per kapita dihitung berdasarkan unit cost KEPUSTAKAAN
atau biaya klaim yang selama ini berlaku serta 1. Mukti AG. Reformasi Sistem Pembiayaan
dikomunikasikan secara baik antara Bapel dan Kesehatan di Indonesia dan Prospek ke Depan.
PPK.9 Selain itu, beberapa hal yang dapat Manajemen Kebijakan & Manajemen Asuransi
dilakukan untuk mengurangi resiko kerugian Kesehatan UGM, Yogyakarta 2007.
finansial PPK adalah dengan melakukan risk 2. Pemerintah Kabupaten Jembrana. Jaminan
adjusment capitation, curve out, dan KesehatanJembrana: http://www.jembrana.go.id
reinsurance. 16 Risk adjustment capitation, /program_unggulan/jkj.php. Diakses 1 Mei 2007
besaran kapitasi dihitung dengan penyesuaian 3. Santabudi, IG. Analisis Besaran Premi Jaminan
terhadap faktor demografi, riwayat kesehatan Pemeliharaan Kesehatan Di Kabupaten
peserta, riwayat kunjungan peserta, dan Jembrana, Provinsi Bali (Tesis MIKM UGM). 2006.
beberapa indikator klinik.16 Curve out, dilakukan 4. Thabrany, H, ed. Dasar-dasar Asuransi
dengan mengeluarkan pelayanan tertentu dari Kesehatan Bagian A. Pemjaki, Jakarta, 2005.
perhitungan kapitasi untuk dibayar dengan cara 5. Murti B. Implikasi Ekonomis Pembiayaan
lain.16 Peran Bapel bersama-sama dengan PPK Kesehatan melalui JPKM; Problem Moral Hazard.
dibutuhkan untuk membahas jenis pelayanan JMPK FK UGM, Yogyakarta, 1998; 01(03).

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 39


Pande Putu Januraga, dkk.: Persepsi Stakeholders Terhadap ...

6. Muchlas M. Perilaku Organisasi. Program 12. Ilyas Y, ed. Dasar-dasar Asuransi Kesehatan
Pendidikan Manajemen Rumah Sakit UGM, Bagian B. Pemjaki, Jakarta 2005.
Yogyakarta, 1999. 13. Huang N, Yip W, Jenq Cou Y, Jen Wang P. The
7. Thabrany H. Asuransi Kesehatan Nasional. Distribution of Net Benefit Under the National
Pemjaki, Jakarta, 2005 Health Insurance Program in Taiwan. Health
8. James C, et all. Clarifying Efficiency-Equity Policy and Planning, 2007; 22: 49-59.
Tradeoffs through Explicit Criteria, with a Focus 14. Hendrartini J. Persepsi PPK I terhadap Asuransi
on Developing Country. Health Care Analysis. Kesehatan/JPKM. JMPK FK UGM, Yogyakarta,
2005;13 (01). 2002; 05(02).
9. Thabrany H dan Hidayat B, ed. Pembayaran 15. Wintera I Gde, Hendratini J. Determinan
Kapitasi. FKM UI, Jakarta, 1998. Kepuasan Dokter Puskesmas terhadap Sistem
10. Saefuddin F dan Ilyas Y. Managed Care: Pembayaran Kapitasi Peserta Wajib PT Askes
Mengintegrasikan Penyelenggaraan dan di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi
Pembiayaan Pelayanan Kesehatan, Bagian A. Tengah. JMPK FK UGM, Yogyakarta, 2005;
Pemjaki, Jakarta, 2001. 08(02).
11. Sulastomo. Manajemen Kesehatan. Gramedia, 16. Anderson GF and Weller WE. Method of
Jakarta, 2003 Reduction Financial Risk of Phicisians Under
Capitation. Arch Fam Med, 1999;8:149-55.

40 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 01 Maret l 2009 Halaman 41 - 47
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Artikel Penelitian

PROFIL KOMITE MEDIS DI INDONESIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG


MEMPENGARUHI KINERJANYA DALAM MENJAMIN KESELAMATAN PASIEN
THE PROFILES OF THE INDONESIAN MEDICAL STAFF COMMITTESS AND FACTORS AFFECTING
THEIR PERFORMANCE IN PROTECTING THE PATIENT SAFETY

Herkutanto
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ SMF Forensik
Klinik/Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

ABSTRACT Tujuan: Mengetahui profil dan kinerja KM dari segi struktur,


Background: People awareness to patient safety issues is proses kredensial dan kewenangan klinis (clinical privilege),
recently raising a long with the increase of malpractice claims. pengembangan profesi dan audit, serta disiplin profesi dan
Unsafe medical practice plays an important role to the issues. keterlibatan KM dalam proses adminstratif lainnya di rumah
The occurrence of unsafe medical practice could be prevented sakit.
if the medical staff committe in hospitals implement the medical Metode: Dilakukan studi cross-sectional terhadap profil dan
professionalism by overseeing the medical practitioners in kinerja KM dengan kuesioner terstruktur. Responden adalah
hospitals. Up to now, there are no valid information regarding perwakilan manajemen RS yang diundang dan bersedia mengisi
teh performance of the medical staff conmmittee, particularly kuesioner yang dibagikan. Dari hasil pengisian kuesioner
credentialing, audit, and disciplinary mechanism in hospitals. kemudian dibuat formulir skoring terhadap beberapa aspek KM
Objectives: This study will explore the profile of the medical yaitu struktur, kredensial dan kewenangan klinis,
staff committee and their performance in terms of their pengembangan profesi dan audit, serta disiplin profesi dan
organizational structure, credentialing and clinical privileging, keterlibatan administratif.
continuing professional development and medical audit, and Hasil: Sebanyak 91% merupakan RSU dan 15% dari RS peserta
disciplinary measures. penelitian ini belum memiliki KM. Rerata skor total kinerja KM
Method: A cross sectional study was conducted to examine adalah 17,9 + 4,9.
the performance of the medical staff committees through Kesimpulan: Kinerja KM di Indonesia masih di bawah dari
structured questionaires. The responders were yang diharapkan. Adanya proses kredensial, pemberian
representatives of hospital managements of 133 hospitals who kewenangan klinis tertulis, pengembangan profesi, sistem audit,
agreed to fill in the questionaires. The scoring forms were disiplin profesi dan pemberian sanksi mencerminkan kinerja
applied to score the several main functions of the medical KM yang lebih baik.
staff committee, i.e., structure, credentialing and clinical
privileging, continuing professional development and medical Kata kunci: keselamatan pasien, komite medis, kinerja
audit, disciplinary measures, and management involvement in
the clinical governance.
Results: 91 % of the participating hospitals were General
Hospitals and the medical staff committee of 15% of the total
PENGANTAR
participants were absent. This research revealed that the mean Gugatan terhadap dugaan malpraktik adalah
of the total score of the medical staff committees performance konsekuensi yang dapat terjadi akibat
were 17,9 + 4,9. ketidakpuasan penderita atau keluarganya terhadap
Conclusion: The study revealed that their performance was
still below the expected outcome since the delineation of clinical
pelayanan kesehatan yang diterimanya sehingga
privilege was not properly conducted by the hospitals. The berakibat memburuknya penyakit, kecacatan atau
existence of credentialing and clinical privileging, continuing meninggal. Survei PERSI tahun 2006 di 381 rumah
professional development and medical audit, and disciplinary sakit (RS) di Indonesia mendapatkan sebanyak 173
measures reflects a better performance of the medical staff
committees.
(45,4%) RS mengaku pernah mendapat klaim.
Sebagian besar RS (31%) mengaku telah mendapat
Keywords: patient safety, medical staff committee, 1-3 klaim dan terdapat 12 (3,1%) RS yang lebih dari
performance 7 kali mendapat klaim.1
Gugatan perkara malpraktik adalah salah satu
ABSTRAK cara bagi penderita untuk mendapat kompensasi
Latar belakang: Kesadaran akan jaminan keselamatan pasien
mulai meningkat di masyarakat dengan bertambahnya kasus- finansial akibat cedera yang ditimbulkan oleh kejadian
kasus gugatan terhadap dugaan malpraktik. Salah satu faktor tak diharapkan (medical mishaps), yang besarnya
penyebab terjadinya kejadian tak diharapkan adalah tindakan ditentukan dari berat ringannya cedera.2 Hal ini cukup
dokter yang tidak aman. Hal ini dapat dicegah bila Komite Medis memprihatinkan karena keselamatan pasien
(KM) mampu memahami dan melaksanakan tugasnya dalam
mengendalikan professionalisme dokter. Belum diketahui sebenarnya tidak terletak dalam diri seseorang, alat
bagaimana profil KM yang sesungguhnya dan kinerja KM atau departemen secara individual, tetapi muncul dari
terutama dalam proses kredensial, audit dan disiplin profesi. interaksi komponen-komponen sebuah sistem dan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 41


Pande Putu Januraga, dkk.: Profil Komite Medis di Indonesia ...

berada dalam konteks peningkatan kualitas.3 Salah kuesioner kinerja KM dan formulir skoring terhadap
satu risiko yang dapat mengancam keselamatan empat aspek yang dinilai. Dalam setiap aspek
pasien adalah kompetensi dan sikap dokter dalam tersebut terdapat 10 butir pernyataan karakteristik
melakukan tindakan medis. ideal. Untuk masing-masing karakteristik ideal yang
Mekanisme yang umumnya digunakan untuk ditemukan di KM RS responden, diberi skor 1
menjamin keselamatan pasien adalah aplikasi prinsip sehingga skor total adalah 40.
“bad apple theory” dengan cara seleksi dan
pendisiplinan terhadap dokter yang bekerja di rumah Rekrutmen Responden
sakit. 4 Badan akreditasi RS di Amerika (JCI) Responden adalah perwakilan manajemen atau
mempersyaratkan keberadaan mekanisme KM yang berasal dari 133 RS. Para responden
semacam ini bagi RS untuk menjaga keselamatan diminta untuk mengisi suatu kuesioner tentang profil
pasiennya. 5 Mekanisme ini diyakini dapat KM di RS yang diwakilinya. Responden direkrut
mempertahankan profesionalisme para praktisi dalam beberapa acara lokakarya atau pelatihan yang
medis di RS karena pelanggaran atas prinsip bersifat lokal maupun nasional selama periode bulan
profesionalisme akan mengakibatkan praktisi medis Juli 2005 – Juni 2006.
kehilangan hak dan kewenangannya untuk
melakukan tindakan medis di RS. Analisis Data
Di Indonesia, pemahaman tentang hakekat dan Perbandingan nilai rerata skor total dilakukan
tujuan profesionalisme di kalangan profesi medis terhadap beberapa aspek struktur, kredensial, audit,
sendiri agaknya masih kurang sehingga KM tidak pengembangan profesi, disiplin profesi dan
adekuat dalam menjaga keselamatan pasien. keterlibatan KM dalam fungsi administratif RS.
Kekeliruan umum yang terjadi, semua dokter yang Perbedaan rerata skor diuji dengan student “t” test
bekerja di RS dianggap telah kompeten karena atau analysis of variance (ANOVA).
dokter adalah kelompok profesional, sehingga tidak
perlu ada mekanisme verifikasi lagi oleh KM. Padahal HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
pemahaman profesionalisme medis yang berlaku Dalam penelitian ini berhasil terkumpul
saat ini justru sebaliknya, seorang dokter dianggap responden dari 133 RS. Sebagian besar (82%)
professional bila telah terbukti kompeten melalui
suatu mekanisme kredensial oleh KM. Paham ini Tabel 1. Karakteristik responden (n=133)
berfokus pada kepentingan pasien (patient- Karakteristik n %
centredness). 6 Pertanyaan yang timbul adalah Pemilik:
 Swasta 109 82,0
sejauh mana KM RS di Indonesia telah bekerja  Pemerintah 24 18,0
sesuai dengan prinsip profesionalisme medis? Badan Hukum:
Apakah KM disalahgunakan untuk memperjuangkan  Tidak ada badan hukum 2 1,5
kepentingan pribadi dokter di RS dengan cara  Badan hukum publik 22 16,5
 PT/ BUMN/ BUMD 31 23,3
mencampuri tindakan manajemen?  Yayasan 67 50,4
Dari observasi awal terhadap kinerja KM di  Perkumpulan 11 8,3
berbagai RS, terdapat kesan masih adanya Tipe RS
 Tipe A 6 4,5
kesenjangan antara kenyataan dan kinerja KM yang  Tipe B dan utama 24 18,0
efektif. Namun, observasi ini membutuhkan  Tipe C dan madia 62 46,6
pengukuran obyektif, sehingga dapat diketahui  Tipe D dan pratama 36 27,1
 Tidak ada data 5 3,8
bagaimana profil kinerja KM yang sesungguhnya di RS Pendidikan
Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui  Bukan 124 93,2
profil dan kinerja KM dari segi struktur organisasinya,  Ya 9 6,8
Akreditasi
proses kredensial dan kewenangan klinis,  Belum 50 37,6
pengembangan profesi dan audit, serta disiplin  KARS 5 pelayanan 42 31,6
profesi dan keterlibatan KM dalam proses  KARS 12 pelayanan 22 16,5
manajemen di RS.  ISO 8 6,0
 Lainnya 11 8,3
Jenis RS
BAHAN DAN CARA PENELITIAN  RS Umum 121 91,0
Desain penelitian  RS Khusus 12 9,0
Lingkup pelayanan
Penelitian ini merupakan penelitian cross-  Umum 16 12,0
sectional terhadap profil KM di berbagai RS di  Spesialistik 80 60,2
Indonesia pada tahun 2006. Alat yang dipakai adalah  Subspesialistik 37 27,8

42 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

adalah RS swasta dan lebih dari separuhnya Hampir 50% KM mengaku telah memberikan
merupakan RS tipe C/ madia dan tipe D/pratama kewenangan klinis tertulis dan penandatangan surat
90% responden berasal dari RSU dengan ruang tersebut adalah direktur. Namun belum jelas apakah
lingkup pelayanan spesialistik. Dua pertiga RS telah pemberian kewenangan klinis tertulis tersebut telah
memiliki akreditasi (Tabel 1). menggambarkan kompetensi yang terinci
Dari ke-133 RS, terdapat 20 (15%) RS yang (delineation of clinical privilege) yang didasarkan
belum memiliki KM. Sebagian besar KM berada di pada mekanisme kredensial yang adekuat. 7
bawah Direktur dan disahkan oleh Badan Pengampu Sebagian besar KM tidak memiliki aturan
(Governing Board) RS. Penunjukkan anggota pencabutan surat kewenangan dan penunjukkan
umumnya berasal dari staf medik tetapi cukup bukti kompetensi untuk pemberian kewenangan
banyak anggota staf direksi yang terlibat dalam KM. klinis. Walaupun hampir semua KM telah memiliki
Lebih dari separuh KM telah mempunyai ruang subkomite kredensial, tetapi keterlibatan manajemen
sekretariat khusus dan dapat menyelenggarakan dalam keputusan hasil kredensial masih besar.
rapat rutin setiap bulan tetapi belum memiliki tata Sebagian besar KM atau RS tidak melakukan proses
tertib sendiri (Tabel 2). rekredensial (Tabel 3).

Tabel 2. Karakteristik struktur komite medis dan nilai Tabel 3. Karakteristik pemberian kewenangan klinis
skor tiap karakteristik (n=133) dan kredensial (n=133)

Karakteristik Skor n % Karakteristik Skor N %


Kedudukan: Pemberian kewenangan klinis tertulis:
 Sejajar Direktur 1 49 36,8  Ada 1 65 48,9
 Di bawah Direktur 0 64 48,2  Tidak ada 0 46 34,6
 Tidak ada data 20 15,0  Tidak ada data 22 16,5
Yang mensahkan KM: Tanda tangan surat kewenangan klinis:
 Governing board 1 68 51,2  Ketua Komite Medis 1 11 8,3
 Direktur 0 45 33,8  Direktur 0 59 44,4
 Tidak ada data 20 15,0  Tidak ada data 63 47,4
Anggota KM: Aturan pencabutan:
 Dari staf medik 1 62 46,6  Dapat dicabut jika melanggar disiplin profesi 1 36 27,1
 Ditunjuk Direktur/ Governing Board 0 47 35,4  Tidak ada peraturan 0 61 45,9
 Tidak ada data 24 18,0  Tidak ada data 36 27,1
Staf manajemen/ direksi dalam KM: Bukti kompetensi tertulis
 Tidak ada 1 72 54,1  Perlu ditunjukkan 1 44 33,1
 Ada 0 38 28,6  Tidak perlu bukti 0 66 49,6
 Tidak ada data 23 17,3  Tidak ada data 23 17,3
Pemilihan ketua KM: Pembatasan kewenangan klinis:
 Dipilih anggota 1 72 54,1  Ada 1 65 48,9
 Ditunjuk Direktur/Governing Board 0 38 28,6  Tidak ada 0 46 34,6
 Tidak ada data 23 17,3  Tidak ada data 22 16,5
Ketua KM bertanggung jawab kepada: Subkomite Kredensial:
 Direktur 1 71 53,4  Ada 1 95 71,4
 Governing Board 0 39 29,3  Tidak ada 0 16 12,0
 Tidak ada data 23 17,3  Tidak ada data 22 16,5
Tatatertib/ aturan sendiri: Keterlibatan manajemen dalam kredensial:
 Ada 1 28 21,1  Administratif saja 1 59 44,4
 Tidak ada 0 83 62,4  Terlibat langsung dalam keputusan 0 52 39,1
 Tidak ada data 22 16,5  Tidak ada data 22 16,5
Rapat rutin minimal 1 bulan sekali Hasil kredensial
 Ada 1 76 57,1  Diputuskan langsung oleh Komite Medis 1 17 12,8
 Tidak ada 0 34 25,6  Diputuskan oleh Direksi 0 94 70,
 Tidak ada data 23 17,3  Tidak ada data 22 16,5
Ruang khusus untuk Sekretariat KM: Proses rekredensial:
 Ada 1 79 59,4  Ada 1 36 27,1
 Tidak ada 0 31 23,3  Tidak ada 0 74 55,6
 Tidak ada data 23 17,3  Tidak ada data 23 17,3
Staf sekretariat khusus untuk KM Keterlibatan manajemen dalam rekredensial:
 Ada 1 49 36,8  Tidak ada 1 19 14,3
 Tidak ada 0 61 45,9  Ada 0 20 15,0
 Tidak ada data 23 17,3  Tidak ada rekredensial 94 40,7

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 43


Pande Putu Januraga, dkk.: Profil Komite Medis di Indonesia ...

Sebagian besar RS belum mempunyai program Sebagian besar KM terlibat dalam manajemen
pengembangan profesi yang ditunjukkan dengan RS yang sebetulnya bukan merupakan tugas dan
sedikitnya subkomite pengembangan profesi dan wewenang KM, seperti pengadaan alat, obat,
pengiriman staf ke seminar. Selain itu, kegiatan audit reagens laboratoirum, maupun film. Demikian pula
juga belum mendapat perhatian cukup karena halnya dengan pembahasan jasa medis dan
separuh responden mengaku tidak melakukan audit. kesejahteraan staf medis yang seharusnya tidak
Namun demikian, sebagian besar responden melibatkan KM (Tabel 5).
mengaku ada kegiatan presentasi kasus sulit atau Rerata skor total pada RS yang memiliki KM
kematian dan audit rekam medik, walaupun tidak adalah 17,9 + 4,91. Rincian rerata skor tiap aspek
rutin atau hanya insidental (Tabel 4). adalah sebagai berikut: struktur: 5,26 + 2,078,
Lebih dari setengah RS belum memiliki kredensial dan clinical privilege: 4,05 + 2,165,
subkomite disiplin profesi. Pemberian sanksi telah pengembangan profesi dan audit: 4,75 + 2,935,
dijalankan apabila terbukti ada pelanggaran, tetapi disiplin profesi dan keterlibatan lainnya: 3,67 + 1,981.
hal ini terbatas pada RS yang pernah mendapati Selanjutnya, analisis dilakukan berbagai variabel
kasus pelanggaran profesi. Sekitar dua per tiga untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan skor
responden mengaku belum pernah mendapati kasus kinerja KM (Tabel 6). Pada analisis tampak bahwa
pelanggaran profesi atau tidak memberikan data status kepemilikan RS, jenis badan hukum, garis
mengenai hal ini.

Tabel 5. Karakteristik disiplin profesi dan


Tabel 4. Karakteristik pengembangan profesi dan keterlibatan komite medis dibidang manajemen
audit (n=133) rumah sakit (n=133)
Karakteristik Skor N % Karakteristik Skor N %
Pengiriman staf ke seminar: Subkomite Disiplin Profesi:
 Ada 1 49 36,8  Ada 1 32 24,1
 Tidak ada 0 60 45,1  Tidak ada 0 76 57,1
 Tidak ada data 24 18,0  Tidak ada data 25 18,8
Dukungan manajemen: Yang memeriksa dugaan pelanggaran:
 Ada 1 63 47,4  Komite medis 1 24 18,0
 Tidak ada 0 46 34,6  Manajemen 0 28 21,1
 Tidak ada data 24 18,0  Tidak ada data 81 60,9
Subkomite Pengembangan Profesi: Teguran/ sanksi bila terbukti pelanggaran:
 Ada 1 43 32,3  Ada 1 47 35,3
 Tidak ada 0 66 49,6  Tidak ada 0 44 33,1
 Tidak ada data 24 18,0  Tidak ada data 42 31,6
Pencatatan kegiatan pengembangan profesi: Kasus pelanggaran profesi:
 Ada 1 35 26,3  Sudah pernah ada 1 47 35,3
 Tidak ada 0 74 55,6  Belum pernah ada 0 41 30,8
 Tidak ada data 24 18,0  Tidak ada data 45 33,8
Subkomite audit: KM terlibat pengadaan alat medis:
 Ada 1 39 29,3  Tidak 1 69 51,9
 Tidak ada 0 69 51,9  Ya 0 39 29,3
 Tidak ada data 25 18,8  Tidak ada data 25 18,8
Yang melakukan audit: KM terlibat dalam pengadaan obat/ farmasi:
 Subkomite audit 1 39 29,3  Tidak 1 84 63,2
 Subkomite/ panitia lain 0 36 27,1  Ya 0 24 18,0
 Tidak ada data 58 43,6  Tidak ada data 25 18,8
Presentasi kasus sulit/ kematian: KM terlibat dalam pengadaan reagens lab:
 Ada 1 77 57,9  Tidak 1 67 50,4
 Tidak ada 0 29 21,8  Ya 0 41 30,8
 Tidak ada data 27 20,3  Tidak ada data 25 18,8
Audit rekam medik: KM terlibat dalam pengadaan film radiologi:
 Ada 1 66 49,6  Tidak 1 67 50,4
 Tidak ada 0 41 30,8  Ya 0 41 30,8
 Tidak ada data 26 19,5  Tidak ada data 25 18,8
Dukungan manajemen dalam audit: KM terlibat pembahasan jasa medis
 Ada 1 85 63,9  Tidak 1 49 36,8
 Tidak ada 0 24 18,0  Ya 0 59 44,4
 Tidak ada data 24 18,0  Tidak ada data 25 18,8
Sanksi bila terdapat penyimpangan audit: KM terlibat pembahasan kesejahteraan staf:
 Ada 1 35 26,3  Tidak 1 49 36,8
 Tidak ada 0 73 54,9  Ya 0 59 44,4
 Tidak ada data 25 18,8  Tidak ada data 25 18,8

44 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

tanggung jawab, dan kedudukan KM terhadap surat khusus setelah proses kredensial dan bukan
Direktur RS tidak mempengaruhi rerata skor kinerja sekedar ‘kontrak kerja’ yang ditandatangani direktur
KM. Namun, KM yang memiliki aturan atau tata tertib RS.
sendiri memiliki skor kinerja yang secara bermakna Rumah sakit (RS) yang mempunyai subkomite
lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki pengembangan profesi dan audit secara bermakna
tata tertib. memiliki skor kinerja komite medis yang lebih tinggi.
Pada aspek kredensial, RS yang memberi bukti Demikian pula halnya dengan RS yang melakukan
kewenangan klinis secara tertulis, mempunyai presentasi kasus sulit atau kematian, audit rekam
subkomite kredensial dan melakukan proses medis dan penerapan sanksi bila terjadi penyimpangan
rekredensial memiliki skor kinerja KM yang secara selama audit. Ini berarti, adanya pengembangan profesi
bermakna lebih tinggi. Meskipun demikian, belum atau audit dapat mencerminkan kualitas kinerja KM
tentu bukti kewenangan klinis yang dimaksud adalah secara keseluruhan.

Tabel 6. Perbandingan rerata skor total kinerja komite medis berdasarkan karakteristik tertentu
Nilai p
Karakteristik Rerata skor Standar deviasi
(student “t” test/ ANOVA)
Pemilik:
 Swasta 17,55 4,936 0,140
 Pemerintah 19,35 4,905
Badan Hukum:
 Tidak ada badan hukum 13,50 4,950 0,174
 Badan hukum publik 19,37 4,705
 PT/ BUMN/ BUMD 18,56 4,799
 Yayasan 16,90 5,141
 Perkumpulan 19,00 3,464
Tanggung jawab kepada
 Direktur 18,03 5,193
 Governing Board 17,49 4,356 0,590
Kedudukan komite medis
 Sejajar Direktur 17,98 5,194
 Di bawah Direktur 17,82 4,710 0,866
Aturan/ tatatertib sendiri
 Punya 19,89 4,349 0,011*
 Tidak 17,18 4,919
Pemberian kewenangan klinis secara tertulis
 Ada 19,57 4,109 0,000
 Tidak ada 15,58 5,052
Subkomite kredensial
 Ada 18,46 4,782 0,003
 Tidak ada 14,40 4,290
Proses rekredensial
 Ada 20,29 4,496 0,000
 Tidak ada 16,69 4,720
Subkomite pengembangan profesi
 Ada 20,64 3,913 0,000
 Tidak ada 16,12 4,709
Subkomite audit
 Ada 21,09 4,196 0,000
 Tidak ada 16,35 4,501
Presentasi kasus sulit/ kematian
 Ada 18,64 4,808 0,002
 Tidak ada 15,30 4,401
Audit rekam medik
 Ada 18,89 4,991 0,003
 Tidak ada 16,00 4,230
Sanksi bila ada penyimpangan selama aud it
 Ada 21,06 4,116 0,000
 Tidak ada 16,27 4,514
Subkomite disiplin profesi
 Ada 21,63 3,386 0,000
 Tidak ada 16,29 4,588
Teguran/ sanksi bila terbukti melakukan pelanggaran profesi
 Ada 19,68 4,492 0,000
 Tidak ada 15,42 4,697

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 45


Pande Putu Januraga, dkk.: Profil Komite Medis di Indonesia ...

Rumah sakit (RS) yang memiliki subkomite dalamnya.10 Evaluasi dokter untuk rekredensial juga
disiplin profesi dan menerapkan teguran atau sanksi perlu dilakukan meskipun lebih sulit dilakukan secara
memiliki skor yang secara bermakna lebih tinggi. objektif. 11 Proses kredensial yang efektif dapat
Disiplin profesi dengan penerapan sanksi menurunkan risiko adverse events pada pasien
mencerminkan keseriusan KM dalam memantau dengan meminimalkan kesalahan terapi yang
kinerja staf medik yang terbukti melakukan diberikan oleh dokter spesialis yang memegang
pelanggaran profesi. Adanya dua hal tersebut kewenangan klinis tertentu di RS tersebut.12
ternyata sangat membedakan kinerja KM di RS yang Subkomite kredensial dalam KM merupakan
bersangkutan. instrumen utama untuk menentukan kewenangan
klinis (clinical privilege) para praktisi medis. Peran
PEMBAHASAN subkomite kredensial adalah untuk meyakinkan dan
Keselamatan pasien menjadi topik hangat menyatakan bahwa seorang dokter kompeten untuk
dalam beberapa tahun terakhir setelah publikasi menjalankan pelayanan yang diminta oleh RS
suatu dokumen yang memperkirakan bahwa angka tersebut. Komite Medis (KM) oleh karenanya
kematian karena cedera kecelakaan di RS dapat bertanggung jawab terhadap manajemen RS dan
mencapai 98.000 jiwa dalam satu tahun.8 Salah satu badan pengampu melalui manajamen RS. 13
sumber kecelakaan di RS adalah tindakan medis Keputusan akhir untuk menerima seorang staf medik
yang dilakukan oleh dokter yang kurang kompeten. berada pada badan pengampu RS, KM mempunyai
Secara hukum RS berkewajiban untuk peran penting dalam keputusan itu. Komite medis
menjamin keselamatan pasien dari dokter yang tidak (KM) perlu memeriksa dengan kritis aplikasi dokter
kompeten. Dalam hal tidak ada sistem penjaminan baru untuk menjaga standar kinerja yang tinggi.14
keselamatan yang baik maka hak pasien untuk Kredensial adalah penapisan kompetensi klinis
mendapat jaminan keamanan hanya dapat dipenuhi para praktisi medis yang merupakan proses bahwa
melalui gugatan hukum kepada RS dan dokter.9 staf medik, atas nama badan pengampu,
Rumah sakit (RS) harus memberdayakan KM menentukan secara cermat apa yang boleh dilakukan
sebagai salah satu sarana untuk menjamin atau tidak boleh dilakukan oleh seorang dokter
keselamatan pasien. praktik di suatu RS pada saat tertentu.
Angka-angka skor kinerja KM yang didapat dari Proses kredensial harus dibedakan dari
penelitian ini masih jauh dari yang diharapkan karena penerimaan staf medik untuk bekerja di RS. Selama
bahkan tidak dapat mencapai setengah dari skor ini terdapat kesalahpahaman bahwa kredensial
maksimal, kecuali pada aspek struktur. Ini adalah penilaian kualifikasi dokter ketika berlangsung
mencerminkan masih rendahnya kualitas kinerja KM proses penerimaan staf medik baik sebagai pegawai
di Indonesia. Tampak bahwa struktur KM mempunyai maupun sebagai dokter mitra. Kredensial sebenarnya
skor yang lebih baik dibandingkan aspek lainnya. merupakan proses mencocokkan antara keinginan
Ini menunjukkan bahwa aspek struktur organisasi dokter untuk melakukan tindakan medis di RS pada
dan fasilitas sekretariat lebih mudah diterapkan. waktu tertentu dan kompetensinya untuk melakukan
Namun, baik tidaknya struktur KM tidak pekerjaan itu. Penilaian kompetensi saat proses
mempengaruhi kinerja KM, terbukti dari tidak adanya kredensial dilakukan oleh mitra bestari (peer group).
korelasi bermakna antara karakteristik struktur dan Pengembangan profesi dan audit medis
skor total, kecuali adanya tata tertib sendiri (medical merupakan dua hal lain yang menjadi tugas dan
staff bylaws). wewenang KM. Dari hasil penelitian tampak bahwa
Proses kredensial dan pemberian kewenangan kinerja pada aspek ini masih rendah. Padahal
klinis (clinical privilege) merupakan tugas dan keselamatan pasien dapat ditingkatkan dengan
wewenang KM yang penting. Adanya mekanisme memperbaiki sistem, terutama pada kebiasaan-
kewenangan klinis (clinical privilege) memberikan kebiasaan rutin di RS seperti: ronde, cara membuat
peluang pada RS mengendalikan para praktisi medis rekam medik, pertemuan, program pelatihan,
melalui KM. Komite medis (KM) RS mempunyai petunjuk pelaksanaan kebijakan, dan peninjauan
kewenangan untuk mengevaluasi clinical privileges terhadap protokol-protokol penanganan pasien
praktisi medis termasuk mengambil tindakan disiplin, karena hal ini mencegah terjadinya medical error.15
serta korektif berupa mencabutan atau penangguhan Komite medis (KM) perlu memperhatikan tugas ini
clinical privileges tertentu. karena merupakan fungsi mempertahankan
Kredensial merupakan elemen kunci dalam profesionalisme praktisi medis di RS.
menurunkan risiko litigasi (gugatan hukum di Untuk menjamin keselamatan pasien di RS juga
pengadilan) terhadap RS dan dokter yang bekerja di diperlukan mekanisme pendisiplinan. Pendekatan

46 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

‘bad apples” perlu diterapkan kepada staf medik yang 2. Brennan TA, Mello MM. Patient safety and
tidak dapat memenuhi standar atau kompetensi medical malpractice: a case study. Ann Intern
pelayanan. Kemudian, melalui proses kredensial Med, 2003;139:267-73.
ulang (rekredensial) dan evaluasi terhadap 3. National Patient Safety Foundation. Agenda for
kewenangan klinis, seorang dokter dapat Research and Development in Patient Safety,
‘disingkirkan’ dari pelayanan kepada pasien dengan 2000. Diakses dari http://www.npsf.org. Diakses
mencabut kewenangan klinis untuk melakukan pada 20 Agustus 2006)
tindakan medis tertentu berdasarkan rekomendasi 4. Berwick DM. Continuous improvement as an ideal
KM. Hal ini tidak dapat ditawar-tawar, mengingat in health care. N Engl J Med 1989;320:53-6.
keselamatan pasien adalah prioritas utama 5. The Joint Commission, diakses dari http://
pelayanan kesehatan saat ini. Peningkatan upaya www.Jointcommission.org/Accreditation
pada program keselamatan pasien sudah pasti dapat Programs/Hospitals/Standards. Diakses pada
menghindarkan RS dari tuntutan hukum akibat 20 Agustus 2006
kecelakaan yang diderita pasien. 6. Picker Institute, Diakses dari http://www.
Secara umum, ada tiga mekanisme yang dapat pickereurope.org/page.php?id=9 Diakses pada
menstimulasi RS untuk memperbaiki keselamatan 10 September 2006.
pasien dan kualitas pelayanan, yaitu 7. Valenza JA, George LA, O’Neil PN, A Model for
profesionalisme, regulasi, dan pasar. Clinical Credentialing of dental school Faculty,
Profesionalisme adalah suatu sistem self- Journal of Dental Education, 2005;69(8): 870-8.
governance bahwa anggota suatu profesi memelihara 8. Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson ML (Eds.) To
standar berdasarkan nilai, norma bersama dan err is human: building a safer health system.
aktivitas edukasi melalui upaya pelatihan, pendidikan National Academy Press, Washington, D.C,
dan riset. Nilai-nilai, norma dan pengetahuan 2000.
profesional pelayanan kesehatan dapat menurunkan 9. Annas GJ. The patient’s right to safety –
medical error. Namun, walaupun mekanisme pasar improving the quality of care through litigation
juga berperan, faktor yang mempunyai dampak against hospitals. N Engl J Med, 2006;
terbesar pada upaya RS untuk meningkatkan 354:2063-6.
keselamatan pasien adalah badan regulasi, bukan 10. Blaes SM, Knight GE. Effective physician
dorongan pasar.16 Di lain pihak, hambatan terbesar credentialing. Properly monitoring medical staffs
untuk mencapai keselamatan pasien bukan pada can protect hospitals from liability. Health
teknik, tetapi lebih pada keyakinan, keinginan, Prog,1990;71:60-5.
budaya, dan pilihan. Kita tidak akan menjadi aman 11. Haun JP. A process for objective review of
sampai kita memilih untuk menjadi aman.17 physician performance. Physician Exec
1992:18:51-5.
KESIMPULAN 12. Appelbee L. Hospital credentialling: identifying
Dari penelitian ini tampak bahwa kinerja komite and managing the risks. J Law Med, 2000;8:112-
medis di Indonesia masih di bawah dari yang 25.
diharapkan. Masih ada persepsi keliru yang 13. Wilson L. Credentialling of hospital medical staff.
menganggap bahwa KM adalah kelompok untuk Symposia proceedings: Dynamic approaches
memperjuangkan kesejahteraan para dokter. Adanya to healthcare risk management. Standards
proses kredensial, pemberian kewenangan klinis Australia International. Sydney, April 1999 and
tertulis, pengembangan profesi, sistem audit, disiplin Perth, February 2000.
profesi dan pemberian sanksi mencerminkan kinerja 14. Shields TC. Guidelines for reviewing applications
KM yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak for privileges. Hosp Med Staff, 1980;9:11-7.
melakukan hal-hal tersebut. 15. Berwick DM. Errors today and errors tomorrow.
N Engl J Med 2003;348:2570-2.
KEPUSTAKAAN 16. Devers KJ, Pham HH, Liu G. What is driving
1. Herkutanto. Profil kinerja komite medis berkaitan hospital’s patient-safety efforts? Health Aff,
dengan keselamatan pasien. Disampaikan 2004;23:103-15.
dalam: Kongres Nasional Persatuan Rumah 17. Leape LL, Berwick DM. Five years after to err is
Sakit Seluruh Indonesia, Jakarta, November human. What have we learned? JAMA,
2006. 2005;293:2384-90.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 47


JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 01 Maret l 2009 Halaman 48 - 49
Resensi
Resensi

Judul Buku : Leadership, Theory and Practice


Pengarang : Peter G. Northouse
Penerbit : Sage Publications
Tahun : 2007
Tebal : 395 halaman

B
uku tentang kepemimpinan (leadership) ini pendekatan sifat, yang notabene bersifat “bawaan”
terdiri dari 14 bagian (bab). Secara umum (tidak dapat dipelajari), maka pendekatan
buku ini mengupas isu kepemimpinan, baik keterampilan menawarkan keterampilan apa saja
dari aspek teori maupun praktik. Meskipun yang harus dipelajari oleh seorang pemimpin.
pemaparan teoritik tidak terlalu mendalam, namun Setidaknya terdapat tiga ketrampilan yang harus
buku ini mampu memberikan gambaran yang dikuasai oleh seorang pemimpin, yakni ketrampilan
komprehensif tentang “evolusi” teori kepemimpinan, teknis, humanis, dan konseptual. Untuk menjadi
mulai dari pendekatan sifat (traits) sampai dengan pemimpin yang efektif, ketiganya harus dikuasai
pendekatan budaya (culture). Sebagaimana secara simultan.
dimaklumi, beragam disiplin ilmu telah mencoba Bab IV, mengulas teori kepemimpinan dengan
melakukan analisis tentang fenomena pendekatan gaya (style). Dalam kelompok ini
kepemimpinan. Perbedaan cara pandang inilah yang terdapat tiga teori yang terkenal, yakni Ohio studies,
telah melahirkan keberagaman paradigma (teori) Michigan studies dan Blake and Mouton’s Grid. Ohio
tentang kepemimpinan, karena setiap teori studies mengidentifikasi dua jenis kepemimpinan,
melakukan pendekatan analisis dengan paradigma yakni task oriented dan relation oriented. Analog
“tertentu”, maka setiap teori mempunyai keunggulan dengan Ohio studies, Michigan’s studies
dan kelemahannya masing-masing. Buku ini menjadi mengidentifikasi dua gaya kepemimpinan, yaitu
menarik karena setiap teori yang dikupas dilengkapi employee orientation (relation) dan production
dengan relevansinya dalam praktik, dan juga orientation (task). Akhirnya, Blake dan Mouton
ditunjukkan keunggulan dan kelemahannya. mengembangkannya dalam skala 1-9, baik untuk
Bab I, merupakan pengantar yang menunjukkan aksis people orinetation maupun results orientation.
metode dan pendekatan penulisan buku ini. Dalam Dengan membaginya dalam skala 1-9, maka
bab pengantar ini, penulis mengungkapkan adanya terdapat setidaknya lima gaya kepemimpinan, yakni
dua pendekatan dalam analisis kepemimpinan. gaya 1,9 (country club management), gaya 9,9 (team
Pertama, pendekatan sifat dan perilaku, yaitu management), gaya 5,5 (middle of the road
menyangkut bagaimana pemimpin memperlakukan management), gaya 1,1 (impoverished
pengikutnya (analisis pada diri pemimpin). Kedua, management), dan gaya 9,1 (authority-compliance
pendekatan proses interaksi, yakni menyangkut apa management).
yang terjadi dalam proses interaksi antara pemimpin Bab V dan VI, mengulas gaya kepemimpinan
dan pengikut dalam mencapai tujuan bersama situasional. Terdapat dua pendekatan dalam
(analisis proses). kepemimpinan situasional. Hersey dan Blanchard
Bab II, membahas teori kepemimpinan dengan mengembangkan empat gaya kepemimpinan yang
pendekatan sifat (traits). Sebagai teori yang paling harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan
awal tentang teori kepemimpinan, teori ini bawahan, yakni gaya delegating (untuk bawahan
menyatakan bahwa untuk menjadi pemimpin maka yang tidak perlu perintah dan dukungan), supporting
seseorang harus mempunyai sifat bawaan tertentu. (untuk bawahan yang tidak perlu perintah tapi perlu
Sifat pemimpin, sebut saja, harus cerdas, percaya dukungan), coaching (untuk bawahan yang perlu
diri, kukuh pada pendirian, integritas, kemampuan perintah dan dukungan), dan directing (untuk
sosial (ekstrovet), dan seterusnya. Kekuatan teori bawahan yang perlu perintah saja). Gaya delegating
ini adalah pada pendeskripsian sifat-sifat pemimpin cocok untuk bawahan yang sudah berkembang,
yang telah berhasil diidentifikasi. Kelemahannya sedangkan gaya directing cocok untuk bawahan
terletak analisis sifat, yang hanya memfokuskan yang belum berkembang. Selanjutnya Fiedler
pada sifat bawaan sang “pemimpin”. mengembangkan lebih jauh teori situasional dengan
Bab III, membahas teori kepemimpinan dengan mengidentifikasi tiga variabel, yaitu hubungan
pendekatan keterampilan (skill). Berbeda dengan pemimpin-pengikut, struktur tugas, dan tingkatan

48 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

posisi kekuasaan. Kombinasi dari ketiga variabel ini dalam (internal) dan perilaku memimpin organisasi
memerlukan tingkatan gaya kepemimpinan yang ke luar (eksternal). Secara konseptual, teori ini perlu
berbeda. dikembangkan lebih jauh. Bab XI mengulas
Bab VII, membahas path-goal theory. Teori ini pendekatan psikodinamik. Pendekatan ini berakar
menganalisis bagaimana cara pemimpin memotivasi pada teori psikodinamikanya S Freud. Oleh karena
bawahan dalam menyelesaikan tugas. Path-goal itu, model ini melakukan pemaknaan metaforik
theory mensyaratkan perilaku memotivasi tertentu sesuai dengan jargon-jargon yang dikembangan S
sesuai dengan karakteristik bawahan dan Freud.
karakteristik tugas. Dengan kata lain, bagaimana Bab XII, membahas gender dan kepemimpinan.
pemimpin menggerakkan bawahan adalah Bab ini mencoba melakukan analisis tentang isu
tergantung variabel karakteristik bawahan dan tugas equity (persamaan hak) untuk menjadi pemimpin,
yang diembannya. Kelemahan teori ini adalah antara laki-laki versus perempuan. Selanjutnya, Bab
kompleksitas analisis pemimpin dalam XIII membahas budaya dan kepemimpinan. Bab ini
mencocokkan cara menggerakkan bawahan secara mencoba mengidentifikasi variabel-variabel budaya
satu per satu. yang mempengaruhi stereotipe kepemimpinan dari
Bab VIII, membahas leader-member-exchange suatu kluster bangsa. Dari penelitian yang telah
theory (LMX). Dibanding teori sebelumnya teori ini dilakukan, ternyata terdapat dimensi-dimensi budaya
melakukan analisis lebih luas, karena analisisnya tertentu yang terkait dengan stereotipe
pada proses interaksi pemimpin dan bawahan. Dalam kepemimpinan dalam satu kluster bangsa.
LMX theory kualitas interaksi dapat dibedakan dalam Bab XIV, sebagai bab terakhir, membahas etika
in-gruoup members dan out-group members. kepemimpinan. Kepemimpinan, sebagai suatu
Dibandingkan dengan teori kepemimpinan perilaku mempengaruhi bawahan untuk mencapai
sebelumnya yang lebih bersifat preskriptif, maka LMX tujuan tertentu, tetap melekat dengan prinsip-prinsip
theory lebih bersifat deskriptif. etika yang dapat diterima secara sosial.
Bab IX, mengulas kepemimpinan Kepemimpinan yang tidak beretika, akan meletakkan
transformasional yang dikembangkan oleh Burns. pemimpin dalam dalam posisi yang tidak dipercayai
Terdapat spektrum yang lebar dalam kepemimpinan, oleh bawahan (hilangnya trust), yang berujung pada
yakni laissez-faire pada satu ujung dan delegitimasi seorang pemimpin di mata bawahan.
transformasional pada ujung lainnya, dan Secara umum buku ini merupakan buku
ditengahnya adalah kepemimpinan transaksional. pegangan praktis yang dapat dipakai oleh praktisi
Dalam buku ini diuraikan tentang komponen- manajemen dalam memimpin organisasinya maupun
komponen dari kepemimpinan transformasional dan peneliti dalam rangka mengembangkan ilmu
transaksional. kepemimpinan.
Bab X, membahas kepemimpinan tim yang
dikembangkan Hill. Pada prinsipnya kepemimpinan
tim adalah bagaimana membawa tim menuju Siswanto
efektivitas tim. Dalam konsep ini terdapat dua Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan
perilaku, yaitu perilaku memimpin kelompok ke siswantos@yahoo.com

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 49


JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
VOLUME 12 No. 01 Maret l 2009 Halaman 50 - 52
Korespondensi
Korespondensi

Email ditujukan ke hiillary@yahoo.com

Hubungan Kinerja Bidan dalam Penatalaksanaan Antenatal Care dengan


Quality Work Life di Kota Tasikmalaya Tahun 2007

P
enelitian mengenai Quality of Work Life pengamatan saya selama ini di beberapa kabupaten/
(QWL) telah banyak dilakukan oleh kota di Indonesia menunjukkan bahwa cakupan
mahasiswa S1 sampai S3 dari berbagai program sudah tinggi tetapi kematian ibu dan bayi
multidisiplin ilmu. Qualitas Kehidupan Kerja (QWL) pun tetap tinggi. Fenomena yang terjadi sekarang
menurut Luthan 1 berfokus pada pentingnya banyak kematian ibu dan bayi justru terjadi di rumah
penghargaan kepada sumber daya manusia di sakit. Jika peneliti menghubungkan antara kematian
lingkungan kerja. Tujuan QWL adalah menciptakan ibu dan bayi di Kota Tasikmalaya dengan rendahnya
budaya kerja agar karyawan mampu memotivasi diri cakupan program, maka saya sangat tidak setuju.
dan mengembangkan serta memberi kontribusi yang Permasalahan kematian ibu dan bayi penyebabnya
optimal terhadap pencapaian kinerja serta sangat multivariabel, tidak hanya bisa diukur dengan
organisasi. cakupan program.
Penelitian ini cukup menarik, terlebih dikaitkan Tujuan penelitian ini masih sangat superficial,
dengan kinerja petugas kesehatan. Selama ini telah karena hanya untuk memperoleh gambaran dan
diketahui bersama bahwa petugas kesehatan yang informasi mengenai hubungan kualitas kehidupan
telah terikat kontrak menjadi tenaga Pegawai Negeri kerja dengan penatalaksanaan ANC bidan
Sipil (PNS) seringkali bekerja seperti mesin atau Puskesmas di Kota Tasikmalaya tahun 2007.
robot. Hal ini disebabkan karena pekerjaan rutinitas Meskipun penelitian ini adalah deskriptif bukan berarti
yang harus mereka selesaikan. Fenomena yang hanya sekedar ingin memperoleh gambaran dan
terjadi di lingkungan birokrat adalah tidak adanya informasi saja. Mohon maaf kalau seperti ini
tantangan untuk bekerja lebih baik karena budaya kesannya hanya seperti “wartawan” saja. Penelitian
kerja yang ada membuat mereka menjadi seperti dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif, tetapi hasil
robot. Kondisi ini berbeda dengan lingkungan swasta, yang ada hanya memperlihatkan analisis kuantitatif
dimana para pekerja menjadi lebih dinamis, kreatif saja. Peneliti seharusnya membuat pernyataan
dan inovatif karena budaya kerja yang tercipta bahwa paradigma penelitian adalah kuantitatif,
membuat mereka harus seperti itu. sehingga hasil kualitatif hanya merupakan
Membaca hasil penelitian Pak Suherman, ada pendukung saja. Hasil penelitian kuantitatif dan
beberapa hal yang menjadi saran, kritik dan kualitatif menunjukkan perbedaan yang cukup
masukan saya. Dalam latar belakang masalah tidak signifikan, sehingga kesannya membuat peneliti
diceritakan secara detil alasan penelitian ini. kebingungan sendiri untuk membuat kesimpulannya.
Bagaimana kondisi penatalasanaan ANC yang Peneliti sebaiknya melakukan pembandingan
selama ini telah dilakukan oleh para bidan dan analisis terhadap penelitian sebelumnya.
puskesmas di Kota Tasikmalaya. Apakah ketika Mengapa hal itu terjadi, dengan berbagai
melakukan ANC bidan telah menggunakan protap argumentasinya. Pembahasan tidak hanya
ANC 7 T atau mungkin lebih atau hanya sekedar membandingkan dengan teori yang ada tetapi yang
”memeriksa ibu hamil untuk memenuhi target lebih penting adalah hasil penelitian sebelumnya.
cakupan program”? Selama ini kita ketahui bahwa Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kualitas bidan untuk melakukan protap ANC masih kompensasi yang seimbang, keselamatan
rendah, khususnya ketika bidan harus memberikan lingkungan kerja dan rasa bangga terhadap institusi
konsultasi pada ibu hamil, bahkan ketika melakukan mempunyai hubungan yang signifikan serta pengaruh
pemeriksaaan T dengan mengukur tinggi fundus uteri yang sedang terhadap kinerja bidan. Hasil penelitian
inipun banyak bidan tidak melakukannya. Padahal ini hampir sama dengan penelitian Insan2 sistem
pemeriksaan ini sangat penting, untuk mengetahui imbalan dan lingkungan kerja mempunyai hubungan
secara dini jika ada kelainan terhadap janin atau yang signifikan dengan kinerja perawat di RS.
kandungan ibu hamil. Perlu juga diketahui oleh Perbedaannya, penelitian Insan menunjukkan bahwa
peneliti bahwa kematian ibu dan bayi tidak ditentukan motivasi kerja dan kemampuan kerja mempunyai
oleh rendahnya cakupan program. Berdasarkan hubungan yang signifikan dengan kinerja perawat.

50 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009


Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Hal ini kemungkinan disebabkan bahwa instrumen melakukan perubahan. Saya setuju dengan
yang digunakan sedikit berbeda dengan Insan. pendapat Tim Mitra Bestari et. al6 yang mengatakan
Menurut Insan, yang paling berpengaruh dalam bentuk – bentuk program kualitas kehidupan kerja
motivasi kerja adalah lingkungan kerja sedang yang yang dapat dikembangkan dalam perusahaan atau
paling berpengaruh dalam kinerja adalah kemampuan organisasi adalah: program redesain pekerjaan,
kerja. program benefit yang fleksibel, program pelatihan
Surjawati 3 mengatakan bahwa dukungan dan pengembangan serta komunikasi yang harmonis
manajemen, lingkungan kerja dan motivasi di lingkungan kerja. Dinas Kesehatan Tasikmalaya
mempunyai pengaruh yang besar terhadap harus mampu melakukan Redesain Pekerjaan Bidan
pelaksanaan tugas pokok keperawatan atau kinerja Puskemas, dengan menghitung beban kerja dan
keperawatan. Hasil penelitian Surjawati untuk waktu kerja. Dengan demikian, di antara petugas
lingkungan kerja mempunyai pengaruh terhadap paramedis yang ada, bidan tidak mempunyai beban
kinerja sama dengan hasil penelitian ini. Penelitian yang paling tinggi. Diantara bidan yang adapun tidak
ini tidak melihat bagaimana dukungan manajemen ada bidan yang mempunyai over load pekerjaan,
dan motivasi kerja, kemungkinan disebabkan karena sementara bidan yang lain pekerjaannya lebih santai.
instrumen yang digunakan berbeda. Program benefit dapat mulai dilakukan untuk
Penelitian Dardak4, bahwa partisipasi pekerja, karyawan puskesmas, yaitu Pemda dapat
pengembangan karier, keselamatan kerja dan memberikan subsidi tambahan untuk asuransi PNS.
kompensasi yang layak mempunyai hubungan yang Selama ini kita ketahui bersama bahwa Askes PNS
signifikan dengan prestasi kerja. Kompensasi yang hanyai memberikan bantuan sangat kecil sekali
layak mempunyai pengaruh yang dominan. Hasil ketika PNS jatuh sakit. Untuk itu, jika Pemda
penelitian ini menunjukkan bawa partisipasi pegawai memberikan bantuan subsidi tambahan bagi Askes
atau keterlibatan pegawai dan pengembangan karier PNS yang berasal dari anggaran APBD-nya maka
tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kemungkinan besar dapat meningkatkan
kinerja. Mengapa hasil penelitian ini berbeda dengan produktivitas kerja. Program pelatihan dan
penelitian Dardak?, seharusnya penulis mampu pengembangan bagi bidan Puskesmas sangat
melakukan eksplorasi serta argumentasi yang benar perlu dilakukan, seperti pelatihan Asuhan Persalinan
serta ilmiah terhadap masalah ini. Normal (APN), Asfiksia dan lain-lain. Komunikasi
Pengembangan pegawai dan kepemimpinan yang harmonis di lingkungan kerja juga perlu
mempunyai pengaruh yang dominan terhadap diterapkan karena komunikasi memegang peranan
kehidupan kerja pegawai dalam peningkatan yang sangat penting dalam mengintegrasikan dan
produktivitas kerja.5 Penelitian ini tidak melihat mengkoordinasikan semua bagian dan aktivitas di
pengaruh kepemimpinan, sedang pengembangan dalam organisasi. Harapan saya Dinas Kesehatan
pegawai tidak mempunyai pengaruh. Berbeda dengan Kota Tasikmalaya dapat memanfaatkan penelitian
hasil penelitian Kuntoro, yang menunjukkan bahwa ini serta membuat kebijakan tentang
pengembangan pegawai mempunyai pengaruh. penatalaksanaan ANC yang lebih baik, juga
Pengembangan pegawai dalam penelitian ini melakukan perubahan untuk peningkatan kualitas
menunjukkan hasil tidak signifikan. Hal ini lingkungan kerja bagi karyawannya.
disebabkan karena bidan puskesmas merupakan
pegawai fungsional bukan struktural sehingga Dewi Marhaeni Diah Herawati
menurut responden hal itu tidak berdampak dalam Pengajar di IKM FK Unpad
kinerja mereka. Padahal seharusnya meskipun dewimdh@yahoo.com
mereka merupakan tenaga fungsional, mereka tetap
dituntut untuk mampu melakukan pengembangan
kompetensi diri secara optimal. Adanya kompetensi KEPUSTAKAAN
diri yang makin meningkat maka akan berpengaruh 1. Luthan. Organization Behavior, Seventh Edition,
terhadap kompensasi atau imbalan yang akan John wiley & Sons. USA, 2006.
diperoleh, terlebih ketika bidan tersebut melakukan 2. Insan, I. Pengaruh Quality of Work Life Terhadap
praktik privat. Kinerja Karyawan Pada Rumah Sakit Bunda
Saran yang diberikan oleh peneliti masih bersifat Purworejo.
normatif, seharusnya saran itu dapat dibuat lebih 3. Surjawati, E.J. Pengaruh Faktor-Faktor
operasional, sehingga memudahkan Dinas Dukungan Manajemen, Lingkungan Kerja,
Kesehatan Tasikmalaya (yang diberi saran) untuk Motivasi dan Internalisasi Terhadap

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009 l 51


Korespondensi

Pelaksanaan Tugas Pokok Keperawatan Bagi 5. Kuntarto, T. Studi Tentang Faktor-Faktor Yang
Perawat Yang Telah Mengikuti Pelatihan di Mempengaruhi Mutu Kehidupan Kerja (Quality
Pavilliun Dr. Soetomo Surabaya. 2004. of Work Life) dan Produktivitas Kerja Pegawai.
4. Dardak, D.D. Analisis Pengaruh Faktor- Faktor 2005.
Kualitas Kehidupan Kerja (QWL) Terhadap 6. Tim Mitra Bestari. Manajemen Sumber Daya
Prestasi Kerja Karyawan Pada PT P.D. Paya Manusia, BPFE, Yogyakarta. 2005.
Pinang Medan. 2004.

52 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 12, No. 1 Maret 2009

You might also like