Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Pergaulan antar umat di dunia yang semakin intensif akan melahirkan budaya-budaya
baru, baik berupa pencampuran budaya, penerimaan budaya oleh salah satu pihak
atau keduanya, dominasi budaya, atau munculnya budaya baru.Keseluruhan proses ini
tentu saja dipengaruhi oleh proses pendidikan di masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Manusia
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang
berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu menguasai
makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta,
sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Dalam
hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living
organism).
Manusia adalah makhluk yang tidak dapat dengan segera menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Pada masa bayi sepenuhnya manusia tergantung kepada individu lain.
Ia belajar berjalan,belajar makan,belajar berpakaian,belajar membaca,belajar
membuat sesuatu dan sebagainya,memerlukan bantuan orang lain yang lebih dewasa.
Malinowski(1949), salah satu tokoh ilmu Antropologi dari Polandia menyatakan bahwa
ketergantungan individu terhadap individu lain dalam kelompoknya dapat terlihat dari
usaha-usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan biologis dan kebutuhan sosialnya
yang dilakukan melalui perantaraan kebudayaan.
Rasa aman secara khusus tergantung kepada adanya system perlindungan dalam
rumah,pakaian dan peralatan. Perlindungan secara umum, dalam pengertian
gangguan/kelompok lain akan lebih mudah diwujudkan kalau manusia berkelompok.
Untuk menghasilkan keamanan dan kenyamanan hidup berkelompok ini, diciptakan
aturan-aturan dan kontrol-kontrol social tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh
dilakukan oleh setiap anggota kelompok. Selain itu ditentukan pula siapa yang berhak
mengatur kehidupan kelompok untuk tercapainya tujuan bersama.
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi
manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan
manusia.
Nilai itu suatu relitas abstrak dan ad dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat
abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai itu.
Misalnya orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah nilai, tetapi kita tidak bias
menindra kejujuran itu.
Nilai memiliki sifat normative, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita dan suatu
keharusan sehingga nilai memiliki sifat ideal das sollen. Nilai diwujudkan dalam bentuk
norma sebagai landasan manusia dalam bertindak. Misalnya nilai keadilan. Semua
Niliai berfungsi sebagai daya dorong dan manusia adalah pendukung nilai. Manusia
bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininya. Misalnya nilai ketakwaan.
Adanya nilai ini menjadikan semua orang terdorong untuk bisa mencapai derajat
ketakwaan.
Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua
konteks,pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif,apabila dia
memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya,bahkan memandang
nilai telah ada sebelum adanya manusia sebagai penilai.Baik dan buruk,benar dan
salah bukan hadir karena hasil persepsi dan penafsiran manusia,tetapi ada sebagai
sesuatu yang ada dan menuntun manusia dalam kehidupannya.Pandangan kedua
memandang nilai itu subjektif,artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang
menilainya.Jadi nilai memang tidak akan ada dan tidak akan hadir tanpa hadirnya
penilai.Oleh karena itu nilai melekat dengan subjek penilai.
Moral berasal dari kata bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan.Kata mores ini
mempunyai sinonim mos,moris,manner mores atau manners,morals.
Dalam bahasa Indonesia,kata moral berarti akhlak (bahasa Arab)atau kesusilaan yang
mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi
pembimbing tingkah laku batin dalam hidup.Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama
dengan ethos yang menjadi etika. Secara etimologis ,etika adalah ajaran tentang baik
buruk, yang diterima masyarakat umum tentang sikap,perbuatan,kewajiban,dn
sebagainya.
Disamping adat istiadat tadi ,ada kaidah yang mengatur kehidupan manusia yaitu
hukum, yang biasanya dibuat dengan sengaja danmempunyai sanksi yang jelas.Hukum
dibuat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat agar terjadi keserasian
diantara wrga masyarakat dan system social yang dibangun oleh suatu
masyarakat.Pada masyarakat modern hukum dibuat oleh lembaga – lembaga yang
diberikan wewenang oleh rakyat.
Keseluruhan kaidah dalam masyarakat pada intinya adalah mengatur masyarakat agar
mengikuti pola perilaku yang disepakati oleh system social dan budaya yang berlaku
pada masyarakat tersebut. Pola-pola perilaku merupakan cara-cara masyarakat
bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh semua anggota
masyarakat tersebut.Setiap tindakan manusia dalam masyarakat selalu mengikuti pola-
pola perilaku masyarakat tadi.Pola perilaku berbeda dengan kebiasaan. Kebiasaan
merupakan cara bertindak seseorang yang kemudian diakui dan mungkin diikuti oleh
orang lain. Pola perilaku dan norma-norma yang dilakukan dan dilaksanakan pada
khususnya apabila seseorang berhubungan dengan orang lain, dinamakan social
organization.
Meskipun banyak pakar yang mengemukakan pengertian nilai, namun ada yang telah
disepakati dari semua pengertian itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan
selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh setiap pakar
pada dasarnya adalah upaya dalam memberikan pengertian secara holistik terhadap
nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian yang “relatif belum
tersentuh” oleh pemikir lain.
Definisi yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada
pengertian nilai yang dikemukakan oleh John Dewney yakni, Value Is Object Of Social
Interest, karena ia melihat nilai dari sudut kepentingannya.
Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai
landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari
maupun tidak.
Nilai itu penting bagi manusia. Apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia
karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada
di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai
kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus
diaplikasikan dalam perbuatan. Menilai dapat diartikan menimbang yakni suatu
kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu lainnya yang
kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan itu menyatakan
apakah sesuatu itu bernilai positif (berguna, baik, indah) atau sebaliknya bernilai
negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada diri manusia yaitu
jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaan.
Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai polaritas
seperti baik dan buruk; keindahan dan kejelekan.
Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat
diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Notonagoro
membagi hierarki nilai pokok yaitu:
Nilai material yaitu sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan atau aktivitas.
Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau rasio manusia
Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan estetis manusia
Nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau karsa manusia
Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manusia dengan disertai penghayatan
melalui akal budi dan nuraninya
Hal-hal yang mempunyai nilai tidak hanya sesuatu yang berwujud (benda material)
saja, bahkan sesuatu yang immaterial seringkali menjadi nilai yang sangat tinggi dan
mutlak bagi manusia seperti nilai religius.
Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, keinginan, harapan, dan segala sesuatu
pertimbangan internal (batiniah) manusia. Dengan demikian nilai itu tidak konkret dan
pada dasarnya bersifat subyektif. Nilai yang abstrak dan subyektif ini perlu lebih
dikonkretkan serta dibentuk menjadi lebih objektif. Wujud yang lebih konkret dan
objektif dari nilai adalah norma/kaedah. Norma berasal dari bahasa latin yakni norma,
yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang
kayu.
Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau
kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain
atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan
suatu perbuatan.
Norma kesusilaan
Norma hokum
Dari norma-norma yang ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat karena
dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan eksternal).
Moral memiliki arti yang hampir sama dengan etika. Etika berasal daribahasa kuno
yang berarti ethos dalam bentuk tunggal ethos memiliki banyak artiyaitu tempat
tinggal biasa, padang rumput, kebiasaan, adat, watak sikap , dan caraberfiki. Dalam
bentuj jamak ethos (ta etha) yang artinya adat kebiasaan. Moralberasal dari bahsa latin
yaitu mos (jamaknya mores) yang berarti adat, cara, dantampat tinggal. Dengan
demikian secara etismologi kedua kata tersebut bermaknasama hannya asal uasul
bahasanya yang berbeda dimana etika dari bahasa yunanisementara moral dari bahasa
latin.
Moral yang pengertiaannya sama dengan etika dalam makna nilai-nilaidan orma-
norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalammengatur tingkah
lakunya. Dalam ilmu filsafat moral banyak unsur yang dikajisecara kritis, di landasi
rasionalitas manusia seperti sifat hakiki manusia, prinsipkebaikan, pertimbangan etis
dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu dansebagainya. Moral lebih kepada
sifat aplikatif yaitu berupa nasehat tentang hal-halyang baik.
Nilai dan moral akan muncul ketika berada pada orang lain dan ia akanbergabung
dengan nilai lain seperti agama, hukum, dan budaya. Nilai moralterkait dalam
tanggung jawab seseorang.
Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma yang
mengatakan “quid leges sine moribus?” (apa artinya undang-undang jika tidak disertai
moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas. Oleh
karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-
undangan yang immoral harus diganti. Disisi lain moral juga membutuhkan hukum,
sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja kalau tidak di undangkan atau di
lembagakan dalam masyarakat.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap
berbeda, sebab dalam kenyataannya ‘mungkin’ ada hukum yang bertentangan dengan
moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan
antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa
ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum.
Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum
tampak kosong dan hampa (Dahlan Thaib,h.6). Namun demikian perbedaan antara
hukum dan moral sangat jelas.
Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi
diri sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang.
Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan
moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan,pelanggar akan terkena
Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara.
Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun
hukum itu harus di akui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum.moralitas
berdasarkan atas norma-norma moral yang melebihi pada individu dan masyarakat.
Dengan cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum,
tapi masyarakat tidak dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral
menilai hukum dan tidak sebaliknya.
Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan hukum alam
sedangkan moral berdasarkan hukum alam.
Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar diri manusia),
sedangkan moral bersifat otonom (datang dari diri sendiri).
Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. moral berbentuk sanksi kodrati, batiniah,
menyesal, malu terhadap diri sendiri.
Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan
moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu (1990,119).
Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin
menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia,
masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk
mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan
antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat
menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang
melaksanakannya.
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu
hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana
ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan
suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan
dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen
pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut
adalah hukum.
Banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut teori-teori dari para ahli :
Prof. Subekti, SH: Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yaitu mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan cara menyelenggarakan keadilan.
Keadilan itu menuntut bahwa dalam keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian
yang sama pula.
Prof. Mr. Dr. LJ. van Apeldoorn: Tujuan hukum adalah mengatur hubungan antara
sesama manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian antara sesama.
Dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan seimbang.
Geny : Tujuan hukum semata-mata ialah untuk mencapai keadilan. Dan ia kepentingan
daya guna dan kemanfaatan sebagai unsur dari keadilan.
Muchatr Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan pokok dan utama dari hukum
adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan syarat pokok bagi adanya
suatu masyarakat manusia yang teratur.
Penegakkan hukum, dengan demikian, adalah suatu kemestian dalam suatu negara
hukum. Penegakan hukum adalah juga ukuran untuk kemajuan dan kesejahteraan
suatu negara. Karena, negara-negara maju di dunia biasanya ditandai, tidak sekedar
perekonomiannya maju, namun juga penegakan hukum dan perlindungan hak asasi
manusia (HAM) –nya berjalan baik. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang
harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Substansi hokum yaitu materi atau muatan hukum. Dalam hal ini peraturan haruslah
peraturan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat untuk mewujudkan
ketertiban bersama.
Aparat Penegak Hukum agar hukum dapat ditegakkan, diperlukan pengawalan yang
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang memiliki komitmen dan integritas tinggi
terhadap terwujudnya tujuan hukum.
Pendapat tersebut bisa jadi benar kalau penegakan hukum dilihat dari sisi korupsi saja.
Namun sesungguhnya penegakan hukum bersifat luas. Istilah hukum sendiri sudah
luas. Hukum tidak semata-mata peraturan perundang-undangan namun juga bisa
bersifat keputusan kepala adat. Hukum-pun bisa diartikan sebagai pedoman bersikap
tindak ataupun sebagai petugas.
Dalam suatu penegakkan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan
sebagai suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan
budaya hukum (culture of law). Sehingga, penegakan hukum tidak saja dilakukan
melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan
fasilitas hukum. Juga, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan
budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum.
Contoh paling aktual adalah tentang Perda Kawasan Bebas Rokok misalnya. Peraturan
ini secara normatif sangat baik karena perhatian yang begitu besar terhadap kesehatan
masyarakat. Namun, apakah telah berjalan efektif? Ternyata belum. Karena, fasilitas
yang minim, juga aparat penegaknya yang terkadang tidak memberikan contoh yang
baik. Sama halnya dengan masyarakat perokok, kebiasaan untuk merokok di tempat-
tempat publik adalah suatu budaya yang agak sulit diberantas.
Oleh karenanya, penegakan hukum menuntut konsistensi dan keberanian dari aparat.
Juga, hadirnya fasilitas penegakan hukum yang optimal adalah suatu kemestian.
Misalnya, perda kawasan bebas rokok harus didukung dengan memperbanyak tanda-
tanda larangan merokok, atau menyediakan ruangan khusus perokok, ataupun
memasang alarm di ruangan yang sensitif dengan asap.
Problema paling mendasar dari hukum di Indonesia adalah manipulasi atas fungsi
hokum oleh pengemban kekuasaan.
Aparatur penegak hukum ditengarai kurang banyak diisi oleh sumber daya manusia
yang berkualitas. Padahal SDM yang sangat ahli serta memiliki integritas dalam jumlah
yang banyak sangat dibutuhkan.
Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum semakin surut. Hal ini
berakibat pada tindakan anarkis masyarakat untuk menentukan sendiri siapa yang
dianggap adil.
Problem berikutnya adalah hukum di Indonesia hidup di dalam masyarakat yang tidak
berorientasi kepada hukum. Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai representasi
dan simbol negara yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang memiliki
status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Contoh kasus adalah kasus ibu Prita
Mulyasari.
Pekerjaan besar menghadang bangsa Indonesia di bidang hukum. Berbagai upaya perlu
dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan dapat
merasakan apa yang dijanjikan dalam hukum.
Manusia, nilai, moral dan hukum adalah suatu hal yang saling berkaitan dan saling
menunjang. Sebagai warga negara kita perlu mempelajari, menghayati dan
melaksanakan dengan ikhlas mengenai nilai, moral dan hukum agar terjadi keselarasan
dan harmoni kehidupan.
3.2 Saran
Penegakan hukum-pun harus dilakukan dalam proporsi yang baik dengan penegakan
hak asasi manusia. Dalam arti, jangan lagi ada penegakan hukum yang bersifat
diskriminatif, menyuguhkan kekerasan dan tidak sensitif jender. Penegakan hukum
jangan dipertentangkan dengan penegakan HAM. Karena, sesungguhnya keduanya
dapat berjalan seiring ketika para penegak hukum memahami betul hak-hak warga
negara dalam konteks hubungan antara negara hukum dengan masyarakat sipil.