Professional Documents
Culture Documents
Pedoman
Imunisasi Anak
di Indonesia
Penyunting
I G.N.Gde Ranuh
Hariyono Suyitno
Sri Rezeki S Hadinegoro
Cissy B Kartasasmita
Ismoedijanto
Soedjatmi ko
Koordinator Penerbitan
Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)
ISBN 978-979-8421-34-1
Kata Sambutan Menteri Kesehatan
Halaman
Disclaimer
Prakata edisi 1
Prakata edisi 4
Daftar isi
Daftar singkatan
1. Jenis-jenis vaksin
2. Tata cara pemberian
3. Penjelasan kepada orangtua mengenai imunisasi
4. Catatan imunisasi
5. Safety injection
Glossary
Index
Endorsement :
Ketua PP
Martin Weber
Dirjen P2PL
Prof. DR Sumarmo P. Soedarmo, SpA (K)
Prof DR Samurizal D, Sp PD
Pengantar
Sistem kesehatan nasional imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi
kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurun kan angka kematian
bayi dan balita. Dasar utama pelayanan kesehatan, bidang preventif
merupakan prioritas. Penurunan insidens penyakit menular telah terjadi
berpuluh-puluh tahun yang lampau di negara-negara maju yang telah
melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan luas. Demikian
juga di Indonesia; dinyatakan bebas penyakit cacar tahun 1972 dan
penurunan insidens beberapa penyakit menular secara mencolok terjadi
sejak tahun 1985, terutama untuk penyakit difteria, tetanus, pertusis,
campak, dan polio. Bahkan kini penyakit polio secara virologis tidak
ditemukan lagi sejak tahun 1995, dan diharapkan beberapa tahun yang
akan datang Indonesia akan dinyatakan bebas polio. Sejarah imunisasi
telah dimulai lebih dari 200 tahun yang lalu, sejak Edward Yenner tahun
1798 pertama kali menunjukkan bahwa dengan cara vaksinasi dapat
mencegah penyakit cacar. Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi
yang baik dan benar diperlukan pengetahuan dan ketrampilan tentang
vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan (imunologi) dan cara atau prosedur
pemberian vaksin. Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang
anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi
juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas
umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Sangat
penting bagi para profesional untuk melakukan imunisasi terhadap anak
maupun orang dewasa. Dengan demikian akan memberikan kesadaran
pada masyarakat terhadap nilai imunisasi dalam menyelamatkan jiwa
dan mencegah penyakit yang berat.
Daftar Pustaka
1. World Health Organization, The World Health Report 2007. Asaferfuture: global public
health security in the 21st century. Diunduh dari: http://www.who.int/whr/2007/en/index.
html.
2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi18. Philadelphia:Saunders Elsevier. 2007.
3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.
4. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Sensus Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) 2004.
5. KSK _Satgas Imunisasi IDAI, Learning about Vaccination, 2004.
6. SUSENAS 1989 –2002, Direktorat Gizi Msyarakat, DepKes RI.
7. DepKes: Profil Kesehatan Indonesia, 2004.
Tujuan Imunisasi
Respons imun
Respons imun adalah respons tubuh berupa urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen (Ag), untuk mengeliminasi antigen
tersebut. Dikenal dua macam pertahanan tubuh yaitu 1) mekanisme
pertahanan nonspesifik disebut juga komponen nonadaptif atau
innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen,
tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan
tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap
satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih
banyak pada pemberian antigen berikutnya; hal ini disebabkan telah
terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali.
Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi
mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan
dipresentasikan oleh sel makrofag (APC= antigen presenting cell)
pada sel T untuk antigen TD (T dependent) sedangkan antigen TI
(T independent) akan langsung diproses oleh sel B
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan
imunitas humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi
bila dirangsang oleh antigen. Semua antibodi adalah protein dengan
struktur yang sama yang disebut imunoglobulin (Ig) yang dapat
dipindahkan secara pasif kepada individu yang lain dengan cara
penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat
dipindahkan melalui sel; contohnya pada reaksi penolakan organ
transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.
Memori Imunologik
Peran utama vaksinasi ialah menimbulkan memori imunologik
yang banyak. Sel B memori terbentuk di jaringan limfoid di bagian
sentral germinal. Antigen asing yang sudah terikat dengan antibodi
akan membentuk komplek Ag-antibodi dan akan terikat dengan
komplemen (C). Komplek Ag-Ab-C akan menempel pada sel dendrit
folikel
(FDC=follicular dendritic cells) karena terdapat reseptor C di
permukaan sel dendrit. Terjadi proliferasi dan diferensiasi sel limfosit
B dan akan terbentuk sel plasma yang menghasilkan antibodi dan
sel B memori yang mempunyai afinitis antigen yang tinggi. Sel B
memori akan berada di sirkulasi sedangkan sel plasma akan migrasi
ke sumsum tulang. Bila sel B memori kembali ke jaringan limfoid
yang mempunyai antigen yang serupa maka akan terjadi proses
proliferasi dan diferensiasi seperti semula dengan menghasilkan
antibodi yang lebih banyak dan dengan afinitas yang lebih tinggi.
Terbentuknya antibodi sebagai akibat ulangan vaksinasi (boosting
effect) tergantung dari dosis antigen yang diberikan.
Sel T memori dibentuk dengan melalui beberapa tahapan. Sel APC
akan mempresentasikan antigen yang sudah diprosesnya bersama-
sama molekul MHC di jaringan limfoid perifer pada sel limfosit T;
bersamaan dengan ini akan disekresi sitokin. Salah satu fungsi dari
sitokin adalah proliferasi sel T dengan Ag spesifik (clonal expansion)
dan diferen-siasi yang menghasilkan sel efektor dan sel T memori. Sel
efektor akan meninggalkan jaringan limfoid dan berada di sirkulasi
dan bermigrasi ketempat terjadi infeksi untuk mengeliminasi infeksi
sedangkan sel T memori yang tidak aktif dan berada di sirkulasi
untuk jangka waktu yang lama. Antigen ekstraselular akan diproses
di APC menjadi peptida yang akan dikenal oleh molekul MHC
kelas II. Sedangkan Ag intraselular diproses di sitoplasma APC akan
dikenal oleh molekul MHC kelas I. Sel limfosit T CD4+ mempunyai
fungsi memproduksi sitokin sel helper untuk mengelimasi
mikroba ekstraselular. Sedangkan molekul CD8+ yang mempunyai
fungsi sitolitik (CTL=cytolytic T lymphgocytes) akan memusnahkan
mikobakterium intrasel (Gambar 1).
Keberhasilan Imunisasi
Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu
status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan
kuantitas vaksin.
Persyaratan Vaksin
Daftar Pustaka
1. Roitt I. Essential Immunology. Edisi ke-11. Blackwell Publishing, 2006.
2. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.
3. Grabenstein JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis, MO:
Wolters Kluwer Health, Inc., 2006.
4. Cell MediatedImmuneResponses: Activation of TLymphocytes by Cell Associated Microbes.
Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic Immunology,functions and
disorders of the immune system. Edisi pertama. W.B.Saunders, 2001.h.87-108.
5. Humoral Immune Responses: Activation of B lymphocytes and Production of
Antibodies. Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic
immunology, functions and disorders of immune system. Edisi pertama W.B.Saunders,
2001.h.125-45.
Vaksi n Inactivated
· Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri
atau virus dalam media pembiakan (persemaian), kemudian
dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penanaman bahan kimia
(biasanya formalin). Untuk vaksin komponen, organisme
tersebut dibuat murni dan hanya komponen-komponennya
yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida
dari kuman pneumokokus).
· Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka
seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini
tidak menyebabkan penyakit (walaupun pada orang dengan
defisiensi imun) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi
bentuk patogenik. Tidak seperti antigen hidup, antigen inactivated
umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin
inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi
darah (misalnya pada bayi, menyusul penerimaan antibodi yang
dihasilkan darah).
· Vaksin inactivated selalu membutuhkan dosis multipel. Pada
umumnya, pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas
protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun.
Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau
ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai
respons imun mirip atau sama dengan infeksi alami, respons
imun terhadap vaksin inantivated sebagian besar humoral, hanya
sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi
terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu.
Sebagai hasilnya maka vaksin inactivated membutuhkan dosis
suplemen (tambahan) secara periodik.
Vaksin Polisakarida
· Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang
inactivated dengan bentuknya yang unik terdiri atas rantai panjang
molekulmolekul gula yang membentuk permukaan kapsul
bakteri tertentu. Vaksin polisakarida murni tersedia untuk 3
macam penyakit yaitu pneumokokus, meningokokus dan
Haemophillus influenzae type b.
· Respons imun terhadap vaksin polisakarida murni
adalah sel T independen khusus yang berarti bahwa vaksin ini
mampu memberi stimulasi sel B tanpa bantuan sel T helper.
Antigen sel T independen termasuk vaksin polisakarida, tidak
selalu imunogenik pada anak umur kurang dari 2 tahun. Anak
kecil tidak memberi respons terhadap antigen polisakarida;
mungkin
Vaksin Rekombinan
Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. Active Immunization. Dalam Pickering LK.,
Penyunting. Red Book 2000, Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke
25. Elk Grove Village:American of Pediarics, 2000. h.6-26.
2. National Health and Medical Research Council. The Australian Immunisation
Handbook. 9th ed. Australian Government Department of Health and Ageing. 2008.
3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Classification of vaccine. Dalam Atkinson
W, Humiston S, Wolfe, R., penyunting. Epidemiology and Prevention of vaccine
Preventable Diseases. Edisi ke 5. Atlanta:Department of Health & Human Services,
CDC, 1999.h.4-8
5. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.
Pen gantar
Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati
(inaktif) yang mempunyai ketahanan dan stabilitas yang berbeda
terhadap perbedaan suhu. Oleh karena itu harus diperhatikan
syarat-syarat penyimpanan dan transportasi vaksin untuk menjamin
potensinya ketika diberikan kepada seorang anak. Bila syarat-syarat
tersebut tidak diperhatikan maka vaksin sebagai material biologis
mudah rusak atau kehilangan potensinya untuk merangsang
kekebalan tubuh, bahkan bisa menimbulkan kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Untuk menghindari halhal
yang tidak diinginkan dibutuhkan pemahaman mengenai
ketahanan vaksin terhadap perbedaan suhu dan pemahaman rantai
vaksin (cold –chain). Diperlukan syarat-syarat tertentu, sehingga
sejak dari pabrik sampai saat diberikan kepada pasien vaksin tetap
terjamin kualitasnya. Selain itu perlu pula mengenali kondisi vaksin
yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi, antara lain dari tanggal
kadaluwarsa, warna cairan, kejernihan, endapan, warna vaccine
vial monitor (VVM), kerusakan label, dan sisa vaksin yang sudah
dilarutkan.
karena itu vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan tidak
perlu disimpan di -25 s/d -15 o C atau di dalamfreezer.
Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumnya
berada di pabrik, distributor pusat, Departemen Kesehatan atau
Dinas Kesehatan Propinsi, berupa ruang yang besar dengan
kapasitas 5 – 100 m3, untuk menyimpan vaksin dalam jumlah
yang besar. Suhu kamar dingin berkisar +2oC s/d +8oC, terutama
untuk menyimpan vaksin-vaksin yang tidak boleh beku. Suhu
kamar beku berkisar antara -25oC s/d -15oC, untuk menyimpan
vaksin yang boleh beku, terutama vaksin polio. Kamar dingin
dan kamar beku harus beroperasi terus menerus, menggunakan
2 alat pendingin yang bekerja bergantian. Aliran listerik tidak
boleh terputus sehingga harus dihubungkan dengan pembangkit
listerik yang secara otomatis akan berfungsi bila listerik mati. Suhu
ruangan harus dikontrol setiap hari dari data suhu yang tercatat
secara otomatis. Alarm akan berbunyi bila suhu kurang dari 2oC,
atau diatas 8oC, atau listrik padam. Pintu tidak boleh sering dibuka
tutup. Kamar dingin dan kamar beku tidak boleh digunakan untuk
membuat cool pack atau cold pack, atau meletakkan benda-benda
Gambar 2.1 . Tata letak vaksin dalam lemari es yang membuka ke depan, perhatikan bahwa vaksin
hidup (BCG, campak, polio) boleh dekat pendingin (freezer), vaksin mati harus jauh dari pendingin
(freezer)
Bagian yang paling dingin dalam lemari es ini adalah bagian tengah
(evaporator) yang membujur dari depan ke belakang. Oleh karena
itu vaksin hidup diletakkan di kanan-kiri bagian yang paling dingin
(evaporator). Vaksin mati diletakkan dipinggir, jauh dari evaporator.
Beri jarak antara kotak-kotak vaksin selebar jari tangan (sekitar 2
cm). Letakkan termometer Dial atau Muller atau freeze watch/freeze
tag dekat vaksin mati.
A B C
Cold pack berisi air yang dibekukan dalam suhu -15 s/d – 25 0 C
selama 24 jam, biasanya di dalam wadah plastik berwarna putih.
Cool pack berisi air dingin (tidak beku) yang didinginkan dalam
suhu +2 s/d +80 C selama 24 jam, biasanya di dalam wadah plastik
berwarna merah atau biru. Cold pack (beku) dimasukkan ke dalam
termos untuk mepertahankan suhu vaksin ketika membawa vaksin
hidup sedangkan cool pack (cair) untuk membawa vakdin hidup dan
vaksin mati (inaktif).
cold pack/cool
pack
Spon busa
semua jenis
vaksin
Daftar Pustaka
Seperti telah diuraikan dalam Bab II-1, vaksin hidup akan mati pada
suhu di atas batas tertentu, dan vaksin mati (inaktif) akan rusak di
bawah suhu tertentu. Bila pengelolaan vaksin dan rantai vaksin
tidak baik, maka vaksin tidak mampu merangsang kekebalan
tubuh secara optimal bahkan dapat menimbulkan kejadian ikutan
pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Oleh karena itu
dalam pelayanan sehari-hari kita kita perlu memahami beberapa
hal praktis untuk menilai apakah vaksin masih layak diberikan
kepada pasien atau tidak. Namun untuk mengetahui potensi vaksin
yang sesungguhnya harus dilakukan pemeriksaan laboratorium
yang rumit.
Bila warna kotak segi empat sama atau lebih gelap daripada
lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM C atau D) maka
vaksin sudah terpapar suhu di atas batas yang diperkenankan, tidak
boleh diberikan pada pasien.
Pemilihan vaksin
Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah : vaksin yang belum
dibuka tetapi telah dibawa ke lapangan, sisa vaksin telah dibuka
(dipergunakan), vaksin dengan VVM B, vaksin dengan tanggal
kadaluarsa sudah dekat (EEFO = early expire first out), vaksin yang
sudah lama tersimpan dikeluarkan segera (FIFO = first in first out).
Tabel 2.3. Masa pemakaian vaksin dari vial yang sudah dibuka di sarana
pelayanan statis
Daftar Pustaka
Pengantar
Penyimpanan
Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan
kehilangan potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur)
informasi produk harus disertakan. Aturan umum untuk sebagian
besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 2-8o
C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, hepatitis B, dan
hepatitis A) menjadi tidak aktif bila beku. Pengguna dinasehatkan
untuk melakukan konsultasi guna mendapatkan informasi khusus
vaksin-vaksin individual, karena beberapa vaksin (OPV dan
Yellow fever) dapat disimpan dalam keadaan beku. Pedoman secara
rinci bagaimana menyimpan secara benar dan pengangkutannya
diuraikan pada Bab II Penyimpanan dan Transportasi Vaksin.
Pengenceran
Vaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut
khusus dan digunakan dalam periode waktu tertentu. Apabila
Pembersihan kulit
Tempat suntkan harus dibersihkan sebelum imunisasi dilakukan,
namun apabila kulit telah bersih, antiseptik kulit tidak
diperlukan.
Pemberian suntikan
Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular
atau subkutan dalam. Terdapat perkecualian pada dua jenis
vaksin yaitu OPV diberikan per-oral dan BCG diberikan dengan
suntikan intradermal (dalam kulit). Walaupun vaksin sebagian
besar diberikan secara suntikan intramuskular atau subkutan
dalam, namun bagi petugas kesehatan yang kurang berpengalaman
memberikan suntikan subkutan dalam, dianjurkan memberikan
dengan cara intra muskular.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di
bawah 12 bulan adalah
Menghindari risiko kerusakan saraf ischiadika pada
suntikan daerah gluteal.
Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal
untuk menyerap suntikan secara adekuat.
Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B dan rabies
berkurang bila disuntikkan di daerah gluteal.
Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuk
pembengkakan di tempat suntikan yang menahun.
Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada
paha bagian anterior.
Gambar 3.1. Diagram lokasi suntikan yang dianjurkan pada otot paha
Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997
Gambar 3.2. Potongan/ belahan lintang paha: menunjukkan bagian yang disuntik
Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997
Penyuntikan subkutan
Akromion
Tempat
penyuntikan
Penyuntikan intramuskular
Akromion
Tempat
penyuntikan
Daftar Pustaka
Keadaan Bayi/Anak
Manfaat vaksinasi
Kepada pengantar atau orang tua sebaiknya dijelaskan secara
profesional dan proporsional manfaat vaksinasi yang akan
dilakukan. Perlu dijelaskan bahwa vaksin tidak melindunghi 100 %,
tetapi dapat memperkecil risiko tertular dan memperingan dampak
bila terjadi infeksi.
Reaksi KIPI
BCG
Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa 2-6 minggu setelah
imunisasi BCG dapat timbul bisul kecil (papula) yang semakin
membesar dan dapat terjadi ulserasi dalam waktu 2-4 bulan,
kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan
parut tanpa pengobatan khusus. Bila ulkus mengeluarkan cairan
orangtua dapat mengkompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan
bertambah banyak atau koreng semakin membesar orangtua harus
membawanya ke dokter.
Hepatitis B
Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain
demam tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri
dan pembengkakan, yang akan hilang dalam dua hari. Orangtua/
pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak
(ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas
suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan
parasetamol15 mg/kgbb setiap 3-4jambila diperlukan, maksimal6
kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.
Jika reaksi tersebut memberat dan menetap, atau jika orangtua
merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.
DT
Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi DT antara lain kemerahan,
pembengkakan dan nyeri pada bekas suntikan. Bekas suntikan yang
nyeri dapat dikompres dengan air dingin. Biasanya tidak perlu
tindakan khusus.
Polio oral
Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi polio, oleh karena itu
orangtua/pengasuh tidak perlu melakukan tindakan apapun.
demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat
dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb
setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh
mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi
tersebut berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir,
bawalah bayi/anak ke dokter.
Daftar Pustaka
Nama
Jenis kelamin
Tanggal lahir
Nama orag tua
Alamat (tilpon, kota)
Ya
Saya mohon nama anak yang tertera di atas untuk diimunisasi sesuai
dengan jadwal imunisasi yang telah direkomendasikan.
(Berikan tanda apabila ingin diimunisasi atau beri alasan apabila tidak
boleh)
· BCG
· Polio oral
· Hepatitis B
· DPT
· Campak, dst
Tidak
Saya telah mengerti penjelasan yang diberikan pada saya mengenai
program imunisasi, namun saya tidak ingin anak saya diimunisasi.
Nama orang tua/ wali.........................................................
Kartu Imunisasi
Nama No batch Tanggal Tem p at Paraf
Jenis Vaksin Vaksin Imunisasi Imunisasi
Daftar Pustaka
1. National Health and Medical Research Council. MMR. Dalam: Watson C, penyunting. The
Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.
2. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering LK., penyunting. Red Book 2000,
Report Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-25. Elk Grove Village: American
Academy of Pediatrics 2000.
3. Centersfor Disease Control and Prevention. Dalam: AtkinsonW, HumistonS, Wolfe C,
Nelson R., penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine preventable diseases.
Edisi ke-5. Atlanta: Department of Health & Human Services, Public Health Service,
CDC, 1999.
botol atau ampulnya. Harga semprit ini murah dan sudah tersedia
secara luas.
Beberapa merek semprit AD antara lain uniject, Soloshot,
Destrojet, Univec, Terumo, K1 dan Medico inject. Beberapa merek
sudah terpasang jarum, namun ada merek dengan jarum terpisah.
Sebelum menggunakan semprit AD terlebih dahulu bacalah dengan
cermat cara penggunaannya, karena berbeda-beda.
Pada prinsipnya piston semprit AD hanya boleh digerakkan
kedepan atau kebelakang satu kali saja, setelah itu macet, tidak dapat
ditarik atau patah, tergantung mereknya. Setelah mengeluarkan
semprit dari kemasannya, jangan mendorong udara yang ada di
dalam semprit, karena setelah piston sampai ke ujung akan terkunci,
sehingga bila ditarik untuk menghisap vaksin piston akan macet
atau patah. Oleh karena itu jangan mendorong udara yang ada
didalam semprit, langsung tusukkan jarum ke dalam botol atau
ampul vaksin, kemudian tarik piston untuk menghisap vaksin.
Setelah vaksin masuk ke dalam semprit, boleh membuang udara
yang ada di ujung semprit dengan mendorong piston secukupnya.
Setelah udara habis terbuang segera suntikan vaksin pada bayi/
anak, lakukan aspirasi seperti biasa, kemudian dorong piston sampai
vaksin habis, sehingga piston akan terkunci, tidak bisa ditarik lagi
atau patah. Kemudian semprit dan jarum bekas harus dimasukkan
ke dalam wadah dan dihancurkan dengan prosedur tertentu, untuk
mencegah digunakan ulang
Alat suntik ini sudah terpasang jarum dan sudah diisi vaksin
oleh pabrik sebanyak 1 dosis, untuk satu kali penyuntikan, setelah
disuntikkan tidak bisa diisi ulang sehingga tidak bisa dipakai
lagi. Karena sudah diisi dengan 1 dosis dari pabriknya, maka
tidak perlu menghisap vaksin dari botol atau ampul, sehingga
menghemat waktu, dan dosisnya sudah tepat. Contoh: vaksin
Hepatitis B Uniject produksi Biofarma. Kemudian semprit bekas
harus dimasukkan ke dalam kotak limbah dan dihancurkan dengan
prosedur tertentu, untuk mencegah melukai dan mengkontaminasi
orang lain.
Semprit dan jarum jenis ini sebaiknya tidak dipakai lagi, karena
sangat berisiko terjadi kontaminasi dan penyebaran infeksi melalui
semprit, jarum atau vaksin yang telah terkontaminasi ketika
menghisap vaksin.
9. Baca nama vaksin dan ambil pelarut yang khusus untuk vaksin
tersebut. Campur vaksin dengan pelarutnya, boleh menggunakan
semprit dan jarum bukan AD, tetapi semprit dan jarum yang telah
digunakan untuk melarutkan tidak boleh untuk menyuntikkan.
Kocok vaksin sehingga larut homogen. Tulis tanggal dan jam
melarutkan vaksin.
10. Baca nama vaksin, ambil 1 dosis vaksin untuk 1 kali penyuntikan.
Jangan menghisap lebih dari 1 dosis vaksin ke dalam semprit.
Jangan meninggalkan jarum pada botol atau ampul vaksin untuk
pengambilan vaksin berikutnya.
12. Jangan mencampur sisa vaksin dari 2 botol atau ampul, walaupun
vaksinnya sama.
13. Posisi bayi dan anak yang akan diimunisasi tidak mudah bergerak
atau memberontak ketika disuntik, terutama lengan atau paha
yang akan disuntik. Untuk bayi kecil Lebih baik dalam gendongan
orangtua/pengasuh, dipeluk dengan posisi dada bayi menempel
di dada orangtua/pengasuh. Untuk bayi/anak yang sudah bisa
duduk sebaiknya duduk dan dipeluk dipangkuan orangtua
dengan dada dan wajah menghadap ke dada orangtua/pengasuh.
Salah satu tangan bayi/anak dikepit oleh ketiak orangtua/
pengasuh agar tidak mudah berontak , kedua kaki dikepit diantara
kedua paha orangtua/pengasuh, atau dipegang oleh orangtua/
pengasuh. Bagian yang akan disuntik (paha, lengan) dipegang
oleh penyuntik. Bila anak cenderung berontak, penyuntik dapat
meminta bantuan orangtua/pengasuh, paramedis atau oranglain
untuk membantu memegang siku atau lutut dekat bagian yang
akan disuntik. Cara memegang jangan membuat bayi/anak
kesakitan atau ketakutan.
19. Luka bekas suntikan ditekan agak kuat dengan kapas dan
desinfektan agar darah tidak keluar lagi, dan akan mengurangi rasa
nyeri. Jangan menekan luka berdarah dengan jari atau bahan tidak
steril. Luka bekas suntikan sebaiknya ditutup dengan plester.
orang yang berada disekitarnya) dan tahan air. Kotak ini tersedia
dipasaran dengan nama safety box berwarna kuning, terbuat dari
karton tebal. Namun boleh juga menggunakan barang-barang bekas
seperti botol plastik bekas air mineral, jeriken plastik untuk kotal
limbah Gambar 16.
Daftar Pustaka
1. Unicef. Pelatihan Safe Injection. Jakarta : Ditjen PPM & PL dan PATH Depkes RI;
2005.
2. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI. ; 2005
3. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin Program
Imunisasi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2004.
4. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2005.
Pen gantar
Pengembangan Program Imunisasi (PPI) merupakan program
pemerintah dalam bidang imunisasi guna mencapai komitmen
internasional yaitu universal child immunization. Melalui PPI
diharapkan beberapa masalah penanggulangan penyakit infeksi
dapat dilaksanakan seperti eradikasi polio, eliminasi tetanus
maternal dan neonatal, reduksi campak, peningkatan mutu
pelayanan imunisasi, standar pemberian suntikan yang aman dan
keamanan pengelolaan limbah tajam.
Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2004 disusun lebih
tegas, kapan seorang bayi/anak sebaiknya mendapat imunisasi
sehingga didapatkan hasil maksimal. Dalam jadwal terbaru ini juga
akan lebih mudah apabila imunisasi diberikan dalam bentuk vaksin
kombinasi. Pada anak yang mendapatkan imunisasi tidak sesuai
dengan jadwal yang dianjurkan dengan sebab lupa, tidak tahu,
atau catatan hilang maka hendaknya petugas kesehatan membantu
membuat jadwal imunisasi yang sesuai.
Dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, maka imunisasi
diperuntukkan kepada seluruh kelompok umur. Tujuan imunisasi
pada kelompok anak sampai dewasa adalah sebagai penguat kadar
antibodi yang telah menurun atau untuk memberikan perlindungan
pada penyakit yang succeptible pada kelompok yang lebih tua.
Cakupan Imunisasi
Dalam sidang ke-41, WHA (world health assembly) pada tahun 1988
mengajak seluruh dunia untuk mengeradikasi polio pada tahun
2000. Eradikasi polio didefinisikan sebagai tidak ditemukan lagi
kasus polio baru yang disebabkan oleh virus polio liar. Namun
melihat kenyataan, maka WHA tahun 2000 mengharapkan polio
dapat dieradikasi dari regional Asia Tenggara tahun 2004 dan
sertifikasi bebas polio oleh WHO pada tahun 2008. Adapun
strategi ERAPO meliputi (1) mencapai cakupan imunisasi rutin
yang tinggi dan merata, (2) melaksanakan imunisasi tambahan
(PIN) minimal 3 tahun berturut-turut, (3) melaksanakan survailans
acute flaccid paralysis (AFP) ditunjang dengan pemeriksaan
laboratorium, (4) melaksanakan mopping up, dan akhirnya (5)
sertifikasi polio.
Pekan imunisasi nasional adalah pekan pada saat setiap anak balita
umur 0-59 bulan yang tinggal di Indonesia mendapat 2 tetes vaksin
polio oral, tanpa melihat status imunisasi dan kewarganegaraannya.
Vaksin polio diberikan 2 kali dengan waktu selang sekitar 4 minggu
telah dilakukan berturut-turut pada tahun 1995, 1996, 1997, dan 2002,
2005 dan 2006 Indonesia telah berhasil melaksanakan PIN dengan
baik. Pada hari PIN telah diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita
di seluruh Indonesia.
Reduksi campak
Daftar Pustaka
BCG
Hepatitis B
Vaksin hepatitis B (hepB) harus segera diberikan setelah lahir,
mengingat vaksinasi hepB merupakan upaya pencegahan yang
sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi
maternal dari ibu kepada bayinya.
Jadwal imunisasi hepatitis B
Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu
12 jam) setelah lahir, mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil
mengidap hepatitis B aktif dengan risiko penularan kepada
bayinya sebesar 45%.
Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari
imunisasi hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk
mendapat respons imun optimal, interval imunisasi HepB2
dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka
imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.
Jadwal dan dosis hepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan
status HBsAg ibu saat melahirkan yaitu (1) ibu dengan status
HbsAg yang tidak diketahui, (2) ibu HBsAg positif, atau (3)
ibu HBsAg negatif.
Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan
vaksin hepB-0 monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir,
dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/hepB pada
umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin HepB diberikan dalam
kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah pemberian
dan meningkatkan cakupan hepB-3 yang masih rendah.
Hepatitis B saat bayi lahir, tergantung status HbsAg ibu
Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui:
HepB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir,
dan dilanjutkan pada umur 1 bulan dan 3-6 bulan. Apabila
semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam
perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif
maka ditambahkan hepatitis B imunoglobulin (HBIg) 0,5 ml
sebelum bayi berumur 7 hari.
Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg-B positif: diberikan
vaksin hepB-1dan HBIg 0,5 ml secara bersamaan dalam waktu
12 jam setelah lahir.
Ulangan imunisasi hepatitis B
Telah dilakukan penelitian multisenter di Thailand dan
Taiwan terhadap anak dari ibu pengidap hepatitis B, yang
telah memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa bayi. Pada
umur 5 tahun, 90,7% diantaranya masih memiliki titer antibodi
anti HBs protektif (kadar anti HBs >10 ug/ml). Mengingat
pola epidemiologi hepatitis B di Indonesia mirip dengan pola
epidemiologi di Thailand, maka dapat disimpulkan bahwa
imunisasi ulang (booster) pada usia 5 tahun belum diperlukan.
Idealnya, pada usia 5 tahun dilakukan pemeriksaan kadar
anti HBs.
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah
memperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan
Saat
lahir HepB-0 Uniject (hepB-monovalen)
2 bulan DTwP dan hepB-1 Kombinasi DTwP/hepB-1
3 bulan DTwP dan hepB-2 Kombinasi DTwP/hepB-2
4 bulan DTwP dan hepB-3 Kombinasi DTwP/hepB-3
*Jadwal Departeman Kesehatan
Saat ini telah ada vaksin DTaP (DTP dengan komponen acelluler
pertussis) di samping vaksin DTwP (DTP dengan komponen whole
cell pertussis) yang telah dipakai selama ini. Kedua vaksin DTP
tersebut dapat dipergunakan secara bersamaan dalam jadwal
imunisasi.
Jadwal imunisasi
Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan
(DTP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan
interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu,
jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur
4 bulan dan DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan booster DTP
selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada
umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur
5 tahun.
Vaksinasi ulangan pada program BIAS
Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin
dengan komponen pertusis (sebaiknya diberikan DTaP untuk
mengurangi demam pasca imunisasi) mengingat kejadian
pertusis pada dewasa muda meningkat akibat ambang
proteksi telah sangat rendah sehingga dapat menjadi sumber
penularan pada bayi dan anak.
Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan
imunisasi di sekolah dasar (pada bulan imunisasi anak
sekolah atau BIAS). Ulangan DT-6 diberikan pada 12 tahun,
mengingat masih dijumpai kasus difteria pada umur lebih
dari 10 tahun.
Ulangan DT-6 pada umur 12 tahun direncanakan oleh
depkes untuk diubah ke vaksin dT (adult dose), buatan PT Bio
Farma Indonesia.
Tetanus
Polio
Dosis
· OPV diberikan 2 tetes per-oral.
· IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular. Vaksin IPV dapat
diberikantersendiri atau dalamkemasankombinasi (DTaP/IPV,
DTaP/Hib/IPV).
· Imunisasi polio ulangan diberikan satu tahun sejak
imunisasi polio-4, selanjutnya saat masuk sekolah (5-6
tahun).
Campak
Jadwal imunisasi
+ Vaksin Hib yang berisi PRP-T diberikan pada umur 2,4, dan
6 bulan
+ Vaksin Hib yang berisi PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan
4 bulan, dosis ketiga (6 bulan) tidak diperlukan.
+ Vaksin Hib dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi
(DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/Hib/IPV)
Dosis
+ Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara
intramuskular.
+ Tersedia vaksin kombinasi DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/
Hib/IPV (vaksin kombinasi yang beredar berisi vaksin Hib
PRP-T) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml.
Ulangan
+ Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP perlu diulang
pada umur 18 bulan.
+ Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya
diberikan 1 kali.
Pneumokokus
Sejak jadwal imunisasi edisi tahun 2007, vaksin pneumokokus
dimasukkan dalam kelompok imunisasi yang dianjurkan sesuai
dengan Rekomendasi Satgas imunisasi IDAI tanggal 30 April
2006.
Vaksin PCV7 diberikan sejak usia 2 bulan sampai 9 tahun. Dosis dan
interval pemberian sesuai umur tertera pada Tabel 4.4.
Cara pemberian
Untuk anak risiko tinggi berumur 24-59 bulan, vaksin PCV7 diberikan
bersama vaksin PPV23 karena kelompok ini rentan terhadap semua
serotipe pneumokokus. Kelompok risiko tinggi adalah anak yang
menderita penyakit kronik seperti penyakit sickle cell, aslenia
kongenital/didapat, disfungsi limpa, infeksi HIV, defisiensi imun
kongenital, penyakit jantung bawaan dan gagal jantung, penyakit
paru kronik termasuk asma yang diobati dengan kortikosteroid oral
dosis tinggi, cerebrospinal fluid leaks, insufisiensi ginjal kronik termasuk
sindrom nefrotik, penyakit yang berhubungan dengan pengobatan
imunosupresif atau radiasi termasuk penyakit keganasan dan
transplantasi organ solid, dan diabetes melitus (Tabel 4.5).
Tabel 4.5. Jadwal dan dosis vaksin PCV7 & PPV23 untuk kelompok risiko tinggi
umur 24-59 bulan
Dosis sebelumnya Dosis PCV7 dan PPV23
4 dosis PCV7 Umur 24 bln: 1 dosis PPV23, minimal 6-8 mgg setelah
PCV7 dosis terakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23,
3-5 th setelah PPV23 dosis pertama
1-3dosis PCV7 1 dosis vaksin PCV7
1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah PCV7 dosis
terakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th
setelah PPV23 dosis pertama
1 dosis PPV23 2 dosis vaksin PCV7, interval 6-8 mgg, mulai minimal
6-8 mgg setelah PPV23 dosis terakhir. Ulangan PPV23:
1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama
Belum pernah 2 dosis vaksin PCV7 interval 6-8 mgg
1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah vaksin PCV
dosis terakhir.
Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23
dosis pertama
Influenza
Vaksin influenza
· Vaksin trivalen influenza yang terdiri dari dua virus
influenza subtipe A yaitu H3N2 dan H1N1, serta virus
influenza tipe B. Vaksin influenza diproduksi dua kali
setahun berdasarkan perubahan galur virus influenza yang
bersirkulasi di masyarakat.
· WHO Global Influenza Program merekomendasikan
komposisi vaksin influenza yang berlaku untuk tahun
berikutnya pada bulan September dan Februari. Musim
influenza pada terjadi bulan Mei-Juni di belahan bumi
Selatan (Southern hemisphere),
MMR
Demam tifoid
Di Indonesia tersedia 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntikan
(polisakarida) dan oral (bakteri hidup yang dilemahkan).
· Vaksin capsular Vi polysaccharide
diberikan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan dilakukan
setiap 3 tahun.
kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml, pemberian secara
intramuskular
· Tifoid oral Ty21a
diberikan pada umur lebih dari 6 tahun
dikemas dalam kapsul, diberikan 3 dosis dengan interval
selang sehari (hari 1,3, dan 5).
imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin oral
pada umumnya diperlukan untuk turis yang akan berkunjung
ke daerah endemis tifoid.
Hepatitis A
Jadwal imunisasi
+ Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun.
+ Vaksin kombinasi HepB/HepA tidak diberikan pada bayi
kurang dari 12 bulan. Maka vaksin kombinasi diindikasikan
pada anak umur lebih dari 12 bulan, terutama untuk catch-up
immunisation yaitu mengejar imunisasi pada anak yang belum
pernah mendapat imunisasi HepB sebelumnya atau imunisasi
HepB yang tidak lengkap.
Dosis pemberian
+ Kemasan liquid 1 dosis/vial prefilled syringe 0,5ml.
+ Dosis pediatrik 720 ELISA units diberikan dua kali dengan
interval 6-12 bulan, intramuskular di daerah deltoid
+ Kombinasi HepB/HepA (berisi HepB 10 µgr dan HepA
720 ELISA units) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml
intramuskular.
+ Dosis HepA untuk dewasa (≥ 19 tahun) 1440 ELISA units,
dosis 1 ml, 2 dosis, interval 6-12 bulan.
Varisela
Daftar Pustaka
1. Plotkins SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccines, edisi ke-4. Philadelphia, Tokyo;
WB Saunders, 2004.
2. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of Pediatrics.
Illinois; Amerika Serikat, 2006.
3. National Health and Medical Research Council. National Immunisation Program: The
Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
4. World Health Organization, The World Health Report 2007. A safer future: global
public health security in the 21st century. Diunduh dari:
http://www.who.int/whr/2007/en/index.html.
5. Kassianos GC. Immunization Childhood and Travel Health. Edisi keempat. London:
Blackwell Science, 2001.
6. AAP, Committee on Infectious Diseases 2006
7. Rekomendasi Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), 2003
Untuk vaksin yang diberikan hanya satu kali saja atau vaksin yang
daya perlindungannya panjang seperti vaksin BCG, campak, MMR,
varisela, maka keterlambatan dari jadwal imunisasi yang sudah
disepakati akan mengakibatkan meningkatnya risiko tertular oleh
penyakit yang ingin dihindari. Setelah vaksin diberikan maka risiko
terkena penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi tersebut
akan hilang atau rendah sekali, bahkan usia yang lebih tua saat
Daftar Pustaka
1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
2. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker
CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on
Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics;
2003.
3. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo,
WB Saunders, 2004.
Tabel 4.8. Ringkasan imunisasi yang diperlukan pada masa remaja dan
dewasa
indikasi
Pneumo- · Usia 65 tahun ke-atas Perlu 1 dosis Hati-hati pada
kokus Dosis: 0,5 ml hamil trimester
· Anak >2 tahun dengan (i.m/s.k) pertama
penyakit kardiovaskular/ Dosis ke-2
paru kronik, termasuk perlu
gagal jantung kongestif, pada risiko
sakit hati kronik. iabetes, tinggi
alkohol, kardiomiopati, sedikitnya 5
COPD atau emfisema tahun
Usia > 2 tahun dengan setelah
gangguan fungsi limpa, suntikan
penyakit darah berat. pertama
gagal ginjal, transplantasi
organ, mengidap HIV
Daftar Pustaka
1. Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), CDC, 12/14/2001
2. Departemen Kesehatan R.I. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004. Jakarta,
Depkes & Kesos, 2004.
3. Grabenstein JD. ImmunoFacts Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis:Wolter
Kluwer Health, Inc. 2006.
4. Harold Margolis, MD. and LindaMoyer. RN. VACCINATEADULTS, Spring/Summer
2000, Ask the Experts. http//www.immunize,org/va/ va6exprt.htm
5. Pickering LK, penyunting : American Academy of Pediatrics. Red Book. Report
Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village: American Academy
of Pediatrics. 2006.
6. Watson C., penyunting: National Health and Medical Research Council. The Australian
Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.
7. William L. Atkinson.MD.RN. Vaccinate adults. Spring/Summer 2000, Ask the Experts.
http//www. immunize.org/va/va6exprt.htm
Pen gantar
Epidemiologi
· Limfadenitis
· BCG-itis diseminasi
Kontraindikasi BCG
· Reaksi uji tuberkulin >5 mm,
· Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,
imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat
imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe,
· Menderita gizi buruk,
· Menderita demam tinggi,
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 161
Nastiti N. Rahajoe
Rekomendasi
· BCG diberikan pada bayi <2 bulan
· Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan
bakteri tahan asam (BTA) +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis
dulu, apabila pasien kontak sudah tenang bayi dapat diberi
BCG.
BCG jangan diberikan pada bayi atau anak dengan imuno defisiensi,
misalnya HIV, gizi buruk dan lain-lain.
Daftar Pustaka
Epidemiologi
Indonesia termasuk daerah endemis sedang-tinggi. Prevalens
HBsAg pada donor (1994) adalah 9.4% (2.50 - 36.17%), dan pada
Ibu hamil 3.6% (2.1 -6.7%). (tambah data prevalensi Hep B
Julitasari
yang sering terjadi di negara endemis VHB. VHB dapat melekat dan
bertahan di permukaan suatu benda selama kurang lebih 1 minggu
tanpa kehilangan daya tular. Darah bersifat infeksius beberapa minggu
sebelum awitan, menetap selama fase akut berlangsung. Daya tular
pasien VHB kronis bervariasi, sangat infeksius bila HBeAg positif.
Pencegahan
Pencegahan merupakan upaya terpenting karena paling cost-effec tive.
Secara garis besar, upaya pencegahan terdiri dan preventif umum
dan khusus yaitu imunisasi VHB pasif dan aktif.
Imunisasi Pasif
Ket: HBIg (0,06 ml/kg; maksimum 5 ml) dalam 48 jam pertama setelah kontak
Keterangan: HBIg (0,06 ml/kg; maksimum 5 ml) dalam waktu < 14 hari sesudah kontak
terakhir
Pada bayi dan ibu VHB, HBIg (0,5 ml) diberikan bersama vaksin
di sisi tubuh berbeda, dalam waktu 12 jam setelah lahir. Efektivitas
proteksinya (85%-95%) dalam mencegah infeksi VHB dan kronisitas.
Bila yang diberikan hanya vaksin VHB, tingkat efektivitasnya
75%.
Imunisasi aktif
Indikasi kontra. Sampai saat ini tidak ada indikasi kontra abolut
pemberian vaksin VHB. Kehamilan dan laktasi bukan indikasi
kontra imunisasi VHB.
Daftar Pustaka
1. WHO. Department of Communicable Diseases Surveillance and Response. Hepatitis
B. 2002.
2. Balistreri W. Acute and chronic viral hepatitis. Dalam: Suchy FJ, penyunting. Liver
Disease in children, edisi ke-2, St. Louis: Mosby, 2000: 460-509.
3. American Academy of Pediatrics. Hepatitis A, B, C, and E. Dalam Peter G, Hall CB,
Halsey NA, Marcey SM. Pickering LK, penyunting. 2000 Red Book. Report of the
committee on infectious diseases, edisi ke-25, 2000: 237- 63.
4. LokASF danMcMahonBJ. Chronic hepatitis B. AASLD Practice Guidelines. Hepaatol
2001; 34 (6): 1225 -41.
Difteria
Difteria adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated disease
dan disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama kuman
ini berasal dari bahasa Yunani cfyo/jferayang berarti leather hide.
Penyakit ini diperkenalkan pertama kali oleh Hyppocrates pada abad
ke 5 SM dan epidemi pertama dikenal pada abad ke-6 oleh Aetius.
Bakteri ini ditemukan pertama kali pada pseudo membran pasien
difteria tahun 1883 oleh Klebs. Anti-toksin ditemukan pertama kali
pada akhir abad ke 19 sedang toksoid dibuat sekitar tahun 1920.
Corynebacterium diphteriae adalah basil Gram positif. Produksi
toksin terjadi hanya bila kuman tersebut mengalami lisogenisasi oleh
bakteriofag yang mengandung informasi genetik toksin. Hanya galur
toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit berat. Ditemukan 3
galur bakteri yaitu, gravis, intermedius dan mitis dan semuanya dapat
memproduksi toksin, tipe gravis adalah yang paling virulen.
Seseorang anak dapat terinfeksi difteria pada nasofaringnya
dan kuman tersebut kemudian akan memproduksi toksin yang
menghambat sintesis protein selular dan menyebabkan destruksi
jaringan setempat dan terjadilah suatu selaput/membran yang
dapat menyumbat jalan nafas. Toksin yang terbentuk pada membran
tersebut kemudian diabsorbsi ke dalam aliran darah dan dibawa ke
seluruh tubuh. Penyebaran toksin ini berakibat komplikasi berupa
miokarditis dan neuritis, serta trombositopenia dan proteinuria.
Pada dasarnya semua komplikasi difteria, termasuk kematian
merupakan akibat langsung dari toksin difteria. Beratnya penyakit
dan komplikasi biasanya tergantung dari luasnya kelainan lokal.
Pertusis
Pertusis atau batuk rejan/batuk seratus hari adalah suatu penyakit
akut yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Ledakan
kasus pertusis pertama kali terjadi sekitar abad 16, menurut laporan
Guillaume De Baillou pada tahun 1578 di Paris dan kuman itu
baru dapat diisolasi pada tahun 1906 oleh Jules Bordet dan Octave
Gengou. Sebelum ditemukan vaksinnya, pertusis merupakan
penyakit tersering yang menyerang anak dan merupakan penyebab
utama kematian (diperkirakan sekitar 300.000 kematian terjadi
setiap tahun).
Bordetella pertussis adalah bakteri batang yang bersifat gram
negatif dan membutuhkan media khusus untuk isolasinya.
Kuman ini menghasilkan beberapa antigen antara lain toksin
pertusis (PT),filament hemagglutinin (FHA), pertactine aglutinogen
fimbriae, adenil siklase, endotoksin, dan trakea sitotoksin. Produk
toksin ini berperan dalam terjadinya penyakit pertusis dan
kekebalan terhadap satu atau lebih komponen toksin tersebut
akan menyebabkan serangan penyakit yang ringan (label 13).
Terdapat bukti bahwa kekebalan terhadap B. pertussis tidak bersifat
permanen.
Tabel 5.4. Peran aktifitas biologik & antibodi komponen toksin B.pertussis
Komponen
toksinAktifitas biologik Peran antibodi
Pertusis toxin Memproduksi eksotoksin Mencegah kerusakan saluran
(PT) Sensitisasi histamin nafas dan intraserebral
pada binatang percobaan.
Mencegah gejala klinis pada
Limfositosis
Aktifasi sel pankreas
Merangsang sistem
imun
Filamentous Memegang peran untuk Mencegah kerusakan saluran
hemagglutinin melekatnya B. pertussis nafas tetapi tidak berperan
(FHA) pada sel epitel saluran intra serebral pada binatang
nafas percobaan
Pertactine 69- Nonfimbrial Memicu pencegahan
kDa OMP agglutinogen, infeksi pada saluran nafas
berhubungan dengan oleh 6. pertussis (binatang
kerja adenylcyclase percobaan)
Aglutinogen Surface antigen Memicu pencegahan
berhubungan dengan infeksi pada saluran nafas
fimbriae untuk oleh B. pertussis (binatang
melekatnya B. pertussis percobaan)
pada sel epitel
Tetanus
Vaksin DTP
Toksoid difteria
Vaksinasi DTP
Vaksin DTP
Jadwal
Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5
dosis pada usia 2, 4, 6,15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk
sekolah. Dosis ke-4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan
setelah dosis ke-3. Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang
mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki
kontraindikasi terhadap pemberian vaksin pertusis
Tosoid difteria
Toksoid Pertusis
Tabel 5.5. Insidens kejadian ikutan pasca imunisasi pada vaksin DTwP
Indikasi kontra
Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontraindikasi
mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole-cell maupun
aselular, yaitu
· Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya
· Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis
sebelumnya
· Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus
(precaution). Misalnya sebelum pemberian vaksin pertusis
berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai, riwayat
hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam,
anak menangis terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang
dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP.
Riwayat kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak
berhubungan dengan pemberian vaksin sebelumnya, kejadian
ikutan pasca imunisasi, atau alergi terhadap vaksin bukanlah
suatu indikasi kontra terhadap pemberian vaksin DTaP. Walaupun
demikian, keputusan untuk pemberian vaksin pertusis harus
Pembengkakan 90 260
Nyeri lokal 46 297
Iritabel 300 499
Demam > 38.0oC 72 406
> 40.0oC 0,36 2,4
Menangis > 3 jam 0,44 4,0
Hypotonic hyporesponsive 0,07 0,67
Sianosis - 0,15
Kejang 0,07 0,22
Tabel 5.7. KIPI lokal (per 1.000 dosis) 24 jam setelah DTwP dan DTaP
Jadwal
· DTaP atau DTwP tidak diberikan pada anak kurang dari usia
6 minggu, disebabkan respons terhadap pertusis dianggap
tidak optimal, sedang respons terhadap toksoid tetanus dan
difteria cukup baik tanpa memperdulikan adanya antibodi
maternal.
Daftar Pustaka
1. National Health and Medical Research Council. Active and passive immunization.
Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9.
Canberra: NHMRC 2008.
2. American Academy of Pediatrics. Diphtheria. In: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,
McMillan JA, eds. Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases.
27th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2006:277–81.
3. CDC. Summary of notifiable diseases—United States, 2004. MMWR Morbid Mortal
Wkly Rep. 2004;53:46.
4. World Health Organization. WHO vaccine-preventable diseases monitoring system:
2005 global summary. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2006.
5. Galazka A. The changing epidemiology of diphtheria in the vaccine era. J Infect Dis.
2000;181(suppl 1):S2-9.
6. WhartonM, Vitek CR. Diphtheria toxoid. In: PlotkinSA, Orenstein WA, eds. Vaccines.
4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:211–28.
Etiologi
Virus polio termasuk dalam kelompok (sub-group) entero virus,
famili Picornaviridae. Dikenal tiga macam serotipe virus polio yaitu
P1, P2 dan P3. Virus polio ini menjadi tidak aktif apabila terkena
panas, formaldehid, klorin dan sinar ultraviolet.
Epidemiologi
Patogenesis
Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi pertama
kali terjadi pada tempat implantasi dalam farings dan traktus
gastrointestinal. Virus tersebut umumnya ditemukan di daerah
tenggorok dan tinja sebelum timbulnya gejala. Satu minggu
setelah timbulnya penyakit, virus terdapat dalam jumlah kecil di
tenggorok, tetapi virus menerus dikeluarkan bersama tinja dalam
beberapa minggu. Virus menembus jaringan limfoid setempat,
masuk ke dalam pembuluh darah kemudian masuk sistem saraf
pusat. Replikasi virus polio dalam neuron motor kornu anterior
medula spinalis dan batang otak mengakibatkan kerusakan sel dan
menyebabkan manifestasi poliomielitis yang spesifik.
Gambaran klinis
Masa inkubasi poliomielitis umumnya berlangsung 6-20 hari
dengan kisaran 3-35 hari. Respons terhadap infeksi virus polio
sangat bervariasi dan tingkatannya tergantung pada bentuk
manifestasi klinisnya. Sekitar 95% dari semua infeksi polio
termasuk sub-klinis tanpa gejala atau asimtomatis. Menurut
estimasi rasio penyakit yang tanpa gejala terhadap penyakit
yang paralitik bervariasi dari 50: 1 sampai 1000: 1 (rata-rata 200
: 1). Pasien yang terkena infeksi tanpa gejala mengeluarkan virus
bersama tinja dan dapat menularkan virus ke orang lain. Sekitar
4% - 8% dari infeksi polio terdiri atas penyakit ringan yang non
spesifik tanpa bukti klinis atau laboratorium dari invasi dalam
sistem saraf pusat. Sindrom ini dikenal sebagai poliomielitis abortif
dengan ciri khas penyembuhan sempurna dan berlangsung kurang
dari seminggu.
Kejadian ini terjadi pada 1%–2 % dari infeksi polio, yang didahului
oleh gejala prodomal penyakit ringan yang berlangsung beberapa
hari. Anak iritabel, peka saraf meningkat; ada gejala kaku kuduk,
kaku punggung dan kaki yang berlangsung antara 2-10 hari yang
akan sembuh sempurna.
Diagnosis laboratorium
· Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai
terkena poliomyelitis. Isolasi virus dari cairan serebrospinal
sangat diagnostik,tetapi hal itu jarang dikerjakan.
· Bila virus polio dapat disolasi dari seorang dengan paralisis flaksid
akut harus dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan cara
oligonucleotide mapping (finger printing) atau genomic sequencing.
Untuk menentukan apakah virus tersebut termasuk virus liar
atau virus vaksin.
· Dengan cara serologis yaitu mengukur zat anti yang
menetralisasi (neutralizing antibody) yang muncul awal dan
mungkin ditemukan meningkat tinggi pada saat penderita
masuk rumah sakit oleh karena itu dapat terjadi kenaikan 4
kali yang tidak diketahui.
· Pemeriksaan cairan serebrospinal pada infeksi virus polio,
umumnya terjadi kenaikan jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm 3,
yang sebagian besar limfosit) dan terjadi kenaikan kadar protein
ringan dari 40 sampai 50 mg/100ml.
Vaksi n
Rekomendasi
· Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis
awal, sesuai dengan PPI dan ERAPO tahun 2000. Kemudian
diteruskan dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3 bulan yang
diberikan tiga dosis terpisah berturut-turut dengan interval
waktu 6-8 minggu. Satu dosis sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan
per oral pada umur 2-3 bulan dapat diberikan bersama-sama
waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan Hib. Bila OPV yang
diberikan dimuntahkan dalam waktu 10 menit, maka dosis
tersebut perlu diulang.
· Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons antibodi
terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini.
Anak-anak dengan imunosupresi dan kontak mereka yang dekat
harus diimunisasi dengan IPV.
Indikasi kontra
Indikasi kontra pemberian OPV adalah sebagai berikut,
· Penyakit akut atau demam (suhu >38.5oC), vaksinasi harus
ditunda,
· Muntah atau diare, vaksinasi ditunda,
· Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif
yang diberikan oral maupun suntikan, juga yang mendapat
pengobatan radiasi umum ( termasuk kontak dengan
pasien),
· Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan
dengan sistem retikuloendotelial (limfoma, leukemia, dan
penyakit Hodgkin) dan yang mekanisme imunologisnya
terganggu, misalnya pada hipogamaglobulinemia,
· Infeksi HIV atau anggota keluarga sebagai kontak,
· walaupun kejadian ikutan pada fetus belum pernah
dilaporkan, OPV jangan diberikan kepada orang hamil pada 4
bulan pertama kehamilan kecuali terdapat alasan mendesak,
misalnya bepergian ke daerah endemis poliomyelitis,
· Vaksin polio oral dapat diberikan bersama-sama dengan
vaksin inactivated dan virus hidup lainnya (sesuai dengan
indikasi) tetapi jangan bersama vaksin oral tifoid,
· Bila BCG diberikan pada bayi tidak perlu memperlambat
Daftar Pustaka
Etiologi
Penyakit campak disebabkan oleh karena virus campak. Virus
campak termasuk didalam famili paramyxovirus. Virus campak
sangat sensitif terhadap panas, sangat mudah rusak pada suhu
370C. Toleransi terhadap perubahan pH baik sekali. Bersifat sensitif
terhadap eter, cahaya, dan trysine. Virus mempunyai jangka waktu
hidup yang pendek (short survival time) yaitu kurang dari 2 jam.
Apabila disimpan pada laboratorium, suhu penyimpanan yang baik
adalah pada suhu -70oC.
Epidemiologi
Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, namun terjadinya
epidemi cenderung tidak beraturan. Pada umumnya epidemi
terjadi pada permulaan musim hujan, mungkin disebabkan karena
meningkatnya kelangsungan hidup virus pada keadaan kelembaban
yang relatif rendah. Epidemi terjadi tiap 2–4 tahun sekali, yaitu
setelah adanya kelompok baru yang rentan terpajan dengan virus
campak. Penyakit campak jarang bersifat subklinis. Penyakit campak
ditularkan secara langsung dari droplet infeksi atau, agak jarang
dengan penularan lewat udara (airborne spread).
Pada awal tahun 1980, pada waktu angka cakupan imunisasi
campak global hanya 20%, didapatkan lebih dari 90 juta kasus. Pada
pertengahan tahun 1990, dengan angka cakupan 80%, angka tersebut
turun tajam sampai 20 juta kasus. Jadi, bahkan dengan angka cakupan
80%, masih sulit untuk mencapai target eradikasi global.
World Health Organization (WHO) dengan programnya The
Expanded Programme on Immunization telah mencanangkan target
global untuk mereduksi insidens campak sampai 90,5% dan
mortalitas sampai 95,5% daripada tingkat pre-EPI pada tahun 1995.
Beberapa negara berhasil hampir mendekati fase eliminasi. Beberapa
macam jadwal imunisasi dan strategi telah digunakan, tetapi
ada beberapa negara yang tidak berhasil. Kegagalan ini biasanya
disebabkan oleh kegagalan dalam meng-implementasikan rencana
strategi secara adekuat. Prioritas utama untuk penanggulangan
penyakit campak adalah melaksanakan program imunisasi lebih
efektif. Eradikasi campak, didefinisikan sebagai pemutusan rantai
penularan secara global sehingga imunisasi dapat dihentikan, secara
teori adalah mungkin oleh karena tidak adanya binatang reservoir
dan pemberian imunisasi sangat efektif.
Strategi untuk eliminasi penyakit campak adalah (1) melakukan
imunisasi masal pada anak umur 9 bulan sampai 12 tahun, (2)
meningkatkan cakupan imunisasi rutin pada bayi umur 9 bulan,
(3) melakukan surveilens secara intensif dan (4) follow-up imunisasi
Gejala Klinis
Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari kelima
atau keenam pada puncak timbulnya ruam. Kadang-kadang kurva
suhu menunjukkan gambaran bifasik, ruam awal pada 24 sampai 48
jam pertama diikuti dengan turunnya suhu tubuh sampai normal
selama periode satu hari dan kemudian diikuti dengan kenaikan
suhu tubuh yang cepat mencapai 400C pada waktu ruam sudah
timbul di seluruh tubuh. Pada kasus yang tanpa komplikasi, suhu
tubuh mengalami lisis dan kemudian turun mencapai suhu tubuh
yang normal.
Gejala awal lainnya yang sering ditemukan adalah batuk, pilek,
mata merah selanjutnya di cari gejala Koplik’s spot. Dua hari sebelum
ruam timbul, gejala Koplik’s spot yang merupakan tanda pathognomonis
dari penyakit campak, dapat dideteksi. Lesi ini telah didiskripsi oleh
Koplik pada tahun 1896 sebagai suatu bintik berbentuk tidak teratur
dan kecil berwarna merah terang, pada pertengahannya didapatkan
noda berwarna putih keabuan. Mula-mula didapatkan hanya dua
atau tiga sampai enam bintik. Kombinasi dari noda putih keabuan
dan warna merah muda disekarnya merupakan tanda patognomonik
absolut dari penyakit campak. Kadang-kadang noda putih keabuan
sangat kecil dan sulit terlihat dan hanya dengan sinar yang langsung
dan terang dapat terlihat. Timbulnya Koplik’s spot hanya berlangsung
sebentar, kurang lebih 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan biasanya
luput pada waktu dilakukan pemeriksaan klinis.
Ruam timbul pertama kali pada hari ketiga sampai keempat dari
timbulnya demam. Ruam dimulai sebagai erupsi makulopapula
eritematosa, dan mulai timbul pada bagian samping atas leher, daerah
Imunisasi campak
Pada tahun 1963, telah dibuat dua jenis vaksin campak
a. Vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan
dilemahkan (tipe Edmonston B)
b. Vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus
campak yang berada dalam larutan formalin yang dicampur
dengan garam aluminium)
Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang
dilemahkan adalah 1000 TCID50 atau sebanyak 0,5 ml. Untuk
vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID50 saja mungkin sudah
dapat memberikan hasil yang baik. Pemberian yang dianjurkan
secara subkutan, walaupun demikian dapat diberikan secara
intramuskular.
Pada saat ini di negara yang sedang berkembang, angka kejadian
campak masih tinggi dan seringkali dijumpai penyulit, maka WHO
menganjurkan pemberian imunisasi campak pada bayi berumur 9
bulan. Untuk negara maju imunisasi campak (MMR) dianjurkan pada
anak berumur 12-15 bulan dan kemudian imunisasi kedua (booster)
juga dengan MMR dilakukan secara rutin pada umur 4-6 tahun, tetapi
dapat juga diberikan setiap waktu semasa periode anak dengan
tenggang waktu paling sedikit 4 minggu dari imunisasi pertama.
Reaksi KIPI
· Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi
pada imunisasi ulang pada seseorang yang telah memiliki
imunitas sebagian akibat imunisasi dengan vaksin campak
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 208
Campak
dari virus
Daftar Pustaka
1. Abbas AK and LichtmanAH. 2005. Antibodies and antigen. in Cellular and Molecular
Immunology fifth ed. Elsevier Saunders, International Edition page 43-65.
2. Center for Disease Control and Prevention (CDC) 2006. National Immunization
Program .The Pink Book. 9 edition. Global Laboratory Networks.
3. Duke T, Mgone CS. 2003. Measles : not just another viral exanthem. Lancet 361 (9359)
: 763-73.
4. Featherstone D, Brown D, Sanders R. 2003. Development of the global measles
laboratory network. J Infect Dis 187(Suppl):264-269.
5. Maldonado Y, 2003. Measles. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. TextBook
of Pediatrics. 17 ed. Philadelphia. WB Saunderss Company pp. 1026-1031.
6. MMWR 2004. Epidemiology of Measles, United States 2001-2003. Morb Mortal Wkly
Rep. August 13;53(31):713-716.
7. Otten MW Jr, Okwo-Bele JM, Kezaala R, Biellik R, Eggers R, Nsimirimana D. 2003.
Impact of alternative approaches to accelerated measles control : experience in the
African region, 1996-2002. J Infect Dis 187 Suppl 1:S36-43.
Pen gantar
Rubela
Rubela pada umumnya merupakan penyakit infeksi akut yang
ringan, yang disebabkan oleh virus rubela yang termasuk ke dalam
famili togavirus. Penyebaran penyakit ini melalui udara dan droplet.
Gejala klinis yang mencolok adalah timbulnya ruam makulo-papular
yang bersifat sementara (kira-kira 3 hari), pembengkakan kelenjar
post-auricular/dan sub-occipital. Kadang-kadang disertai arthritis
dan arthralgia. Walaupun jarang, dapat terjadi komplikasi lain pada
sistem syaraf dan trombositopenia. Apabila rubela menjangkiti ibu
hamil, maka dapat terjadi sindrom rubela kongenital pada bayi
yang dikandungnya.
Vaksi n
Vaksin untuk mencegah campak, gondongan dan rubela merupakan
vaksin kombinasi yang dikenal sebagai vaksin MMR (measles,
mumps, dan rubella), dosis 0.5 ml. Vaksin MMR merupakan vaksin
kering yang mengandung virus hidup, harus disimpan pada
temperatur 2-8oC atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya.
Vaksin harus digunakan dalam waktu 1 jam setelah dicampur
dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terlindung dari cahaya, karena
setelah dicampur vaksin sangat tidak stabil dan cepat kehilangan
potensinya pada temperatur kamar. Pada temperatur 22-25oC, akan
kehilangan potensi 50% dalam 1 jam, pada temperatur > 37oC vaksin
menjadi tidak aktif setelah 1 jam.
Dosis
Pemberian vaksin MMR dengan dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara
intra-muskular atau subkutan dalam. Imunisasi ini menghasilkan
sero-konversi terhadap ketiga virus ini > 90% kasus. Diberikan pada
umur 12-18 bulan.
Rekomendasi
Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak,
gondongan dan rubella atau imunisasi campak. Tidak ada efek
imunisasi yang terjadi pada anak yang sebelumnya telah mendapat
imunitas terhadap salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini.
· Anak berusia ≥1 tahun yang berada di day care centre, family day
care dan playgroups.
· Anak yang tinggal di lembaga cacat mental.
Individu dengan HIV dapat diberikan vaksin MMR bila tidak
ditemukan kontra indikasi lainnya.
Reaksi KIPI
· Pada penelitian yang mencakup 6000 anak yang berusia 1-2
tahun, dilaporkan setelah vaksinasi MMR dapat terjadi malaise,
demam atau ruam yang sering terjadi 1 minggu setelah imunisasi
yang berlangsung selama 2-3 hari.
· Dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang
demampada 0,1% anak ensefalitis pasca imunisasi <1/1000.000
dan pembengkakan kelenjar parotis pada 1% anak berusia sampai
4 tahun, biasanya terjadi pada minggu ketiga dan kadang-kadang
lebih lama.
· Meningoensefalitis yang disebabkan oleh imunisasi gondongan
terjadi kira-kira 1/1000.000 kasus dengan galur virus gondongan
Urabe, angka kejadian ini lebih kecil dibandingkan apabila
menggunakan jalur virus gondongan Jeryl Lyn.
Indikasi Kontra
· Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau
gangguan imunitas, mereka yang mendapat pengobatan dengan
imunosupresif atau terapi sinar atau mendapat steroid dosis
tinggi (ekuivalen dengan 2 mg/kgbb/hari prednisolon).
· Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau
tenggorokan, sulit bernapas, hipotensi dan syok) terhadap gelatin
atau neomisin.
· Anak dengan demam akut, pemberian MMR harus ditunda
sampai penyakit ini sembuh.
· Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan
vaksin virus hidup) dalam waktu 4 minggu. Pada keadaan ini
imunisasi MMR ditunda lebih kurang 1 bulan setelah imunisasi
yang terakhir. Individu dengan tuberkulin positif akan menjadi
negatif setelah pemberian vaksin.
· Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan
harus ditunda selama 2 bulan, seperti pada vaksin rubela.
· Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah
pemberian imunoglobulin atau transfusi darah (whole blood).
· Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV).
Sebenarnya HIV bukan indikasi kontra, tetapi pada kasus
tertentu, dianjurkan untuk meminta petunjuk pada spesialis
anak konsultan.
· Setelah suntikan imunoglobulin, selama 6 minggu tidak boleh
mendapat vaksin rubela, kalau boleh sampai 3 bulan setelah
pemberian imunoglobulin atau produk darah yang mengandung
Penggunaan Imunoglobulin
Jika seorang anak berusia > 12 bulan belum mendapat imunisasi,
kontak dengan pasien campak dapat dicegah dengan pemberian
vaksin MMR sesegera mungkin (dalam waktu 72 jam). Alasannya
ialah masa inkubasi galur vaksin (4-6 hari) lebih singkat dari masa
inkubasi virus campak liar (1-14 hari). Akan tetapi pada anak
dengan imunokompromis, vaksin MMR adalah kontra indikasi,
imunoglobulin (human) dapat diberikan segera mungkin setelah
paparan.
Pemeriksaan antibodi terhadap campak tidak menolong untuk
membuat sesuatu keputusan penggunaan imunoglobulin, oleh
karena imunisasi sebelumnya atau kadar serum antibodi yang
rendah tidak memberi jaminan imunitas terhadap campak pada
individu imunokompromis. Pemeriksaan antibodi terhadap
campak juga akan memperlambat pemberian imunoglobulin,
akan tetapi pemeriksaan ini mungkin mempunyai nilai untuk
menegakkan diagnosa definitif campak.
Seorang bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung
dengan pasien campak, mempunyai resiko yang tinggi untuk
berkembangnya komplikasi penyakit ini; kepada mereka harus
segera diberikan imunoglobulin (daripada vaksin) dalam waktu
7 hari paparan, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
campak. Kemudian vaksin MMR harus diberikan sesegera
mungkin sampai usia 12 bulan, akan tetapi dengan interval 3
bulan setelah pemberian imunoglobulin.
Dosis imunoglobulin (human) NIGH ialah 0,2 ml/kgbb pada anak
sehat dan 0,5 ml/kgbb pada individu imunokompromis (dosis
Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. In: PickeringLK, editor. Red book: 2006 report of the Committee
on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003. p.
441-68.
2. World Health Organization. Global status of mumps immunization and surveillance. Wkly
Epidemiol Rec. 2005;80:418-24, 707-43.
3. CDC. Notice to readers: Updated recommendations of the Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP) for the Control and Elimination of Mumps. MMWR Morbid Mortal Wkly
Rep. 2006;55:629-630.
4. Strebel PM, Papania MJ, Halsey NA. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders;2003:389-469.
5. Harling R, White JM, Ramsay ME, Macsween KF, van den Bosch C. The effectiveness of the
mumps component of the MMR vaccine: a case control study. Vaccine. 2005;23:4070-4.
6. Katz SL, Hinman AR. Summary and conclusions: measles elimination meeting, 16-17 March
2000. J Infect Dis. 2004;189(Suppl 1): S43-S47.
7. CDC. Epidemiology of measles—United States, 2001-2003. MMWR Morbid Mortal Wkly
Rep. 2004;53:713-6.
Meningitis
Pneumonia
Haemophyllus influenzae sebagai penyebab pneumonia lebih sulit
dibuktikan karena metode pengambilan bahan pemeriksaan jauh
lebih sulit. Penelitian membuktikan bahwa pneumonia disebabkan
oleh virus pada 25%-75% kasus, sedangkan bakteri biasanya
ditemukan pada kasus yang berat. Bila kedua penyebab ditemukan,
kemungkinan pneumonia pada awalnya disebabkan oleh virus,
kemudian terjadi infeksi bakteri. Kematian umumnya disebabkan
oleh infeksi bakteri. Sebelum diperkenalkan vaksin, H. influenzae
tipe b merupakan bakteri penyebab pneumonia yang penting.
Identifikasi yang sulit dari bakteri ini mengakibatkan insiden
yang pasti tidak diketahui, diduga H.influenzae tipe b bertanggung
jawab terhadap 5-18% kejadian pneumonia. Di negara yang telah
berkembang, imunisasi menurunkan kejadian sindrom H.influenzae
tipe b invasif sampai lebih dari 95%, termasuk pneumonia.
Epidemiologi
hanya ditemukan pada manusia. Penyebaran
Haemophyllus influenzae
terjadi melalui droplet dari individu yang sakit kepada orang lain.
Sebagian besar orang yang mengalami infeksi tidak menjadi sakit,
tetapi menjadi pembawa kuman karena Hib menetap ditenggorok.
Prevalensi karier yang lebih dari 3% menunjukkan angka yang
cukup tinggi. Penelitian pendahuluan di Lombok menunjukkan
prevalensi carrier-rate sebesar 4,6%, suatu angka yang cukup tinggi.
Bila prevalensi pembawa kuman cukup banyak, kemungkinan
kejadian meningitis dan pneumonia akibat Hib biasanya juga tinggi.
Vaksin Hib
Daftar Pustaka
1. Pusponegoro HD, Oswari H, Astrawinata D, Fridawati V. Epidemiologic study on
bacterial meningitis in Jakarta and Tanggerang: preliminary report. Pediatr Infect Dis J
1998; 17:S176-8
2. Gessner BD, Sutanto A, Steinhoff M, dkk. A population-based survey of Haemophylus
influenzae type b nasopharyngeal carriage prevalence in Lombok Island, Indonesia.
Pediatr Infect Dis J, 1998; 17:S179-82.
3. Petola. Need for Haemophyllus influenzae type b vaccination in Asia as evidenced by
epidemiology of bacterial meningitis. Pediatr Infect Dis J, 1998; 17:S148-51.
4. Levine, Schwartz B. Pierce N, Kane M. Development, evaluation and implementation of
Haemophylus influenzae type b vaccines for young children in developing countries:
current status and priority actions. Pediatr Infect Dis J 1998; 17:S95-113.
5. Wenger JD, Ward JI. Haemophilus influenzae vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA,
eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:229-68.
6. CDC. Active Bacterial Core Surveillance Report, Emerging Infections Program Network,
Haemophilusinfluenzae, 2004- provisional. Atlanta: Department of Health and Human
Services; 2005.
7. Peltola H. Burden of meningitis and other severe bacterial infections of children in
Africa: implications for prevention. Clin Infect Dis. 2001;31:64-75.
8. American Academy of Pediatrics. Haemophilus influenzae infections. In: Pickering
LK, ed. Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk
Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2006:310-318.
Epidemiologi
Infeksi terjadi melalui mulut dari makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Salmonella typhi hanya dijumpai pada manusia yang
terinfeksi dan dikeluarkan melalui tinja dan urin. Masa inkubasi 3-
60 hari, terbanyak 7-14 hari. Insidens tertinggi demam tifoid pada
anak terutama di daerah endemis. Demam tifoid sering dijumpai di
banyak negara berkembang terutama di Asia, Afrika dan Amerika
Latin, tertinggi di India, Pakistan dan Bangladesh.
Patogenesis
Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman, dan
setelah berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan
limfoid usus halus, terutama pleksus Peyer dan jaringan limfoid
mesenterika. Setelah terjadi proses peradangan dan nekrosis
setempat, kuman melewati pembuluh limfe masuk ke aliran darah
(bakteremia primer) menuju organ dalam sistem retikuloendotelial
(RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh
Gejala klinis
Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih
bervariasi dibandingkan dengan dewasa. Dengan demikian
maka lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid
pada anak, terutama usia muda. Gejala demam tifoid pada
anak bervariasi yaitu demam satu minggu atau lebih, gangguan
saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit
infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, anoreksia,
mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik hanya
didapatkan suhu badan yang meningkat.
Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin
jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan
limpa, perut kembung bisa disertai gangguan kesadaran dari
ringan sampai berat.
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dibagi dua:
1. Komplikasi pada usus berupa perdarahan usus, perforasi
usus dan peritonitis.
2. Komplikasi di luar usus berupa bronkitis, bronkopneumonia,
ensefalopati, kolesistitis, meningitis, miokarditis dan kronik
karier.
Daftar Pustaka
1. Krugman S, Katz L.: Infectious diseases of children, Philadelphia; Mosby 2004.
2. Sood SK. Immunization for Children Travelling Aboard. Pediatrics Clin North Am
2000: 47; 435-48.
3. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering L:K,Baker,CJ,Overturf GD, Prober
CG, Penyuting. Red book. 2003 Report of commitee on Infectious Diseases. Edisi ke-26.
Elk Grove: 2003. h. 541-7.
4. Lutwick LI, Rubin LG, Childhood immunizations. WB Saunders Company. Ped Clin
of N Am 47, April 2000.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Yellow Book(4) CDD Travelers health.
Health Information for International Travel, 2005-2006.
6. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull World Health
Organ. 2004;82(5):346-53.
7. Steinberg EB, Bishop R, Haber P, Dempsey AF, Hoekstra RM, Nelson JM, et al.
Typhoid fever in travelers: who should be targeted for prevention? Clin Infect Dis.
2004;39:186-91.
8. Beeching NJ, Clarke PD, Kitchin NR, Pirmohamed J, Veitch K, Weber F. Comparison of
two combined vaccines against typhoid fever and hepatitis A in healthy adults.
Vaccine. 2004;23:29-35.
Epidemiologi
Varisela (cacar air) adalah penyakit infeksi yang sangat menular
disebabkan oleh virus varisela-zoster. Cacar air merupakan fase
akut invasi virus sedangkan herpes zoster merupakan reaktivasi fase
laten. Angka kematian meningkat pada individu imunokompromais
7%-10% dibandingkan dengan anak sehat 0,1%-0,4%.
Patogenesis
Cacar air ditularkan melalui droplet infection dan sangat menular
selama masa prodromal yang singkat dan pada fase awal erupsi.
Masa inkubasi 14 sampai 16 hari. Apabila lesi telah berubah menjadi
krusta, pasien tidak menularkan penyakit.
Gejala Klinis
Setelah masa inkubasi, muncul nyeri kepala ringan, demam tidak
begitu tinggi dan lemah badan, diikuti dengan timbulnya lesi kulit
Herpes Zoster
Infeksi herpes zoster berupa ruam vesikular yang terlokalisasi
akibat reaktivasi virus varisela-zoster laten, akan timbul pada
saat menurunnya kekebalan. Herpes zoster jarang ditemui sebelum
umur 12 tahun (1% kasus), umumnya muncul pada usia 40 tahun
(81 %). Herpes zoster sering berupa penyakit yang serius pada usia
lanjut dan individu yang menderita imunokompromais; sehingga
dapat menjadi herpes zoster menyeluruh yang meliputi organ dalam,
susunan syaraf dan paru.
Infeksi varisela pada bayi baru lahir yang berat terjadi semasa
perinatal akibat varisela dari ibu hamil. Sindrom varisela
kongenital dilaporkan terjadi setelah infeksi varisela pada
masa tengah kehamilan dan dapat berakibat malformasi
kongenital, parut kulit dan anomali lain. Data terakhir dari Eropa
mengindikasikan risiko yang tinggi bila infeksi maternal muncul
Komplikasi
Infeksi sekunder oleh kuman streptokokus pada vesikel dapat
mengakibatkan terjadinya erisipelas, sepsis, nefritis hemoragik akut.
Infeksi stafilokokus dapat terjadi pada vesikel dan menyebabkan
pioderma atau impetigo bulosa. Meski jarang, dapat terjadi
komplikasi berat, seperti serebelitis, meningitis aseptik, mielitis
transversa, trombositopenia dan pneumonia. Pada kasus lebih
jarang lagi bahkan dapat menyerang organ dalam dan sendi.
Komplikasi pneumonia terjadi pada dewasa, bayi baru lahir serta
pasien imunokompromais, tetapi jarang pada anak kecil. Aspirin
atau salisilat tidak boleh diberikan pada pasien dengan varisela oleh
karena ditakutkan terjadinya sindrom Reye.
Vaksi n
· Vaksin virus hidup varisela-zoster (galur OKA) yang
dilemahkan terdapat dalam bentuk bubuk-kering (lyophilised).
Bentuk ini kurang stabil dibandingkan vaksin virus hidup lain,
sehingga memerlukan suhu penyimpanan tertentu. Vaksin
harus disimpan sesuai dengan petunjuk pabrik. Vaksin varisela-
zoster yang beredar di Indonesia dapat disimpan pada suhu
2oC-8oC.
· Bagi anak hanya diperlukan 1 dosis, sedang individu
imunokompromais serta remaja (sama atau di atas 13 tahun)
dan dewasa memerlukan 2 dosis, selang 1-2 bulan.
Cara pemberian
Mengingat (1) kejadian varisela di Indonesia terbanyak terjadi pada
anak yang telah bergaul dengan anak seumurnya (awal sekolah)
dan (2) penularan varisela (kepada adik atau anggota keluarga yang
lain) terbanyak terjadi pada saat usia sekolah, maka Satgas Imunisasi
pada tahun 2007 merekomendasikan:
· Vaksin varisela diberikan mulai umur masuk sekolah 5
tahun, dosis 0,5 ml secara subkutan, dosis tunggal.
· Atas pertimbangan tertentu vaksinasi varisela dapat
diberikan setelah umur >1 tahun.
· Pada anak ≥ 13 tahun vaksin dianjurkan untuk diberikan
dua kali selang 1 bulan.
· Pada keadaan terjadi kontak dengan kasus varisela, untuk
pencegahan vaksin dapat diberikan dalam waktu 72 jam
setelah penularan (dengan persyaratan: kontak dipisah/tidak
berhubungan).
Mengingat infeksi alamiah masih tinggi sehingga imunisasi pada
sekelompok anak tertentu tidak mengubah epidemiologi penyakit
ini, seperti peningkatan insiden pada golongan umur yang lebih
tua.
Indikasi kontra
Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi,
hitung limfosit kurang dari 1200/µl atau adanya bukti defisiensi
imun selular seperti selama pengobatan induksi penyakit keganasan
atau fase radioterapi, pasien yang mendapat pengobatan dosis tinggi
kortikosteroid (2 mg/kgBB per hari atau lebih). Vaksin ini juga
indikasi kontra bagi pasien yang alergi pada neomisin.
Daftar Pustaka
1. GershonAA, Takahashi M, White CJ. Varicella vaccine. Dalam: Plotkin dan Orenstein,
penyunting. Vaccines. Edisi ke–4. Philadelphia: W.B. Saunders 2004; 475-507.
2. Seward JF, Watson BM, Peterson CL, Mascola L, Pelosi JW, Zhang JX, et al. Varicella
disease after introduction of varicella vaccine in the United States, 1995-2000. JAMA.
2002;287:606-11.
3. Gershon AA, Takahasi M, Seward J. Varicella vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA,
eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia: Saunders; 2004:783-823. CDC_ch04_113-380.indd
354 4/9/07 10:06:52 AM Viral Hemorrhagic Fevers 355.
Epidemiologi
Di negara prevalens tinggi, infeksi umumnya teijadi pada usia <10
tahun, di daerah prevalens sedang, infeksi terjadi pada usia remaja
dan dewasa muda, sedangkan di area prevalens rendah, infeksi
terjadi pada dewasa dan usia lanjut.
Di daerah urban Jakarta, prevalens anti HAV pada kelompok usia
< 9 tahun 39,6%, usia 10 - 19 tahun 67,8%, dan 95% pada usia >50
tahun. Di Bandung, prevalens anti HAV 63,2% dan di rural Sulawesi
47,5%. Penelitian lain pada anak usia 6-8 tahun dan kelompok sosial
ekonomi tinggi di Jakarta menunjukkan bahwa prevalens anti HAV
hanya 1,7% dan mereka inilah yang kelompok yang rentan dan
perlu imunisasi VHA.
Manifestasi klinis
Pencegahan
Upaya pence gahan merupakan upaya yang terpenting, dilakukan
dengan pola hidup bersih/sehat dan imunisasi pasif maupun
aktif.
Imunisasi pasif
≤2 <2 Ig
≥2 Ig dan vaksin
>2 <2 Ig
≥2 Vaksin
Keterangan: Ig=imunoglobulin
Tabel 6.2. Profilaksis pre exposure terhadap pengunjung dan daerah non
endemis
Imunisasi aktif
Vaksin
· Vaksin dibuat dan virus yang dimatikan (inactivated
vaccine).
· Dosis vaksin bervariasi tergantung produk dan usia
resipien.
· Vaksin diberikan2kali, suntikankedua atau booster bervariasi
antara
6 sampai 18 bulan setelah dosis pertama, tergantung produk.
· Vaksin diberikan pada usia ≥2 tahun.
· Vaksin hepatitis A terbukti mempunyai imunogenisitas
baik.
Efek Samping
Uji pra vaksinasi pada anak hanya dilakukan bila ada kecurigaan kuat
terhadap infeksi masa lampau. Uji pasca vaksinasi hanya dikerjakan
pada individu dengan gangguan imunologis termasuk PHK.
Lama proteksi
Daftar Pustaka
1. Sulaiman A, Julitasari. Panduan praktis hepatitis A. Edisi pertama. Jakarta, Yayasan
Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia, 2000.
2. National Health and Medical Research Council. Dalam: Watson C, penyunting. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC 2008.
3. Bisanto J. Tinjauan multi-aspek hepatitis virus A pada anak. Dalam Tinjauan
komprehensif hepatitis virus pada anak. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIII; Jakarta, 2000: 9-31.
4. BergeJJ, DrennanDP, Jacob RI, Jakins A, Meyyerhoff AS, Stubblefield W, Weinberg M.
The cost of hepatitis A infections in American adolescents and adults in 1997. Hepatol
2000; 31: 469- 73.
Epidemiologi
Saat ini sekitar 100 negara terdapat rabies pada binatang baik liar
maupun domestik dan sekitar 2,5 milyar manusia yang hidup pada
daerah ini. Diperkirakan terdapat 50.000 kematian tiap tahun pada
manusia oleh karena rabies, dan sekitar 10 juta orang menerima
vaksinasi pasca paparan. Anak umur 5–15 tahun berada dalam
risiko terhadap penyakit ini. Sekitar 99% kematian terdapat di
Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, India melaporkan sekitar 30.000
kematian tiap tahunnya.
Sampai tahun 2007 di Indonesia hanya beberapa daerah
yang masih bebas rabies diantaranya Bali, NTB, DKI, Banten,
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Di Yogyakarta (Subdit Surveilan
Rabies) . Pada tahun 2008 didapatkan kasus rabies di Bali yang
sampai sekarang 2011 masih terdapat kasus baru. Pada Tabel 6.4
tertera 6 provinsi tertinggi kasus gigitan hewan tersangka rabies.
245 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies
Tabel 6.4. Kasus gigitan hewan tersangka rabies di beberapa propinsi utama tahun
2008 s/d 2010
No Propinsi 2008 2009 2010
GHPR Rabies GHPR Rabies GHPR Rabies
1 Sumatera Utara 2660 7 2386 18 3714 35
2 Sumatera Barat 2374 7 2818 14 858 5
3 NTT 3414 25 3882 33 3023 20
4 Sulawesi Utara 1917 14 1859 12 1412 10
5 Maluku 844 3 1288 35 778 21
6 Sulawesi Barat 101 1 325 0 97 5
7 Maluku Utara 187 7 276 8 50 1
8 Bali 355 4 21806 28 6046 82
Seluruh Indonesia 21240 122 45466 195 7589 198
GHPR : Gigitan Hewan Pembawa Rabies (data Subdit Surveilan Rabies Depkes RI). *
Data Tahun 2008-2010
Etiologi
Virus rabies merupakan genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, virus ini
berbentuk peluru dengan panjang 130-380 nm dan diameter 70-85 nm.
Patogenesis
Secara umum apabila virus memasuki luka, virus akan segera
memasuki sel otot didekatnya dan berkembang biak dalam sel
otot dan segera melekat di reseptor nikotinik asetilkholin pada
neuromuscular junction. Pada saat virus memasuki saraf, pertahanan
tubuh tidak bisa lagi melawan virus ini. Virus akan bergerak dalam
akson menuju susunan saraf pusat dengan kecepatan bervariasi
antara 12-24 mm perhari, untuk sampai ke ganglion spinalis . Saat ini
gejala-gejala lokal pada tempat gigitan akan djumpai berupa parastesi.
Setelah dari ganglion spinalis kecepatan viru ini mejadi 200-400 mm
perhari. Virus akan merusak jaringan batang otak dan medula
spinalis, hidrophobi merupakan gejala patognomonis penyakit ini
olh karena terjadi kerusakan pada batang otak. Hidrophobi ini tidak
ditemui pada penyakit lain oleh karena hanya rabies yang
mengenai batang otak dengan kortekserebri intact sehingga tetap
sadar.
Gambaran klinis
Masa inkubasi sangat bervariasi dari 5-6 hari sampai beberapa tahun
dengan mayoritas kasus antara 20-60 hari, masa inkubasi pendek
bila gigitan di daerah kepala bila dibandingkan ekstremitas. Masa
inkubasi lebih pendek pada anak karena jarak ke SSP lebih pendek
jika dibandingkan dengan orang dewasa. Pada masa inkubasi ini
tidak ditemui gejala. Gejala dimulai pada masa prodromal berupa
malaise, anoreksia, lelah, nyeri kepala, dan demam. Nyeri dan
parestesi di tempat gigitan atau eksposur ditemui 50%-80% kasus.
Rasa takut, agitasi, iritabel, nervous, sukar tidur, dan depresi menonjol
pada masa ini. Masa prodromal ini berlangsung 2-10 hari.
Pengobatan (pencegahan)
Kasus gigitan
Anjing, kucing, kera
Luka Risiko Tinggi Luka Risiko Rendah Luka Risiko Tinggi Luka Risiko Rendah
Segera beri Segera diberi Segera beri VAR Tidak diberi VAR
VAR & SAR VAR dan SAR Tunggu hasil obsv
VAR Stop
Lanjutkan VAR Spesimen otak hewan
Diperiksa di Lab
Vaksin rabies
Dengan
SAR/RIG* hari ke 0
Daftar Pustaka
1. Fishbein DB, Robinson LE: Rabies. N Engl J Med 1999; 329: 1632-8.
2. Adam WG: Rabies. Dalam BehrmanRE, Kliegman RM, Jenson HB penyunting Nelson
Text Book of Pediatrics 17 eds Saunders 2004 h 1101-4.
3. WHO. Weekly epidemiological record. No 14. 2002. http://www.who.int/wer
4. Bertolini J, Merlin M. Rabies httpi/www.emedicine.com. Last update october 2004.
5. SubdinZoonosis Ditjen PPM & PLP Depkes-Kesos RI. BaganTatalaksanaKasus Gigitan
Hewan tersangka Rabies.
6. Warrell MJ, Warrell DA. Rabies and other lyssavirus diseases. Lancet. 2004;363:959-
69.
7. Taplitz RA. Managing bite wounds. Currently recommended antibiotics for treatment
and prophylaxis. Postgrad Med. 2004;116:49-52, 55-6, 59.
8. Knobel DL, Cleaveland S, Coleman PG, Fevre EM, Meltzer MI, Miranda ME et al.
Re-evaluating the burden of rabies in Africa and Asia. Bull World Health Organ.
2005;83:360-8.
9. Wilde H, Briggs DJ, Meslin FX, Hemachudha T, Sitprija V. Rabies update for travel
medicine advisors. Clin Infect Dis. 2003;37:96-100.
10. Rendi-Wagner P, Jeschko E, Kollaritsch H, osterreichische Expertengruppe fur
Reisemedizin. Travel vaccination recommendations for Central and Eastern European
countries based on country-specific risk profiles. Wien Klin Wochenschr. 2005;117
Suppl4:11-9.
11. Richardson M. The management of animal and human bite wounds. Nurs Times.
2006;102:34-6.
12. Jackson AC, Warrell MJ, Rupprecht CE, Ertl HC, Dietzschold B, O’Reilly M, et al.
Management of rabies in humans. Clin Infect Dis. 2003;36:60-3.
13. CDC. Human rabies prevention — United States, 1999. Recommendations of the
Advisory Committee on Immuniza-tion Practices (ACIP). MMWR Morbid Mortal
Wkly Rep. 1999;48(RR-1):1-21.
14. World Health Organization Expert Consultation on Rabies. World Health Organ Tech
Rep Ser. 2005;931:1-88.
15. Khawplod P, Wilde H, Sirikwin S, Benjawongkulchai M, Limusanno S, Jaijaroensab W,
Chiraguna N, et al. Revision of the Thai Red Cross intradermal rabies post-exposure
regimen by eliminating the 90-day booster injection. Vaccine. 2006;24:3084-6.
16. Heudorf U, Tiarks-Jungk P, Stark S. Travel medicine and vaccination as a task of
infection prevention. Gesundheitswesen. 2006;68:316-22.
17. Rupprecht CE, Gibbons RV. Clinical practice. Prophylaxis against rabies. N Engl J
Med. 2004;351:2626-35.
18. Widianingsih C. Respon imun pasca vaksinasi anti rabies intra dermal
dibandingkan dengan vaksinasi anti rabies intra muskuler pada gigitan hewan
penular rabies. (Desertasi) FKM-UI Jakarta 2007.
19. WHO Recommendation for rabies post-exposure treatment and correct technique
259 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Iskandar Syarif
of intra dermal immunization against rabies 1996.
20. Canada communicable Desease up-date on rabies vaccines 2005.
21. Khowplod P, Wilde H, Tantawichien T. at all. Potency, sterility and
immunogenesiti of rabies tissue culture vaccine after reconstitution and
refrigerated storage for 1 week. Vaccine; 20:. 2240-2.
22. Manning SE, Rupprecht CE, Fishbein D, et all. Human rabies prevention in US
2008. Recommendation of advisory committee on immunization practice 2008.
23. Montalban CS, Bravo L, Compos-Caoli JD, et all. Handbook on Rabies and dog
bites. Philiphine 2005
24. Plotkin SA, Clark HF, Rupprecht CE. Rabies virus in Feigin RD, Demmler-
Harrison GJ, Cherry JD, Kaplan SL editors Textbook of Pediatric Infeksius
Disease edisi ke 6, 2009; 2494-2511.
25. Bourhy H, Dautry-Versat A, Hortez PJ, Salomon J. Rabies, Still Neglected after
125 years of vaccination. Plos neglected tropical disease, 2010;
http://www,plosntds.org
26. Gompf SG et-all. Rabies diakses dari
http;//emedicine.medscape.com/article/220967 last up-dated Jan 12, 2011.
Virologi
Antigenic shift
Antigenic drift
Epidemiologi
Penularan virus melalui udara (aerosol) dan percikan ludah (droplets)
kontak langsung dari seseorang yang infeksius. Penularan terjadi 1-
2 hari sebelum gejala timbul sampai 4-5 hari sesudahnya. Tak ada
Manifestasi Klinik
Vaksinasi influenza
Vaksin influenza
Indikasi Kontra
Antivirus
Daftar Pustaka
Epidemiologi
Vaksi n
Jenis vaksin
Rekomendasi
Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI telah dikeluarkan pada tanggal
15 Juni 2006
Reaksi KIPI
Vaksin pnemokokus aman diberikan, tidak menyebabkan efek
samping yang serius. Reaksi KIPI seringkali terjadi setelah dosis
pertama.
o Efek samping berupa eritema, bengkak, indurasi dan nyeri
di bekas tempat suntikan.
o Efek sistemik yang sering terjadi berupa demam, gelisah,
pusing, tidur tidak tenang, nafsu makan menurun, muntah, diare,
urtikaria. Demam ringan sering timbul, namun demam tinggi di
atas 39oC jarang dijumpai dilaporkan setelah pemberian dosis
ketiga.
o Reaksi berat seperti reaksi anafilaksis sangat
jarang ditemukan.
o Pernah juga dilaporkan kejadian berat berupa nefrotik
sindrom, limfadenopati, dan hiper- imunoglobulinemia.
o Reaksi KIPI biasanya terjadi setelah dosis kedua,
namun berlangsung tidak lama, akan menghilang dalam 3
hari.
Daftar Pustaka
Epidemiologi
Patogenesis
Pengobatan
Pengobatan diare karena rotavirus bersifat suportif, meliputi
rehidrasi dan pemberian makanan sesegera mungkin dan ASI tetap
diberikan selama sakit.
Vaksi n
Vaksin Rotavirus (RV) yang telah ada di pasaran berasal dari human
RV vaccine R/X 4414, dengan sifat sebagai berikut.
· Live, attenuated, berasal dari human RV /galur 89-12.
· Monovalen, berisi RV tipe G1, P1A (P8), mempunyai
neutralizing epitope yang sama dengan RV tipe G1, G3, G4, dan G9
yang merupakan mayoritas isolat yang ditemukan pada
manusia.
· Vaksin diberikan secara oral dengan dilengkapi bufer
dalam kemasannya.
· Pemberian dalam 2 dosis pada umur 6-12 minggu dengan
interval 8 minggu.
· Faktor-faktor yang mengurangi imunogenisitas vaksin RV,
o Apabila diberikan bersamaan dengan OPV (vaksin polio
oral)
o Masih terdapatnya antibodi maternal
o Adanya bakteri enterik patogen di dalam usus
Daftar Pustaka
1. Bass DM. Rotavirus vaccinology: good news and bad news. JPGN 2000; 38;10-11.
2. Barnes G. Rotavirus vaccine. JPGN 2000; 38:12-17.
3. Wiopo SA, Soenarto Y, Breese J, Tholib A, Cahyono A, Aminah, Gentsch JR, Glass
Rl. Surveillance to determine the diseases burden and the epidemiology of rotavirus
in Indonesia. Final report, August 18,2004. Dipresentasikan pada pertemuan Dirjen
PPM & PL Departemen Kesehatan, Jakarta Oktober 2004.
4. Vesikari T, Karvonen A, Korhonan T, Espo M, Lebacq E, Fosters J, Zepp F, Delem A,
De Vos B. Safety and immunogenocity of RIX4414 live atte nuated human rotavirus
vaccine in adults, toddlers and previously uninfected infants. Vaccine 2004; 22; 1836-
42.
5. Bock HL. Rotavirus Vaccine -clinical update. Dipresentasi kan pada Seminar on
Vaccinology Update, Kinabalu Malaysia, 4-7 September 2004.
Sejak tahun 1988, tidak ada negara yang secara resmi meminta
sertifikat vaksinasi kolera. Oleh karena vaksin yang beredar saat ini
efikasinya rendah (sekitar 50%) dan relatif banyak efek sampingnya,
maka manfaat vaksinasi kolera banyak dipertanyakan. Keasaman
lambung merupakan daya tangkal yang terpenting terhadap infeksi
kolera. Oleh karena itu, vaksinasi kolera dianjurkan pada turis yang
mempunyai riwayat reseksi lambung, aklorhidria, ulkus peptikum
yang mendapat terapi inhibitor reseptor H2 (misalnya simetidine)
dan proton pump inhibitor (misalnya omeprazol). Secara epidemiologis
daerah-daerah yang tercatat ditemukannya kolera ialah Asia, Afrika,
Timur-Tengah, Amerika Selatan dan sebagian Oseania.
Vaksin Kolera
Rekomendasi
· Di beberapa negara kolera bersifat endemis, namun vaksinasi
rutin tidak dianjurkan. Kepada orang yang melakukan perjalanan
dianjurkan lebih baik hati-hati memilih makanan dan minuman,
dipandang lebih penting dari pada vaksinasi.
· Sejak tahun 1973, WHO telah menghapuskan peraturan
tentang vaksinasi kolera. Walaupun demikian, masih ada
pejabat imigrasi beberapa negara yang meminta sertifikat
vaksinasi sebagai syarat. Untuk hal ini orang yang mengadakan
perjalanan telah dinasehatkan mendapat dosis tunggal vaksin
sehingga memiliki sertifikat sebelum berangkat (ini lebih baik
daripada dipaksa mendapat vaksinasi di perbatasan suatu
negara)
· Kenyataan menunjukan bahwa pengawasan perlintasan
perbatasan sangat lemah, maka nasehat di atas masih perlu
dipertanyakan, dan harus ditekankan bahwa tak ada dasar medis
untuk melakukan vaksinasi kolera secara rutin untuk mereka
yang melakukan perjalanan ke luar negeri.
Indikasi Kontra
· Jangan menggunakan vaksin untuk orang-orang yang
diketahui hipersensitif terhadap dosis yang diberikan
sebelumnya atau
· Bayi berumur kurang dari 6 bulan
· Anak-anak yang sering sakit
· Kehamilan merupakan indikasi kontra yang relatif.
Pengelolaan Wabah
Vaksin kolera tidak ada manfaatnya dalam pengawasan kejadian
wabah.
Daftar Pustaka
1. Sood SK. Immunisations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000;
47:1-15.
2. McLellan SLF. Vaccines for travelers. Infect Med 2000; 17:168-71.
Epidemiologi
Secara epidemiologis dibedakan dua bentuk yellow fever, yaitu bentuk
yang ada diperkotaan (urban) dan di hutan (jungle). Kedua bentuk
tersebut baik klinis maupun etiologis tidak berbeda. Yellow fever yang
ditemukan di pedesaan adalah suatu epidemi penyakit virus yang
ditularkan dari orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes aegypti. Di daerah-
daerah yang telah dilakukan pemberantasan Aedes aegypti, maka yellow
fever bentuk perkotaan dapat menghilang. Bentuk yang ditemukan di
hutan (jungle yellow fever) adalah yellow fever yang ditularkan di antara
kera oleh berbagai macam nyamuk hutan, yang bila menggigit manusia
dapat menyebabkan infeksi. Bila orang tersebut kemudian digigit oleh
nyamuk Aedes aegypti, dapat menjadi sumber penyebaran yellow fever
bentuk perkotaan. Yellow fever perkotaan muncul secara periodik di
Afrika Selatan pada tahun terakhir ini dan berlanjut lebih sering terjadi
di beberapa daerah di Afrika Barat dan Timur, ditemukan baik di kota
maupun di pedesaan. Tindakan pencegahan terhadap yellow fever
meliputi eradikasi nyamuk Aedes aegypti, perlindungan terhadap gigitan
nyamuk, dan vaksinasi. Yellow fever yang ditemukan di hutan hanya
dapat dicegah dengan cara vaksinasi.
· Setiap dosis 0,5 ml berisi tidak kurang dari 1,000 mouse LD50
units.
· Vaksin tersebut dikembangkan dalam embrio ayam dan
berisi tidak lebih dari 2 IU neomisin dan 5 IU polimiksin;
dikemas dalam vial untuk 5 dosis.
· Vaksin disuntikkan subkutan dalam sebanyak 0,5 ml
berlaku untuk semua umur dan dapat memberi proteksi
sampai 10 tahun.
· Vaksin diberikan dalam dosis tunggal dan perlu diulang tiap 10
tahun.
· Tidak boleh diberikan pada anak kurang dari 1 tahun, ibu
hamil, imunokompromais, dan alergi telur.
· Idealnya diberikan lebih dari 10 hari sebelum memasuki
negara tersebut dan berjarak sekurangnya 3 minggu dari
vaksinasi kolera. Vaksinasi hepatitis B dan campak dapat
diberikan berturutan dengan vaksinasi yellow fever.
· Vaksin harus dilindungi dari sinar dan disimpan dalam
keadaan beku di bawah -5°C.
· Setelah diencerkan dengan cairan sodium klorid, harus
disimpan pada suhu 0°C dan dipakai dalam waktu 1 jam.
Rekomendasi
· Bayi umur 6 bulan atau lebih yang melakukan perjalanan
atau bertempat tinggal di daerah yellow fever (saat ini di
beberapa daerah di Afrika Selatan dan Amerika Selatan) harus
divaksinasi. Secara rinci mengenai imunisasi yellow fever dapat
diperoleh dari petugas kesehatan pusat vaksinasi negara yang
bersangkutan.
· Vaksinasi juga dianjurkan untuk mereka yang melakukan
perjalanan ke daerah di luar perkotaan yellow fever endemis. Perlu
waspada terhadap terjangkitnya yellow fever yang belum sempat
dilaporkan dapat menyebabkan meninggalnya turis yang belum
divaksinasi.
· Pada bayi umur kurang dari 6 bulan dan ibu hamil harus
dipertimbangkan untuk vaksinasi bila melakukan perjalanan ke
daerah risiko tinggi, yang perjalanannya tidak dapat ditunda,
dan pencegahan terhadap gigitan nyamuk sulit dilakukan.
· Petugas laboratorium yang mungkin terpajan terhadap virus
yellow fever juga harus divaksinasi.
Indikasi kontra
· Bayi berumur 6 bulan atau kurang, walaupun secara teoritis
lebih rentan terhadap kejadian ikutan ensefalitis dibandingkan
dengan anak yang lebih besar.
· Wanita hamil, vaksinasi perlu dipertimbangkan bila risiko
infeksi yellow fever sangat besar. Walaupun belum ada informasi
khusus tentang kejadian ikutan terhadap perkembangan fetus,
namun secara teoritis vaksinasi harus dihindari dan menunda
Daftar Pustaka
1. Sood SK. Immunizations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000;
47:1-15.
2. McLellan SLF. Vaccines for travelers. Infect Med 2000; 17:168-71.
3. National Health and Medical Research Council. Yellow Fever. Vaccines for foreign
travel Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunization Handbook. Edisi
ke-9. Canberra: NHMRC, 2008.
4. Monath TP. Yellow Fever. In: Plotkin S, Orenstein WA, eds. Vaccines. 3rd ed.
Philadelphia: WB Saunders; 1999. p. 815-80.
5. Monath TP, Cetron MS. Prevention of yellow fever in persons traveling to the tropics.
Clin Infect Dis. 2002;34:1369-78.
6. CDC. Adverse events associated with 17D-derived yellow fever vaccination—United
States, 2001-2002. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2002;51:989-93.
7. Marfin AA, Barwick Eidex R, Monath TP. Yellow Fever. In: Guerrant RL, Walker DH,
Weller PF, eds. Tropical infectious diseases: principles, pathogens, & practice. 2nd ed.
Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 797-812.
8. Adhiyaman V, Oke A, Cefai C, Adhiyaman V, Oke A, Cefai C. Effects of yellow fever
vaccination. Lancet. 2001;358:1907-8.
9. ChanRC, Penney DJ, LittleD, Carter IW, RobertsJA, Rawlinson WD. Hepatitis and death
following vaccination with 17D-204 yellow fever vaccine. Lancet. 2001;358:121-2.
10. Struchiner CJ, Luz PM, Dourado I, Sato HK, Aguiar SG, Ribeiro JG, et al. Risk of fatal
adverse events associated with 17DD yellow fever vaccine. Epidemiol Infect.
2004;132:939-46.
11. Troillet N, Laurencet F. Effects of yellow fever vaccination. Lancet. 2001;358:1908-9.
12. CetronMS, MarfinAA, Julian KG, Gubler DJ, Sharp DJ, Barwick RS, et al. Yellow fever
vaccine. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP), 2002. MMWR Recomm. Rep. 2002;51(RR-17):1-11.
13. Khromava AY, Eidex RB, Weld LH, Kohl KS, Bradshaw RD, Chen RT, et al. Yellow
fever vaccine: An updated assessment of advanced age as a risk factor for serious
adverse events. Vaccine. 2005;23: 3256-63.
14. World Health Organization. International Health Regulations. 2005. Geneva. Diunduh
dari http://www.who.int/csr/ihr/en/.
Epidemiologi
Menurut perkiraan ada sekitar 30.000–50.000 kasus JE dan 10.000
– 15.000 kematian terjadi setiap tahunnya, dan kebanyakan dari
mereka adalah anak. Di daerah endemik, setiap tahunnya kejadian
klinis yang dilaporkan berkisar antara 10-100 per 100.000 penduduk.
Mayoritas orang yang tinggal di daerah endemik JE telah terinfeksi
oleh virus tersebut sebelum berusia 15 tahun. Sejak kasus JE pertama
dicatat pada akhir abad ke - 19, JE telah menyebar jauh dari daerah
asalnya bahkan mencapai Australia pada tahun 2000. Japanese
ensefalitis terjadi terutama di 1) Cina dan Korea; 2) sub-benua
India; 3) Negara Asia Tenggara seperti Kamboja, Indonesia, Laos,
Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand dan Vietnam. Di Indonesia
kasus JE dilaporkan terjadi di Lombok tahun 1960, Surabaya tahun
1968, Jakarta tahun April 1981 sampai Maret 1982,dan di Bali tahun
1999.
Patogenesis
Japanese ensefalitis tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit
ini disebabkan oleh virus yang termasuk genus Flavivirus.
Manifestasi klinis
Setelah gigitan nyamuk yang infeksius, virus akan memperbanyak
dii dan menimbulkan viemia sebelum menyebar ke sistem syaraf
pusat, termasuk otak dan sumsum tulang belakang. Gejala awal
adalah flu disertai demam, menggigil, rasa lelah, nyeri kepala, mual,
muntah dan penurunan kesadaran. Perasaan bingung dan gelisah,
bahkan kejang serta koma dapat terjadi.
80% anak Amerika dan 20-40% anak Indian. Opistotonus dan kejang
rangsang terjadi pada 15% pasien.
Gejala ektrapiramidal lain adalah head nodding dan pergerakan
pill rolling, opsoklonus mioklonus, koreoatetosis, bizarre facial
grimacing dan lip smacking. Kelemahan saraf facial upper motor neuron
(UMN) terdapat pada 10% anak dan kadang-kadang tidak jelas.
Perubahan pola pernafasan, kelainan pupil dan reflek oculocepalic
merupakan tanda prognosis yang jelek.
Baru–baru ini didapatkan pasien yang terinfeksi JE memperlihat-
kan gejala lumpuh layu mendadak. Kelemahan lebih sering terjadi
pada tungkai dibanding lengan dan biasanya asimetris. Tiga puluh
persen pasien menjadi ensefalitis. Pada pengamatan 1-2 tahun
kemudian terdapat kelemahan yang menetap.
Virus JE dapat berkembang menjadi infeksi serius pada otak
yang berakibat fatal pada 30% dari kasus. Sekitar 40% - 75% akan
menyebabkan kerusakan otak yang serius termasuk kelumpuhan
dan retardasi mental. Walaupun perawatan yang mendukung untuk
ensefalitis dapat menurunkan tingkat kematian, akan tetapi tidak
ada obat yang dapat menyembuhkan JE.
Sebanyak 30%-50% dari kasus yang dinyatakan sembuh akan
mengalami sekuele pada saraf dan kejiwaan termasuk kerusakan
otak dan lumpuh. Kebanyakan kematian dan gejala sisa pada saraf
dan kejiwaan terjadi pada anak berusia di bawah 10 tahun. Infeksi
yang terjadi pada trimester pertama dan kedua dari kehamilan dapat
menyebabkan infeksi dalam rahim yang berakibat pada keguguran.
Kira-kira 30% kasus JE yang dirawat di rumah sakit meninggal dan
1/2 nya dengan gejala sisa yang berat. Gejala sisa berupa fleksi lengan
atas dan hiperekstensi tungkai dengan equine feet. Dua puluh persen
kasus mengalami gangguan kognitif berat dan gangguan bahasa.
Gejala lain berupa kesukaran belajar, masalah tingkah laku dan
kelainan neurologis yang ringan.
Diagnosis
Diagnosis JE ditegakkan dengan gejala klinis dan laboratorium.
Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu secara serologis, biologis, identifikasi virus JE dengan PCR,
pemeriksaan darah, dan cairan likuor serebrospinal. Isolasi virus JE
jarang berhasil, mungkin karena rendahnya titer virus dan produksi
antibodi netralisasi.1,2 Secara serologis dapat dilakukan pemeriksaan
secara uji hemaglutinasi inhibisi (HI), uji komplemen fiksasi (CFT),
uji hemolisis radial tunggal, neutralizing antibody (NA). Uji HI dan
NA dapatmendeteksi infeksiJE lebih awal dari CFT dan juga dapat
mendeteksi JE pada stadium lebih lanjut.
Pencegahan
1. Terhadap vektor
Pemberantasan vektor dapat dilakukan secara mekanis, biologis,
kimia, ekologis dan genetik.
2. Terhadap reservoir
Melakukan pemeriksaan secara intensif untuk mengetahui
adanya virus JE atau antibodi dalam tubuh reservoir, sehingga
kemungkinan wabah dapat terdeteksi secara dini.
Vaksin JE
· Terdapat tiga macam vaksin JE yang digunakan untuk manusia,
yaitu vaksin inactivated yang dibuat dari kultur jaringan ginjal
marmut, vaksin inactivated galur Nakayama yang dibuat dari otak
mencit dan vaksin hidup yang dilemahkan dari kultur jaringan
ginjal marmut.
· Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan
pada hari 0, 7 dan 28. Untuk anak yang berumur 1-3 tahun dosis
yang diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang
sama.
· Booster diberikan pada individu yang berisiko tinggi dengan
dosis 1 ml 3 tahun kemudian.
KIPI VaksinasI JE
Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk JE. Antibiotika tidak efektif
terhadap virus, dan obat anti virus yang efektif untuk mengatasi
penyakit ini belum dikembangkan. Tetapi perawatan pasien
yang baik sangat penting, dan dipusatkan pada pengobatan
terhadap gejala dan komplikasi yang timbul. Kortikosteroid dapat
diberikan, namun hasil penelitian double blind plasebo kontrol tidak
menunjukkan keuntungan pemberian kortikosteoid. Isoquinolon
efektif untuk in vitro dan antibodi monoklonal efektif pada hewan
percobaan.
Daftar Pustaka
Epidemiologi
Infeksi meningokok adalah infeksi invasif yang mengakibatkan
meningokoksemia, dan atau meningitis. Penyebabnya adalah
Neisseria meningitidis, suatu bakteri diplokokus gram negatif. Bakteri
yang dapat mengakibatkan penyakit infeksi invasif ini berdasarkan
polisakarida dari permukaan sel bakterinya, dikelompokkan dalam
13 serogrup. Serogrup tersering adalah tipe A,B,C,X,Y,Z,W-135
dan L. Tidak ada hubungan yang pasti antara serogrup atau tipe
dengan virulensi bakteri. Di Amerika, serogrup B dan C
merupakan 45% dari kasus yang dilaporkan. Di tempat lain di dunia,
yang sering mengalami epidemi maka serogrup A sering sebagai
penyebabnya. Di Australia pada tahun 1995 terjadi 2.1 kasus per
100.000 populasi, sebagian besar adalah serogrup B, dengan
puncaknya pada usia 0-4 tahun dan 15-19 tahun. Pada abad ke-20,
epidemi serogrup A terjadi secara siklus setiap 5-10 tahun di daerah
meningitis belt yang dibatasi oleh Sudan di sebelah timur, Gambia
di barat, gurun Sahara di utara, dan daerah hujan tropis bagian
selatan. Di Brazil, India utara, Mongolia dan Nepal dilaporkan banyak
epidemi dalam 10 tahun terakhir ini oleh serogrup A dan C.
Serogrup W-135 didapatkan pada kurang dari 5 % kasus yang
dilaporkan di dunia. Epidemi pertama kali serogrup W-135
dilaporkan terjadi pada musim haji di Saudi Arabia pada tahun
2000, dan pada 2002 dilaporkan telah terjadi epidemi serogrup W-
135 di Afrika Sub-Sahara.
Manifestasi klinis
Masa inkubasi penyakit ini mulai 1 hari sampai 10 hari, biasanya
kurang dari 4 hari. Onset penyakit muncul saat meningokoksemia,
ditandai dengan demam, menggigil, sangat lemah, prostration
dan ruam yang pada awalnya dapat berupa ruam makula, ruam
makulopapular, atau petekie. Pada kasus berat, purpura, koagulasi
intravaskular deseminata, syok, koma, dan kematian (sindrom
Waterhouse-Friederichsen) dapat bermanifestasi dalam beberapa jam,
kecuali mendapat pengobatan yang tepat. Tanda klinis meningitis
meningokok tidak dapat dibedakan dengan meningitis akibat bakteri
patogen lainnya. Komplikasi infeksi meningokok dapat berupa
artritis, miokarditis, perikarditis, endoftalmitis, atau pnemonia.
Di Indonesia belum ada data yang pasti pada anak. Pencegahan
diberikan kepada jemaah haji yang akan berada untuk waktu yang
lama di daerah yang kecil dengan jumlah orang yang sangat banyak
serta padat. Arab Saudia masuk dalam meningitis belt tersebut di atas
yang sering terjadi siklus epidemik meningokokus.
Vaksin tetravalen
· Saat
ini
belum
Rekomendasi
· Vaksin diberikan secara injeksi subkutan dalam
· Vaksin diberikan kepada anak berusia 2 tahun atau lebih.
Pada 90% penerima vaksin yang berusia 2 tahun atau lebih,
vaksin tetravalen ini menghasilkan antibodi dalam waktu 10-14
hari setelah pemberian vaksin.
· Vaksin boleh diberikan bersamaan dengan vaksin lain
asalkan pada tempat yang berbeda
· Vaksin disimpan pada temperatur 2oC-8oC dan tidak boleh
beku.
Indikasi
· Imunisasi meningokok secara rutin pada anak tidak
dianjurkan
· Imunisasi perlu dianjurkan pada anak usia 2 tahun atau
lebih yang mempunyai risiko tinggi.
· Vaksin diindikasikan untuk mengontrol kejadian luar biasa
oleh salah satu serogrup yang dikandung oleh vaksin.
· Imunisasi akan sangat menguntungkan bagi pelancong
yang menuju daerah atau negara yang dikenal sebagai
daerah hiperendemik atau epidemik penyakit
meningokok.
Imunisasi ulang
· Antibodi meningokok pada orang dewasa dapat bertahan
selama 10 tahun, tetapi pada anak khususnya yang menerima
vaksin pada usia di bawah 4 tahun kadar antibodi dengan cepat
menurun dalam kurun waktu 3 tahun pertama.
Daftar Pustaka
1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
2. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo,
WB Saunders, 2004.
3. LK American Academy of Pediatrics. Meningococcal infections. In: Pickering LK,
editor. Red book: 2003 Report of the Committee on Infectious Disease. 26th ed. Elk
Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003. p. 430-6.
4. CDC. Prevention and control of meningococcal disease: recommendations of the
Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep.
2005;54(RR-7):1-21.
5. Rosenstein NE, Perkins BA, Stephens DS, et al. Meningococcal disease. N Engl J Med.
2001;344:1378-88.
6. Maiden MC, Stuart JM; UK Meningococcal Carriage Group. Carriage of serogroup C
meningococci 1 year after meningococcal C conjugate polysaccharide vaccine. Lancet.
2002;359:1829-31.
7. CDC. Update: Guillain-Barré Syndrome among recipients of Menactra meningococcal
conjugate vaccine—United States, October 2005-February 2006. MMWR Morbid Mortal
Wkly Rep. 2006;55: 364-6.
8. CDC.
Notice
to
Epidemiologi
Faktor risiko
Faktor risiko yang berperan untuk terjadinya kanker leher rahim
adalah infeksi HPV menetap yang terjadi sejak usia muda.
Sedangkan ko-faktor yang mempengaruhi infeksi HPV menjadi
kanker leher rahim adalah hubungan seksual yang dimulai pada
usia muda, berganti-ganti pasangan, pemakaian alat kontrasepsi
hormonal, tingginya frekuensi persalinan, imunosupresi/ infeksi
HIV (human immuno deficiency virus), koinfeksi klamidia, koinfeksi
HSV-2 (herpes simplex virus-2), perokok aktif atau pasif, faktor
genetik, status sosial ekonomi rendah (gizi buruk, pendapatan dan
pendidikan rendah, dan kurangnya fasilitias untuk skrining dan
pelayanan kesehatan).
Vaksin HPV
o Penelitian vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen
menunjukkan imunogenisitas yang tinggi.
o Vaksin HPV yang telah beredar di Indonesia dibuat
dengan teknologi rekombinan. Vaksin HPV berpotensi untuk
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan infeksi HPV.
o Terdapat 2 jenis vaksin HPV
o Vaksin bivalen (tipe 16 dan 18, Cervarix@)
o Vaksin quadrivalen (tipe 6, 11, 16 dan 18, Gardasil@),
o Vaksin HPV mempunyai efikasi 96%-100% untuk mencegah
kanker leher rahim yang disebabkan oleh HPV tipe 16/18. Vaksin
HPV telah disahkan oleh Food and Drug Administration (FDA)
dan Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) dan di
Indonesia sudah mendapat izin edar dari Badan POM RI.
Pen gantar
Imunisasi pasif didapat dari penyuntikkan imunoglobulin manusia.
Daya proteksi yang ditimbulkan cepat, sedangkan lamanya proteksi
sangat tergantung dosis, biasanya hanya bertahan beberapa
minggu.
Dikenal 2 tipe imunoglobulin, yaitu yang normal dan spesifik.
Imunoglobulin yang normal berasal dari kumpulan plasma darah
donor yang mengandung antibodi terhadap virus yang banyak
ditemukan di populasi umum. Sedangkan immunoglobulin spesifik
digunakan untuk proteksi seseorang terhadap virus atau bakteri
tertentu seperti CMV, hepatitis B, rabies, tetanus dan varisela /
zoster. Imunoglobulinnya didapatkan dari darah penderita dengan
penyakit tertentu pada saat konvalesens, donor yang barn mendapat
imunisasi atau seseorang yang pada skrening mempunyai titer
antibodi tinggi.
Imunoglobulin (Ig)
Imunoglobulin intravena
Imunoglobulin intra vena (IgIV) dibuat dengan prosedur yang sama
dengan pembuatan Ig, dengan modifikasi tertentu sehingga dapat
diberikan secara intravena. Sediaan IgIV yang direkomendasi, harus
mengandung konsentrasi antibodi minimal terhadap campak, difteri,
polio dan hepatitis B. Konsentrasi antibodi terhadap Streptococcus
pneumoniae bervariasi dari satu pruduk dengan produk yang lain.
Kandungan protein bervariasi tergantung produsernya. Terdapat
dalam sediaan cair dan kering, tidak mengandung thimerosal.
3.
Efek
Antitoksin difteria
Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya
kuman dan sirkulasi, dalam upaya menghentikan bertambah
beratnya proses penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi.
Dosis ditentukan berdasarkan tempat infeksi
- 20.000-40.000 unit diberikan IV, bila infeksi terjadi pada
pharing dan laring dalam waktu 48 jam.
- 40.000-60.000 unit, IV, bila infeksi terjadi pada nasopharing
- 80.000-120.000 unit, IV, pada infeksi lanjut dan sudah tampak
adanya bull-neck.
Uji hipersensitif harus dilakukan sebelum memberikan
antitoksin difteri untuk mencegah timbulnya reaksi alergi/
anafilaksis. Kasus tetanus neonatorum dosis diberikan 500 U,
diberikan secara intramuskular.
Antitoksin Tetanus
Tabel 7.1. Manfaat imunisasi pasif dalam pencegahan dan pengobatan infeksi
Jenis clostridium
lain: Terbukti Terbukti
· C.botulinum Tidak terbukti Tidak Mungkin
· C.difficile bermanfaat
I
n · · Tidak
f
e · Tidak
k
si Ti r
S m
t da an
Penyakit Tidak terbukti Tidak Mungkin
streptococcal bermanfaat
invasif
Neonatus risiko Mungkin Tidak Mungkin
tinggi bermanfaat bermanfaat
Pasien ICU Mungkin Tidak Tidak
dengan syok bermanfaat terbukti
dan trauma
Infeksi
Pseudomonas
Tidak terbukti Tidak
· Pasien kistik Tidak
fibrosis bermanfaat
Tidak terbukti Tidak Tidak
· Luka bakar bermanfaat
Infeksi virus Tidak
bermanfaat
Hepatitis A Terbukti Tidak
bermanfaat
a k fa
p at
ter
h
Tick borne
Mungkin Tidak
encephalitis bermanfaat bermanfaat
Vaccinia Terbukti Terbukti
Keller MA.,dan Stiehm ER. Clin.Microbiol.Rev. 2000.
Imunoglobulin hepatitis A
Imunoglobulin hepatitis A diberikan dalam 2 minggu setelah
ada paparan virus hepatitis A, secara im, dan perlindungan yang
diperoleh sebesar 85%. Karena tidak mengandung timerosal, dapat
diberikan pada wanita hamil dan bayi.
Imunoglobulin hepatitis B
Imunoglobulin Hepatitis B dibentuk dari donor yang memiliki
titer tinggi anti-HBs dan bebas terhadap antibodi HIV dan virus
Hepatitis C (hyperimmunized donors). Titer tinggi yang dimiliki
adalah 1:500.000, sangat tinggi disbanding Ig standar yang hanya
mengandung antibodi terhadap hepatitis B 1:2 sampai 1:64.
Pemberian Ig hepatitis B diindikasikan pada bayi prematur untuk
memberikan perlindungan aktif terutama pada ibu dengan HBsAg
positif, yang berisiko tertular secara vertikal melalui plasenta.
Disamping itu juga untuk individu yang berisiko tinggi tertular
hepatitis B secara horizontal misalnya pasien kontak seksual dengan
pasien hepatitis B. Rekomendasi pemberian Ig hepatitis B
Pada masa perinatal
- Berat lahir kurang dari 2000 gram
Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 ml, secara
im pada paha sisi lain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama.
Vaksin hepatitis B pertama yang diberikan merupakan dosis
tambahan, tidak termasuk 3 dosis yang seharusnya diberikan.
Evaluasi HBsAg dan antibodi anti HBsAg 3 bulan setelah jadwal
vaksinasi lengkap. Bila tidak terbentuk antibodi, lakukan ulangan
sesuai prosedur pasien yang tidak responsif pada vaksinasi
hepatitis B.
- Berat lahir lebih dari 2000 gram,
Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 mi, secara
IM, pada paha sisi lain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama.
Vaksin hepatitis B pertama yang diberikan merupakan bagian 3
dosis yang harus diberikan serial sampai umur 6 bulan.
Imunoglobulin rabies
respon
vaksin
rabies;
oleh sebab itu dosis yang direkomendasikan tidak boleh berlebih.
Vaksin tidak boleh disuntikkan dan diberikan dalam satu alat suntik
yang sama. Reaksi hipersensitifitas terhadap IgR jarang terjadi.
Antitoksin difteri
Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya
kuman dan sirkulasi, dalam upaya menghentikan bertambah
beratnya proses penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi.
Dosis ditentukan berdasarkan tempat infeksi
- 20.000-40.000 unit diberikan iv, bila infeksi terjadi pada
pharyng dan laryng dalam waktu 48 jam.
- 40.000-60.000 unit, iv, bila infeksi terjadi pada nasopharyng
- 80.000-120.000 unit, iv, pada infeksi lanjut dan sudah tampak
adanya bull-neck.
Antitoksin tetanus
Jika TIG tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal dari
serum binatang sebanyak 1.500 – 5.000 IU, pemberian harus didahului
dengan tes sensitifitas. Dosis tunggal antitoksin tetanus berkisar
antara 50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanus neonatorum
diberikan dengan dosis 40. 000 U, dengan cara pemberiannya adalah:
20.000 U dari antitioksin dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl
0,9%, diberikan IV dalam 35-45 menit. Setengah dosis yang tersisa
(20.000 U) diberikan secara im pada paha antero lateral.
Antitoksin botulinum
Reaksi
Alergi sudah meninggalkan cara ini dan lebih memilih Scratch tes
atau tes intradermal.
Apabila scratch test atau tes mata negatif, tes kulit dan tes mata
dapat diindikasikan sensitif. Tetapi bila hasilnya negatif tidak
menjamin bebas alergi. Apabila riwayat alergi tidak ada dan
sensitifitas keduanya negatif, dosis serum dapat diberikan secara
Intramuskular. Pemberian iv dapat dilakukan bila dosis antibodi
yang dibutuhkan dapat mencapai kadar lebih tinggi secara cepat.
Pada keadaan demikian dosis awal 0.5 ml yang diencerkan dengan
10 ml salin atau glukosa 5% diberikan secara intravena sepelan
mungkin dan ditunggu 30 menit untuk melihat reaksinya. Bila
reaksi tidak terjadi, sisa serum diencerkan 1:20 diberikan kembali
IV dengan kecepatan tidak lebih dari 1 ml per menit
Bila ada riwayat alergi, harus diputuskan apakah serum hewan
akan diberikan apa tidak. Apabila pemberian harus tetap dilakukan
dapat digunakan cara desensitisasi, tetapi sediakan epinefrin 1:1000
siap pakai didalam semprit, untuk tindakan antisipasi terhadap
terjadinya reaksi anafilaksis bila diperlukan. Cara desensitisasi
sebagai berikut:
1. 0.05 ml serum diencerkan 1:20 diberikan secara subkutan
2. 0.1 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan
3. 0.3 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan
4. 0.1 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan
5. 0.2 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan
6. 0.5 ml serum tidak diencerkan diberikan secara intra muskular
7. sisanya serum tidak diencerkan diberikan secara intra muskular
2) Seru
m
sickness. Gejala timbul mulai hari ke 7 sampai ke 10 (bisa sampai 3
minggu), setelah terpapar protein asing, yaitu demam, urtikaria,
ras makulopapuler, (90% kasus), arthritis atau artralgia, dan
limfadenopati. Reaksi edem lokal terjadi di tempat suntikan,
sebelum gejala sistemik muncul. Angioedema, glomerulonefritis,
sindromGuillain-Barré, neuritis perifer, dan miokarditis juga dapat
terjadi. Namun demikian serum sickness bisa timbul ringan dan
hilang spontan dalam beberapa hari sampai 2 minggu. Penderita
yang pernah mendapat injeksi serum ulangan sebelumnya, berisiko
terjadi serum sickness lebih cepat (terjadi dalam beberapa jam
sampai 3 hari). Antihistamin sangat membantu mengatasi gatal,
edem, dan urtikaria. Demam, rasa lemah, artralgia dan arthritis
dapat diatasi dengan pemberian asetosal atau anti inflamasi non
steroid lainnya. Bila tidak berhasil dapat diberikan kortikosteroid
(prednison atau predisolon) dengan dosis 1,5 sampai 2mg/kg per
hari, diberikan 5 sampai 7 hari.
Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. Active and passieve immunization. Dalam: Pickering
LK., penyunting. Red Book 2006, Report Committee on Infection Diseases. Edisi ke 27.
Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics. 2000. h 54-66.
2. Keller MA., danStiehmER. Passive Immunity in Prevention and Treatment of Infectious
Diseases. Vol.13-No.4, Clin.Microbiol.Rev. Oct. 2000. h. 602-614.
3. UNICEF, WHO. Immunization Summary: the 2007 edition. Geneva: WHO. 2007.
4. Grabenstein, JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis: Wolters
Kluwer Health, Inc. 2006.
Pada saat ini makin banyak jenis vaksin baru dan pembuatan
vaksin yang telah diperbaharui dengan teknologi canggih berada
di pasaran. Diperkenalkannya vaksin baru di Indonesia, berakibat
pada penataan jadwal imunisasi yang sudah cukup rumit. Dalam
jadwal imunisasi rekomendasi IDAI edisi tahun 1999, seorang anak
sampai umur 5 tahun akan mendapat 13 kali suntikan vaksinasi yang
terpisah. Maka, untuk mengurangi jumlah suntikan telah dicoba
memberikan beberapa jenis vaksin secara bersama-sama pada satu
saat. Pemikiran tersebut menjadi dasar pembuatan vaksin kombinasi
(vaksin kombo, combined vaccine), yang merupakan salah satu
alternatif cara untuk mengurangi jumlah suntikan dan kunjungan
ke fasilitas kesehatan. Seperti telah diketahui bahwa tujuan akhir
dari vaksinasi adalah eradikasi penyakit, maka vaksin kombinasi
di pasaran berfungsi sebagai pelengkap vaksin monovalen dan
bukan sebaliknya.
Vaksin Kombinasi
Sri Rezeki S.Hadinegoro
Daya Proteksi
Daya proteksi vaksin dinilai dari serokonversi kadar antibodi sebelum
dan setelah diberikan vaksinasi. Untuk mendapatkan kepastian
mengenai daya proteksi ini perlu dilakukan uji klinis secara random
dan tersamar. Laporan beberapa penelitian memberikan hasil yang
bervariasi. Beberapa hasil uji klinis pada vaksin kombinasi di Amerika
dan Eropa, mendapatkan titer antibodi salah satu antigen (atau
komponen) dari vaksin kombinasi lebih rendah apabila dibandingkan
dengan vaksin terpisah. Walaupun demikian kadar antibodi masih
berada di atas ambang pencegahan (protective level). Misalnya pada
kombinasi DTwP/HepB titer antiHBsAg lebih rendah dibandingkan
vaksin monovalen walaupun titernya di atas 10 IU/ml (ambang
pencegahan dicapai bila titer anti HbsAg >10 IU/ml). Titer antibodi
anti PRP dari Hib pada vaksin kombinasi DTaP/Hib dan DTap/Hib/
IPV dijumpai lebih rendah dari vaksin Hib yang diberikan terpisah.
Hal ini juga tampak pada vaksin kombinasi MMR/V, kadar anti bodi
anti varisella lebih rendah dibandingkan vaksin varisela terpisah.
Maka apabila mempergunakan vaksin kombinasi, tidak boleh lupa
memberikan vaksinasi ulangang (booster). Dilaporkan kadar antibodi
Hib meningkat sama dengan vaksin monovalen setelah diberikan
booster Hib pada umur 18 bulan.
Imunogenitas
Reaktogenitas
Badan POM DepKes RI memberikan rekomendasi untuk peredaran
vaksin kombinasi di Indonesia berdasarkan studi imunogenitas dan
keamanan (reaktogenitas) vaksin kombinasi tersebut, dibandingkan
dengan vaksin monovalen atau kombinasi lain yang telah beredar
sebelumnya. Dari laporan beberapa uji kilins didapatkan bahwa
reaktogeni sitas yang timbul lebih banyak disebabkan oleh ajuvan
dari pada antigen yang berada di dalamnya. Kejadian ikutan pasca
imunisasi baik pada vaksin kombinasi DTwP/hepB tidak berbeda
dengan pemberian DTwP dan hepB terpisah. Pada pemberian
Angka Cakupan
Studi di Thailand melaporkan mengenai angka cakupan (coverage
rate) vaksin kombinasi DTwP/hepB dibandingkan dengan DTwP
dan hepB terpisah. Pada dosis ketiga didapatkan daya cakupan
yang lebih tinggi pada vaksin kombinasi (94%) daripada pemberian
terpisah (84%). Sedangkan pengalaman di Spanyol menggunakan
vaksin kombinasi dapat mengurangi total biaya 16% selama tahun
1998/1999. Kepraktisan pemberian vaksin yaitu pengurangan
jumlah suntikan atau jumlah kunjungan sehingga menurunkan
biaya dapat menjadi sebab meningkatkan angka cakupan.
Bayi dan anak mungkin mendapat dosis ekstra dari vaksin atau
antigen padahal mereka telah imun (telah divaksinasi).
a. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi dasar kedua dan
ketiga sebenarmya telah terlindung secara imunologik terhadap
penyakit yang bersangkutan. Namun oleh karena pengukuran
Keterangan: DTwP = DTP whole cell , DTaP = DTP a-celluler, Hep-B = hepatitis B, Hib =
Haemophilus influenzae tipe b, IPV = inactived polio vaccine, Hep-A = hepatitis A,
Pneumo = pneumokokus, Men = meningitis
Daftar Pustaka
Pen gantar
Kelompok berisiko dibagi menjadi bayi yang berisiko dan ibu
yang berisiko. Pada bayi/anak yang mempunyai risiko tinggi
untuk mendapat infeksi atau perhatian khusus untuk pemberian
imunisasi berikut, diperlukan panduan. Kelompok ini termasuk
bayi/anak yang menderita defisiensi imun seperti bayi prematur,
anak dengan penyakit keganasan, anak yang mendapatkan
pengobatan imunosupresi, radioterapi, anak yang menderita infeksi
HIV, transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi; atau
mereka yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius
setelah imunisasi.
Kelompok ibu yang berisiko dapat menularkan infeksi
yang diderita terhadap bayi yang dilahirkan, perlu mendapat
pertimbangan saat bayi akan diimunisasi. Perhatian khusus
diperlukan pada ibu yang menderita hepatitis B, tuberkulosis, dan
HIV.
Pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat
infeksi, harus diimunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya pada
bayi dan anak yang menderita imunokompromais, transplantasi
sumsum tulang/organ dan splenektomi serta bayi prematur,
imunisasi harus diatur.
Pasien imunokompromais
Penekanan respons imun (imunokompromais) dapat terjadi pada
penyakit defisiensi imun kongenital (primer) dan defisiensi imun
didapat (sekunder) yaitu pemakaian kortikosteroid sistemik dosis
tinggi dan lama, penyakit keganasan seperti leukemia, limfoma,
pasien dengan pengobatan alkilating agents, antimetabolik, radioterapi,
bayi/anak menderita HIV dan transplantasi sumsum tulang.
Pengobatan kortikosteroid
· Pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid (1) topikal atau
obat semprot hidung, paru, salep kulit, salep mata, injeksi lokal
intra artikular, (2) kortikosteroid dosis rendah yang diberikan
setiap hari atau selang sehari, dapat diberikan imunisasi dengan
vaksin hidup.
· Sedangkan pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik
dosis tinggi setiap hari atau selang sehari dan lama pemberian
kurang dari 14 hari, dapat diberikan vaksinasi dengan vaksin
dan efek imunisasi tidak ada atau kurang; namun apabila diberikan
dini, vaksin hidup akan mengaktifkan sistim imun yang dapat
meningkatkan replikasi virus HIV sehingga memperberat penyakit
HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang
dilemahkan atau yang mati. Vaksin pneumokok konjugasi (PCV7)
diberikan pada anak dengan HIV (+). Pada umur kurang dari 23
bulan mendapatkan imunisasi PCV7 3 kali dengan interval 2 bulan,
sedangkan anak umur 24-59 bulan karena mempunyai risiko tinggi
maka diberikan imunisasi dengan PCV7 2 kali dengan interval
2 bulan dan dilanjutkan dengan imunisasi ke 3 memakai vaksin
pnemumokok PCV23 (Tabel 9.1)
Penyakit Hodgkin
• Pasien penyakit Hodgkin yang berumurlebih dari24bulandanorang
dewasa (close contact) dianjurkan mendapat imunisasi pneumokok
dan Hib, karena penderita ini berisiko terhadap kedua penyakit
tersebut. Respons antibodi paling baik bila imunisasi diberikan 10-
kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada bayi prematur respons
imun kurang bila dibandingkan bayi matur terhadap imunisasi
hepatitis B, sehingga pemberian vaksin hepatitis B dapat dilakukan
dengan 2 cara sebagai berikut:
· Ibu positif HbsAg, berat lahir >2000 g: harus diberikan
hepatitis B bersamaan dengan HBIG pada 2 tempat yang
berlainan dalam waktu 12 jam. Dosis ke-2 diberikan 1 bulan
kemudian, dosis ke-3 dan ke-4 diberikan umur 6 dan 12 bulan.
Periksa titer anti-HBs dan HbsAg pada umur 9-15 bulan. Bila
HBSAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3 dosis
dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HbsAg dan
anti-HBs.
· Ibu positif HbsAg, berat lahir <2000 g: harus diberikan vaksin
Hepatitis B + HBIg pada 2 tempat suntikan yang berlainan
dalam waktu 12 jam. Imunisasi vaksin hepatitis B ke-2
diberikan umur 1 bulan dan berat badan mencapai 2000 g,
selanjutnya umur 2-3 bulan dan 6 bulan umur kronologis.
Periksa anti-HBs dan HbsAg pada umur 9-15 bulan. Bila
HbsAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3 dosis
dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HbsAg dan
anti-HBs.
· Ibu negatif HbsAg, berat lahir >2000 g: pemberian imunisasi
hepatitis B dosis pertama saat lahir, selanjutnya umur 1 dan
6 bulan umur kronologis.
· Ibu HbsAg negatif, berat lahir <2000 g: imunisasi pertama
saat berat badan telah mencapai 2000 g atau secara klinis
keadaannya stabil dalam 30 hari umur kronologis atau pada
saat keluar dari RS sebelum 30 hari.
· umur kronologis. Imunisasi hepatitis B dalam 3 dosis pada
umur 1-2 bulan, 2-4 bulan dan 6-18 bulan umur kronologis.
· Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir >2000 g:
diberikan vaksin hepatitis B dalam 12 jam. Periksa HBsAg
ibu segera. Bila hasil positif ditambahkan HBIg dalam waktu
7 hari.
Heptitis B 14-160 hari Perlu aktif dan pasif segera dlm 12 jam
Tetanus 24 jam - Perlu aktif dan pasif
beberapa bulan
Hepatitis A 15-50 hari Tidak perlu
Daftar Pustaka
1. Atkinson W, Walfe C, Hamiston S, dkk. general recommendations on immunization.
Dalam: Atkinson W, penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable
diseases; edisi ke-6. Atlanta, 2000; 18-20.
2. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, editors. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders;
2004.
3. NHMRC (National Health and Medical Research Council). The Australian
Immunization Handbook, edisi ke-9. 2008.
4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.
Daftar Pustaka
Pen gantar
Reaksi lokal maupun sistemik yang tidak diinginkan dapat terjadi
pasca imunisasi. Sebagian besar hanya ringan dan bisa hilang sendiri.
Reaksi yang berat dan tidak terduga bisa terjadi meskipun jarang.
Umumnya reaksi terjadi segera setelah dilakukan vaksinasi, namun
bisa juga reaksi tersebut muncul kemudian. Sebagai pelaksana kita
harus mengetahui berapa besar insidensi dan bentuk kejadian yang
tidak diharapkan dari suatu imunisasi. Pasien dan keluarga harus
diberi informasi mengenai risiko dan keuntungan vaksinasi dan
tentunya tentang penyakit yang akan dicegah. Persetujuan tertulis
dari pasien atau keluarga tidak diperlukan, namun mereka selain
diberi informasi juga diberi kesempatan untuk bertanya. Perlu
dicatat di kartu imunisasi bahwa hal ini telah dilaksanakan.
Pasien dan keluarganya harus dinasihati agar melaporkan kepada
tempat imunisasi diberikan bila terjadi reaksi pasca imunisasi yang
serius, dan petugas harus melaporkan kejadian pasca imunisasi yang
serius ini ke instansi yang berwenang di daerah tersebut dengan
mengisi formulir KIPI yang telah tersedia.
Pelaporan kasus KIPI sangat penting dan harus selalu
dibuat dan dikirimkan kepada Komite Daerah (Komda) PP
KIPI yang berkedudukan di tiap provinsi. Dengan laporan yang
berkesinambungan, data KIPI Indonesia dapat dibuat dengan cermat
oleh Komite Nasional (Komnas) PP KIPI.
Definisi KIPI
Untuk kepentingan operasional maka Komnas PP KIPI menentukan
bahwa kejadian ikutan pasca imunisasi adalah sebagai reaksi
simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi
(KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah
kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa
efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek
farmakologis, atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan,
atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.
Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai
masa 42 hari (artritis kronik pasca vaksinasi rubela), atau bahkan
sampai 6 bulan (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien
imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta
Epidemiologi KIPI
Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin
dalamjumlahbesar. Penelitian efikasi dankeamananvaksin dihasilkan
melalui fase uji klinis yang lazim, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Uji klinis
Klasifikasi KIPI
Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP KIPI )
mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi,
1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999 )
untuk petugas kesehatan di lapangan.
b. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik
baik langsung maupun tidak langsung dan harus dicatat sebagai
reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya nyeri sakit, bengkak
dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan
tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkop.
Reaksi ini tidak berhubungan dengan kandungan yang terdapat
pada vaksin, sering terjadi pada vaksinasi masal,
· Syncope/fainting
– Sering kali pada anak > 5 tahun ,
– Terjadi beberapa menit post imunisasi,
– Tidak perlu penanganan khusus.
– Hindari stres saat anak menunggu,
– Hindari trauma akibat jatuh/posisi sebaiknya duduk.
· Hiperventilasi akibat ketakutan
– Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell,
pingsan.
– Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (pasien
tersebut perlu diperiksa)
· Beberapa anak takut jarum, gemetar, dan histeria.
· Penting penjelasan dan penenangan
Pencegahan reaksi KIPI Reaksi suntikan:
– Teknik penyuntikkan yang benar
– Suasana tempat penyuntikan yang tenang
– Atasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar
dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi
gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko
kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan
tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai
indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai
tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan
interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan
dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
1. Reaksi lokal
+ Rasa nyeri di tempat suntikan.
+ Bengkak-kemerahan di tempat suntikan sekitar 10 %
+ Bengkak pada suntikan DPT dan tetanus sekitar 50%
+ BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi
dan sembuh setelah beberapa bulan.
2. Reaksi sistemik
+ Demam pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga
reaksi lain seperti iritabel, malaise, gejala sistemik.
+ MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus
vaksin. Terjadi demam dan atau ruam dan konjungtivitis pada
5%-15% dan lebih ringan dibandingkan infeksi campak tetapi
berat pada kasus imunodefisiensi.
+ Pada mumps terjadi reaksi vaksin pembengkaan kelenjar parotis,
rubela terjadi rasa nyeri sendi 15% dan pembengkakan limfe.
+ OPV kurang dari 1% diare, pusing dan nyeri otot.
3. Reaksi vaksin berat
· Kejang
· Trombositopenia
· Hypotonic hyporesponsive episode/HHE
· Persistent inconsolable screaming bersifat self-imiting dan tidak
merupakan masalah jangka panjang
· Anafilaksis, potential menjadi fatal tetapi dapat disembuhan
tanpa dampak jangka panjang
· Ensefalopati akibat imunisasi campak atau DTP
2. Klasifikasi kausalitas
328
Pedoman Imunisasi Pedoman
di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 380Ketiga Tahun 2008
2008 Imunisasi di Indonesia Edisi
Arwin P. Akib, Asri Purwanti
Tabel 10.2. Gejala klinis menurut jenis vaksin dan saat timbulnya KIPI
Angka kejadian
KIPI yang paling serius pada anak adalah reaksi anaflaktoid.
Angka kejadian reaksi anafilaktoid pada DTP diperkirakan 2
dalam 100.000 dosis , tetapi yang benar-benar reaksi anafilaktik
hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar
dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera
atau lambat. Episode hipotonik-hiporesponsif juga tidak jarang
terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi.
Kasus KIPI polio berat dapat terjadi pada 1 per 2,4 juta dosis
vaksin (CDC Vaccine Information Statement 2000), sedangkan kasus
KIPI hepatitis B pada anak dapat berupa demam ringan sampai
sedang terjadi 1/14 dosis vaksin, dan pada dewasa 1/100 dosis
(CDC Vaccine Information Statement 2000). Kasus KIPI campak
berupa demam terjadi pada 1/6 dosis, ruam kulit ringan 1/20
dosis, kejang yang disebabkan demam 1/3000 dosis, dan reaksi
alergi serius 1/1.000.000 dosis.
Keterangan :
(a) Reaksi (kecuali syok anafilaktik) tidak terjadi bila anak sudah
kebal (± 90 % anak yang menerima dosis kedua) anak umur di
atas 6 tahun jarang mengalami kejang demam.
(b) Risiko VAPP lebih tinggi pada penerima dosis pertama (1 per
1,4 - 3,4 juta dosis), sedangkan risiko pada penerima dosis vaksin
selanjutnya 1 per 6,7 juta dosis.
(c) Kejang diawali dengan demam, frekuensi tergantung pada
riwayat kejang sebelumnya, riwayat dalam keluarga serta
umur.
Daftar Pustaka
Pelapor KIPI
Pelapor KIPI adalah
· Petugas kesehatan yang melakukan pelayanan imunisasi.
· Petugas kesehatan yang melakukan pengobatan di pelayanan
kesehatan, rumah sakit serta sarana pelayanan kesehatan
lain.
· Peneliti yang melakukan studi klinis atau penelitian
lapangan.
Hal-hal yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan
· Apabila orang tua membawa anak sakit yang baru
diimunisasi, petugas kesehatan harus dapat mengenal KIPI
dan menentukan apakah perlu dilaporkan dan perlu tindakan
lebih lanjut.
Pelapo ran
· Laporan dibuat dengan mengisi formulir laporan yang
disediakan.
· Menyerahkannya ke instansi kesehatan tingkat
Kabupaten/ Daerah Tingkat II, dengan tembusan ke Sekretariat
KOMDA PP KIPI yang berkedudukan di provinsi.
· Petugas kesehatan di tingkat II harus merekapitulasi
kejadian serta menetapkan kasus tersebut termasuk KIPI atau
tidak, serta meneruskannya ke Instansi Kesehatan Propinsi /
Daerah Tingkat I sampai ke Subdit Imunisasi Dirjen PPM & PLP
Depkes dengan tembusan kepada KOMNAS PP KIPI.
· Dalam hal mendesak, pelaporan dapat disampaikan melalui
tele-
pon atau faxsimili, formulir pelaporan harus diisi kemudian.
· Data demografi
· Riwayat imunisasi
· Pemeriksaan penunjang yang berhubungan
2. Data pemberian vaksin
· Nomor batch-vaccine
· Masa kadaluwarsa
· Nama pabrik pembuat vaksin
· Kapan dan dari mana vaksin dikirim
· Pemeriksaan penunjang tentang vaksin, apabila ada atau
berhubungan
3. Data yang berhubungan dengan program
· Perlakuan umum terhadap rantai dingin vaksin,
+ Penyimpanan vaksin, membeku? Kadaluwarsa?
+ Perlakuan terhadap vaksin, misalnya mengocok vaksin
sebelum disuntikkan
+ Perlakuan setelah vaksinasi, misal pembuangan vaksin
setelah selesai pelaksanaan imunisasi?
· Perlakuan mencampur serta melakukan imunisasi
+ Apakah pelarut yang dipakai sudah benar?
+ Apakah pelarut steril?
+ Apakah dosis sudah benar?
+ Apakah vaksin diberikan dengan cara dan tempat yang
benar?
· Ketersediaan jarum dan semprit
+ Apakah setiap semprit steril digunakan oleh satu
orang?
+ Perlakuan sterilisasi peralatan apakah telah dilakukan?
4. Data sasaran lain
· Jumlahpasien yang menerima imunisasi denganvaksinnomor
batch sama atau pada masa yang sama atau keduanya, dan
berapa jumlah pasien yang sakit serta bagaimana gejalanya.
· Jumlah sasaran yang diimunisasi dengan nomer batch lain
(dari produsen sama atau berlainan) atau masyarakat yang
tidak diimunisasi tetapi terkena penyakit dengan gejala yang
sama.
Waktu pelaporan
Cara pelaporan
· Semua kolom formulir yang dapat diisi, harus dilengkapi.
Apabila perlu, jangan ragu untuk menuliskan laporan tambahan
pada formulir tersebut.
· Laporan bulanan harus dibuat, sekalipun tidak ada
kasus (tuliskan jumlah kasus 0, zero report).
· Petugas kesehatan di tingkat II/kabupaten harus
mengidentifikasi masalah dan menilai, sehingga dapat
terlihat,
Apakah kejadian ini berlangsung di Puskesmas/tempat yang
sama setiap bulan.
Apakah beberapa Puskesmas/tempat yang berbeda
melaporkan hal yang sama.
Bagaimana perbandingan laporan yang dibuat oleh
Puskemas/tempat yang berbeda dilaporkan.
Tindakan selanjutnya
Pelacakan harus dilakukan segera setelah laporan diserahkan tanpa
ditunda. Pelacakan dimulai oleh petugas kesehatan yang mendeteksi
KIPI, atau oleh supervisor yang melihat pola tertentu di daerah
binaannya. Di lain fihak, dalam beberapa keadaan untuk KIPI
tertentu tidak perlu dilakukan tindak lanjut, seperti penyakit yang
tidak berhubungan dengan imunisasi, seperti pneumonia setelah
penyuntikan DPT. Meskipun demikian apabila orang tua pasien
atau fihak keluarga menganggap kejadian tersebut berhubungan
dengan imunisasi, berikan kesempatan kepada mereka untuk
mendiskusikan masalah tersebut dengan petugas kesehatan.
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Petunjuk teknis kejadian ikutan
pasca imunisasi. Edisi ke-4. Jakarta, Subdit Imunisasi, Ditjen PPM & PLP 2004.
2. American Academy of Pediatrics. Vaccine safety and contra indication: reporting of
adverse events. Dalam: PickeringLK., penyunting. Red Book 2000, Report Committee
on Infectious Diseases. Edisi ke-25. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics
2000.h.30-1.
3. Plotkin SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccine safety. Dalam: Vaccine. Edisi ke-4.
Philadelphia: W.B. Saunders 2004.
4. National Health and Medical Research Council. Reporting adverse reactions. Dalam:
Watson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Canberra:
NHMRC 2008.
Pen gantar
Tabel 11.1. Risiko morbiditas dan mortalitas akibat penyakit dan akibat
vaksin
Penyakit Vaksin
Difteria DTaP
Meninggal 1 : 20 Menangis terus lalu pulih
kembali
Tetanus Kejang/renjatan lalu
Meninggal 2: 10 pulih kembali
Ensefalopati akut
Pertussis Kematian
Pneumonia 1:8
Ensefalitis 1 : 20
Kematian 1 : 200
1: 1.000.000
1:1.000
1:14.000
0 - 1 0 . 5:
1.000.000
Tidak
terbukti
Daftar Pustaka
5. Heron J, Golding J, the ALSPAC Study Team. Thimerosal Exposure in Infants and
Developmental Disorders: A Prospective Cohort Study in the United Kingdom Does
Not Support a Causal Association. Pediatrics 2004;114:577–83.
6. Anne-Marie Plesner, Peter H. Andersen and Preben B. Mortensen Kreesten M.
Madsen, Marlene B. Lauritsen, Carsten B. Pedersen, Poul Thorsen, Thimerosal and the
Occurrence of Autism: Negative Ecological Evidence From Danish Population-Based
Data. Pediatrics 2003;112;604-6.
7. Joint statement of the American Academy of Pediatrics (AAP) and the United States
Public Health Services (USPHS). Pediatrics 1999: 104; 568-9.
8. Schmitt HJ, Knuf M, Ortiz E, Sänger R, Uwamwezi MC, Kaufbold A. Primary
vaccination of infants with diphtheria-tetanus-acellular pertussishepatitis B virus-
inactivated polio virus and Haemophilus influenzae type b vaccines given as either
separate or mixed injections. J Pediatr 2000;137:304-12.
9. David Elliman. Safety and efficacy of combination vaccines. Combinations reduce
distress and are efficacious and safe. Editorial. BMJ 2003;326:995–6.
10. WHO. Outbreak of polio in Indonesia. Updated 10 April 2006. Diunduh dari http://
www.searo.who.int/vaccine/linkfiles/polioupdate.pdf tanggal 13 Maret 2007.
ini.
4.
Adanya pemicu
Autisme
Wakefield dan Montgomerry telah mengajukan laporan penelitian
yang menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara vaksin
MMR dan kejadian autisme pada anak. Banyak hipotesis yang
diajukan, hipotesis mekanisme imunologik, biologik, opioid excess,
autoimmune, virus campak dalam usus. Kebanyakan hipotesis yang
diajukan tidak menggunakan paradigma epidemiologik, tetapi
paradigma imunologi atau biomolekuler dan belum memberikan
bukti yang sahih. Penelitian epidemiologik menunjukkan tidak jelas
ada hubungan antara suntikan MMR dengan autism. Penelitian
dan pengamatan epidemiologik tidak dapat menyokong adanya
hubungan sebab-akibat antara ASD (autistic syndrome disorder) dan
MMR, pengamatan juga tidak mendapatkan dukungan hubungan
temporal antara awitan ASD dan pemberian suntikan MMR., tidak
memberikan dukungan hubungan suntikan MMR dengan kejadian
regresi, tidak jelas hubungan patogenetik yang berbasis bukti antara
suntikan MMR dan kejadian ASD. Adanya genome virus campak
belum disertai bukti bahwa virus itu berasal dari vaksin campak
monovalen atau MMR atau virus campak liar.
IBD (inflammatory bowel disease) akibat infeksi persisten bisa
terjadi secara alamiah, pada anak dengan kelainan genetic, seperti
adanya kelainan kromosom 7. Jenis bahan apa saja yang lolos
lewat usus dan menyebabkan gangguan perilaku, belum dapat
ditentukan. Hubungan yang diyakini ada baru sebatas gagasan
hipotetik yang perlu bukti lebih lanjut. Berapa jumlah bahan yang
Reaksi neurologik
Reaksi imunologik
Autoimun
Diabetes
Daftar Pustaka
3. Wakefield, A.J. Montgomery SM, Measles, Mumps, rubella vaccine: through a glass,
darkly, Adverse Drug React: 2000; 19:1-19.
4. Dales L, Hammer SJ, Smith NJ. Time trends in autism and MMR immunization coverage
in California JAMA;285(9):1183-5.
5. Black,C, Kyae JA, Jick H, Relation of childhood gastrointestinal disorder to autism:
nested case control study using data from the UK general practice Research Database
BMJ 2002;325:419-421.
6. Madsen KM, HVIID A, Vestergaar M, schendel D, et al, A population based study of
measles, Mumps, and Rubella vaccination and auitism N Engl J Med;347:1477-1482
7. Campion EW 2002 Suspicion about the safety of vaccine N Engl j Med
347;19:1474-6.
8. WHO 2001, Statement on the use of MMR vaccine,24 January, 2001
9. Cave S dan Mitchell D : Apa yang orang tua harus tahu tentang vaksinasi pada anak.
Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Pen gantar
Jadwal imunisasi
Mengapa jadwal imunisasi di beberapa praktek dokter, klinik
atau rumah sakit berbeda-beda ?
Jika umur bayi atau anak sudah lebih dari umur yang dianjurkan dalam
jadwal imunisasi, apakah boleh divaksin sesuai jadwal tersebut ?
Polio
Setelah pemberian vaksin polio tetes, apakah dapat timbul panas,
mencret ?
Berapa lama jarak antara pemberian ASI atau susu formula dengan
pemberian vaksin polio oral ?
ASI dapat diberikan segera setelah imunisasi polio oral pada umur
lebih dari 1 minggu. Hanya di dalam kolostrum terdapat antibodi
dengan titer tinggi yang dapat mengikat vaksin polio oral. Susu
formula boleh segera diberikan setelah vaksinasi polio oral.
Vaksin polio yang diteteskan dimulut adalah virus polio vaksin yang
masih hidup tetapi dilemahkan, sehingga masih bisa berkembang biak
di usus, dan dapat merangsang usus dan darah untuk membentuk
zat kekebalan (antibodi) terhadap virus polio liar. Artinya, bila ada
virus polio liar masukke dalamusus bayi/anaktersebut, maka virus
polio liar tersebut akan diikat dan dimatikan oleh zat kekebalan
tersebut yang dibentuk di usus dan di dalam darah, sehingga tidak
dapat berkembang biak, tidak membahayakan bayi/anak tersebut,
dan tidak dapat menyebar ke anak-anak sekitarnya.
Vaksin polio suntik, isinya virus polio mati yang disuntikan
di otot lengan atau paha, sehingga tidak dapat berkembang biak
di usus dan tidak menimbulkan kekebalan diusus, namun dapat
menimbulkan kekebalan di dalam darah. Oleh karena itu, bila ada
virus polio liar yang masuk ke dalam usus bayi/anak yang disuntik
vaksin polio, maka virus polio liar masih bisa berkembang biak di
ususnya (karena tidak ada kekebalan di dalam ususnya) tetapi ia
tidak sakit, karena ada kekebalan di dalam darahnya. Tetapi karena
virus polio liar masih bisa berkembang biak diususnya, maka bisa
menyebar melalui tinja ke anak-anak lain, dan dapat menyebabkan
kelumpuhan pada anak-anak disekitarnya. Oleh karena itu, di negara
atau wilayah yang masih ada transmisi polio liar semua bayi dan anak
balita harus diberi virus polio yang diteteskan ke dalam mulut, agar
ususnya mampu mematikan virus polio liar, sehingga menghentikan
proses penyebaran. Bila selama 5 tahun atau lebih tidak ditemukan
lagi virus polio liar, maka secara bertahap dapat menggunakan virus
polio suntik.
Hepatitis B
Setelah vaksinasi Hepatitis B apakakah bisa timbul demam atau
bengkak ?
BCG
Setelah suntikan vaksin BCG, mengapa sebulan kemudian timbul
bisul yang menjadi koreng ? Apakah itu akibat salah suntik ?
Apa beda vaksin DTP dan DTaP ? Mengapa vaksin DPaT jauh
lebih mahal ?
Setelah pemberian vaksin DTP , apa yang dapat terjadi pada bayi ?
Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DTP antara lain
demam tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri
dan pembengkakan, yang akan hilang dalam 2 hari. Orangtua/
pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak
(ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas
suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan
parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal
6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air
hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau jika
orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.
itu
dapat
terjadi
gejala-
gejala
lain
yang
timbul 5 - 12 hari setelah penyuntikan selama kurang dari 48 jam
yaitu demam tidak tinggi, erupsi kulit kemerahan halus/tipis yang tidak
menular, pilek. Pembengkakan kelenjar getah bening kepala dapat
terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR. Orangtua/pengasuh
dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air
buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan
yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan
parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan,
maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka
dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap,
atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke
dokter.
Sampai saat ini belum ada bukti yang menyokong bahwa imunisasi
(jenis imunisasi apapun) dapat menyebabkan autisme. Badan
Kesehatan Dunia (WHO) maupun Departemen Kesehatan tetap
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 441
Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka
Influenza
Setelah mendapat vaksinasi influenza apakah anak tidak akan
batuk pilek lagi ?
Tifoid
Anak yang sudah pernah sakit demam tifoid apakah perlu
divaksin tifoid ?
Cacar air
Bila anak timbul beberapa gelembung cacar air, dapatkah
vaksinasi cacar air untuk mencegah bertambah banyaknya
gelembung cacar air ?
Tidak bisa, sudah terlambat. Bila sudah timbul gelembung cacar air,
berarti anak tersebut sudah tertular 3 - 7 hari yang lalu, virus cacar air
sudah berkembang biak dan menyebar keseluruh tubuh anak, sehingga
vaksinasi cacar air tidak dapat menghentikan proses tersebut.
Bila di dalam rumah atau sekolah ada penderita cacar air, apakah
anak lain harus segera divaksin untuk mencegah penularan ?
Anak yang pernah sakit cacar air apakah perlu divaksinasi cacar air ?
Tidak perlu. Umumnya anak yang telah sakit cacar air akan
mempunyai kekebalan sampai dewasa, sehingga tidak perlu
divaksin cacar air lagi
Daftar Pustaka
1. Watson C (editor). The Australian Immunisation Handbook 9th ed. NHMRC, 2008.
2. Peter G, Lepow ML, McCracken GH, Phillips CF. Report of the Committee on Infectious
Diseases. American Academy of Pediatrics, Illinois 2004.
3. Satgas Imunisasi IDAI. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI. Sari Pediatri 2:1, Juni
2000.
Polio
OPV Polio
IPV Imovax
DTwP
Mono DTP
DTaP
DT DT
TT TT
DT DT
dT
dT (adult
type
Hepatitis
B
Mono Uniject Euvax-B Engerix Hepavax-
Gene
Hepatitis B
(MDV)*
Twinrix
Kombo (Hep
B~ Hep
A)
Campak Campak
Hib