You are on page 1of 448

Edisi Keempat Tahun 2011

Pedoman
Imunisasi Anak
di Indonesia

Penyunting
I G.N.Gde Ranuh
Hariyono Suyitno
Sri Rezeki S Hadinegoro
Cissy B Kartasasmita
Ismoedijanto
Soedjatmi ko

Jadwal imunisasi dibawahnya ditambahkan : Keterangan


lebih lanjut lihat halaman sampul belakang bagian dalam.

Satgas Imunisasi - Ikatan Dokter Anak


Indonesia
Disclaimer

Isi di dalam buku Pedoman Imunisasi di Indonesia ada lah


hasil kesepakatan para penulis dan editor Satgas Imunisasi
IDAI yang berasal dari berbagai sumber. Buku ini merupakan
pedoman umum dalam melakukan imunisasi di Indonesia dan
dapat disesuaikan dengan kondisi setempat. Kemungkinan
dapat terjadi perbedaan dengan sumber-sumber lain karena
perkembangan ilmu dan kebijakan setempat.

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau
seluruh isi buku ini dengan cara dan bentuk apapun juga tanpa
seizin penulis dan penerbit

Diterbitkan pertama kali tahun 2001


Diterbitkan kedua kali tahun 2005
Diterbitkan ketiga kali tahun 2008

Diterbitkan keempat kali tahun 2011

Koordinator Penerbitan
Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)

Art director: J.A. Wempi


Type setting: Diyan Dwinandio, Unggul Sodjo

Edisi 4, cetakan pertama 2011

Penerbit buku ini dikelola oleh:


Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

ISBN 978-979-8421-34-1
Kata Sambutan Menteri Kesehatan

Program imunisasi di Indonesia semakin penting kedudukannya


dalam upaya mencapai Indonesia Sehat tahun 2010. Pencegahan
terhadap penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi
telah menampakkan hasilnya. Kejadian penyakit poliomielitis,
difteria, tetanus neonatorum, pertusis, campak, dan hepatitis B,
berangsur-angsur berkurang. Dalam waktu dekat diharapkan
penyakit poliomielitis dapat dieradikasi dari seluruh dunia melalui
program imunisasi yang berkesinambungan.
Untuk melengkapi panduan imunisasi yang senantiasa up-to date,
kami merasa bangga kepada upaya anggota Ikatan Dokter Anak
Indonesia khususnya anggota Satgas Imunisasi IDAI yang telah
merevisi buku imunisasi ini untuk ketiga kalinya. Buku Pedoman
Imunisasi ini akan menunjang perubahan pandangan dan strategi
dalam bidang vaksinologi yang senantiasa berubah sejalan dengan
situasi epidemiologi global dan kemajuan teknologi dalam bidang
kesehatan.
Sebagaimana Buku Imunisasi di Indonesia edisi pertama dan
edisi kedua yang telah tersebar luas di tanah air ini, kami harapkan
edisi ketiga tetap menjadi acuan dalam meningkatkan program
imunisasi dan sebagai acuan untuk vaksin-vaksin baru. Buku
ini dapat dipergunakan bersama-sama dengan buku Pedoman
Imunisasi Departemen Kesehatan yang telah ada (Kepmenkes No.
1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Imunisasi).
Akhirul kata, kami ucapkan selamat dan terima kasih kepada
para penulis yang dikoordinasi oleh Pengurus Pusat Ikatan Dokter
Anak Indonesia yang telah menyusun buku imunisasi ini. Karya
dan jerih payahnya akan membantu meningkatkan kesejahteraan
anak Indonesia.

Jakarta, April 2008

DR. Siti Fadilah Supari, Dr., Sp.JP


Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 iii


Prakata Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI

M erupakan kebanggaan dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter


Anak Indonesia dapat menyajikan Buku Imunisasi di
Indonesia Edisi ketiga ini. Mengingat banyak hal-hal yang
perlu disesuaikan dengan kemajuan bidang imunisasi maka edisi
ketiga ini merupakan kebutuhan, bukan saja untuk dokter spesialis
anak namun untuk semua penyedia layanan jasa kesehatan yang
berkecimpung dengan program imunisasi.
Program imunisasi yang telah lebih dari tiga abad lalu diakui
sebagai upaya pencegahan yang penting, pada sepuluh tahun
terakhir ini telah mengalami kemajuan yang signifikan. Edisi ketiga
diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengatasi kemajuan
tersebut. Misalnya perubahan epidemiologi beberapa penyakit dan
adanya kemajuan teknik pembuatan vaksin, upaya pemerintah
dalam melaksanakan eradikasi polio, eliminasi tetanus neonatorum,
reduksi campak, dan memutuskan rantai penularan hepatitis B
sedini mungkin, akan mengubah jadwal imunisasi.
Tambahan topik dan revisi terutama diperlukan untuk menjawab
beberapa masalah, antara lain, (1) bertambahnya jenis vaksin di luar
program PPI (vaksin non-PPI), baik sebagai vaksin baru maupun
vaksin yang telah lama beredar kini muncul dalam kemasan baru,
(2) keamanan pemberian suntikan vaksin ( safety injection) perlu
mendapat perhatian, dan (3) sesuai dengan maturasi perjalanan
imunisasi, program imunisasi akan mengalami hambatan akibat
kejadian ikutan yang diduga menjadi penyebab imunisasi; dalam
hal ini PP IDAI telah menunjukkan sikapnya menghadapi hal ini.
Sebagaimana pembuatan buku imunisasi yang diharapkan
senantiasa menjadi acuan, tentunya buku ini tetap memerlukan
revisi-revisi di kemudian hari. Akhirnya saya selaku Ketua Umum
Ikatan Dokter Anak Indonesia mengucapkan penghargaan yang
setinggi-tingginya atas kerja keras seluruh kontributor anggota
Satgas Imunisasi dan semua pihak yang membantu penerbitan
buku imunisasi ini.
Jakarta, Mei 2008

Sukman Tulus. Putra, Dr., Sp.A(K), FACC, FESC

vi Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Prakata edisi 1 _________

Prakata edisi 4- : perubahan-perubahan


/tambahan

Kata Pengantar Tim Satgas Imunisasi IDAI

K ami mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Subhana-


wata’ala, bahwa Buku Pedoman Imunisasi edisi 1 (tahun
2002) dan edisi 2 (tahun 2005) tampaknya sangat
dibutuhkan oleh dokter dan petugas kesehatan yang terkait
dengan vaksin dan imunisasi, sehingga dalam waktu singkat
habis dari peredaran. Mengingat banyaknya permintaan
untuk mencetak ulang buku ini, maka kami menerbitkan Buku
Imunisasi edisi ke-3 dengan revisi beberapa topik dan adanya
tambahan informasi vaksin-vaksin baru.
Perubahan dalam buku edisi ke-3 tahun 2008 adalah,
· Penyimpanan dan transportasi vaksin dari Bab XII
menjadi Bab II, isi ditambah dan dibagi menjadi 2 topik yaitu
rantai vaksin dan kualitas vaksin,
· Prosedur imunisasi dari Bab II menjadi Bab III,
dengan tambahan topik safety injection,
· Influenza, pneumokokus dan rotavirus direvisi dengan
tambah an informasi terbaru,
· Tambahan topik yaitu vaksin human papilloma virus,
· Jadwal imunisasi ditambah dengan vaksin human
papilloma virus (HPV), untuk anak remaja,
· Vaksin untuk tujuan khusus dan vaksin untuk turis
digabung menjadi satu dalam Bab VI mengenai vaksin yang
dianjurkan (non PPI), sehingga jumlah bab berkurang satu
menjadi 12,
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 v
· Kontroversi dalam imunisasi ditambah dengan
miskonsepsi
· Imunisasi kelompok berisiko dari Bab III dipindahkan ke
Bab IX

Kami mengucapkan terima kasih kepada para kontributor,


terutama yang telah melakukan revisi, perbaikan dan penambah-
an topik-topik baru untuk edisi ke 3 ini. Mengingat pekerjaan
untuk membuat revisi buku edisi ke-3 ini cukup melelahkan,

vi Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


kami telah dibantu oleh dua orang editor baru yaitu Prof. Dr.
Ismoedijanto dr.,Sp.A(K) dan Soedjatmiko dr., Sp.A(K)., Msi.
Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Selanjutnya kami mengharapkan masukan dan saran dari
para pengguna buku ini, untuk penyempurnaan pada edisi
mendatang. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak yang
terkait dengan vaksin dan imunisasi, sehingga derajat kesehatan
anak Indonesia semakin meningkat.
Tim Penyunting
Prof. I G.N. Gde Ranuh dr., Sp.A(K)
Prof. Dr. Hariyono Suyitno dr., SpA(K)
Prof. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro dr., Sp.A(K)
Prof. Cissy B. Kartasasmita dr., MSc., Ph.D., SpA(K)
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K)
Soedjatmiko, dr., SpA(K), MSi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 v


Daftar Isi

Halaman

Disclaimer

Prakata edisi 1
Prakata edisi 4

Daftar isi

Daftar kontributor (+ Harsono salimo + Chandra)

Daftar singkatan

Bab I. Dasar-dasar Imunisasi


1. Imunisasi upaya pencegahan primer + values of
immunization
2. Aspek imunologi vaksin

Bab II. Jadwal Imunisasi


1. Program Imunisasi Nasional
2. Jadwal rekomendasi IDAI
3. Jadwal imunisasi tidak teratur (+ yang belum pernah
mendapat imunisasi = catch-up )
4. Vaksin kombinasi
5. Imunisasi anak sekolah dan remaja

Bab III. Imunisasi kelompok berisiko


1. Bayidan anak berisiko
2. Bayi dari ibu berisiko
3. Travel vaccination
4. Di daerah bencana

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 vii


Bab IV. Prosedur imunisasi

1. Jenis-jenis vaksin
2. Tata cara pemberian
3. Penjelasan kepada orangtua mengenai imunisasi
4. Catatan imunisasi
5. Safety injection

Bab V, Penyimpanan dan transportasi vaksin


1. Rantai vaksin
2. Kualitas vaksin

Bab VI. Imunisasi Pasif

Bab VII. KIPI


1. Klasifikasi
2. Pelaporan

Bab VIII. Imunisasi untuk PD3I (Penyakit yang dapat


dicegah dengan Imunisasi)
1. Hep B
2. Polio
3. Tuberkulosis
4. DTP
5. Hib
6. Pneumokokus
7. Rotavirus
8. Influenza
9. Campak
10. Cacar air
11. MMR
12. Tifoid
13. Hepatitis A
14. HPV
15. Rabies
16. Meningokokus

viii Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


17. Japanese Encephalitis
18. Yellow Fever
19. Kolera

Bab IX. Miskonsepsi dan Kontroversi


1. Miskonsepsi imunisasi
2. Kontroversi dalam imunisasi

Bab X. Tanya jawab mengenai Imunisasi (+ nama website


untuk tanya jawab oleh umum)

Vaksin yang terdaftar di Indonesia

Glossary
Index

Endorsement :

Ketua PP
Martin Weber
Dirjen P2PL
Prof. DR Sumarmo P. Soedarmo, SpA (K)

Prof DR Samurizal D, Sp PD

viii Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


viii Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Daftar Kontributor
(+ Harsono S+ Chandra + Yati S)
cek nama di tiap artikel : A. Suryono, Titut,
Fatimah)

Achmad Suryono UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FK


(alm) Universitas Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito,
Jogyakarta
Agus Firmansyah UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen
IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Alan R UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Departemen
Tumbelaka IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Arwin A P Akib UKK Alergi Imunologi IDAI, Departemen
IKA FK Universitas Indonesia/RSUP
Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Boerhan Hidayat UKK Gizi IDAI, Bagian IKA FK Universitas
Airlangga/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Cissy B UKK Pulmonologi IDAI, Bagian IKA, FK
Kartasasmita Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan
Sadikin, Bandung
Corry UKK Alergi Imunologi IDAI, Bagian IKA
S.Matondang FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto
(alm) Mangunkusumo, Jakarta
Dahlan Ali Musa UKK Tumbuh Kembang- Pediatri Sosial
IDAI
Fatimah Indarso UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FK
Airlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Hanifah Oswari UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen
IKA, FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.
Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Hardiono D UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 xiii
Poesponegoro FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 xiii


Hariyono UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial
Soeyitno IDAI , Bagian IKA, FK Diponegoro/ RSUP
Dr. Kariadi, Semarang
Hartono Gunardi UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial
IDAI, Departemen IKA FK Universitas
Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo,
Jakarta
Hindra Irawan UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
Satari Departemen IKA FK Universitas Indonesia/
RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Iskandar Syarif UKK Neurologi IDAI, Bagian IKA FK
Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil,
Padang
Ismoedijanto UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
Bagian IKA, FK Airlangga/RSUP Dr.
Soetomo, Surabaya
IGN Gde Ranuh UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial
IDAI, Bagian IKA, FK Airlangga/ RSUP Dr.
Soetomo, Surabaya
Jose R L Batubara UKK Endokrin IDAI, Departemen IKA
FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Kusnandi Rusmil UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI,
Bagian IKA, FK Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Nastiti N.Rahajoe UKK Pulmonologi IDAI
Noenoeng UKK Pulmonologi IDAI
Rahajoe
Purnamawati S. UKK Gastrohepatologi IDAI
Pujiarto
Soedjatmiko UKK Tumbuh Kembang Pediatri
Sosial IDAI, Departemen IKA FK
Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta

x Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soegeng UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
Soegijanto Bagian IKA, FK Airlangga/RSUP Dr.
Soetomo, Surabaya
Sofyan Ismael UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA
FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Sri Rezeki UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
S.Hadinegoro Departemen IKA FK Universitas Indonesia/
RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Syahril Pasaribu UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Bagian
IKA, FK Sumatera Utara/ RSUP Dr. H
Adam Malik, Medan
Syawitri P Siregar UKK Alergi Imunologi IDAI, Bagian IKA
FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
TH Rampengan UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI,
Bagian IKA, FK Sam Ratulangi/ RSUP Dr.
Malalayang, Manado
T i t u t UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RS Ibu
S.Poesponegoro & Anak Harapan Kita, Jakarta
(alm)
Toto Wisnu UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RS Ibu
Hendarto & Anak Harapan Kita, Jakarta
UKK = Unit Kerja Koordinasi, merupakan badan khusus PP IDAI

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 xiii


Daftar Istilah singkatan
AAP American Academy of Pediatrics
ACIP Advisory Committee on Immunization
AEFI Adverse Events Following Immunization
AFP Acute Flaccid Paralysis, lumpuh layuh
AKABA Angka Kematian Balita
AKB Angka Kematian Bayi
APC Antigen Presenting Cell
ASI Air Susu Ibu
BCG Bacille Cal mette Guerin
BIAS Bulan Imunisasi Anak Sekolah
BTA Bakteri Tahan Asam
CDC Center of Disease Control
DALY Disability Adjusted Life Year
DT Difteria, Tetanus
DTwP Difteria, Tetanus, Pertusis (whole cell)
DTaP Difteria, Tetanus, Pertusis (acellular)
ERAPO Eradikasi Polio
ETN Eliminasi Tetanus Neonatorum
FDA Food Drug Administration
FKUI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
GVHD Graft Versus Host Disease
HBIg Hepatitis B Immunoglobulin
HbsAg Hepatitis B surface antigen
Hep-B Hepatitis B
Hib Haemophyllus influenza type b
HIV Human Immunodeficiency Virus

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 xiii


HLA Human Leucocyte Antigen
HPV Human Papilloma Virus
IDAI Ikatan Dokter Anak Indonesia
IgA Imunoglobulin A
IgG Imunoglobulin G
IgM Imunoglobulin M
IPV Inactivated Polio Vaccine
ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut
IU International Unit
KIPI Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
KLB Kejadian Luar Biasa
MHC Major Histocompatibility Complex
MMR Measles, Mumps, Rubella
NHMRC National Health and Medical Research Council
NIGH Normal Immunoglobulin Human
OPV Oral Polio Vaccine
PIN Pekan Imunisasi Nasional
PPI Program Pengembangan Imunisasi
PRP Polyribosyribitol Phosphate
PRP-OMP Polyribosyribitol Phosphate-Outer Membrane Protein
PRP-T Polyribosyribitol Phosphate-Tetanus
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
UKK Unit Kerja Koordinasi

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 xiii


Bab I
Dasar-Dasar Imunisasi
Bab 1 - 1 Imunisasi Upaya Pencegahan Primer
1 - 2 Aspek Imunologi Imunisasi
1 - 3 Jenis Vaksin

Pengantar
Sistem kesehatan nasional imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi
kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurun kan angka kematian
bayi dan balita. Dasar utama pelayanan kesehatan, bidang preventif
merupakan prioritas. Penurunan insidens penyakit menular telah terjadi
berpuluh-puluh tahun yang lampau di negara-negara maju yang telah
melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan luas. Demikian
juga di Indonesia; dinyatakan bebas penyakit cacar tahun 1972 dan
penurunan insidens beberapa penyakit menular secara mencolok terjadi
sejak tahun 1985, terutama untuk penyakit difteria, tetanus, pertusis,
campak, dan polio. Bahkan kini penyakit polio secara virologis tidak
ditemukan lagi sejak tahun 1995, dan diharapkan beberapa tahun yang
akan datang Indonesia akan dinyatakan bebas polio. Sejarah imunisasi
telah dimulai lebih dari 200 tahun yang lalu, sejak Edward Yenner tahun
1798 pertama kali menunjukkan bahwa dengan cara vaksinasi dapat
mencegah penyakit cacar. Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi
yang baik dan benar diperlukan pengetahuan dan ketrampilan tentang
vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan (imunologi) dan cara atau prosedur
pemberian vaksin. Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang
anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi
juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas
umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Sangat
penting bagi para profesional untuk melakukan imunisasi terhadap anak
maupun orang dewasa. Dengan demikian akan memberikan kesadaran
pada masyarakat terhadap nilai imunisasi dalam menyelamatkan jiwa
dan mencegah penyakit yang berat.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 19


Bab 1-1
Imunisasi Upaya Pencegahan Primer
IG.N. Gde Ranuh

Penduduk Indonesia pada tahun 2007 telah melampaui 220 juta


dan ditengarai pula bahwa pertumbuhan penduduk bergerak lebih
cepat, tidak sesuai dengan perhitungan semula. Menurut Haryono
Suyono pengendalian pertumbuhan penduduk hanya difokuskan
pada pasangan usia subur yang sangat miskin yang notabene
jumlahnya kecil sekali, yaitu 19% dari total jumlah pasangan usia
subur di Indonesia
Perhitungan tahun 2006 mengatakan bahwa laju pertumbuhan
penduduk akan terus turun bahkan pada tahun 2020 – 2025
dimungkinkan mencapai 0,92 %. Namun kenyataan dewasa ini
laju pertumbuhan penduduk Indonesia telah mencapai angka
yang cukup tinggi 1,3%. Jumlah anak di bawah 15 tahun masih
merupakan golongan penduduk yang sangat besar, yaitu kurang
lebih 70 juta (30,26%) dan usia balita 23,7 juta (10,4%).
Masalah lain yang penting dan memprihatinkan adalah
meningkatnya kurang gizi di berbagai pelosok Indonesia. Apabila
gizi kurang 37,5% pada tahun 1998 berhasil ditekan mencapai 19,3%
pada tahun 2002, gizi buruk 6,3% pada tahun 1989 tidak berhasil
ditekan bahkan setelah tahun 2002 berprevalensi untuk menjadi
lebih dari 10% yang dapat kita saksikan akhir-akhir ini. Penyebabnya
adalah kurang berfungsinya Posyandu di masyarakat pada masa
lalu, yaitu sejak krisis moneter 1997, bencana alam yang datang
bertubi-tubi di tanah air kita ini dan situasi politik dan keamanan
yang tidak kondusif.
Dengan revitalisasi posyandu dan program KB diharapkan
situasi kesehatan masyarakat dan pertumbuhan penduduk dapat
dikendalikan kembali. Berkurangnya fungsi Posyandu, pemantauan

20 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Upaya
Pencegahan Primer

anak kurang mendapatkan perhatian yang tercermin dengan


menurunnya kesehatan anak pada umumnya, khususnya adanya
gizi kurang dan infeksi yang beberapa tahun yang lalu sudah reda
menyerang anak-anak kembali seperti poliomielitis, demam tifoid,
difteri, campak, demam dengue, dan lainnya.
Pembangunan nasional jangka panjang menititkberatkan pada
kualitas hidup sumber daya manusia yang prima. Untuk itu kita
bertumpu pada generasi muda yang memerlukan asuhan dan
perlindungan terhadap penyakit yang mungkin dapat menghambat
tumbuh kembangnya menuju dewasa yang berkualitas tinggi guna
meneruskan pembangunan nasional jangka panjang tersebut.
Profil epidemiologis di Indonesia sebagai gambaran tingkat
kesehatan di masyarakat masih memerlukan perhatian khusus yaitu,
· Angka kematian kasar (CMR): 7,51 per 1000/tahun
· Angka kematian bayi (IMR): 48 per 1000 lahir hidup/tahun
· Angka kematian balita (U5MR) : 56 per 1000 lahir hidup/
tahun
· Angka kematian ibu hamil (MMR): 470 per 100.000 lahir
hidup/tahun
· Cakupan imunisasi: BCG 85%, DTP 64%, Polio 74%, HB1 91%,
HB2 84,4%, HB3 83,0%, TT ibu hamil: TT1 84% dan TT2 77%
(WHO)

Angka kematian bayi (AKB atau IMR) dalam dua dasawarsa


terakhir ini menunjukkan penurunan yang bermakna. Apabila
pada tahun 1971 sampai 1980 memerlukan sepuluh tahun untuk
menurunkan AKB dari 142 menjadi 112 per 1000 kelahiran hidup;
maka hanya dalam kurun waktu lima tahun, yaitu tahun 1985
sampai 1990 Indonesia berhasil menurunkan AKB dari 71 menjadi
54 dan bahkan dari data 2001 telah menunjukkan angka 48 per
1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia 2001). Penurunan
tersebut diikuti dengan menurunnya angka kematian balita atau
AKABA yang telah mencapai 56 per 1000 kelahiran hidup.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 21


Imunisasi Upaya
Pencegahan Primer

Prestasi yang gemilang tersebut tidak lain disebabkan karena


penggunaan teknologi tepat guna selama itu, yaitu memanfaatkan
dengan baik Kartu Menuju Sehat dalam memantau secara akurat
tumbuh kembang anak, peningkatan penggunaan ASI, pemberian
segera cairan oralit pada setiap kasus diare pada anak dan pemberian
imunisasi pada anak balita sesuai Program Pengembangan
Imunisasi (PPI) yaitu BCG, Polio, Hepatitis B, DTP dan campak,
bahkan pada tahun 1990 Indonesia telah mencapai Universal Child
Imunization (UCI) dengan cakupan imunisasi sebesar 90% pada
anak balita. Program ini diperkuat dengan gerakan PIN (Pekan
Imunisasi Nasional) terhadap penyakit polio pada tahun 1985
– 1996 – 1997 secara berturut-turut dan serentak di seluruh tanah
air menghilangkan kasus polio selama 10 tahun (1997-2005).
Namun kemudian karena adanya outbreak polio yang dimulai di
Jawa Barat dilakukan tindakan-tindakan khusus untuk mencegah
menjalarnya lagi polio liar di Indonesia secara intensif dengan
pengulangan PIN pada tahun 2005 dan 2006 diharapkan kita berhasil
mengendalikan. Pada kesempatan tersebut dan melalui crash
program campak vaksinasi terhadap tetanus dan campak diberikan
dengan harapan dapat mengurangi kesakitan dan kematian karena
kedua penyakit tersebut.

Vaksinasi, sebagai upaya pencegahan primer

Seiring dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian anak


pada umumnya maka kualitas hidup bangsa akan meningkat
pula. Di samping itu, dengan terjadinya transisi demografik yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah anak dalam satu keluarga (satu
keluarga memiliki 3 orang anak) maka kelompok usia produktif akan
meningkat. Meskipun demikian usia anak di bawah 15 tahun masih
merupakan kelompok penduduk yang sangat besar dan memerlukan
perhatian yang lebih besar lagi.
Hasil penelitian di dunia mengatakan bahwa angka kelahiran
dan usia harapan hidup di suatu negara berkaitan, yaitu makin

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 22


Imunisasi Upaya
Pencegahan Primer

rendah angka kelahiran makin tinggi usia harapan hidup. Untuk


itu pencegahan terhadap infeksi maupun upaya yang menentukan
situasi yang kondusif untuk itu mutlak harus dilakukan pada
anak dalam tumbuh kembangnya sedini mungkin guna dapat
mempertahankan kualitas hidup yang prima menuju dewasa.
Demikian pula perhitungan ekonomi memperlihatkan bahwa
pencegahan adalah suatu cara perlindungan terhadap infeksi yang
paling efektif dan jauh lebih murah dari pada mengobati apabila
sudah terserang penyakit dan memerlukan perawatan rumah
sakit.
Secara konvensional, upaya pencegahan penyakit dan keadaan
apa saja yang akan menghambat tumbuh kembang anak, seperti
cedera dan keracunan karena kecelakaan, kekerasan pada anak,
fisik, mental maupun seksual, konsumsi alkohol dan obat-obatan
terlarang, dapat terlaksana dalam tiga kategori, yaitu pencegahan
primer, sekunder dan tersier yang dapat dilaksanakan selama masa
tumbuh kembang sejak pra-konsepsi, prenatal, masa neonatal, bayi,
masa sekolah dan remaja menuju dewasa.
Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari
terjadinya sakit atau kejadian yang mengakibatkan seseorang sakit
atau menderita cedera dan cacat. Memperhatikan gizi dengan
sanitasi lingkungan yang baik, pengamanan terhadap segala macam
cedera dan keracunan serta vaksinasi atau imunisasi terhadap
penyakit adalah rangkaian upaya pencegahan primer.
Pencegahan sekunder apabila dengan deteksi dini, diketahui
adanya penyimpangan kesehatan seorang bayi atau anak sehingga
intervensi atau pengobatan perlu segera diberikan untuk koreksi
secepatnya. Memberi pengobatan sesuai diagnosis yang tepat adalah
suatu upaya pencegahan sekunder agar tidak terjadi komplikasi yang
tidak diinginkan, yaitu sampai meninggal maupun meninggalkan
gejala sisa, cacat fisik maupun mental. Sedangkan pencegahan
tersier adalah membatasi berlanjutnya gejala sisa tersebut dengan
upaya pemulihan seorang pasien agar dapat hidup mandiri tanpa
bantuan orang lain, seperti contoh pada terapi rehabilitasi medik

23 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


I.G.N. Ranuh

pada penyakit polio maupun cacat lainnya karena cedera kecelakaan


dan lain-lain sebab.
Vaksinasi atau lazim disebut dengan imunisasi merupakan
suatu teknologi yang sangat berhasil di dunia kedokteran yang oleh
Katz (1999) dikatakan sebagai ”sumbangan ilmu pengetahuan yang
terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini”. Satu upaya
kesehatan yang paling efektif dan efisien dibandingkan dengan
upaya kesehatan lainnya.
Pada tahun 1974 cakupan imunisasi baru mencapai 5% dan
setelah dilaksanakannya imunisasi global yang disebut dengan
extended program on immunization (EPI) cakupan terus meningkat
dan hampir setiap tahun minimal sekitar 3 juta anak dapat terhindar
dari kematian dan sekitar 750.000 anak terhindar dari kecacatan.
Namun demikian, masih ada satu dari empat orang anak yang
belum mendapatkan vaksinasi dan dua juta anak meninggal setiap
tahunnya karena penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi.
Di masa depan harapan akan hilangnya penyakit polio, campak
dan lain-lainnya di dunia adalah sesuatu yang tidak mustahil
sehingga setiap anak dapat tumbuh kembang secara optimal.
Perbaikan gizi anak disertai penyehatan lingkungan tidak cukup
untuk mencegah tertularnya anak oleh kuman, virus maupun
parasit. Vaksinasi dapat menekan penyakit yang endemik dan erat
hubungannya dengan lingkungan hidup.
WHO telah mencanangkan program imunisasi tersebut sejak
1994 dengan EPI dan kemudian lebih luas lagi dengan GPV (global
programme for vaccines and immunization), organisasi pemerintah dari
seluruh dunia bersama UNICEF, WHO dan World Bank. Ditambah
lagi organisasi perorangan Bill and Melinda Gates children’s vaccine
programme dan Rockefeller Foundation.
Kekebalan atau imunitas tubuh terhadap ancaman penyakit
adalah tujuan utama dari pemberian vaksinasi. Pada hakekatnya
kekebalan tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun aktif.
Keduanya dapat diperoleh secara alami maupun buatan. Imun pasif

24 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Upaya
Pencegahan Primer

yang didapatkan secara alami adalah kekebalan yang didapatkan


transplasental, yaitu antibodi diberikan ibu kandungnya secara pasif
melalui plasenta kepada janin yang dikandungnya. Semua bayi
yang dilahirkan telah memiliki sedikit atau banyak antibodi dari
ibu kandungnya. Sedangkan imun pasif buatan adalah pemberian
antibodi yang sudah disiapkan dan dimasukkan ke dalam tubuh
anak. Seperti halnya pada bayi baru lahir dari ibu yang mempunyai
HbSAg positif memerlukan imunoglobulin yang spesifik hepatitis
B yang harus diberikan setelah lahir dengan segera.
Pada seorang yang sedang sakit dapat pula diberikan antibodi
spesifik secara pasif sesuai antigen yang menyebabkan sakitnya.
Imun aktif dapat diperoleh pula secara alami maupun buatan. Secara
alami imun aktif didapatkan apabila anak terjangkit suatu penyakit,
yang berarti masuknya sebuah antigen yang akan merangsang tubuh
anak membentuk antibodinya sendiri secara aktif dan menjadi imun
karenanya. Mekanisme yang sama adalah pemberian vaksin yang
merangsang tubuh manusia secara aktif membentuk antibodi dan
kebal secara spesifik terhadap antigen yang diberikan.

Imunisasi dan Vaksinasi


Perlu diketahui bahwa istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali
diartikan sama. Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer
antibodi secara pasif, sedangkan istilah vaksinasi dimaksudkan
sebagai pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang
pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam
tubuh.

Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam


bentuk, yaitu imunoglobulin yang non-spesifik atau gamaglobulin
dan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang
sudah sembuh dari penyakit tertentu atau baru saja mendapatkan
vaksinasi penyakit tertentu. Imunoglobulin yang non-spesifik
digunakan pada anak dengan defisiensi imunoglobulin sehingga
memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali

25 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


I.G.N. Ranuh

dapat terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut


tidaklah berlangsung permanen melainkan hanya untuk beberapa
minggu saja. Demikian pula imunoglobulin yang non-spesifik selain
mahal, memungkinkan anak menjadi sakit karena secara kebetulan
atau karena suatu kecelakaan serum yang diberikan tidak bersih dan
masih mengandung kuman yang aktif. Sedangkan imunoglobulin
yang spesifik diberikan kepada anak yang belum terlindung karena
belum pernah mendapatkan vaksinasi dan kemudian terserang
misalnya penyakit difteria, tetanus, hepatitis B.

Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja


memberikan paparan dengan antigen yang berasal dari
mikroorganisme patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat
demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu
mengaktivasi limfosit menghasilkan antibodi dan sel memori. Cara
ini menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun
cukup memberikan kekebalan. Tujuannya adalah memberikan
”infeksi ringan” yang tidak berbahaya namun cukup untuk
menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit
yang sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadi sakit
karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan
antigen/penyakit yang masuk tersebut. Demikian pula vaksinasi
mempunyai berbagai keuntungan, yaitu
· Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa
seumur hidupnya
· Vaksinasi adalah cost-effective karena murah dan efektif
· Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat
jarang terjadi, jauh lebih jarang dari pada komplikasi yang
timbul apabila terserang penyakit tersebut secara alami.

Daftar Pustaka
1. World Health Organization, The World Health Report 2007. Asaferfuture: global public
health security in the 21st century. Diunduh dari: http://www.who.int/whr/2007/en/index.
html.

26 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Upaya
Pencegahan Primer

2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi18. Philadelphia:Saunders Elsevier. 2007.
3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.
4. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Sensus Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) 2004.
5. KSK _Satgas Imunisasi IDAI, Learning about Vaccination, 2004.
6. SUSENAS 1989 –2002, Direktorat Gizi Msyarakat, DepKes RI.
7. DepKes: Profil Kesehatan Indonesia, 2004.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 27


Bab 1-2
Aspek Imunologi Imunisasi
Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan


seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak
ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit.
Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan,
yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif
adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat
oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada
janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh
setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif
tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh.
Waktu paruh IgG 28 hari, sedangkan waktu paruh imunoglobulin
lainnya lebih pendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang
dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti
pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif
berlangsung lebih lama daripada kekebalan pasif karena adanya
memori imunologik.

Tujuan Imunisasi

Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada


seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok
masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit
tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan
yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang
hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit
difteria.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 28


Aspek Imunologi Imunisasi

Respons imun
Respons imun adalah respons tubuh berupa urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen (Ag), untuk mengeliminasi antigen
tersebut. Dikenal dua macam pertahanan tubuh yaitu 1) mekanisme
pertahanan nonspesifik disebut juga komponen nonadaptif atau
innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen,
tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan
tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap
satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih
banyak pada pemberian antigen berikutnya; hal ini disebabkan telah
terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali.
Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi
mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan
dipresentasikan oleh sel makrofag (APC= antigen presenting cell)
pada sel T untuk antigen TD (T dependent) sedangkan antigen TI
(T independent) akan langsung diproses oleh sel B
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan
imunitas humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi
bila dirangsang oleh antigen. Semua antibodi adalah protein dengan
struktur yang sama yang disebut imunoglobulin (Ig) yang dapat
dipindahkan secara pasif kepada individu yang lain dengan cara
penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat
dipindahkan melalui sel; contohnya pada reaksi penolakan organ
transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.

Respons imun terdiri dari dua fase,


· fase pengenalan, diperankan oleh sel yang
mempresentasikan antigen (APC), sel limfosit B, limfosit T
· fase efektor, diperankan oleh antibodi, dan limfosit T
efektor (Gambar 1)

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 29


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Pajanan Antigen pada Sel T


Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD=T dependent
antigen), artinya antigen akan mengaktifkan sel imunokompoten
bila sel ini mendapat bantuan sel Th (T helper) melalui zat yang
dilepaskan sel Th aktif. Antigen TD adalah antigen yang kompleks
seperti bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan
antigen yang tidak memerlukan sel T (TI=T independent antigen)
untuk menghasilkan antibodi dengan cara langsung merangsang
sel limfosit B misalnya antigen yang strukturnya sederhana
dan berulang-ulang, biasanya merupakan molekul besar dan
menghasilkan IgM, IgG2 dan sel memori yang lemah. Contohnya
polisakarida komponen endotoksin yang terdapat pada dinding
sel bakteri. Endotoksin adalah TI antigen yang dapat merangsang
aktivasi sel B dan memproduksi antibodi dan berperan juga sebagai
stimulan sel B poliklonal.
Kualitas respons imun yang timbul tergantung pada faktor
intrinsik Ag dan faktor-faktor lain seperti,
· Jumlah dosis antigen
· Cara pemberian antigen. Pada pemberian secara intradermal
(id), intramuskular (im), subkutan (sc), organ sasaran adalah
kelenjar limfoid regional. Secara intravenus (iv) berada di
limpa, sedangkan pemberian secara oral akan ke plaque-
Peyer’s, dan melalui inhalasi berada di jaringan limfoid
bronkhial.
· Penambahan zat yang bekerja sinergis dengan
antigen, misalnya ajuvan atau antigen lain
· Sifat molekul antigen, jumlah protein, ukuran dan daya
larutnya
· Faktor genetik pejamu
Limfosit Th umumnya mengenal antigen bila dipresentasikan
bersama molekul produk MHC (mayor histocompatibility complex)
kelas I & II yaitu molekul yang antara lain terdapat pada membran
sel makrofag. Setelah antigen diproses oleh sel makrofag akan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 30


Aspek Imunologi Imunisasi

dipresentasikan bersama MHC kelas I atau kelas II kepada sel Th


sehingga terjadi ikatan antara TCR (T cell receptor) dengan antigen.
Kemudian akan terjadi diferensiasi menjadi sel Th efektor, sel Tc
efektor serta sel Th memori dan sel Tc memori atas pengaruh sitokin
berada di jaringan perifer. Sel Th efektor mengaktivasi makrofag
(Gambar 1.1). Peran utama dari sel Th ialah membantu sel limfosit
B menghasilkan antibodi.
Pada manusia terdapat dua jenis sel Th yaitu sel Th1 dan sel
Th2 yang dapat dibedakan dengan sitokin yang dihasilkannya
dan fungsi efektornya. Misalnya Th1 mensekresi sitokin IL-2, IL-3,
TNF-a, TNF-a, TNF-a dan TH2 mensekresi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10,
dan IL-13. Sedangkan peran utama sel Tc atau sel CD8 ialah untuk
mengenal dan kemudian melisis sel target yang terinfeksi sehingga
disebut juga sel cytotoxic T lymphocyte (CTLs) yang berperan pada
infeksi virus, bakteri dan parasit.

Gambar 1.1. Aktivasi sel limfosit T pada Respon Imun Selular


Dikutip dan dimodifikasi dari Abdul K Abbas, 2001

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 31


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Respon Imun Selular


Respons imun selular diperankan oleh sel limfosit T yang dapat
langsung melisis sel yang mengekspresikan Ag spesifik (sel Tc=sel
T sitotoksik) atau mensekresi sitokin yang akan merangsang terjadi
proses inflamasi (Th=sel T helper) hipersensitivitas tipe lambat. Sel
Tc dan sel Th berperan pada mikroorganisme intraselular seperti
infeksi virus, parasit dan beberapa bakteri. Sel T sitotoksik akan
melisis sel yang mengandung virus. Sel Th aktif juga merangsang
sel Tc (sel T cytotoxic) untuk mengenal antigen pada sel target bila
berasosiasi dengan molekul MHC kelas I.
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat diperankan oleh sel Th1 yang
mensekresi sitokin bila dirangsang oleh Ag.

Respons Imun Humoral


Reseptor imunoglobulin (Ig) pada sel limfosit B mengenal dan ber-
interaksi dengan epitop antigen. Mulanya imunoglobulin permukaan
ini adalah kelas IgM dan pada perkembangan selanjutnya sel B juga
memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan
bagian F(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan
antigen tertentu.

Pajanan Antigen pada Sel B


Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan
dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim
dalam sel B, sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast,
proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi
antibodi dan membentuk sel B memori. Sedangkan antigen TI dapat
secara langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th. Antibodi
yang disekresi dapat menetralkan Ag sehingga virulensinya hilang,
atau berikatan dengan Ag sehingga lebih mudah difagositosis
oleh makrofag dalam proses opsonisasi. Kadang fagositosis

32 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Aspek Imunologi Imunisasi

dapat dibantu dengan melibatkan komplemen sehingga terjadi


penghancuran Ag.
Selain itu ikatan antibodi dengan Ag juga mempermudah lisis
oleh sel Tc. Peristiwa ini disebut antibody dependent cellular mediated
cytotoxi city (ADCC). Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi Ag dan
pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan Ag
serupa akan cepat berproliferasi dan berdeferensiasi. Hal inilah yang
diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk
tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi
mencapai kadar protektif dan berlangsung dalam waktu cukup lama
dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau infeksi alamiah. Hal
ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel
dendrit dalam kelenjar limfe yang dipresentasikan pada sel memori
sewaktu-waktu di kemudian hari (Gambar 1.2)

Gambar 1.2. Mekanisme imunitas humoral


Dikutip dan dimodifikasi dari Abul K.Abbas, 2001

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 33


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Respons antibodi terhadap antigen


Respons imun primer adalah respons imun yang terjadi pada
pajanan pertama kalinya dengan antigen. Antibodi yang terbentuk
pada respons imun primer kebanyakan adalah IgM dan IgG
dengan titer yang lebih rendah dibandingkan dengan respons imun
sekunder, demikian pula dengan afinitas serta lag phase lebih lama.
Respons imun sekunder antibodi yang dibentuk terutama adalah
IgG, dengan titer dan afinitasnya lebih tinggi serta phase lag lebih
pendek (Gambar 1.3). Pada imunisasi, respons imun sekunder inilah
yang kelak diharapkan akan memberi respons adekuat bila terpajan
pada antigen yang serupa.

Memori Imunologik
Peran utama vaksinasi ialah menimbulkan memori imunologik
yang banyak. Sel B memori terbentuk di jaringan limfoid di bagian
sentral germinal. Antigen asing yang sudah terikat dengan antibodi
akan membentuk komplek Ag-antibodi dan akan terikat dengan
komplemen (C). Komplek Ag-Ab-C akan menempel pada sel dendrit

Gambar 1.3. Respons imun primer dan sekunder


Dikutip dan dimodifikasi dari Abul K. Abbas 2001

34 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Aspek Imunologi Imunisasi

folikel
(FDC=follicular dendritic cells) karena terdapat reseptor C di
permukaan sel dendrit. Terjadi proliferasi dan diferensiasi sel limfosit
B dan akan terbentuk sel plasma yang menghasilkan antibodi dan
sel B memori yang mempunyai afinitis antigen yang tinggi. Sel B
memori akan berada di sirkulasi sedangkan sel plasma akan migrasi
ke sumsum tulang. Bila sel B memori kembali ke jaringan limfoid
yang mempunyai antigen yang serupa maka akan terjadi proses
proliferasi dan diferensiasi seperti semula dengan menghasilkan
antibodi yang lebih banyak dan dengan afinitas yang lebih tinggi.
Terbentuknya antibodi sebagai akibat ulangan vaksinasi (boosting
effect) tergantung dari dosis antigen yang diberikan.
Sel T memori dibentuk dengan melalui beberapa tahapan. Sel APC
akan mempresentasikan antigen yang sudah diprosesnya bersama-
sama molekul MHC di jaringan limfoid perifer pada sel limfosit T;
bersamaan dengan ini akan disekresi sitokin. Salah satu fungsi dari
sitokin adalah proliferasi sel T dengan Ag spesifik (clonal expansion)
dan diferen-siasi yang menghasilkan sel efektor dan sel T memori. Sel
efektor akan meninggalkan jaringan limfoid dan berada di sirkulasi
dan bermigrasi ketempat terjadi infeksi untuk mengeliminasi infeksi
sedangkan sel T memori yang tidak aktif dan berada di sirkulasi
untuk jangka waktu yang lama. Antigen ekstraselular akan diproses
di APC menjadi peptida yang akan dikenal oleh molekul MHC
kelas II. Sedangkan Ag intraselular diproses di sitoplasma APC akan
dikenal oleh molekul MHC kelas I. Sel limfosit T CD4+ mempunyai
fungsi memproduksi sitokin sel helper untuk mengelimasi
mikroba ekstraselular. Sedangkan molekul CD8+ yang mempunyai
fungsi sitolitik (CTL=cytolytic T lymphgocytes) akan memusnahkan
mikobakterium intrasel (Gambar 1).

Keberhasilan Imunisasi
Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu
status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan
kuantitas vaksin.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 35


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Status Imun Pejamu


Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang
diberikan akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya
pada bayi yang semasa janin mendapat antibodi maternal spesifik
terhadap virus campak, bila vaksinasi campak diberikan pada saat
kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan memberikan
hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI)
yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio tidak
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara
oral, karena pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada
ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada
penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/
RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada
ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada
kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio oral diberikan pada masa
pemberian kolostrum (kurang atau sama dengan 3 hari setelah lahir),
hendaknya ASI (kolostrum) jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum
dan sesudah vaksinasi.

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik.


Pada bayi neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi
mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA (human leucocyte
antigen) masih kurang pada permukaannya, selain deformabilitas
membran serta respons kemotaktik yang masih kurang. Kadar
komplemen dan aktivitas opsonin komplemen masih rendah,
demikian pula aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya. Fungsi sel
Ts (T supresor) relatif lebih menonjol dibandingkan pada bayi atau
anak karena memang fungsi imun pada masa intra uterin lebih
ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi
baru lahir. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu
masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan
memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka,
apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan
lupa memberikan imunisasi ulangan.

36 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu


yang mendapat obat imunosupresan, menderita defisiensi imun
kongenital, atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi
imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi
imun merupakan indikasi kontra pemberian vaksin hidup karena
dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian
pula vaksinasi pada individu yang menderita penyakit infeksi
sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi
pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem
imun seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun
dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar
globulin-g normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang
terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena
terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis
antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi
makrofag berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau
toksoid berkurang.

Faktor Genetik Pejamu


Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas
genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas
responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu.
Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu,
tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak
heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak
100%.
Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen
yang berada pada kompleks MHC (major histocompatibility complex)
dan gen non MHC. Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi
antigen. Sel Tc akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan
molekul MHC kelas I, dan sel Td serta sel Th akan mengenal

37 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II. Jadi


respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat dimengerti
bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun. Pada gen non
MHC, secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang
berkaitan dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia yang
terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak
laki laki atau penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan
perbedaan responsi imun terhadap antigen tertentu merupakan
penyakit yang diturunkan. Faktor faktor ini menyokong adanya
peran genetik dalam respons imun, hanya saja mekanisme yang
sebenarnya belum diketahui.

Kualitas dan Kuantitas Vaksin


Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian
rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih
tetap mengandung sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas
dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi,
seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang
dipergunakan, dan jenis vaksin.
· Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun
yang timbul. Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan
imunitas lokal di samping sistemik, sedangkan vaksin polio
parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja.
· Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi
respons imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat
respons imun yang diharapkan, sedang dosis terlalu rendah
tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat
diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai
dengan dosis yang direkomendasikan.
· Frekuensi pemberian mempengaruhi respons imun
yang terjadi. Sebagaimana telah kita ketahui, respons
imun sekunder menimbulkan sel efektor aktif lebih cepat,
lebih tinggi produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di
samping

38 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons


imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan
pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen
yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang
masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel
imunokompeten. Bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan
reaksi Arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan
antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal
sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang
(booster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai
dengan hasil uji klinis.
· Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan
respons imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan
respons imun dengan mempertahankan antigen pada atau
dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi sel APC
(antigen presenting cells) untuk memproses antigen secara efektif
dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel
imunokompeten lainnya.
· Jenis vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun
lebih baik dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi (killed
atau inactivated) atau bagian (komponen) dari mikroorganisme.
Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu sel yang
terinfeksi, karena itu dibutuhkan vaksin hidup. Sel Tc
dibutuhkan pada infeksi virus yang mengeluarkan melalui
budding. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan
atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang hanya
dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi
diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tumbuh
mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah,
kondisi anerob, atau menambah empedu pada media kultur
seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam
selama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang
virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia avirulen,
misalnya virus cacar sapi.

39 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar

Persyaratan Vaksin

Dengan mempelajari respons imun yang terjadi pada pajanan antigen,


maka terdapat empat faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu 1)
mengaktivasiAPCuntukmempresentasikanantigendanmemproduksi
interleukin, 2) mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak
sel memori, 3) mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop,
untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena
adanya polimorfisme MHC, dan 4) memberi antigen yang persisten,
mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B
memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu
menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus menerus sehingga
kadarnya tetap tinggi.

Apakah persyaratan ini seluruhnya atau sebagian saja,


tergantung dari ada atau tidaknya variasi respons genetik yang
nyata dan respons imun yang dibutuhkan. Vaksin yang dapat
memenuhi keempat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup.
Pada umumnya antibodi yang terbentuk akibat vaksinasi sudah
cukup untuk mencegah terjadinya infeksi, sehingga pembentukan
sel Tc terhadap berbagai epitop antigen tidak merupakan keharusan.
Pada penyakit difteria dan tetanus misalnya yang dibutuhkan adalah
antibodi untuk netralisasi toksin.

Daftar Pustaka
1. Roitt I. Essential Immunology. Edisi ke-11. Blackwell Publishing, 2006.
2. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.
3. Grabenstein JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis, MO:
Wolters Kluwer Health, Inc., 2006.
4. Cell MediatedImmuneResponses: Activation of TLymphocytes by Cell Associated Microbes.
Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic Immunology,functions and
disorders of the immune system. Edisi pertama. W.B.Saunders, 2001.h.87-108.
5. Humoral Immune Responses: Activation of B lymphocytes and Production of
Antibodies. Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic
immunology, functions and disorders of immune system. Edisi pertama W.B.Saunders,
2001.h.125-45.

40 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab 1-3
Jenis Vaksin
Hariyono Suyitno

Pada dasarnya, vaksin dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu


· Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan)
· Inactivated (kuman, virus atau komponennya yang dibuat
tidak aktif)
Sifat vaksin attenuated dan inactivated berbeda sehingga hal ini
menentukan bagaimana vaksin ini digunakan.
Vaksin hidup attenuated diproduksi di laboratorium dengan cara
melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin
mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk
tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan
tetapi tidak menyebabkan penyakit.
Vaksin inactivated dapat terdiri atas seluruh tubuh virus atau
bakteri, atau komponen (fraksi) dari kedua organisme tersebut.
Vaksin komponen dapat berbasis protein atau berbasis polisakarida.
Vaksin yang berbasis protein termasuk toksoid (toksin bakteri yang
inactivated) dan produk sub-unit atau sub-vision. Sebagian besar vaksin
berbasis polisakarida terdiri atas dinding sel polisakarida asli bakteri.
Vaksin penggabungan (conjugate vaccine) polisakarida adalah vaksin
polisakarida yang secara kimiawi dihubungkan dengan protein; karena
hubungan ini membuat polisakarida tersebut menjadi lebih poten.

Vaksin Hidup Attenuated


Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab
penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan (attenuated) di
laboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang.
Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 41


Hariyono Suyitno

untuk mengubah virus campak liar menjadi virus vaksin dibutuhkan


10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan media
pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit
campak pada tahun 1954.
· Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin
hidup attenuated harus berkembang biak (mengadakan
replikasi) di dalam tubuh resipien. Suatu dosis kecil virus atau
bakteri yang diberikan, yang kemudian mengadakan replikasi di
dalam tubuh dan meningkat jumlahnya sampai cukup besar
untuk memberi rangsangan suatu respons imun.
· Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol
(misalnya panas atau cahaya) atau pengaruh luar terhadap
replikasi organisme dalam tubuh (antibodi yang beredar)
dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.
· Walaupun vaksin hidup attenuated dapat menyebabkan
penyakit, umumnya bersifat ringan dibanding dengan penyakit
alamiah dan itu dianggap sebagai kejadian ikutan (adverse event).
Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya
sama dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons
imun tidak membedakan antara suatu infeksi dengan virus
vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar.
· Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah
menjadi bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi
pada vaksin polio hidup.
· Imunitas aktif dari vaksin hidup attenuated tidak dapat
berkembang karena pengaruh dari antibodi yang beredar.
Antibodi yang masuk melalui plasenta atau transfusi dapat
mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan
menyebabkan tidak adanya respons. Vaksin campak merupakan
mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang
beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling
sedikit terkena pengaruh.
· Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami
kerusakan bila kena panas atau sinar, maka harus dilakukan
pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hati-hati.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 42


Jenis
Vaksin

Vaksin hidup attenuated yang tersedia


· Berasal dari virus hidup: vaksin campak, gondongan
(parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam kuning (yellow
fever).
· Berasal dari bakteri: vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Vaksi n Inactivated
· Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri
atau virus dalam media pembiakan (persemaian), kemudian
dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penanaman bahan kimia
(biasanya formalin). Untuk vaksin komponen, organisme
tersebut dibuat murni dan hanya komponen-komponennya
yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida
dari kuman pneumokokus).
· Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka
seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini
tidak menyebabkan penyakit (walaupun pada orang dengan
defisiensi imun) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi
bentuk patogenik. Tidak seperti antigen hidup, antigen inactivated
umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin
inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi
darah (misalnya pada bayi, menyusul penerimaan antibodi yang
dihasilkan darah).
· Vaksin inactivated selalu membutuhkan dosis multipel. Pada
umumnya, pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas
protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun.
Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau
ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai
respons imun mirip atau sama dengan infeksi alami, respons
imun terhadap vaksin inantivated sebagian besar humoral, hanya
sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi
terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu.
Sebagai hasilnya maka vaksin inactivated membutuhkan dosis
suplemen (tambahan) secara periodik.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 43


Hariyono Suyitno

· Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi


terhadap penyakit masih memerlukan vaksin seluruh sel
(whole cell), namun vaksin bakterial seluruh sel bersifat paling
reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan
atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-
komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk
perlindungan (contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT).
Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari,
· Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio
(injeksi disuntikkan), rabies, hepatitis A
· Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid,
kolera, lepra.
· Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis
B, influenza, pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.
· Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum
· Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus,
dan Haemophillus influenzae tipe b
· Gabungan polisakarida (Haemophillus influenzae tipe b
dan pneumokokus)

Vaksin Polisakarida
· Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang
inactivated dengan bentuknya yang unik terdiri atas rantai panjang
molekulmolekul gula yang membentuk permukaan kapsul
bakteri tertentu. Vaksin polisakarida murni tersedia untuk 3
macam penyakit yaitu pneumokokus, meningokokus dan
Haemophillus influenzae type b.
· Respons imun terhadap vaksin polisakarida murni
adalah sel T independen khusus yang berarti bahwa vaksin ini
mampu memberi stimulasi sel B tanpa bantuan sel T helper.
Antigen sel T independen termasuk vaksin polisakarida, tidak
selalu imunogenik pada anak umur kurang dari 2 tahun. Anak
kecil tidak memberi respons terhadap antigen polisakarida;
mungkin

44 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Jenis
Vaksin

ada hubungannya dengan keadaan yang masih imatur dari


sistem imunnya, terutama fungsi sel T.
· Dosis vaksin polisakarida yang diulang tidak
menyebabkan respons peningkatan (booster response). Dosis
ulangan vaksin protein inactivated menyebabkan titer antibodi
menjadi lebih tinggi secara progresif atau meningkat. Hal ini
tidak dijumpai pada antigen polisakarida. Antibodi yang
dibangkitkan oleh vaksin polisakarida mempunyai aktifitas
fungsional kurang dibandingkan dengan apabila dibangkitkan oleh
antigen protein. Hal ini karena antibodi yang dihasilkan dalam
respons terhadap vaksin polisakarida hanya didominasi IgM
dan hanya sedikit IgG yang diproduksi.
· Pada akhir tahun 1980-an telah ditemukan bahwa masalah
seperti di atas dapat diatasi melalui proses yang disebut
penggabungan atau konjugasi (conjugation). Konjugasi
mengubah respons imun dari sel T independen menjadi sel
T dependen yang menyebabkan peningkatan sifat imunitas
(immunogenicity) pada bayi dan respons peningkatan antibodi
terhadap dosis vaksin ganda vaksin polisakarida. Conjugasi
yang pertama adalah Haemophillus influenzae type b. Suatu vaksin
konjugasi lainnya ialah vaksin pneumokok.

Vaksin Rekombinan

Antigen vaksin dapat pula dihasilkan dengan cara teknik rekayasa


genetik. Produk ini sering disebut sebagai vaksin rekombinan.
Terdapat 3 jenis vaksin yang dihasilkan dengan rekayasa genetik
yang saat ini telah tersedia.
· Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan
suatu segmen gen virus hepatitis B ke dalam gen sel ragi. Sel ragi
yang telah berubah (modified) ini menghasilkan antigen
permukaan hepatitis B murni.
· Vaksin tifoid (Ty 21a) adalah bakteria Salmonella typhi yang
secara
genetik diubah (modified) sehingga tidak menyebabkan sakit.

45 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

• Tiga dari 4 virus yang berada di dalam vaksin rotavirus hidup


adalah rotavirus kera rhesus yang diubah (modified) secara
genetik menghasilkan antigen rotavirus manusia apabila mereka
mengalami replikasi.

Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. Active Immunization. Dalam Pickering LK.,
Penyunting. Red Book 2000, Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke
25. Elk Grove Village:American of Pediarics, 2000. h.6-26.
2. National Health and Medical Research Council. The Australian Immunisation
Handbook. 9th ed. Australian Government Department of Health and Ageing. 2008.
3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Classification of vaccine. Dalam Atkinson
W, Humiston S, Wolfe, R., penyunting. Epidemiology and Prevention of vaccine
Preventable Diseases. Edisi ke 5. Atlanta:Department of Health & Human Services,
CDC, 1999.h.4-8
5. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.

46 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab II
Penyimpanan dan
Transportasi Vaksin
Bab II-1. Rantai vaksin
Bab II – 2. Kualitas vaksin

Pen gantar

Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati
(inaktif) yang mempunyai ketahanan dan stabilitas yang berbeda
terhadap perbedaan suhu. Oleh karena itu harus diperhatikan
syarat-syarat penyimpanan dan transportasi vaksin untuk menjamin
potensinya ketika diberikan kepada seorang anak. Bila syarat-syarat
tersebut tidak diperhatikan maka vaksin sebagai material biologis
mudah rusak atau kehilangan potensinya untuk merangsang
kekebalan tubuh, bahkan bisa menimbulkan kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Untuk menghindari halhal
yang tidak diinginkan dibutuhkan pemahaman mengenai
ketahanan vaksin terhadap perbedaan suhu dan pemahaman rantai
vaksin (cold –chain). Diperlukan syarat-syarat tertentu, sehingga
sejak dari pabrik sampai saat diberikan kepada pasien vaksin tetap
terjamin kualitasnya. Selain itu perlu pula mengenali kondisi vaksin
yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi, antara lain dari tanggal
kadaluwarsa, warna cairan, kejernihan, endapan, warna vaccine
vial monitor (VVM), kerusakan label, dan sisa vaksin yang sudah
dilarutkan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 47


Bab II-1
Rantai Vaksin
Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan


transportasi vaksin dengan menggunakan berbagai peralatan
sesuai prosedur untuk menjamin kualitas vaksin sejak dari pabrik
sampai diberikan kepada pasien. Rantai vaksin terdiri dari proses
penyimpanan vaksin di kamar dingin atau kamar beku, di lemari
pendingin, di dalam alat pembawa vaksin, pentingnya alat-alat
untuk mengukur dan mempertahankan suhu.
Secara umum ada 2 jenis vaksin yaitu vaksin hidup (polio oral,
BCG, campak, MMR, varicella dan demam kuning) dan vaksin mati
atau inaktif (DPT, Hib, pneumokokus, typhoid, influenza, polio inaktif,
meningokokus). Dampak perubahan suhu pada vaksin hidup dan mati
berbeda. Untuk itu harus di ketahui suhu optimum untuk setiap vaksin
sesuai petunjuk pernyimpanan dari pabrik masing-masing.

Suhu optimum untuk vaksin hidup


Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2
s/d +80 C, di atas suhu +80 C vaksin hidup akan cepat mati, vaksin
polio hanya bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak yang belum
dilarutkan mati dalam 7 hari. aksin hidup potensinya masih tetap
baik pada suhu kurang dari 2oC s/d beku. Vaksin polio oral yang
belum dibuka lebih bertahan lama (2 tahun) bila disimpan pada
suhu -25oC s/d -15oC, namun hanya bertahan 6 bulan pada suhu
+2oC s/d +80 C.
Vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada
suhu -25oC s/d -15oC, umur vaksin tidak lebih lama dari suhu +2 oC
s/d +8o C, yaitu BCG tetap 1 tahun dan campak tetap 2 tahun. Oleh

48 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rantai Vaksin

karena itu vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan tidak
perlu disimpan di -25 s/d -15 o C atau di dalamfreezer.

Suhu optimum untuk vaksin mati


Vaksin mati (inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu +2oC s/d
+8oC juga, pada suhu dibawah +2oC (beku) vaksin mati (inaktif)
akan cepat rusak. Bila beku dalam suhu -0.5oC vaksin hepatitis
B dan DPT-Hepatitis B (kombo) akan rusak dalam 1/2 jam, tetapi
dalam suhu di atas 8o C vaksin hepatitis B bisa bertahan sampai 30
hari, DPT-hepatitis B kombinasi sampai 14 hari. Dibekukan dalam
suhu -5oC s/d – 10oC vaksin DPT, DT dan TT akan rusak dalam
1,5 sd 2 jam, tetapi bisa bertahan sampai 14 hari dalam suhu di
atas 8oC.

Kamar Dingin dan Kamar Beku

Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumnya
berada di pabrik, distributor pusat, Departemen Kesehatan atau
Dinas Kesehatan Propinsi, berupa ruang yang besar dengan
kapasitas 5 – 100 m3, untuk menyimpan vaksin dalam jumlah
yang besar. Suhu kamar dingin berkisar +2oC s/d +8oC, terutama
untuk menyimpan vaksin-vaksin yang tidak boleh beku. Suhu
kamar beku berkisar antara -25oC s/d -15oC, untuk menyimpan
vaksin yang boleh beku, terutama vaksin polio. Kamar dingin
dan kamar beku harus beroperasi terus menerus, menggunakan
2 alat pendingin yang bekerja bergantian. Aliran listerik tidak
boleh terputus sehingga harus dihubungkan dengan pembangkit
listerik yang secara otomatis akan berfungsi bila listerik mati. Suhu
ruangan harus dikontrol setiap hari dari data suhu yang tercatat
secara otomatis. Alarm akan berbunyi bila suhu kurang dari 2oC,
atau diatas 8oC, atau listrik padam. Pintu tidak boleh sering dibuka
tutup. Kamar dingin dan kamar beku tidak boleh digunakan untuk
membuat cool pack atau cold pack, atau meletakkan benda-benda

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 49


Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

lain. Pembuatan cold pack dan cold pack menggunakan lemari


pendingin tersendiri

Lemari es dan freezer


Setiap lemari es sebaiknya mempunyai 1 stop kontak tersendiri.
Jarak lemari es dengan dinding belakang 10–15 cm, kanan kiri 15
cm, sirkulasi udara disekitarnya harus baik. Lemari es tidak boleh
terkena panas matahari langsung.
Suhu di dalam lemari es harus berkisar +2 oC s/d +8oC,
digunakan untuk menyimpan vaksin-vaksin hidup maupun mati,
dan untuk membuat cool pack (kotak dingin cair). Sedangkan
suhu di dalam freezer berkisar antara -25oC s/d -15oC, khusus
untuk menyimpan vaksin Polio dan pembuatan cold pack (kotak
es beku).
Termostat di dalam lemari es harus diatur sedemikian rupa
sehingga suhunya berkisar antara +2oC s/d +8oC dan suhufreezer
berkisar -15oC s/d -25oC. Perubahan suhu dapat diketahui setelah
24 jam pengaturan termostat, dengan melihat termometer Dial
atau Muller yang diletakkan pada rak ke 2. Di dalam lemari es
lebih baik bila dilengkapi freeze watch atau freeze tag pada rak ke
3, untuk memantau apakah suhunya pernah mencapai dibawah
0 derajat.
Setelah suhu stabil, posisi termostat jangan diubah, sebaiknya
termostat difiksasi dengan pita perekat (selotape) agar tidak
tergeser ketika mengambil atau meletakkan vaksin. Sebaiknya
pintu lemari es hanya dibuka dua kali sehari, yaitu ketika
mengambil vaksin dan mengembalikan sisa vaksin, sambil
mencatat suhu lemari es.
Pintu lemari es ada dua jenis : membuka ke depan dan membuka
ke atas, masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian.
Lemari es dengan pintu membuka ke atas lebih dianjurkan untuk
penyimpanan vaksin.

50 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rantai Vaksin

Tabel 2.1. Perbedaan lemari es dengan pintu membuka ke depan dan ke


atas

Pintu membuka ke depan Pintu membuka ke atas


1.
Suhu tidak stabil. 1. Suhu lebih stabil.
Pada saat pintu dibuka Pada saat pintu dibuka ke atas,
kedepan, suhu dingin turun suhu dingin turun dari atas
dari atas kebawah dan keluar kebawah, tidak keluar
2. Bila listerik padam relatif 2. Bila listerik padam relatif bisa
tidak bertahan lama bertahan lebih lama
3. Jumlah vaksin yang bisa 3. Jumlah vaksin yang bisa
disimpan lebih sedikit disimpan lebih banyak
4. Susunan vaksin lebih mudah 4. Susunan vaksin lebih sulit
dilihat dari depan dikontrol karena bertumpuk sulit
dilihat dari atas

Karet-karet pintu harus diperiksa kerapatannya, untuk menghindari


keluarnya udara dingin. Bila pada dinding lemari es telah terdapat
bunga es, atau di freezer telah mencapai tebal 2-3 cm harus segera
dilakukan pencairan (defrost). Sebelum melakukan pencairan,
pindahkan semua vaksin ke cool box atau lemari es yang lain.
Cabut kontak listerik lemari es, biarkan pintu lemari es danfreezer
terbuka selama 24 jam, kemudian dibersihkan. Setelah bersih,
pasang kembali kontak listerik, tunggu sampai suhu stabil. Setelah
suhu lemari sedikitnya mencapai + 80 C dan suhufreezer – 15 0 C,
masukkan vaksin sesuai tempatnya.

Susunan vaksin di dalam lemari es


Karena vaksin hidup dan vaksin inaktif mempunyai daya tahan
berbeda terhadap suhu dingin, maka kita harus mengenali
bagian yang paling dingin dari lemari es. Kemudian kita
meletakkan vaksin hidup dekat dengan bagian yang paling
dingin, sedangkan vaksin mati jauh dari bagian yang paling
dingin. Di antara kotak-kotak vaksin beri jarak selebar jari
tangan (sekitar 2 cm) agar udara dingin bisa menyebar merata
ke semua kotak vaksin.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 51


Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

34 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rantai Vaksin

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 53


Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Bagian paling bawah tidak untuk menyimpan vaksin tetapi


khusus untuk meletakkan cool pack, untuk mempertahankan suhu bila
listerik mati. Pelarut vaksin jangan disimpan di dalam lemari es atau
freezer, karena akan mengurangi ruang untuk vaksin, dan akan pecah
bila beku. Penetes (dropper) vaksin polio juga tidak boleh diletakkan
di lemari es atau freezer karena akan menjadi rapuh, mudah pecah.
Tidak boleh menyimpan makanan, minuman, obat-obatan
atau benda-benda lain di dalam lemari es vaksin, karena akan
mengganggu stabilitas suhu karena sering dibuka.

Lemari es dengan pintu membuka kedepan


Bagian yang paling dingin lemari es ini adalah di bagian paling atas
(freezer). Di dalam freezer di simpan cold pack, sedangkan rak tepat
dibawah freezer untuk meletakkan vaksin–vaksin hidup, karena
tidak mati pada suhu rendah. Rak yang lebih jauh darifreezer (rak
ke 2 dan 3) untuk meletakkan vaksin-vaksin mati (inaktif), agar
tidak terlalu dekat freezer, untuk menghindari rusak karena beku.
Termometer Dial atau Muller diletakkan pada rak ke 2, freeze watch
atau freeze tag pada rak ke 3

Gambar 2.1 . Tata letak vaksin dalam lemari es yang membuka ke depan, perhatikan bahwa vaksin
hidup (BCG, campak, polio) boleh dekat pendingin (freezer), vaksin mati harus jauh dari pendingin
(freezer)

54 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rantai Vaksin

Lemari es dengan pintu membuka ke atas

Bagian yang paling dingin dalam lemari es ini adalah bagian tengah
(evaporator) yang membujur dari depan ke belakang. Oleh karena
itu vaksin hidup diletakkan di kanan-kiri bagian yang paling dingin
(evaporator). Vaksin mati diletakkan dipinggir, jauh dari evaporator.
Beri jarak antara kotak-kotak vaksin selebar jari tangan (sekitar 2
cm). Letakkan termometer Dial atau Muller atau freeze watch/freeze
tag dekat vaksin mati.

Gambar 2.2. Lemari es dengan pintu membuka keatas


Keterangan gambar: Kotak vaksin hidup boleh dekat pendingin, vaksin mati (inaktif) jauh dari pendingin

55 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Wadah pembawa vaksin

Untuk membawa vaksin dalam jumlah sedikit dan jarak tidak


terlalu jauh dapat menggunakan cold box (kotak dingin) atau vaccine
carrier (termos). Cold box berukuran lebih besar, dengan ukuran
40 – 70 liter, dengan penyekat suhu dari poliuretan, selain untuk
transportasi dapat pula untuk menyimpan vaksin sementara. Untuk
mepertahankan suhu vaksin di dalam kotak dingin atau termos
dimasukkan cold pack atau cool pack.

A B C

Gambar 2.3. Kotak Dingin, b) Vaksin Carrier, c) cool pack

Cold Pack dan Cool Pack

Cold pack berisi air yang dibekukan dalam suhu -15 s/d – 25 0 C
selama 24 jam, biasanya di dalam wadah plastik berwarna putih.
Cool pack berisi air dingin (tidak beku) yang didinginkan dalam
suhu +2 s/d +80 C selama 24 jam, biasanya di dalam wadah plastik
berwarna merah atau biru. Cold pack (beku) dimasukkan ke dalam
termos untuk mepertahankan suhu vaksin ketika membawa vaksin
hidup sedangkan cool pack (cair) untuk membawa vakdin hidup dan
vaksin mati (inaktif).

56 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rantai Vaksin

cold pack/cool
pack

Spon busa

semua jenis
vaksin

57 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Gambar 2.4. Cara membawa vaksin dalam vaccine carrier

58 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rantai Vaksin

Daftar Pustaka

1. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.


Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2005
2. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin Program
Imunisasi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2004.
3. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2005.
4. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia; 2008.
1. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker
CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on
Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics;
2003.
5. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo,
WB Saunders, 2004.
7. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 59


Bab II-2
Menilai Kualitas Vaksin
Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Seperti telah diuraikan dalam Bab II-1, vaksin hidup akan mati pada
suhu di atas batas tertentu, dan vaksin mati (inaktif) akan rusak di
bawah suhu tertentu. Bila pengelolaan vaksin dan rantai vaksin
tidak baik, maka vaksin tidak mampu merangsang kekebalan
tubuh secara optimal bahkan dapat menimbulkan kejadian ikutan
pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Oleh karena itu
dalam pelayanan sehari-hari kita kita perlu memahami beberapa
hal praktis untuk menilai apakah vaksin masih layak diberikan
kepada pasien atau tidak. Namun untuk mengetahui potensi vaksin
yang sesungguhnya harus dilakukan pemeriksaan laboratorium
yang rumit.

Kualitas rantai vaksin dan tanggal kadaluwarsa


Untuk mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpanan dan
transportasi vaksin harus memenuhi syarat rantai vaksin yang baik,
antara lain: disimpan di dalam lemari es atau freezer dalam suhu
tertentu, transportasi vaksin di dalam kotak dingin atau twermos
yang tertutup rapat, tidak terendam air, terlindung dari sinar
matahari langsung, belum melewati tanggal kadaluarsa, indikator
suhu berupa VVM (vaccine vial monitor) atau freeze watch / tag belum
melampaui batas suhu tertentu.

VVM (vaccine vial monitor)


Vaccine vial monitor untuk menilai apakah vaksin sudah pernah
terpapar suhu diatas batas yang dibolehkan, dengan membandingkan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 60


Menilai Kualitas Vaksin

warna kotak segi empat dengan warna lingkaran di sekitarnya.


Bila warna kotak segi empat lebih muda daripada lingkaran dan
sekitarnya (disebut kondisi VVM A atau B) maka vaksin belum
terpapar suhu di atas batas yang diperkenankan. Vaksin dengan
kondisi VVM B harus segera dipergunakan.

A. Segi empat lebih terang dari lingkaran sekitar


- Bila belum kadaluwarsa: GUNAKAN vaksin.

B. Segi empat berubah gelap tapi lebih terang dari lingkaran


sekitar
- Bila belum kadaluwarsa: SEGERA GUNAKAN vaksin.

C. Segi empat sama warna dengan lingkaran sekitar


- JANGAN GUNAKAN vaksin: Lapor kepada pimpinan.

D. Segi empat lebih gelap dari lingkaran sekitar


- JANGAN GUNAKAN vaksin: Lapor kepada pimpinan.
Gambar 2.5. Perubahan warna Vaccine Vial Monitor

Bila warna kotak segi empat sama atau lebih gelap daripada
lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM C atau D) maka
vaksin sudah terpapar suhu di atas batas yang diperkenankan, tidak
boleh diberikan pada pasien.

Freeze watch dan freeze tag


Alat ini untuk mengetahui apakah vaksin pernah terpapar suhu
dibawah 00 C. Bila dalam freeze watch terdapat warna biru yang
melebar ke sekitarnya atau dalam freeze tag ada tanda silang (X),
berarti vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0oC yang dapat
merusak vaksin mati (inaktif). Vaksin-vaksin tersebut tidak boleh
diberikan kepada pasien.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 61


Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Gam b ar 2 . 6 . Freeze Watch Gambar 11. Freeze Tag

Warna dan kejernihan vaksin


Warna dan kejernihan beberapa vaksin dapat menjadi indikator
praktis untuk menilai stabilitas vaksin. Vaksin polio harus berwarna
kuning oranye. Bila warnanya berubah menjadi pucat atau
kemerahan berarti pHnya telah berubah, sehingga tidak stabil dan
tidak boleh diberikan kepada pasien.
Vaksin toksoid, rekombinan dan polisakarida umumnya
berwarna putih jernih sedikit berkabut. Bila menggumpal atau
banyak endapan berarti sudah pernah beku, tidak boleh digunakan
karena sudah rusak. Untuk meyakinkan dapat dilakukan uji kocok
seperti dibawah ini.
Bila vaksin setelah dikocok tetap menggumpal atau mengendap,
maka vaksin tidak boleh digunakan karena sudah rusak.

Gambar 2.7. Uji kocok (Shake test)

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 62


Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Pemilihan vaksin
Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah : vaksin yang belum
dibuka tetapi telah dibawa ke lapangan, sisa vaksin telah dibuka
(dipergunakan), vaksin dengan VVM B, vaksin dengan tanggal
kadaluarsa sudah dekat (EEFO = early expire first out), vaksin yang
sudah lama tersimpan dikeluarkan segera (FIFO = first in first out).

Sisa vaksin di sarana pelayanan statis (Puskesmas, Klinik,


Rumah Sakit, praktek swasta)

Sisa vaksin yang telah dibuka di sarana pelayanan statis masih


bisa diberikan pada pelayanan berikutnya bila masih memenuhi
syarat-syarat, tidak melewati tanggal kadaluwarsa, disimpan
dalam suhu +2 s/d +80 C, tidak pernah terendam air, VVM A atau
B, tidak lebih dari 3 - 4 minggu setelah dibuka. Oleh karena itu
sebaiknya selalu ditulis tanggal mulainya penggunaan vaksin
terebut. Vaksin yang sudah terbuka atau sedang dipakai diletakkan
dalam satu wadah/tempat khusus (tray), sehingga segera dapat
dikenali.
Khusus untuk vaksin yang telah dilarutkan, stabilitas vaksin
lebih singkat. Vaksin BCG yang telah dilarutkan walaupun
disimpan di dalam suhu +2 s/d +80 C hanya stabil selama 3jam
(WHO 6 jam). Vaksin campak yang telah dilarutkan walaupun
disimpan di dalam suhu +2 s/d +8 0 C hanya stabil selama 6 - 8
jam. Vaksin Hib yang sudah dilarutkan harus dibuang setelah
24 jam. Vaksin varisela yang sudah dilarutkan harus dibuang
setelah 30 menit.

63 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa

Tabel 2.3. Masa pemakaian vaksin dari vial yang sudah dibuka di sarana
pelayanan statis

Vaksin Masa Pemakaian


POLIO 2 minggu
DPT 4 minggu
DT 4 minggu
TT 4 minggu
Hepatitis B 4 minggu

Sisa vaksin di sarana pelayanan luar gedung

Vaksin yang belum dibuka tetapi sudah dibawa ke lapangan


harus diberi tanda khusus untuk segera dipergunakan pada
pelayanan berikutnya, selama semua syarat-syarat masih
terpenuhi. Sisa vaksin yang telah dibuka di lapangan sebaiknya
dimusnahkan dengan membakar di dalam insinerator bersama
alat suntik bekas, atau dikubur sedalam 2-3 meter.

Daftar Pustaka

1. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.


Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2005
2. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin Program
Imunisasi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2004.
3. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2005.
4. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia; 2008.
5. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker
CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on
Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics;
2003.

64 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab III
Prosedur Imunisasi
1. Tatacara pemberian imunisasi
2. Penjelasan kepada orang tua mengenai imunisasi
3. Catatan imunisasi
4. Safety injection

Pengantar

Imunisasi sebagai upaya pencegahan primer yang sangat handal,


memerlukan pemahaman dan ketrampilan dari para pelakunya
mengenai prosedur-prosedur yang harus dilakukan sebelum, selama
dan sesudah melakukan imunisasi.
Prosedur imunisasi dimulai dari menyiapkan dan membawa
vaksin, mempersiapkan anak dan orangtua, tehnik penyuntikan
yang aman, pencatatan, pembuangan limbah, sampai pada teknik
penyimpanan dan penggunaan sisa vaksin dengan benar. Penjelasan
kepada orang tua serta pengasuhnya sebelum dan setelah imunisasi
perlu dipelajari pula. Pengetahuan tentang kualitas vaksin yang
masih boleh diberikan pada bayi/anak perlu mendapat perhatian.
Ukuran jarum, lokasi suntikan, cara mengurangi ketakutan dan rasa
nyeri pada anak juga perlu diketahui. Imunisasi perlu dicatat dengan
lengkap, termasuk keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi.
Dengan prosedur imunisasi yang benar diharapkan akan
diperoleh kekebalan yang optimal, penyuntikan yang aman, kejadian
ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang minimal, serta pengetahuan dan
kepatuhan orangtua pada jadwal imunisasi.

65 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab III-1
Tata-Cara Pemberian Imunisasi
Qariyono Q7uyitno

Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara


seperti berikut
· Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan
risiko apabila tidak divaksinasi.
· Periksa kembali persiapan untuk melakukan
pelayanan
secepatnya bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
· Baca dengan teliti informasi tentang yang akan diberikan
dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan
tanya jawab dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum
melakukan imunisasi.
· Tinjau kembali apakah ada indikasi kontra terhadap vaksin
yang akan diberikan.
· Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik
bila diperlukan.
· Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut
telah disimpan dengan baik.
· Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-
tanda perubahan. Periksa tanggal kadaluwarsa dan catat hal-
hal istimewa, misalnya adanya perubahan warna yang
menunjukkan adanya kerusakan.
· Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal
dan ditawarkan pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi
yang tertinggal (catch up vaccination) bila diperlukan.
· Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian
mengenai pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi
suntikan, dan posisi penerima vaksin.
· Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal seperti
berikut. o Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang
tua atau
66 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Tata -Cara Pemberian
Vaksin

pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi


yang biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.
oCatat imunisasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan
klinis.
oCatatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada
Dinas Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular (
P2M ).
oPeriksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan
tawarkan vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila
diperlukan.
Dalam situasi vaksinasi yang dilaksanakan untuk kelompok
besar, pelaksanaannya dapat bervariasi, namun rekomendasi
tetap seperti di atas yang berpegang pada prinsip-prinsip higienis,
surat persetujuan yang valid, dan pemeriksaan/penilaian sebelum
imunisasi harus dikerjakan.

Penyimpanan
Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan
kehilangan potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur)
informasi produk harus disertakan. Aturan umum untuk sebagian
besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 2-8o
C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, hepatitis B, dan
hepatitis A) menjadi tidak aktif bila beku. Pengguna dinasehatkan
untuk melakukan konsultasi guna mendapatkan informasi khusus
vaksin-vaksin individual, karena beberapa vaksin (OPV dan
Yellow fever) dapat disimpan dalam keadaan beku. Pedoman secara
rinci bagaimana menyimpan secara benar dan pengangkutannya
diuraikan pada Bab II Penyimpanan dan Transportasi Vaksin.

Pengenceran
Vaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut
khusus dan digunakan dalam periode waktu tertentu. Apabila

67 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

vaksin telah diencerkan, harus diperiksa terhadap tanda-tanda


kerusakan (warna dan kejernihan). Perlu diperhatikan bahwa
vaksin campak yang telah diencerkan cepat mengalami perubahan
pada suhu kamar. Jarum ukuran 21 yang steril dianjurkan untuk
mengencerkan dan jarum ukuran 23 dengan panjang 25 mm
digunakan untuk menyuntikkan vaksin.

Pembersihan kulit
Tempat suntkan harus dibersihkan sebelum imunisasi dilakukan,
namun apabila kulit telah bersih, antiseptik kulit tidak
diperlukan.

Pemberian suntikan
Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular
atau subkutan dalam. Terdapat perkecualian pada dua jenis
vaksin yaitu OPV diberikan per-oral dan BCG diberikan dengan
suntikan intradermal (dalam kulit). Walaupun vaksin sebagian
besar diberikan secara suntikan intramuskular atau subkutan
dalam, namun bagi petugas kesehatan yang kurang berpengalaman
memberikan suntikan subkutan dalam, dianjurkan memberikan
dengan cara intra muskular.

Teknik dan ukuran jarum


Para petugas yang melaksanaan vaksinasi harus memahami teknik
dasar dan petunjuk keamanan pemberian vaksin, untuk mengurangi
risiko penyebaran infeksi dan trauma akibat suntukan yang salah.
Pada tiap suntikan harus digunakan tabung suntikan dan jarum
baru, sekali pakai dan steril. Sebaiknya tidak digunakan botol
vaksin yang multidosis, karena risiko infeksi. Apabila memakai
botol multidosis (karena tidak ada alternatif vaksin dalam sediaan
lain) maka jarum suntik yang telah digunakan menyuntik tidak

68 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

boleh dipakai lagi mengambil vaksin. Tabung suntik dan jarum


harus dibuang dalam tempat tertutup yang diberi tanda (label) tidak
mudah robek dan bocor, untuk menghindari luka tusukan atau
pemakaian ulang. Tempat pembuangan jarum suntik bekas harus
dijauhkan dari jangkauan anak-anak. Diharapkan semua petugas
kesehatan memahami benar buku petunjuk ini.
Sebagian besar vaksin harus disuntikkan ke dalam otot.
Penggunaan jarum yang pendek meningkatkan risiko terjadi
suntikan subkutan yang kurang dalam. Hal ini menjadi masalah
untuk vaksin-vaksin yang inaktif (inactivated).
Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25 mm,
tetapi ada perkecualian lain dalam beberapa hal seperti berikut:
 pada bayi-bayi kurang bulan, umur dua bulan atau yang
lebih muda dan bayi-bayi kecil lainnya, dapat pula dipakai
jarum ukuran 26 dengan panjang 16 mm,
 untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dipakai jarum
ukuran 25 dengan panjang 16 mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai
jarum ukuran 27 dengan panjang 12 mm,
 untuk suntikan intramuskular pada orang dewasa yang
sangat gemuk (obese) dipakai jarum ukuran 23 dengan
panjang 38 mm,
 untuk suntikan intradermal pada vaksinasi BCG dipakai
jarum ukuran 25-27 dengan panjang 10 mm.

Arah sudut jarum pada suntikan intramuskular


Jarum suntik harus disuntikkan dengan sudut 450 sampai 600
ke dalam otot vastus lateralis atau otot deltoid. Untuk otot
vastus lateralis, jarum harus diarahkan ke arah lutut dan untuk
deltoid jarum harus diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan
pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan
pada sudut 900. Pada suntikan dengan sudut jarum 450 sampai
600 akan mengalami hambatan ringan pada waktu jarum masuk
ke dalam otot.

69 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

Tempat suntikan yang dianjurkan


Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk
vaksinasi pada bayi-bayi dan anak-anak umur di bawah 12 bulan.
Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak-anak
yang lebih besar (mereka yang telah dapat berjalan) dan orang
dewasa.
Sejak akhir tahun 1980, WHO telah memberi rekomendasi bahwa
daerah anterolateral paha adalah bagian yang dianjurkan untuk
vaksinasi bayi-bayi dan tidak pada pantat (daerah gluteus) untuk
menghidari risiko kerusakan saraf iskhiadika ( nervus ischiadicus).
Buku pedoman ACIP dan AAP dan buku pedoman Selandia Baru
juga menganjurkan paha anterolateral sebagai tempat suntikan
vaksin. Buku pedoman Inggris mengajurkan paha anterolateral atau
lengan atas pada bayi sebagai tempat suntikan.
Risiko kerusakan saraf ischiadika akibat suntikan di daerah gluteus
lebih banyak dijumpai pada bayi karena variasi posisi saraf tersebut,
masa otot lebih tebal, sehingga pada vaksinasi dengan suntikan
intramuskular di daerah gluteal dengan tidak disengaja menghasilkan
suntikan subkutan dengan reaksi lokal yang lebih berat. Vaksin
hepatitis B dan rabies bila disuntikkan di daerah gluteal kurang
imunogenik; hal ini berlaku untuk semua umur.
Rekomendasi untuk penyuntikkan vaksin di daerah paha
anterio lateral sebenarnya telah diketahui, namun beberapa petugas
kesehatan masih segan meninggalkan praktek tradisionalnya
dengan menyuntik di daerah gluteal. Sehubungan dengan hal
tersebut, dianjurkan untuk selalu mengulang kembali dengan
memberi peringatan bahwa bila vaksin-vaksin tersebut disuntikkan
di daerah gluteal harus hati-hati, yaitu dengan memilih lokasi
suntikan yang tepat untuk menghidari saraf ischiadika. Sedangkan
untuk vaksinasi BCG, harus disuntik pada kulit di atas insersi otot
deltoid (lengan atas), sebab suntikan-suntikan diatas puncak pundak
memberi risiko terjadinya keloid.

70 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Tata -Cara Pemberian
Vaksin

Posisi anak dan lokasi suntikan


Vaksin yang disuntikkan harus diberikan pada bagian dengan
risiko kerusakan saraf, pembuluh vaskular serta jaringan lainnya.
Penting bahwa bayi dan anak jangan bergerak saat disuntik,
walaupun demikian cara memegang bayi dan anak yang berlebihan
akan menambah ketakutan sehingga meningkatkan ketegangan
otot. Perlu diyakinkan kepada orang tua atau pengasuh untuk
membantu memegang anak atau bayi, dan harus diberitahu agar
mereka memahami apa yang sedang dikerjakan.

Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di
bawah 12 bulan adalah
 Menghindari risiko kerusakan saraf ischiadika pada
suntikan daerah gluteal.
 Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal
untuk menyerap suntikan secara adekuat.
 Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B dan rabies
berkurang bila disuntikkan di daerah gluteal.
 Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuk
pembengkakan di tempat suntikan yang menahun.
 Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada
paha bagian anterior.

Vastus lateralis, posisi anak dan lokasi suntikan


Vastus lateralis adalah otot bayi yang tebal dan besar, yang mengisi
bagian anterolateral paha. Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas
antara sepertiga otot bagian atas dan tengah yang merupakan bagian
yang paling tebal dan padat. Jarum harus membuat sudut 45 o-60o
terhadap permukaan kulit, dengan jarum ke arah lutut, maka jarum
tersebut harus menembus kulit selebar ujung jari di atas (ke arah
proksimal) batas hubungan bagian atas dan sepertiga tengah otot.
Anak atau bayi diletakkan di atas meja periksa, dapat dipegang oleh
orang tua/pengasuh atau posisi setengah tidur pada pangkuan orang

71 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

tua atau pengasuhnya. Celana (popok) bayiharus dibukabila menutupi


otot vastus lateralis sebagai lokasi suntikkan, bila tidak demikian
vaksin akan disuntikkan terlalu bawah di daerah paha. Kedua tangan
dipegang menyilang pelvis bayi dan paha dipegang dengan tangan
antara jempol dan jari-jari. Posisi ini akan mengurangi hambatan dalam
proses penyuntikan dan membuatnya lebih lancar.

Gambar 3.1. Diagram lokasi suntikan yang dianjurkan pada otot paha
Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997

Gambar 3.2. Potongan/ belahan lintang paha: menunjukkan bagian yang disuntik
Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997

72 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

Lokasi suntikan pada vastus lateralis


+ Letakkan bayi di atas tempat tidur atau meja, bayi ditidurkan
terlentang,
+ Tungkai bawah sedikit ditekuk dengan fleksi pada lutut,
+ Cari trochanter mayor femur dan condlylus lateralis dengan cara
palpasi, tarik garis yang menghubungkan kedua tempat tersebut.
Tempat suntikan vaksin ialah batas sepertiga bagian atas dan
tengah pada garis tersebut (bila tungkai bawah sedikit menekuk,
maka lekukan yang dibuat oleh tractus iliotibialis menyebabkan
garis bagian distal lebih jelas)
+ Supaya vaksin yang disuntikkan masuk ke dalam otot pada batas
antara sepertiga bagian atas dan tengah, jarum ditusukkan satu
jari di atas batas tersebut.

Deltoid, posisi anak dan lokasi suntikan


+ Posisi seorang anak yang paling nyaman untuk suntikan di daerah
deltoid ialah duduk di atas pangkuan ibu atau pengasuhnya.
+ Lengan yang akan disuntik dipegang menempel pada tubuh
bayi, sementara lengan lainnya diletakkan di belakang tubuh
orang tua atau pengasuh.
+ Lokasi deltoid yang benar adalah penting supaya vaksinasi
berlangsung aman dan berhasil
+ Posisi yang salah akan menghasilkan suntikan subkutan yang
tidak benar dan meningkatkan risiko penetrasi saraf.

Untuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik membuka lengan


atas dari pundak ke siku. Lokasi yang paling baik adalah pada
tengah otot, yaitu separuh antara akromion dan insersi pada
tengah humerus. Jarum suntik ditusukkan membuat sudut 45o-60o
mengarah pada akromion. Bila bagian bawah deltoid yang disuntik,
ada risiko trauma saraf radialis karena saraf tersebut melingkar dan
muncul dari otot trisep.

73 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

Pengambilan vaksin dari botol (Vial)


Untuk vaksin yang diambil menembus tutup karet atau yang telah
dilarutkan, harus memakai jarum baru. Apabila vaksin telah diambil
dari vial yang terbuka, dapat dipakai jarum yang sama. Jarum atau
semprit yang telah digunakan menyuntik seseorang tidak boleh
digunakan untuk mengambil vaksin dari botol vaksin karena risiko
kontaminasi silang, vaksin dalam botol yang berisi dosis ganda
(multidosis) jangan digunakan kecuali tidak ada alternatif lain.

Penyuntikan subkutan

Tabel 3.1. Pedoman penyuntikan subkutan*

Umur Tempat Ukuran jarum


Bayi Paha daerah anterolateral Ukuran 23-25
(0-12 bln) Panjang 16-19 mm
1-3 tahun Paha daerah anterolateral atau Ukuran 23-25
daerah lateral lengan atas Panjang 16-19 mm

> 3 tahun Daerah lateral lengan atas Ukuran 16-19 mm


Panjang 16-19 mm

Akromion

Tempat
penyuntikan

Gam bar (a) Gam bar (b)


Paha daerah anterolateral Daerah lateral lengan atas

*Penyuntikan subkutan untuk imunisasi MMR, varisela, meningitis

Gambar 3.3. Lokasi penyuntikkan subkutan


pada bayi (a) dan anak besar (b)

74 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno
Tata -Cara Pemberian Vaksin

Perhatian untuk suntikan subkutan


· Arah jarum 450 terhadap kulit
· Cubit tebal untuk suntikan subkutan
· Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan
· Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian
ekstrimitas berbeda

Penyuntikan intramuskular

Tabel 3.2. Pedoman penyuntikan intramuskular*


Umur Tempat Ukuran Jarum
Bayi Otot vastus lateralis pada Ukuran 22-25
(0-12 bln) paha daerah anterolateral Panjang 22-25 mm
1-3 tahun Otot vastus lateralis pada Ukuran 22-25
paha daerah anterolateral Panjang 16-32 mm
sampai masa otot deltoid (panjang 16 mm untuk di
cukup besar (pada umum- deltoid umur 12-15 bulan)
nya umur 3 th)
> 3 tahun Otot deltoid, di Ukuran 22-25
bawah akromion Panjang 25-32 mm
*Penyuntikan intramuskular untuk DTP, DT, TT, Hib, hepatitis A & B, influenza

Akromion

Tempat
penyuntikan

Gambar (a) Gambar (b)


Otot vastus lateralis paha daerah anterolateral Otot deltoid, di bawah akromion
Gambar 3.4. Lokasi penyuntikkan intramuskular
pada bayi (a) dan anak besar (b)

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 55


Hariyono Suyitno

Perhatian untuk penyuntikan intramuskular


· Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot
· Suntik dengan arah jarum 45-600 , lakukan dengan cepat
· Tekan kulit sekitar tempat suntikan dengan ibu jari dan
telunjuk saat jarum ditusukkan
· Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan, untuk
meyakinkan tidak masuk ke dalam vena. Apabila terdapat darah,
buang dan ulangi dengan suntikan baru.
· Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian
ekstrimitas berbeda

Pemberian dua atau lebih vaksin pada hari yang sama


Pemberian vaksin-vaksin yang berbeda pada umur yang sesuai,
boleh diberikan pada hari yang sama. Vaksin inactivated dan vaksin
virus hidup, khususnya vaksin yang dianjurkan dalam jadwal
imunisasi, pada umumnya dapat diberikan pada lokasi yang
berbeda saat hari kunjungan yang sama. Misalnya pada kesempatan
yang sama dapat diberikan vaksin-vaksin DPT, Hib, hepatitis B,
dan polio.
Lebih dari satu macam vaksin virus hidup dapat diberikan pada
hari yang sama, tetapi apabila hanya satu macam yang diberikan.
Vaksin virus hidup yang kedua tidak boleh diberikankurang dari 2
minggu dari vaksin yang pertama, sebab respons terhadap vaksin
kedua mungkin telah banyak berkurang. Sebagai tambahan perlu
diperhatikan bahwa ada interaksi spesifik antara vaksin demam
kuning dan kolera, dan vaksin-vaksin tersebut tidak boleh diberikan
dalam jarak 4 minggu satu sama lain. Vaksin-vaksin yang berbeda
tidak boleh dicampur dalam satu semprit. Vaksin-vaksin yang
berbeda yang diberikan pada seseorang pada hari yang sama
harus disuntikkan pada lokasi yang berbeda dengan menggunakan
semprit yang berbeda.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 76


Hariyono Suyitno

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 77


Hariyono Suyitno

78 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Tata -Cara Pemberian Vaksin

79 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Tata -Cara Pemberian Vaksin
Hariyono Suyitno

60 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Tata -Cara Pemberian Vaksin

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Vaccine administration. Dalam: Pickering LK.,


penyunting. Red Book 2000, Report Committee on Infect Dis. Edisi ke-25. Eik Grove
Village: American Academy of Pediatrics 2000.h.16-20.
2. Centers for Diseases Control and Prevention.Vaccine Safety. Dalam: Atkinson W,
HumistonS, Wolfe C, NelsonR., penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine
preventable diseases, edisi ke-5. Atlanta: Department of Health & Human Services,
Public Health Service, CDC 1999. h. 277-89.
3. National Health and Medical Research Council. Standard vaccination procedures.
Dalam: Walson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook, edisi ke-9.
Canberra: NHMRC. 2008.
4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.

81 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Tata -Cara Pemberian Vaksin

82 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab III-2
Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai
Imunisasi
Soedjatmiko & Noenoeng Rahajoe

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kedokteran termasuk


imunisasi, maka kita perlu memahami dan menyadari kedudukan
pasien sebagai konsumen dan dokter sebagai pemberi jasa. Untuk itu
kita perlu mengetahui dan melaksanakan Undang-undang RI nomor
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang–undang
no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Hak dan kewajiban konsumen serta pemberi layanan


(pelaku usaha)
Di dalam UU tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Ketentuan
Umum, pasal 1, ayat 5 ditulis bahwa: Jasa adalah setiap layanan yang
berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen. Ayat 2: Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan.

Bab III pasal 4 Hak Konsumen:


a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan

83 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai
Imunisasi

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya


penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan
Pasal 5. Kewajiban Konsumen adalah
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut
Pasal 7. Kewajiban Pelaku Usaha adalah
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/
atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi
jaminan dan/atau garansi atas barng dan/atau jasa yang
diperdagangkan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 84


Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai
Imunisasi

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas


kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa tersebut
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.

Pasal 6. Hak Pelaku Usaha:


a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang tidak beritikad baik
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen
d. Hak untuk rehabiitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/
atau jasa yang diperdagangkan
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya

Bab IV tentang Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha,


pasal 9, Pelaku Usaha dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar : ayat 1c.
dengan menggunakan kata-kata berlebihan seperti : aman, tidak berbahaya,
tidak mengandung risiko atau efek sampingan tan pa keterangan yang
lengkap.

Hak pasien dan kewajiban dokter


Di dalam UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 39 bahwa
praktik kedokteran berdasarkan kesepakatan dokter dan pasien
untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 85


Soedjatmiko & Noenoeng Rahajoe
DPT

Pasal 44 ayat 1 dan pasal 51 ayat (a); dalam menyelenggarakan


praktik kedokteran dokter wajib mengikuti standar pelayanan
kedokteran, sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien.
Di dalam pasal 52, tertulis: Pasien dalam menerima pelayanan pada
praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara
lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal
45 ayat 3.
Di dalam pasal 52, tertulis: Pasien dalam menerima pelayanan pada
praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara
lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal
45 ayat 3.
Di dalam pasal Pasal 45 ayat 1: setiap tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan. Persetujuan tersebut diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap (ayat 2). Penjelasan
tersebut sekurang-kurangnya mencakup: diagnosis dan tatacara
tindakan medis, tujuan tindakan, alternatif tindakan lain dan
risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan (ayat 3). Persetujuan tersebut
dapat diberikan tertulis maupun lisan (ayat 4). Tindakan yang
berisiko tinggi harus tertulis dan ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan (ayat 5). Tatacara mengenai
persetujuan tindakan kedokteran tersebut diatur oleh Peraturan
Menteri (ayat 6). Peraturan menteri untuk tata cara persetujuan
tindakan kedokteran karena belum ada yang baru sementara masih
berdasarkan Permenkes no. 585 tahun 1989.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dokter berkewajiban
memberikan penjelasan secara profesional dan proporsional
tentang manfaat vaksin, kemungkinan kejadian ikutan pasca
imunisasi dan hal-hal lain seputar vaksinasi, sehingga keluarga
pasien mendapat informasi yang jelas dan benar agar tidak terjadi
salah pengertian dikemudian hari.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 86


Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai
Imunisasi

Penjelasan kepada orangtua berdasarkan Peraturan


Menteri Kesehatan (Permenkes) no. 585 tahun 1989
tentang Persetujuan Tindakan Medik
Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan tersebut dinyatakan bahwa
informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang
akan dilakukan terhadap pasien tersebut (Pasal 1 ayat a). Informasi
harus diberikan kepada pasien baik diminta ataupun tidak diminta
(Pasal 4 ayat 1). Semua tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien harus mendapat persetujuan (Pasal 2 ayat 1) secara
tertulis maupun lisan (Pasal 2 ayat 2). Bila tindakan medik dilakukan
tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya, maka
dokter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan
surat izin praktek (Pasal 13).
Namun perlu diperhatikan bahwa di dalam Permenkes
tersebut yang dimaksud dengan tindakan medik adalah tindakan
diagnostik atau terapeutik (Pasal 1, ayat b), sehingga banyak yang
berpendapat bahwa vaksinasi tidak perlu persetujuan tindakan
medik. Namun, di Amerika dan Australia persetujuan tindakan
medik sebelum vaksinasi dianggap perlu, walaupun tidak harus
tertulis. The American Academy of Pediatrics (AAP) menganjurkan
pemberian penjelasan secara tertulis (berupa brosur) yang disusun
dan disediakan oleh pemerintah bekerjasama dengan AAP dan
produsen vaksin. Selain itu AAP menganjurkan agar setiap kali
pemberian imunisasi orangtua sebelumnya menandatangani
pesetujuan tertulis, atau dicatat dalam catatan medik bahwa
penjelasan telah dilakukan dan difahami oleh orangtua.
The Australian National Health and Medical Research Council
(NHMRC) juga menganjurkan agar setiap kali sebelum imunisasi
diberikan penjelasan tertulis disamping penjelasan lisan. Pada
imunisasi perorangan orangtua diberi daftar isian (kuesioner)
dan keterangan tertulis tentang perbandingan risiko imunisasi
dan bahaya penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin tersebut

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 87


Soedjatmiko & Noenoeng Rahajoe
DPT

untuk dibaca dan didiskusikan dengan dokter. Di Australia tidak


ada keharusan untuk mendapatkan persetujuan tertulis dari
orangtua, cukup dicatat di dalam catatan medik bahwa orangtua
telah diberikan penjelasan. Namun beberapa klinik meminta
persetujuan tertulis. Imunisasi masal (di sekolah) dilakukan setelah
ada persetujuan tertulis dari orangtua. Namun jika orangtua hadir
dibutuhkan persetujuan lisan dari orangtua, walaupun telah ada
persetujuan tertulis pada imunisasi sebelumnya.
Sejalan dengan peningkatan pendidikan dan pengetahuan
masyarakat serta kesadaran konsumen tentang hak-haknya, dihimbau
kepada anggota IDAI sebelum melakukan imunisasi sebaiknya
memberikan penjelasan kepada orangtua (sesuai maksud pasal 2
ayat 3 Permenkes 585/1989) bahwa imunisasi dapat melindungi
anak terhadap bahaya penyakit dan mempunyai manfaat lebih
besar dibandingkan dengan risiko kejadian ikutan yang dapat
ditimbulkannya. Cara penyampaian dan isi informasi disesuaikan
dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien (sesuai
Pasal2 ayat4Permenkes585/1989). Imunisasi yang harus dilaksanakan
berdasarkan program pemerintah untuk kepentingan masyarakat
banyak (di Posyandu, Puskesmas) tidak diperlukan persetujuan
tindakan medik (sesuai pasal 14 Permenkes 585/1989).

Hal-hal yang harus dijelaskan atau ditanyakan kepada


orangtua/keluarga sebelum dilakukan imunisasi

Keadaan Bayi/Anak

Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan


memberi tahukan secara lisan atau melalui daftar isian tentang
hal-hal yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian
ikutan pasca imunisasi tersebut di bawah ini,
 pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat
(memerlukan pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah
sakit),

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 88


Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai
Imunisasi

+ alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin


(misalnya neomisin),
+ sedang mendapat pengobatan steroid jangka panjang, radioterapi
atau kemoterapi,
+ menderita sakit yang menurunkan imunitas (leukemia, kanker,
HIV/AIDS),
+ tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun
(leukemia, kanker, HIV / AIDS),
+ tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang
menurunkan imunitas (radioterapi, kemoterapi, atau terapi
steroid)
+ pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus
hidup (vaksin campak, poliomielitis, rubela),
+ pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau transfusi
darah,
+ menderita penyakit susunan syaraf pusat.

Pemberian Antipiretik sebelum dan sesudah imunisasi


Kepada orangtua atau pengantar diberitahukan bahwa 30 menit
sebelum imunisasi DTP/DT, MMR, Hib, hepatitis B dianjurkan
memberikan antipiretikparasetamol 15 mg/kgbb kepada bayi/anak
untuk mengurangi ketidaknyamanan pasca vaksinasi. Kemudian
dilanjutkan setiap 3-4 jam sesuai kebutuhan, maksimal 6 kali dalam
24 jam. Jika keluhan masih berlanjut, diminta segera kembali kepada
dokter.

Manfaat vaksinasi
Kepada pengantar atau orang tua sebaiknya dijelaskan secara
profesional dan proporsional manfaat vaksinasi yang akan
dilakukan. Perlu dijelaskan bahwa vaksin tidak melindunghi 100 %,
tetapi dapat memperkecil risiko tertular dan memperingan dampak
bila terjadi infeksi.

89 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko & Noenoeng Rahajoe
DPT

Reaksi KIPI

Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi


dapat timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan atau reaksi
umum berupa keluhan dan gejala tertentu, tergantung pada jenis
vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh
orangtua atau pengasuh, dan akan hilang dalam 1-2 hari. Di tempat
suntikan kadang-kadang timbul kemerahan, pembengkakan, gatal,
nyeri selama 1 sampai 2 hari. Kompres hangat dapat mengurangi
keadaan tersebut. Kadang-kadang teraba benjolan kecil yang agak
keras selama beberapa minggu atau lebih, tetapi umumnya tidak
perlu dilakukan tindakan apapun.

BCG
Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa 2-6 minggu setelah
imunisasi BCG dapat timbul bisul kecil (papula) yang semakin
membesar dan dapat terjadi ulserasi dalam waktu 2-4 bulan,
kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan
parut tanpa pengobatan khusus. Bila ulkus mengeluarkan cairan
orangtua dapat mengkompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan
bertambah banyak atau koreng semakin membesar orangtua harus
membawanya ke dokter.

Hepatitis B

Kejadian ikutan pasca imunisasi pada hepatitis B jarang terjadi.


Segera setelah imunisasi dapat timbul demam yang tidak tinggi,
pada tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan,
nyeri, rasa mual dan nyeri sendi. Orangtua/pengasuh dianjurkan
untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah). Jika
demam pakailah pakaian yang tipis. Bekas suntikan yang nyeri
dapat dikompres air dingin. Jika demam berikan parasetamol 15
mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24
jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.

90 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai
Imunisasi

Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain
demam tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri
dan pembengkakan, yang akan hilang dalam dua hari. Orangtua/
pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak
(ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas
suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan
parasetamol15 mg/kgbb setiap 3-4jambila diperlukan, maksimal6
kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.
Jika reaksi tersebut memberat dan menetap, atau jika orangtua
merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

DT
Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi DT antara lain kemerahan,
pembengkakan dan nyeri pada bekas suntikan. Bekas suntikan yang
nyeri dapat dikompres dengan air dingin. Biasanya tidak perlu
tindakan khusus.

Polio oral
Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi polio, oleh karena itu
orangtua/pengasuh tidak perlu melakukan tindakan apapun.

Campak dan MMR

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR


berupa rasa tidak nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain
itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 5-12 hari setelah
penyuntikan selama kurang dari 48 jam yaitu demam tidak tinggi,
erupsi kulit kemerahan halus/tipis yang tidak menular, pilek.
Pembengkakan kelenjar getah bening kepala dapat terjadi sekitar
3 minggu pasca imunisasi MMR. Orangtua/pengasuh dianjurkan
untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika

91 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai
Imunisasi

demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat
dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb
setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh
mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi
tersebut berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir,
bawalah bayi/anak ke dokter.

Daftar Pustaka

1. Depkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 585/Menkes/Per/IX/ 1989 tentang


persetujuan tindakan medik. Depkes RI, Jakarta1990.
2. Watson C (penyunting). The Australian Immunisation Handbook, Edisi ke-9. NHMRC,
2008.
3. Peter G, Lepow ML, McCracken GH, Phillips CF. Report of the Committee on Infectious
Diseases. American Academy of Pediatrics, Illinois 1994.
4. StarkeJR, Munoz F. Tuberculosis. Dalam: Behrman RE, penyunting. Nelson Textbook
of Pediatrics. Edisi ke-16. WB Saunders, Tokyo 2000.
5. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia nomor
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam : YLKI, Liku-liku perjalanan
UUPK. YLKI, Jakarta 2001.
6. Undang-undang Republik Indonesia no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
CV Eko Jaya, Jakarta 2004.

92 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab III-3
Pencatatan Imunisasi
Jose RL. Batubara

Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi


seperti kartu imunisasi yang dipegang oleh orang tua atau
pengasuhnya. Setiap dokter atau tenaga paramedis yang
memberikan imunisasi harus mencatat semua data-data yang
relevan pada kartu imunisasi tersebut. Orang tua/pengasuh yang
membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk imunisasi
diharapkan senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut.
Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi
· Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan
nama dagang
· Tanggal melakukan vaksinasi
· Efek samping bila ada
· Tanggal vaksinasi berikut
· Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin

Jika data vaksinasi tidak diberikan oleh tenaga medis/


paramedis sebelumnya, maka data tentang hal-hal tersebut di
atas harus dilengkapi oleh petugas medis yang melanjutkannya.
Sehingga kartu imunisasi yang lengkap, baik jadwal maupun
efek samping yang akan merupakan informasi penting untuk
dokter/paramedis yang akan memberikan vaksin berikutnya.
Kartu vaksinasi ini sebaiknya selalu dipegang oleh orang tuanya.
Diharapkan para dokter yang memberikan vaksinasi mempunyai
sistem untuk mengingatkan orang tua untuk melakukan vaksinasi
berikutnya sesuai dengan jadwal vaksinasi yang sudah ditetapkan.
Sebaiknya waktu imunisasi berikutnya dibicarakan dengan orang

93 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pencatatan
Imunisasi

tuanya (misalnya untuk ibu yang berkarir imunisasi DPT diberikan


sehari sebelum hari libur, mengingat apabila terjadi demam ibu
berada di rumah).
Pentingya kartu vaksinasi ini juga untuk menilai jenis dan
jumlah vaksin yang diberikan dan bagaimana pemberian vaksinasi
selanjutnya untuk pasien dengan imunisasi tidak lengkap dan cara
mengejar (catch up) imunisasi yang tertinggal.

Contoh Surat Persetujuan Imunisasi dan Kartu Vaksinasi

Surat Persetujuan Imunisasi

Nama
Jenis kelamin
Tanggal lahir
Nama orag tua
Alamat (tilpon, kota)

Ya
Saya mohon nama anak yang tertera di atas untuk diimunisasi sesuai
dengan jadwal imunisasi yang telah direkomendasikan.
(Berikan tanda  apabila ingin diimunisasi atau beri alasan apabila tidak
boleh)
· BCG
· Polio oral
· Hepatitis B
· DPT
· Campak, dst

Tanda tangan Tanggal / / /

Tidak
Saya telah mengerti penjelasan yang diberikan pada saya mengenai
program imunisasi, namun saya tidak ingin anak saya diimunisasi.
Nama orang tua/ wali.........................................................

Tanda tangan Tanggal / / /

94 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pencatatan
Imunisasi
Jose RL. Batubara

Kartu Imunisasi
Nama No batch Tanggal Tem p at Paraf
Jenis Vaksin Vaksin Imunisasi Imunisasi

Penjelasan Singkat Dalam Lampiran Kartu Imunisasi

Apa? Imunisasi merupakan upaya yang sederhana dan


efektif untuk melindungi anak bapak/ibu terhadap
penyakit yang berbahaya. Terdapat 7 penyakit yang
diwajibkan (vaksin PP1) untuk diimunisasi pada bayi/anak
(TBC, polio, hepatitis B, difteria, batuk rejan, tetanus,
dan campak). Saat mi telah bertambah penyakit infeksi
yang dapat dicegah dengan imunisasi yang tidak
tergolong dalam vaksin PPI namun sangat dianjurkan
seperti, gondongan, rubela, demam tifoid, hepatitis A,
cacar air.

Bagaimana? Tubuh tidak dapatmembuatkekebalan


terhadap penyakitinfeksi tersebut di atas. Namun, dengan
imunisasi (suntikan atau diminum) tubuh dapat
membentuk kekebalan (antibodi) terhadap penyakit infeksi
tersebut. Imunisasi memberikan perlindungan 95%
apabila diberikan dengan cara yang tepat.

Mengapa? Terima kasth kepada Program Imunisasi, oleh


karena pada saat mi kejadian penyakit infeksi tersebut di
Indonesia telah sangat menurun. Hal mi bukan kemudian
95 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
imunisasi tidak penting lagi. Bakteria dan virus penyebab
sampai saat mi masth berada di masyarakat, maka apabila
hanya sedikit yang diimunisasi akan mudah terjadi
kejadian luar biasa (wabah).

Dimana? Imunisasi yang diwajibkan oleh Departemen


Kesehatan (PP1) dapat diperoleh di semua fasiitas
kesehatan sedangkan untuk vaksinasi lain dapat diperoleh
pada dokter pribadi anda.

Kapan? Pemberian vaksinasi telah diatur dalam jadwal


imunisasi (ithat Bab Jadwal Imunisasi)

96 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pencatatan
Imunisasi

Daftar Pustaka
1. National Health and Medical Research Council. MMR. Dalam: Watson C, penyunting. The
Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.
2. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering LK., penyunting. Red Book 2000,
Report Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-25. Elk Grove Village: American
Academy of Pediatrics 2000.
3. Centersfor Disease Control and Prevention. Dalam: AtkinsonW, HumistonS, Wolfe C,
Nelson R., penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine preventable diseases.
Edisi ke-5. Atlanta: Department of Health & Human Services, Public Health Service,
CDC, 1999.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 97


Penc
atata
n
Imu
nisas
i

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 98


Bab III-4
Penyuntikan yang Aman (Safety Injection)
Soedjatmiko

Imunisasi bertujuan untuk merangsang sistem imunitas tubuh agar


membentuk kekebalan humoral atau seluler terhadap antigen yang
diberikan melalui penetesan di mulut atau disuntikan. Namun proses
ini dapat pula menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)
yang tidak diharapkan bila berbagai prosedur dalam imunisasi tidak
dilakukan dengan benar dan baik. Upaya untuk mengoptimalkan
pembentukan kekebalan tubuh dan memperkecil KIPI dimulai dari
prosedur produksi, penyimpanan, transportasi dan penggunaan
vaksin, penyediaan dan penggunaan alat suntik, teknik penyuntikan
yang aman (safety injection) dan penanganan limbah.
Tujuan prosedur penyuntikan yang aman selain untuk
menghasilkan kekebalan yang optimal pada bayi/anak yang disuntik
dan menghindari KIPI, juga untuk menghindari kecelakaan atau
penularan infeksi pada bayi/anak tersebut, pada dokter/paramedis
yang melakukan penyuntikan atau pada masyarakat disekitarnya.

Jenis alat suntik (semprit)

1. Semprit auto-disable atau auto-destruct (AD)

Untuk imunisasi rutin atau masal WHO-UNICEF-UNFPA sejak


tahun 1999 menganjurkan penggunaan semprit auto-disable (AD)
yang hanya bisa dipakai 1 kali kemudian otomatis terkunci, macet
atau patah. Semprit ini tidak dapat dipakai ulang, sehingga tidak
akan menyebarkan partikel patogen (misalnya hepatitis B atau
HIV) yang masuk ke dalam semprit ketika proses penyuntikan
atau mengkontaminasi sisa vaksin ketika menghisap vaksin dari

99 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Penyuntikan yang Aman (Safety Injection)

botol atau ampulnya. Harga semprit ini murah dan sudah tersedia
secara luas.
Beberapa merek semprit AD antara lain uniject, Soloshot,
Destrojet, Univec, Terumo, K1 dan Medico inject. Beberapa merek
sudah terpasang jarum, namun ada merek dengan jarum terpisah.
Sebelum menggunakan semprit AD terlebih dahulu bacalah dengan
cermat cara penggunaannya, karena berbeda-beda.
Pada prinsipnya piston semprit AD hanya boleh digerakkan
kedepan atau kebelakang satu kali saja, setelah itu macet, tidak dapat
ditarik atau patah, tergantung mereknya. Setelah mengeluarkan
semprit dari kemasannya, jangan mendorong udara yang ada di
dalam semprit, karena setelah piston sampai ke ujung akan terkunci,
sehingga bila ditarik untuk menghisap vaksin piston akan macet
atau patah. Oleh karena itu jangan mendorong udara yang ada
didalam semprit, langsung tusukkan jarum ke dalam botol atau
ampul vaksin, kemudian tarik piston untuk menghisap vaksin.
Setelah vaksin masuk ke dalam semprit, boleh membuang udara
yang ada di ujung semprit dengan mendorong piston secukupnya.
Setelah udara habis terbuang segera suntikan vaksin pada bayi/
anak, lakukan aspirasi seperti biasa, kemudian dorong piston sampai
vaksin habis, sehingga piston akan terkunci, tidak bisa ditarik lagi
atau patah. Kemudian semprit dan jarum bekas harus dimasukkan
ke dalam wadah dan dihancurkan dengan prosedur tertentu, untuk
mencegah digunakan ulang

2. Semprit dan jarum sekali pakai (disposable) bukan AD

Semprit ini banyak digunakan untuk penyuntikan obat dan


vaksinasi. Beberapa merek yang sering digunakan antara lain
Terumo dan BD. Sebaiknya semprit jenis ini hanya digunakan untuk
mencampur vaksin dan pelarutnya. Kemudian semprit dan jarum
bekas harus dimasukkan ke dalam wadah dan dihancurkan dengan
prosedur tertentu, untuk mencegah digunakan ulang. Penyuntikan
pada bayi dan anak sebaiknya dengan semprit AD.

100 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko

3. Pre filled syringe (PFS) auto disable (AD)

Alat suntik ini sudah terpasang jarum dan sudah diisi vaksin
oleh pabrik sebanyak 1 dosis, untuk satu kali penyuntikan, setelah
disuntikkan tidak bisa diisi ulang sehingga tidak bisa dipakai
lagi. Karena sudah diisi dengan 1 dosis dari pabriknya, maka
tidak perlu menghisap vaksin dari botol atau ampul, sehingga
menghemat waktu, dan dosisnya sudah tepat. Contoh: vaksin
Hepatitis B Uniject produksi Biofarma. Kemudian semprit bekas
harus dimasukkan ke dalam kotak limbah dan dihancurkan dengan
prosedur tertentu, untuk mencegah melukai dan mengkontaminasi
orang lain.

4. Pre filled syringe (PFS), pre filled injection device (PID)


bukan AD
Alat suntik ini sudah dilengkapi dengan jarum dan diisi vaksin
oleh pabrik sebanyak 1 dosis, untuk satu kali penyuntikan. Setelah
disuntikan semprit masih bisa berfungsi. Contoh: vaksin Hib,
kombinasi DPaT- Hib, tipoid, influenza, hepatitis A, pneumokokus.
Untuk mencegah pemakaian ulang semprit bekas, segera masukkan
ke dalam wadah dan dihancurkan dengan prosedur tertentu.

5. Semprit dan jarum yang bisa dipakai ulang

Semprit dan jarum jenis ini sebaiknya tidak dipakai lagi, karena
sangat berisiko terjadi kontaminasi dan penyebaran infeksi melalui
semprit, jarum atau vaksin yang telah terkontaminasi ketika
menghisap vaksin.

101 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko

Prosedur penyuntikan yang aman bagi bayi dan anak

1. Siapkan semua perlengkapan imunisasi ditempat yang


berdekatan (bundling) di tempat yang terlindung dari sinar
matahari langsung:
a. Vaksin yang disimpan dan dibawa dengan benar dan baik
(lihat bab Rantai Vaksin)
b. Pelarut khusus untuk masing-masing vaksin, pemotong
ampul
c. Semprit auto-disabled atau auto-destructed (AD)
d. Desinfektan/antiseptik
e. Kotak limbah diletakan sedemikian rupa hingga mudah
memasukkan semprit bekas pakai
f. Alat/obat kedaruratan yaitu adrenalin, jarum dan slang infus,
cairan infus, kortikosteroid
g. Blangko pencatatan imunisasi

2. Periksa kualitas penyimpanan dan transportasi vaksin, suhu,


tanggal kadaluwarsa, VVM (vaccine vial monitor), warna vaksin,
gumpalan, endapan, label dan indikator kualitas vaksin lainnya.
Bila vaksin sudah kadaluarsa, walaupun baru beberapa hari
tidak boleh digunakan. Bila ada gumpalan, endapan, perubahan
warna vaksin, perubahan warna VVM lsama atau lebih gelap
da ri tepinya (kondisi C dan D), atau label pernah terendam air,
vaksin tidak boleh digunakan.

3. Tanyakan identitas bayi/anak apakah sesuai dengan nama


yang terdapat dalam KMS, kartu atau buku imunisasi, untuk
menghindari pemberian vaksin yang tidak sesuai.

4. Tanyakan kondisi bayi/anak sekarang dan beberapa hari


sebelumnya, imunisasi yang telah didapat, jarak dengan
imunisasi sekarang, KIPI yang pernah terjadi, dan informasi
yang berkaitan dengan indikasi kontra untuk vaksin yang

102 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko

akan diberikan. Sebaiknya disertai pertanyaan singkat rutin


pediatrik: asupan nutrisi, pola tidur, miksi, defekasi dan tumbuh-
kembang.

5. Berikan penjelasan vaksin yang akan diberikan, teknik


penyuntikan, manfaat, kemungkinan KIPI yang bisa terjadi, cara
mencegah dan pertolongan pertama bila terjadi KIPI (informed
consent).

6. Lakukan pemeriksaan fisik rutin untuk memeriksa kesehatan


bayi/anak secara umum, sambil mencari indikasi kontra
imunisasi dan memeriksa bagian tubuh yang akan disuntik.

7. Sebelum membuka bungkus semprit atau jarum, perhatikan


apakah kemasannya masih utuh dan rapat. Bila kemasan sobek,
tidak utuh atau rusak, sebaiknya jarum atau semprit tidak
digunakan, segera dibuang seperti semprit atau jarum bekas
pakai.

8. Jangan menyentuh jarum sedikitpun. Buang jarum yang telah


tersentuh benda tidak steril kedalam kotak limbah kemudian
dihancurkan.

9. Baca nama vaksin dan ambil pelarut yang khusus untuk vaksin
tersebut. Campur vaksin dengan pelarutnya, boleh menggunakan
semprit dan jarum bukan AD, tetapi semprit dan jarum yang telah
digunakan untuk melarutkan tidak boleh untuk menyuntikkan.
Kocok vaksin sehingga larut homogen. Tulis tanggal dan jam
melarutkan vaksin.

10. Baca nama vaksin, ambil 1 dosis vaksin untuk 1 kali penyuntikan.
Jangan menghisap lebih dari 1 dosis vaksin ke dalam semprit.
Jangan meninggalkan jarum pada botol atau ampul vaksin untuk
pengambilan vaksin berikutnya.

103 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko

11. Jangan menggunakan semprit bekas untuk menghisap vaksin


atau menyuntikkan, walaupun sudah disterilkan ulang atau
mengganti dengan jarum baru yang steril.

12. Jangan mencampur sisa vaksin dari 2 botol atau ampul, walaupun
vaksinnya sama.

13. Posisi bayi dan anak yang akan diimunisasi tidak mudah bergerak
atau memberontak ketika disuntik, terutama lengan atau paha
yang akan disuntik. Untuk bayi kecil Lebih baik dalam gendongan
orangtua/pengasuh, dipeluk dengan posisi dada bayi menempel
di dada orangtua/pengasuh. Untuk bayi/anak yang sudah bisa
duduk sebaiknya duduk dan dipeluk dipangkuan orangtua
dengan dada dan wajah menghadap ke dada orangtua/pengasuh.
Salah satu tangan bayi/anak dikepit oleh ketiak orangtua/
pengasuh agar tidak mudah berontak , kedua kaki dikepit diantara
kedua paha orangtua/pengasuh, atau dipegang oleh orangtua/
pengasuh. Bagian yang akan disuntik (paha, lengan) dipegang
oleh penyuntik. Bila anak cenderung berontak, penyuntik dapat
meminta bantuan orangtua/pengasuh, paramedis atau oranglain
untuk membantu memegang siku atau lutut dekat bagian yang
akan disuntik. Cara memegang jangan membuat bayi/anak
kesakitan atau ketakutan.

14. Untuk mengurangi ketakutan, alihkan perhatian anak dengan


mengajak bicara, atau bermain dengan mainan. Jangan diancam
atau dipaksa sehingga membuat anak ketakutan.

15. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan krim EMLA


(eutetic mixture of local anesthesia) 1 jam sebelumnya, lidokain
topikal 10 menit sebelumnya, etil klorid spray beberapa detik
sebelumnya, atau ditekan dibagian yang akan disuntik selama 10
detik sebelum disuntikan. Pada bayi baru lahir dapat diberikan
sukrosa. Manfaatnya bervariasi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 104


Penyuntikan yang Aman (Safety Injection)

16. Bersihkan bagian yang akan disuntik dengan desinfektan/


antiseptik, tunggu sampai mengering

16. Untuk mengurangi rasa nyeri, otot harus dalam keadaan


lemas, dengan mengatur posisi lengan sedikit fleksi pada sendi
siku, atau posisi tungkai sedikit rotasi ke dalam. Selain itu
kulit sebaiknya diregangkan kesamping agar jarum mudah
menembus kulit untuk mengurangi rasa nyeri.

17. Penyuntikan menggunakan semprit dan jarum AD yang


belum pernah digunakan sama sekali. Penyuntikan
menggunakan semprit yang sudah diisi vaksin (PFS) dari pabrik
vaksin (bukan AD), hanya sekali pakai, langsung dimasukkan ke
kotak limbah kemudian dihancurkan.

16. Sudut penyuntikan disesuaikan dengan prosedur tiap


vaksin: intradermal (sekitar 15 derajat) , subkutan (45 derajat) atau
intra muskular (60 – 90 derajat). Kedalaman penyuntikan
subkutan dan intra muskular harus disesuaikan dengan
ketebalan lemak dan otot bayi /anak.

18. Untuk mencegah vaksin keluar lagi setelah disuntikan,


sebelum penyuntikan kulit bayi/anak digeser kesamping
(metode Z – tract), setelah penyuntikan kulit dilepaskan lagi ke posisi
semula sehingga vaksin yang telah masuk ke dalam otot atau
subkutan tidak dapat keluar lagi.

19. Luka bekas suntikan ditekan agak kuat dengan kapas dan
desinfektan agar darah tidak keluar lagi, dan akan mengurangi rasa
nyeri. Jangan menekan luka berdarah dengan jari atau bahan tidak
steril. Luka bekas suntikan sebaiknya ditutup dengan plester.

22. Catat vaksin yang telah disuntikan dan tanggal penyuntikan


dalam KMS atau buku imunisasi dan laporan imunisasi. Lebih
baik bila dilengkapi dengan nama dagang vaksin, nomor batch/

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 105


Soedjatmiko

lot/serie, produsen, dosis, bagian tubuh yang disuntik, paraf


dokter/paramedis yang bertanggung jawab.

23. Setelah penyuntikan lebih baik bila bayi/anak tidak langsung


pulang, menunggu sekitar 15 menit untuk deteksi kemungkinan
terjadinya KIPI yang segera.

24. Sisa vaksin multidosis di pelayanan Puskemas, Klinik, Rumah


Sakit:
1 BCG setelah dilarutkan dapat dipakai dlm 3jam
2 Campak dan meningokokus ACW135Y setelah dilarutkan
dapat dipakai dalam 8 jam
3 Polio bisa dipakai dalam 2 minggu
4 DPT, DT, TT , hepatitis B, DPT-HepB, bisa dipakai dalam 4
minggu,

Sisa vaksin yang dibawa ke lapangan (Posyandu, PIN, crash


program), tetapi belum dibuka segera dipakai pada kegiatan
berikutnya. Vaksin yang sudah dibuka/dilarutkanharus dimusnahkan
hari itu juga. Sisa vaksin tersebut di atas masih bisa dipakai dengan
syarat-syarat vaksin belum kadaluwarsa, disimpan dalam suhu 2oC
– 8oC, VVM warna segi empat lebih muda (kondisi VVM A atau B),
tidak pernah terendam air dan sterilitas terjaga.

Prosedur penyuntikan yang aman bagi penyuntik


(paramedis, dokter)

1. Jangan menekan luka berdarah akibat suntikan dengan jari atau


bahan tidak steril.

2. Jangan mencabut jarum atau memasang kembali tutup jarum


bekas pakai, karena berisiko tertusuk dan terkontaminasi darah
yang ada pada jarum.

106 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Penyuntikan yang Aman (Safety Injection)

3. Selesai menggunakan semprit dan jarum segera masukkan ke


dalam kotak limbah tanpa mencabut atau menutup jarum.

4. Jika terpaksa memasang kembali penutup jarum karena imunisasi


tertunda akibat anak meronta-ronta, penutupan jarum dilakukan
dengan teknik satu tangan agar tidak menusuk jari tangan yang
lain. Caranya : tutup jarum diletakkan dimeja (jangan dipegang),
dengan tangan kanan pegang semprit, masukkan jarum kedalam
tutupnya, dorong terus hingga sebagian besar jarum bisa masuk
kedalam tutupnya sehingga tutup terdorong. Tekan tutup tegak
lurus di atas meja, sehingga jarum tertutup kuat. Masukkan
semprit dan jarum tersebut ke dalam kotak limbah.

5. Jangan meletakkan semprit dan jarum bekas sembarangan karena


dapat melukai dan mengkontaminasi penyuntik atau orang-
orang yang berada dekat tempat penyuntikan.

Prosedur penyuntikan yang aman bagi lingkungan

1. Jangan meletakkan semprit dan jarum bekas sembarangan


karena dapat diambil atau melukai dan mengkontaminasi
masyarakat yang berada dekat tempat penyuntikan.

2. Buang dan hancurkan limbah imunisasi (semprit, jarum,


kapas, botol, ampul vaksin) sesuai dengan prosedur yang
dianjurkan (dikubur atau dibakar)

Mengamankan semprit dan jarum bekas


Semprit dan jarum setelah digunakan untuk melarutkan vaksin
atau untuk menyuntik harus segera dimasukkan kedalam kotak
limbah. Kotak ini harus mempunyai lubang kecil yang mudah
untuk dimasuki semprit bekas tetapi tidak mudah tumpah keluar
lagi, tidak mudah tembus oleh jarum (untuk mencegah menusuk

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 107


Soedjatmiko

orang yang berada disekitarnya) dan tahan air. Kotak ini tersedia
dipasaran dengan nama safety box berwarna kuning, terbuat dari
karton tebal. Namun boleh juga menggunakan barang-barang bekas
seperti botol plastik bekas air mineral, jeriken plastik untuk kotal
limbah Gambar 16.

Gambar 3.5. Tempat pembuangan limbah vaksinasi

Letakkan kotak ini dekat dengan penyuntik agar mudah


memasukkan semprit dan jarum bekas, namun letakkan ditempat
yang aman (misalnya di atas meja) sehingga tidak diambil,
tertendang atau terinjak oleh penyuntik atau orang lain yang ada
disekitarnya. Semprit dan jarum bekas jangan dikeluarkan lagi dari

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 108


Penyuntikan yang Aman (Safety Injection)

kotak tersebut untuk dipindahkan ke kotak lain. Jika sudah penuh,


segera ditutup rapat agar ketika dibawa ketempat penghancuran
tidak tumpah keluar.

Gambar 3.6. Cara pembuangan limbah vaksinasi

Membakar semprit dan jarum bekas


Sebaiknya spuit dan jarum bekas dibakar dalam insinerator
(alat pembakar) yang bersuhu lebih dari 800 derajat C, karena
dapat menghancurkan semprit dan jarum, serta mematikan
mikroorganisme yang mungkin terdapat dalam semprit/ jarum dari
darah bayi/anak. (Gambar 3.7)

Gambar 3.7. insinerator (alat pembakar)

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 109


Soedjatmiko

Bila tidak ada insinerator, pembakaran dapat dilakukan di


dalam drum bekas yang diganjal dengan batu bata. Kotak limbah
dimasukkan ke dalam drum, api dinyalakan dibawah drum tersebut.
Semprit dan jarum yang sudah terbakar hancur kemudian ditimbun
ditempat yang aman. (Gambar 3.8)

Gambar 3.8. Alat pembakar sederhana

Bila terpaksa, pembakaran dapat dilakukan di dalam lubang,


sebaiknya di lahan yang jarang di olah dan jauh dari pemukiman.
Gali lubang sedikitnya sedalam 1 meter, masukkan kotak limbah
ke dalam lubang, bakar kotak limbah menggunakan kertas, minyak
tanah atau bensin. Setelah semua terbakar, timbun lubang dengan
tanah. (Gambar 3.9)

Gambar 3.9. Pembakaran limbah vaksinasi

110 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko

Membuang semprit dan jarum bekas ke dalam lubang


khusus
Bila tidak mungkin dibakar, semprit dan jarum bekas dapat
dibuang ke dalam lubang khusus. Kedalaman lubang sedikitnya
2 meter, dengan lebar 1 meter, diatasnya ditutup dengan beton,
ditengahnya ada pipa besi. Semprit dan jarum bekas dimasukkan
kedalam lubang melalui pipa besi tersebut tanpa dibakar. Cara ini
masih kurang aman, bila banjir ada kemungkinan mengkontaminasi
lingkungan.

Menimbun semprit dan jarum bekas di dalam lubang


pembuangan
Gali lubang sedalam 2–3 meter di lokasi yang diperkirakan dalam
5 tahun tidak akan digali. Masukkan semprit dan jarum bekas ke
dalam lubang, kemudian ditutup dengan tanah. Cara ini masih
berbahaya karena bila ada banjir, atau tergali, maka dapat melukai
atau mengkontaminasi lingkungan sekitarnya.

Daftar Pustaka

1. Unicef. Pelatihan Safe Injection. Jakarta : Ditjen PPM & PL dan PATH Depkes RI;
2005.
2. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI. ; 2005
3. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin Program
Imunisasi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2004.
4. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2005.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 111


Bab IV
Jadwal Imunisasi
Bab 4-1. Program Pengembangan Imunisasi (PPI)
4-2. Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI
4-3. Jadwal imunisasi yang tidak teratur
4-4. Imunisasi anak sekolah, remaja dan dewasa

Pen gantar
Pengembangan Program Imunisasi (PPI) merupakan program
pemerintah dalam bidang imunisasi guna mencapai komitmen
internasional yaitu universal child immunization. Melalui PPI
diharapkan beberapa masalah penanggulangan penyakit infeksi
dapat dilaksanakan seperti eradikasi polio, eliminasi tetanus
maternal dan neonatal, reduksi campak, peningkatan mutu
pelayanan imunisasi, standar pemberian suntikan yang aman dan
keamanan pengelolaan limbah tajam.
Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2004 disusun lebih
tegas, kapan seorang bayi/anak sebaiknya mendapat imunisasi
sehingga didapatkan hasil maksimal. Dalam jadwal terbaru ini juga
akan lebih mudah apabila imunisasi diberikan dalam bentuk vaksin
kombinasi. Pada anak yang mendapatkan imunisasi tidak sesuai
dengan jadwal yang dianjurkan dengan sebab lupa, tidak tahu,
atau catatan hilang maka hendaknya petugas kesehatan membantu
membuat jadwal imunisasi yang sesuai.
Dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, maka imunisasi
diperuntukkan kepada seluruh kelompok umur. Tujuan imunisasi
pada kelompok anak sampai dewasa adalah sebagai penguat kadar
antibodi yang telah menurun atau untuk memberikan perlindungan
pada penyakit yang succeptible pada kelompok yang lebih tua.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 112


Bab IV-1
Program Pengembangan Imunisasi
Sofyan Ismael

Program imunisasi nasional dikenal sebagai Pengembangan


Program Imunisasi (PPI) atau expanded program on immunisation
(EPI) dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1977. Program PPI
merupakan program pemerintah dalam bidang imunisasi guna
mencapai komitmen internasional yaitu universal child immunization
pada akhir 1982. Program UCI secara nasional dicapai pada tahun
1990, yaitu cakupan DTP3, polio 3 dan campak minimal 80% sebelum
umur 1 tahun. Sedangkan cakupan untuk DTP1, polio 1 dan BCG
minimal 90%. Imunisasi yang termasuk dalam PPI adalah BCG,
polio, DTP, campak, dan hepatitis B. Program imunisasi melalui PPI,
mempunyai tujuan akhir (ultimate goal) sesuai dengan komitmen
internasional yaitu,
· Eradikasi polio (ERAPO),
· Eliminasi tetanus maternal dan neonatal (maternal and
neonatal tetanus elimination - MNTE),
· Reduksi campak (RECAM),
· Peningkatan mutu pelayanan imunisasi,
· Menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe
injection practices),
· Keamanan pengelolaan limbah tajam (safe waste disposal w).

Cakupan Imunisasi

Target UCI 80-80-80 merupakan tujuan antara (intermediate goal),


yang berarti cakupan imunisasi untuk BCG, DPT, polio, campak,

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 113


Program Pengembangan Imunisasi

dan hepatitis B harus mencapai 80% baik di tingkat nasional,


propinsi, dan kabupaten bahkan di setiap desa. Seluruh propinsi
(97% dari 302 kabupaten) di Indonesia telah mencapai target UCI.
Jumlah sasaran bayi di Indonesia per tahun 4,6 juta sedang jumlah
ibu hamil 5,1 juta.

Tabel 4.1. Cakupan Imunisasi di Indonesia


Jenis Imunisasi Cakupan Cakupan
1996/1997 (%) 2003 (%)
1 dosis BCG 99,6 97,7
3 dosis DPT 90,9 90,8
4 dosis polio 85,0 90,4
3 dosis hep.B 62,0 79,4
1 dosis campak 91,7 90,4
2 dosis TT ibu hamil 73,3 71,5
Data: Subdit Imunisasi Ditjen PPM&PLP DepKes, 2004

Eradikasi Polio (ERAPO)

Dalam sidang ke-41, WHA (world health assembly) pada tahun 1988
mengajak seluruh dunia untuk mengeradikasi polio pada tahun
2000. Eradikasi polio didefinisikan sebagai tidak ditemukan lagi
kasus polio baru yang disebabkan oleh virus polio liar. Namun
melihat kenyataan, maka WHA tahun 2000 mengharapkan polio
dapat dieradikasi dari regional Asia Tenggara tahun 2004 dan
sertifikasi bebas polio oleh WHO pada tahun 2008. Adapun
strategi ERAPO meliputi (1) mencapai cakupan imunisasi rutin
yang tinggi dan merata, (2) melaksanakan imunisasi tambahan
(PIN) minimal 3 tahun berturut-turut, (3) melaksanakan survailans
acute flaccid paralysis (AFP) ditunjang dengan pemeriksaan
laboratorium, (4) melaksanakan mopping up, dan akhirnya (5)
sertifikasi polio.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 114


Program Pengembangan Imunisasi

Pekan imunisasi nasional (PIN)

Pekan imunisasi nasional adalah pekan pada saat setiap anak balita
umur 0-59 bulan yang tinggal di Indonesia mendapat 2 tetes vaksin
polio oral, tanpa melihat status imunisasi dan kewarganegaraannya.
Vaksin polio diberikan 2 kali dengan waktu selang sekitar 4 minggu
telah dilakukan berturut-turut pada tahun 1995, 1996, 1997, dan 2002,
2005 dan 2006 Indonesia telah berhasil melaksanakan PIN dengan
baik. Pada hari PIN telah diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita
di seluruh Indonesia.

Survailans acute flaccid paralysis (AFP)

Survailans acute flaccid paralysis atau lumpuh layu merupakan salah


satu dari 3 strategi eradikasi polio yang dilaksanakan di Indonesia.
Tujuan dari Survailans AFP untuk mengetahui lokasi transmisi
virus liar. Upaya untuk menemukan kasus polio dilakukan dengan
menemukan semua anak berusia < 15 tahun yang menderita
kelumpuhan. Spesimen tinja anak tersebut serta kontak diperiksa
di laboratorium untuk mengetahui apakah kelumpuhan tersebut
disebabkan oleh virus polio atau bukan. Sejak dilaksanakannnya
survailans AFP pada tahun 1995 sampai tahun 2000, berdasar
kriteria klinis masih dijumpai kasus polio kompatibel, yaitu kasus
yang dicurigai klinis polio namun tinjanya tidak sempat diperiksa
atau tinja tidak adekuat. Namun sejak tahun 1997, Indonesia
menggunakan kriteria virologis dan penentuan polio berdasar
pada ada tidaknya virus polio liar pada pemeriksaan tinja. Hasil
pemeriksaan tiga laboratorium yang telah dikukuhkan WHO (Bio
Farma di Bandung, Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan
Depkes di Jakarta, dan Balai Laboratorium Kesehatan di Surabaya)
menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 tidak pernah ditemukan lagi
virus polio liar di Indonesia. Virus polio liar terakhir ditemukan
pada tahun 1995 di Kabupaten Malang, Probolinggo, Cilacap,
Palembang dan Medan, seluruhnya 7 kasus terdiri atas virus

115 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sofyan Ismael

tipe 1, 2, dan 3. Namun kemudian pada Maret 2005 dilaporkan


adanya kasus polio di Sukabumi Jawa Barat. Dari pemeriksaan
di laboratorium Virologi Bio Farma Bandung dan Laboratorium
Virologi Rujukan WHO di Pure India, diketahui bahwa virus
yang ditemukan pada penderita di Cidahu adalah virus impor
strain Nigeria yang beberapa waktu sebelumnya juga berjangkit
di Yaman dan Arab Saudi. Setelah dilakukan outbreak respons
immunization mopping-up, dan PIN, sejak februari 2006 tidak
lagi ditemukan virus polio liar di Indonesia.

Outbreak respons immunization (ORI) dan Mopping up

Apabila di suatu wilayah terdapat kasus polio maka harus


dilakukan imunisasi polio masal lagi yang dikenal sebagai
outbreak respons immunization (ORI) mopping-up, dengan tujuan
memutuskan sisa fokus transmisi virus polio liar. Pelaksanaan
ORI pada daerah outbreak, sedangkan mopping-up dilakukan baik
pada daerah tempat virus polio liar ditemukan maupun pada
virus polio yang kompatibel.

Masalah yang dihadapi


1. Krisis ekonomi dan konflik sosial politik yang melanda
Indonesia sejak tahun 1997 telah melemahkan kinerja program
imunisasi rutin, survailans AFP, serta suplemen vitamin A
terutama di propinsi Aceh, NTT, Maluku dan Irian Jaya.
1. Hal ini menyebabkan ancaman virus polio liar yang berasal dari
negara lain di dalam regional Asia Tenggara yang belum bebas
polio (misalnya India, Afganistan, dan China), dapat muncul
kembali.
3. Pekan imunisasi telah dilakukan kembali di propinsi Aceh, NTT,
Maluku dan Irian Jaya, dikenal sebagai Pekan Imunisasi Sub
Nasional (Sub PIN) yang dilaksanakan pada bulan September,
Oktober 2006 dan februari 2007 bersamaan dengan imunisasi
campak.

116 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Program Pengembangan Imunisasi

Eliminasi tetanus neonatorum (ETN)

Tujuan umum eliminasi tetanus neonatorum adalah membebaskan


Indonesia dari penyakit tetanus neonatorum, sehingga tahun 2005
tetanus neonatorum tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat
lagi. Sedangkan tujuan khususnya adalah (1) Secara epidemiologis
berarti menurunkan insidens tetanus neonatorum menjadi 1 per
10.000 kelahiran hidup di pulau Jawa-Bali pada tahun 1995 dan
seluruh Indonesia pada tahun 2000-2005. (2) Menekan angka
kematian tetanus neonatorum menjadi separuh dari CFR (case
fatality rate) sebelumnya, dengan jalan menemukan kasus dan
mencari faktor risiko. Eliminasi tetanus neonatorum di Indonesia
telah dilaksanakan sejak tahun 1991. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan risiko yaitu meliputi status imunisasi TT ibu
hamil, pertolongan persalinan, dan perawatan tali pusat. Untuk
pelayanan imunisasi tetanus toksoid (TT) dilakukan pada anak
sekolah SD kelas VI, calon pengantin wanita, dan ibu hamil. WHO
merekomendasikan pemberian 5 dosis TT untuk mendapatkan
kekebalan seumur hidup, sedangkan untuk meningkatkan
pertolongan persalinan melalui peningkatan pelatihan dan
pembinaan dukun bayi.

Reduksi campak

Reduksi campak ditentukan oleh jumlah kasus dan kematian


campak, yaitu penurunan 90% kasus dan 90% kematian akibat
campak dibandingkan dengan keadaan sebelum program
imunisasi campak mulai. Kendala yang timbul dalam reduksi
campak ialah,
1. Imunisasi campak dalam PPI sejak tahun 1982 secara nasional
telah mencapai cakupan 80%,
2. Namun angka kesakitan campak masih tinggi,
3. Pemberian imunisasi campak rutin 1 dosis ternyata tidak
cukup.

117 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sofyan Ismael

Maka strategi yang disusun oleh Departemen Kesehatan


adalah,
1. Cakupan imunisasi campak rutin minimal harus > 90%, kepada
sasaran campak diberikan juga vitamin A 100.000 IU.
2. Upaya akselerasi dengan memberikan imunisasi pada anak
usia 9 bulan sampai 5 tahun di daerah kumuh perkotaan atau
daerah kantung cakupan. Upaya ini dicapai dengan mengadakan
sweeping di desa dengan cakupan rendah. Kegiatan sweeping
diperlukan untuk membantu Puskesmas dalam meratakan
cakupan di tingkat desa.
3. Melakukan crash program campak untuk mencegah KLB,
a. Pada balita di daerah kantong cakupan rendah (daerah sulit
dicapai, pemukiman transmigrasi baru),
b. Anak usia < 12 tahun di tempat pengungsian,
Pada kedua kegiatan di atas, vitamin A dosis 100. 000 IU untuk
bayi umur 6-11 bulan dan 200.000 IU diberikan pada umur
1-5 tahun (kecuali balita yang pernah mendapat vitamin A
dalam 1 bulan terakhir).
4. Melakukan ring vaksinasi pada setiap KLB campak pada
sekitar desa KLB, sasaran. umur 9 bulan-5 tahun atau sampai
umur kasus tertua, diberikan 1 dosis vaksin campak tanpa
melihat status imunisasi sebelumnya. Kegiatan ini untuk
memutuskan transmisi bila dilakukan dalam waktu 7-10 hari
setelah onset KLB. Diberikan juga vitamin A untuk anak 9-
11 bulan 100.000 IU sedangkan untuk usia 1-5 tahun 200.000
IU (kecuali balita yang pernah mendapat vitamin A dalam 1
bulan terakhir).
5. Melakukan catch-up campaign pada anak sekolah tingkat
dasar di seluruh Indonesia, yang dalam pelaksanaannya
dilakukan bertahap dalam program BIAS (bulan imunisasi anak
sekolah)(lihat Bab 4-4 Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan
Dewasa).

118 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sofyan Ismael

Daftar Pustaka

1. Penyakit Polio. Subdit Survailans Direktorat Jenderal PPM&PL, Departemen Kesehatan


Rl. Diunduh dari http i/www.depkes.go.id/index.php?option= news&task=viewarticle&
sid=1826&Itemid=2.
2. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial Rl. Petunjuk pelaksanaan Sub Pekan
Imunisasi Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM&PL, 2000.
3. WHO. Measles reduction. WHO SEARO, Geneva 2003.
4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccine and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.

119 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab IV-2
Jadwal Imunisasi
Sri Rezeki S.Hadinegoro

Jadwal Imunisasi IDAI secara berkala dievaluasi untuk


penyempurnaan, departemen Kesehatan/ WHO, kebijakan global,
dan pengadaan vaksin di Indonesia.
· Jadwal imunisasi tahun 2008 secara garis besar sama
dibandingkan dengan jadwal tahun 2004 yang tertera pada
buku imunisasi edisi kedua. Perbedaan terletak pada
penambahan vaksin pneumokokus konjugasi
(PCV=pneumococcal conjugate vaccine), vaksin influenza pada
program imunisasi yang dianjurkan (non-PPI) serta jadwal
imunisasi varisela yang dianjurkan diberikan pada umur 5
tahun (jadwal tahun 2007), Pada jadwal 2008 ditambahkan
vaksin rotavirus dan HPV (human papilloma virus).
· Pemberian hepatitis B saat lahir sangat dianjurkan untuk
mengurangi penularan hepatitis B dari ibu ke bayinya sedini
mungkin.
· Pemberian vaksin kombinasi, dengan maksud untuk
mempersingkat jadwal, mengurangi jumlah suntikan, dan
mengurangi kunjungan tetap dianjurkan. Selain vaksin
kombinasi DTP dengan Hib (baik DTwP/Hib maupun DTaP/
Hib, atau DTaP/Hib/IPV), Departemen Kesehatan memberikan
vaksin kombinasi DTwP dengan Hepatitis B (DTwP/HepB)
dalam PPI.
· Imunisasi campak yang hanya diberikan satu kali pada usia 9
bulan, dalam kajian Badan Penelitian & Pengembangan Depkes
ternyata kurang memberikan perlindungan jangka panjang. Oleh
karena itu, campak diberikan penguat pada saat masuk sekolah
dasar melalui program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah).

120 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

· Mengacu pada ketentuan WHO 2005 mengenai program


eradikasi polio, apabila di Indonesia tidak terdapat lagi virus
polio liar (wild polio virus) selama 3 tahun berturut-turut, besaran
cakupan imunisasi polio cukup tinggi (>90%), serta survailans
AFP yang baik; maka untuk imunisasi rutin (PPI) dapat
diberikan eIPV (enhanced inactivated polio vaccine, injectable poilo
vaccine). Namun untuk PIN vaksin polio oral tetap merupakan
pilihan
· Jadwal imunisasi Program Pengembangan Imunisasi (PPI)
Departemen Kesehatan yang baru tetap dapat dipergunakan,
bersama jadwal imunisasi IDAI.

Imunisasi Wajib (PPI)

Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP


dan campak.

BCG

· Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan.


Namun untuk mencapai cakupan yang lebih luas, Departemen
Kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi BCG pada umur
antara 0-12 bulan.
· Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1ml untuk
anak (>1 tahun). VaksinBCG diberikan secara intrakutan di
daerah lengan kanan atas pada insersio M.deltoideus sesuai
anjuran WHO, tidak di tempat lain (bokong, paha). Hal ini
mengingat penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid
lebih mudah dilakukan (jaringan lemak subkutis tipis), ulkus
yang terbentuk tidak menganggu struktur otot setempat
(dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha
anterior), dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis
apabila diperlukan.
· Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.

121 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

· Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberkulosis, namun


dapat mencegah komplikasinya. Para pakar menyatakan bahwa
(1) efektivitas vaksin untuk perlindungan penyakit hanya 40%,
(2) sekitar 70% kasus TB berat (meningitis) ternyata mempunyai
parut BCG, dan (3) kasus dewasa dengan BTA (bakteri tahan
asam) positif di Indonesia cukup tinggi (25%-36%) walaupun
mereka telah mendapat BCG pada masa kanak-kanak. Oleh
karena itu, saat ini WHO sedang mengembangkan vaksin BCG
baru yang lebih efektif.
· Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak
diberikan pada pasien imunokompromais (leukemia, anak yang
sedang mendapat pengobatan steroid jangka panjang, atau
menderita infeksi HIV).
· Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan,
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Vaksin BCG
diberikan apabila uji tuberkulin negatif.

Hepatitis B
Vaksin hepatitis B (hepB) harus segera diberikan setelah lahir,
mengingat vaksinasi hepB merupakan upaya pencegahan yang
sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi
maternal dari ibu kepada bayinya.
Jadwal imunisasi hepatitis B
 Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu
12 jam) setelah lahir, mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil
mengidap hepatitis B aktif dengan risiko penularan kepada
bayinya sebesar 45%.
 Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari
imunisasi hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk
mendapat respons imun optimal, interval imunisasi HepB2
dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka
imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.
 Jadwal dan dosis hepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan

122 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Jadwal Imunisasi

status HBsAg ibu saat melahirkan yaitu (1) ibu dengan status
HbsAg yang tidak diketahui, (2) ibu HBsAg positif, atau (3)
ibu HBsAg negatif.
 Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan
vaksin hepB-0 monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir,
dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/hepB pada
umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin HepB diberikan dalam
kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah pemberian
dan meningkatkan cakupan hepB-3 yang masih rendah.
Hepatitis B saat bayi lahir, tergantung status HbsAg ibu
 Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui:
HepB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir,
dan dilanjutkan pada umur 1 bulan dan 3-6 bulan. Apabila
semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam
perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif
maka ditambahkan hepatitis B imunoglobulin (HBIg) 0,5 ml
sebelum bayi berumur 7 hari.
 Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg-B positif: diberikan
vaksin hepB-1dan HBIg 0,5 ml secara bersamaan dalam waktu
12 jam setelah lahir.
Ulangan imunisasi hepatitis B
 Telah dilakukan penelitian multisenter di Thailand dan
Taiwan terhadap anak dari ibu pengidap hepatitis B, yang
telah memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa bayi. Pada
umur 5 tahun, 90,7% diantaranya masih memiliki titer antibodi
anti HBs protektif (kadar anti HBs >10 ug/ml). Mengingat
pola epidemiologi hepatitis B di Indonesia mirip dengan pola
epidemiologi di Thailand, maka dapat disimpulkan bahwa
imunisasi ulang (booster) pada usia 5 tahun belum diperlukan.
Idealnya, pada usia 5 tahun dilakukan pemeriksaan kadar
anti HBs.
 Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah
memperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan

123 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

imunisasi Hep B dengan jadwal 3 kali pemberian (catch-up


vaccination).
 Ulangan imunisasi hepatitis B (hepB-4) dapat dipertimbang
kan pada umur 10-12 tahun, apabila kadar pencegahan belum
tercapai (anti HBs <10 µg/ml).
Cakupan imunisasi hepatitis-B ketiga di Indonesia sangat
rendah apabila dibandingkan dengan DTP-3. Untuk mengatasi hal
tersebut, sejak tahun 2006 imunisasi hep-B pada jadwal Departemen
Kesehatan dikombinasikan dengan DTwP (Tabel 4.2). Jadwal
Depkes dapat dipergunakan bersama jadwal imunisasi IDAI

Tabel 4.2. Pemberian imunisasi hepatitis B*


Umur Imunisasi Kemasan

Saat
lahir HepB-0 Uniject (hepB-monovalen)
2 bulan DTwP dan hepB-1 Kombinasi DTwP/hepB-1
3 bulan DTwP dan hepB-2 Kombinasi DTwP/hepB-2
4 bulan DTwP dan hepB-3 Kombinasi DTwP/hepB-3
*Jadwal Departeman Kesehatan

DTwP (whole-cell pertussis) dan DTaP (acelluler pertussis)

Saat ini telah ada vaksin DTaP (DTP dengan komponen acelluler
pertussis) di samping vaksin DTwP (DTP dengan komponen whole
cell pertussis) yang telah dipakai selama ini. Kedua vaksin DTP
tersebut dapat dipergunakan secara bersamaan dalam jadwal
imunisasi.
Jadwal imunisasi
 Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan
(DTP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan
interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu,
jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur
4 bulan dan DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan booster DTP
selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 124


Jadwal Imunisasi

umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur
5 tahun.
Vaksinasi ulangan pada program BIAS
 Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin
dengan komponen pertusis (sebaiknya diberikan DTaP untuk
mengurangi demam pasca imunisasi) mengingat kejadian
pertusis pada dewasa muda meningkat akibat ambang
proteksi telah sangat rendah sehingga dapat menjadi sumber
penularan pada bayi dan anak.
 Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan
imunisasi di sekolah dasar (pada bulan imunisasi anak
sekolah atau BIAS). Ulangan DT-6 diberikan pada 12 tahun,
mengingat masih dijumpai kasus difteria pada umur lebih
dari 10 tahun.
 Ulangan DT-6 pada umur 12 tahun direncanakan oleh
depkes untuk diubah ke vaksin dT (adult dose), buatan PT Bio
Farma Indonesia.

Dosis vaksinasi DTP


 DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik
untuk imunisasi dasar maupun ulangan.

Pemberian DTP kombinasi


 Vaksin DTP dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin
lain yaitu DTwP/HepB, DTaP/Hib, DTwP/Hib, DTaP/IPV,
DTaP/Hib/IPV sesuai jadwal.

Tetanus

Upaya Departemen Kesehatan melaksanakan Program Eliminasi


Tetanus Neonatorum (ETN) tahun 2000 belum terlaksana
sepenuhnya. Maka pada pemberian vaksin tetanus beberapa hal
perlu mendapat perhatian.
· Jadwal imunisasi tetanus, sesuai dengan imunisasi
DTP
· Perkiraan lama waktu perlindungan antibodi tetanus.

125 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Program imunisasi mengharuskan seorang anak minimal


mendapat vaksin tetanus toksoid sebanyak lima kali untuk
memberikan perlindungan seumur hidup. Dengan demikian,
setiap wanita usia subur (WUS) telah mendapat perlindungan
untuk bayi yang akan dilahirkannya terhadap bahaya tetanus
neonatorum (pemberian vaksin TT WUS dan TT ibu hamil).

Perlindungan tersebut dapat diperoleh dengan cara sebagai


berikut.
 Imunisasi DTP primer pada bayi 3 kali akan memberikan
imunitas selama 1-3 tahun. Tiga dosis toksoid pada bayi
tersebut, setara dengan 2 dosis toksoid pada dewasa.
 Ulangan DTP pada umur 18-24 bulan (DTP 4) akan
memperpanjang imunitas 5 tahun yaitu sampai dengan
umur 6-7 tahun, pada umur dewasa dihitung setara 3 dosis
toksoid.
 Dosis toksoid tetanus kelima (DTP/ DT 5) bila diberikan pada
usia masuk sekolah, akan memperpanjang imunitas 10 tahun
lagi yaitu pada sampai umur 17-18 tahun; pada umur dewasa
dihitung setara 4 dosis toksoid.
 Dosis toksoid tetanus tambahan yang diberikan pada tahun
berikutnya di sekolah (DT 6 atau dT) akan memperpanjang
imunitas 20 tahun lagi; pada umur dewasa dihitung setara 5
dosis toksoid.
 Upaya ETN dengan target sasaran TT 5 kali juga dilakukan
pada anak sekolah melalui kegiatan BIAS.
· Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml
secara intramuskular.

Polio

Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio-1, 2, dan 3.


· OPV (oral polio vaccine), hidup dilemahkan, tetes, oral.
· IPV (inactivated polio vaccine), in-aktif, suntikan.

126 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Jadwal Imunisasi

Kedua vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian.


Vaksin IPV dapat diberikan pada anak sehat maupun anak yang
menderita imunokompromais, dan dapat diberikan sebagai
imunisasi dasar maupun ulangan. Vaksin IPV dapat juga diberikan
bersamaan dengan vaksin DTP, secara terpisah atau kombinasi.
Jadwal
 Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai
tambahan untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang
tinggi. Hal ini diperlukan karena Indonesia rentan terhadap
transmisi virus polio liar dari daerah endemik polio (India,
Afganistan, Sudan). Mengingat OPV berisi virus polio hidup
maka diberikan saat bayi meninggalkan rumah sakit/rumah
bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio
vaksin dapat diekskresi melalui tinja. Untuk keperluan ini,
IPV dapat menjadi alternatif.
 Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada
umur 2, 4, dan 6 bulan, interval antara dua imunisasi tidak
kurang dari 4 minggu.
 Dalam rangka eradikasi polio (Erapo), masih diperlukan Pekan
Imunisasi Polio (PIN) yang dianjurkan oleh Departemen
Kesehatan. Pada PIN semua balita harus mendapat imunisasi
OPV tanpa memandang status imunisasinya (kecuali pasien
imunokompromais diberikan IPV) untuk memperkuat
kekebalan di mukosa saluran cerna dan memutuskan
transmisi virus polio liar.

Dosis
· OPV diberikan 2 tetes per-oral.
· IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular. Vaksin IPV dapat
diberikantersendiri atau dalamkemasankombinasi (DTaP/IPV,
DTaP/Hib/IPV).
· Imunisasi polio ulangan diberikan satu tahun sejak
imunisasi polio-4, selanjutnya saat masuk sekolah (5-6
tahun).

127 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Campak

· Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis


0,5 ml secara sub-kutan dalam, pada umur 9 bulan.
· Dari hasil studi Badan Penelitian & Pengembangan dan
Dirjen PPM&PL Departemen Kesehatan mengenai campak
didapatkan,
 Survei di empat provinsi, 18,6%-32,6% anak sekolah
mempunyai kadar campak di bawah batas perlindungan,
 Dijumpai kasus campak pada anak usia sekolah,
 Beberapa propinsi masih melaporkan kejadian luar biasa
(KLB) campak,
· Departemen Kesehatan mengubah strategi reduksi &
eliminasi campak, sebagai berikut. Disamping imunisasi umur 9
bulan, diberikan juga imunisasi campak kesempatan kedua
(second opportunity pada crash program campak) pada umur 6-59
bulan dan SD kelas 1-6. Crash program campak ini telah
dilakukan secara bertahap (5 tahap) di semua provinsi pada
tahun 2006 dan 2007.
· Selanjutnya imunisasi campak dosis kedua diberikan pada
program school based catch-up campaign, yaitu secara rutin pada
anak sekolah SD kelas 1 dalam program BIAS.
· Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18
bulan dan ulangan umur 6 tahun; ulangan campak SD kelas 1
tidak diperlukan.

Imunisasi yang dianjurkan

Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi/anak


mengingat burden of disease namun belum masuk ke dalam
program imunisasi nasional sesuai prioritas. Imunisasi dianjurkan
adalah Hib, pneumokokus, influenza, MMR, tifoid, hepatitis A,
varisela, rotavirus, dan HPV.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 128


Jadwal Imunisasi

Haemophilus influenzae tipe b (Hib)

Terdapat dua jenis vaksin Hib konjungat yang beredar di Indonesia


yaitu vaksin Hib yang berisi PRP-T ( capsular polysaccharide
polyribosyl ribitol phosphate – konjugasi dengan protein tetanus)
dan PRP-OMP (PRP berkonjugasi dengan outer membrane protein
complex).

Jadwal imunisasi
+ Vaksin Hib yang berisi PRP-T diberikan pada umur 2,4, dan
6 bulan
+ Vaksin Hib yang berisi PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan
4 bulan, dosis ketiga (6 bulan) tidak diperlukan.
+ Vaksin Hib dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi
(DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/Hib/IPV)

Dosis
+ Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara
intramuskular.
+ Tersedia vaksin kombinasi DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/
Hib/IPV (vaksin kombinasi yang beredar berisi vaksin Hib
PRP-T) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml.
Ulangan
+ Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP perlu diulang
pada umur 18 bulan.
+ Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya
diberikan 1 kali.

Pneumokokus
Sejak jadwal imunisasi edisi tahun 2007, vaksin pneumokokus
dimasukkan dalam kelompok imunisasi yang dianjurkan sesuai
dengan Rekomendasi Satgas imunisasi IDAI tanggal 30 April
2006.

129 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Terdapat 2 jenis vaksin pneumokokus yang beredar di


Indonesia, yaitu vaksin pneumokokus polisakarida berisi
polisakarida murni, 23 serotipe disebut pneumococcus polysaccharide
vaccine (PPV23). Vaksin pneumokokus generasi kedua berisi vaksin
polisakarida konjungasi, 7 serotipe disebut pneumococcal conjugate
vaccine (PCV7).

Tabel 4.3. Perbedaan PPV23 dan PCV7

Vaksin polisakarida (PPV23) Vaksin polisakarida konjungasi (PCV7)

· T cell independent • T cell dependent (memory cell)

· Tidak imunogenik pd umur · Imunogenik pada umur <2


<2 tahun tahun
· Indikasi: umur> 2 thn, risiko · Indikasi: anak sehat dan anak
tinggi risiko tinggi
· Umur 2 bulan-5 tahun
· Mempunyai imunitas jangka · Mempunyai imunitas jangka
pendek panjang
· Nama: Pneumo-23@ (Sanofi · Nama: Prevenar@ (Wyeth)
Pasteur)

Jadwal dan dosis PCV7

Vaksin PCV7 diberikan sejak usia 2 bulan sampai 9 tahun. Dosis dan
interval pemberian sesuai umur tertera pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Jadwal dan dosis vaksin PCV7

Dosis pertama Imunisasi dasar Imunisasi


(bulan) ulangan*
2- 6 3 dosis, interval 6-8 mgg 1 dosis, 12-15 bulan
7-11 2 dosis, interval 6-8 mgg 1 dosis, 12-15 bulan
12-23 2 dosis, interval 6-8 mgg
≥24 1 dosis
*Imunisasi ulangan minimal 6-8 minggu setelah dosis terakhir imunisasi dasar
Dikutip dengan modifikasi dari AAP, Committee on Infectious Diseases 2006.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 130


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Cara pemberian

Vaksin PCV7 dikemas dalam prefilled syringe 5 ml diberikan secara


intramuskular.
· Dosis pertama tidak berikan sebelum umur 6 minggu.
· Untuk bayi BBLR (≤1500 gram) vaksin diberikan setelah umur
kronologik 6 -8 minggu, tanpa memperhatikan umur atau apabila
berat badan telah mencapai > 2000gram.
· Dapat diberikan bersama vaksin lain misalnya DTwP, DTaP, TT,
Hib, HepB, IPV, MMR, atau varisela, dengan mempergunakan
syringe terpisah. Untuk setiap vaksin diberikan pada sisi badan
yang berbeda.

Kelompok risiko tinggi

Untuk anak risiko tinggi berumur 24-59 bulan, vaksin PCV7 diberikan
bersama vaksin PPV23 karena kelompok ini rentan terhadap semua
serotipe pneumokokus. Kelompok risiko tinggi adalah anak yang
menderita penyakit kronik seperti penyakit sickle cell, aslenia
kongenital/didapat, disfungsi limpa, infeksi HIV, defisiensi imun
kongenital, penyakit jantung bawaan dan gagal jantung, penyakit
paru kronik termasuk asma yang diobati dengan kortikosteroid oral
dosis tinggi, cerebrospinal fluid leaks, insufisiensi ginjal kronik termasuk
sindrom nefrotik, penyakit yang berhubungan dengan pengobatan
imunosupresif atau radiasi termasuk penyakit keganasan dan
transplantasi organ solid, dan diabetes melitus (Tabel 4.5).

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 131


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Tabel 4.5. Jadwal dan dosis vaksin PCV7 & PPV23 untuk kelompok risiko tinggi
umur 24-59 bulan
Dosis sebelumnya Dosis PCV7 dan PPV23

4 dosis PCV7 Umur 24 bln: 1 dosis PPV23, minimal 6-8 mgg setelah
PCV7 dosis terakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23,
3-5 th setelah PPV23 dosis pertama
1-3dosis PCV7 1 dosis vaksin PCV7
1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah PCV7 dosis
terakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th
setelah PPV23 dosis pertama
1 dosis PPV23 2 dosis vaksin PCV7, interval 6-8 mgg, mulai minimal
6-8 mgg setelah PPV23 dosis terakhir. Ulangan PPV23:
1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama
Belum pernah 2 dosis vaksin PCV7 interval 6-8 mgg
1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah vaksin PCV
dosis terakhir.
Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23
dosis pertama

Influenza

Imunisasi influenza telah direkomendasikan oleh Satgas Imunisasi


IDAI sejak April 2006 dan telah dimasukkan dalam kelompok vaksin
yang dianjurkan, sesuai jadwal Satgas Imunisasi IDAI periode
2006.

Vaksin influenza
· Vaksin trivalen influenza yang terdiri dari dua virus
influenza subtipe A yaitu H3N2 dan H1N1, serta virus
influenza tipe B. Vaksin influenza diproduksi dua kali
setahun berdasarkan perubahan galur virus influenza yang
bersirkulasi di masyarakat.
· WHO Global Influenza Program merekomendasikan
komposisi vaksin influenza yang berlaku untuk tahun
berikutnya pada bulan September dan Februari. Musim
influenza pada terjadi bulan Mei-Juni di belahan bumi
Selatan (Southern hemisphere),

132 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Jadwal Imunisasi

dan November-Desember untuk belahan bumi Utara (Northern


hemisphere).
· Untuk Indonesia dipilih vaksin formulasi dari belahan
utara atau selatan yang diproduksi oleh produsen vaksin
sesuai dengan waktu yang tepat (perhatikan tanggal kadaluarsa
vaksin tersebut).
Jadwal
· Rekomendasi WHO untuk tahun 2006/2007 komposisi
vaksin belahan utara adalah A/New Caledonia/20/99(H1N1)-like
virus; A/Wisconsin/6 7/2005 (H3N2)-like virus; dan
B/Malaysia/2506/2004 like virus.
· Vaksin influenza diberikan pada anak umur 6–23 bulan,
baik anak sehat maupun dengan risiko (asma, penyakit jantung,
penyakit sel sickle, HIV, dan diabetes)
· Imunisasi influenza diberikan setiap tahun, mengingat tiap
tahun terjadi pergantian jenis galur virus yang beredar di
masyarakat. Vaksin tahun sebelumnya tidak boleh diberikan
untuk tahun sekarang.
· Indikasi lain: anak yang tinggal dengan kelompok risiko
tinggi atau pekerja sosial yang berhubungan dengan kelompok
risiko tinggi
Dosis dan cara pemberian
· Dosis tergantung umur anak,
 umur 6-35 bulan: 0.25ml
 umur ≥ 3 tahun : 0.5 ml
 umur < 8 tahun : untuk pemberian pertama kali
diperlukan 2 dosis dengan interval minimal 4-6 minggu,
pada tahun berikutnya hanya diberikan 1 dosis.
· Vaksin influenza diberikan secara intramuskular pada paha
anterolateral atau deltoid.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 133


Sri Rezeki S.Hadinegoro

MMR

· Vaksin MMR diberikan pada umur 15-18 bulan, minimal


interval
6 bulan antara imunisasi campak (umur 9 bulan) dan MMR.
· Dosis satu kali 0,5 ml, secara subkutan.
· MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah
penyuntikan imunisasi lain.
· Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR
pada umur 12-18 bulan dan 6 tahun, imunisasi campak
(monovalen) tambahan pada umur 5-6 tahun tidak perlu
diberikan.
· Ulangan imunisasi MMR diberikan pada umur 6
tahun.

Demam tifoid
Di Indonesia tersedia 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntikan
(polisakarida) dan oral (bakteri hidup yang dilemahkan).
· Vaksin capsular Vi polysaccharide
 diberikan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan dilakukan
setiap 3 tahun.
 kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml, pemberian secara
intramuskular
· Tifoid oral Ty21a
 diberikan pada umur lebih dari 6 tahun
 dikemas dalam kapsul, diberikan 3 dosis dengan interval
selang sehari (hari 1,3, dan 5).
 imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin oral
pada umumnya diperlukan untuk turis yang akan berkunjung
ke daerah endemis tifoid.

Hepatitis A

Vaksin hepatitis A diberikan pada daerah yang kurang terpajan


(under exposure). Di samping vaksin Hep A monovalen yang telah
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 134
Jadwal Imunisasi

kita kenal, saat ini telah beredar vaksin kombinasi HepB/HepA.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 135


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Jadwal imunisasi
+ Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun.
+ Vaksin kombinasi HepB/HepA tidak diberikan pada bayi
kurang dari 12 bulan. Maka vaksin kombinasi diindikasikan
pada anak umur lebih dari 12 bulan, terutama untuk catch-up
immunisation yaitu mengejar imunisasi pada anak yang belum
pernah mendapat imunisasi HepB sebelumnya atau imunisasi
HepB yang tidak lengkap.
Dosis pemberian
+ Kemasan liquid 1 dosis/vial prefilled syringe 0,5ml.
+ Dosis pediatrik 720 ELISA units diberikan dua kali dengan
interval 6-12 bulan, intramuskular di daerah deltoid
+ Kombinasi HepB/HepA (berisi HepB 10 µgr dan HepA
720 ELISA units) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml
intramuskular.
+ Dosis HepA untuk dewasa (≥ 19 tahun) 1440 ELISA units,
dosis 1 ml, 2 dosis, interval 6-12 bulan.

Varisela

Kesepakatan pada rapat Satgas Imunisasi IDAI Maret 2007, telah


ditentukan perubahan umur pemberian vaksin varisela dari umur
10 tahun menjadi 5 tahun. Hal ini berdasarkan,
1. Efektifitas vaksin varisela tidak diragukan lagi, namun apabila
cakupan imunisasi belum tinggi dapat mengubah epidemiologi
penyakit dari masa anak ke dewasa (pubertas). Akibatnya angka
kejadian varisela orang dewasa akan meningkat dibandingkan
anak.
2. Dampak varisela pada dewasa lebih berat daripada anak, apalagi
apabila terjadi pada masa kehamilan dapat mengakibatkan
sindrom varisela kongenital dengan angka kematian yang
tinggi.
3. Penularan terbanyak terjadi di sekolah (TK dan SD).

136 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Jadwal Imunisasi

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka imunisasi varisela


diberikan pada saat anak masuk sekolah Taman Kanak-kanak
umur 5 tahun, kecuali terjadi kejadian luar biasa varisela, atau atas
permintaan orang tua dapat diberikan pada umur > 1 tahun.
Jadwal
· Imunisasi varisela diberikan pada anak umur ≥ 5 tahun.
· Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien
varisela, imunisasi dapat mencegah apabila diberikan dalam
kurun 72 jam setelah kontak (catatan: kontak harus segera
dipisahkan).
Dosis
· Dosis 0,5 ml, subkutan, satu kali.
· Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan 2 kali
dengan jarak 4-8 minggu.

Tabel 4.6. Ringkasan Jadwal Imunisasi Berdasarkan Umur Pemberian

Umur Vaksin Keterangan

Saat lahir Hepatitis B-1 HB-1 harus diberikan dalam waktu 12


jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur
1 dan 6 bulan. Apabila status HbsAg-B
ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah
lahir diberikan HBIg 0,5 ml bersamaan
dengan vaksin HB-1. Apabila semula
status HbsAg ibu tidak diketahui dan
ternyata dalam perjalanan selanjutnya
diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka
masih dapat diberikan HB-Ig 0,5 ml
sebelum bayi berumur 7 hari.

Polio-0 Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama.


Untuk bayi yang lahir di RB/RS polio oral
diberikan saat bayi dipulangkan (untuk
menghindari transmisi virus vaksin
kepada bayi lain).

1 bulan Hepatitis B-2 HB-2 diberikan pada umur 1 bulan,


Interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan.

137 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Umur Vaksin Keterangan


0-2 bulan BCG BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila
BCG akan diberikan pada umur >3 bulan
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin
terlebih dulu dan BCG diberikan apabila
uji tuberkulin negatif.

2 bulan DTP-1 DTP diberikan pada umur lebih dari 6


minggu, dapat dipergunakan DTwP atau
DTaP atau diberikan secara kombinasi
dengan Hib (PRP-T).
Hib -1 Hib diberikan mulai umur 2 bulan dengan
interval 2 bulan. Hib dapat diberikan
secara terpisah atau dikombinasikan
dengan DTP.
Polio-1 Polio-1 dapat diberikan bersamaan
dengan DTP-1.
PCV-1 PCV-1 diberikan pada umur 2 bulan
4 bulan DTP -2 DTP-2 (DTwP atau DTaP) dapat
Hib -2 diberikan terpisah atau dikombinasikan
dengan Hib-2 (PRP-T).
Polio-2
Polio-2 diberikan bersamaan dengan
PCV-2 DTP-2
PCV-2 diberikan pada umur 4 bulan

6 bulan DTP -3 DTP-3 dapat diberikan terpisah atau


dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T).
Hib -3 Apabila mempergunakan Hib-OMP,
Hib-3 pada umur 6 bulan tidak perlu
diberikan.
Polio-3 Polio-3 diberikan bersamaan dengan
DTP-3.
PCV-3 PCV-3 diberikan pada umur 6 bulan

6 bulan Hepatitis B-3 HB-3 diberikan umur 3-6 bulan. Untuk


mendapat respons imun optimal interval
HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik
5 bulan.

6-23 bln Influenza Influenza dapat diberikan sejak umur 6


bulan

138 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Umur Vaksin Keterangan

9 bulan Campak Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan,


Campak-2 merupakan program BIAS
pada SD kl 1, umur 6 tahun. Apabila te-
lah mendapat MMR pada umur 15 bulan,
Campak-2 tidak perlu diberikan.
12 -15 bl PCV-7 Ulangan PCV-7 diberikan 1 dosis, 12-15
bulan
15-18 MMR Apabila sampai umur 12 bulan belum
bulan mendapat imunisasi campak, MMR da-
pat diberikan pada umur 12 bln
Hib-4 Hib-4 diberikan pada 15-18 bulan (PRP-T
atau PRP-OMP).

18 bulan DTP-4 DTP-4 (DTwP atau DTaP) diberikan 1 tahun


setelah DTP-3 atau kombinasi DTP/Hib
Polio-4 Polio-4 diberikan bersamaan dengan
DTP-4.
2 tahun Hepatitis A Vaksin HepA direkomendasikan pada
umur >2 tahun, diberikan dua kali
dengan interval 6-12 bulan.
2-3 tahun Tifoid Vaksin tifoid polisakarida injeksi direko-
mendasikan untuk umur >2 tahun. Imu-
nisasi tifoid polisakarida injeksi perlu
diulang setiap 3 tahun.

5 tahun DTP-5 DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun


(DTwP/DTaP)
Polio-5 Polio-5 diberikan bersamaan dengan
DTP-5
Varisela Vaksin varisela diberikan pada umur 5
tahun.
6 tahun MMR Diberikan untuk catch-up immuniza-
tion pada anak yang belum mendapat
MMR-1.
10 tahun dT/ TT Menjelang pubertas vaksin tetanus ke-5
(dT atau TT) diberikan untuk mendapat
imunitas selama 25 tahun.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 139


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Umur Vaksin Keterangan


10 thn HPV Vaksin HPV diberikan pada perempuan
berumur 10 tahun atau lebih sebanyak 3
kali, dengan jadwal agak berbeda untuk
vaksin bivalen (HPV 16, 18) dan kuadri-
valen (HPV 6, 11, 16, 18).
Vaksin bivalen kedua disuntikan 1
bulan setelah suntikan pertama, sun-
tikan ketiga diberikan 6 bulan setelah
suntikan pertama.
Vaksin kuadrivalen kedua disuntikan
2 bulan setelah suntikan pertama, sun-
tikan ketiga diberikan 6 bulan setelah
suntikan pertama.

Daftar Pustaka

1. Plotkins SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccines, edisi ke-4. Philadelphia, Tokyo;
WB Saunders, 2004.
2. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of Pediatrics.
Illinois; Amerika Serikat, 2006.
3. National Health and Medical Research Council. National Immunisation Program: The
Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
4. World Health Organization, The World Health Report 2007. A safer future: global
public health security in the 21st century. Diunduh dari:
http://www.who.int/whr/2007/en/index.html.
5. Kassianos GC. Immunization Childhood and Travel Health. Edisi keempat. London:
Blackwell Science, 2001.
6. AAP, Committee on Infectious Diseases 2006
7. Rekomendasi Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), 2003

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 140


Bab IV-3
Jadwal Imunisasi Tidak
Teratur
Dahlan Ali Musa

Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan


sesuai dengan jadwal yang sudah disepakati. Keadaan ini tidak
merupakan hambatan untuk melanjutkan imunisasi. Vaksin yang
sudah diterima oleh anak tidak menjadi hilang manfaatnya tetapi
tetap sudah menghasilkan respons imunologis sebagaimana yang
diharapkan tetapi belum mencapai hasil yang optimal. Dengan
perkataan lain, anak belum mempunyai antibodi yang optimal
karena belum mendapat imunisasi yang lengkap, sehingga kadar
antibodi yang dihasilkan masih di bawah ambang kadar yang
memberi perlindungan (protective level) atau belum mencapai kadar
antibodi yang bisa memberikan perlindungan untuk kurun waktu
yang panjang (life long immunity) sebagaimana bila imunisasinya
lengkap. Dengan demikian kita harus menyelesaikan jadwal
imunisasi dengan melengkapi imunisasi yang belum selesai.

Vaksin satu kali atau vaksin dengan daya lindung


panjang

Untuk vaksin yang diberikan hanya satu kali saja atau vaksin yang
daya perlindungannya panjang seperti vaksin BCG, campak, MMR,
varisela, maka keterlambatan dari jadwal imunisasi yang sudah
disepakati akan mengakibatkan meningkatnya risiko tertular oleh
penyakit yang ingin dihindari. Setelah vaksin diberikan maka risiko
terkena penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi tersebut
akan hilang atau rendah sekali, bahkan usia yang lebih tua saat

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 141


Dahlan Ali Musa

menerima vaksin akan menghasilkan kadar antibodi yang cukup


baik karena sistem imunitas tubuhnya sudah lebih matang.

Belum pernah mendapat imunisasi

Anak yang belum pernah mendapat imunisasi terhadap penyakit


tertentu, tidak mempunyai antibodi yang cukup untuk menghadapi
penyakit tersebut. Apabila usia anak sudah berada di luar usia yang
tertera pada jadwal imunisasi dan dia belum pernah diimunisasi
maka imunisasi harus diberikan kapan saja, pada umur berapa saja
sebelum anak terkena penyakit tersebut, karena dia sangat sedikit
atau sama sekali belum punya antibodi.

Imunisasi multidosis dengan interval tertentu

Untuk imunisasi yang harus diberikan beberapa kali dengan


interval waktu tertentu agar kadar antibodi yang diinginkan
tercapai (di atas ambang perlindungan) seperti vaksin DPT,
polio, Hib, pneumokok konjugasi, hepatitis A atau hepatitis B,
keterlambatan atau memanjangnya interval tidak mempengaruhi
respons imunologis dalam membentuk antibodi. Jumlah
pemberian imunisasi tetap harus dilengkapi supaya kadar ambang
perlindungan bisa dicapai dan anak terlindung dari penyakit.
Keterlambatan akan menunda tercapainya ambang kadar antibodi
yang memberikan perlindungan.
Terdapat beberapa jenis vaksin (umumnya vaksin inaktif) yang
daya perlindungannya terbatas hingga kurun waktu tertentu saja
(setelah itu kadar antibodi berada di bawah ambang perlindungan),
sehingga membutuhkan imunisasi ulang untuk meningkatkan
kembali kadar antibodinya. Bila imunisasi ulang terlambat atau
tidak dilakukan, maka kadar antibodi yang sudah rendah itu
(terutama pada anak-anak yang tidak pernah mendapat infeksi
alamiah) akan meningkatkan risiko terkena penyakit tersebut.

142 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Dahlan Ali Musa

Status imunisasi tidak diketahui atau meragukan

Anak dengan status imunisasi yang tidak diketahui atau meragukan,


misalnya dokumentasi imunisasi yang buruk atau hilang,
menyebabkan ketidakpastian tentang imunisasi yang sudah dan
belum diberikan. Pada keadaan ini, anak harus dianggap rentan
(susceptible) dan harus diberikan imunisasi yang diperkirakan belum
didapat. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pemberian
vaksin MMR, varisela, Hib, hepatitis-B, campak, DPT atau polio
yang berlebih akan merugikan penerima yang sudah imun.

Tabel 4.7. Rekomendasi jadwal untuk vaksinasi yang tidak teratur

Vaksin Rekomendasi bila vaksinasi terlambat


BCG Umur < 12 bulan, boleh diberikan kapan saja.
Umur > 12 bulan imunisasi kapan saja, namun sebaiknya
dilakukan terlebih dahulu uji tuberkulin apabila negatif
berikan BCG dengan dosis 0.1 ml intrakutan

DPwT atau Bila dimulai dengan DPwT boleh dilanjutkam dengan


DPaT DPaT.
Berikan dT pada anak > 7 tahun, jangan DPwT atau DPaT
walaupun vaksin tersedia.
Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal,
tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak
peduli berapapun jarak waktu/interval keterlambatan dari
pemberian sebelumnya.
Bila belum pernah imunisasi dasar pada usia < 12 bulan,
imunisasi diberikan sesuai imunisasi dasar, baik jumlah
maupun intervalnya.
Bila pemberian ke-4 sebelum ulang tahun ke-4, maka
pemberian ke-5 secepat-cepatnya 6 bulan sesudahnya.
Bila pemberian ke-4 setelah umur 4 tahun, maka pemberian
ke-5 tidak perlu lagi.

Polio oral Bila terlambat, jangan mengulang pemberiannya dari awal


tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak
peduli berapapun jarak waktu/ interval keterlambatan dari
pemberian sebelumnya.

143 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Dahlan Ali Musa

Vaksin Rekomendasi bila vaksinasi terlambat


Campak Pada umur antara 9 – 12 bulan, berikan kapan saja saat
bertemu.
Bila umur anak > 1 tahun berikan MMR
Bila booster belum didapat setelah umur 6 tahun, maka
vaksin campak/MMR diberikan kapan saja saat bertemu
melengkapi jadwal
MMR Bila sampai dengan umur 12 bulan belum mendapat vaksin
campak, MMR bisa diberikan kapan saja setelah berumur
1 tahun

Hepatitis B Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal,


tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal,
tidak peduli berapapun jarak waktu/interval dari
pemberian sebelumnya.
Anak dan remaja yang belum pernah imunisasi hepatitis B
pada masa bayi, bisa mendapat serial imunisasi hepatitis B
kapan saja saat berkunjung.

Hib Umur saat ini Riwayat Rekomendasi


(bulan) vaksinasi imunisasi
6 – 11 1 dosis 1x umur 6–11 bulan
Ulang 1x setelah 2 bulan atau
umur 12 – 15 bulan

12 – 14 1 dosis sebelum umur 12 bulan


Berikan 2 dosis, interval 2
bulan

15 – 59 Berikan Jadwal tidak lengkap


1 dosis

144 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Jadwal Imunisasi Tidak Teratur

P n e um o - Umur saat ini Dosis Keterangan

kokus (bulan) Vaksin


7 – 11 3 dosis 2 dosis, interval 4 minggu.
Dosis ke-3 setelah umur 12
bulan, paling sedikit 2 bulan
setelah dosis ke-2

12 – 23 2 dosis Interval paling sedikit 2


bulan

>24 - 5th 1 dosis

Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
2. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker
CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on
Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics;
2003.
3. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo,
WB Saunders, 2004.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 145


Bab IV-4
Imunisasi Anak Sekolah,
Remaja dan Dewasa
I G N Ranuh

Usia sekolah dan remaja saat memasuki usia merupakan kurun


waktu dengan paparan lingkungan yang luas dan beraneka ragam.
Angka kematian usia balita masih sekitar 56 per 1000 kelahiran
hidup, masa usia sekolah dan remaja menunjukkan grafik yang
menurun dan meningkat lagi pada usia yang lebih lanjut.
Kesakitan dan kematian karena penyakit yang termasuk di dalam
imunisasi nasional sudah sangat berkurang, seperti polio, difteria,
tetanus, batuk rejan dan campak, terutama karena dilaksanakannya
program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada bulan
November setiap tahunnya. Hanya penyakit tuberkulosis paru yang
justru menunjukkan peningkatan karena imunisasi BCG ternyata
kurang berhasil meskipun meningitis dan TB sekunder lainnya
seperti milier dan spondilitis TB sudah jauh berkurang.
Dengan terjadinya transisi epidemiologik dalam dua dekade
terakhir ini, penyebab utama kesakitan dan kematian telah
mengalami perubahan seperti yang dilaporkan di dalam SKRT1995
dengan bergesernya penyebab kematian karena infeksi ke penyakit
kardiovaskuler, terjadinya cedera dan keracunan karena kecelakaan,
penyakit karena obat-obatan terlarang, depresi, penyakit jiwa dan
penyakit degeneratif. Namun demikian, laporan dari rumah sakit.
Puskesmas maupun UKS (usaha kesehatan sekolah), penyakit infeksi
seperti ISPA, (infeksi saluran pernafasan akut), diare akut seperti
kolera dan penyakit yang seringkali menunjukkan kejadian luar
biasa atau wabah, seperti demam berdarah dengue masih merupakan
hambatan utama dalam tumbuh kembang menuju dewasa.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 146


Keterlambatan Imunisasi Dasar

Apabila imunisasi dasar belum pernah diberikan pada anak pada


usia yang seharusnya namun anak belum mencapai usia 8 tahun,
perlu diberikan DTP 4 dosis (ke-1 sampai ke-3 berselang 1-2 bulan
dan ke-4 diberikan 6 bulan’kemudian). Apabila anak sudah berumur
lebih dari 8 tahun, diberikan dT (adult tetanus diphthteria toxoid),
kemudian booster diberikan setiap 10 tahun.
Imunitas terhadap pertusis pasca imunisasi berlangsung selama
10 tahun setelah dosis terakhir. Meskipun demikian seorang
anak yang telah menerima 5 dosis vaksin pertusis, kemungkinan
terjangkitnya penyakit batuk rejan masih dapat terjadi pada usia
remaja. Kebutuhan booster pertusis pada usia remaja dan dewasa
masih menjadi lahan penelitian.
Apabila belum pernah mendapatkan vaksin MMR (measles,
mumps, rubella), imunisasi tersebut dapat diberikan pada semua
umur di atas satu tahun. Pada anak yang sudah pernah menderita
penyakit campak maupun gondongan bukan merupakan halangan
untuk memberikan MMR, karena dari anamnesis penyakit tersebut
sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Vaksin MMR terutama
menjadi penting untuk wanita usia subur karena komponen rubela
yang ada di dalamnya dapat mencegah rubela kongetial apabila
wanita tersebut hamil. Apabila setelah pemberian MMR diperlukan
uji tuberkulin, maka perlu diperhatikan bahwa uji tuberkulin baru
dapat dilaksanakan sedikitnya sebulan kemudian karena vaksin
campak yang mengandung virus hidup dapat mengurangi sensivitas
terhadap tuberkulin.
Pemberian dua vaksin yang mengandung virus hidup tidak
dapat diberikan secara simultan pada hari yang sama atau kurang
dari 14 hari. Vaksin hidup yang kedua harus diberikan sedikitnya
setelah 14 hari dari yang pertama (rekomendasi Advisory Committee
on Immunization Practices).

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 147


I G N Ranuh

Imunisasi Anak Sekolah, Remaja, dan Dewasa

Pada usia sekolah dan remaja diperlukan vaksinasi ulang atau


booster untuk hampir semua jenis vaksinasi dasar yang ada pada
usia lebih dini. Masa tersebut sangat penting untuk dipantau
dalam upaya pemeliharaan kondisi atau kekebalan tubuh terhadap
berbagai macam penyakit infeksi yang disebabkan karena kuman,
virus maupun parasit dalam kehidupan menuju dewasa.
· Pada umumnya penularan infeksi dapat melalui fekal-oral,
pernafasan, urin, maupun darah dan sekret tubuh lainnya. Di
dalam lingkungan sekolah, infeksi dapat terjadi di antara para
siswa sekolah melalui jalan nafas dan kontak langsung melalui
kulit sebagai lahan penularan penyakit. Namun pada lingkungan
Sekolah Luar Biasa (SLB) para siswa mengalami perkembangan
mental yang kurang, dapat terjadi penularan melalui fekal-oral
dan urin.
· Guna menjaga penyebaran penyakit menular di sekolah,
kiranya sekolah harus memiliki catatan imunisasi saat siswa
pertama kali masuk sekolah terutama tentang penyakit yang
masuk di dalam daftar PPI. Pada usia 6 tahun, booster harus
sudah diberikan terhadap penyakit difteria, tetanus dan polio.
Secara luas telah dilaksanakan sebagai program BIAS.
· Hepatitis B tidakperlu diulang, namun apabila tidakmenunjukkan
adanya pembentukan antibodi atau kadar antibodi telah menurun
di bawah ambang pencegahan vaksinasi hepatitis B (kurang dari
10 µg/dl), ulangan perlu diberikan. Perhatikan dan catat segera
adanya peningkatan antibodi. Data terakhir mengatakan bahwa
kadar anti-HBs memang akan mengurang dari tahun ke tahun,
tetapi ternyata memori imunitas (anamnestic anti-HBs response)
tetap bertahan selamanya setelah mendapatkan imunisasi.
Meskipun kadar anti-HBs sudah menurun sekali bahkan negatif
seorang masih terlindungi dari sakit secara klinis dan sakit kronis.
Jadi dosis booster hepB tidak diperlukan lagi bagi orang yang jelas
telah memberikan respons yang baik setelah imunisasi.

148 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan
Dewasa

· Campak diberikan pada program BIAS, SD kelas 1.


· Imunisasi terhadap demam tifoid pada usia sekolah diperlukan
karena adanya kebiasaan anak usia sekolah, terutama SD dan
SMP untuk membeli makanan dan pedagang kaki lima di sekolah
yang tentunya kurang dapat dijamin kebersihannya.
· Pada usia pra-remaja (10-14 tahun) khususnya anak perempuan
diperlukan vaksinasi ulang terhadap tetanus (dT), untuk
mencegah kemungkinan terjadi tetanus neonatorum pada bayi
yang akan dilahirkan.
· Pemberian imunisasi hepatitis A, dosis anak tetap berpedoman
pada usia dan tidak pada berat badan. Meskipun berat badan
melebihi orang dewasa dosis vaksin hepatitis A tetap dengan
dosis anak seperti halnya pada vaksin hepatitis B karena response
rate ternyata lebih tinggi dari orang dewasa meskipun berat
badannya melebihi normal.
· Imunisasi influenza dan pneumokokus diberikan pada usia
di atas 50 tahun khususnya kepada orang yang berisiko tinggi
seperti yang bekerja di lingkungan kesehatan (dokter, perawat)
dan menderita penyakit kronik seperti diabetes melitus, asma.
Imunisasi rubela diberikan pada wanita usia subur (tidak sedang
mengandung) terutama pada mereka dengan seronegatif.
·HPV
Mulai umur 10 tahun anak perempuan perlu diberikan imunisasi
HPV, untuk mencegah infeksi HPV yang menetap lama
(persisten) pada leher rahim yang dapat berkembang menjadi
kanker leher rahim.

149 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan
Dewasa

Tabel 4.8. Ringkasan imunisasi yang diperlukan pada masa remaja dan
dewasa

Vaksin Indikasi Imunisasi Kontra indikasi


Hepatitis B Individu berisiko Perlu 3 dosis Reaksi
Cacat mental A d o l e s e n : 1 / 2 anafilaktik
Hemodialisis dosis dewasa
Remaja belum pernah Diberikan 2 kali
mendapatkan (usia 11-19 tahun)
imunisasi

Polio Remaja yang belum Remaja/ dewasa IPV: reaksi


(IPV atau pernah imunisasi yang sudah anafilaktik
OPV) Pekerja kontak imun: 2 dosis IPV setelah dosis
dengan pasien polio dengan interval sebelumnya
Dewasa yang belum 4-8 minggu. Alergi terhadap
imun & anaknya Dosis ke-3: 6-12 streptomisin,
bulan.
diberikan OPV Bagi yang belum polimiksin B,
imun diberikan neomisin
dosis imunisasi
dasar

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 150


Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan
Dewasa
Varisela <13th: · s i i
1 dosis A i m n
yang 13 l n u a
b tahun: e · n n
e 2 dosis r M o
l interva g e s k
u l 4-8 i n u o
m mingg a d p n
u n e r g
v Dosis: a r e e
a · 0,5 ml f i s n
k i t if i
(s.k)
s l a ·I t
i a m a
n k T u l
a t B n · Wa
s i o nita
i k a d ham
k e il
/ t t fi
·
s e i s
a r f i
k h
·M e
i a
e n
t d
n s
a
· d i
S p

e pM
r g a e
o e t n
n l kd
e a a e
g t nr
a i i
t n
t t
i /
e a
f r
·G n a k
u e pe
r o i l
u m a
i

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 151


I G N Ranuh
Vaksin Indikasi Imunisasi Kontra
indikasi
Hepatitis · Tinggal di daerah Dosis 2 kali, Peka terhadap
A endemik s e l a n g aluminium &
· Mengidap peny. 6-1 2 bulan bahan
kronik Dewasa: 1,0 pengawet
· Mengidap gangguan ml
pembekuan darah Usia 2-1 7
· Petugas saji/memasak tahun:
· Homoseksual 0,5ml

DTP /dT • Semua orang dewasa 2 dosis selang · Mempunyai


· Remaja 11 -12th/ 4-6 minggu penyakit
14-16 tahun apabila Dosis: 0,5 ml syaraf
5 tahun sebelumnya (i.m) · Hyper-
belum mendapat Booster setiap sensitif
DTP/dT 10 tahun berat
Influenza •P e t u g a s k e s e h a t a n Dosis: 0,5 ml Anafilaksis
•Usia > 6 bulan dengan (i.m) terhadap telur
kardiovaskular/paru Diberikan
kronik termasuk asma sekali
•Usia > 6 bulan dengan setiap tahun
peny metabolik
(diabetes), ggn fungsi
ginjal, hemolobinopati.
•d e f i s i e n s i i m u n
Ibu hamil trimester
•2 - 3 ( s a a t o u t b r e a k )
Usia 50 tahun ke-atas
•Usia 6 bln- 18 thn
mendapat terapi aspirin
jangka panjang

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 152


Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan
Dewasa
Vaksin Indikasi Imunisasi Kontra

indikasi
Pneumo- · Usia 65 tahun ke-atas Perlu 1 dosis Hati-hati pada
kokus Dosis: 0,5 ml hamil trimester
· Anak >2 tahun dengan (i.m/s.k) pertama
penyakit kardiovaskular/ Dosis ke-2
paru kronik, termasuk perlu
gagal jantung kongestif, pada risiko
sakit hati kronik. iabetes, tinggi
alkohol, kardiomiopati, sedikitnya 5
COPD atau emfisema tahun
Usia > 2 tahun dengan setelah
gangguan fungsi limpa, suntikan
penyakit darah berat. pertama
gagal ginjal, transplantasi
organ, mengidap HIV

153 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan Dewasa
Rubela • Khusus wanita yang
belum mendapatkan
imunisasi rubela
· Mereka dengan risiko
paparan penyakit rubela

Satu dosis Terapi imuno-


Dosis: 0,5ml supresif
(s.k) Hamil
TB aktif

154 Pedoman Imunisasi di Indonesia


Edisi Ketiga Tahun 2008
Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan
Dewasa
Campak & Remaja/ dewasa 2 dosis selang Terapi imuno-
Gondong- Memiliki risiko tinggi 1 bln supresif
an (MMR) Dosis: 0,5ml, Hamil
sub kutan TB aktif

155 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Anak
Sekolah, Remaja dan Dewasa
HPV Wanita Dibe Ham
yang rikan il
belum dala Hipe
/ tidak m3 r-
terinfe kali sensi
ksi pem tivita
HPV: beria s
· Semua n,
wanita pada
usia 10-26 bula
tahun n 0,
· Semua (1-2),
wanita 6
usia 26-55 bula
tahun n
dengan secar
hasil pap a
smear (-) intra
musk
ular.
Tida
k
dip
erl
uka
n
boo
ster
.

156 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi


2008
Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan
Dewasa

Daftar Pustaka
1. Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), CDC, 12/14/2001
2. Departemen Kesehatan R.I. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004. Jakarta,
Depkes & Kesos, 2004.
3. Grabenstein JD. ImmunoFacts Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis:Wolter
Kluwer Health, Inc. 2006.
4. Harold Margolis, MD. and LindaMoyer. RN. VACCINATEADULTS, Spring/Summer
2000, Ask the Experts. http//www.immunize,org/va/ va6exprt.htm
5. Pickering LK, penyunting : American Academy of Pediatrics. Red Book. Report
Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village: American Academy
of Pediatrics. 2006.
6. Watson C., penyunting: National Health and Medical Research Council. The Australian
Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008.
7. William L. Atkinson.MD.RN. Vaccinate adults. Spring/Summer 2000, Ask the Experts.
http//www. immunize.org/va/va6exprt.htm

157 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab V
Vaksin pada Program Pengembangan
Imunisasi (PPI)
Bab 5-1. Tuberkulosis (BCG)
5-2. Hepatitis B
5-3. Difteria, tetanus, pertusis (DTP)
5-4. Poliomielitis
5-5. Campak

Pen gantar

Terdapat tujuh antigen yang termasuk dalam vaksin PPI. Cakupan


vaksin PPI di Indonesia telah mencapai lebih dari 80% kecuali
hepatitis B ketiga. Sesuai kesepakatan global, perlu diingat
bahwa cakupan vaksin PPI harus dipertahankan tetap tinggi di
seluruh pelosok negeri sebelum pemerintah memutuskan untuk
menambahkan vaksin lain dalam PPI.
Imunisasi BCG, walaupun saat ini diragukan manfaatnya WHO
tetap menganjurkan pemberian BCG sampai dihasilkan vaksin
tuberkulosis yang baru. Vaksin hepatitis untuk bayi baru lahir sangat
dianjurkan untuk Indonesia yang termasuk negara endemik tinggi
hepatitis B. Untuk mengurangi KIPI vaksin DTwP, vaksin DTaP
telah banyak digunakan. Vaksin DTwP/DTaP dapat diberikan secara
tunggal (mono valen) maupun kombinasi dengan vaksin lain (dengan
hepatitis B atau Hib). Demikian pula vaksin polio oral maupun suntikan
(inaktif) dapat diberikan sebagai vaksin monovalen maupun kombinasi.
Imunisasi ulangan (penguat) vaksin campak diberikan pada saat masuk
sekolah dasar, namun apabila telah diberikan MMR pada umur setelah
15 bulan maka ulangan campak tidak diperlukan lagi.

158 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab V-1
Tuberkulosis
Nastiti N.Rahajoe

Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan


Mycobacterium bovis. Tuberkulosis paling sering mengenai paru-
paru, tetapi dapat juga mengenai organ-organ lainnya seperti
selaput otak, tulang, kelenjar superfisialis, dan lain-lain. Seseorang
yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis tidak selalu menjadi sakit
tuberkulosis aktif. Beberapa minggu (2-12 minggu) setelah infeksi
Mycobacterium tuberculosis terjadi respons imunitas selular yang
dapat ditunjukkan dengan uji tuberkulin.

Epidemiologi

WHO report on tuberculosis epidemics tahun 1997 memperkirakan


terdapat 7.433.000 kasus TB di dunia dan terbanyak di Asia
Tenggara. Dalam data jumlah kasus TB, Indonesia merupakan tiga
besar di dunia. Berdasarkan Survei 1979-1982 didapat prevalensi
TB BTA (+) sebesar 0,29%. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 1980 dan 1986 mendapatkan bahwa TB adalah penyebab
kematian ke empat. Sementara itu, SKRT 1992 menyebutkan bahwa
tuberkulosis adalah penyebab kematian ke dua di negara kita,
sesudah penyakit kardiovaskular. Dari penelitian di 6 propinsi
antara tahun 1983 – 1993 diperoleh angka prevalensi antara 0,21% (DI
Yogyakarta) dan 0,65% (NTB dan DI Aceh). WHO memperkirakan
bahwa di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat
TB, dan terdapat 450.000 kasus TB baru setiap tahunnya. Tiga
perempat dari kasus TB ini berusia 15-49 tahun, separuhnya tidak
terdiagnosis dan baru sebagian kasus tercakup dalam program
pemberantasan tuberkulosis yang dilaksanakan pemerintah.
159 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Berdasarkan perhitungan DALY (disability adjusted life year) yang
diperkenalkan oleh world bank, TB merupakan 7,87% dari total disease
burden di Indonesia. Angka 7,7% ini lebih tinggi dari berbagai negara
di Asia lain sekitar 4%.
Belum diketahui prevalens TB pada anak., namun di berbagai
rumah sakit di Indonesia angka perawatan TB berat (TB milier,
meningitis TB) masih tinggi.

Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin)

Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari


Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga
didapatkan basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai
imunogenitas. Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas terhadap
tuberkulin. Masih banyak perbedaan pendapat mengenai sensitivitas
terhadap tuberkulin yang terjadi berkaitan dengan imunitas yang
terjadi.
· Vaksin yang dipakai di Indonesia adalah vaksin BCG buatan
PT. Biofarma Bandung. Vaksin BCG berisi suspensi M. bovis
hidup yang sudah dilemahkan. Vaksinasi BCG tidak mencegah
infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi risiko terjadi
tuberkulosis berat seperti meningitis TB dan tuberkulosis
milier.
· Vaksin BCG diberikan pada umur <2 bulan, sebaiknya pada
anak dengan uji Mantoux (tuberkulin) negatif.
· Efek proteksi timbul 8–12 minggu setelah
penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara 0–80%, berhubungan
dengan berhubungan dengan beberapa faktor yaitu mutu vaksin
yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau
faktor pejamu (umur, keadaan gizi dan lain-lain).
· Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,10 ml untuk
anak, 0,05 ml untuk bayi baru lahir.
· Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus
disimpan pada suhu 2-8° C, tidak boleh beku. Vaksin yang telah
diencerkan harus dipergunakan dalam waktu 8 jam.

160 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Tuberkulosis

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Vaksinasi BCG


Penyuntikan BCG secara intradermal akan menimbulkan ulkus
lokal yang superfisial 3 minggu setelah penyuntikan. Ulkus tertutup
krusta, akan sembuh dalam 2-3 bulan, dan meninggalkan parut bulat
dengan diameter 4-8 mm. Apabila dosis terlalu tinggi maka ulkus
yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikan terlalu dalam
maka parut yang terjadi tertarik ke dalam (retracted).

· Limfadenitis

Limfadenitis supuratif di aksila atau di leher kadang-kadang


dijumpai setelah penyuntikan BCG. Hal ini tergantung pada umur
anak, dosis, dan galur (strain) yang dipakai. Limfadenitis akan
sembuh sendiri, jadi tidak perlu diobati. Apabila limfadenitis
melekat pada kulit atau timbul fistula maka dapat dibersihkan
(dilakukan drainage) dan diberikan obat anti tuberkulosis oral.
Pemberian obat anti tuberkulosis sistemik tidak efektif.

· BCG-itis diseminasi

BCG-itis diseminasi jarang terjadi, seringkali berhubungan dengan


imunodefisiensi berat. Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum,
iritis, lupus vulgaris dan osteomielitis. Komplikasi ini harus diobati
dengan kombinasi obat anti tuberkulosis.

Kontraindikasi BCG
· Reaksi uji tuberkulin >5 mm,
· Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,
imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat
imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe,
· Menderita gizi buruk,
· Menderita demam tinggi,
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 161
Nastiti N. Rahajoe

· Menderita infeksi kulit yang luas,


· Pernah sakit tuberkulosis,
· Kehamilan.

Rekomendasi
· BCG diberikan pada bayi <2 bulan
· Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan
bakteri tahan asam (BTA) +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis
dulu, apabila pasien kontak sudah tenang bayi dapat diberi
BCG.

BCG jangan diberikan pada bayi atau anak dengan imuno defisiensi,
misalnya HIV, gizi buruk dan lain-lain.

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Gerakan terpadu nasional


penanggulangan tuberkulosis nasional (Gerdunas TB). Jakarta: Depkes & Kesos,
2000.
2. Global tuberculosis control - surveillance, planning, financing. WHO Report 2006.
WHO/HTM/TB/2006.362 (http://www.who.int/tb/publications /global_report/2006/
pdf/full_report_correctedversion.pdf).
3. CDC. Guidelines for preventing the transmission of Mycobacterium tuberculosis in
health-care settings, 2005. MMWR Recommendation Report. 2005;54(RR-17).
4. CDC. Guidelines for the investigation of contacts of persons with infectious tuberculosis:
Recommendations from the National Tuberculosis Controllers Association and CDC
— MMWR Recommendation Report. 2005;54(RR-15):1-37.
5. WHO. Tuberculosis and Air Travel: Guidelines for Prevention and Control (second
edition). WHO 2006. WHO/HTM/TB/2006.363 (http://whqlibdoc.who.int/hq/2006/
WHO_HTM_TB_2006.363_eng.pdf)
6. CDC. The Role of BCG vaccine in the prevention and control of tuberculosis in the
United States. (ACET and ACIP). MMWR Recomm Rep. 1996;45(RR-4).
7. American Thoracic Society, CDC, and Infectious Disease Society of America. Treatment
of tuberculosis. MMWR Recommendation Report. 2003;52(RR-11).

162 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab V-2
Hepatitis B (editing oleh Hartono
Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Infeksi virus hepatitis B (VHB) menyebabkan sedikitnya satu juta


kematian/tahun. Saat ini terdapat 350 juta penderita kronis dengan
4 juta kasus baru/tahun. Infeksi pada anak umumnya asimtomatis
tetapi 80-95% akan menjadi kronis dan dalam 10-20 tahun akan
menjadi sirosis dan/atau karsinoma hepatoselular (KHS). Di negara
endemis, 80% KHS disebabkan oleh VHB. Risiko KHS ini sangat
tinggi bila infeksi terjadi pada usia dini. Di lain pihak, terapi antivirus
belum mernuaskan, terlebih pada pengidap yang terinfeksi secara
vertikal atau pada usia dini.
Di kawasan yang prevalens infeksi VHBnya tinggi, infeksi
terjadi pada awal masa kanak-kanak baik secara vertikal maupun
horisontal. OIeh karena itu, kebijakan utama tata laksana VHB adalah
memotong jalur transmisi sedini mungkin. Vaksinasi universal bayi
baru lahir merupakan upaya yang paling efektif dalarn menurunkan
prevalens VHB dan KHS.

Epidemiologi
Indonesia termasuk daerah endemis sedang-tinggi. Prevalens
HBsAg pada donor (1994) adalah 9.4% (2.50 - 36.17%), dan pada
Ibu hamil 3.6% (2.1 -6.7%). (tambah data prevalensi Hep B
Julitasari

Pen u laran (+ transmisi vertikal)


Semua orang yang mengandung HBsAg positif potensial infeksius.
Transmisi terjadi melalui kontak perkutaneus atau parenteral, dan
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 163
Nastiti N. Rahajoe
melalui hubungan seksual. Transmisi antar anak merupakan modus

164 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

yang sering terjadi di negara endemis VHB. VHB dapat melekat dan
bertahan di permukaan suatu benda selama kurang lebih 1 minggu
tanpa kehilangan daya tular. Darah bersifat infeksius beberapa minggu
sebelum awitan, menetap selama fase akut berlangsung. Daya tular
pasien VHB kronis bervariasi, sangat infeksius bila HBeAg positif.

Kelompok yang rentan terhadap infeksi VHB

Pada dasarnya, individu yang belum pernah imunisasi hepatitis


B atau yang tidak memiliki antibodi anti-HBs, potensial terinfeksi
VHB. Risiko kronisitas dipengaruhi oleh faktor usia saat yang
bersangkutan terinfeksi. Kronisitas dialami oleh 90% bayi yang
terinfeksi saat lahir, oleh 25-50% anak yang terinfeksi usia 1-5
tahun, dan oleh 1-5% anak besar dan orang dewasa.Infeksi VHB
juga umumnya akan menjadi kronis bila mengenai pada individu
dengan defisiensi imun, baik kongenital maupun didapat (infeksi
HIV, terapi imunosupresi, hemodialisis).

Pencegahan
Pencegahan merupakan upaya terpenting karena paling cost-effec tive.
Secara garis besar, upaya pencegahan terdiri dan preventif umum
dan khusus yaitu imunisasi VHB pasif dan aktif.

Umum. Selain uji tapis donor darah, upaya pencegahan umum


mencakup sterilisasi instrumen kesehatan, alat dialisis individual,
membuang jarum disposable ke tempat khusus, dan pemakaian sa-
rung tangan oleh tenaga medis. Mencakup juga penyuluhan perihal
safe sex, penggunaan jarum suntik disposable, mencegah kontak
mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir), menutup luka. Selain itu,
idealnya skrining ibu hamil (trimester ke-1 dan ke-3, terutama ibu
risiko tinggi) dan skrining populasi risiko tinggi (lahir di daerah
hiperendemis dan belum pernah imunisasi, homo-heteroseksual,
pasangan seks ganda, tenaga medis, pasien dialisis, keluarga pasien
VHB, kontak seksual dengan pasien VHB).

165 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Khusus. Program imunisasi universal bayi baru lahir berhasil


menurunkan prevalens infeksi VHB dan KHS di Taiwan, Gambia,
Alaska, Polynesia.

Imunisasi Pasif

Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat segera


memberikan proteksi meskipun hanya untuk jangka pendek (3-6
bulan).1,5,14
HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (needle stick
injury, kontak seksual, bayi dan ibu VHB, terciprat darah ke mukosa
atau ke mata). Sebaiknya HBIg diberikan bersama vaksin VHB
sehingga proteksinya berlangsung lama.

Tabel 5.1. Kebijakan imunisasi pada needle stick injury

Kontak yg Tatalaksana bila sumber penularan


terpapar
HBsAg (+)) HBsAg
Imunisasi (-) HBIg & vaksin atau Vaksin atau periksa
Periksa anti HBs bila anti HBs bila tergolong
tergolong risiko tinggi * risiko tinggi
Imunisasi (+) Tidak perlu profilaksis Tidak perlu profilaksis
Responder
Imunisasi (+) HBIg 2x (jarak 1 bulan) Bila sumber penularan
Non responder atau risiko tinggi VHB,
HBIg & vaksin perlakukan seperti
HBsAg + (*)

Ket: HBIg (0,06 ml/kg; maksimum 5 ml) dalam 48 jam pertama setelah kontak

Bila sumber penularan needle stick injury HBsAg-HBeAg positif,


maka 22%-31% kontak mengalami hepatitis akut dan 37%-61%
mengalami sero-evidence infeksi VHB (Tabel 5.1). Kebijakan kontak
seksual tergantung kondisi sumber penularan (Tabel 5.2).

166 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Tabel 5.2. Kebijakan imunisasi pada kontak seksual


Kontak yg Sumber Penularan : Sumber Penularan:
terpapar VHB Akut Carrier
Imunisasi (-) atau HBIg 0,06 ml/kg atau HBIg dan Vaksin atau
anti HBs HBIg vaksin atau periksa anti HBs bila
Periksa anti HBs bila tergolong risiko tinggi
risiko tinggi

167 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Imunisasi (+) Tidak periu profilaksis Tidak perlu profilaksis

168 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Lupa : periksa Anti HBs(-): Anti HBs(-):


anti HBs HBIg & vaksin HBIg & vaksin

169 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Keterangan: HBIg (0,06 ml/kg; maksimum 5 ml) dalam waktu < 14 hari sesudah kontak
terakhir

Pada bayi dan ibu VHB, HBIg (0,5 ml) diberikan bersama vaksin
di sisi tubuh berbeda, dalam waktu 12 jam setelah lahir. Efektivitas
proteksinya (85%-95%) dalam mencegah infeksi VHB dan kronisitas.
Bila yang diberikan hanya vaksin VHB, tingkat efektivitasnya
75%.

Imunisasi aktif

Vaksin VHB yang tersedia adalah vaksin rekombinan Pemberian


ketiga seri vaksin dan dengan dosis yang sesuai rekomendasinya,
akan menyebabkan terbentuknya respons protektif (anti HBs ≥ 10
mIU/mL) pada > 90% dewasa, bayi, anak dan remaja.
Vaksin diberikan secara intramuskular dalam. Pada neona tus
dan bayi diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak
besar dan dewasa, diberikan di regio deltoid.
Siapa yang harus mendapat imunisasi hepatitis B?
· Semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu
· Individu yang karena pekerjaannya berisiko tertular VHB
· Karyawan di lembaga perawatan cacat mental
· Pasien hemodialisis

170 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hepatitis B

· Pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi berulang


· Individu yang serumah dengan pengidap VHB atau
kontak akibat hubungan seksual
· Drug users
· Homosexuals, bisexual, heterosexuals

Jadwal dan dosis. Pada dasarnya, jadwal imunisasi hepatitis B


sangat fleksibel sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatu-
kannya ke dalam program imunisasi terpadu. Namun demikian
ada beberapa hal yang perlu diingat.
· Minimal diberikan sebanyak 3 kali
· Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir
· Jadwal imunisasi yang dianjurkan adalah 0,1,6 bulan karena
respons antibodi paling optimal
· Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1
bulan. Memperpanjang interval antara dosis pertama dan
kedua tidak akan mempengaruhi imunogenisitas atau titer
antibodi sesudah imunisasi selesai (dosis ketiga).
· Dosis ketiga merupakan penentu respons antibodi karena
merupakan dosis booster. Semakin panjang jarak antara
imunisasi kedua dengan imunisasi ketiga (4 - 12 bulan),
semakin tinggi titer antibodinya.
· Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan
imunisasi kedua. Sedangkan imunisasi ketiga diberikan
dengan jarak terpendek 2 bulan dari imunisasi kedua.
· Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah
memungkinkan.
Setiap vaksin hepatitis B sudah dievaluasi untuk menen tukan
dosis sesuai umur (age-specific dose) yang dapat menim bulkan respons
antibodi yang optimum. Oleh karena itu, dosis yang direkomendasikan
bervariasi tergantung produk dan usia resipien. Sedangkan dosis pada
bayi, dipengaruhi pula oleh status HBsAg ibu.
Pasien hemodialisis membutuhkan dosis yang lebih besar atau
penambahan jumlah suntikan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 171


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Tabel 5.3. Imunisasi hepatitits B pada bayi baru lahir.

HBsAg ibu Imunisasi keterangan

Positif HBIg (0.5 ml) dan Dosis 1: <12 jam


Vaksin HB pertama
Negatif atau Vaksin HB Dosis I: Segera setelah
tidak diketahui* lahir
Status HBV ibu semula
tidak diketahui
tetapi bila dalam 7 hari
terbukti ibu
HBV, segera beri HBIg
Pada pasien koagulopati penyuntikan segera setelah memperoleh terapi faktor koagulasi,
dengan jarum kecil (no ≤ 23). tempat penyuntikan ditekan minimal 2 menit.

Bayi prematur: bila ibu HBsAg (-) imunisasi ditunda sampai


bayi berusia 2 bulan atau berat badan sudah mencapal 2 kg.

Catch up immunization. Merupakan upaya imunisasi pada anak


atau remaja yang belum pernah diimunisasi atau terlambat > dari 1
bulan dari jadwal yang seharusnya. Khusus pada imunisasi hepatitis
B, imunisasi catch up ini diberikan dengan interval minimal 4 minggu
antara dosis pertama dan kedua, sedangkan interval antara dosis
kedua dan ketiga minimal 8 minggu atau 16 minggu sesudah dosis
pentama.19

Efektivitas, lama proteksi. Efektivitas vaksin dalam mencegah


infeksi VHB adalah 90%-95%. Memori sistem imun menetap minimal
sampai 12 tahun pasca imunisasi sehingga pada anak normal, tidak
dianjurkan untuk imunisasi booster.5,12,17,18
Pada pasien hemodialisis, proteksi vaksin tidak sebaik individu
normal dan mungkin hanya berlangsung selama titer anti HBs
≥ 10 mIU/ml. Pada kelompok ini dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan anti HBs setiap tahun dan booster diberikan bila anti
HBs turun menjadi <10 mIU/ml.

172 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

Non responder. Mereka yang tidak memberikan respons terhadap


imunisasi primer, diberikan vaksinasi tambahan (kecuali bila HBsAg
positif). Tambahan satu kali vaksinasi menyebabkan 15%-25% non
responder memberikan respons antibodi yang adekuat. Bila vaksinasi
diulang 3 kali, sampai dengan 40% dapat memben tuk antibodi
yang adekuat. Bila sesudah 3 kali vaksinasi tambahan tidak terjadi
serokonversi, tidak perlu imunisasi tambahan lagi.

Uji serologis. Pada bayi-anak, pemeriksaan anti-HBs pra dan pas-


ca imunisasi tidak dianjurkan. Uji serologis pra imunisasi hanya
dilakukan pada yang akan memperoleh profilaksis pasca paparan
dan individu berisiko tinggi tertular infeksi HBV. Uji serologi pas-
ca irnunisasi perlu dilakukan pada bayi dan ibu pengidap VHB,
individu yang memperoleh profilaksis pasca paparan, dan pasien
imunokompromis. Uji serologis, pasca imunisasi ini dilakukan 1
bulan sesudah imunisasi ke-3.

Reaksi KIPI. Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi


lokal yang ringan dan bersifat sementara. Kadang-kadang dapat
menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.

Indikasi kontra. Sampai saat ini tidak ada indikasi kontra abolut
pemberian vaksin VHB. Kehamilan dan laktasi bukan indikasi
kontra imunisasi VHB.

Daftar Pustaka
1. WHO. Department of Communicable Diseases Surveillance and Response. Hepatitis
B. 2002.
2. Balistreri W. Acute and chronic viral hepatitis. Dalam: Suchy FJ, penyunting. Liver
Disease in children, edisi ke-2, St. Louis: Mosby, 2000: 460-509.
3. American Academy of Pediatrics. Hepatitis A, B, C, and E. Dalam Peter G, Hall CB,
Halsey NA, Marcey SM. Pickering LK, penyunting. 2000 Red Book. Report of the
committee on infectious diseases, edisi ke-25, 2000: 237- 63.
4. LokASF danMcMahonBJ. Chronic hepatitis B. AASLD Practice Guidelines. Hepaatol
2001; 34 (6): 1225 -41.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 173


Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto

5. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule. MMWR 2003,


52(4): Q1-4.
6. Mast E, Mahoney F, Kane M, et al. Hepatitis B vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA,
editors. Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004.
7. CDC. Updated U.S. Public Health Service guidelines for the management of
occupational exposures to HBV, HCV and HIV and recommendations for postexposure
prophylaxis. MMWR Morbidity Mortality Weekly Report. 2001;50(RR-11):1-54.
5. CDC. A Comprehensive Immunization Strategy to Eliminate Transmission of Hepatitis
B Virus Infection in the United States. Recommendations of the Advisory Committee
on Immunization Practices (ACIP) Part 1: Immunization of Infants, Children, and
Adolescents. MMWR Morbidity Mortality Weekly Report. 2005;54(RR16);1-23
8. European Consensus Group on Hepatitis B Immunity. Are booster immunisations
needed for lifelong hepatitis B immunity? Lancet. 2000;355:561-5.
9. Lok AS, McMahon BJ; Practice Guidelines Committee, American Association for the
Study of Liver Diseases (AASLD). Chronic hepatitis B: update of recommendations.
Hepatology. 2004:39:857-61.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 174


Bab V-3
Difteria, Tetanus, Pertusis (DTP)
Alan Tumbelaka + Ismoedijanto

Difteria
Difteria adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated disease
dan disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama kuman
ini berasal dari bahasa Yunani cfyo/jferayang berarti leather hide.
Penyakit ini diperkenalkan pertama kali oleh Hyppocrates pada abad
ke 5 SM dan epidemi pertama dikenal pada abad ke-6 oleh Aetius.
Bakteri ini ditemukan pertama kali pada pseudo membran pasien
difteria tahun 1883 oleh Klebs. Anti-toksin ditemukan pertama kali
pada akhir abad ke 19 sedang toksoid dibuat sekitar tahun 1920.
Corynebacterium diphteriae adalah basil Gram positif. Produksi
toksin terjadi hanya bila kuman tersebut mengalami lisogenisasi oleh
bakteriofag yang mengandung informasi genetik toksin. Hanya galur
toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit berat. Ditemukan 3
galur bakteri yaitu, gravis, intermedius dan mitis dan semuanya dapat
memproduksi toksin, tipe gravis adalah yang paling virulen.
Seseorang anak dapat terinfeksi difteria pada nasofaringnya
dan kuman tersebut kemudian akan memproduksi toksin yang
menghambat sintesis protein selular dan menyebabkan destruksi
jaringan setempat dan terjadilah suatu selaput/membran yang
dapat menyumbat jalan nafas. Toksin yang terbentuk pada membran
tersebut kemudian diabsorbsi ke dalam aliran darah dan dibawa ke
seluruh tubuh. Penyebaran toksin ini berakibat komplikasi berupa
miokarditis dan neuritis, serta trombositopenia dan proteinuria.
Pada dasarnya semua komplikasi difteria, termasuk kematian
merupakan akibat langsung dari toksin difteria. Beratnya penyakit
dan komplikasi biasanya tergantung dari luasnya kelainan lokal.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 175


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

Angka kematian difteria sangat tinggi, dan kematian tertinggi pada


kelompok usia di bawah lima tahun. (data di Indonesia ?)
Anti-toksin untuk difteria pertama kali dibuat dari serum kuda
di Amerika Serikat pada tahun 1891. Pemberian antitoksin ini
dimaksudkan untuk mengikat toksin yang beredar dalam darah, dan
tidak dapat menetralisasi toksin yang sudah terikat pada jaringan
tertentu. Pasien dengan dugaan difteria harus segera mendapatkan
pengobatan antitoksin dan antibiotik dengan dosis yang tepat
dan dirawat dengan teknik isolasi ketat. Terapi penunjang untuk
membantu pernafasan dan pembebasan jalan perlu diberikan segera
bila diperlukan.

Pertusis
Pertusis atau batuk rejan/batuk seratus hari adalah suatu penyakit
akut yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Ledakan
kasus pertusis pertama kali terjadi sekitar abad 16, menurut laporan
Guillaume De Baillou pada tahun 1578 di Paris dan kuman itu
baru dapat diisolasi pada tahun 1906 oleh Jules Bordet dan Octave
Gengou. Sebelum ditemukan vaksinnya, pertusis merupakan
penyakit tersering yang menyerang anak dan merupakan penyebab
utama kematian (diperkirakan sekitar 300.000 kematian terjadi
setiap tahun).
Bordetella pertussis adalah bakteri batang yang bersifat gram
negatif dan membutuhkan media khusus untuk isolasinya.
Kuman ini menghasilkan beberapa antigen antara lain toksin
pertusis (PT),filament hemagglutinin (FHA), pertactine aglutinogen
fimbriae, adenil siklase, endotoksin, dan trakea sitotoksin. Produk
toksin ini berperan dalam terjadinya penyakit pertusis dan
kekebalan terhadap satu atau lebih komponen toksin tersebut
akan menyebabkan serangan penyakit yang ringan (label 13).
Terdapat bukti bahwa kekebalan terhadap B. pertussis tidak bersifat
permanen.

176 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

Pertusis juga merupakan penyakit yang bersifat toxin-mediated,


toksin yang dihasilkan (melekat pada bulu getar saluran nafas atas)
akan melumpuhkan bulu getar tersebut sehingga menyebabkan
gangguan aliran sekret saluran pernafasan, berpotensi menyebabkan
sumbatan jalan napas dan pneumonia.

Tabel 5.4. Peran aktifitas biologik & antibodi komponen toksin B.pertussis

Komponen
toksinAktifitas biologik Peran antibodi
Pertusis toxin Memproduksi eksotoksin Mencegah kerusakan saluran
(PT) Sensitisasi histamin nafas dan intraserebral
pada binatang percobaan.
Mencegah gejala klinis pada
Limfositosis
Aktifasi sel pankreas
Merangsang sistem
imun
Filamentous Memegang peran untuk Mencegah kerusakan saluran
hemagglutinin melekatnya B. pertussis nafas tetapi tidak berperan
(FHA) pada sel epitel saluran intra serebral pada binatang
nafas percobaan
Pertactine 69- Nonfimbrial Memicu pencegahan
kDa OMP agglutinogen, infeksi pada saluran nafas
berhubungan dengan oleh 6. pertussis (binatang
kerja adenylcyclase percobaan)
Aglutinogen Surface antigen Memicu pencegahan
berhubungan dengan infeksi pada saluran nafas
fimbriae untuk oleh B. pertussis (binatang
melekatnya B. pertussis percobaan)
pada sel epitel

Adenylcyclase Menghambat fungsi Belum diketahui


fagositosis

Tracheal Menyebabkan ciliary Belum diketahui


cytotoxin stasis dan cytopathic
effects pada mukosa
trakea
Sumber: Centre for Disease Control, 1994.

177 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

Gejala utama pertusis timbul saat terjadinya penumpukan


lendir dalam saluran nafas akibat kegagalan aliran oleh bulu getar
yang lumpuh yang berakibat terjadinya batuk paroksismal tanpa
inspirasi yang diakhiri dengan bunyi whoop. Pada serangan batuk
seperti ini, pasien akan muntah dan sianosis, menjadi sangat lemas
dan kejang. Keadaan ini dapat berlanjut antara 1 sampai 10 minggu.
Bayi di bawah 6 bulan dapat menderita batuk namun tanpa disertai
suara whoop.
Bayi dan anak prasekolah mempunyai risiko terbesar untuk
terkena pertusis termasuk komplikasinya. Komplikasi utama yang
sering ditemukan adalah pneumonia bakterial, gangguan neurologis
berupa kejang dan ensefalopati akibat hipoksia. Komplikasi ringan
yang sering ditemukan adalah otitis media, anoreksia, dehidrasi,
dan juga akibat tekanan intraabdominal yang meningkat saat
batuk antara lain epistaksis, hernia, perdarahan konjungtiva,
pneumotoraks dan lainnya.
Pengobatan pertusis secara kausal dapat dilakukan dengan
antibiotik khususnya eritromisin, dan pengobatan suportif terhadap
gejala batuk yang berat. Pemberian pengobatan eritromisin
untuk pencegahan pada kontak pertusis dapat dilakukan untuk
mengurangi penularan.

Tetanus

Tetanus adalah penyakit akut, bersifat fatal, gejala klinis disebabkan


oleh eksotoksin yang diproduksi bakteri Clostridium tetani.
Gejala tetanus sudah mulai dikenal sejak abad ke 5 SM, namun
baru pada tahun 1884 dibuktikan secara eksperimental melalui
penyuntikan pus pasien tetanus pada seekor kucing oleh Carle
dan Rattone. Pembuktian bahwa toksin tetanus dapat dinetralkan
oleh suatu zat dilakukan oleh Kitasato (1889), sedang Nocard
(1897) mendemonstrasikan efek dari transfer pasif anti toksin
yang kemudian diikuti oleh imunisasi pasif selama perang dunia
I. Toksoid tetanus kemudian ditemukan pada tahun 1924 oleh

178 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

Descombey dan efektifitas imunisasi aktif didemonstrasikan pada


perang dunia ke II.
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang dan bersifat
anaerobik, gram positif yang mampu menghasilkan spora dengan
bentuk drumstick. Kuman ini sensitif terhadap suhu panas dan
tidak bisa hidup dalam lingkungan beroksigen. Sebaliknya, spora
tetanus sangat tahan panas, dan kebal terhadap beberapa antiseptik.
Spora tetanus dapat tetap hidup dalam autoklaf bersuhu 121 °C
selama 10-15 menit. Kuman tetanus terdapat di dalam kotoran dan
debu jalan, usus dan tinja kuda, domba, anjing, kucing, tikus dan
lainnya. Kuman tetanus masuk ke dalam tubuh manusia melalui
luka dan dalam suasana anaerob, kemudian menghasilkan toksin
(tetanospasmin) dan disebarkan melalui darah dan limfe. Toksin
tetanus kemudian akan menempel pada reseptor di sistem syaraf.
Gejalautama penyakit initimbul akibat toksin tetanus mempengaruhi
pelepasan neurotransmitter, yang berakibat penghambatan impuls
inhibisi. Akibatnya terjadi kontraksi serta spastisitas otot yang tak
terkontrol, kejang dan gangguan sistim syaraf otonom.
Tetanus selain dapat ditemukan pada anak-anak, juga dijumpai
kasus tetanus neonatal yang bersifat fatal. Komplikasi tetanus yang
sering terjadi antara lain laringospasme, infeksi nosokomial, dan
pneumonia ortostatik. Pada anak besar sering terjadi hiperpireksi
yang merupakan tanda tetanus berat. Perawatan luka, kesehatan
gigi, telinga (OMSK) merupakan pencegahan utama terjadinya
tetanus disamping imunisasi terhadap tetanus baikaktif maupun
pasif.

Vaksin DTP

Toksoid difteria

Antitoksin difteria pertama kali diberikan pada anaktahun 1891 dan


diproduksi secara komersial tahun 1892. Penggunaan kuda sebagai
sumber anti toksin dimulai tahun 1894. Pada mulanya anti toksin

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 179


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

difteria ini digunakan sebagai pengobatan dan efektifitasnya sebagai


pencegahan diragukan. Banyak penelitian membuktikan bahwa
efikasi pemberian anti toksin untuk pengobatan difteria terutama
dengan mencegah terjadinya toksisitas terhadap kardiovaskular.
Pemberian antitoksin dini sangat mempengaruhi angka kematian
akibat difteria, sesuai laporan bahwa 1%-4% kematian terjadi
pada kelompok yang menerima antitoksin pada hari pertama
dibandingkan dengan 15%-20% kematian pada kelompok yang
mendapatkan antitoksin pada hari ke-7 atau lebih. Era pencegahan
difteria dimulai dengan membuat kombinasi toksin dan antitoksin
sebagai ramuan imunisasi, yang ternyata tidak efektif.

Vaksinasi DTP

Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid difteria


(alum-precipitated toxoid) yang kemudian digabung dengan toksoid
tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin DTP.

Vaksin DTP

Potensi toksoid difteria dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf)


dengan kriteria 1 Lf adalah jumlah toksoid sesuai dengan 1 unit
anti toksin difteria. Kekuatan toksoid difteria yang terdapat dalam
kombinasi vaksin DTP saat ini berkisar antara 6,7-25 Lf dalam dosis
0,5 ml.

Jadwal
Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5
dosis pada usia 2, 4, 6,15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk
sekolah. Dosis ke-4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan
setelah dosis ke-3. Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang
mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki
kontraindikasi terhadap pemberian vaksin pertusis

180 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Difteria, Pertusis,
Tetanus

Setelah mendapatkan 3 dosis toksoid difteria semua anak rata-


rata memberikan titer lebih besar dari 0.01 IU dalam 1 ml (nilai batas
protektif 0.01 IU). Dalam penelitian terhadap bayi yang mendapatkan
imunisasi DPT di Jakarta, I Made Setiawan (1992) melaporkan bahwa
(1) 71% - 94% bayi saat imunisasi pertama belum memiliki kadar
antibodi protektif terhadap difteria, (2) pasca DTP 3 kali didapatkan
68% - 81% telah memiliki kadar antibodi protektif terhadap difteria
denganrata-rata 0.0378 Ill/ml. Dalam laporan program pengembangan
imunisasi, tahun 2003 didapatkan 98,45% bayi mempunyai antibodi
0,1545 (0,1229-0,1936) setelah mendapat DTP-3. Lama kekebalan
sesudah mendapatkan imunisasi dengan toksoid difteria merupakan
masalah yang penting diperhatikan. Beberapa penelitian serologik
membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah kurun waktu
tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak.

Tosoid difteria

Kejadian ikutan pasca imunisasi toksoid difteria secara khusus sulit


dibuktikan karena selama ini pemberiannya selalu digabung bersama
toksoid tetanus dan atau tanpa vaksin pertusis. Beberapa laporan
menyebutkan bahwa reaksi lokal akibat pemberian vaksin dT (dosis
dewasa) sering ditemukan lebih banyak dari pada pemberian toksoid
tetanus saja. Namun kejadian tersebut sangat ringan dan belum pernah
dilaporkan adanya kejadian ikutan berat. Untuk menekan kejadian
ikutan akibat hipereaktifitas terhadap toksoid difteria, telah dilakukan
beberapa upaya untuk memperbaiki kualitas toksoid tersebut, yaitu
(1) meningkatkan kemurnian toksoid dengan menghilangkan protein
yang tidak perlu, (2) melarutkan toksoid dalam garam aluminium
dan (3) mengurangi jumlah toksoid per inokulasi menjadi 1-2 Lf yang
dianggap cukup efektif untuk mendapatkan imunitas.

Toksoid Pertusis

Antibodi terhadap toksin pertusis dan hemaglutinin telah dapat


ditemukan dalam serum neonatus dengan konsentrasi sama dengan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 181


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

ibunya, dan akan menghilang dalam 4 bulan. Namun demikian


antibodi ini ternyata tidak memberikan proteksi secara klinis.
Vaksin pertusis adalah vaksin yang merupakan suspensi kuman
B. pertussis mati. Pada awalnya vaksin ini sering tercemar dengan
campuran mikroflora saluran nafas lainnya. Vaksin wP (whole-cell
pertussis) awalnya dibuat di Amerika Serikat dengan standar yang
berbeda-beda pada tiap pabrik. Umumnya vaksin pertusis diberikan
dengan kombinasi bersama toksoid difteria dan tetanus (DTP).
Campuran DTP ini diadsorbsikan ke dalam garam alumunium.
Sejak 1962 dimulai usaha untuk membuat vaksin pertusis dengan
menggunakan fraksi sel (aselular)yang bila dibandingkan dengan
whole-cell ternyata memberikan reaksi lokal dan demam yang lebih
ringan, diduga akibat dikeluarkannya komponen endotoksin dan
debris. Di Jepang telah dimulai upaya untuk memurnikan vaksin
pertusis dengan hanya mengambil komponen toksin yaitu FHA,
pertactine, pertussis train dan aglutinogen untuk membuat vaksin
pertusis aselular. Vaksin ini telah dipakai sejak 1981 di Jepang
dengan hasil baik.

Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP


· Reaksi lokal kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi
injeksi terjadi pada separuh (42,9%) penerima DTP.
· Proporsi demam ringan dengan reaksi lokal sama dan
2,2% di antaranya dapat mengalami hiperpireksia.
· Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa
jam pasca suntikan (inconsolable crying).
· Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam
(0,06%) sesudah vaksinasi yang dihubungkan dengan demam
yang terjadi.
· Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya
ensefalopati akut atau reaksi anafilaksis dan terbukti
disebabkan oleh

182 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Difteria, Pertusis,
Tetanus

pemberian vaksin pertusis (Tabel 5.5).

Tabel 5.5. Insidens kejadian ikutan pasca imunisasi pada vaksin DTwP

Derajat Gejala klinis Resipien (%)

Ringan Reaksi lokal 10-50


Demam >38,5oC 10-50
Iritabel, lesu, sistemik 25-55
Berat Gejala klinis Onset
interval Per dosis Per juta
dosis
Menangis >3 jam 0-24 jam 1/5-1.000 1.000-
(inconsolable crying) 60.000
Kejang 0-2 hari 1/1750-12.500 80-570
Hypotonic hyporesponsive 0-24 jam 1/1000-33.000 30-990
Reaksi anafilaktik 1-1 1/50.000 20
Ensefalopati jam 1/50.000 20
1-2
hari

Indikasi kontra
Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontraindikasi
mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole-cell maupun
aselular, yaitu
· Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya
· Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis
sebelumnya
· Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus
(precaution). Misalnya sebelum pemberian vaksin pertusis
berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai, riwayat
hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam,
anak menangis terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang
dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP.
Riwayat kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak
berhubungan dengan pemberian vaksin sebelumnya, kejadian
ikutan pasca imunisasi, atau alergi terhadap vaksin bukanlah
suatu indikasi kontra terhadap pemberian vaksin DTaP. Walaupun
demikian, keputusan untuk pemberian vaksin pertusis harus

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 183


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

dipertimbangkan secara individual dengan memperhitungkan


keuntungan dan risiko pemberiannya.
Telah dibuktikan dalam penelitian, bahwa respons antibodi
terhadap imunisasi dasar dengan vaksin pertusis whole cell
tergantung pada kadar antibodi maternal yang didapat dari ibu.
Sebaliknya respons yang diperoleh setelah penyuntikan vaksin
aselular memberikan hasil baik dan tidak dipengaruhi oleh kadar
antibodi maternal pravaksinasi. Made Setiawan (1992) melaporkan
serokonversi antibodi protektif terhadap pertusis pada 65,8% bayi
setelah mendapat imunisasi DTP 3 kali, sedang peneliti lain di
Indonesia menemukan angka dengan kisaran 70%-80%.

Vaksin Pertusis a-seluler


Vaksin pertusis aselular adalah vaksin pertusis yang berisi
komponen spesifik toksin dari Bordettellapertusisyanq dipilih
sebagai dasar yang berguna dalam patogenesis pertusis dan
perannya dalam memicu antibodi yang berguna untuk pencegahan
terhadap pertusis secara klinis.

Latar belakang penggunaan vaksin pertusis a-selular

· Vaksin DTwP telah dipergunakan sejak tahun 1970-an sampai


saat ini walaupun mempunyai efek samping baik lokal maupun
sistemik. Adanya data kejadian ikutan pasca imunisasi gejala
susunan syaraf pusat yang serius(termasukensefalopati)yang
bersifat temporal association.
· VaksinDTaP (pertusis aselular) dapatmemberikanimunogenisitas
terhadap anti PT, anti FHA, dan anti pertactine sama baiknya
dengan DTwP dalam berbagai jadwal imunisasi. Respons
antibodi juga tampak tetap tinggi setelah pemberian vaksinasi
ulangan pada umur 15-18 bulan dan 5-6 tahun.

184 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

· Kejadian reaksi KIPI vaksin DTaP baik lokal maupun sistemik


lebih rendah daripada DTwP.
Tabel 5.6. KIPI sistemik (per 1.000 dosis) vaksinasi DTwP dan DtaP

Gejala KIPI DTaP DTwP

Pembengkakan 90 260
Nyeri lokal 46 297
Iritabel 300 499
Demam > 38.0oC 72 406
> 40.0oC 0,36 2,4
Menangis > 3 jam 0,44 4,0
Hypotonic hyporesponsive 0,07 0,67
Sianosis - 0,15
Kejang 0,07 0,22

Sumber: Greco, dkk. N Engl J Med, 1996

Tabel 5.7. KIPI lokal (per 1.000 dosis) 24 jam setelah DTwP dan DTaP

Vaksin Dosis Kejadian ikutan pasca imunisasi (%)

Nyeri Kemerahan Bengkak Demam Demam


>2 cm >2 cm >38,5OC >39oC
DTaP 1275 2,5 0,1 0 9,9 0,2
DTwP 455 19,1 1,1 1,3 42,2 1,3

Sumber: Wiersbitzsky S., dkk. Euro J Ped, 1993

· Di lain pihak, saat ini di beberapa negara yang telah


mempunyai cakupan imunisasi pertusis tinggi masih
melaporkan pasien pertusis. Kemungkinan hal tersebut
disebabkan orang dewasa yang non-imun terhadap pertusis
sebagai sumber penularan pada anak.
· Vaksin DTwP dan DTaP dapat dipergunakan secara
oergantian (interchangable) apabila keadaan mendesak
· Vaksin DTwP dan DTaP dapat pula diberikan dalam
bentuk vaksin kombinasi (Bab VIII Vaksin Kombinasi).

185 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

Toksoid Tetanus (TT)

Dosis dan kemasan

· Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar


40 IU dalam setiap dosis tunggal dan 60 IU bila bersama dengan
toksoid difteria dan vaksin pertusis.
· Berbagai kemasan seperti, preparat tunggal (TT), kombinasi
dengan toksoid difteria dan atau pertusis (dT, DT, DTwP,
DTaP) dan kombinasi dengan komponen lain seperti Hib dan
hepatitis B.
· Sebagaimana toksoid lainnya, pemberian toksoid tetanus
memerlukan pemberian berseri untuk menimbulkan dan
mempertahankan imunitas. Tidak diperlukan pengulangan
dosis bila jadwal pemberian ternyata terlambat, sebab sudah
terbukti bahwa respons imun yang diperoleh walaupun dengan
interval yang panjang adalah sama dengan interval yang pendek.
Respons imun atau efikasi vaksin ini cukup baik.
· Ibu yang mendapatkan TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan
proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir terhadap tetanus
neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup
untuk memberi proteksi terhadap bayinya.

Jadwal

· Pemberian TT yang diberikan bersama DTP diberikan


sesuai jadwal imunisasi.
· Kadar antibodi protektif setelah pemberian DTP 3 kali
mencapai 0,01 IU atau lebih, hal ini juga terbukti pada penelitian
bayi-bayi di Indonesia.
· Kejadian ikutan pasca imunisasi terutama reaksi lokal,
sangat dipengaruhi oleh dosis, pelarut, cara penyuntikan, dan
adanya antigen lain dalam kombinasi vaksin itu.

186 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

· DTaP atau DTwP tidak diberikan pada anak kurang dari usia
6 minggu, disebabkan respons terhadap pertusis dianggap
tidak optimal, sedang respons terhadap toksoid tetanus dan
difteria cukup baik tanpa memperdulikan adanya antibodi
maternal.

DT dan dT, Tdap


· Vaksin DT diberikan pada anak yang memiliki kontra indikasi
terhadap vaksin pertusis, antara lain riwayat anafilaksis atau
ensefalopati pada pemberian sebelumnya. Hati-hati bila
pada pemberian DTP sebelumnya ada riwayat: hiperpireksia,
hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus
menerus selama 3 jam atau lebih dan riwayat kejang dalam 3
hari sesudah pemberian DTP.
· Vaksin dT (adult type) mengandung toksoid difteri yang lebih
rendah (4 Lf) daripada vaksin DTP (40 Lf), tetapi toksoid
tetanusnya sama (15 Lf). Vaksin dT dianjurkan untuk anak umur
lebih dari 7 tahun, untuk memperkecil kemungkinan KIPI karena
toksoid difteri.

Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. Active and passive immunization.
Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9.
Canberra: NHMRC 2008.
2. American Academy of Pediatrics. Diphtheria. In: Pickering LK, Baker CJ, Long SS,
McMillan JA, eds. Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases.
27th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2006:277–81.
3. CDC. Summary of notifiable diseases—United States, 2004. MMWR Morbid Mortal
Wkly Rep. 2004;53:46.
4. World Health Organization. WHO vaccine-preventable diseases monitoring system:
2005 global summary. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2006.
5. Galazka A. The changing epidemiology of diphtheria in the vaccine era. J Infect Dis.
2000;181(suppl 1):S2-9.
6. WhartonM, Vitek CR. Diphtheria toxoid. In: PlotkinSA, Orenstein WA, eds. Vaccines.
4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:211–28.

187 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Alan R. Tumbelaka, Sri Rezeki S. Hadinegoro

7. CDC. General recommendations on immunizations: recommendations of the Advisory


Committee on Immunization Practices (ACIP) and the American Academy of Family
Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep. 2002;51(RR-2):1–35.
7. CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adolescents: use of tetanus
toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccines: recommendations
of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recommm
Rep. 2006;55(RR-3):1–50.
8. CDC. ACIP Votes to Recommend Use of Combined Tetanus, Diphtheria and Pertussis
(Tdap) Vaccine for Adults. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/nip/vaccine/tdap/
tdap_adult_recs.pdf.
9. Wassilak SGF, Roper MH, Murphy TV, Orenstein WA. Tetanus toxoid. In: PlotkinSA,
Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.; 2004:745-
81.
10. Pascual FB, McGinley EL, Zanardi LR, Cortese MM, Murphy TV. Tetanus surveillance
– United States, 1998-2000. MMWR Surveill Summ 2003;52(SS-3):1-8.
11. Vandelaer J, Birmingham M, Gasse F, Kurian M, Shaw C, Garnier S. Tetanus in
developing countries: an update on the Maternal and Neonatal Tetanus Elimination
Initiative. Vaccine. 2003;21:3442-5.
8. CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adolescents: use of tetanus
toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccines. Recommendations of
the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep.
2006;55(RR-3):1-34.
12. American Academy of Pediatrics. Pertussis. In: Pickering LK, editor. Red book: 2003
report of the Committee on Infectious Disease. 26thed. Elk Grove Village, IL: American
Academy of Pediatrics; 2003. p. 498-520.
13. Edwards KM, Decker MD. Pertussis Vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds.
Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:471-528.
14. CDC. Recommended antimicrobial agents for the treatment and posteexposure
prophylaxis of pertussis: 2005 CDC guidelines. MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR-
14):1-16.
17. Vademicum PT Bio Farma, 1997.

188 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab V-4
P o l i o mi e l i t i s ( + I P V + j a d w a l
OPV/IPV)
Hariyono Suyitno + Ismoedijanto

Kata polio (abu-abu) dan myelon (sumsum), berasal dari bahasa


latin yang berarti medulla spinalis. Penyakit ini disebabkan oleh
virus poliomyelitis pada medula spinalis yang secara klasik
menimbulkan kelumpuhan. Pada tahun 1789 Underwood yang
berasal dari Inggris pertama kali menulis tentang kelumpuhan
anggota badan bagian bawah (ekstremitis inferior) pada anak,
yang kemudian dikenal sebagai poliomielitis. Pada permulaan
abad ke 19 dilaporkan terjadi wabah di Eropa dan beberapa tahun
kemudian terjadi di Amerika Serikat. Pada saat itu banyak terjadi
wabah penyakit pada musim panas dan gugur. Pada tahun 1952
penyakit polio mencapai puncaknya dan dilaporkan terdapat lebih
dari 21.000 kasus polio paralitik. Angka kejadian kasus polio secara
drastis menurun setelah pemberian vaksin yang sangat efektif. Di
Amerika Serikat kasus terakhir virus polio liar ditemukan pada
tahun 1979. Di Indonesia imunisasi polio sebagai program memakai
oral polio vaccine (OPV) dilaksanakan sejak tahun 1980 dan tahun
1990 telah mencapai UCI (universal of chlid immunization).

Etiologi
Virus polio termasuk dalam kelompok (sub-group) entero virus,
famili Picornaviridae. Dikenal tiga macam serotipe virus polio yaitu
P1, P2 dan P3. Virus polio ini menjadi tidak aktif apabila terkena
panas, formaldehid, klorin dan sinar ultraviolet.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 189


Hariyono Suyitno

Epidemiologi

Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat


transmisi virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negara-
negara Barat, eliminasi polio sejak tahun 1991. Program eradikasi
polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar
di seluruh dunia, kecuali beberapa negara yang sampai saat ini
masih ada transmisi virus polio liar yaitu di India, Timur Tengah
dan Afrika. Resevoir virus polio liar hanya pada manusia, yang sering
ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa gejala. Namun tidak
ada pembawa kuman dengan status karier asimtomatis kecuali pada
orang yang menderita defisien sistem imun.
Virus polio menyebar dari orang satu ke orang lain melalui jalur
Pada beberapa kasus dapat berlangsung secara oral-oral.
oro-faecal.
Infeksi virus mencapai puncak pada musim panas, sedangkan
pada daerah tropis tidak ada bentuk musiman penyebaran infeksi.
Virus polio sangat menular, pada kontak antar rumah tangga (yang
belum diimunisasi) derajat serokonversi lebih dari 90%. Kasus
polio sangat infeksius dari 7 sampai 10 hari sebelum dan setelah
timbulnya gejala, tetapi virus polio dapat ditemukan dalam tinja
dari 3 sampai 6 minggu.

Eradikasi Polio (ERAPO)


Keinginan melaksanakan eradikasi polio secara global dimulai saat
pertemuan anggota WHO pada tahun 1988 yang mencanangkan bebas
penyakit polio tahun 2000. Dalam program ERAPO ini, pemerintah
Indonesia membuat kebijaksanaan dengan mengambil strategi,
· meningkatkan cakupan imunisasi OPV secara rutin
· melaksanakan pekan imunisasi nasional (PIN)
· melakukan mopping up di daerah-daerah yang masih dijumpai
transmisi virus polio liar (wild virus) dan
· melaksanakan surveilans AFP (acute flaccid paralysis=lumpuh
layuh) yang mantap.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 190


Hariyono Suyitno

Data dari Depkes secara nasional memang menunjukkan bahwa


cakupan OPV dapat dipertahankan pada tingkat 80%, namun
di daerah-daerah konflik dan terpencil cakupan imunisasinya
rendah.
· Pekan Imunisasi Nasional (PIN) telah dilaksanakan berturut-
turut, yaitu tahun 1995, 1996, 1997, 2002 yang dengan berhasil
mencakup 100% target sekitar 20 juta balita pada tiap NID.
Pada hari PIN tersebut telah diimunisasi sebanyak 22 juta
anak balita di seluruh Indonesia.
· Setelah PIN, kasus polio menurun drastis; laporan terakhir
menunjukkan bahwa dari pemeriksaan laboratorium hanya
ditemukan 7 kasus dengan virus polio liar ( tipe 1, 2, dan 3)
pada tahun 1995, dan sejak itu tak pernah lagi ditemukan
virus polio liar.
· Di daerah-daerah yang diduga terjadi transmisi polio liar telah
dilakukan mopping up pada tahun 1998 meliputi 52 kecamatan
dan pada tahun 1997 mencakup 5 kecamatan. Disamping itu
masih dilakukan PIN terbatas. Tahun 2001 di 5 provinsi dan
10 kecamatan yang surveilans AFP-nya rendah.
· Surveilans AFP dimulai tahun 1995 yang berusaha menemukan
semua kasus AFP pada anak di bawah 15 tahun untuk
diidentifikasi dan dilaporkan, yang kemudian tinjanya diambil
dalam waktu 24 jam untuk diperiksa. Kualitas surveilans dari
tahun ke tahun terus meningkat dengan AFP rate lebih dari 1,
namun tahun 2000 turun menjadi 0,90 dan pada tahun 2001
turun lagi menjadi 0,83. Hal ini sebagai dampak situasi politik
dan sosial ekonomi saat itu yang tidak stabil.
· Pemantauan tinja menunjukkan bahwa sejak tahun 1995
sampai saat ini tidak ditemukan lagi virus polio liar. Maka
secara virologis Indonesia telah bebas polio, namun hal ini
belum cukup dan masih harus melakukan surveilans AFP
yang lebih baik. Hal ini berhasil ditingkatkan, mulai tahun
2002 dan kemudian tahun 2003 AFP rate meningkat kembali
lebih dari 1.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 191


Hariyono Suyitno

· Pada bulan Maret – 2005 terjadi kejadian luar biasa (KLB),


yaitu kasus lumpuh layuh pada anak laki-laki umur 20
bulan dari desa Giri Jaya (kecamatan Cidahu, Kabupaten
Sukabumi) yang belum pernah mendapat imunisasi polio.
Pada pemeriksaan tinja oleh laboratorium Global Specific
Laboratory (GSL) di Mumbai India, menemukan virus polio
liar (VPL) P1 dan merupakan strain (galur) yang sama
dengan strain (galur) virus Arab Saudi. Maka disimpulkan
bahwa VPL (virus polio liar) tersebut berasal dari luar
(impor).
· Dengan adanya KLB tersebut terjadi clustering kasus AFP
karena transmisi setempat; antara bulan Maret – April 2005, di
desa-desa sekitarnya dijumpai 13 anak dengan onset lumpuh
layuh hampir bersamaan
· Tahun 2005 merupakan tahun munculnya kembali kasus polio
(outbreak), sejak Maret – Desember 2005 di seluruh Indonesia
tercatat 303 kasus dengan VPL positif, yang terbanyak propinsi
Banten dan Jawa Barat. Tindakan untuk mengatasi ini ialah
melakukan outbreak respons immunization (ORI) di lokasi KLB,
imunisasi mopping up di beberapa desa/kecamatan berisiko,
dan melaksanakan PIN sebanyak 5 putaran (bulan Agustus,
September, November 2005, dan bulan Februari, April 2006)
serta melakukan Sub-Pin pada bulan Januari 2006 di seluruh
Indonesia.
· Dengan tindakan penanggulangan tersebut diatas telah
berhasil menekan kasus polio, yang sepanjang tahun 2006
ini hanya ditemukan 2 kasus dengan VPL positif, yaitu di
Aceh (NAD) dan di Jawa Timur masing-masing satu kasus.
Disamping kasus AFP yang disebabkan oleh VPL dilaporkan
pula lumpuh layuh akut yang disebabkan oleh VDPV (virus
derived polio vaccine) di Madura.

192 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

Patogenesis
Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi pertama
kali terjadi pada tempat implantasi dalam farings dan traktus
gastrointestinal. Virus tersebut umumnya ditemukan di daerah
tenggorok dan tinja sebelum timbulnya gejala. Satu minggu
setelah timbulnya penyakit, virus terdapat dalam jumlah kecil di
tenggorok, tetapi virus menerus dikeluarkan bersama tinja dalam
beberapa minggu. Virus menembus jaringan limfoid setempat,
masuk ke dalam pembuluh darah kemudian masuk sistem saraf
pusat. Replikasi virus polio dalam neuron motor kornu anterior
medula spinalis dan batang otak mengakibatkan kerusakan sel dan
menyebabkan manifestasi poliomielitis yang spesifik.

Gambaran klinis
Masa inkubasi poliomielitis umumnya berlangsung 6-20 hari
dengan kisaran 3-35 hari. Respons terhadap infeksi virus polio
sangat bervariasi dan tingkatannya tergantung pada bentuk
manifestasi klinisnya. Sekitar 95% dari semua infeksi polio
termasuk sub-klinis tanpa gejala atau asimtomatis. Menurut
estimasi rasio penyakit yang tanpa gejala terhadap penyakit
yang paralitik bervariasi dari 50: 1 sampai 1000: 1 (rata-rata 200
: 1). Pasien yang terkena infeksi tanpa gejala mengeluarkan virus
bersama tinja dan dapat menularkan virus ke orang lain. Sekitar
4% - 8% dari infeksi polio terdiri atas penyakit ringan yang non
spesifik tanpa bukti klinis atau laboratorium dari invasi dalam
sistem saraf pusat. Sindrom ini dikenal sebagai poliomielitis abortif
dengan ciri khas penyembuhan sempurna dan berlangsung kurang
dari seminggu.

Meningitis aseptis non paralitik

Kejadian ini terjadi pada 1%–2 % dari infeksi polio, yang didahului
oleh gejala prodomal penyakit ringan yang berlangsung beberapa

193 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

hari. Anak iritabel, peka saraf meningkat; ada gejala kaku kuduk,
kaku punggung dan kaki yang berlangsung antara 2-10 hari yang
akan sembuh sempurna.

Paralisis flaksid atau lumpuh layuh

Lumpuh layuh terjadi pada kurang dari 2% semua infeksi polio.


Gejala kelayuhan umumnya mulai 1-10 hari setelah gejala prodromal
dan berlangsung 2-3 hari. Pada umumnya tidak terjadi paralisis
berikutnya setelah suhu kembali normal. Pada fase prodromal
dapat terjadi bifasik terutama pada anak-anak dengan permulaan
gejala ringan dipisahkan oleh periode 1-7 hari dari gejala utama
(major symptoms). Gejala prodromal termasuk hilangnya refleks
superfisial, permulaan meningkatnya refleks tendon dalam (deep
tendon), rasa nyeri otot dan spasme pada anggota tubuh dan
punggung. Penyakit berlanjut dengan paralisis flaksid disertai
hilangnya refleks tendon dalam, keadaan ini menetap sampai
beberapa minggu dan umumnya asimetris. Setelah fase ini
lewat, kekuatan kembali, tidak ada gejala kehilangan sensoris
atau perubahan kesadaran. Banyak anak dengan poliomyelitis
paralitik dapat sembuh dan sebagian besar fungsi otak kembali
pada tingkat tertentu. Pasien dengan kelayuhan 12 bulan setelah
timbulnya penyakit pertama kali akan menderita dengan gejala
sisa yang permanen.

Poliomielitis paralitik dibagi menjadi tiga kelompok,


1. Polio spinal, yang paling sering terjadi (79%) dari kasus paralitik
yang tercatat dari tahun 1969–1979 di Amerika Serikat. Terjadi
paralisis asimetris yang sering pada tungkai bawah.
2. Polio bulbar, tercatat sekitar 2% dari semua kasus paralitik
mengakibatkan kelumpuhan otot-otot yang dilayani oleh saraf
kranial
3. Polio bulbospinal, tercatat 19% dari kasus paralitik dan
merupakan kombinasi antara paralisis bulbar dan spinal.

194 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

Diagnosis laboratorium
· Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai
terkena poliomyelitis. Isolasi virus dari cairan serebrospinal
sangat diagnostik,tetapi hal itu jarang dikerjakan.
· Bila virus polio dapat disolasi dari seorang dengan paralisis flaksid
akut harus dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan cara
oligonucleotide mapping (finger printing) atau genomic sequencing.
Untuk menentukan apakah virus tersebut termasuk virus liar
atau virus vaksin.
· Dengan cara serologis yaitu mengukur zat anti yang
menetralisasi (neutralizing antibody) yang muncul awal dan
mungkin ditemukan meningkat tinggi pada saat penderita
masuk rumah sakit oleh karena itu dapat terjadi kenaikan 4
kali yang tidak diketahui.
· Pemeriksaan cairan serebrospinal pada infeksi virus polio,
umumnya terjadi kenaikan jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm 3,
yang sebagian besar limfosit) dan terjadi kenaikan kadar protein
ringan dari 40 sampai 50 mg/100ml.

Vaksi n

Vaksin Virus Polio Oral (oral polio vaccine = OPV)


· Vaksin virus polio hidup oral yang dibuat oleh PT.Biofarma
Bandung, berisi virus polio tipe 1,2, dan 3 adalah suku Sabin
yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan(attenuated). Vaksin
ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan
dengan sukrosa. Tiap dosis (2 tetes = 0,1 ml) mengandung virus
tipe 1: 106,0 CCID50, tipe 2: 105,0 CCID50 dan tipe 3 : 105,5
CCID50 dan eritromisin tidak lebih dari 2 mcg, serta kanamisin
tidak lebih dari 10 mcg.
· Vaksin ini digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan dosis 2
tetes oral. Virus vaksin ini kemudian menempatkan diri di usus
dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 195


Hariyono Suyitno

maupun pada epitelium usus, yang menghasilkan pertahanan


lokal terhadap virus polio liar yang datang masuk kemudian.
Dengan cara ini, maka frekuensi eksresi polio virus liar dalam
masyarakat dapat dikurangi.
· Vaksin akan menghambat infeksi virus polio liar yang masuk
bersamaan, maka sangat berguna untuk mengendalikan epidemi.
Jenis vaksin virus polio ini dapat bertahan dalam tinja sampai 6
minggu setelah pemberian OPV.
· Penerima vaksin dapat terlindungi setelah dosis tunggal pertama
namun tiga dosis berikutnya akan memberikan imunitas jangka
lama terhadap 3 tipe virus polio.
· Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu 2-8oC.
· Vaksin sangat stabil namun sekali dibuka, vaksin akan kehilangan
potensi disebabkan oleh perubahan pH setelah terpapar udara.
Kebijakan Departeman Kesehatan mengajurkan bahwa vaksin
polio yang telah terbuka botolnya pada akhir sesi imunisasi
(pasa imunisasi masal) harus dibuang. Tetapi saat ini kebijakan
WHO membolehkan botol-botol yang berisi vaksin dosis ganda
(multidose) digunakan pada sesi-sesi imunisasi, bila tiga syarat di
bawah ini terpenuhi:
 tanggal kadaluwarsa tidak terlampaui
 vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin yang benar (2-
8oC)
 botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah
dibuang oleh petugas Puskesmas.
· Vaksin polio oral (OPV) dapat disimpan beku pada temperatur
<-20oC. Vaksin yang beku dengan cepat dicairkan dengan cara
ditempatkan antara dua telapak tangan dan digulir-gulirkan,
dijaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai
oranye muda (sebagai indikator pH).
· Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang
telah terpakai dapat dibekukan lagi, kemudian dipakai lagi
sampai warna berubah dengan catatan dan tanggal kadaluwarsa
harus selalu diperhatikan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 196


Poliomielitis

Vaksin polio inactivated (inactived poliomyelitis vaccine = IPV)


· Vaksin polio inactivated berisi tipe 1, 2, 3 dibiakkan pada sel-sel
vero ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan formaldehid. Pada
vaksin tersebut dijumpai dalam jumlah kecil selain formaldehid
juga ada neomisin, streptomisin dan polimiksin B.
· Vaksin polio inactivated harus disimpan pada suhu 2-80C dan
tidak boleh dibekukan.
· Pemberian dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan
dalam tiga kali berturut-turut dengan jarak 2 bulan antara
masing-masing dosis akan memberikan imunitas jangka panjang
(mukosal maupun humoral) terhadap tiga macam tipe virus
polio.
· Imunitas mukosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah
dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh OPV.

Rekomendasi

Imunisasi primer bayi dan anak

· Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis
awal, sesuai dengan PPI dan ERAPO tahun 2000. Kemudian
diteruskan dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3 bulan yang
diberikan tiga dosis terpisah berturut-turut dengan interval
waktu 6-8 minggu. Satu dosis sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan
per oral pada umur 2-3 bulan dapat diberikan bersama-sama
waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan Hib. Bila OPV yang
diberikan dimuntahkan dalam waktu 10 menit, maka dosis
tersebut perlu diulang.
· Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons antibodi
terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini.
Anak-anak dengan imunosupresi dan kontak mereka yang dekat
harus diimunisasi dengan IPV.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 197


Hariyono Suyitno

• Anak yang telah mendapat imunisasi OPV dapat memberikan


ekskresi virus vaksin selama 6 minggu dan akan melakukan
infeksi, pada kontak yang belum diimunisasi. Untuk mereka
yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru saja diberi
OPV supaya menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah
mengganti popok bayi.

- Rekomendasi OPV + IPV : dalam masa transisi ERAPO .

Vaksinasi terhadap orang tua yang anaknya divaksinasi


Anggota keluarga yang belum pernah divaksinasi atau belum
lengkap vaksinasinya dan mendapat kontak anak-anak yang
mendapat vaksinasi OPV, harus ditawarkan vaksinasi dasar OPV
pada waktu yang bersamaan dengan anak tersebut. Dalam hal ini
tidak boleh diberikan IPV, mengingat risiko infeksi yang didapat
dari anak dapat terjadi sebelum antibodi terbentuk sebagai respons
terhadap IPV. Kepada orang dewasa yang telah mendapat imunisasi
sebelumnya, tidak diperlukan vaksinasi penguat (booster). Interval
minimal antara dua dosis vaksinasi dapat diperpanjang dan dapat
menyelesaikan vaksinasinya tanpa mengulang lagi.

Imunisasi penguat (booster)

Dosis penguat OPV harus diberikan sebelum masuk sekolah, yaitu


bersamaan pada saat dosis DPT diberikan sebagai penguat; dosis
OPV berikutnya harus diberikan pada umur 15-19 tahun atau
sebelum meninggalkan sekolah. Sejak tahun 2007 semua calon
jemaah haji dan umroh di bawah umur 15 tahun, harus mendapat
2 tetes OPV

Imunisasi polio untuk orang dewasa


Untuk orang dewasa, sebagai imunisasi primer (dasar) dianjurkan
diberi kan 3 dosis berturut-turut 2 tetes OPV dengan jarak 4-8
minggu. Semua orang dewasa seharusnya divaksinasi terhadap
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 198
Poliomielitis

poliomyelitis dan tidak boleh ada yang tertinggal. Dosis penguat

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 199


Hariyono Suyitno

untuk orang dewasa tidak diperlukan, kecuali mereka yang dalam


risiko khusus, misalnya
· Bepergian ke daerah-daerah yang poliomielitis masih
endemis atau saat terjadi epidemi
· Petugas-petugas kesehatan yang kemungkinan mendapat
kontak dengan kasus poliomyelitis.
Bagi mereka yang secara terus-menerus mengalami risiko infeksi,
dianjurkan diberikan dosis tunggal sebagai penguat 2 tetes setiap
10 tahun.

Vaksinasi untuk anak imunokompromais

Untuk mereka yang vaksin virus hidup merupakan indikasi kontra,


misalnya mereka dengan imunosupresi dari sesuatu penyakit atau
kemoterapi, maka IPV dapat digunakan sebagai vaksinasi terhadap
poliomyelitis. Hal ini juga dipakai untuk saudara-saudara anak
imunokompromais dan anggota keluarga yang mendapat kontak.
Sebagai vaksinasi dasar, diberikan suntikan IPV sebanyak 3 dosis
masing-masing 0.5 ml, secara subkutan dalam atau intramuskular
dengan interval 2 bulan. Dosis penguat harus diberikan yang
jadwalnya sama dengan pemberian OPV. Anak dengan HIV-positif
dan anggota keluarga serumah yang mendapat kontak harus
menerima IPV.

Kejadian ikutan pasca imunisasi


Kasus poliomielitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan
terjadi pada resipien (VDPV=vaccine derived polio virus) atau kontak
(VAPP=vaccine associated polio paralytic).
· Diperkirakan terdapat 1 kasus poliomielitis paralitik yang
berkaitan dengan vaksin terjadi setiap 2.5 juta dosis OPV
yang diberikan.
· Risiko terjadi paling sering pada pemberian dosis pertama
dibanding dengan dosis-dosis berikutnya. Risiko yang relatif

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 200


Hariyono Suyitno

kecil pada poliomielitis yang ditimbulkan pemberian OPV ini


tidak boleh diremehkan, namun tidak cukup menjadi alasan
untuk mengadakan perubahan terhadap kebijakan imunisasi,
karena vaksinasi tersebut terbukti sangat berguna. Harus
ditekankan bahwa kebersihan terhadap kontak penerima
vaksin yang baru adalah sangat penting.
· Setelah vaksinasi sebagian kecil resipien dapat mengalami
gejala pusing, diare ringan, nyeri otot. Seperti kejadian ikutan
pada vaksinasi yang lain, semua gejala yang timbul setelah
vaksinasi harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan setempat.

Indikasi kontra
Indikasi kontra pemberian OPV adalah sebagai berikut,
· Penyakit akut atau demam (suhu >38.5oC), vaksinasi harus
ditunda,
· Muntah atau diare, vaksinasi ditunda,
· Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif
yang diberikan oral maupun suntikan, juga yang mendapat
pengobatan radiasi umum ( termasuk kontak dengan
pasien),
· Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan
dengan sistem retikuloendotelial (limfoma, leukemia, dan
penyakit Hodgkin) dan yang mekanisme imunologisnya
terganggu, misalnya pada hipogamaglobulinemia,
· Infeksi HIV atau anggota keluarga sebagai kontak,
· walaupun kejadian ikutan pada fetus belum pernah
dilaporkan, OPV jangan diberikan kepada orang hamil pada 4
bulan pertama kehamilan kecuali terdapat alasan mendesak,
misalnya bepergian ke daerah endemis poliomyelitis,
· Vaksin polio oral dapat diberikan bersama-sama dengan
vaksin inactivated dan virus hidup lainnya (sesuai dengan
indikasi) tetapi jangan bersama vaksin oral tifoid,
· Bila BCG diberikan pada bayi tidak perlu memperlambat

201 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hariyono Suyitno

pemberian OPV, karena OPV memacu imunitas lokal dan


pembentukan antibodi dengan cara replikasi dalam usus,
· OPV dan IPVmengandung sejumlah kecil antibiotik (neomisin,
polimiksin, streptomisin) namun hal ini tidak merupakan
indikasi kontra, kecuali pada anak yang mempunyai bakat
hipersensitif yang berlebihan,
· Anggota keluarga kontak dengan anak yang menderita
imunosupresi jangan diberikan IPV, jangan OPV.

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Summaries of infectious diseases. Polio infections.


Dalam: Pickering LK., penyunting. 2000 Red Book: Report of the Committee On
Infectious Diseases. Edisi ke-25 Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics,
2000.h.465-70.
1. Dept. Of Health, Republic of Indonesia, Subdirectorate of Epidemiology: AFP
Surveilance data Bulletin. 2006-2007.
2. Dep Kes Republik Indonesia: Achmad U. F. Dirjen PPM dan PL: Laporan KLB Polio
Sukabumi, 2006.
3. Ismoediyanto M, Soebagyo, Endarwati L, Ratgono A. An outbreak of acute paralysis
caused by VDPV in Madura, Indonesia. Third Asian Congress of Pediatric Infectious
Diseases, March, 2006
4. CDC. Poliomyelitis. In: Atkinson W, Hamborsky J, McIntyre L, Wolfe S, eds.
Epidemiology and prevention of vaccine-preventable diseases. 9th ed. Washington,
DC: Public Health Foundation; 2006. p. 97-110.
5. Alexander LN, Seward JF, Santibanez TA, et al. Vaccine policy changes and
epidemiology of polio in the United States. JAMA. 2004;292:1696-701.
6. CDC. Imported vaccine-associated paralytic poliomyelitis — United States, 2005.
MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55;97-9.
7. CDC. Poliovirus infections in four unvaccinated children — Minnesota, August–
October, 2005. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2005;54;1053-5.
8. Kew OM, Sutter RW, de Gourville EM, Dowdle WR, Pallansch MA. Vaccine-derived
polioviruses and the endgame strategy for global polio eradication. Annu Rev
Microbiol. 2005:59;587-635.
9. CDC. Update on vaccine-derived polioviruses. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep.
2006;55:1093-7.
11. CDC. Resurgence of wild poliovirus type 1 transmission and consequences of
importations —21 countries, 2002–2005. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:145-
50.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 202


Hariyono Suyitno

12. CDC. Progress toward interruption of wild poliovirus transmission— Worldwide,


January 2005–March 2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:458-62.
13. World Health Organization. Conclusions and recommendations of the Advisory
Committee onPoliomyelitis Eradication, Geneva 11–12 October 2005. Wkly Epidemiol
Rec. 2005;80;410-6.

203 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab V-5
Campak
Soegeng Soegijanto + Harsono Salimo

Penyakit campak adalah penyakit akut yang disebabkan oleh


virus campak yang sangat menular pada anak-anak, ditandai
dengan panas, batuk, pilek, konjungtivitis dan ditemukan spesifik
enantem (Koplik’s spot), diikuti dengan erupsi makulopapular yang
menyeluruh. Bertahun-tahun kejadian penyakit campak terjadi pada
anak-anak balita meminta banyak korban tetapi masyarakat belum
menyadari bahayanya; bahkan ada mitos jangan memberikan obat
apa saja pada penderita sebelum bercak-bercak merah pada kulit
keluar.
Bahaya penyulit penyakit campak di kemudian hari adalah (1)
kurang gizi sebagai akibat diare berulang dan berkepanjangan pasca
campak; (2) Sindrom subakut panensifilitis (SSPE) pada anak> 10
tahun; (3) Munculnya gejala penyakit tuberkulosis paru yang lebih
parah pasca mengidap penyakit campak yang berat yang disertai
pneumonia.

Etiologi
Penyakit campak disebabkan oleh karena virus campak. Virus
campak termasuk didalam famili paramyxovirus. Virus campak
sangat sensitif terhadap panas, sangat mudah rusak pada suhu
370C. Toleransi terhadap perubahan pH baik sekali. Bersifat sensitif
terhadap eter, cahaya, dan trysine. Virus mempunyai jangka waktu
hidup yang pendek (short survival time) yaitu kurang dari 2 jam.
Apabila disimpan pada laboratorium, suhu penyimpanan yang baik
adalah pada suhu -70oC.

204 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soegeng Soegijanto

Epidemiologi
Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, namun terjadinya
epidemi cenderung tidak beraturan. Pada umumnya epidemi
terjadi pada permulaan musim hujan, mungkin disebabkan karena
meningkatnya kelangsungan hidup virus pada keadaan kelembaban
yang relatif rendah. Epidemi terjadi tiap 2–4 tahun sekali, yaitu
setelah adanya kelompok baru yang rentan terpajan dengan virus
campak. Penyakit campak jarang bersifat subklinis. Penyakit campak
ditularkan secara langsung dari droplet infeksi atau, agak jarang
dengan penularan lewat udara (airborne spread).
Pada awal tahun 1980, pada waktu angka cakupan imunisasi
campak global hanya 20%, didapatkan lebih dari 90 juta kasus. Pada
pertengahan tahun 1990, dengan angka cakupan 80%, angka tersebut
turun tajam sampai 20 juta kasus. Jadi, bahkan dengan angka cakupan
80%, masih sulit untuk mencapai target eradikasi global.
World Health Organization (WHO) dengan programnya The
Expanded Programme on Immunization telah mencanangkan target
global untuk mereduksi insidens campak sampai 90,5% dan
mortalitas sampai 95,5% daripada tingkat pre-EPI pada tahun 1995.
Beberapa negara berhasil hampir mendekati fase eliminasi. Beberapa
macam jadwal imunisasi dan strategi telah digunakan, tetapi
ada beberapa negara yang tidak berhasil. Kegagalan ini biasanya
disebabkan oleh kegagalan dalam meng-implementasikan rencana
strategi secara adekuat. Prioritas utama untuk penanggulangan
penyakit campak adalah melaksanakan program imunisasi lebih
efektif. Eradikasi campak, didefinisikan sebagai pemutusan rantai
penularan secara global sehingga imunisasi dapat dihentikan, secara
teori adalah mungkin oleh karena tidak adanya binatang reservoir
dan pemberian imunisasi sangat efektif.
Strategi untuk eliminasi penyakit campak adalah (1) melakukan
imunisasi masal pada anak umur 9 bulan sampai 12 tahun, (2)
meningkatkan cakupan imunisasi rutin pada bayi umur 9 bulan,
(3) melakukan surveilens secara intensif dan (4) follow-up imunisasi

205 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soegeng Soegijanto

massal. Di klinik, WHO juga telah mengembangkan standar program


penatalaksanaan kasus, tetapi masih ada beberapa kesukaran,
misalkan indikasi pemberian antibiotik, pemberian imunoglobulin
intravena dan risiko tuberkulosa sebagai komplikasi jangka
panjang.

Gejala Klinis
Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari kelima
atau keenam pada puncak timbulnya ruam. Kadang-kadang kurva
suhu menunjukkan gambaran bifasik, ruam awal pada 24 sampai 48
jam pertama diikuti dengan turunnya suhu tubuh sampai normal
selama periode satu hari dan kemudian diikuti dengan kenaikan
suhu tubuh yang cepat mencapai 400C pada waktu ruam sudah
timbul di seluruh tubuh. Pada kasus yang tanpa komplikasi, suhu
tubuh mengalami lisis dan kemudian turun mencapai suhu tubuh
yang normal.
Gejala awal lainnya yang sering ditemukan adalah batuk, pilek,
mata merah selanjutnya di cari gejala Koplik’s spot. Dua hari sebelum
ruam timbul, gejala Koplik’s spot yang merupakan tanda pathognomonis
dari penyakit campak, dapat dideteksi. Lesi ini telah didiskripsi oleh
Koplik pada tahun 1896 sebagai suatu bintik berbentuk tidak teratur
dan kecil berwarna merah terang, pada pertengahannya didapatkan
noda berwarna putih keabuan. Mula-mula didapatkan hanya dua
atau tiga sampai enam bintik. Kombinasi dari noda putih keabuan
dan warna merah muda disekarnya merupakan tanda patognomonik
absolut dari penyakit campak. Kadang-kadang noda putih keabuan
sangat kecil dan sulit terlihat dan hanya dengan sinar yang langsung
dan terang dapat terlihat. Timbulnya Koplik’s spot hanya berlangsung
sebentar, kurang lebih 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan biasanya
luput pada waktu dilakukan pemeriksaan klinis.
Ruam timbul pertama kali pada hari ketiga sampai keempat dari
timbulnya demam. Ruam dimulai sebagai erupsi makulopapula
eritematosa, dan mulai timbul pada bagian samping atas leher, daerah

206 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Campak

belakang telinga, perbatasan rambut di kepala dan meluas ke dahi.


Kemudian menyebar ke bawah ke seluruh muka dan leher dalam
waktu 24 jam. Seterusnya menyebar ke ekstremitas atas, dada, daerah
perut dan punggung, mencapai kaki pada hari ketiga. Bagian yang
pertama kena mengandung lebih banyak lesi daripada yang terkena
kemudian. Setelah tiga atau empat hari, lesi tersebut berubah menjadi
berwarna kecoklatan. Hal ini kemungkinan sebagai akibat dari
perdarahan kapiler, dan tidak memucat dengan penekanan. Dengan
menghilangnya ruam, timbul perubahan warna dari ruam, yaitu
menjadi berwarna kehitaman atau lebih gelap. Dan kemudian disusul
dengan timbulnya deskuamasi berupa sisik berwarna keputihan.

Imunisasi campak
Pada tahun 1963, telah dibuat dua jenis vaksin campak
a. Vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan
dilemahkan (tipe Edmonston B)
b. Vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus
campak yang berada dalam larutan formalin yang dicampur
dengan garam aluminium)
Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang
dilemahkan adalah 1000 TCID50 atau sebanyak 0,5 ml. Untuk
vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID50 saja mungkin sudah
dapat memberikan hasil yang baik. Pemberian yang dianjurkan
secara subkutan, walaupun demikian dapat diberikan secara
intramuskular.
Pada saat ini di negara yang sedang berkembang, angka kejadian
campak masih tinggi dan seringkali dijumpai penyulit, maka WHO
menganjurkan pemberian imunisasi campak pada bayi berumur 9
bulan. Untuk negara maju imunisasi campak (MMR) dianjurkan pada
anak berumur 12-15 bulan dan kemudian imunisasi kedua (booster)
juga dengan MMR dilakukan secara rutin pada umur 4-6 tahun, tetapi
dapat juga diberikan setiap waktu semasa periode anak dengan
tenggang waktu paling sedikit 4 minggu dari imunisasi pertama.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 207


Soegeng Soegijanto

Imunisasi campak tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan


imunodefisiensi primer, pasien TB yang tidak diobati, pasien kanker
atau transplantasi organ, mereka yang mendapat pengobatan
imunosupresif jangka panjang atau anak immunocompromised yang
terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi HIV tanpa immunosupresi
berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap campak, bisa mendapat
imunisasi campak.
Kesulitan untuk mencapai dan mempertahankan angka cakupan
yang tinggi bersama-sama dengan keinginan untuk menunda
pemberian imunisasi sampai antibodi maternal hilang merupakan
suatu hal yang berat dalam pengendalian penyakit campak. Pada
anak-anak di negara berkembang, antibodi maternal akan hilang
pada usia 9 bulan, dan pada anak-anak di negara maju setelah 15
bulan.

Dosis dan cara pemberian

· Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak


yang dilemahkan adalah 1000 TCID50 atau sebanyak 0,5
ml.
· Untuk vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID50
mungkin sudah dapat memberikan hasil yang baik.
· Pemberian diberikan pada umur 9 bulan, secara
subkutan
walaupun demikian dapat diberikan secara intramuskular.
· Daya proteksi vaksin campak diukur dengan berbagai
macam cara. Salah satu indikator pengaruh vaksin terhadap
proteksi adalah penurunan angka kejadian kasus campak
sesudah pelaksanaan program imunisasi.
· Imunisasi campak diberikan lagi pada saat masuk sekolah
SD (program BIAS)

Reaksi KIPI
· Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi
pada imunisasi ulang pada seseorang yang telah memiliki
imunitas sebagian akibat imunisasi dengan vaksin campak
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 208
Campak

dari virus

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 209


Soegeng Soegijanto

yang dimatikan. Kejadian KIPI imunisasi campak telah menurun


dengan digunakannya vaksin campak yang dilemahkan.
· Gejala KIPI berupa demam yang lebih dari 39,50C yang terjadi
pada 5%-15% kasus, demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6
sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari.
· Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun
demikian peningkatan suhu tubuh tersebut dapat merangsang
terjadinya kejang demam.
· Ruam dapat dijumpai pada 5% resipen, timbul pada hari ke 7-10
sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar
dibedakan dengan akibat imunisasi yang terjadi jika seseorang
telah memperoleh imunisasi pada saat masa inkubasi penyakit
alami.
· Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf
pusat seperti ensefalitis dan ensefalopati pasca imunisasi,
diperkirakan risiko terjadinya kedua efek samping tersebut
30 hari sesudah imunisasi sebanyak 1 diantara 1 milyar dosis
vaksin.

Daftar Pustaka

1. Abbas AK and LichtmanAH. 2005. Antibodies and antigen. in Cellular and Molecular
Immunology fifth ed. Elsevier Saunders, International Edition page 43-65.
2. Center for Disease Control and Prevention (CDC) 2006. National Immunization
Program .The Pink Book. 9 edition. Global Laboratory Networks.
3. Duke T, Mgone CS. 2003. Measles : not just another viral exanthem. Lancet 361 (9359)
: 763-73.
4. Featherstone D, Brown D, Sanders R. 2003. Development of the global measles
laboratory network. J Infect Dis 187(Suppl):264-269.
5. Maldonado Y, 2003. Measles. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. TextBook
of Pediatrics. 17 ed. Philadelphia. WB Saunderss Company pp. 1026-1031.
6. MMWR 2004. Epidemiology of Measles, United States 2001-2003. Morb Mortal Wkly
Rep. August 13;53(31):713-716.
7. Otten MW Jr, Okwo-Bele JM, Kezaala R, Biellik R, Eggers R, Nsimirimana D. 2003.
Impact of alternative approaches to accelerated measles control : experience in the
African region, 1996-2002. J Infect Dis 187 Suppl 1:S36-43.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 210


Campak

8. Strebel P, Cochi S, Grabowsky M, Bious J, Hersh BS, Okwo-BeleJM, Hoekstra E, Wright P,


Katz S. 2003. The unfinished measles immunization agenda. J Infect Dis. 187 Suppl 1:
S1-7.
9. World Health Assembly 2003. Reducing global measles mortality. Fifty-sixth World
Health Assembly. 28 May 2003.
10. World Health Organization 2005a. Global measles and rubella laboratory network
– update. Wkly Epidemiol Rec 80: 384-388.
11. American Academy of Pediatrics. Measles. In: PickeringLK, ed. Red book: 2006 report
of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL: American
Academy of Pediatrics; 2006. p. 441-52.
12. Strebel PM, Papania MJ, Halsey NA. Measles vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA,
eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders; 2003:389-440.
13. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule—United States,
2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;54:Q1-Q4.
14. AtkinsonWL, PickeringLK, Schwartz B. General recommendations on immunization.
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP)
and the American Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep.
2002;51(RR02):1-36.

211 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VI
Vaksin yang Dianjurkan
(non PPI)
1. Campak, gondong, rubella (Measles, Mumps, Rubella)
2. Haemophillus influenzae tipe b (Hib)
3. Demam tifoid
4. Varisela
5. Hepatitis A
6. Rabies dan vaksin anti rabies
7. Influenza
8. Pneumokokus
9. Rotavirus
10. Kolera dan ETEC (enterotoxigenic Escherichia coli)
11. Yellow fever
12. Japanese ensefalitis (JE)
13. Meningokokus
14. Human Papilloma Virus (HPV)

Pen gantar

Vaksin untuk tujuan khusus adalah vaksin-vaksin yang tidak


termasuk vaksin PPI, namun penting diberikan pada bayi/anak
di Indonesia mengingat burden of diseases dari masing-masing
penyakit tersebut. Untuk vaksin-vaksin tersebut, perlu diketahui
mengenai indikasi pemberiannya. Pertimbangan umum dalam
memberikan vaksin-vaksin tersebut antara lain adalah insidens
penyakit, kelompok susceptible, mortalitas, komplikasi, dan sekuele
yang mungkin diakibatkan oleh penyakit tersebut; disamping
imunogenisitas dan keamanan vaksin, serta harga vaksin. Dalam
Edisi ketiga, ditambahkan penjelasan mengenai Rotavirus dan
Human Papilloma Virus (HPV) serta vaksinnya.

212 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VI-1
Campak, Gondongan & Rubela
(Measles, Mumps, Rubella = MMR)
Syahril Pasaribu

Cam pak (measles, morbilli, rubeola) - lihat Bab V-5

Gondongan (mumps, parotitis)

Gondongan adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh


paramyxovirus, dengan predileksi pada kelenjar dan jaringan
syaraf. Pada gondongan, paling sering terjadi pembengkakan pada
kelenjar ludah, terutama kelenjar parotis. Penyebaran penyakit
ini adalah melalui droplet dan terutama terjadi pada anak dengan
insidens puncak pada usia 5-9 tahun. Masa inkubasi 12-25 hari,
gejala prodromal tidak spesifik ditandai dengan mialgia, anoreksia,
malaise, sakit kepala dan demam ringan. Setelah itu timbul
pembengkakan unilateral/bilateral kelejar parotis. Gejala ini akan
berkurang setelah 1 minggu dan biasanya menghilang setelah 10
hari. Namun pada beberapa keadaan infeksi terjadi tanpa gejala
sama sekali. Tanda rangsangan meningeal dapat terjadi pada 15%
kasus, tetapi gejala sisa yang permanen jarang ditemukan. Ketulian
adalah salah satu komplikasi yang serius tetapi jarang terjadi (1:
500 kasus yang dirawat di rumah sakit). Penularan terjadi sejak
6 hari sebelum timbulnya pembengkakan parotis sampai 9 hari
kemudian. Orkitis (biasanya unilateral) dilaporkan sampai 20%
pada kasus gondongan lelaki dewasa, tetapi keadaan steril jarang
ditemukan. Imunisasi dengan live attenuated vaccine sangat berhasil.
Di USA telah terjadi reduksi 98% dari kasus yang dilaporkan di
antara tahun 1967 (ketika vaksin pertama kali diperkenalkan dan
tahun 1985).

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 213


Syahril Pasaribu

Rubela
Rubela pada umumnya merupakan penyakit infeksi akut yang
ringan, yang disebabkan oleh virus rubela yang termasuk ke dalam
famili togavirus. Penyebaran penyakit ini melalui udara dan droplet.
Gejala klinis yang mencolok adalah timbulnya ruam makulo-papular
yang bersifat sementara (kira-kira 3 hari), pembengkakan kelenjar
post-auricular/dan sub-occipital. Kadang-kadang disertai arthritis
dan arthralgia. Walaupun jarang, dapat terjadi komplikasi lain pada
sistem syaraf dan trombositopenia. Apabila rubela menjangkiti ibu
hamil, maka dapat terjadi sindrom rubela kongenital pada bayi
yang dikandungnya.

Sindrom rubela kongenital

Pencegahan sindrom rubela kongenital (SRK) merupakan tujuan


utama pemberian imunisasi rubela. Rubela adalah penyakit yang
mendatangkan malapetaka apabila terjadi pada awal kehamilan,
karena dapat menyebabkan kematian janin, kelahiran prematur dan
cacat bawaan. Abortus dan lahir mati merupakan kejadian yang
sering ditemukan. Berat ringannya dampak virus rubella terhadap
janin tergantung kapan infeksi ini terjadi. Sampai 85% bayi yang
terinfeksi pada kehamilan trimester pertama akan mempunyai gejala
setelah lahir. Meskipun infeksi dapat terjadi sepanjang kehamilan,
jarang terjadi kelainan bila infeksi terjadi setelah kehamilan di atas
20 minggu. Infeksi kongenital virus rubela dapat mengenai semua
sistem organ bayi. Tuli merupakan gejala paling sering terjadi dan
kadang-kadang merupakan manifestasi tunggal infeksi rubela
kongenital. Kelainan lain yang dapat timbul adalah kelainan pada
mata berupa katarak, glaukoma, retinopati dan mikroftalmia.
Kelainan pada jantung berupa patent ductus arteriosus (PDA),
ventricular septal defect (VSD), stenosis dan retardasi mental. Kelainan
lain yang dapat ditemukan adalah lesi pada tulang, spenomegali,
hepatitis, trombositopenia dan purpura. Manifestasi SRK ini dapat
baru tampak pada umur 2-4 tahun.

214 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Syahril Pasaribu

Vaksi n
Vaksin untuk mencegah campak, gondongan dan rubela merupakan
vaksin kombinasi yang dikenal sebagai vaksin MMR (measles,
mumps, dan rubella), dosis 0.5 ml. Vaksin MMR merupakan vaksin
kering yang mengandung virus hidup, harus disimpan pada
temperatur 2-8oC atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya.
Vaksin harus digunakan dalam waktu 1 jam setelah dicampur
dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terlindung dari cahaya, karena
setelah dicampur vaksin sangat tidak stabil dan cepat kehilangan
potensinya pada temperatur kamar. Pada temperatur 22-25oC, akan
kehilangan potensi 50% dalam 1 jam, pada temperatur > 37oC vaksin
menjadi tidak aktif setelah 1 jam.

Dosis
Pemberian vaksin MMR dengan dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara
intra-muskular atau subkutan dalam. Imunisasi ini menghasilkan
sero-konversi terhadap ketiga virus ini > 90% kasus. Diberikan pada
umur 12-18 bulan.

Rekomendasi
Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak,
gondongan dan rubella atau imunisasi campak. Tidak ada efek
imunisasi yang terjadi pada anak yang sebelumnya telah mendapat
imunitas terhadap salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini.

Bayi dan anak berisiko infeksi campak


Pada populasi dengan insidens yang tinggi pada infeksi campak
dini, imunisasi MMR dapat diberikan pada usia 9 bulan. Indikasi
lain pemberian vaksin MMR adalah
• Anakdenganpenyakitkronis sepertikistikfibrosis, kelainanjantung
bawaan, kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down.

215 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Syahril Pasaribu

· Anak berusia ≥1 tahun yang berada di day care centre, family day
care dan playgroups.
· Anak yang tinggal di lembaga cacat mental.
Individu dengan HIV dapat diberikan vaksin MMR bila tidak
ditemukan kontra indikasi lainnya.

Vaksinasi MMR yang terlambat


Vaksin MMR diberikan pada anak yang berusia > 12 bulan. Bila
imunisasi dasar tidak lengkap sampai waktu pemberian MMR,
maka dapat diberikan secara bersamaan dengan menggunakan alat
untuk dan tempat yang berbeda.

Anak dengan riwayat kejang

Anak dengan riwayat kejang atau riwayat keluarga pernah kejang


harus diberikan MMR dan kepada orang tua diberikan pengertian
bahwa dapat timbul demam 5-12 hari setelah imunisasi. Dianjurkan
untuk mengurangi demam dengan pemberian parasetamol.

Reaksi KIPI
· Pada penelitian yang mencakup 6000 anak yang berusia 1-2
tahun, dilaporkan setelah vaksinasi MMR dapat terjadi malaise,
demam atau ruam yang sering terjadi 1 minggu setelah imunisasi
yang berlangsung selama 2-3 hari.
· Dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang
demampada 0,1% anak ensefalitis pasca imunisasi <1/1000.000
dan pembengkakan kelenjar parotis pada 1% anak berusia sampai
4 tahun, biasanya terjadi pada minggu ketiga dan kadang-kadang
lebih lama.
· Meningoensefalitis yang disebabkan oleh imunisasi gondongan
terjadi kira-kira 1/1000.000 kasus dengan galur virus gondongan
Urabe, angka kejadian ini lebih kecil dibandingkan apabila
menggunakan jalur virus gondongan Jeryl Lyn.

216 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Campak, Gondongan &
Rubela

· Trombositopenia biasanya akan sembuh sendiri, kadang-kadang


dihubungkan dengan komponen rubela dari MMR. Kepada
orang tua harus dijelaskan tentang kemungkinan gejala yang
bakal timbul dan diberikan petunjuk untuk mengurangi demam,
termasuk penggunaan parasetamol pada masa 5-12 hari setelah
imunisasi.

Indikasi Kontra
· Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau
gangguan imunitas, mereka yang mendapat pengobatan dengan
imunosupresif atau terapi sinar atau mendapat steroid dosis
tinggi (ekuivalen dengan 2 mg/kgbb/hari prednisolon).
· Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau
tenggorokan, sulit bernapas, hipotensi dan syok) terhadap gelatin
atau neomisin.
· Anak dengan demam akut, pemberian MMR harus ditunda
sampai penyakit ini sembuh.
· Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan
vaksin virus hidup) dalam waktu 4 minggu. Pada keadaan ini
imunisasi MMR ditunda lebih kurang 1 bulan setelah imunisasi
yang terakhir. Individu dengan tuberkulin positif akan menjadi
negatif setelah pemberian vaksin.
· Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan
harus ditunda selama 2 bulan, seperti pada vaksin rubela.
· Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah
pemberian imunoglobulin atau transfusi darah (whole blood).
· Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV).
Sebenarnya HIV bukan indikasi kontra, tetapi pada kasus
tertentu, dianjurkan untuk meminta petunjuk pada spesialis
anak konsultan.
· Setelah suntikan imunoglobulin, selama 6 minggu tidak boleh
mendapat vaksin rubela, kalau boleh sampai 3 bulan setelah
pemberian imunoglobulin atau produk darah yang mengandung

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 217


Syahril Pasaribu

imunoglobulin (darah, plasma). Dengan alasan yang sama


imunoglobulin tidak boleh diberikan dalam waktu 2 minggu
setelah vaksinasi.
 Disebabkan oleh karena komponen rubela, wanita hamil
tidak dianjurkan mendapat imunisasi MMR dan dianjurkan
untuk tidak hamil selama 3 bulan setelah mendapat
suntikan.

Penggunaan Imunoglobulin
 Jika seorang anak berusia > 12 bulan belum mendapat imunisasi,
kontak dengan pasien campak dapat dicegah dengan pemberian
vaksin MMR sesegera mungkin (dalam waktu 72 jam). Alasannya
ialah masa inkubasi galur vaksin (4-6 hari) lebih singkat dari masa
inkubasi virus campak liar (1-14 hari). Akan tetapi pada anak
dengan imunokompromis, vaksin MMR adalah kontra indikasi,
imunoglobulin (human) dapat diberikan segera mungkin setelah
paparan.
 Pemeriksaan antibodi terhadap campak tidak menolong untuk
membuat sesuatu keputusan penggunaan imunoglobulin, oleh
karena imunisasi sebelumnya atau kadar serum antibodi yang
rendah tidak memberi jaminan imunitas terhadap campak pada
individu imunokompromis. Pemeriksaan antibodi terhadap
campak juga akan memperlambat pemberian imunoglobulin,
akan tetapi pemeriksaan ini mungkin mempunyai nilai untuk
menegakkan diagnosa definitif campak.
 Seorang bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung
dengan pasien campak, mempunyai resiko yang tinggi untuk
berkembangnya komplikasi penyakit ini; kepada mereka harus
segera diberikan imunoglobulin (daripada vaksin) dalam waktu
7 hari paparan, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
campak. Kemudian vaksin MMR harus diberikan sesegera
mungkin sampai usia 12 bulan, akan tetapi dengan interval 3
bulan setelah pemberian imunoglobulin.
 Dosis imunoglobulin (human) NIGH ialah 0,2 ml/kgbb pada anak
sehat dan 0,5 ml/kgbb pada individu imunokompromis (dosis

218 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Syahril Pasaribu

maksimal 15 ml). Pada wanita hamil non imun yang terpapar


dengan campak dapat diberikan NIGH 0.2 ml/kgbb.
 Live mumps vaccine tidak memberikan perlindungan jika diberikan
setelah terpapar dengan pasien mumps. Akan tetapi, jika
paparan tadi tidak menimbulkan infeksi, vaksin akan
memberikan perlindungan terhadap infeksi berikutnya. Imunoglobulin
tidak terlihat mempunyai nilai sebagai profilaksis setelah terpapar
dengan penyakit ini. Dari satu hasil penelitian di Alaska
menunjukkan bahwa, pemberian immunoglobulin terhadap
orang yang rentan tidak menunjukkan penurunan kejadian
mumps dan juga tidak mencegah timbulnya komplikasi. Antibodi
maternal yang ditransfer melewati plasenta dapat melindungi
bayi selama 1 tahun kehidupan.
 Live attenuated rubella vaccine dapat memberikan perlindungan
terhadap infeksi virus rubela dan pemakaian yang luas vaksin
ini menyebabkan sindrom rubela kongenital di Australia tidak
ditemukan lagi. Pemakaian imunoglobulin setelah terpapar
dengan pasien rubela tidak memberikan perlindungan, sehingga
pemberian imunoglobulin nilainya kecil untuk mencegah rubela
pada wanita hamil.

Kontroversi seputar imunisasi MMR


· Pernah dikatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit
Crohn dan kolitis ulserativa dengan MMR. Pada penelitian ini
terlihat adanya risiko relatif kasus yang mendapat MMR akan
menjadi penyakit Crohn sebanyak 2,95 dan kolitis ulserativa 2,05.
Namun setelah ditelusuri ternyata desain penelitian ini tidak
benar. Kemudian dilakukan penelitian yang sama dengan skala
besar secara internasional dan hasilnya tidak terdapat hubungan
kejadian penyakit ini dengan MMR.
· Adanyahubungan antara autismdanMMRdiperolehdariprogram
televisi Denmark pada tahun 1993, yang berasal dari seorang ibu
yang anaknya kembar, salah satu diantaranya menderita autism
dan diklaim bahwa penyebabnya MMR.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 219


Syahril Pasaribu

Kemudian pernyataan ini ditindak lanjuti oleh Danish National


Department of Epidemiology dan UK Joint Committee on Vaccination
and Immunization. Ternyata tidak ada satupun data biologi dan
epidemiologi yang menyokong pernyataan ini.
· National Autistic Society menyatakan bahwa tidak ada
peningkatan kasus autistic spectrum disorders dengan
pemberian MMR.
· Penelitian yang dilakukan di Swedia mengikuti kejadian autism selama
10 tahun. Penelitian ini mempunyai data yang baik dan konsisten.
Mereka mengikuti insiden autism di Gothenburg selama 10 tahun
sewaktu vaksin MMR diperkenalkan sebagai program imunisasi pada
anak. Terbukti bahwa kejadian autism tidak meningkat sehubungan
dengan pelaksanaan imunisasi MMR.
· Situasi yang sama juga terjadi pada asma. Ternyata tidak ada
satupun penelitian yang menyokong adanya hubungan asma dengan
vaksin MMR.

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. In: PickeringLK, editor. Red book: 2006 report of the Committee
on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003. p.
441-68.
2. World Health Organization. Global status of mumps immunization and surveillance. Wkly
Epidemiol Rec. 2005;80:418-24, 707-43.
3. CDC. Notice to readers: Updated recommendations of the Advisory Committee on Immunization
Practices (ACIP) for the Control and Elimination of Mumps. MMWR Morbid Mortal Wkly
Rep. 2006;55:629-630.
4. Strebel PM, Papania MJ, Halsey NA. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders;2003:389-469.
5. Harling R, White JM, Ramsay ME, Macsween KF, van den Bosch C. The effectiveness of the
mumps component of the MMR vaccine: a case control study. Vaccine. 2005;23:4070-4.
6. Katz SL, Hinman AR. Summary and conclusions: measles elimination meeting, 16-17 March
2000. J Infect Dis. 2004;189(Suppl 1): S43-S47.
7. CDC. Epidemiology of measles—United States, 2001-2003. MMWR Morbid Mortal Wkly
Rep. 2004;53:713-6.

220 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Campak, Gondongan &
Rubela

8. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule—United States,


2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;54:Q1-Q4.
8. AtkinsonWL, Pickering LK, Schwartz B. General recommendations on immunization.
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP)
and the American Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep.
2002;51(RR02):1-36.
9. CDC. Licensure of a combined live attenuated measles, mumps, rubella, and varicella
vaccine. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2005;54:1212-14.
10. Reef SE, Frey TK, Theall K, Abernathy E, Burnett CL, Icenogle J, et al. The changing
epidemiology of rubella in the 1990s: on the verge of elimination and new challenges
for control and prevention. JAMA. 2002;287:464-72.
12. Robertson SE, Featherstone DA, Gacic-Dobo M, Hersh BS. Rubella and congenital
rubella syndrome: global update. Rev Panam Salud Pública. 2003;14:306-15.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 221


Bab VI-2
Haemophillus Influenza tipe b
Hardiono D.Pusponegoro

Haemophyllus influenzae tipe b (Hib) bukan virus influensa, tetapi


merupakan suatu bakteri Gram negatif. Haemophyllus influenzae
terbagi atas jenis yang berkapsul dan tidak berkapsul. Tipe yang
tidak berkapsul umumnya tidak ganas dan hanya menyebabkan
infeksi ringan misalnya faringitis atau otitis media. Jenis yang
berkapsul terbagi dalam 6 serotipe dari a sampai f. Di antara
jenis yang berkapsul, tipe b merupakan tipe yang paling ganas
dan merupakan salah satu penyebab tersering dari kesakitan dan
kematian pada bayi dan anak berumur kurang dari 5 tahun.
Infeksi Hib menyebabkan meningitis (radang selaput otak)
dengan gejala demam, kaku kuduk, penurunan kesadaran, kejang
dan kematian. Penyakit lain yang dapat terjadi adalah pneumonia,
selulitis, artritis dan epiglotitis.

Meningitis

Di negara barat, Hib menyebabkan penyakit pada 20-200 per


100.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian tersebut disebabkan
perbedan teknik pemantauan/surveilans, teknik pengambilan
materi pemeriksaan, teknik pemeriksaan laboratorium, dan pola
penggunaan antibiotik. Beberapa faktor risiko misalnya umur
kurang dari 5 tahun, tingginya pembawa kuman di tenggorok
(karier), penyebaran infeksi di tempat penitipan anak, lingkungan
yang padat, dan bayi tidak mendapat ASI. Laporan dari Asia
menunjukkan bahwa Hib merupakan penyebab terpenting
meningitis. Di Indonesia, dilaporkan bahwa Hib ditemukan pada
33% di antara kasus meningitis. Pada penelitian lanjutan didapatkan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 222


Haemophillus Influenza tipe b

bahwa Hib merupakan 38% di antara penyebab meningitis pada bayi


dan anak berumur kurang dari 5 tahun. Laporan dari negara-negara
Asia cenderung menunjukkan bahwa Hib merupakan penyebab
meningitis terbanyak bersama pneumokokus dan meningokokus,
tetapi insidens meningitis rendah.

Pneumonia
Haemophyllus influenzae sebagai penyebab pneumonia lebih sulit
dibuktikan karena metode pengambilan bahan pemeriksaan jauh
lebih sulit. Penelitian membuktikan bahwa pneumonia disebabkan
oleh virus pada 25%-75% kasus, sedangkan bakteri biasanya
ditemukan pada kasus yang berat. Bila kedua penyebab ditemukan,
kemungkinan pneumonia pada awalnya disebabkan oleh virus,
kemudian terjadi infeksi bakteri. Kematian umumnya disebabkan
oleh infeksi bakteri. Sebelum diperkenalkan vaksin, H. influenzae
tipe b merupakan bakteri penyebab pneumonia yang penting.
Identifikasi yang sulit dari bakteri ini mengakibatkan insiden
yang pasti tidak diketahui, diduga H.influenzae tipe b bertanggung
jawab terhadap 5-18% kejadian pneumonia. Di negara yang telah
berkembang, imunisasi menurunkan kejadian sindrom H.influenzae
tipe b invasif sampai lebih dari 95%, termasuk pneumonia.

Epidemiologi
hanya ditemukan pada manusia. Penyebaran
Haemophyllus influenzae
terjadi melalui droplet dari individu yang sakit kepada orang lain.
Sebagian besar orang yang mengalami infeksi tidak menjadi sakit,
tetapi menjadi pembawa kuman karena Hib menetap ditenggorok.
Prevalensi karier yang lebih dari 3% menunjukkan angka yang
cukup tinggi. Penelitian pendahuluan di Lombok menunjukkan
prevalensi carrier-rate sebesar 4,6%, suatu angka yang cukup tinggi.
Bila prevalensi pembawa kuman cukup banyak, kemungkinan
kejadian meningitis dan pneumonia akibat Hib biasanya juga tinggi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 223


Haemophillus Influenza tipe b

Walaupun demikian, dampak Hib secara keseluruhan baru dapat


dipastikan setelah adanya suatu penelitian populasi di lapangan.
Penelitian populasi sedang dilakukan di Lombok.

Vaksin Hib

Bagian kapsul Hib yang disebut polyribosyribitol phosphate (PRP)


menentukan virulensi dari Hib. Vaksin Hib dibuat dari kapsul
tersebut. Vaksin awal yang terbuat dari PRP murni ternyata
kurang efektif, sehingga saat ini digunakan konjugasi PRP dengan
protein dari berbagai komponen bakteri lain. Vaksin yang beredar
di Indonesia adalah vaksin konjugasi dengan membran protein
luar dari Neisseria meningitidis yang disebut sebagai PRP-OMP dan
konjugasi dengan protein tetanus yang disebut sebagai PRP-T.
Kedua vaksin tersebut menunjukkan efikasi dan keamanan yang
sangat tinggi. Kedua vaksin tersebut boleh digunakan bergantian
baik monovalen atau kombinasi.

Jadwal dan dosis


· Vaksin Hib diberikan sejak umur 2 bulan.
· PRP-OMP diberikan 2 kali sedangkan PRP-T diberikan 3
kali dengan jarak waktu 2 bulan.
· Penelitian menunjukkan bahwa respons antibodi sudah
terbentuk setelah suntikan pertama PRP-OMP dan setelah dua kali
suntikan PRP-T, sedangkan titer antibodi yang tertinggi
ditemukan setelah 3 kali suntikan PRP-T.
· Titer PRP-T bertahan lebih lama dibandingkan PRP-OMP.
· Ulangan umumnya diberikan 1 tahun setelah
suntikan terakhir.
· Apabila suntikan awal diberikan pada bayi berumur 6
bulan–1 tahun, 2 kali suntikan sudah menghasilkan titer
protektif; sedangkan setelah 1 tahun cukup 1 kali suntikan
tanpa memerlukan booster. Hal ini dokter sering menunda
pemberian

224 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Haemophillus Influenza tipe b

vaksin Hib sehingga memerlukan dosis yang lebih sedikit.


Pendapat ini salah, karena Hib lebih sering menyerang bayi kecil.
Dua puluh enam persen terjadi pada bayi berumur 2-6 bulan
dan 25% pada bayi berumur 7-11 bulan (CDC). Kasus termuda
di Jakarta berumur 3 bulan.
• Vaksin tidak boleh diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan
karena bayi tersebut belum dapat membentuk antibodi.
Penelitian mengenai infeksi Hib di populasi di Lombok, juga
meneliti manfaat imunisasi Hib terhadap kejadian dan kematian
pneumonia pada balita. Data yang ada menunjukkan bahwa Hib
memang merupakan penyebab meningitis yang terbanyak. Saat ini
vaksin Hib digolongkan dalam vaksin yang dianjurkan, diharapkan
1-2 tahun mendatang dapat masuk dalam program nasional.

Daftar Pustaka
1. Pusponegoro HD, Oswari H, Astrawinata D, Fridawati V. Epidemiologic study on
bacterial meningitis in Jakarta and Tanggerang: preliminary report. Pediatr Infect Dis J
1998; 17:S176-8
2. Gessner BD, Sutanto A, Steinhoff M, dkk. A population-based survey of Haemophylus
influenzae type b nasopharyngeal carriage prevalence in Lombok Island, Indonesia.
Pediatr Infect Dis J, 1998; 17:S179-82.
3. Petola. Need for Haemophyllus influenzae type b vaccination in Asia as evidenced by
epidemiology of bacterial meningitis. Pediatr Infect Dis J, 1998; 17:S148-51.
4. Levine, Schwartz B. Pierce N, Kane M. Development, evaluation and implementation of
Haemophylus influenzae type b vaccines for young children in developing countries:
current status and priority actions. Pediatr Infect Dis J 1998; 17:S95-113.
5. Wenger JD, Ward JI. Haemophilus influenzae vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA,
eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:229-68.
6. CDC. Active Bacterial Core Surveillance Report, Emerging Infections Program Network,
Haemophilusinfluenzae, 2004- provisional. Atlanta: Department of Health and Human
Services; 2005.
7. Peltola H. Burden of meningitis and other severe bacterial infections of children in
Africa: implications for prevention. Clin Infect Dis. 2001;31:64-75.
8. American Academy of Pediatrics. Haemophilus influenzae infections. In: Pickering
LK, ed. Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk
Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2006:310-318.

225 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VI-3
Demam Tifoid
T. H. Rampengan

Salmonella typhi merupakan kuman patogen pada manusia yang


menyebabkan infeksi invasif, ditandai dengan demam, toksemia,
nyeri perut, konstipasi atau diare. Bila tidak diobati dapat
menyebabkan kematian pada 10%-20% kasus karena perforasi
usus, perdarahan, toksemia dan karena komplikasi lain. Virulensi
Salmonella typhi untuk melakukan sirkulasi ke dalam sirkulasi
sebagian berhubungan dengan antigen permukaan Vi.

Epidemiologi
Infeksi terjadi melalui mulut dari makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Salmonella typhi hanya dijumpai pada manusia yang
terinfeksi dan dikeluarkan melalui tinja dan urin. Masa inkubasi 3-
60 hari, terbanyak 7-14 hari. Insidens tertinggi demam tifoid pada
anak terutama di daerah endemis. Demam tifoid sering dijumpai di
banyak negara berkembang terutama di Asia, Afrika dan Amerika
Latin, tertinggi di India, Pakistan dan Bangladesh.

Patogenesis
Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman, dan
setelah berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan
limfoid usus halus, terutama pleksus Peyer dan jaringan limfoid
mesenterika. Setelah terjadi proses peradangan dan nekrosis
setempat, kuman melewati pembuluh limfe masuk ke aliran darah
(bakteremia primer) menuju organ dalam sistem retikuloendotelial
(RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh

226 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Demam Tifoid

sel fagosit RES, sedangkan kuman yang tidak difagosit kembali


masuk ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia
sekunder). Sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama
limpa dan kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut
dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan
menyebabkan reinfeksi di usus.
Dalam masa bakteremia kuman mengeluarkan endotoksin yang
susunan kimianya sama dengan antigen somatik (lipopolisakarida).
Demam tifoid disebabkan karena Salmonella typhi dan endotoksinnya
merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar
dalam aliran darah mempengaruhi pusat termoregulator di
hipotalamus yang mengakibatkan timbul gejala demam. Makrofag
akan menghasilkan substansi aktif yang di sebut monokin,
selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis selular dan
merangsang sistem imun, menyebabkan instabilitas kapiler, depresi
sumsum tulang dan demam.

Gejala klinis
 Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih
bervariasi dibandingkan dengan dewasa. Dengan demikian
maka lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid
pada anak, terutama usia muda. Gejala demam tifoid pada
anak bervariasi yaitu demam satu minggu atau lebih, gangguan
saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.
 Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit
infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, anoreksia,
mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik hanya
didapatkan suhu badan yang meningkat.
 Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin
jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan
limpa, perut kembung bisa disertai gangguan kesadaran dari
ringan sampai berat.

227 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


T. H. Rampengan

 Demam tidak selalu khas seperti pada orang dewasa, kadang


– kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern,
dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39-410C) serta dapat
pula bersifat ireguler terutama pada bayi.
 Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah demam
meningkat dengan tanda–tanda antara lain lidah tampak kering,
di lapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di
bagian ujung dan tepi tampak lebih kemerahan dan bila penyakit
lebih progresif maka akan terjadi deskuamasi epitel sehingga
papila lidah lebih prominen.
 Roseola tifosa lebih sering terlihat pada akhir minggu pertama
dan permulaan minggu kedua, berupa nodul kecil, sedikit
menonjol dengan diameter 2-4 mm, berwarna merah pucat,
serta hilang pada penekanan. Roseola ini karena emboli kuman
pada kapiler kulit dan terutama dijumpai di daerah perut, dada,
kadang–kadang di bokong maupun bagian fleksor lengan atas.

Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dibagi dua:
1. Komplikasi pada usus berupa perdarahan usus, perforasi
usus dan peritonitis.
2. Komplikasi di luar usus berupa bronkitis, bronkopneumonia,
ensefalopati, kolesistitis, meningitis, miokarditis dan kronik
karier.

Vaksin Demam Tifoid

1. Vaksin demam tifoid oral


 Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi
galur non patogen yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin
akan mengalami siklus pembelahan dalam usus dan dieliminasi
dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin
parenteral, respons imun pada vaksin ini termasuk sekretorik

228 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


T. H. Rampengan

lgA. Secara umum efektifitas vaksin oral sama dengan vaksin


parenteral yang diinaktivasi dengan pemanasan, namun vaksin
oral mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid oral
dikenal dengan nama Ty-21a.
+ Penyimpanan pada suhu 20C–80C
+ Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun
atau lebih.
+ Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan tiap hari ke 1,3 dan
5, 1 jam sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari
37oC. Kapsul ke-4 pada hari ke-7 terutama bagi turis.
+ Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena
kuman dapat mati oleh asam lambung.
+ Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik,
sulfonamid, atau antimalaria yang aktif terhadap salmonella.
+ Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari
interferon mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya
ditunda dua minggu setelah pemberian terakhir dari vaksin
tifus ini.
+ Imunisasi ulangan diberikan tiap 5 tahun. Namun pada
individu yang terus terekspose dengan infeksi Salmonella
sebaiknya di berikan 3-4 kapsul tiap beberapa tahun.
+ Daya proteksi vaksin ini hanya 50%-80%, maka yang sudah
divaksinasipun dianjurkan untuk melakukan seleksi pada
makanan dan minuman.
2. Vaksin polisakarida parenteral
+ Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman
Salmonella typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan
bufer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat,
monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan.
+ Penyimpanan pada suhu 20C-80C, jangan dibekukan. +
Kadaluwarsa dalam 3 tahun.
+ Pemberian secara suntikan intramuskular atau subkutan pada
daerah deltoid atau paha.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 229


T. H. Rampengan

 Imunisasi ulangan tiap 3 tahun


 Reaksi samping lokal berupa demam, nyeri kepala,pusing,
nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut jarang di jumpai.
Sangat jarang bisa terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam
kulit dan urtikaria.
 Indikasi kontra: alergi terhadap bahan–bahan dalam vaksin.
Juga pada saat demam, penyakit akut maupun penyakit
kronik progresif.
 Daya proteksi 50%-80%, maka yang sudah divaksinasipun
dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan
minuman.

Daftar Pustaka
1. Krugman S, Katz L.: Infectious diseases of children, Philadelphia; Mosby 2004.
2. Sood SK. Immunization for Children Travelling Aboard. Pediatrics Clin North Am
2000: 47; 435-48.
3. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering L:K,Baker,CJ,Overturf GD, Prober
CG, Penyuting. Red book. 2003 Report of commitee on Infectious Diseases. Edisi ke-26.
Elk Grove: 2003. h. 541-7.
4. Lutwick LI, Rubin LG, Childhood immunizations. WB Saunders Company. Ped Clin
of N Am 47, April 2000.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Yellow Book(4) CDD Travelers health.
Health Information for International Travel, 2005-2006.
6. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull World Health
Organ. 2004;82(5):346-53.
7. Steinberg EB, Bishop R, Haber P, Dempsey AF, Hoekstra RM, Nelson JM, et al.
Typhoid fever in travelers: who should be targeted for prevention? Clin Infect Dis.
2004;39:186-91.
8. Beeching NJ, Clarke PD, Kitchin NR, Pirmohamed J, Veitch K, Weber F. Comparison of
two combined vaccines against typhoid fever and hepatitis A in healthy adults.
Vaccine. 2004;23:29-35.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 230


Bab VI-4
Varisela
Hindra Irawan Satari

Vaksin varisela hidup yang dilemahkan (live attenuatted varicella


vaccine) dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi, yang
dikenal dengan strain Oka. Di Amerika mendapat lisensi untuk
dipegunakan pada anak sejak tahun 1995. Vaksin berasal dari VZV
liar yang diisolasi dari seorang anak yang bernama belakang Oka,
berusia 3 tahun. Hasil penelitian klinis di Amerika Serikat pada anak
sehat menunjukkan bahwa vaksin aman dan mempunyai efektivitas
tinggi untuk mencegah varisela yang berat.

Epidemiologi
Varisela (cacar air) adalah penyakit infeksi yang sangat menular
disebabkan oleh virus varisela-zoster. Cacar air merupakan fase
akut invasi virus sedangkan herpes zoster merupakan reaktivasi fase
laten. Angka kematian meningkat pada individu imunokompromais
7%-10% dibandingkan dengan anak sehat 0,1%-0,4%.

Patogenesis
Cacar air ditularkan melalui droplet infection dan sangat menular
selama masa prodromal yang singkat dan pada fase awal erupsi.
Masa inkubasi 14 sampai 16 hari. Apabila lesi telah berubah menjadi
krusta, pasien tidak menularkan penyakit.

Gejala Klinis
Setelah masa inkubasi, muncul nyeri kepala ringan, demam tidak
begitu tinggi dan lemah badan, diikuti dengan timbulnya lesi kulit

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 231


Hindra Irawan Satari

24-36 jam kemudian. Ruam pertama muncul dalam bentuk erupsi


makula yang dapat disertai dengan daerah kemerahan. Ruam ini
hanya timbul dalam beberapa jam, terasa gatal, vesikel berisi cairan
jernih, dan menimbul dari dasar; pada saat ini pada umumnya
diagnosis mudah ditegakkan. Perubahan lesi makula ke papul
menjadi vesikel kemudian krusta, berlangsung dalam kurun waktu
6 sampai 8 jam. Lesi kemudian berubah menjadi krusta. Fase akut
berlangsung 4-7 hari. Cacar air pada anak biasanya bersifat ringan
dan berlangsung singkat. Bila menyerang dewasa sifatnya lebih
berat dan dapat menyakibatkan penyakit yang serius serta fatal,
terutama apabila menyerang pasien defisiensi imun, anak yang
sedang mendapat pengobatan kortikosteroid atau terapi kemostatik,
tanpa bergantung kepada golongan umur. Pada umur 12 tahun,
sekitar 75% anak telah terserang varisela. Lima persen diantaranya
bersifat sub-klinis.

Herpes Zoster
Infeksi herpes zoster berupa ruam vesikular yang terlokalisasi
akibat reaktivasi virus varisela-zoster laten, akan timbul pada
saat menurunnya kekebalan. Herpes zoster jarang ditemui sebelum
umur 12 tahun (1% kasus), umumnya muncul pada usia 40 tahun
(81 %). Herpes zoster sering berupa penyakit yang serius pada usia
lanjut dan individu yang menderita imunokompromais; sehingga
dapat menjadi herpes zoster menyeluruh yang meliputi organ dalam,
susunan syaraf dan paru.

Sindrom varisela kongenital

Infeksi varisela pada bayi baru lahir yang berat terjadi semasa
perinatal akibat varisela dari ibu hamil. Sindrom varisela
kongenital dilaporkan terjadi setelah infeksi varisela pada
masa tengah kehamilan dan dapat berakibat malformasi
kongenital, parut kulit dan anomali lain. Data terakhir dari Eropa
mengindikasikan risiko yang tinggi bila infeksi maternal muncul

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 232


Hindra Irawan Satari

pada masa kehamilan 0-12 minggu (2%-4%). Bayi yang terinfeksi


intrauterin juga mempunyai risiko (0,8%-1,7%) untuk terjadinya
herpes zoster pada masa bayi, risiko meningkat apabila paparan
terjadi pada kehamilan 25-36 minggu. Masa awitan pada wanita
hamil berlangsung 5 hari sebelum kelahiran sampai 2 hari pasca
kelahiran dan diperkirakan akan berakibat varisela berat pada 17%
-30% bayi yang dilahirkan.

Komplikasi
Infeksi sekunder oleh kuman streptokokus pada vesikel dapat
mengakibatkan terjadinya erisipelas, sepsis, nefritis hemoragik akut.
Infeksi stafilokokus dapat terjadi pada vesikel dan menyebabkan
pioderma atau impetigo bulosa. Meski jarang, dapat terjadi
komplikasi berat, seperti serebelitis, meningitis aseptik, mielitis
transversa, trombositopenia dan pneumonia. Pada kasus lebih
jarang lagi bahkan dapat menyerang organ dalam dan sendi.
Komplikasi pneumonia terjadi pada dewasa, bayi baru lahir serta
pasien imunokompromais, tetapi jarang pada anak kecil. Aspirin
atau salisilat tidak boleh diberikan pada pasien dengan varisela oleh
karena ditakutkan terjadinya sindrom Reye.

Vaksi n
· Vaksin virus hidup varisela-zoster (galur OKA) yang
dilemahkan terdapat dalam bentuk bubuk-kering (lyophilised).
Bentuk ini kurang stabil dibandingkan vaksin virus hidup lain,
sehingga memerlukan suhu penyimpanan tertentu. Vaksin
harus disimpan sesuai dengan petunjuk pabrik. Vaksin varisela-
zoster yang beredar di Indonesia dapat disimpan pada suhu
2oC-8oC.
· Bagi anak hanya diperlukan 1 dosis, sedang individu
imunokompromais serta remaja (sama atau di atas 13 tahun)
dan dewasa memerlukan 2 dosis, selang 1-2 bulan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 233


Hindra Irawan Satari

· Serokonversi didapat pada 97% individu yang divaksinasi dan


sekitar 70% terlindungi apabila terpapar infeksi oleh anggauta
keluarga. Infeksi setelah terpapar apabila telah divaksinasi dapat
terjadi pada 1 %-2% kasus setahun, tetapi infeksi pada umumnya
bersifat ringan.
· Vaksin dapat diberikan bersama dengan vaksin MMR.
· American Academy of Pediatrics merekomendasikan vaksin ini
diberikan 2 kali bagi anak berumur di bawah 13 tahun, suntikan
pertama diberikan pada umur 12-15 bulan, sedangkan suntikan
ulangan pada umur 4-6 tahun. Dosis kedua dapat diberikan lebih
awal dengan jarak antar suntikan 3 bulan.

Cara pemberian
Mengingat (1) kejadian varisela di Indonesia terbanyak terjadi pada
anak yang telah bergaul dengan anak seumurnya (awal sekolah)
dan (2) penularan varisela (kepada adik atau anggota keluarga yang
lain) terbanyak terjadi pada saat usia sekolah, maka Satgas Imunisasi
pada tahun 2007 merekomendasikan:
· Vaksin varisela diberikan mulai umur masuk sekolah 5
tahun, dosis 0,5 ml secara subkutan, dosis tunggal.
· Atas pertimbangan tertentu vaksinasi varisela dapat
diberikan setelah umur >1 tahun.
· Pada anak ≥ 13 tahun vaksin dianjurkan untuk diberikan
dua kali selang 1 bulan.
· Pada keadaan terjadi kontak dengan kasus varisela, untuk
pencegahan vaksin dapat diberikan dalam waktu 72 jam
setelah penularan (dengan persyaratan: kontak dipisah/tidak
berhubungan).
Mengingat infeksi alamiah masih tinggi sehingga imunisasi pada
sekelompok anak tertentu tidak mengubah epidemiologi penyakit
ini, seperti peningkatan insiden pada golongan umur yang lebih
tua.

234 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Varisela

Kejadian ikutan pasca imunisasi


· Reaksi simpang jarang terjadi.
· Reaksi KIPI dapat bersifat lokal (1%), demam (1%), dan
ruam papula-vesikel ringan.
· Pada individu imunokompromais:
 Reaksi sistemik muncul lebih sering (sekitar 12%-40% pada
pasien leukemia dalam pengobatan rumatan) daripada reaksi
lokal.
 Setelah penyuntikan vaksin, pada 1% individu imuno kom-
promais dapat timbul penyulit varisela.
 Pada pasien leukemia yang mendapat vaksinasi varisela
dapat muncul ruam pada 40% kasus setelah vaksinasi dosis
pertama, 4% diantaranya dapat terjadi varisela berat yang
memerlukan pengobatan asiklovir.

Indikasi kontra
Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi,
hitung limfosit kurang dari 1200/µl atau adanya bukti defisiensi
imun selular seperti selama pengobatan induksi penyakit keganasan
atau fase radioterapi, pasien yang mendapat pengobatan dosis tinggi
kortikosteroid (2 mg/kgBB per hari atau lebih). Vaksin ini juga
indikasi kontra bagi pasien yang alergi pada neomisin.

Daftar Pustaka

1. GershonAA, Takahashi M, White CJ. Varicella vaccine. Dalam: Plotkin dan Orenstein,
penyunting. Vaccines. Edisi ke–4. Philadelphia: W.B. Saunders 2004; 475-507.
2. Seward JF, Watson BM, Peterson CL, Mascola L, Pelosi JW, Zhang JX, et al. Varicella
disease after introduction of varicella vaccine in the United States, 1995-2000. JAMA.
2002;287:606-11.
3. Gershon AA, Takahasi M, Seward J. Varicella vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA,
eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia: Saunders; 2004:783-823. CDC_ch04_113-380.indd
354 4/9/07 10:06:52 AM Viral Hemorrhagic Fevers 355.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 235


Hindra Irawan Satari

4. CDC. Decline in annual incidence of varicella – Selected States, 1990-2001. MMWR


Morbid Mortal Wkly Rep. 2003;52:884-5.
5. Centers for Disease-Control. Prevention of varicella. Update. MMWR Morbid Mortal
Wkly Rep. 1999;48:1-6.
6. ACIP Provisional Recommendations for Prevention of Varicella (http://www.cdc.
gov/nip/vaccine/varicella/varicella acip recs prov june 2006.pdf).
7. Kuter B, Matthews H, Shinefi eld H, Black S, Dennehy P, Watson B, et al. Ten year
follow-up of healthy children who received one or two injections of varicella vaccine.
Pediatr Infect Dis J. 2004;23:132-7.
8. Shinefield H, BlackS, Digilio L, Reisinger K, Blatter M, Gress JO, et al. Evaluation of a
quadrivalent measles, mumps, rubella and varicella vaccine in healthy children. Pediatr
Infect Dis J. 2005;24:665-9.
9. Seward JF. Update on varicella. Pediatr Infect Dis J. 2001;20:619-21.
10. ACIP Provisional recommendations for the use of zoster vaccine (http://www.cdc.
gov/nip/recs/provisional_recs/zoster-11-20-06. pdf).
11. CDC. A new product (VariZIG) for postexposure prophylaxis of varicella available
under an Investigational New Drug application expanded access protocol. MMWR
Morbid Mortal Wkly Rep. 2006; 55(MM8):209-210

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 236


Bab VI-5
HEPATITIS A
Boerhan Hidajat, Purnamawati S. Pujiarto, Hanifah Oswari

Infeksi virus hepatitis A (VHA) bersifat global dengan variasi


demografis sesuai tingkat higiene-sanitasi dan sosial-ekonomi suatu
negara. VHA bersifat self limiting namun potensial menimbulkan
dampak epidemiologis dan klinis. Indonesia merupakan daerah
endemis hepatitis virus baik VHA maupun hepatitis virus B dan C
(VHB dan VHC). Sulit untuk mengetahui insidens pasti VHA karena
pada sebagian kasus infeksinya bersifat asimtomatis terutama pada
anak berusia < 6 tahun. Kelompok asimtomatis ini merupakan
reservoir infeksi bagi komunitasnya, termasuk orang tua. Pasien
penyakit hati kronis (PHK) mempunyai morbiditas dan mortalitas
lebih tinggi. Virus hepatitis A tergolong picornavirus (berukuran 27
nanometer). Terdiri dan satu rantai RNA linear yang dibungkus 3
protein yaitu VPI VP2, VP3. Neutralisasi termasuk oleh neutralizing
antibody pasca imunisasi, ditujukan terhadap VPI-3. Virus HA sangat
stabil pada suhu tinggi maupun pada pH 3–10.

Epidemiologi
Di negara prevalens tinggi, infeksi umumnya teijadi pada usia <10
tahun, di daerah prevalens sedang, infeksi terjadi pada usia remaja
dan dewasa muda, sedangkan di area prevalens rendah, infeksi
terjadi pada dewasa dan usia lanjut.
Di daerah urban Jakarta, prevalens anti HAV pada kelompok usia
< 9 tahun 39,6%, usia 10 - 19 tahun 67,8%, dan 95% pada usia >50
tahun. Di Bandung, prevalens anti HAV 63,2% dan di rural Sulawesi
47,5%. Penelitian lain pada anak usia 6-8 tahun dan kelompok sosial
ekonomi tinggi di Jakarta menunjukkan bahwa prevalens anti HAV

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 237


Boerhan Hidajat, Purnamawati S. Pujiarto, Hanifah Oswari

hanya 1,7% dan mereka inilah yang kelompok yang rentan dan
perlu imunisasi VHA.

Transmisi. Transmisi VHA terjadi melalui penularan fekal-oral


dalam bentuk penularan antar individu (kontak erat) dan penularan
melalui makanan atau minuman yang tercemar. Transmisi terjadi
selama ekskresi virus di tinja masih berlangsung yaitu sejak 2-3
minggu sebelum sampai dengan 8-19 hari sesudah gejala klinis
rnuncul. Transmisi dalam kontak erat terbukti dengan terjadinya
penularan intrafamilial satu rumah (26%), di tempat penitipan
anak (TPA, 11%), di lembaga retardasi mental, dan di kalangan
homoseksual (l5%). Meskipun jarang, transrnisi dapat pula terjadi
di rumah sakit. Transmisi antar anak di sekolah bukan merupakan
modus transmisi yang kerap. Infeksi VHA di sekolah merefleksikan
adanya infeksi di populasi.
Wabah akibat makanan (tidak dimasak atau yang dibekukan),
jarang terjadi tetapi dapat menimbulkan dampak lingkungan yang
besar. Di beberapa negara berkembang, kejadian wabah VHA
cukup tinggi akibat air kolarn renang yang tercemar atau tidak
diklorinisasi dengan adekuat. Meskipun jarang, penularan dapat
juga terjadi melalui transfusi darah/komponen darah dan donor
yang sedang berada pada fase viremia. Selain itu, transmisi juga
terjadi pada pengguna obat terlarang (10%), serta pada wisatawan
mancanegara (14%).

Populasi risiko tinggi tertular VHA

Anak usia ≥ 2 tahun, terutama anak di daerah endemis. Pada usia


> 2 tahun antibodi maternal sudah menghilang. Di lain pihak,
kehidupan sosialnya semakin luas dan semakin tinggi pula paparan
terhadap makanan dan minuman yang tercemar.

Pasien PHK, berisiko tinggi hepatitis fulminan bila tertular VHA.


Kejadian hepatitis fulminan pada pengidap VHB dan VHC 55%
dan 33%.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 238


Hepatitis A

Kelompok lain, yaitu pria homoseksual, pasien koagulopati,


pengguna narkotik intravena, pekerja dengan primata, dan
kelompok sosioekonomi tinggi. Penelitian pada anak kelompok
sosioekonomi tinggi di Jakarta menunjukkan persentase rendah
anak sekolah kelompok sosio ekonomi tinggi yang sudah memiliki
proteksi alamiah.

Manifestasi klinis

Masa inkubasi HVA bervariasi antara 15 - 50 hari. Infeksi dapat


simtomatik atau asimtomatik, tergantung usia. Infeksi asimtomatis
dialami 70% anak usia < 6 tahun sedangkan 85% anak besar dan
dewasa simtomatis dan umumnya memerlukan rawat inap. Gejala
berlangsung < 2 bulan, tetapi 10% - 15% pasien mengalami prolonged
atau relapsing hepatitis selama 6 bulan. Sebagian besar hepatitis akut
yang dirawat di rumah sakit adalah infeksi HVA.
Virus bereplikasi di hati, diekskresi dan menumpuk di
tinja. Selama 2 minggu sebelum ikterik atau sebelum terjadinya
peningkatan SGPT, daya tular sangat tinggi karena konsentrasi
virus di tinja sangat tinggi. Pada fase ikterik, konsentrasi virus di tinja
jauh berkurang tetapi telah dilaporkan fecal shedding bisa
berlangsung beberapa bulan. Viremia berlangsung singkat,
sebagian kecil saja yang masih viremia pada awal masa
penyembuhan.

HVA dapat menimbulkan komplikasi (1) hepatitis fuiminan (± 0.1%)


yang pada VHB dan VHC meningkat (55% dan 33%); (2) prolong
hepatitis (12-18 minggu); dan (3) relapsing hepatitis (3,8% - 20%),
biasanya kekambuhan Iebih dan satu kali.

Pencegahan
Upaya pence gahan merupakan upaya yang terpenting, dilakukan
dengan pola hidup bersih/sehat dan imunisasi pasif maupun
aktif.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 239


Hepatitis A

Imunisasi pasif

Normal human immune globulin (NIHG) setiap milimiternya


mengandung 100 IU anti HAV Diberikan sebagai upaya pencegahan
setelah kontak (kontak serumah, kontak seksual, saat epidemi) atau
upaya profilaksis pasca paparan. Diberikan pula sebagai upaya
profilaksis pra paparan atau sebelum kontak (pengunjung dari
daerah non endemis ke daerah endemis). Seyogyanya diberikan
tidak lebih dari 2 minggu setelah paparan.
Imunoglobulin (Ig) diberikan secara intramuskular dalam
dengan dosis 0,002 ml/kg berat badan, pada anak besar dan dewasa
≤5 ml, sedangkan pada anak kecil atau bayi tidak melebihi 3 ml.

Tabel 6.1. Rekomendasi profilaksis post exposure terhadap VHA.

Saat paparan (minggu) Usia (tahun) Rekomendasi

≤2 <2 Ig
≥2 Ig dan vaksin

>2 <2 Ig

≥2 Vaksin
Keterangan: Ig=imunoglobulin

Tabel 6.2. Profilaksis pre exposure terhadap pengunjung dan daerah non
endemis

Umur Lama Rekomendasi Keterangan


(thn) kunjungan
<2 < 3 bulan Ig 0.02ml/kg 1 kali
3 - 5 bulan Ig 0.06 ml/kg 1 kali
Jangka panjang Ig 0.06 ml/kg saat berangkat, di-
ulang setiap 5 bln
≥2 <3 bulan Vaksin atau Ig 0.02 ml/kg Dosis dan jadwal
3 - 5 bulan Vaksin atau Ig 0.06 ml/kg imunisasi aktif lihat
Jangka panjang Vaksin di bagian perihal
imunisasi aktif
Keterangan: Ig=imunoglobulin

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 240


Hepatitis A

Imunisasi aktif

Imunisasi menyebabkan terbentuknya serum-neutralizing antibodies


terhadap epitop permukaan virus. Kandidat vaksinasi VHA
berdasarkan rekomendasi ACIP tertera pada Tabel 6.3. Kebijakan
imunisasi hepatitis A lebih bersifat individual. Imunisasi hepatitis
A diberikan pada anak berusia ≥ 2 tahun.

Tabel 6.3. Indikator kandidat vaksinasi HVA

Kandidat vaksinasi HVA


Imunisasi rutin Anak di daerah endemis HVA atau daerah
dengan wabah periodik
Risiko tinggi VHA Pengunjung ke daerah endemis
Pria homoseksual dengan pasangan ganda
IVDU
Pasien yang memerlukan konsentrat faktor VIII
Staf TPA, staf dan penghuni institusi untuk
cacat mental
Pekerja dengan primata bukan manusia
Staf bangsal neonatologi
Risiko hepatitis fulminan Pasien penyakit hati kronis
Risiko menularkanYHA Penyaji makanan, anak usia 2-3 tahun di TPA

Vaksin
· Vaksin dibuat dan virus yang dimatikan (inactivated
vaccine).
· Dosis vaksin bervariasi tergantung produk dan usia
resipien.
· Vaksin diberikan2kali, suntikankedua atau booster bervariasi
antara
6 sampai 18 bulan setelah dosis pertama, tergantung produk.
· Vaksin diberikan pada usia ≥2 tahun.
· Vaksin hepatitis A terbukti mempunyai imunogenisitas
baik.

Efek Samping

Vaksin HVA aman dan jarang menimbulkan efek samping. Reaksi


Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 241
Boerhan Hidajat, Purnamawati S. Pujiarto, Hanifah Oswari

lokal merupakan efek samping tersering (21 %–54%) tetapi umumnya


ringan. Demam dialami 4% resipien.

242 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hepatitis A

Uji serologi pra-pasca vaksinasi

Uji pra vaksinasi pada anak hanya dilakukan bila ada kecurigaan kuat
terhadap infeksi masa lampau. Uji pasca vaksinasi hanya dikerjakan
pada individu dengan gangguan imunologis termasuk PHK.

Lama proteksi

Lama proteksi antibodi anti HVA diperkirakan menetap selama ≥


20 tahun. Proteksi jangka panjang terjadi akibat antibodi protektif
yang menetap atau akibat anamnestic boosting infeksi alamiah.

Pemberian bersama vaksin lain


Pemberian vaksin VHA bersamaan dengan vaksin lain tidak
mengganggu respons imun masing-masing vaksin dan tidak
meningkatkan frekuensi efek samping.

Indikasi kontra dan kondisi yang memerlukan perhatian


khusus
Vaksin VHA tidak boleh diberikan kepada individu yang mengalami
reaksi berat sesudah penyuntikan dosis pertama.

Daftar Pustaka
1. Sulaiman A, Julitasari. Panduan praktis hepatitis A. Edisi pertama. Jakarta, Yayasan
Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia, 2000.
2. National Health and Medical Research Council. Dalam: Watson C, penyunting. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC 2008.
3. Bisanto J. Tinjauan multi-aspek hepatitis virus A pada anak. Dalam Tinjauan
komprehensif hepatitis virus pada anak. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIII; Jakarta, 2000: 9-31.
4. BergeJJ, DrennanDP, Jacob RI, Jakins A, Meyyerhoff AS, Stubblefield W, Weinberg M.
The cost of hepatitis A infections in American adolescents and adults in 1997. Hepatol
2000; 31: 469- 73.

243 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Hepatitis A

5. Rosenthal P. Cost-effectiveness of hepatitis A vaccination in children, adolescents, and


adults. Hepatol 2003; 37 (1): 44-51.
6. Averhoff F, Shapiro CN, Bell BP, Hyams I. Burd L. Deladisma A, Simard EP. Nalin D,
Kuter B. Ward C, Lundberg M, Smith N. Margolis HS. Control of hepatitis A through
routine vaccination of children. JAMA 2001; 286 (23): 296S-73.
7. Werzberger A, Mensch B. Nalin DR, Kuter BJ. Effectiveness of hepatitis A vaccine in a
former frequently affected community: 9 years’ follow up after the Monroe field trial
of VAQTA®. Letter to Editor. Vaccine 2002; 20: 1699-701.
8. CDC. Prevention of hepatitis A through active or passive immunization:
recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP).
MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006; RR 55:1-23.
9. Bell BP, Feinstone SM. Hepatitis A vaccine. dalam: Plotkin SA, Orenstein WA, editors.
Vaccines. 4th edition. Philadelphia: W.B. Saunders, 2004.
10. Mutsch M, Spicher VM, Gut C, Steffen R. Hepatitis A virus infections in travelers,
1988-2004. Clin Infect Dis. 2006;42:490-7.
11. BacanerN,StaufferB,BoulwareDR,WalkerPF,KeystoneJS. Travel medicine considerations
for North American immigrants visiting friends and relatives. JAMA. 2004;291:2856-64.
12. CDC. Hepatitis Surveillance Report No. 61.2005. Atlanta: U.S. Department of Health
and Human Services. Centers for Disease Control and Prevention. 2006.
13. van Damme P, BanatvalaJ, Fay O, IwarsonS, McMahonB, VanHerckK, dkk. Hepatitis
A booster vaccination: is there a need? Lancet. 2003;362:1065–71.

244 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VI-6
Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies
Iskandar Syarif

Bahasa Latin untuk rabies adalah lyssa sedangkan rabies sendiri


dari bahasa Sangsekerta rabbas yang berarti kekerasan (to do
violence). Rabies merupakan subjek yang menarik perhatian karena
menyebabkan ketakutan dan siksaan berat sejak ditemukan dahulu
kala sebelum Masehi sampai sekarang setelah 125 tahun setelah
Louis Pasteur berhasil mencegah penyakit ini pada seorang anak
laki-laki usia 9 tahun yang bernama Joseph Meister penyakit masih
tetap terabaikan. Rabies pada manusia adalah infeksi virus pada
susunan saraf pusat biasanya ditularkan melalui luka yang
terkontaminasi ludah binatang yang terinfeksi virus rabies.
Penyakit ini umumnya bersifat fatal tapi dapat dicegah (preventable
fatal disease) dengan profilaksis pasca paparan (postexposure
prophylaxis).

Epidemiologi
Saat ini sekitar 100 negara terdapat rabies pada binatang baik liar
maupun domestik dan sekitar 2,5 milyar manusia yang hidup pada
daerah ini. Diperkirakan terdapat 50.000 kematian tiap tahun pada
manusia oleh karena rabies, dan sekitar 10 juta orang menerima
vaksinasi pasca paparan. Anak umur 5–15 tahun berada dalam
risiko terhadap penyakit ini. Sekitar 99% kematian terdapat di
Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, India melaporkan sekitar 30.000
kematian tiap tahunnya.
Sampai tahun 2007 di Indonesia hanya beberapa daerah
yang masih bebas rabies diantaranya Bali, NTB, DKI, Banten,
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Di Yogyakarta (Subdit Surveilan
Rabies) . Pada tahun 2008 didapatkan kasus rabies di Bali yang
sampai sekarang 2011 masih terdapat kasus baru. Pada Tabel 6.4
tertera 6 provinsi tertinggi kasus gigitan hewan tersangka rabies.
245 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies

Tabel 6.4. Kasus gigitan hewan tersangka rabies di beberapa propinsi utama tahun
2008 s/d 2010
No Propinsi 2008 2009 2010
GHPR Rabies GHPR Rabies GHPR Rabies
1 Sumatera Utara 2660 7 2386 18 3714 35
2 Sumatera Barat 2374 7 2818 14 858 5
3 NTT 3414 25 3882 33 3023 20
4 Sulawesi Utara 1917 14 1859 12 1412 10
5 Maluku 844 3 1288 35 778 21
6 Sulawesi Barat 101 1 325 0 97 5
7 Maluku Utara 187 7 276 8 50 1
8 Bali 355 4 21806 28 6046 82
Seluruh Indonesia 21240 122 45466 195 7589 198
GHPR : Gigitan Hewan Pembawa Rabies (data Subdit Surveilan Rabies Depkes RI). *
Data Tahun 2008-2010

Jumlah gigitan hewan tersangka rabies untuk seluruh Indonesia


tahun 2008-2010 yang telah terdata sebanyak 139.580, sedangkan
jumlah kasus rabies sebanyak 515 orang (0,37% dari jumlah gigitan)
dan yang mendapatkan vaksin anti rabies 76,1 %. Daerah yang
menyatakan bebas rabies Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah,
DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan NTB.

Etiologi
Virus rabies merupakan genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, virus ini
berbentuk peluru dengan panjang 130-380 nm dan diameter 70-85 nm.

Gambar 2. Virus rabies (www.rabies.net/_img)

Terdapat 7 galur (strain)Lyssavirus,

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 246


Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies

galur 1 Caninerabies virus rabies klasik


galur 2 Pada kelelawar di Lagos Nigeria
galur 3 Makola virus juga pada kelelawar di Nigeria
galur 4 Duvenahage virus pada manusia (Afrika Selatan)
galur 5 Lyssavirus kelelawar Eropa 1 (kasus manusia di
Rusia)
galur 6 Lyssavirus kelelawar Eropa 2 (2 kasus di Finlandia)
galur 7 Baru terisolasi di kelelawar Australia

Patogenesis
Secara umum apabila virus memasuki luka, virus akan segera
memasuki sel otot didekatnya dan berkembang biak dalam sel
otot dan segera melekat di reseptor nikotinik asetilkholin pada
neuromuscular junction. Pada saat virus memasuki saraf, pertahanan
tubuh tidak bisa lagi melawan virus ini. Virus akan bergerak dalam
akson menuju susunan saraf pusat dengan kecepatan bervariasi
antara 12-24 mm perhari, untuk sampai ke ganglion spinalis . Saat ini
gejala-gejala lokal pada tempat gigitan akan djumpai berupa parastesi.
Setelah dari ganglion spinalis kecepatan viru ini mejadi 200-400 mm
perhari. Virus akan merusak jaringan batang otak dan medula
spinalis, hidrophobi merupakan gejala patognomonis penyakit ini
olh karena terjadi kerusakan pada batang otak. Hidrophobi ini tidak
ditemui pada penyakit lain oleh karena hanya rabies yang
mengenai batang otak dengan kortekserebri intact sehingga tetap
sadar.

Penemuan patologi berupa negri bodies di jaringan otak yang


merupakan hallmark dari rabies ini saat ini hanya pada sekitar 50%
kasus sehingga tidak ditemuinya negri bodies ini tidak memastikan
diagnosis. Saat ini dikembangkan direct flurescent antibody test
(DFAT) dengan sensitivitas yang lebih baik mendekati 100%.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 247


Iskandar Syarif

Akhir-akhir ini pemerikaan dengan RT-PCR didapatkan 100%


positif pada ludah dan pemeriksaan virus antigen pada biopsi otak
didapatkan juga 100% sedangkan pada biopsy kulit tengkuk sekitar
67% pada hapusan kornea 25%. Isolasi virus dari air ludah sekitar 6o
%, sedangkan pemeriksaan antibody rabies dari serum sekita 56%
dan dari LCS sekitar hanya 15%. Selain luka gigitan dari binatang
yang sakit, virus dapat juga melalui mukus membran dan kulit
yang aberasi, transplantasi jaringan (kornea atau lainya) dan inhalasi
dari eksreta kelelawar.

Gambaran klinis

Masa inkubasi sangat bervariasi dari 5-6 hari sampai beberapa tahun
dengan mayoritas kasus antara 20-60 hari, masa inkubasi pendek
bila gigitan di daerah kepala bila dibandingkan ekstremitas. Masa
inkubasi lebih pendek pada anak karena jarak ke SSP lebih pendek
jika dibandingkan dengan orang dewasa. Pada masa inkubasi ini
tidak ditemui gejala. Gejala dimulai pada masa prodromal berupa
malaise, anoreksia, lelah, nyeri kepala, dan demam. Nyeri dan
parestesi di tempat gigitan atau eksposur ditemui 50%-80% kasus.
Rasa takut, agitasi, iritabel, nervous, sukar tidur, dan depresi menonjol
pada masa ini. Masa prodromal ini berlangsung 2-10 hari.

Setelah masa prodromal akan terjadi masa neurologik akut


yang dapat berupa bentuk furious (hebat) dan bentuk paralitik
yang akan berlangsung 2-21 hari atau 2-12 hari. Bentuk furious
ditandai dengan hidrophobi, aerophobi, hiperaktif yang
mendadak, disorientasi, kelakuan yang aneh (bizarre) diselingi
lusid interfal. Pada fase lusid ini penderita dapat mengutarakan
apa yang terjadi dan yang dirasakan serta ditakutkan. Pada fase
ini juga ditandai dengan disfungsi saraf otonom berupa dilatasi
pupil dan hipersalivasi.

Bentuk paralitik pasien tetap sadar dengan gambaran seperti


sindrom Gullain Barre, dengan gejala paralitik asending yang
simetris, bentuk ini ditemui pada sekitar 20% kasus terutama
setelah digigit kelelawar. Beberapa pasien dengan gejala
meningismus sampai epistotonus dengan LCS normal atau
gejala iritasi meningeal dengan peningkatan sel limfosit dan
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 248
Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies

protein. Apabila pasien tidak meninggal dalam periode akut


akibat kegagalan kardiorespirasi, pasien akan jatuh ke stadium
koma. Walaupun dengan tersedianya perawatan intensif dapat
memperpanjang hidup sementara pasien dengan komplikasi
miokarditis, gangguan hipofise dan syndrome inappropriate
antidiuretic hormon (SIADH).

Gambar Penderitas Rabies (courtesy Iskandar Syarif FK Unand/RS. Dr.


M. Djamil, (Padang)

Pasien infeksius sekitar 1 minggu sebelum muncul gejala


sampai sekitar 5 minggu setelahnya. Walaupun pada
prinsipnya manusia dapat menularkan penyakit ini tetapi
sampai saat ini belum ada laporan penularan antar manusia
kecuali pada transplantasi kornea dari pasien yang
sebelumnya tidak terdiagnosis sebagai rabies.

Untuk orang yang terkontak dengan pasien rabies baik oleh


karena gigitan, air liur pasien pada selaput mukosa atau kulit
yang tidak utuh diharuskan mendapat vaksinasi pasca
paparan (lihat pencegahan).

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 249


Iskandar Syarif

Umumnya pasien yang telah menunjukkan gejala rabies


akan meninggal karena tidak ada pengobatannya sampai saat
ini, walaupun ada beberapa laporan yang selamat (4 kasus)
tetapi semuanya telah mendapat pencegahan secara parsial
setelah terpapar, hanya 1 kasus di USA yang hidup setelah
mendapatkan gigitan kelelawar di India dan pada kasus ini
dilakukan induksi koma dengan anestesi umum dan
mendapatkan juga berbagai macam antiviral. Untuk kasus-
kasus setelahnya dengan memakai metode ini juga belum
ada yang selamat, mungkin karena daya tahan yang
bersangkutan atau virus dari kelelawar lebih kurang
virulence.

Pengobatan (pencegahan)

Pengobatan pasca paparan berupa pengobatan luka dan pemberian


imun globulin dan vaksinasi. Pengobatan luka merupakan bagian
penting dari tatalaksana pasca gigitan yakni mencuci luka dengan air
yang mengalir sekurang-kurangnya 10-15 menit.dan diberi sabun
atau deterjen. Luka juga dapat diberikan povidone-iodine, alkohol
40%-70%, bila luka cukup besar perlu dipasang kateter untuk irigasi
dan jahitan hanya jahitan situasi. Pemberian anti tetanus serum dan
antibiotika untuk pengobatan luka dari infeksi perlu diberikan.

Profilaksis setelah terpapar akan tergantung pada keadaan anjing


yang menggigit apa hewannya telah diimunisasi atau tidak atau
anjing liar yang dapat ditangkap atau lari. Subdit Zoonosis Ditjen PPM &
PLP Depkes RI (2000) memberikan bagan alur sebagai berikut :

250 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Iskandar Syarif

BAGAN ALUR PENATALAKSANAAN


GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES

Kasus gigitan
Anjing, kucing, kera

Hewan penggigit lari/ hilang Hewan penggigit dapat


& tidak dapat ditangkap, ditangkap & diobservasi
mati atau dibunuh 10-14 hari

Luka Risiko Tinggi Luka Risiko Rendah Luka Risiko Tinggi Luka Risiko Rendah

Segera beri Segera diberi Segera beri VAR Tidak diberi VAR
VAR & SAR VAR dan SAR Tunggu hasil obsv

Spesimen otak hewan


Dapat diperiksa Hewan Hewan Hewan Hewan
Di Labor Sehat mati mati sehat

Positif Negatif Stop Beri/lanjutkan VAR Tidak


VAR diberi VAR

VAR Stop
Lanjutkan VAR Spesimen otak hewan
Diperiksa di Lab

Jika tidak dapat diperiksa


Lanjutkan VAR Positif Negatif

VAR Stop VAR


lanjutkan

Sumber : Subdit Zoonosis Ditjen PPM & PLP Depkes RI (2000)


Keterangan : VAR = Vaksin Anti Rabies
SAR = Serum Anti Raies

251 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Iskandar Syarif

Pedoman di Amerika Serikat (untuk postexposure rabies prophylaxis/


treatment PEP/PET) sebagai berikut.
1. Setiap serangan hewan tanpa diprovokasi terlebih dahulu berisiko
tinggi rabies.
1. Setiap gigitan atau kontak ludah pada membrane mukosa dengan
hewan domestik yang telah diimunisasi sebelumnya dan pemiliknya
dapat menjamin hewannya selama 10 hari maka PEP dapat
ditunda.
2. Pada hewan dengan gejala rabies, hewan tersebut segera dimatikan
dan diperiksa otaknya di laboratorium hewan segera untuk melihat
ada atau tidaknya rabies.
1. Human rabies immunoglobulin dan vaksin diberikan pada kasus risiko
tinggi kecuali pada orang yang telah divaksinasi sebelum terpapar
dan antibody terhadap dapat dideteksi, hanya diberikan vaksin
ulangan tanpa imunoglobulin.

Tabel 6.5. Petunjuk untuk post exposure treatment menurut WHO


Kategori Tipe kontak dengan hewan Pengobatan yang dianjur-
yang diduga kan
I Kontak atau memberi makan Tidak diterapi
hewan, jilatan pada kulit
yang utuh
II Nibbling pada kulit yang
tidak utuh, garutan kecil Berikan vaksin segera
atau aberasi kulit tanpa Stop terapi jika hewan
perdarahan , jilatan pada tetap sehat selama
kulit yang tidak utuh observasi 10 hari atau
jika hewan dibunuh dan
hasil pemeriksaan rabies
negatif pada labora-
torium yang dipercaya
III Satu atau lebih gigitan atau Berikan VAR dan SAR
garutan pada kulit segera. Hentikan terapi
Kontaminasi air liur pada jika hewan tetap sehat
membran mukosa, misalnya selama 10 hari observasi
jilatan atau jika hewan dibunuh
hasil pemeriksaan rabies
negatif pada laboratorium
yang dipercaya

252 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies

Pemberian serum anti rabies (SAR)/Rabies imun globulin (RIG)


yang berasal dari manusia dengan dosis 20 IU/kg BB, sedangkan
yang berasal dari kuda dengan dosis 40 IU/kg BB. Reaksi
anafilaksis jarang terjadi tetapi uji kulit diperlukan pada serum yang
berasal dari kuda. Pemberian SAR ini diinfiltrasikan sebanyak
mungkin di sekitar luka dan sisanya intramuskular dengan jarum
dan tempat yang berbeda dari vaksin. Pemberian SAR dapat
diberikan dalam 7 hari setelah pemberian vaksin dan tidak
diperlukan lagi setelahnya. Serum imunglobulin dari kuda
saat ini dibuat dengan pemurnian lebih baik sehingga efek
sampingnya lebih sedikit atau lebih ringan
Bila uji kulit positif perlu dipertimbangkan bila ada indikasi
dapat tetap diberikan dengan pretreatmen dengan adrenalin/
epinefrin im dan antihistamin dan pasien diperlukan tinggal 1
jam setelah pemberian, test kulit negatif untuk serum dari kuda
ini tidak menjamin tidak akan ada reaksi anafilaksis karenanya
tetap disediakan adrenalin dengan dosis anak 0,01/kg BB dan
dewasa 0,5 ml subkutan atau im. Di Indonesia sampai tahun
2009 tersedia rabies immunoglobulin dari serum manusia
(Imogam dari Aventis Pasteur), setelah tahun ini tidak
tesedia lagi oleh karena kendala biaya. Sedangkan
immunoglobulin dari serum kuda yang dimurnikan juga
belum tersedia.

Vaksin rabies

Vaksin rabies dahulu berasal dari jaringan saraf (nervus tissue


vaksin) yang mungkin masih ada pada beberapa negara tapi di
Indonesia sudah tidak dipakai lagi karena efek samping yang
serius, dapat berupa meningoensefalitis, meningoensefalomielitis,
transverse mielitis dan paralisis tipe Landry. Saat ini vaksin dari
jaringan diploid manusia berupa human diploid cell Vaccine (HDCV)
misalnya imovax rabies vaccine dari Aventis Pasteur dengan reaksi
minimal. Di Eropa dan negara yang sedang berkembang
melisensikan vaksin dari kultur sel monyet vero disebut purified vero
cel vaccine (PVRV) dengan nama dagang Verorab dengan hasil
penggunaan vaksin vero dan HDCV setara. Di Indonesia saat
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 253
Iskandar Syarif

ini yang ada adalah Verorab.


Pemberian vaksin secara standar WHO intra muskular satu
dosis 1 ml atau 0,5 ml tergantung vaksin yang tersedia pada
hari 0, hari ke-3, hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-28. Juga dapat
diberikan reduksi jumlah suntikan dengan 2 dosis pada hari 0, 1
dosis hari ke-7 dan satu dosis hari ke-21 (regimen Zagreb yang
dipakai di Indonesia), dapat mengurangi kebutuhan satu vaksin
dan waktu kunjungan lebih singkat. Suntikan di regio deltoideus
pada dewasa, paha lateral pada anak, dan jangan di daerah gluteus
yang akan menyebabkan serokonversi yang rendah.
WHO berdasarkan penelitian di beberapa negara dan mengingat
biaya yang cukup tinggi dengan standar regimen secara im dapat
diberikan secara intradermal.
· Untuk pemberian intra dermal diperlukan tenaga yang
terlatih pemberian intradermal dan tidak diberikan pada kasus
yang mendapat obat antimalaria kloroquin karena dapat
menurunkan pembentukan antibodi. Dosis intra dermal 0,1 ml
bila sediaan im 0,5 dan 0,2 bila sediaan im 1 ml.
· Pemberian intra dermal dapat berupa two-site intradermal
regimen (2-2-2-0-1-1) yaitu 2 suntikan pada hari 0, ke-3, ke-7,
dan 1 suntikan hari ke-28 dan ke-90 (Thailand red cross) bisa
juga disederhanakan dengan 2-2-2-0-2 tanpa hari ke 90.
(WHO regimen 1998).
Pemberian multi site intradermal regimen (8-0-4-0-1-1), 8
suntikan ID pada hari 2, 4 suntikan hari ke-7 dan masing-masing 1
pada hari ke-28 dan 90. Delapan suntikan ini masing -masing 2
regio deltoideus, 2 supra skapula, 2 regio abdomen dan 2 paha
lateral quadran bawah. Empat suntikan hari ke-7 pada regio
deltoideus dan paha kiri kanan. Vaksin yang sudah dilarutkan dan
tetap dalam suhu 2-8 derajat C, harus dipakai dalam 6 jam
berikutnya. Regimen ID ini sudah dipakai di Thailand (1995),
Srilangka (1995), dan Filipina (1997), negara-negara maju hanya
mengadopsi suntikan im dengan dosis standar, kecuali untuk pre-
exposure prophylaxis. Pemberian secara intradermal tidak diberikan
pada orang-orang dengan penurunan daya tahan tubuh seperti
pemberian kortikosteroid dan anti malaria kloroquin.

254 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Iskandar Syarif

Pemberian vaksinasi sebelum terpapar ini biasanya diberikan


pada orang yang berisiko tinggi terhadap rabies seperti dokter
hewan, petugas karantina hewan, pemburu, penangkap anjing,
tenaga lab yang berhubungan dengan virus rabies sedangkan
pelancong ke daerah endemis masih kontroversi. Dosis sama dengan
vaksinasi pasca terpapar pada hari 0, ke-7, ke-21 atau ke-28 baik im
maupun ID. Booster dapat diberikan 1 kali setelah 1 tahun, umumnya
dapat diulang setelah 1 sampai 5 tahun. Orang ini harus dicek titer
antibodinya setiap 6 bulan bila berhubungan dengan virus aerosol,
dan yang lainnya setiap 2 tahun.
Studi di Vietnam memberikan imunogenisitas dan aman
pemberian vaksinasi pada anak secara im pada umur 2 dan 4 bulan,
secara ID atau pada umur 2, 3, dan 4 bulan. WHO masih mempelajari
pemberian vaksinasi awal pada anak yang hidup di daerah dengan
rabies merupakan problem utama.

Regimen Intramuskular Standar WHO

Dosis : 1 dosis im (1,0 atau 0,5 ml) di otot deltoideus


Hari 0 3 7 14 28

Dengan
SAR/RIG* hari ke 0

Regimen Suntikan Intramuskular pada beberapa tempat


dengan jumlah vaksin dikurangi (2-1-1)

Dosis : 1 dosis im (1,0 atau 0,5 ml) di otot deltoideus


Hari 0 7 21
Jumlah 2 x 1x 1x

255 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Iskandar Syarif

Dengan SAR/RIG* hari 0

256 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies

Regimen Suntikan Intradermal pada 8 tempat (8-0-4-


0-1 -1)

Dosis: 0,1 ml intradermal pertempat suntikan


Hari 0 7 28 90
Jumlah 8x 4x 1x 1
Dengan SAR/RIG hari ke 0

Regimen Suntikan Intradermal pada 2 tempat (2-2-2-


0-1 -1)

Dosis: dosis intradermal 1/5 dari dosis intramuskular


(0,1 atau 0,2 ml) pertempat
Hari 0 3 7 28 90
Jumlah 2x 2x 2x 1x 1x

Dengan SAR/RIG hari ke 0


Atau dapat juga regimen (2-2-2-0-2)
Vaksinasi intradermal (ID)
Berdasarkan penelitian di beberapa negara dan mengingat
biaya yang cukup tinggi dengan standar regimen secara IM, vaksin
dapat diberikan secara intradermal. Suatu penelitian mengenai
pemberian dengan cara intradermal seperti Windiyaningsih di
Indonesia menemukan kadar antibodi protektif dengan pemberian
intradermal pada hari ke-7 paska VAR adalah 0,59+0,17 IU/m,
lebih tinggi dibanding IM (0,18+0,05 IU/ml), namun setelah hari
ke-7, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar antibodi pada
pemberian ID atau IM.
Keuntungan pemberian intradermal adalah kadar antibodi
yang lebih cepat timbul dan lebih ekonomis, sedangkan
kelemahannya adalah memerlukan petugas yang terlatih pemberian
intradermal dan tidak diberikan pada penderita yang mendapat obat
antimalaria kloroquin karena dapat menurunkan pembentukan
antibodi. Dosis intra dermal 0,1 ml bila sediaan IM 0,5 dan 0,2 bila
sediaan IM 1 ml.
Pemberian intra dermal dapat berupa 2-site intradermal regiment
(2-2-2-0-1-1) yaitu 2 suntikan pada hari 0, ke-3, ke-7, dan 1
suntikan hari ke-28 dan ke-90. Pemberian multisite intradermal
regiment (8-0-4-0-1-1), 8 suntikan ID pada hari 0, 4 suntikan hari
ke-7 dan masing-masing 1 pada hari ke-28 dan 90. Delapan
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 257
Iskandar Syarif
suntikan ini masing-masing 2 regio deltoideus, 2 supra
skapula, 2 regio abdomen dan 2 paha lateral kuadran bawah. Empat
suntikan hari ke-7 pada regio deltoideus dan paha kiri kanan. Vaksin yang
sudah dilarutkan dan tetap dalam suhu 2-8 0C, harus dipakai dalam 6-8 jam
berikutnya, namun suatu penelitian di Thailand menyimpulkan bahwa
vaksin yang telah dilarutkan selama 7 hari masih bisa menimbulkan titer
antibodi protektif , baik disuntikan ID 2-2-2-0-1-1 ataupun dengan
modifikasi 2-2-2-0-2.
Regimen ID ini sudah dipakai di Thailand (1995) Srilangka (1995), dan
Filipina (1997), negara-negara maju hanya mengadopsi suntikan IM dengan
dosis standar, kecuali untuk pre-exposure prophylaxis. Pemberian vaksin
secara ID untuk post-exposureprophylaxis lebih effisien bila terdapat
banyak yang akan diberikan vaksin misalnya 5 atau 50 kasus pada satu
tempat pelayanan.
WHO masih mempelajari pemberian vaksinasi lebih awal pada anak yang
hidup di daerah di mana rabies merupakan problem utama. Studi di Vietnam
memberikan imunogenesitas dan aman pemberian vaksinasi pada anak
secara IM pada umur 2 dan 4 bulan, secara ID atau pada umur 2, 3 dan 4
bulan.

Pencegahan pada binatang


Saat ini di negara maju semua binatang peliharaan yang berpotensi
menularkan rabies diberikan imunisasi terhadap rabies, bahkan
pada hewan liar dengan daerah yang sangat luas diberikan umpan
yang ditebarkan dengan pesawat udara (imunisasi secara oral).
Bila 80% populasi anjing dapat divaksinasi sudah cukup untuk
menghambat penularan. Pemusnahan hewan liar terutama anjing
dapat menurunkan penyebaran penyakit ini di Cina, Indonesia,
Thailand dan Vietnam.

258 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Iskandar Syarif

Daftar Pustaka

1. Fishbein DB, Robinson LE: Rabies. N Engl J Med 1999; 329: 1632-8.
2. Adam WG: Rabies. Dalam BehrmanRE, Kliegman RM, Jenson HB penyunting Nelson
Text Book of Pediatrics 17 eds Saunders 2004 h 1101-4.
3. WHO. Weekly epidemiological record. No 14. 2002. http://www.who.int/wer
4. Bertolini J, Merlin M. Rabies httpi/www.emedicine.com. Last update october 2004.
5. SubdinZoonosis Ditjen PPM & PLP Depkes-Kesos RI. BaganTatalaksanaKasus Gigitan
Hewan tersangka Rabies.
6. Warrell MJ, Warrell DA. Rabies and other lyssavirus diseases. Lancet. 2004;363:959-
69.
7. Taplitz RA. Managing bite wounds. Currently recommended antibiotics for treatment
and prophylaxis. Postgrad Med. 2004;116:49-52, 55-6, 59.
8. Knobel DL, Cleaveland S, Coleman PG, Fevre EM, Meltzer MI, Miranda ME et al.
Re-evaluating the burden of rabies in Africa and Asia. Bull World Health Organ.
2005;83:360-8.
9. Wilde H, Briggs DJ, Meslin FX, Hemachudha T, Sitprija V. Rabies update for travel
medicine advisors. Clin Infect Dis. 2003;37:96-100.
10. Rendi-Wagner P, Jeschko E, Kollaritsch H, osterreichische Expertengruppe fur
Reisemedizin. Travel vaccination recommendations for Central and Eastern European
countries based on country-specific risk profiles. Wien Klin Wochenschr. 2005;117
Suppl4:11-9.
11. Richardson M. The management of animal and human bite wounds. Nurs Times.
2006;102:34-6.
12. Jackson AC, Warrell MJ, Rupprecht CE, Ertl HC, Dietzschold B, O’Reilly M, et al.
Management of rabies in humans. Clin Infect Dis. 2003;36:60-3.
13. CDC. Human rabies prevention — United States, 1999. Recommendations of the
Advisory Committee on Immuniza-tion Practices (ACIP). MMWR Morbid Mortal
Wkly Rep. 1999;48(RR-1):1-21.
14. World Health Organization Expert Consultation on Rabies. World Health Organ Tech
Rep Ser. 2005;931:1-88.
15. Khawplod P, Wilde H, Sirikwin S, Benjawongkulchai M, Limusanno S, Jaijaroensab W,
Chiraguna N, et al. Revision of the Thai Red Cross intradermal rabies post-exposure
regimen by eliminating the 90-day booster injection. Vaccine. 2006;24:3084-6.
16. Heudorf U, Tiarks-Jungk P, Stark S. Travel medicine and vaccination as a task of
infection prevention. Gesundheitswesen. 2006;68:316-22.
17. Rupprecht CE, Gibbons RV. Clinical practice. Prophylaxis against rabies. N Engl J
Med. 2004;351:2626-35.
18. Widianingsih C. Respon imun pasca vaksinasi anti rabies intra dermal
dibandingkan dengan vaksinasi anti rabies intra muskuler pada gigitan hewan
penular rabies. (Desertasi) FKM-UI Jakarta 2007.

19. WHO Recommendation for rabies post-exposure treatment and correct technique
259 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Iskandar Syarif
of intra dermal immunization against rabies 1996.
20. Canada communicable Desease up-date on rabies vaccines 2005.
21. Khowplod P, Wilde H, Tantawichien T. at all. Potency, sterility and
immunogenesiti of rabies tissue culture vaccine after reconstitution and
refrigerated storage for 1 week. Vaccine; 20:. 2240-2.
22. Manning SE, Rupprecht CE, Fishbein D, et all. Human rabies prevention in US
2008. Recommendation of advisory committee on immunization practice 2008.
23. Montalban CS, Bravo L, Compos-Caoli JD, et all. Handbook on Rabies and dog
bites. Philiphine 2005
24. Plotkin SA, Clark HF, Rupprecht CE. Rabies virus in Feigin RD, Demmler-
Harrison GJ, Cherry JD, Kaplan SL editors Textbook of Pediatric Infeksius
Disease edisi ke 6, 2009; 2494-2511.
25. Bourhy H, Dautry-Versat A, Hortez PJ, Salomon J. Rabies, Still Neglected after
125 years of vaccination. Plos neglected tropical disease, 2010;
http://www,plosntds.org
26. Gompf SG et-all. Rabies diakses dari
http;//emedicine.medscape.com/article/220967 last up-dated Jan 12, 2011.

260 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VI-7
INFLUENZA
Cisy Kartasasmita

Influenza adalah penyakit infeksi saluran nafas yang disebabkan


oleh virus influenza A dan virus influenza B. Penyakit ini sangat
menular, yang dapat mengakibatkan komplikasi serius. Namun
demikian, seringkali masyarakat dan dokter, memakai istilah
“influenza” atau “flu” untuk setiap penyakit infeksi saluran naf as
dengan gejala demam, rinitis, nyeri tenggorokan, batuk, nyeri
kepala, nyeri otot, apapun virus penyebabnya, dikenal sebagai
influenza like illness (ILI). Gejala tersebut tidak spesifik, dan di masa
lalu mungkin tidak penting untuk mendeteksi virus penyebabnya,
karena pengobatannya simtomatis. Pada saat ini dengan adanya
obat dan vaksin untuk pencegahan beberapa jenis virus, perlu
dipastikan virus penyebab penyakit tersebut.

Pemberian vaksin influenza yang dilemahkan (inactivated influenza


vaccine) kepada individu yang berisiko timbulnya komplikasi infeksi,
merupakan satu-satunya cara untuk pencegahan atau mengurangi
infeksi influenza serta mencegah kematian pada saat epidemi.
Setelah vaksinasi hampir semua orang dewasa yang divaksinasi
mempunyai titer antibodi yang dapat melindunginya dari galur
(strain) virus yang ada di dalam vaksin. Sebagai tambahan, individu
tersebut juga diproteksi terhadap berbagai varian. Bayi, orang usia
lanjut, dan pasien dengan gangguan kekebalan, akan menghasilkan
titer antibodi yang rendah setelah vaksinasi. Dengan perkataan lain
vaksin influenza lebih efektif untuk mencegah komplikasi saluran
nafas bawah atau komplikasi lain, daripada mencegah infeksi. Harus
diingat bahwa vaksin influenza tidak mencegah infeksi primer akibat
virus lain maupun bakteri patogen dalam saluran nafas.

261 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Cissy Kartasasmita

Virologi

Virus influenza merupakan virus bersampul (enveloped viruses),


termasuk kelompok Orthomyxoviridae. Gambaran karakteristik
virus yaitu mempunyai glikoprotein dipermukaannya, yaitu
hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Dijumpai 3 tipe virus
yaitu A, B dan C. Influenza tipe A terdiri dari beberapa sub-tipe,
yang dibedakan berdasarkan surface antigen HA dan NA. Telah
dapat diidentifikasikan 15 HA dan 9 NA subtipe yang berbeda.
Tiga tipe hemagglutinin (H1, H2, dan H3) dan 2 tipe NA (N1 dan
N2) dapat diidentifikasi pada virus influenza manusia. Antigen
HA berperan terhadap penempelan virus (virus attachment) pada
sel manusia, dan sebagai mediator untuk reaksi bersatunya sampul
virus dan membran sel, melalui persatuan ini kemampuan akses
virus ke bagian dalam sel meningkat. Sedangkan neuraminidase (N1
dan N2) berperan terhadap penetrasi virus ke dalam sel manusia.
Variasi kedua glikoprotein eksternal HA dan NA, adakalanya secara
periodik berubah, hal ini menyebabkan perubahan antigenisitas.
Virus yang sudah berada dalam sel, maka RNA akan replikasi
dan protein virus disintesis menghasilkan ribuan partikel virus
baru per sel. Akibat infeksi tersebut sel pejamu mati. Proses lisis
sel parenkim paru dan saluran nafas, mengakibatkan deskuamasi
epitel saluran nafas.

Antigenic shift

Antigenic shift merupakan perubahan besar (major) salah satu antigen


permukaan (HA dan atau NA), sehingga dihasilkan subtipe virus
dengan HA baru (dan/atau NA baru). Menurut informasi yang
mutakhir reservoar alamiah untuk virus influenza adalah burung,
semua subtipe 15HA dan 9 NA dapat diidentifikasi pada burung.
Bila terjadi proses antigenic shift subtipe virus influenza baru akan
diperkenalkan ke manusia. Berbagai jalan bisa menghasilkan subtipe
virus baru.

262 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Cissy Kartasasmita

Pertama, melalui genetic reassortment antara virus manusia dan


unggas (avian), yaitu virus manusia yang bersirkulasi mengubah
segmen gen-nya dengan virus avian. Hal ini terjadi kalau sel
pejamu terinfeksi oleh 2 virus influenza A. Segmen RNA kedua
virus bereplikasi dalam nukleus sel, sehingga dihasilkan galur virus
ketiga yang baru. Binatang yang diyakini selama ini bisa sebagai
intermediate host tempat genetic reassortment adalah babi, karena
babi mempunya mixing vessels yang ideal, selain babi bisa terinfeksi
baik oleh virus manusia maupun unggas. Akhir-akhir ini diduga
pada manusia juga bisa terjadi karena tersedianya mixing vessels
tersebut.
Kedua, transmisi langsung dari unggas ke manusia tanpa
melalui langkah reassortment, seperti terbukti penularan flu burung
di Hongkong tahun 1997. Saat itu virus yang diidentifikasi pada
manusia dan ayam sama jenisnya, yaitu H5N1. Pada kejadian
tersebut 18 orang terinfeksi dan 6 diantaranya meninggal. Begitu
pula penyebaran avian influenza di berbagai negara termasuk di
Indonesia.
Ketiga, virus “lama” yang pernah bersirkulasi pada manusia
beberapa waktu lalu beredar kembali, seperti yang terjadi di
Rusia (Russian flu) tahun1977. Virus Rusia tersebut (H1N1) pernah
bersirkulasi sebelum tahun 1957 dan mengakibatkan epidemik besar
tahun 1950. Karena populasi secara imunologi naif terhadap subtipe
virus tersebut, infeksi dapat segera menyebar dan mengakibatkan
tingginya morbiditas dan mortalitas di seluruh populasi. Biasanya
diasosiasikan dengan pandemik.
Tiga influenza pandemik utama di dunia terjadi di abad ke
20. Pertama adalah Spanish flu, yang disebabkan oleh virus H1N1
influenza A, terjadi tahun 1918 -1919, setelah Perang Dunia I
menyebabkan kematian sedikitnya 40 juta orang. Kedua terjadi
tahun 1957, dikenal sebagai Asian flu, disebabkan oleh virus H2N2
dan ketiga Hong Kong flu, terjadi tahun 1968 akibat virus H3N2.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 263


Cissy Kartasasmita

Antigenic drift

Antigenic drift merupakan perubahan kecil (minor) pada antigen


permukaan yang timbul akibat mutasi viral genome, sehingga
terjadi substitusi asam amino pada tempat antigenik. Antigenic drift
akan menghasilkan varian/galur baru yang berbeda secara parsial
dengan galur terdahulu. Tergantung dari mutasinya, subtipe baru
kemungkinan masih bisa dikenal secara parsial oleh pertahanan
imun pejamu. Akibat dari perubahan antigenic drift dapat terjadi
epidemi influenza yang baru. Di negara empat musim biasanya
terjadi epidemi saat musim dingin. Namun adakalanya antigenic drift
sangat dominan sehingga galur yang baru sangat berbeda dengan
induknya, hal ini menyerupai antigenic shift, akibatnya bisa terjadi
pandemi seperti yang terjadi di Hongkong tahun 1968.
Influenza A dapat menyebabkan penyakit yang sedang maupun
berat pada semua umur. Selain menyebabkan penyakit pada manusia
juga pada binatang seperti babi dan burung. Influenza B umumnya
menyebabkan penyakit yang lebih ringan dibandingkan yang tipe
A, dan terutama menyerang anak-anak. Influenza B lebih stabil
dari influenza A, dengan sedikit antigenic drift dan menyebabkan
immunitas yang cukup stabil. Virus ini hanya menyerang manusia.
Virus influenza B mungkin dapat dihubungkan dengan sindom Reye.
Influenza C sangat jarang dilaporkan menyebabkan penyakit pada
manusia, mungkin karena pada umumnya bermanifestasi subklinis.
Tidak pernah dihubungkan dengan epidemi. Nomenklatur untuk
mendeskripsi kan tipe virus influenza berdasarkan urutan sebagai
berikut (1) tipe virus, (2) tempat dimana virus pertama kali di isolasi,
(3) nomor galur, (4) tahun isolasi, (5) subtipe virus.

Epidemiologi
Penularan virus melalui udara (aerosol) dan percikan ludah (droplets)
kontak langsung dari seseorang yang infeksius. Penularan terjadi 1-
2 hari sebelum gejala timbul sampai 4-5 hari sesudahnya. Tak ada

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 264


Influenza

status karier. Virus influenza seringkali menyebabkan kejadian luar


biasa (KLB), baik berupa epidemi maupun pandemi influenza. Setiap
kurun waktu tertentu, sepuluh tahun atau mungkin lebih, sub-tipe
influenza A baru muncul, dan menyebabkan pandemik, seperempat
atau lebih populasi dunia akan terserang pada satu periode jangka
pendek. Sporadik KLB dapat terlokalisasi di keluarga, sekolah, dan
komunitas yang terisolasi.
Jaringan Intemasional WHO untuk surveilans influenza
meliputi 110 National Influenza Centers di 83 negara, memonitor
aktivitas inluenza di dunia. Data surveilans setiap tahun
dipergunakan sebagai rekomendasi panduan untuk komposisi
vaksin. Penyakit influenza timbul terutama pada musim dingin
dan mencapai puncaknya dari Desember sampai Maret di daerah
yang beriklim subtropis, tetapi dapat timbul lebih awal atau lebih
lambat. Selama tahun 1976-2001, di Amerika Serikat aktivitas
puncak timbul paling sering pada bulan Januari (24%) dan
Februari (40%) dan rata-rata terjadi 20.000 kematian per tahun.
Pada daerah tropis influenza dapat timbul setiap saat selama
setahun. Pada anak usia 0-4 tahun, angka perawatan rumah
sakit adalah 500 per 100.000 orang yang berisiko tinggi dan 100
per 100.000 orang yang tidak berisiko tinggi. Dalam kelompok
usia 0-4 tahun, angka perawatan rumah sakit tertinggi adalah
anak umur 0-1 tahun dan angka ini sama dengan angka yang
ditemukan pada orang usia ≥ 65 tahun.

Kematian akibat influenza dapat disebabkan oleh pneumonia,


ataupun eksaserbasi penyakit kardiopulmonal dan penyakit
kronis lainnya. Pada penelitian epidemi influenza yang terjadi
dari tahun 1972-1973 sampai 1994-1995, kematian terjadi selama
19 dari 23 musim epidemi influenza. Selama 19 musim influenza
tersebut, perkiraan angka kematian akibat influenza kira-kira
30 sampai > 150 kematian per 100.000 orang usia ≥ 65 tahun.
Lebih dari 90% kematian pada lansia karena pneumonia dan
influenza.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 265


Cissy Kartasasmita

Manifestasi Klinik

Secara umum flu merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang


bisa sembuh spontan. Virus influenza biasanya tidak menyebar
kemana-mana karena cenderung diam di epitel saluran nafas dan
paru paru. Oleh karena itu sangat jarang virus masuk ke sirkulasi
darah atau organ lain. Masa inkubasi umumnya 2 hari, bervariasi
antara I - 4 hari. Gejala klinis bisa ringan atau berat tergantung
virulensi virus. Gejala ditandai dengan demam tinggi mendadak (38
– 400C), merupakan gejala utama, dapat disertai nyeri kepala, nyeri
otot (mialgia), lemas, nafsu makan hilang, lelah, muntah dan diare.
Gejala saluran pernafasan seperti pilek, hidung tersumbat, dan nyeri
menelan. Batuk yang mula mula kering berubah menjadi produktif
dengan sputum yang tidak banyak, dan bening kental (mukoid),
namun bisa purulen. Batuk terjadi sebagai akibat destruksi epitel
trakea. Gejala demam dan saluran nafas tersebut bisa berlangsung
lima hari, namun bisa berlangsung 7 – 10 hari. Sedangkan rasa lemah
dan batuk bisa menetap sampai 1 – 2 minggu kemudian. Perjalanan
penyakit dapat lebih berat dan dapat berisiko menyebabkan
kematian pada lansia, pasien penyakit paru atau jantung kronis.

Vaksinasi influenza

Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif ( inactivated


influenza virus), diproduksi dari virus yang tumbuh pada embrio
ayam. Formulasi vaksin influenza di-review secara berkala, sehingga
perubahan komposisi menyesuaikan dengan antigenic shifts dan
antigenic drift. Vaksin influenza mengandung antigen dari 2 subtipe
virus influenza A dan satu galur virus influenza B, subtipe-nya
setiap tahun direkomendasikan oleh WHO. Rekomendasi WHO
berdasarkan virus yang bersirkulasi pada suatu musim influenza,
yang didapat dengan melakukan surveilans aktif galur influenza
baru di dunia. Rekomendasi WHO ada 2 setiap tahun untuk dunia
belahan utara (northern hemisphere) dan belahan selatan (southern
hemisphere). Namun pada umumnya tidak banyak beda antara

266 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Influenza

galur untuk kedua belahan bumi tersebut. Galur tersebut akan di


rekomendasikan untuk vaksin di tahun yang akan datang. Untuk
periode 2006–2007 WHO merekomendasikan untuk belahan utara
vaksin influenza berisi A/New Caledonia/20/99(H1N1)-like virus,
A/Wisconsin /67/2005 (H3N2)-like virus dan B/Malaysia/2506/2004-
like virus. Sedangkan untuk belahan bumi selatan berisi A/New
Caledonia/20/99(H1N1)-like virus, A/Wisconsin/67/2005(H3N2)-like
virus dan B/Malaysia/2506/2004-like virus, untuk kedua belahan
bumi tidak banyak perbedaan galur virusnya. Untuk daerah sekitar
katulistiwa dapat menyesuaikan.

Vaksin influenza

o Terdapat dua macam vaksin yaitu whole-virus vaccine dan


split-virus vaccine.
o Untuk menjaga agar daya proteksi berlangsung terus
menerus, maka perlu dilakukan vaksinasi secara kontinu teratur
setiap tahun, menggunakan vaksin yang me ngandung galur yang
mutakhir.
o Vaksinasi influenza menunjukkan keefektifan tinggi.
o Vaksin influenza inaktif aman dan imunogenisitas tinggi.
o Vaksin influenza harus disimpan dalam lemari es dengan
suhu 2oC-8oC. Tidak boleh dibekukan.

Saat ini di Indonesia telah beredar 2 macam vaksin influenza yaitu


Fluarix (GSK) dan Vaxigrip (Aventis Pasteur ).

Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI (15 Juni 2006)


o Imunisasi influenza untuk anak sehat usia 6–23 bulan
o Semua orang usia ≥ 65 tahun
o Anak dengan penyakit kronik seperti asma, diabetes,
penyakit ginjal, kelemahan sistim imun
o Anak dan dewasa yang menderita penyakit metabolik
kronis, termasuk diabetes, penyakit disfungsi ginjal,
hemoglobinopati dan imunodefisiensi

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 267


Cissy Kartasasmita

o Orang yang bisa menularkan virus influenza ke seseorang yang


berisiko tinggi mendapat komplikasi yang berhubungan dengan
influenza, seperti petugas kesehatan dan petugas di tempat
perawatan dan orang-orang sekitarnya, semua orang yang
kontak serumah, pengasuh anak usia 6–23 bulan, dan orangorang
yang melayani atau erat dengan orang yang mempunyai risiko
tinggi.

Jadwal dan Dosis


o Dosis untuk <3 tahun 0,25 ml dan untuk ≥ 3 tahun 0,5 ml.
o Untuk anak yang pertama kali mendapat vaksin
influenza trivalen (TIV) usia ≤ 8 tahun vaksin diberikan 2 dosis
dengan selang waktu minimal 4 minggu, kemudian imunisasi
diulang setiap tahun.
o Vaksin influenza diberikan secara suntikan intramuskular di
otot deltoid pada orang dewasa dan anak yang lebih besar
sedangkan untuk bayi dapat diberikan di paha
anterolateral.
o Pada anak atau dewasa dengan gangguan imun, diberikan 2
dosis dengan jarak interval minimal 4 minggu, untuk
mendapatkan antibodi yang memuaskan.
o Bila anak usia 9 tahun atau lebih cukup satu kali saja,
teratur, setiap tahun satu kali.

KIPI vaksin influenza

Efek samping minimal berupa ruam makula/papula, 9%


menunjukkan reaksi lokal ringan dan transien serta 28% reaksi
sistemik ringan.
o Pada anak usia antara 6 bulan sampai 5 tahun didapatkan
reaksi demam 18%.
o Reaksi lokal nyeri, eritema dan indurasi pada tempat
suntikan, pada 15%-20% resipien, terjadi selama 1–2 hari
o Gejala sistemik tidak spesifik pada <1% resipien berupa
demam, lemas dan mialgia (flu-like symptoms), yang timbul
beberapa jam
268 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008
Cissy Kartasasmita

setelah penyuntikkan, terutama pada anak usia muda, timbul


setelah 6 - 12 jam pasca vaksinasi, selama 1 atau 2 hari.
o Reaksi segera (immediate hypersensitivity seperti hives, angio-
oedema, asma, sistemik anafilaktis) jarang didapat. Hal ini terjadi
karena respons alergi terhadap komponen vaksin, seperti protein
telur. Pasien dengan riwayat anafilaksis setelah makan telur atau
adanya respons alergi terhadap protein telur jangan diberi vaksin
influenza.

Indikasi Kontra

o Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap


pemberian vaksin influenza sebelumnya dan komponen vaksin
seperti telur jangan diberi vaksinasi influenza.
o Termasuk ke dalam kelompok ini seseorang yang setelah
makan telur mengalami pembengkakan bibir atau lidah, atau
mengalami distres nafas akut atau pingsan.
o Vaksin influenza tidak boleh diberikan pada seseorang
yang sedang menderita penyakit demam akut yang berat.
o Tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan menyusui.

Antivirus

Obat antivirus generasi pertama adalah amantadin dan rimantadin,


keduanya merupakan M2 inhibitor. Sedangkan oseltamivir dan
zanamivir adalah golongan neuramidase inhibitor. Obat antivirus
dapat dibedakan menjadi obat-obat untuk pengobatan penyakit
influenza (amantadin, rimantadin dan oseltamivir), dan obat untuk
pencegahan influenza (amantadin, rimantadin, oseltamivir dan
zanamivir). Hanya oseltamivir dan zanamivir efektif untuk influenza
B. Oseltamivir merupakan salah satu pilihan utama mengingat
resistensi virus influenza A terhadap amantadin dan rimantadin
meningkat. Oseltamivir dan oseltamivir carboxylase dapat diberikan
pada anak. Penelitian baru dilakukan pada anak usia 3 – 12 tahun
dan 5 – 16 tahun.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 269


Cissy Kartasasmita

Indikasi pemberian anti virus untuk penyakit influenza


1. Pasien yang berisiko dan orang serumah yang belum mendapat
imunisasi pada waktu infeksi influenza terjadi didaerahnya.
2. Untuk mengendalikan kejadian luar biasa di komunitas terisolasi
atau semi isolasi.
3. Pasien yang berisiko karena adanya riwayat alergi telur (sehingga
tidak dapat diimunisasi).
1. Adanya ketidakcocokan vaksin dan virus yang bersirkulasi.
5. Ancaman pandemik dan vaksin tidak tersedia.

Antivirus untuk influenza harus diberikan dalam waktu 24-48


jam sejak mulai sakit. Obat diberikan secara oral kecuali zanamivir
secara inhalasi. Efek samping berupa keluhan susunan saraf pusat
seperti gelisah sulit konsentrasi, sulit tidur, pusing, nyeri kepala dan
jitteriness dan gangguan perut. Amantadin dan mungkin rimantadin
meningkatkan risiko terjadinya kejang pada anak dengan riwayat
pernah kejang.

Daftar Pustaka

1. Canadian Immunization Guide. Fifth edition, 1998.


2. CDC. Press release, October 2003. The advisory committee onuimmunization practice
vote to recommend influenza vaccination for children aged 6 to 23 months. http://www.
cdc.gov/od/oc/media/pressel/r031016.htm.
3. Offit PA, Bell LM. Vaccines, what you should know. Third edition, Wiley, 2003.
4. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Atkinson W, Humiston
S, Wolfe C, Nelson R. Eds. 5 th edition. Department of Health & Human Services, Public
Health Service, CDC, January 1999.
5. The Australian Immunisation Handbook. 6th edition. National Health and Medical
Research Council (NHMRC), 1997.
6. Red Book. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of
Pediatrics, 2006.
7. Yee TT and Ee AL. What to know about Influenza. Newsletter, 2000.
8. WHO. http://www.who.int/csr/disease/influenza/update/en/index.html.

270 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Influenza

9. Gonzales M, Pirez MC, Dibarboure, Garcia A, Picolet H. Safety and immunogenicity


of paediatric presentation of an influenza vaccine.Ach Dis.Child. 83:488-491, 2000.
10. GoodmanMJ, NordinJD, Harper P, DeFor T, Zhou XZ. The safety of trivalent Infuenza
Vaccine among Healthy Children 6 – 24 months of age. Peasitrics,117:pp:e821-e826,
2006.
11. Wilschut J, McElhaney JE. Influenza. Mosby. Elsevier Limited. The Neherland, 2005.

271 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Influenza

272 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VI-8
PNEUMOKOKUS
Cisy Kartasasmita

Pneumokokus dan H influenzae adalah bakteri gram positif


diplokokus merupakan penyebab terpenting penyakit infeksi
saluran nafas pada masa anak. Diduga di negara berkembang,
setiap tahun sedikitnya 1 juta anak meninggal karena penyakit
infeksi pneumokokus. Pneumokokus selain merupakan penyebab
utama pneumonia, juga menyebabkan meningitis, bakteremia,
sepsis, sinusitis, otitis media, dan konjungtivitis terutama pada anak
usia di bawah 2 tahun dan lansia. Sebagian pneumokokus dapat
ditemukan sebagai flora normal saluran nafas atas, sedangkan yang
lain merupakan kuman yang berhubungan dengan penyakit invasif.
Kemampuan pneumokokus untuk mengadakan invasi karena
peran polisakarida. Pneumokokus menyebabkan penyakit invasif
maupun non-invasif. Penyakit akibat infeksi pneumokokus invasif
antara lain adalah pneumonia, meningitis, bakteremia dan infeksi
di tempat lain dikelompokkan sebagai Invasive Pneumococcal Diseases
(IPD). Risiko untuk seorang anak menderita IPD dipengaruhi
oleh beberapa faktor risiko yaitu umur, jenis kelamin, keadaan
lingkungan, dan berbagai penyakit kronis.

Serotipe pneumokokus ditentukan oleh polisakarida yang


melingkari dinding sel. Sampai saat ini telah dapat diidentifikasikan
lebih dari 90 serotipe. Namun hanya beberapa serotipe menyebabkan
penyakit yang serius seperti IPD. Serotipe 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F,
dan 23F merupakan penyebab terbanyak IPD pada anak di Amerika.
Sedangkan serotipe 6B, 9V, 14, 19A, 19F, dan 23F merupakan isolat
yang tersering yang dihubungkan dengan penisilin resistensi.
Kapsul polisakarida melingkari dinding sel dan merupakan

273 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pneumokokus

komponen utama antigenik kuman, dan merupakan faktor yang


menentukan virulensi kuman. Virulensi pneumokokus ditandai
oleh jumlah polisakarida yang dihasilkan, semakin banyak
menghasilkan polisakarida semakin virulen. Setelah bakteri
melakukan invasi kapsul polisakarida akan memproteksi kuman
dengan cara menginhibisi fagositosis neutrofil dan pemusnahan
bakteri yang klasik melalui sistim komplemen. Faktor penting
untuk terjadinya penyakit pneumokokus termasuk kemampuan
kuman menyerang sistem imun dan tidak adanya antibodi spesifik
terhadap pneumokokus.

Epidemiologi

Pneumokokus merupakan bagian dari flora normal saluran nafas


atas pada anak sehat, dan disebarkan dari manusia-ke-manusia
melalui percikan ludah.
o Dilaporkan bahwa laju pembawa kuman di nasofaring dewasa
berkisar antara 5%–30%, pada anak sehat 20%–50% dan 25%–75%
bayi membawa kuman pneumokokus setiap saat. Kolonisasi
tertinggi didapatkan pada bayi usia muda, laki-laki, anak yang
tinggal di Panti dan anak yang dititipkan di Tempat Penitipan
Anak.
o Faktor risiko lain untuk kolonisasi
o bayi yang tidak dapat ASI,
o infeksi virus pada saluran nafas atas,
o perokok pasif,
o saudara yang dititipkan di tempat penitipan anak,
o negara 4 musim pada musim dingin.
o Beberapa faktor meningkatkan risiko penularan bakteri di
lingkungan keluarga dan rumah tangga yaitu kepadatan hunian,
cuaca, dan adanya pasien infeksi saluran pernafasan bagian atas,
pnemonia, atau otitis.
o Risiko tinggi pada kelainan anatomi dan fungsi adalah:
asplenia, defisiensi imunoglobulin, sindrom nefrotik, multipel
mieloma, AIDS, gagal ginjal kronik, transplantasi organ, dan
keganasan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 274


Pneumokokus

limfoid, penyakit kardiovaskular kronis dan penyakit paru


kronis, diabetes melitus, alkoholisme, sirosis hepatis dan pasien
dengan kebocoran cairan serebrospinal akibat trauma atau pasca
operasi.

Di seluruh dunia 10% dari 12 juta kematian yang diperkirakan


pada balita setiap tahun, disebabkan karena infeksi pneumokokus.
Dari Amerika Serikat dilaporkan insidensi bakteriemia 15-
19/100.000, meningitis 1-2/100.000, kematian 10-30%. Sebelum
imunisasi pneumokokus diberlakukan, setiap tahun di Amerika
Serikat dilaporkan sebanyak 4 juta anak menderita infeksi telinga,
125.000 anak dirawat dengan pneumonia, 2500 kasus meningitis
dan 30.000 sepsis. Di Australia pada suku Aborigin insidensi
infeksi pneumokokus dilaporkan mencapai 200/100.000 per tahun,
dengan kematian 10%. Di Papua New Guinea, hampir 50% kematian
akibat infeksi saluran nafas pada anak berhubungan dengan S.
pneumoniae.
Hasil penelitian di Ujung Berung, Bandung pada 698 balita
dengan pneumonia tidak berat, didapatkan isolat positif 25,4%
dan 67,8% diantaranya positif S.pneumoniae. Penelitian lanjutan di
Majalaya dari 1012 spesimen apus nasofaring, 59,9% isolat positif
untuk pneumokokus dan 42% positif H.influenzae. Penelitian lain di
Ujung Berung, Bandung, pada bayi baru lahir yang diikuti sampai
usia 2 bulan didapatkan 1 isolat positif pneumokokus pada bayi
baru lahir dan 2.8%, 9,3%, 12%, dan 13,9% pada minggu ke 2, ke
4, ke 6 dan ke 8. Pada saat yang sama didapatkan 57,1% saudara
bayi tersebut menunjukkan isolat positif juga, yang kemungkinan
besar merupakan sumber penularan. Penelitian Soewignyo dkk.
yang dilaksanakan di Lombok pada 484 anak umur < 24 bulan,
didapatkan pada 48 kasus S pneumoniae positif, dengan peningkatan
dengan bertambahnya umur. Hasil penelitian pada 169 isolate
ditemukan serotipe 6, 23, 33, 15, 12, 19, 14, 9, 18, 4, 10, 22, dan 7.
Hal lain yang penting adalah meningkatnya resistensi isolat
pneumokokus terhadap berbagai antibiotik. Di Amerika Serikat

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 275


Cissy Kartasasmita

didapatkan resistensi pneumokokus terhadap penisilin sebesar 25%,


dan 79% diantaranya multi drug resistance. Adanya peningkatan
resistensi ini merupakan salah alasan perlunya imunisasi.

Vaksi n

Salah satu kesulitan dalam membuat vaksin pneumokokus karena


ada 90 serotipe yang berbeda yang dapat menyebabkan penyakit.
Namun, hanya 7 serotipe pneumokokus yang mempunyai kontribusi
terhadap 80% infeksi pada anak.

Jenis vaksin

Terdapat 2 macam vaksin pneumokokus


Vaksin pneumokokus polisakarida (pneumococcal polysaccharide
vaccine = PPV). Vaksin PPV 23 valen mengandung 23 serotipe ( 1, 2,
3, 4, 5, 6B, 7F, 8, 9N, 9V, 10A, 11A, 12F, 14, 15B, 17F, 18C, 19A, 19F,
20, 22F, 23F, dan 33F) yang bertanggung jawab terhadap 85%–95%
IPD pada anak dan dewasa di Amerika. Vaksin PPV 23 yang tersedia
di Indonesia adalah Pneumo-23®.

Vaksin PPV tidak dapat merangsang respon imunologik pada


anak usia muda dan bayi sehingga tidak mampu menghasilkan
respon booster. Untuk meningkatkan imunogenositas pada bayi,
dikembangkan vaksin pneumokokus konjugasi.

Vaksin pneumokokus polisakarida konjugasi (pneumococcal


conjugate vaccine = PCV). Vaksin PCV pertama berisi 7-valen,
mengandung serotipe 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F. Ketujuh
serotipe PCV penyebab hampir 90% penyakit pneumokokal invasif
pada anak usia muda di Amerika Serikat dan Canada, dan 75%
anak di Eropa. Vaksin PCV7 yang saat ini beredar di Indonesia
adalah Prevenar®.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 276


Pneumokokus

Tabel 6.6. Perbedaan antara PPV-23 dan PCV-7


PPV-23 PCV-7
o Polisakarida bakteri o Konyugasi polisakarida dengan
o T- independent antigen protein difteri
o Tidak imunogenik pada < 2 o T-dependent
tahun, rekomendasi untuk > 2 o Imunogenik pada anak < 2
tahun tahun
o Imunitas jangka pendek, tidak o Mempunyai memori jangka
ada respon booster panjang
o Mengandung 23 serotipe o Imunitas jangka panjang, respon
14,6B,19F 18C, 23F, 4, 9V, 19A, booster positif
6A, 7F, 3, 1, 9N, 22F, 18B, 15C, o M en ga nd u ng 7 ser ot ip : 4,
12F, 11A, 18F, 33F, 10A, 38, 13 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F
(Pneumo-23®) (Prevenar®)

Impak dari pemberian vaksin

Efikasi PPV23 kebanyakan pada orang dewasa ≥18 tahun, terutama


lansia di atas 60 tahun atau anak ≥2 tahun dengan faktor risiko.
Penelitian case-control pada anak ≥2 tahun dengan risiko dan lansia
≥ 65 tahun di Amerika mendapatkan efikasi sebesar 81% (34%–94%)
pasca vaksinasi.

Efikasi vaksin PCV7 telah diteliti secara luas di banyak negara.


o Penurunan episode pneumonia paling besar pada umur ≤
2 tahun, 32,2% tahun pertama dan 23,4% tahun kedua. Efikasi
100% vaksin PCV7 untuk bayi LBW dan prematur,
o Efek samping sistemik maupun lokal berupa bengkak di
tempat suntikan, nyeri pada rabaan dan demam ≥ 38 0C tidak
berbeda antara bayi BBLR dan bayi berat badan normal.
o Efikasi untuk OMA hasilnya baik, penurunan episode
OMA
yang disebabkan serotipe yang ada dalam vaksin menurun 34%
(21 %–45%). Penurunan 51% terhadap OMA yang karena serotipe
sejenis dalam vaksin.
o Efektif menurunkan 95% sepsis dan meningitis.
o Mengurangi kunjungan berobat.
o Menurunkan kolonisasi di nasofaring.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 277


Cissy Kartasasmita

o Menurunkan kejadian OMA dan IPD, penurunan kejadian


penyakit pada umur < 1 tahun 77%, umur 1 tahun 83%, 2 tahun
73% dan umur 4 tahun 49%. Penurunan kejadian bakteriemia
66%, pneumonia 39% dan meningitis 56%.
o Penurunan resistensi S. pneumonia terhadap penisilin 40%
o Menimbulkan herd effects 40% –55% artinya anak dan
orang dewasa yang tidak diimunisasi akan terlindungi dari
paparan.
o Menurunkan insiden serotipe vaksin sebesar 73% - 94%.

Rekomendasi
Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI telah dikeluarkan pada tanggal
15 Juni 2006

Vaksin pneumokokus polisakarida (PPV 23) diberikan pada,


· Lansia di atas 65 tahun.
· Diberikan pada anak >2 tahun yang mempunyai risiko tinggi
IPD yaitu anak dengan asplenia (kongenital atau didapat),
penyakit sickle cell, splenic dysfunction dan HIV. Imunisasi
diberikan 2 minggu sebelum splenektomi.
· Pasien umur > 2 tahun dengan imunokompromais yaitu
HIV/AIDS, sindrom nefrotik, multipel mieloma, limfoma,
penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ.
· Pasien umur > 2 tahun dengan imunokompeten yang
menderita penyakit kronis yaitu penyakit jantung kronis,
penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes.
· Pasien umur >2 tahun kebocoran cairan serebrospinal.
Catatan: Pasien risiko tinggi tersebut seyogyanya mendapat imunisasi
PCV7 sesuai umur dan pengulangan imunisasi PPV23 setelah 3–5 tahun.

Vaksin polisakarida konjugat (PVC7) direkomendasikan untuk


anak di atas 2 bulan.
· Semua anak sehat usia di atas 2 bulan sampai 5 tahun.
· Anak dengan risiko tinggi IPD termasuk anak dengan
asplenia baik kongenital atau didapat, termasuk anak dengan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 278


Pneumokokus

penyakit sickle cell, splenic dysfucntion dan HIV. Imunisasi


diberikan 2 minggu sebelum splenektomi.
· Pasien dengan immunokompromais yaitu HIV/AIDS,
sindrom nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit
Hodgkin, keganasan lain dan transplantasi organ.
· Pasien dengan immunokompeten yang menderita penyakit
kronis yaitu penyakit jantung kronis, penyakit paru atau ginjal
kronis, diabetes.
· Pasien kebocoran cairan serebrospinal.
· Selainjuga dianjurkan pada anak yang tinggal di rumah yang
huniannya padat, lingkungan merokok, di panti asuhan dan
sering terserang akut otitis media.

Catatan: Anak yang tergolong imunokompeten hanya perlu 1 dosis sedan-


gkan dengan imunokompromais harus mendapat 2 dosis dengan jarak
minimal 2 bulan, diikuti dengan pemberian PPV23 2 bulan kemudian.

Dosis & cara pemberian


o Vaksin PPCV7 diberikan pada bayi umur 2, 4, 6 bulan,
dan diulang pada umur 12-15 bulan.
o Pemberian PCV7 minimal umur 6 minggu,
o Interval antara dua dosis 4-8 minggu,
o Paling sedikit diberikan 2 bulan setelah dosis PCV ketiga.
Apabila anak datang setelah berumur > 7 bulan maka diberikan
jadwal dan dosis seperti tertera pada Tabel 6.7.
Tabel 6.7. Dosis pemberian PVC7 pada bayi ≥ 7 bulan
Umur datang pertama kali Dosis vaksin yang diberikan

7-11 bulan 3 dosis*


12-23 bulan 2 dosis#
≥ 24 bulan sampai 5 tahun 1 dosis
Keterangan:
* 2 dosis interval 4 minggu, dosis ketiga diberikan setelah 12 bulan, paling sedikit
2 bulan setelah dosis kedua
# 2 dosis paling sedikit interval 2 bulan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 279


Cissy Kartasasmita

Imunisasi untuk anak risiko tinggi

Meskipun data terbatas namun kesempatan untuk memberikan


vaksin dengan serotipe yang lebih banyak menjadi dasar pemikiran
pemberian kombinasi ini.
o Setelah pemberian imunisasi PCV7, diberikan lanjutan
imunisasi PPV23.
o Anak yang telah mendapat imunisasi PCV7 lengkap sebelum
umur 2 tahun, pada umur 2 tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan
selang waktu suntik ≥ 2 bulan setelah PCV terakhir.

Reaksi KIPI
Vaksin pnemokokus aman diberikan, tidak menyebabkan efek
samping yang serius. Reaksi KIPI seringkali terjadi setelah dosis
pertama.
o Efek samping berupa eritema, bengkak, indurasi dan nyeri
di bekas tempat suntikan.
o Efek sistemik yang sering terjadi berupa demam, gelisah,
pusing, tidur tidak tenang, nafsu makan menurun, muntah, diare,
urtikaria. Demam ringan sering timbul, namun demam tinggi di
atas 39oC jarang dijumpai dilaporkan setelah pemberian dosis
ketiga.
o Reaksi berat seperti reaksi anafilaksis sangat
jarang ditemukan.
o Pernah juga dilaporkan kejadian berat berupa nefrotik
sindrom, limfadenopati, dan hiper- imunoglobulinemia.
o Reaksi KIPI biasanya terjadi setelah dosis kedua,
namun berlangsung tidak lama, akan menghilang dalam 3
hari.

Daftar Pustaka

1. Canadian Immunization Guide. Fifth edition, 1998.


2. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Atkinson W,
Humiston S, Wolfe C, NelsonR. Eds.5th edition. Department of Health & Human
Services, Public Health Service, CDC, January 1999.
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 280
Cissy Kartasasmita

3. McIntyre P. Pneumococcal vaccines. In Vaccine: Children & Practice 2000;l3:15-17.


4. Offit PA, Bell LM. Vaccines, what you should know. Third edition, Wiley, 2003.
5. Red Book. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of
Pediatric, 1997.
6. DaganR. Can we identify pneumonia that may be reduced by pneumococcal conjugate
vaccines?. In Proceeding of Pneumococcal diseases in Asian Children. Seoul Korea,
2003.
7. Durbin WJ. Pneumococcal infections. Pediatrics in Review, 25: 2004.
8. Kaplan SL, Mason O, Wald ER, Schutze GS, Bradley JS, Tan TQ, Hoffman JA,
Givner LB, Yogev R, Barson WJ. Decrease of invasive pneumococcal infections in
children among 8 Children’s Hospitals inthe United Statesafter the introduction of the 7-
valent Pneumococcal Conjugate Vaccine. Pediatrics; 113:443-449, 2004.
9. Bridy-Pappas, Margolis MB, Center KJ, Isaacman DJ. Streptococcus pneumoniae:
Description of the Pathogen, Disease Epidemiology, Treatment, and Prevention.
Pharmacotherapy 25(9):1193-1212, 2005.
10. Poehling KA, Talbot TR, Griffin MR, Craig AS, Whitney CG, Mstat EZ, Lexau CA,
Thomas AR, HarrisonLH, Reingold AL, Hadler JL, Farley MM, AndersonBJ,
Schaffner W. Invasive Pneumococcal Disease among infants before and after
introduction of Pneumococcal Conjucate Vaccine. JAMA; 295:1668-74. 2006.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 281


Bab VI-9
Rotavirus
Agus Firmansyah

Epidemiologi

Infeksi rotavirus terjadi di seluruh dunia. Pada daerah dengan


empat musim, umumnya terjadi pada musim dingin. Di Indonesia,
puncak kejadian diare karena rotavirus terjadi pada musim panas
yaitu sekitar bulan Juli-Agustus. Diare karena rotavirus terjadi pada
usia 6-24 bulan, dengan puncaknya pada usia 9-12 bulan.
Sepertiga kasus diare yang dirawat di rumah sakit di seluruh
dunia disebabkan oleh rotavirus dengan angka kematian 600.000
pertahun. Angka tersebut mencerminkan 20-25% dari seluruh kematian
akibat diare dan 6% dari seluruh kematian pada balita. Di Indonesia
dilaporkan angka kejadian diare rotavirus di poliklinik rumah sakit
atau Puskesmas berkisar 36-61% dari kasus diare pada balita. Namun
laporan data survailans di tiga rumah sakit di Jogyakarta dan Purworejo
mendapatkan rotavirus sebagai penyebab diare mencapai 53,4% dari
1321 sampel tinja yang diperiksa dan kasus terbanyak berumur 24
bulan. Genotipe terbanyak adalah G1 57,4%, diikuti oleh G4 14,9%, G2
10,9%, dan campuran (mixed infection) G1 dan G2 7,9%.

Patogenesis

Rotavirus menginvasi enterosit matur pada hilus usus halus. Diare


yang terjadi merupakan resultante dari malabsorbsi, sekresi air oleh
sel kripta imatur dan defek transport akibat efek toksik protein virus
(NSP4). Kesembuhan terjadi apabila lapisan epitel usus halus telah
mengalami regenerasi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 282


Gejala klinis
Infeksi rotavirus mungkin asimtomatik atau simtomatik. Masa
inkubasi antara 24-72 jam dan gejala yang timbul didahului oleh
demam dan muntah dan diare berair yang menyebabkan dehidrasi
berat dan kematian. Diare oleh rotavirus berlangsung selama 4-7
hari, 5% kasus disertai kejang demam.

Pengobatan
Pengobatan diare karena rotavirus bersifat suportif, meliputi
rehidrasi dan pemberian makanan sesegera mungkin dan ASI tetap
diberikan selama sakit.

Vaksi n

Vaksin Rotavirus (RV) yang telah ada di pasaran berasal dari human
RV vaccine R/X 4414, dengan sifat sebagai berikut.
· Live, attenuated, berasal dari human RV /galur 89-12.
· Monovalen, berisi RV tipe G1, P1A (P8), mempunyai
neutralizing epitope yang sama dengan RV tipe G1, G3, G4, dan G9
yang merupakan mayoritas isolat yang ditemukan pada
manusia.
· Vaksin diberikan secara oral dengan dilengkapi bufer
dalam kemasannya.
· Pemberian dalam 2 dosis pada umur 6-12 minggu dengan
interval 8 minggu.
· Faktor-faktor yang mengurangi imunogenisitas vaksin RV,
o Apabila diberikan bersamaan dengan OPV (vaksin polio
oral)
o Masih terdapatnya antibodi maternal
o Adanya bakteri enterik patogen di dalam usus

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 283


Agus Firmansyah
Rotavirus

Kejadian ikutan pasca imunisasi


Dari laporan penelitian vaksin RV di Finlandia, Amerika Selatan, dan
Singapura, tidak ditemukan kejadian intususepsi pada vaksin RV
baru. Kejadian ikutan yang dilaporkan adalah diare 7,5%, muntah
8,7%, dan demam 12,1%.

Daftar Pustaka
1. Bass DM. Rotavirus vaccinology: good news and bad news. JPGN 2000; 38;10-11.
2. Barnes G. Rotavirus vaccine. JPGN 2000; 38:12-17.
3. Wiopo SA, Soenarto Y, Breese J, Tholib A, Cahyono A, Aminah, Gentsch JR, Glass
Rl. Surveillance to determine the diseases burden and the epidemiology of rotavirus
in Indonesia. Final report, August 18,2004. Dipresentasikan pada pertemuan Dirjen
PPM & PL Departemen Kesehatan, Jakarta Oktober 2004.
4. Vesikari T, Karvonen A, Korhonan T, Espo M, Lebacq E, Fosters J, Zepp F, Delem A,
De Vos B. Safety and immunogenocity of RIX4414 live atte nuated human rotavirus
vaccine in adults, toddlers and previously uninfected infants. Vaccine 2004; 22; 1836-
42.
5. Bock HL. Rotavirus Vaccine -clinical update. Dipresentasi kan pada Seminar on
Vaccinology Update, Kinabalu Malaysia, 4-7 September 2004.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 284


Bab VI-10
Kolera dan Enterotoxigenic Escherichia coli
(ETEC)
Agus Firmansyah

Kolera disebabkan oleh infeksi enterotoksin yang dihasilkan oleh


Vibrio cholerae serotipe O1 dan O139 dengan gejala-gejala khas,
yaitu serangan mendadak berupa diare cair yang menyemprot
yang kemudian diikuti oleh dehidrasi, asidosis metabolik, dan
hipotensi. Kolera dapat bersifat ringan dan subklinis, namun pada
kasus berat bila tidak diobati dengan cepat dan tepat, separuhnya
akan meninggal. Penyakit ini umumnya ditularkan lewat air atau
makanan yang tercemar dengan tinja manusia, walaupun Vibrio
cholerae dapat pula berkembang biak di air laut dan air tawar.
Meskipun 75% infeksi bersifat asimtomatis atau ringan, infeksi
Vibrio cholerae dapat menimbulkan diare berair yang masif yang
menyebabkan syok dan kematian. Infeksi Vibrio cholerae terjadi
melalui makanan. Penyembuhan nya pada umumnya dengan
resusitasi cairan dan antibiotik akan berhasil baik.

Sejak tahun 1988, tidak ada negara yang secara resmi meminta
sertifikat vaksinasi kolera. Oleh karena vaksin yang beredar saat ini
efikasinya rendah (sekitar 50%) dan relatif banyak efek sampingnya,
maka manfaat vaksinasi kolera banyak dipertanyakan. Keasaman
lambung merupakan daya tangkal yang terpenting terhadap infeksi
kolera. Oleh karena itu, vaksinasi kolera dianjurkan pada turis yang
mempunyai riwayat reseksi lambung, aklorhidria, ulkus peptikum
yang mendapat terapi inhibitor reseptor H2 (misalnya simetidine)
dan proton pump inhibitor (misalnya omeprazol). Secara epidemiologis
daerah-daerah yang tercatat ditemukannya kolera ialah Asia, Afrika,
Timur-Tengah, Amerika Selatan dan sebagian Oseania.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 285


Kolera & Enterotoxigenic
Escherichia coli

Vaksin Kolera

Vaksin kolera-CSL (suspensi V. cholerae klasik serotipe O1 Inaba


dan Ogawa) yang telah dimatikan lewat pemanasan dengan
penambahan fenol 0,5% sebagai pengawet. Vaksin ini memberi
perlindungan terhadap kolera beberapa bulan, vaksin juga tidak
efektif terhadap Vi cholerae O139. Pada uji klinis yang dirancang
dengan baik di Banglades dan Filipina, efektivitas kolera hanya
50-70% dengan lama perlindungannya antara 3-6 bulan.
Vaksin kolera hidup yang dilemahkan diberikan 1 kali suntikan
dan efektif selama 3 tahun. Efek samping berupa anoreksia,
diare dan muntah terjadi pada kurang dari 10% resipien dan
berlangsung sementara. Vaksin kolera hidup oral sedang dalam
pengembangan.

Rekomendasi
· Di beberapa negara kolera bersifat endemis, namun vaksinasi
rutin tidak dianjurkan. Kepada orang yang melakukan perjalanan
dianjurkan lebih baik hati-hati memilih makanan dan minuman,
dipandang lebih penting dari pada vaksinasi.
· Sejak tahun 1973, WHO telah menghapuskan peraturan
tentang vaksinasi kolera. Walaupun demikian, masih ada
pejabat imigrasi beberapa negara yang meminta sertifikat
vaksinasi sebagai syarat. Untuk hal ini orang yang mengadakan
perjalanan telah dinasehatkan mendapat dosis tunggal vaksin
sehingga memiliki sertifikat sebelum berangkat (ini lebih baik
daripada dipaksa mendapat vaksinasi di perbatasan suatu
negara)
· Kenyataan menunjukan bahwa pengawasan perlintasan
perbatasan sangat lemah, maka nasehat di atas masih perlu
dipertanyakan, dan harus ditekankan bahwa tak ada dasar medis
untuk melakukan vaksinasi kolera secara rutin untuk mereka
yang melakukan perjalanan ke luar negeri.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 286


Kolera & Enterotoxigenic
Escherichia coli
Agus Firmansyah

· Dosis vaksin kolera


 Dosis tunggal, diberikan secara intra muskular dalam
 Dosis dewasa 0,5 ml
 Dosis anak umur 5-9 tahun 0,3 ml
 Dosis bayi 0,1 ml
 Dosis kedua diberikan 7-28 hari kemudian, untuk memper-
kuat respons imun, tetapi tidak direkomendasikan kecuali
ada risiko terpajan yang substantif.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi


Pembengkakan dan indurasi dapat terjadi pada tempat suntikan,
sedangkan gejala lain seperti demam, malaise dan reaksi serius
jarang terjadi.

Indikasi Kontra
· Jangan menggunakan vaksin untuk orang-orang yang
diketahui hipersensitif terhadap dosis yang diberikan
sebelumnya atau
· Bayi berumur kurang dari 6 bulan
· Anak-anak yang sering sakit
· Kehamilan merupakan indikasi kontra yang relatif.

Pengelolaan Wabah
Vaksin kolera tidak ada manfaatnya dalam pengawasan kejadian
wabah.

Daftar Pustaka
1. Sood SK. Immunisations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000;
47:1-15.
2. McLellan SLF. Vaccines for travelers. Infect Med 2000; 17:168-71.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 287


3. Jiang ZD, Mathewson JJ, Ericsson CD, Svennerholm AM, Pulido C, DuPont HL.
Characterization of enterotoxigenic Escherichia coli strains in patients with travelers’
diarrhea acquired in Guadalajara, Mexico, 1992-1997. J Infect Dis. 2000;181:779-82.
4. Adachi JA, Jiang ZD, Mathewson JJ, Verenkar MP, Thompson S, Martinez-Sandoval
F, et al. Enteroaggregative Escherichia coli as a major etiologic agent in traveler’s
diarrhea in 3 regions of the world. Clin Infect Dis. 2001;32:1706-9.
5. Shlim DR. Update in traveler’s diarrhea. Infect Dis Clin North Am. 2005;19:137-49.
6. Connor BA. Sequelae of traveler’s diarrhea: focus on postinfectious irritable bowel
syndrome. Clin Infect Dis. 2005;41:S577-86.
7. DuPont HL, Jiang ZD, Ericsson CD, Adachi JA, Mathewson JJ, DePont MW, et al.
Rifaximin versus ciprofloxacin for the treatment of traveler’s diarrhea: a randomized
double blind clinical trial. Clin Infect Dis. 2001;33:1807-15.
8. World Health Organization. Cholera, 2005. Wkly Epidemiol Rec. 2006;81:297-308.
9. Griffith DC, Kelly-Hope LA, Miller MA. Review of reported cholera outbreaks
worldwide, 1995-2005. Am J Trop Med Hyg. 2006;75 973-7.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 288


Bab VI-11
Yellow Fever
Agus Firmansyah

Penyakit yellow fever atau demam kuning disebabkan oleh virus


yellow fever yang termasuk famili flavivirus. Nama yellow diberikan
karena penyakit ini menyebabkan ikterus. Penyakit ini dapat
ringan seperti serangan flu dan dapat seberat hepatitis atau demam
berdarah. Masa inkubasi 2-5 hari. Pada infeksi yang khas, gejala awal
berupa nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Kemudian diikuti
dengan hepatitis virus berat dengan gagal hati dan ginjal. Bila turis
terserang, angka kematiannya cukup tinggi sekitar 50 persen.
Vaksinasi terhadap yellow fever unik karena merupakan satu-
satunya vaksinasi wajib yang disyaratkan oleh beberapa negara
tujuan wisata. Sangat dianjurkan bagi mereka yang mengunjungi
Afrika dan Amerika Selatan. Sejak Juli 1996, 18 negara meminta
Yellow International Certificate Vaccination bagi turis yang memasuki
negara mereka. Negara-negara tersebut adalah Benin, Burkina Faso,
Kamerun, Republik Afrika Tengah, Kongo, Cote d’lvoire, Gabon,
Ghana, Liberia, Mail, Mauritania, Nigeria, Ruanda, Sao Tome, Senegal,
Togo, Zaire di Afrika dan French Guyana di Amerika Selatan.

Epidemiologi
Secara epidemiologis dibedakan dua bentuk yellow fever, yaitu bentuk
yang ada diperkotaan (urban) dan di hutan (jungle). Kedua bentuk
tersebut baik klinis maupun etiologis tidak berbeda. Yellow fever yang
ditemukan di pedesaan adalah suatu epidemi penyakit virus yang
ditularkan dari orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes aegypti. Di daerah-
daerah yang telah dilakukan pemberantasan Aedes aegypti, maka yellow
fever bentuk perkotaan dapat menghilang. Bentuk yang ditemukan di

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 289


Yellow Fever

hutan (jungle yellow fever) adalah yellow fever yang ditularkan di antara
kera oleh berbagai macam nyamuk hutan, yang bila menggigit manusia
dapat menyebabkan infeksi. Bila orang tersebut kemudian digigit oleh
nyamuk Aedes aegypti, dapat menjadi sumber penyebaran yellow fever
bentuk perkotaan. Yellow fever perkotaan muncul secara periodik di
Afrika Selatan pada tahun terakhir ini dan berlanjut lebih sering terjadi
di beberapa daerah di Afrika Barat dan Timur, ditemukan baik di kota
maupun di pedesaan. Tindakan pencegahan terhadap yellow fever
meliputi eradikasi nyamuk Aedes aegypti, perlindungan terhadap gigitan
nyamuk, dan vaksinasi. Yellow fever yang ditemukan di hutan hanya
dapat dicegah dengan cara vaksinasi.

Vaksinasi untuk perjalanan international


Syarat vaksinasi untuk perjalanan internasional tergantung pada
negara yang akan dikunjungi dan jalur perjalanan yang dilalui.
Persyaratan ini dapat mengalami perubahan dari waktu ke waktu
sehingga semua orang yang dalam perjalanan harus mencari
informasi dari pejabat kesehatan negara yang bersangkutan. Orang-
orang yang tak memenuhi persyaratan untuk vaksinasi yellow
fever harus dikarantina. Semua orang yang berumur lebih dari 1
tahun, yang dalam 6 hari saat tiba di suatu negara telah bepergian
dari daerah infeksi sebagai yang tertera dalam daftar WHO, harus
memiliki sertifikat vaksinasi international yang baru (yang masih
berlaku). Sertifikat vaksinasi yellow fever berlaku sampai 10 tahun,
yaitu berlaku sejak 10 hari setelah tanggal vaksinasi atau pada kasus
revaksinasi sebelum masa kadaluwarsa sertifikat yang sebelumnya
telah dimiliki sampai tanggal revaksinasi.

Vaksin yellow fever


• Vaksin yellow fever adalah CSL dari galur 17D, merupakan vaksin
live attenuated, berbentuk vaksin kering beku (freezed dried vaccine),
aman digunakan, dan efektif.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 290


Yellow Fever

· Setiap dosis 0,5 ml berisi tidak kurang dari 1,000 mouse LD50
units.
· Vaksin tersebut dikembangkan dalam embrio ayam dan
berisi tidak lebih dari 2 IU neomisin dan 5 IU polimiksin;
dikemas dalam vial untuk 5 dosis.
· Vaksin disuntikkan subkutan dalam sebanyak 0,5 ml
berlaku untuk semua umur dan dapat memberi proteksi
sampai 10 tahun.
· Vaksin diberikan dalam dosis tunggal dan perlu diulang tiap 10
tahun.
· Tidak boleh diberikan pada anak kurang dari 1 tahun, ibu
hamil, imunokompromais, dan alergi telur.
· Idealnya diberikan lebih dari 10 hari sebelum memasuki
negara tersebut dan berjarak sekurangnya 3 minggu dari
vaksinasi kolera. Vaksinasi hepatitis B dan campak dapat
diberikan berturutan dengan vaksinasi yellow fever.
· Vaksin harus dilindungi dari sinar dan disimpan dalam
keadaan beku di bawah -5°C.
· Setelah diencerkan dengan cairan sodium klorid, harus
disimpan pada suhu 0°C dan dipakai dalam waktu 1 jam.

Rekomendasi
· Bayi umur 6 bulan atau lebih yang melakukan perjalanan
atau bertempat tinggal di daerah yellow fever (saat ini di
beberapa daerah di Afrika Selatan dan Amerika Selatan) harus
divaksinasi. Secara rinci mengenai imunisasi yellow fever dapat
diperoleh dari petugas kesehatan pusat vaksinasi negara yang
bersangkutan.
· Vaksinasi juga dianjurkan untuk mereka yang melakukan
perjalanan ke daerah di luar perkotaan yellow fever endemis. Perlu
waspada terhadap terjangkitnya yellow fever yang belum sempat
dilaporkan dapat menyebabkan meninggalnya turis yang belum
divaksinasi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 291


Agus Firmansyah

· Pada bayi umur kurang dari 6 bulan dan ibu hamil harus
dipertimbangkan untuk vaksinasi bila melakukan perjalanan ke
daerah risiko tinggi, yang perjalanannya tidak dapat ditunda,
dan pencegahan terhadap gigitan nyamuk sulit dilakukan.
· Petugas laboratorium yang mungkin terpajan terhadap virus
yellow fever juga harus divaksinasi.

Kejadian ikutan pasca imunisasi


· Reaksi terhadap vaksin yellow fever galur 17D pada umumnya
bersifat ringan; sekitar 2- 5% penerima vaksin merasa pusing,
mialgia, demam atau gejala ringan lainnya yang terjadi 5-10 hari
setelah vaksinasi.
· Reaksi berat yang sampai mengganggu aktivitas sehari-hari
terjadi pada 20% kasus.
· Reaksi hipersensitivitas vaksin seperti ruam, urtikaria, atau
serangan asma sangat jarang terjadi, yaitu kurang dari 1 dalam 1
juta dosis pada umumnya terjadi pada seseorang dengan riwayat
alergi telur.
· Lebih dari 34 juta dosis vaksin telah didistribusikan, namun
hanya 2 kasus ensefalitis yang ada hubungannya dengan
vaksinasi yellow fever yang telah dilaporkan di Amerika Serikat.
Dari satu kasus yang meninggal, dari jaringan otaknya telah
diisolasi virus galur 17D.

Indikasi kontra
· Bayi berumur 6 bulan atau kurang, walaupun secara teoritis
lebih rentan terhadap kejadian ikutan ensefalitis dibandingkan
dengan anak yang lebih besar.
· Wanita hamil, vaksinasi perlu dipertimbangkan bila risiko
infeksi yellow fever sangat besar. Walaupun belum ada informasi
khusus tentang kejadian ikutan terhadap perkembangan fetus,
namun secara teoritis vaksinasi harus dihindari dan menunda

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 292


Yellow Fever

perjalanan ke daerah yang ditemukan yellow fever sampai setelah


persalinan.
· Gangguan status imun. Virus vaksin yellow fever akan memperberat
penyakit leukemia, limfoma, infeksi HIV simtomatis, penyakit
keganasan pada umumnya, dan juga mereka yang respons
imunnya tertekan oleh kortikosteroid, obat-obat lainnya dan
radiasi.
· Hipersensitivitas. Vaksin yellow fever adalah virus hidup yang
dikembangkan dalam embrio ayam dan tidak boleh diberikan
kepada anak yang hipersensitif terhadap telur. Bila seseorang
mempunyai pengalaman hipersensitif terhadap telur, harus
dilakukan uji intradermal terlebih dahulu dengan pengawasan
medis. Juga terhadap pasien yang sudah jelas hipersensitif
terhadap neomisin dan polimiksin tidak diberikan vaksinasi.
· Pemberian vaksin lain pada hari yang sama. Vaksin virus hidup,
misalnya campak dan kolera tidak boleh diberikan bersama-sama
dengan vaksin yellow fever, diperlukan waktu 4 minggu interval
untuk vaksin tersebut apabila diberikan berurutan.
· Tidak ada data yang menunjukan adanya kemungkinan
pengaruh vaksin lain misalnya tifoid, hepatitis B, rabies, dan
Japanese ensefalitis dengan yellow fever.

Daftar Pustaka
1. Sood SK. Immunizations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000;
47:1-15.
2. McLellan SLF. Vaccines for travelers. Infect Med 2000; 17:168-71.
3. National Health and Medical Research Council. Yellow Fever. Vaccines for foreign
travel Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunization Handbook. Edisi
ke-9. Canberra: NHMRC, 2008.
4. Monath TP. Yellow Fever. In: Plotkin S, Orenstein WA, eds. Vaccines. 3rd ed.
Philadelphia: WB Saunders; 1999. p. 815-80.
5. Monath TP, Cetron MS. Prevention of yellow fever in persons traveling to the tropics.
Clin Infect Dis. 2002;34:1369-78.
6. CDC. Adverse events associated with 17D-derived yellow fever vaccination—United
States, 2001-2002. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2002;51:989-93.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 293


Yellow Fever

7. Marfin AA, Barwick Eidex R, Monath TP. Yellow Fever. In: Guerrant RL, Walker DH,
Weller PF, eds. Tropical infectious diseases: principles, pathogens, & practice. 2nd ed.
Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 797-812.
8. Adhiyaman V, Oke A, Cefai C, Adhiyaman V, Oke A, Cefai C. Effects of yellow fever
vaccination. Lancet. 2001;358:1907-8.
9. ChanRC, Penney DJ, LittleD, Carter IW, RobertsJA, Rawlinson WD. Hepatitis and death
following vaccination with 17D-204 yellow fever vaccine. Lancet. 2001;358:121-2.
10. Struchiner CJ, Luz PM, Dourado I, Sato HK, Aguiar SG, Ribeiro JG, et al. Risk of fatal
adverse events associated with 17DD yellow fever vaccine. Epidemiol Infect.
2004;132:939-46.
11. Troillet N, Laurencet F. Effects of yellow fever vaccination. Lancet. 2001;358:1908-9.
12. CetronMS, MarfinAA, Julian KG, Gubler DJ, Sharp DJ, Barwick RS, et al. Yellow fever
vaccine. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP), 2002. MMWR Recomm. Rep. 2002;51(RR-17):1-11.
13. Khromava AY, Eidex RB, Weld LH, Kohl KS, Bradshaw RD, Chen RT, et al. Yellow
fever vaccine: An updated assessment of advanced age as a risk factor for serious
adverse events. Vaccine. 2005;23: 3256-63.
14. World Health Organization. International Health Regulations. 2005. Geneva. Diunduh
dari http://www.who.int/csr/ihr/en/.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 294


Bab VI-12
Japanese Ensefalitis
Q)skandar Qyarif

Japanese ensefalitis (JE) adalah penyakit radang akut susunan syaraf


pusat yang disebabkan infeksi virus Japanese ensefalitis. JE adalah
penyebab utama penyakit ensefalitis yang disebabkan oleh virus di
Asia. Japanese ensefalitis ditularkan kepada manusia melalui gigitan
nyamuk Culex, Anopheles dan Mansonia.

Epidemiologi
Menurut perkiraan ada sekitar 30.000–50.000 kasus JE dan 10.000
– 15.000 kematian terjadi setiap tahunnya, dan kebanyakan dari
mereka adalah anak. Di daerah endemik, setiap tahunnya kejadian
klinis yang dilaporkan berkisar antara 10-100 per 100.000 penduduk.
Mayoritas orang yang tinggal di daerah endemik JE telah terinfeksi
oleh virus tersebut sebelum berusia 15 tahun. Sejak kasus JE pertama
dicatat pada akhir abad ke - 19, JE telah menyebar jauh dari daerah
asalnya bahkan mencapai Australia pada tahun 2000. Japanese
ensefalitis terjadi terutama di 1) Cina dan Korea; 2) sub-benua
India; 3) Negara Asia Tenggara seperti Kamboja, Indonesia, Laos,
Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand dan Vietnam. Di Indonesia
kasus JE dilaporkan terjadi di Lombok tahun 1960, Surabaya tahun
1968, Jakarta tahun April 1981 sampai Maret 1982,dan di Bali tahun
1999.

Patogenesis
Japanese ensefalitis tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit
ini disebabkan oleh virus yang termasuk genus Flavivirus.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 295


Japanese
Ensefalitis

Virus JE disebarkan melalui nyamuk yang telah terinfeksi. Jenis


nyamuk spesifik yang menularkan virus JE adalah nyamuk Culex
tritaeniochynchus, yang berkembang biak di perairan tanaman padi,
rawa-rawa dan juga pada air menggenang yang terdapat di kolam-
kolam tempat penanaman padi.
Pola penularan JE berbeda-beda antar daerah, bahkan antar
negara, dan dari tahun ke tahun. Di kebanyakan daerah, masa
penularan dimulai pada bulan April dan Mei dan berlangsung
hingga bulan September atau Oktober.
Babi dan burung air, seperti bangau dan lain-lain yang sering
berpindah-pindah mengikuti musim dari belahan bumi Utara
ke Selatan dan sebaliknya adalah host virus yang utama. Sekali
binatang tersebut terinfeksi, virus akan mampu bertahan di dalam
darah mereka tanpa mengakibatkan penyakit yang serius. Virus
ini dapat dengan mudah menyebar pada setiap nyamuk yang
belum terinfeksi yang menggigit binatang yang telah terinfeksi
dan kemudian melanjutkan siklus penularan. Binatang setempat,
kelelawar, ular dan katak dapat juga terinfeksi JE. Manusia dan
kuda merupakan pejamu akhir dari virus dan tidak berkontribusi
pada siklus penularan.
Kira-kira 1 dalam 25 sampai 1 dalam 1000 anak yang terinfeksi
dengan virus JE akan memperlihatkan gejala klinis. Dari yang ringan
sampai berat. Faktor yang menentukan hal ini tidak diketahui.
Diduga adalah jalan masuk virus, jumlah virus, keganasan virus,
faktor pejamu, usia, genetik, keadaan umum dan imunitas.

Manifestasi klinis
Setelah gigitan nyamuk yang infeksius, virus akan memperbanyak
dii dan menimbulkan viemia sebelum menyebar ke sistem syaraf
pusat, termasuk otak dan sumsum tulang belakang. Gejala awal
adalah flu disertai demam, menggigil, rasa lelah, nyeri kepala, mual,
muntah dan penurunan kesadaran. Perasaan bingung dan gelisah,
bahkan kejang serta koma dapat terjadi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 296


Japanese
Ensefalitis

Sebagian besar infeksi tidak dapat dideteksi secara klinis,


hanya menimbulkan gejala-gejala ringan atau bahkan tanpa gejala
sedikitpun. Gejala penyakit diperkirakan terjadi pada rata-rata 1
dari 300 infeksi. Gejala-gejala ini biasanya timbul dalam waktu 4-14
hari setelah terjadinya infeksi dan ditandai dengan gejala seperti
sakit flu, disertai demam mendadak, menggigil, nyeri kepala, rasa
lelah, mual, dan muntah. Pada anak tahap awal dari penyakit dapat
didominasi oleh nyeri perut dan gangguan pada fungsi pencernaan.
Setelah 3-4 hari tanda-tanda gangguan pada saraf akan muncul
disertai perubahan pada tingkat kesadaran dimulai dari limbung
hingga koma.
Masa inkubasi sesudah gigitan nyamuk bervariasi, 5-15 hari
dengan gambaran klinis dibagi atas 3 stadium.
1. Stadium prodromal. Pasien tiba-tiba demam tinggi, disertai
dengan nyeri kepala, lemas, mual, muntah. Gejala ini
berlangsung dalam 1-6 hari.
2. Stadium ensefalitis akut. Demam yang terus menerus, tanda
rangsangan meningeal, kejang, spastis dan gejala piramidal.
Stadium ini berlangsung selama 2 minggu.
3. Stadium akhir atau sekuele, dengan lamanya waktu biasanya
demam berkurang, gejala neurologis menetap, gejala sisa
menetap seperti kerusakan mental, emosi labil, lesi motor
neuron dan afasia.

Beberapa pasien sembuh spontan dan yang lainnya menjadi


meningitis aseptik. Kejang terjadi pada 85% anak dan pada 10%
dewasa. Beberapa anak mengalami kejang yang diikuti perbaikan
kesadaran dengan cepat sehingga didiagnosis kejang demam.
Kejang umum tonik klonik lebih sering terjadi daripada kejang fokal.
Kejang berulang atau kejang lama menandakan prognosis yang
jelek. Gejala lain kejang subtle, twitching jari-jari, mata dan mulut,
nistagmus, deviasi mata atau pernafasan tidak teratur.
Gambaran klasik JE adalah wajah dull flat mask-like dengan mata
tidak berkedip, tremor, hipertonus dan kaku. Didapatkan pada 70-

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 297


Iskandar Syarief

80% anak Amerika dan 20-40% anak Indian. Opistotonus dan kejang
rangsang terjadi pada 15% pasien.
Gejala ektrapiramidal lain adalah head nodding dan pergerakan
pill rolling, opsoklonus mioklonus, koreoatetosis, bizarre facial
grimacing dan lip smacking. Kelemahan saraf facial upper motor neuron
(UMN) terdapat pada 10% anak dan kadang-kadang tidak jelas.
Perubahan pola pernafasan, kelainan pupil dan reflek oculocepalic
merupakan tanda prognosis yang jelek.
Baru–baru ini didapatkan pasien yang terinfeksi JE memperlihat-
kan gejala lumpuh layu mendadak. Kelemahan lebih sering terjadi
pada tungkai dibanding lengan dan biasanya asimetris. Tiga puluh
persen pasien menjadi ensefalitis. Pada pengamatan 1-2 tahun
kemudian terdapat kelemahan yang menetap.
Virus JE dapat berkembang menjadi infeksi serius pada otak
yang berakibat fatal pada 30% dari kasus. Sekitar 40% - 75% akan
menyebabkan kerusakan otak yang serius termasuk kelumpuhan
dan retardasi mental. Walaupun perawatan yang mendukung untuk
ensefalitis dapat menurunkan tingkat kematian, akan tetapi tidak
ada obat yang dapat menyembuhkan JE.
Sebanyak 30%-50% dari kasus yang dinyatakan sembuh akan
mengalami sekuele pada saraf dan kejiwaan termasuk kerusakan
otak dan lumpuh. Kebanyakan kematian dan gejala sisa pada saraf
dan kejiwaan terjadi pada anak berusia di bawah 10 tahun. Infeksi
yang terjadi pada trimester pertama dan kedua dari kehamilan dapat
menyebabkan infeksi dalam rahim yang berakibat pada keguguran.
Kira-kira 30% kasus JE yang dirawat di rumah sakit meninggal dan
1/2 nya dengan gejala sisa yang berat. Gejala sisa berupa fleksi lengan
atas dan hiperekstensi tungkai dengan equine feet. Dua puluh persen
kasus mengalami gangguan kognitif berat dan gangguan bahasa.
Gejala lain berupa kesukaran belajar, masalah tingkah laku dan
kelainan neurologis yang ringan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 298


Japanese
Ensefalitis
Dapat ditemukan peningkatan neutrofil dan hiponatremi.
Peningkatan tekanan intrakranial ditemukan pada 50% pasien dan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 299


Japanese
Ensefalitis

mempunyai prognosis buruk. Terdapat pleositosis 10-100 sel/mm3


dengan limfosit predominan, protein 50-200 mg% dan glukosa
normal.
Diagnosis banding adalah ensefalitis virus lain (arbovirus,
herpes, enterovirus, postinfeksi dan postvaksinasi encepalomielitis),
infeksi susunan saraf pusat (SSP) lain (meningitis bakteri, TBC,
malaria serebral, leptospirosis, tetanus, abses), infeksi lain dengan
manifestasi SSP (tifoid ensefalopati, kejang demam), dan penyakit
noninfeksi (tumor, Reye sindrom, epilepsi, ensefalopati toksik dan
alkoholik).

Diagnosis
Diagnosis JE ditegakkan dengan gejala klinis dan laboratorium.
Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu secara serologis, biologis, identifikasi virus JE dengan PCR,
pemeriksaan darah, dan cairan likuor serebrospinal. Isolasi virus JE
jarang berhasil, mungkin karena rendahnya titer virus dan produksi
antibodi netralisasi.1,2 Secara serologis dapat dilakukan pemeriksaan
secara uji hemaglutinasi inhibisi (HI), uji komplemen fiksasi (CFT),
uji hemolisis radial tunggal, neutralizing antibody (NA). Uji HI dan
NA dapatmendeteksi infeksiJE lebih awal dari CFT dan juga dapat
mendeteksi JE pada stadium lebih lanjut.

Pencegahan
1. Terhadap vektor
Pemberantasan vektor dapat dilakukan secara mekanis, biologis,
kimia, ekologis dan genetik.
2. Terhadap reservoir
Melakukan pemeriksaan secara intensif untuk mengetahui
adanya virus JE atau antibodi dalam tubuh reservoir, sehingga
kemungkinan wabah dapat terdeteksi secara dini.

300 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Japanese
Ensefalitis

3. Pencegahan terhadap manusia


· mencegah terjadinya gigitan nyamuk.
· memberikan kekebalan dengan suntikan pencegahan.

Untuk turis, risiko terkena JE cukup rendah. Tidak lebih dari


1 kasus per tahun yang terdiagnosis pada turis di seluruh dunia.
Pengunjung yang bepergian ke daerah pedesaan dan berada di alam
terbuka atau daerah endemik kemungkinan terkena terutama jika
terjadi epidemi. Vaksinasi bisa dipertimbangkan jika bepergian ke
daerah pedesaan dan tinggal selama lebih dari 2 minggu.
Imunisasi adalah cara yang paling baik untuk mencegah
Japanese ensefalitis. Walaupun vaksin JE sudah ada dan telah
digunakan di beberapa negara, tetapi vaksin tersebut memiliki
banyak keterbatasan. Vaksin tersebut merupakan inactivated mouse-
brain derived vaccine, dan diperlukan satu mencit/tikus untuk
memproduksi setiap dosis vaksin sehingga vaksin tidak dapat
diproduksi sesuai dengan skala yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan. Selain itu diperlukan 3 dosis untuk mencapai 90%
efektivitas dan suntikan tambahan diberikan setiap 3 tahun.

Vaksin JE
· Terdapat tiga macam vaksin JE yang digunakan untuk manusia,
yaitu vaksin inactivated yang dibuat dari kultur jaringan ginjal
marmut, vaksin inactivated galur Nakayama yang dibuat dari otak
mencit dan vaksin hidup yang dilemahkan dari kultur jaringan
ginjal marmut.
· Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan
pada hari 0, 7 dan 28. Untuk anak yang berumur 1-3 tahun dosis
yang diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang
sama.
· Booster diberikan pada individu yang berisiko tinggi dengan
dosis 1 ml 3 tahun kemudian.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 301


Iskandar Syarief

Penelitian terkontrol yang dilakukan di dua daerah endemik


menunjukkan bahwa vaksin JE ternyata efektif dan tanpa
menimbulkan efek samping yang serius bagi vaksinasi selama masa
kanak-kanak. Seri tiga dosis vaksin berhasil mencegah penyakit
JE pada 9 dari 10 orang. Sampai saat ini tidak ada data tentang
keampuhan dan keamanan vaksin JE pada anak berusia di bawah
1 tahun.

KIPI VaksinasI JE

Kemungkinan efek samping dari pemberian vaksin mencakup,


tempat suntikan menjadi kemerahan dan bengkak, demam, nyeri
kepala, bercak pada kulit, menggigil, pusing, mual dan muntah,
serta sakit perut. Juga dapat terjadi reaksi alergi. Saat ini secara
resmi vaksin ini belum masuk ke Indonesia, tapi di beberapa tempat
seperti Bali, vaksin ini tersedia.

Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk JE. Antibiotika tidak efektif
terhadap virus, dan obat anti virus yang efektif untuk mengatasi
penyakit ini belum dikembangkan. Tetapi perawatan pasien
yang baik sangat penting, dan dipusatkan pada pengobatan
terhadap gejala dan komplikasi yang timbul. Kortikosteroid dapat
diberikan, namun hasil penelitian double blind plasebo kontrol tidak
menunjukkan keuntungan pemberian kortikosteoid. Isoquinolon
efektif untuk in vitro dan antibodi monoklonal efektif pada hewan
percobaan.

Daftar Pustaka

1. Solomon T, Dung NM, Kneen R dkk. Japanese encephalitis. J Neurol Neurosurg


Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 302
Japanese
Ensefalitis
Psychiatry 2000; 68: 405-15.
2. Potula R, Badrinath S dan Srinivasan S. Japanese encephalitis in and around
Pondicherry, South India: a clinical appraisal and prognostic indicators for the outcome.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 303


Japanese
Ensefalitis

Journal of Tropical Pediatrics 2003; 49: 48-53.


3. Marfin AA, Gubler DJ. Japanese encephalitis: the need for more effective vaccine.
Didapat dari www.thelancet.com vol 366 Oktober 2005.
4. Masloman N, Widarso HS, Cicilia W. Japanese encephalitis in children. Pediatrica
Indonesiana 2005; 44: 46-8.
5. Harad W, Kuwabara M, Kuwayama M dkk. The clinical features about 5 cases of
Japanese encephalitis reported in Japan 2002. Kansenshogaku Zasshi 2004; 78(12):
1020-5.
6. Solomon T, Dung NM, Kneen R dkk. Seizures and raised intracranial pressure in
Vietnamese patients with Japanese encephalitis. Brain 2002; 125: 1084-93.
7. Sarkar N, Roy BK, Dass SK dkk. Bilateral intracerebral haemorrhages: an atypical
presentation of Japanese encephalitis. J Assoc Physicians India 2005; 53: 144-6.
8. Ohrr H, Tandan JB, Sohn YM dkk. Effect of single dose of SA 14-14-2 vaccine 1 year
after immunisation in Nepalese children with Japanese encephalitis: a case control
study. Didapat dari www.thelancet.com vol 366 Oktober 2005.
9. Halstead SB, Tsai TF. Japanese encephalitis vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA,
editors. Vaccines, 4th edition. Philadelphia: Saunders;2004:919-58.
10. Halstead SB, Jacobson J. Japanese encephalitis. Adv Virus Res. 2003;61:103-38.
11. Marfin AA, Barwick Eidex RS, Kozarsky PE, Cetron MS. Yellow fever and Japanese
encephalitis vaccines: Indications and complications. Infect Dis ClinN Am. 2005;19:151-
168.
12. Solomon T. Flavivirus encephalitis. N Engl J Med. 2004;351:370-378.
13. Monath TP. Japanese encephalitis vaccines: current vaccines and future prospects.
Curr Top Microbiol Immunol. 2002;267:105-38.
14. Plesner AM. Allergic reactions to Japanese encephalitis vaccine. Immunol Allergy Clin
North Am. 2003;23:665-97.
15. Takahashi H, Pool V, Tsai T, ChenRT, and the VAERS Working Group. Adverse events
after Japanese encephalitis vaccination: review of post-marketing surveillance data
from Japan and the United States. The VAERS Working Group. Vaccine 2000;18:2963-
2969.

304 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VI-13
Meningokokus
Dahlan Ali Musa

Epidemiologi
Infeksi meningokok adalah infeksi invasif yang mengakibatkan
meningokoksemia, dan atau meningitis. Penyebabnya adalah
Neisseria meningitidis, suatu bakteri diplokokus gram negatif. Bakteri
yang dapat mengakibatkan penyakit infeksi invasif ini berdasarkan
polisakarida dari permukaan sel bakterinya, dikelompokkan dalam
13 serogrup. Serogrup tersering adalah tipe A,B,C,X,Y,Z,W-135
dan L. Tidak ada hubungan yang pasti antara serogrup atau tipe
dengan virulensi bakteri. Di Amerika, serogrup B dan C
merupakan 45% dari kasus yang dilaporkan. Di tempat lain di dunia,
yang sering mengalami epidemi maka serogrup A sering sebagai
penyebabnya. Di Australia pada tahun 1995 terjadi 2.1 kasus per
100.000 populasi, sebagian besar adalah serogrup B, dengan
puncaknya pada usia 0-4 tahun dan 15-19 tahun. Pada abad ke-20,
epidemi serogrup A terjadi secara siklus setiap 5-10 tahun di daerah
meningitis belt yang dibatasi oleh Sudan di sebelah timur, Gambia
di barat, gurun Sahara di utara, dan daerah hujan tropis bagian
selatan. Di Brazil, India utara, Mongolia dan Nepal dilaporkan banyak
epidemi dalam 10 tahun terakhir ini oleh serogrup A dan C.
Serogrup W-135 didapatkan pada kurang dari 5 % kasus yang
dilaporkan di dunia. Epidemi pertama kali serogrup W-135
dilaporkan terjadi pada musim haji di Saudi Arabia pada tahun
2000, dan pada 2002 dilaporkan telah terjadi epidemi serogrup W-
135 di Afrika Sub-Sahara.

Di masyarakat, pengidap karier Neisseria meningitidis di


saluran nafas yang asimtomatik terdapat sekitar 20%, prevalensi
akan meningkat pada penduduk yang hidup berkelompok di

305 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Meningokokus

suatu lingkungan yang sempit. Infeksi cenderung terjadi di


kelompok yang terlokalisasi, sering diantara anggota keluarga
serumah, kelompok anak-anak prasekolah atau unit militer,
dimungkinkan karena penyebaran organisme galur ganas di
dalam kelompok.

Manifestasi klinis
Masa inkubasi penyakit ini mulai 1 hari sampai 10 hari, biasanya
kurang dari 4 hari. Onset penyakit muncul saat meningokoksemia,
ditandai dengan demam, menggigil, sangat lemah, prostration
dan ruam yang pada awalnya dapat berupa ruam makula, ruam
makulopapular, atau petekie. Pada kasus berat, purpura, koagulasi
intravaskular deseminata, syok, koma, dan kematian (sindrom
Waterhouse-Friederichsen) dapat bermanifestasi dalam beberapa jam,
kecuali mendapat pengobatan yang tepat. Tanda klinis meningitis
meningokok tidak dapat dibedakan dengan meningitis akibat bakteri
patogen lainnya. Komplikasi infeksi meningokok dapat berupa
artritis, miokarditis, perikarditis, endoftalmitis, atau pnemonia.
Di Indonesia belum ada data yang pasti pada anak. Pencegahan
diberikan kepada jemaah haji yang akan berada untuk waktu yang
lama di daerah yang kecil dengan jumlah orang yang sangat banyak
serta padat. Arab Saudia masuk dalam meningitis belt tersebut di atas
yang sering terjadi siklus epidemik meningokokus.

Vaksin tetravalen

· Vaksin tetravalen mengandung lyophilized purified


polysaccharides dari N.meningitidis serogrup A,C,W-135 dan Y,
masing-masing antigen 50 mcg di dalam 0.5 ml dengan fenol
25% sebagai preservasi.
· Tersedia dalam vial 0.5 ml dosis tunggal dengan larutan
garam faali sebagai pelarut dalam botol yang terpisah dan vial 10
dosis dengan vial pelarut yang terpisah.

306 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Dahlan Ali Musa

· Saat
ini
belum

tersedia vaksinuntuk mencegah anak dari penyakit serogrup B, karena


vaksin yang mengandung polisakarida kapsul bakteri yang
dimurnikan dari serogrup B secara imunogenik terlalu lemah
untuk merangsang pembentukan antibodi.
· Imunitas yang memberi perlindungan bertahan selama 3 tahun.

Rekomendasi
· Vaksin diberikan secara injeksi subkutan dalam
· Vaksin diberikan kepada anak berusia 2 tahun atau lebih.
Pada 90% penerima vaksin yang berusia 2 tahun atau lebih,
vaksin tetravalen ini menghasilkan antibodi dalam waktu 10-14
hari setelah pemberian vaksin.
· Vaksin boleh diberikan bersamaan dengan vaksin lain
asalkan pada tempat yang berbeda
· Vaksin disimpan pada temperatur 2oC-8oC dan tidak boleh
beku.

Indikasi
· Imunisasi meningokok secara rutin pada anak tidak
dianjurkan
· Imunisasi perlu dianjurkan pada anak usia 2 tahun atau
lebih yang mempunyai risiko tinggi.
· Vaksin diindikasikan untuk mengontrol kejadian luar biasa
oleh salah satu serogrup yang dikandung oleh vaksin.
· Imunisasi akan sangat menguntungkan bagi pelancong
yang menuju daerah atau negara yang dikenal sebagai
daerah hiperendemik atau epidemik penyakit
meningokok.

307 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Dahlan Ali Musa

Imunisasi ulang
· Antibodi meningokok pada orang dewasa dapat bertahan
selama 10 tahun, tetapi pada anak khususnya yang menerima
vaksin pada usia di bawah 4 tahun kadar antibodi dengan cepat
menurun dalam kurun waktu 3 tahun pertama.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 308


Meningokokus

· Apabila terpapar dengan risiko baru atau risiko yang terus


menerus oleh infeksi subgrup C, maka imunisasi ulang perlu
diberikan setelah 1 tahun kepada anak yang menerima imunisasi
pada usia kurang dari 4 tahun dan setelah 5 tahun kepada anak
yang menerima imunisasi pada usia di atas 4 tahun.
· Imunisasi ulang pada orang dewasa sebelum 5 tahun dari
imunisasi pertama tampaknya tidak diperlukan, demikian pula
apabila terjadi paparan baru terhadap penyakit dalam kurun
waktu tersebut.

Kejadian ikutan pasca imunisasi


Reaksi sangat jarang terjadi setelah imunisasi
· Apabila ada sangat ringan, berupa rasa sakit lokal dan
kemerahan lokal selama 1-2 hari.
· Kadang terjadi neuritis brakialis pada lengan yang disuntik

Daftar Pustaka

1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The
Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008.
2. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo,
WB Saunders, 2004.
3. LK American Academy of Pediatrics. Meningococcal infections. In: Pickering LK,
editor. Red book: 2003 Report of the Committee on Infectious Disease. 26th ed. Elk
Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003. p. 430-6.
4. CDC. Prevention and control of meningococcal disease: recommendations of the
Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep.
2005;54(RR-7):1-21.
5. Rosenstein NE, Perkins BA, Stephens DS, et al. Meningococcal disease. N Engl J Med.
2001;344:1378-88.
6. Maiden MC, Stuart JM; UK Meningococcal Carriage Group. Carriage of serogroup C
meningococci 1 year after meningococcal C conjugate polysaccharide vaccine. Lancet.
2002;359:1829-31.
7. CDC. Update: Guillain-Barré Syndrome among recipients of Menactra meningococcal
conjugate vaccine—United States, October 2005-February 2006. MMWR Morbid Mortal
Wkly Rep. 2006;55: 364-6.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 309


Dahlan Ali Musa

8. CDC.
Notice
to

Readers: Recommendation from the Advisory Committee on Immunization Practices


(ACIP) for Use of Quadrivalent Meningococcal Conjugate Vaccine (MCV4) in
Children Aged 2-10 Years at Increased Risk for Invasive Meningococcal Disease.
MMWR 2007;56(48):1265-1266.
9. CDC. Notice to Readers: Revised Recommendations of the Advisory Committee on
Immunization Practices to Vaccinate All Persons Aged 11-18 Years with Meningococcal
Conjugate Vaccine. MMWR 2007;56(31):794-795.

310 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Dahlan Ali Musa

311 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VI-14
HUMAN PAPILLOMAVIRUS
Kusnandi Rusmil

Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) pada genitalia merupakan


suatu infeksi yang sering terjadi dan bersifat asimtomatik. Infeksi
HPV dapat sembuh sempurna, namun apabila menetap lebih dari 2
tahun (persistent infection) dapat berkembang menjadi lesi pra-kanker
disebut CIN= cervical intraepithelial neoplasia, dalam 9-15 tahun akan
menjadi kanker serviks (kanker leher rahim) dengan kejadian 1/625
infeksi HPV. Terbukti hasil pemeriksaan patologi dari spesimen
pasien kanker serviks 99,7% ditemukan HPV DNA, tipe risiko tinggi
atau disebut tipe onkogenik, 70% terdiri dari tipe 16 dan 18.

Epidemiologi

Secara global kanker leher rahim menempati posisi kedua penyebab


kematian wanita akibat kanker. Setiap tahun ditemukan 510.000
kasus baru, 288.000 kasus meninggal, atau setiap dua menit seorang
wanita meninggal oleh karena penyakit ini. Kejadian kanker leher
rahim 80% kasus dijumpai di negara yang sedang berkembang.
Di Asia Pasifik setiap empat menit seorang wanita meninggal
dunia sedangkan di Indonesia angka kejadian kanker leher rahim
merupakan penyebab kematian pertama kanker pada perempuan.
Diperkirakan terdapat 80-100 kasus baru kanker leher rahim per
100.000 penduduk pertahun.
Angka kejadian infeksi diperkirakan 6,2 juta kasus baru pertahun.
Kejadian infeksi pada wanita berkisar 50%-80% selama hidupnya,
50% diantaranya merupakan tipe onkogenik. Kanker leher rahim
merupakan manifestasi klinis dari infeksi (HPV) persisten.

312 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Risiko tertinggi infeksi HPV terjadi pada usia remaja dan kanker
leher rahim bisa mengenai wanita mulai umur 15 tahun.

Faktor risiko
Faktor risiko yang berperan untuk terjadinya kanker leher rahim
adalah infeksi HPV menetap yang terjadi sejak usia muda.
Sedangkan ko-faktor yang mempengaruhi infeksi HPV menjadi
kanker leher rahim adalah hubungan seksual yang dimulai pada
usia muda, berganti-ganti pasangan, pemakaian alat kontrasepsi
hormonal, tingginya frekuensi persalinan, imunosupresi/ infeksi
HIV (human immuno deficiency virus), koinfeksi klamidia, koinfeksi
HSV-2 (herpes simplex virus-2), perokok aktif atau pasif, faktor
genetik, status sosial ekonomi rendah (gizi buruk, pendapatan dan
pendidikan rendah, dan kurangnya fasilitias untuk skrining dan
pelayanan kesehatan).

Vaksin HPV
o Penelitian vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen
menunjukkan imunogenisitas yang tinggi.
o Vaksin HPV yang telah beredar di Indonesia dibuat
dengan teknologi rekombinan. Vaksin HPV berpotensi untuk
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan infeksi HPV.
o Terdapat 2 jenis vaksin HPV
o Vaksin bivalen (tipe 16 dan 18, Cervarix@)
o Vaksin quadrivalen (tipe 6, 11, 16 dan 18, Gardasil@),
o Vaksin HPV mempunyai efikasi 96%-100% untuk mencegah
kanker leher rahim yang disebabkan oleh HPV tipe 16/18. Vaksin
HPV telah disahkan oleh Food and Drug Administration (FDA)
dan Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) dan di
Indonesia sudah mendapat izin edar dari Badan POM RI.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 313


Kusnandi Rusmil
Human Papilloma Virus

KIPI vaksin HPV


o Efek samping lokal vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen
adalah
nyeri, reaksi kemerahan dan bengkak pada tempat suntikan.
o Efek samping sistemik vaksin HPV bivalen dan
kuadrivalen adalah demam, nyeri kepala dan mual.

Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI


o Imunisasi vaksin HPV diperuntukkan pada anak
perempuan sejak umur > 10 tahun.
o Dosis 0,5 mL, diberikan secara intramuskular pada
daerah deltoid.
o Jadwal
- Vaksin HPV bivalen, jadwal 0, 1 dan 6 bulan,
- Vaksin HPV kuadrivalen, jadwal 0, 2 dan 6 bulan.

Tabel 6.8. Spesifikasi vaksin bivalen dan quadrivalen

Vaksin HPV 16/18 Vaksin HPV


6/11/16/18
Volume Per dosis 0.5 mL Per dosis 0,5 mL

Adjuvant A SO4 Garam aluminium 225


Al(OH)3 500 ug ug
MPL 50 ug

Antigen L1 HPV 16 20 ug L1 HPV 6 40 ug


L1 HPV 18 20 ug L1 HPV 11 20 ug
L1 HPV 16 40 ug
L1 HPV 18 20 ug
Expression system Hi- 5 Baculovirus Ragi (yeast)
Jadwal pemberian 0,1,6 bulan intramuskular 0,2,6 bulan intramuskular
Umur pra remaja(>10 th) Umur pra remaja (>10 th)

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 314


Daftar Pustaka

1. WHO. Developmnet of new vaccine. dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/


fs289/en/html.
2. Daley MF, Liddon N, Crane LA, Beaty BL, Barrow J. A national survey of pediatrician
knowledge and attitudes regarding human papillomavirus vaccination. Pediatrics
2006;118:2280-9.
3. Andrijono. Kanker serviks. Edisi pertama. Divisi Onkologi, Departemen Obstetri-
Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta 2007.
4. Pagliusi SR, Aguado MT. Vaccine. 2004;23:569–78.
5. McIntosh N. JHPIEGO strategy paper. 2000.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 315


Bab VII-1
Imunisasi Pasif

Pen gantar
Imunisasi pasif didapat dari penyuntikkan imunoglobulin manusia.
Daya proteksi yang ditimbulkan cepat, sedangkan lamanya proteksi
sangat tergantung dosis, biasanya hanya bertahan beberapa
minggu.
Dikenal 2 tipe imunoglobulin, yaitu yang normal dan spesifik.
Imunoglobulin yang normal berasal dari kumpulan plasma darah
donor yang mengandung antibodi terhadap virus yang banyak
ditemukan di populasi umum. Sedangkan immunoglobulin spesifik
digunakan untuk proteksi seseorang terhadap virus atau bakteri
tertentu seperti CMV, hepatitis B, rabies, tetanus dan varisela /
zoster. Imunoglobulinnya didapatkan dari darah penderita dengan
penyakit tertentu pada saat konvalesens, donor yang barn mendapat
imunisasi atau seseorang yang pada skrening mempunyai titer
antibodi tinggi.

316 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VII-1
Imunisasi Pasif
Toto Wisnu Hendrarto

Imunisasi pasif adalah pemberian antibodi kepada resipien,


dimaksudkan untuk memberikan imunitas secara langsung
tanpa harus memproduksi sendiri zat aktif tersebut untuk
kekebalan tubuhnya. Antibodi yang diberikan ditujukan
untuk upaya pencegahan atau pengobatan terhadap infeksi,
baik untuk infeksi bakteri maupun virus. Mekanisme kerja
antibodi terhadap infeksi bakteri melalui netralisasi toksin,
opsonisasi, atau bakteriolisis. Kerja antibodi terhadap infeksi
virus melalui netralisasi virus, pencegahan masuknya virus ke
dalam sel dan promosi sel natural-killer untuk melawan virus.
Dengan demikian pemberian antibodi akan menimbulkan efek
proteksi segera. Imunisasi pasif tidak melibatkan sel memori
dalam sistem imunitas tubuh, proteksi bersifat sementara
selama antibodi masih aktif di dalam tubuh resipien, dan
perlindungannya singkat karena tubuh tidak membentuk
memori terhadap patogen/ antigen spesifik.

Jenis imunisasi pasif


Imunisasi pasif dapat terjadi secara alami atau didapat. Transfer
imunitas pasif alami terjadi saat ibu hamil memberikan antibodi
tertentu ke janinnya melalui plasenta, terjadi di akhir trimester
pertama kehamilan, dan jenis antibodi yang ditransfer melalui
plasenta adalah imunoglobulin G (IgG). Transfer imunitas alami
dapat terjadi dari ibu ke bayi melalui kolostrum (ASI), jenis yang
ditransfer adalah imunoglobulin A (IgA). Transfer imunitas pasif
didapat terjadi saat seseorang menerima plasma atau serum yang

317 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Pasif

mengandung antibodi tertentu untuk menunjang kekebalan


tubuhnya. Jenis imunisasi pasif atau seroterapi tergantung dari cara
pemberian dan jenis antibodi yang diinginkan, yaitu
· Imunoglobulin (Ig)
· Imunoblobulin yang di berikan secara intravena (IgIV)
· Imunoglobulin spesifik (hyperimmune)
· Antiserum (antibodi dari binatang)
· Plasma manusia

Indikasi imunisasi pasif


Tujuan pemberian imunisasi pasif adalah untuk pencegahan bila
antibodi diberikan pada pasien defisiensi sistem imun dan untuk
pengobatan bila antibodi diberikan terhadap infeksi tertentu.
Indikasi pemberian imunisasi pasif,
1. Adanya gangguan pada limfosit B, baik kongenital maupun
didapat. Kelainan tersebut dapat murni gangguan pada limfosit
B sendiri, dapat juga kombinasi gangguan/ defisiensi sistem
imun lainnya.
2. Adanya risiko menderita infeksi atau komplikasi lebih berat bila
terpapar oleh infeksi tertentu karena adanya imunokompromis,
misalnya pasien leukemia yang terpapar infeksi campak atau
cacar air.
3. Diperlukan antibodi siap pakai segera pada saat terpapar infeksi,
yang tidak dapat terpenuhi dengan pemberian vaksinasi,
misalnya pada neonatus dengan ibu HBsAg positif.
4. Sebagai pengobatan dalam menahan kerja toksin, misal pada
kasus difteri, tetanus.
5. Sebagai pengobatan anti inflamasi terhadap kerja toksin pada
organ tertentu, misal pada pasien penyakit Kawasaki.

318 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Pasif

Imunoglobulin (Ig)

Imunoglobulin (Ig) adalah derivat plasma pasien dewasa yang


diproses melalui fraksinasi alkohol, steril dan tidak tercemar oleh
virus hepatotropik, HIV atau jenis infeksi lain. Sekitar 16,5% atau
165 mg/mL merupakan komposisi protein tertentu berasal dari
plasma populasi yang sembuh/ pernah terpapar satu infeksi atau
telah mendapat vaksinasi tertentu, sehingga memiliki antibodi
spesifik terhadap infeksi tersebut. Fraksi yang dikandung 95% IgG,
sisanya IgA dan IgM.
Cara pemberian secara intra muskular (im), di regio gluteal pada
anak yang lebih besar atau paha bagian anterior lateral pada pasien
anak lebih kecil atau bayi. Jumlah maksimal yang dapat diberikan
pada setiap kali suntikan adalah 5 ml pada anak lebih besar, dan 1-3
ml pada anak lebih kecil atau bayi. Khusus kasus defisiensi imun
diberikan subkutan, tidak direkomendasikan pemberian intrakutan,
sedangkan pemberian intravaskular merupakan kontraindikasi.
Untuk mengurangi rasa nyeri pada bekas suntikan, Ig diberikan
pada suhu kamar.
Kadar antibodi dalam serum mencapai puncak terjadi dalam
48-72 jam setelah pemberian, dengan waktu paruh 3-4 minggu.

Indikasi pemberian Imunoglobulin


1. Terapi defisiensi antibodi
Dosis 100 mg/ kg berat badan (0,66 ml/ kg berat badan), secara
intra muskular (im) per bulan. Dosis awal dibagi dalam dua dosis,
selanjutnya diberikan dengan interval 2-4 minggu. Pada pasien
dewasa dapat diberikan subkutan, sehingga dapat dilakukan
secara rawat jalan di rumah. Reaksi alergi sistemik terjadi pada
1% kasus, dan reaksi jaringan lokal biasanya ringan.
2. Profilaksis hepatitis A
Diindikasikan untuk melindungi seseorang dari penyakit
hepatitis A bila diberikan dalam 14 hari setelah terpapar. Semua

319 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi Pasif

wisatawan yang bepergian ke daerah endemis tinggi atau sedang,


termasuk Afrika, Timur Tengah, Asia, Eropa Timur, Amerika
Tengah dan Selatan, perlu diberikan Ig atau vaksin hepatitis A
sebelum keberangkatan. Ig dalam dosis tunggal 0.02 ml/kg, atau
2 ml diberikan untuk orang dewasa, yang akan terpajan lebih
dari 3 bulan, untuk pemajanan yang lebih lama, diberikan 0.06
ml/kg atau 5 ml dan diulang setiap 4-6 bulan apabila proses
pemajanan terus berlangsung.
3. Profilaksis campak
Diindikasikan untuk melindungi seseorang dari penyakit campak
bila diberikan dalam 6 hari setelah terpapar.

Efek samping Imunoglobulin


1. Rasa nyeri pada tempat suntikan, yang akan berkurang bila
Ig diberikan pada suhu kamar. Reaksi lain dan jarang terjadi
adalah muka kemerahan (flushing), nyeri kepala, menggigil dan
mual.
2. Reaksi yang berat jarang timbul, misalnya nyeri dada, sesak nafas,
reaksi anafilaksis dan renjatan. Risiko terjadi reaksi sistemik
meningkat bila diberikan secara intra vena (iv). Pemberian
Ig dosis berulang dapat menimbulkan reaksi sistemik seperti
demam, menggigil, berkeringat, perasaan tidak nyaman dan
renjatan.
3. Pada pasien defisiensi IgA selektif, kadar IgA dalam Ig sedikit,
menimbulkan antibodi anti-IgA yang memberikan reaksi pada
pemberian Ig berikutnya, tranfusi darah lengkap (whole blood)
atau plasma Gejala sistemik yang timbul adalah menggigil,
dengan gejala mirip renjatan. Untuk mengurangi risiko ini
dianjurkan pemberian IgIV tanpa IgA.
4. Risiko pembentukan antibodi terhadap IgG heterolog dapat
terjadi, dan bisa menimbulkan reaksi sistemik, tetapi jarang
terjadi.
5. Sebagian preparat Ig tidak mengandung thimerosal.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 320


Imunisasi Pasif

Perhatian khusus pada pemberian imunoglobulin


1. Hati-hati memberikan Ig pada pasien yang alergi pada pemberian
Ig.
2. Harus tersedia obat dan peralataan kedaruratan untuk mengatasi
reaksi sistemik akut atau anafilaksis, meskipun jarang terjadi.
3. Ig diindikasikan kontra pada pasien dengan trombositopeni berat dan
gangguan koagulasi. Pada kasus ini dianjurkan pemberian IgIV
4. Tidak dianjurkan melakukan penapisan rutin untuk difisiensi
IgA.

Imunoglobulin intravena
Imunoglobulin intra vena (IgIV) dibuat dengan prosedur yang sama
dengan pembuatan Ig, dengan modifikasi tertentu sehingga dapat
diberikan secara intravena. Sediaan IgIV yang direkomendasi, harus
mengandung konsentrasi antibodi minimal terhadap campak, difteri,
polio dan hepatitis B. Konsentrasi antibodi terhadap Streptococcus
pneumoniae bervariasi dari satu pruduk dengan produk yang lain.
Kandungan protein bervariasi tergantung produsernya. Terdapat
dalam sediaan cair dan kering, tidak mengandung thimerosal.

Indikasi pemberian imunoglobulin intravena


1. Defisiensi antibodi
Dosis IgIV pada sindrom imunodefisiensi adalah 300-400 mg/
kg berat badan, diberikan sekali sebulan, secara IV. Dosis efektif
pada masing-masing pasien berbeda, rata-rata 200-800 mg/ kg
berat badan per bulan. Konsentrasi IgG rumatan sebesar 500
mgdL (5 g/L) sudah menghasilkan respon klinis yang baik.
2. Penyakit Kawasaki.
Pemberian IgIV pada 10 hari pertama perjalanan penyakit akan
mengurangi lamanya demam dan risiko timbulnya kelainan pada
arteri koronaria. Dosis yang dianjurkan adalah 2g/ kg berat badan,
dosis tunggal diberikan dalam 10-12 jam.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 321


Toto Wisnu Hendrarto

3.

Infeksi HIV pada anak


Rekomendasi pemberian IgIV adalah sebagai berikut,
- Adanya infeksi bakteri berulang, meskipun sudah diberikan
profilaksis antibiotik.
- Tidak responsif terhadap pemberian vaksin campak,
meskipun sudah diberikan 2 kali, terutama bagi pasien yang
tinggal di daerah endemis campak.
- Adanya trombositopeni meskipun sudah mendapat terapi
antiretroviral
- Masih adanya bronkiektasis meskipun sudah mendapat terapi
pulmonal dan antibiotik.
4. Hipogamaglobulinemia pada pasien leukemia limfositik kronis,
untuk mengurangi timbulnya infeksi bakterial berulang.
5. Untuk mengurangi angka infeksi dan kematian pada pasien
transplantasi sumsum tulang. Pada pasien dewasa untuk
menurunkan insidensi pneumonia interstisial terutama yang
disebabkan oleh sitomegalovirus.
6. Pemberian profilaksis sepsis pada bayi prematur tidak terbukti
aman dan efektif dalam penelitian metaanalisis. Sehingga IgIV
tidak direkomendasikan diberikan rutin untuk mencegah sepsis
awit lambat.
5. Kasus sindrom Guillain Barre
7. Mungkin bermanfaat pada pasien anemia karena infeksi
Parvovirus B-19, mieloma multipel, resipien organ dari
pasien dengan sitomegalovirus positif, neonatus dengan
hipogamaglobulinemia yang berisiko infeksi, intractable
epilepsy, sindrom vaskulitis sistemik, anemia hemolitik
autoimun, trombositopenia aloimun pada neonatal yang tidak
berespon terhadap pengobatan, immune-mediated neutropenia,
miastenia gravis dekompensata, dermatomiositis, polimiositis
dan trombositopenia berat yang tidak berespon terhadap
terapi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 322


Imunisasi Pasif

Efek

samping pemberian imunoglobulin intravena


Pada umumnya bersifat ringan dan dapat sembuh sendiri. Reaksi
berat jarang terjadi dan tidak ada indikasi kontra untuk pemberian
berikutnya. Beberapa efek samping yang sering terjadi,
· Reaksi piogenik, ditandai dengan adanya demam tinggi,
menggigil dan gejala sistemik.
· Reaksi sistemik ringan dengan gejala seperti nyeri kepala,
mialgia, kecemasan, mual atau muntah.
· Gejala vasomotor atau kardiovaskular ringan ditandai
dengan kulit kemerahan, perubahan tekanan darah dan
takikardia.
· Meningitis aseptik.
· Reaksi hipersensitifitas.
· Gagal ginjal akut.

Perhatian khusus pada pemberian IgIV

1. Hati-hati memberikan IgIV pada pasien dengan riwayat


alergi pada pemberian imunoglobulin.
2. Harus tersedia obat dan peralataan kedaruratan untuk
mengatasi reaksi sistemik akut, meskipun jarang terjadi.
1. Risiko efek samping dikurangi dengan menurunkan kecepatan
maupun volume pemberian. Pasien dengan reaksi berat
berulang yang tidak berespons dengan cara tersebut, berikan
hidrokortison 1-2 mg/kg berat badan secara IV selama 30 menit
sebelum pemberian IgIV, atau berikan preparat IgIV lain, tambahkan
difenhidramin, aseaminofen atau aspirin sebelum
pemberian IgIV.
3. Komplikasi vasomotor dan kardiovaskular seperti
hipertensi dan gagal jantung sering terjadi saat memberikan
IgIV dengan volume besar pada pasien sakit berat.
5. Tidak dianjurkan melakukan penapisan rutin untuk
difisiensi IgA.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 323


Toto Wisnu Hendrarto

Imunoglobulin Spesifik (IgS) dan antitoksin


Imunogobulin S (IgS, hyperimmune globulins) secara farmakologi
maupun karakteristik biologi berbeda dengan imunoglobulin
normal. Perbedaan yang bermakna terdapat pada kandungan
antibodi spesifiknya. Sediaan ini diambil dari kumpulan darah
pasien pada masa penyembuhan dari penyakit tertentu atau setelah
pemberian vaksinasi tertentu, sehingga darahnya mengandung
titer antibodi sangat tinggi terhadap penyakit tersebut. Untuk
itu IgS diindikasikan untuk pencegahan infeksi bakteri spesifik
seperti difteri, pertusis, tetanus dan kuman clostridium lain,
infeksi saluran nafas, stafilokokus, streptokokus invasif, dan
pseudomanas. Pencegahan infeksi virus seperti hepatitis A, B,
C; TORCH, HIV, ebola, rabies, dan MMR. Pada tabel 1 diuraikan
ringkasan kegunaan IgS pada pencegahan dan pengobatan
infeksi.

Antitoksin difteria
Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya
kuman dan sirkulasi, dalam upaya menghentikan bertambah
beratnya proses penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi.
Dosis ditentukan berdasarkan tempat infeksi
- 20.000-40.000 unit diberikan IV, bila infeksi terjadi pada
pharing dan laring dalam waktu 48 jam.
- 40.000-60.000 unit, IV, bila infeksi terjadi pada nasopharing
- 80.000-120.000 unit, IV, pada infeksi lanjut dan sudah tampak
adanya bull-neck.
Uji hipersensitif harus dilakukan sebelum memberikan
antitoksin difteri untuk mencegah timbulnya reaksi alergi/
anafilaksis. Kasus tetanus neonatorum dosis diberikan 500 U,
diberikan secara intramuskular.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 324


Imunisasi Pasif

Imunoglobulin tetanus ( human tetanus immune globulin)

Pemberian Ig tetanus dan antitoksin tetanus diindikasikan


untuk pencegahan pada luka dalam yang kotor, yang tidak
akan terlindungi hanya dengan pemberian vaksin saja, riwayat
imunisasinya tidak jelas/tidak pernah diimunisasi atau imunisasi
dasarnya tidak lengkap. Disamping itu, juga diindikasikan untuk
pengobatan dalam upaya netralisasi toksin yang bekerja sistemik.
Dosis pemberian Ig tetanus untuk pencegahan adalah 250 unit,
diberikan secara im. Untuk pengobatan, dosisnya adalah 3.000-
6.000 unit, im. Pada kasus tetanus neonatorum dosis diberikan
500 U, diberikan secara im.

Antitoksin Tetanus

Jika TIg tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal


dari serum binatang sebanyak 1.500 – 5.000 IU, pemberian harus
didahului dengan tes sensitifitas. Dosis tunggal antitoksin tetanus
berkisar antara 50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanus
neonatorum diberikan dengan dosis 40.000 U, dengan cara
pemberiannya adalah 20.000 U dari antitioksin dimasukkan ke
dalam 200 cc cairan NaCl 0,9%, diberikan IV dalam 35-45 menit.
Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara im pada
paha antero lateral.

325 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Toto Wisnu Hendrarto

Tabel 7.1. Manfaat imunisasi pasif dalam pencegahan dan pengobatan infeksi

Infeksi Pencegahan Rekomen Pengobatan Rekomen-


dasi dasi
Infeksi Bakteri Terbukti Tidak Terbukti Tidak
Infeksi respirasi
(S.pneumoniae,
N.meningitis,
H. influenzae)

Difteri Tidak terbukti Tidak Terbukti

Pertusis Tidak terbukti Tidak Tidak Tidak


terbukti
Tetanus Terbukti Terbukti

Jenis clostridium
lain: Terbukti Terbukti
· C.botulinum Tidak terbukti Tidak Mungkin
· C.difficile bermanfaat

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 326


Imunisasi Pasif

I
n · · Tidak
f
e · Tidak
k
si Ti r
S m
t da an
Penyakit Tidak terbukti Tidak Mungkin
streptococcal bermanfaat
invasif
Neonatus risiko Mungkin Tidak Mungkin
tinggi bermanfaat bermanfaat
Pasien ICU Mungkin Tidak Tidak
dengan syok bermanfaat terbukti
dan trauma
Infeksi
Pseudomonas
Tidak terbukti Tidak
· Pasien kistik Tidak
fibrosis bermanfaat
Tidak terbukti Tidak Tidak
· Luka bakar bermanfaat
Infeksi virus Tidak
bermanfaat
Hepatitis A Terbukti Tidak
bermanfaat
a k fa
p at
ter
h

327 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Toto Wisnu Hendrarto

Infeksi Pencegahan Rekomen Pengobatan Rekomen-


dasi dasi

Hepatitis B Terbukti Tidak


bermanfaat

Hepatitis C Tidak Tidak Tidak


bermanfaat

HIV Tidak Tidak Tidak Tidak


terbukti
RSV Terbukti Tidak Tidak
terbukti
Virus Herpes
· CMV Tidak Tidak Mungkin
Terbukti bermanfaat
· EBV Tidak Tidak Tidak Tidak
Terbukti terbukti
Tidak Tidak
· HSV
terbukti Tidak
Tidak
· VZV
terbukti

Parvovirus Tidak Tidak Terbukti Tidak

Enterovirus Terbukti Tidak Terbukti Tidak


Pada neonatus Tidak Mungkin
bermanfaat

Ebola Mungkin Tidak


bermanfaat terbukti

Rabies Terbukti Tidak


bermanfaat
Measles Terbukti Tidak
bermanfaat

Rubella Tidak Tidak Tidak


bermanfaat

Mumps Tidak Tidak Tidak


bermanfaat

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 328


Imunisasi Pasif

Tick borne
Mungkin Tidak
encephalitis bermanfaat bermanfaat
Vaccinia Terbukti Terbukti
Keller MA.,dan Stiehm ER. Clin.Microbiol.Rev. 2000.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 329


Toto Wisnu Hendrarto

Jika antitoksin yang berasal dari serum binatang (ATS) yang


dipakai lakukan terlebih dulu skin test untuk mencegah terjadinya
syok anafilaksis. Skin test dilakukan dengan menyuntikkan
antitoksin yang telah diencerkan dengan garam fisiologis dengan
perbandingan 1:100, sebanyak 0,02 cc intrakutan. Pada saat yang
bersamaan siapkan alat suntik yang telah diisi dengan adrenaline.
Skin test dengan larutan yang lebih encer (1:1000) dilakukan
terhadap pasien yang sebelumnya sudah pernah mendapatkan
suntikan antitoksin dari serum binatang. Sebagai kontrol di tempat
lain disuntikkan garam fisiologis intrakutan. Jika setelah 15 – 30
menit setelah suntikan timbul benjolan di kulit yang dikelilingi
oleh warna kemerahan berupa eritema dengan ukuran 3 mm atau
lebih dibandingkan dengan kontrol maka lakukan desensitisasi
terhadap pasien.

Imunoglobulin botulin um (human botulinum immune


globulin)

Pemberian Ig botulinum diindikasikan untuk netralisasi neurotoksin


yang menyebar secara sistemik yang akan berikatan dengan reseptor
di presinaptik neuro-endplate, sehingga menimbulkan konstipasi,
gangguan menelan, letargi, kelumpuhan saraf kranial sampai
kelumpuhan umum. Dosis Ig botulinum adalah 50 mg/kg berat
badan, diberikan secara IV.

Imunoglobulin hepatitis A
Imunoglobulin hepatitis A diberikan dalam 2 minggu setelah
ada paparan virus hepatitis A, secara im, dan perlindungan yang
diperoleh sebesar 85%. Karena tidak mengandung timerosal, dapat
diberikan pada wanita hamil dan bayi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 330


Imunisasi Pasif

Imunoglobulin hepatitis B
Imunoglobulin Hepatitis B dibentuk dari donor yang memiliki
titer tinggi anti-HBs dan bebas terhadap antibodi HIV dan virus
Hepatitis C (hyperimmunized donors). Titer tinggi yang dimiliki
adalah 1:500.000, sangat tinggi disbanding Ig standar yang hanya
mengandung antibodi terhadap hepatitis B 1:2 sampai 1:64.
Pemberian Ig hepatitis B diindikasikan pada bayi prematur untuk
memberikan perlindungan aktif terutama pada ibu dengan HBsAg
positif, yang berisiko tertular secara vertikal melalui plasenta.
Disamping itu juga untuk individu yang berisiko tinggi tertular
hepatitis B secara horizontal misalnya pasien kontak seksual dengan
pasien hepatitis B. Rekomendasi pemberian Ig hepatitis B
Pada masa perinatal
- Berat lahir kurang dari 2000 gram
Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 ml, secara
im pada paha sisi lain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama.
Vaksin hepatitis B pertama yang diberikan merupakan dosis
tambahan, tidak termasuk 3 dosis yang seharusnya diberikan.
Evaluasi HBsAg dan antibodi anti HBsAg 3 bulan setelah jadwal
vaksinasi lengkap. Bila tidak terbentuk antibodi, lakukan ulangan
sesuai prosedur pasien yang tidak responsif pada vaksinasi
hepatitis B.
- Berat lahir lebih dari 2000 gram,
Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 mi, secara
IM, pada paha sisi lain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama.
Vaksin hepatitis B pertama yang diberikan merupakan bagian 3
dosis yang harus diberikan serial sampai umur 6 bulan.

Pada kasus kontak seksual hepatitis B

Pemberian Ig hepatitis B dilakukan dalam 14 hari setelah terjadi


kontak dengan dosis 0,06 mL/kg berat badan atau 5 mL. Berikan
vaksinasi hepatitis B sesuai jadwal yang dianjurkan, pada pasien
yang belum pernah diberikan vaksinasi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 331


Toto Wisnu Hendrarto

Kontak serumah dengan pasien hepatitis B:


Pasien berumur kurang dari 12 tahun mendapat dosis 0,5 ml,
diberikan secara im. Dosis bagi pasien lebih tua umurnya atau dewasa
diberikan dengan dosis 0,06 mL/ kg berat badan atau 5 mL.

Imunoglobulin cytomegalovirus (CMV)

IgIV CMV diberikan untuk profilaksis kasus yang berisiko tinggi


terhadap infeksi CMV. Dosis awal adalah 150 mg/kg, dilanjutkan
dengan dosis rumatan setiap 2 minggu, diturunkan bertahap sampai
16 minggu. IgIV CMV efektif untuk penderita transplantasi ginjal
dan hati. Penggunaan pada neonatus untuk mencegah penularan
CMV secara vertikal pada neonatus masih belum diketahui dengan
pasti. Vaksin CMV masih dalam proses penelitian terutama dalam
pembuktian klinis pada sukarelawan dan penderita transplantasi
ginjal.

Imunoglobulin rabies

Dosis pemberian Ig rabies adalah 20 IU/kg berat badan (0,133 mL/


kg berat badan), diberikan bersamaan dengan pemberian vaksin
rabies, dalam upaya pencegahan pasca paparan dalam kurun waktu
mulai awal terpapar sampai terbentuknya antibodi aktif. Bila IgR
tidak tersedia, vaksin dapat diberikan diikuti dengan pemberian IgR
pada 7 hari pertama setelah pengobatan. Bila pemberian vaksin dan
IgR terlambat, keduanya harus diusahakan untuk memperpendek
interval antara waktu paparan dengan pengobatan. Dosis IgR 20
IU/kg berat badan, sebanyak-banyaknya diberikan secara infiltrasi
di sekitar luka. Sisanya diberikan im dengan alat dan jarum suntik
yang terpisah. Bila lukanya banyak, lakukan pengenceran IgR
dengan NaCl 0,9% agar volumenya cukup (diencerkan 2-3 kalinya).
Pada anak dengan masa otot yang tipis, dianjurkan pemberian IgR
di tempat yang berbeda. Kemasan IgR manusia tersedia dalam vial 2
mL (300 IU) dan 10 mL (1500 IU). Antibodi pasif dapat menghambat
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 332
Imunisasi Pasif

respon
vaksin
rabies;
oleh sebab itu dosis yang direkomendasikan tidak boleh berlebih.
Vaksin tidak boleh disuntikkan dan diberikan dalam satu alat suntik
yang sama. Reaksi hipersensitifitas terhadap IgR jarang terjadi.

Plasma dari Manusia


Plasma dari manusia dapat digunakan untuk mengatasi infeksi
walaupun terbatas karena resiko tercemar hepatitis. Biasanya
digunakan pada pasien luka bakar, untuk mengatasi hilangnya
protein dan adanya penelitian untuk mencegah infeksi pseudomonas.
Pemberian plasma bermanfaat pula untuk pasien defisiensi antibodi
IgG, karena plasma juga mengandung Ig.

Antibodi hewan (antisera hewan)


Dibuat dari serum kuda, dengan cara mengendapkan fraksi globulin
serum dengan amonium sulfat. Digunakan pada penyakit berikut:
· Antitoksin botulism, trivalen (jenis A, B, E)
· Antitoksin difteri
· Antitoksin tetanus
· Globulin rabies

Antitoksin difteri
Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya
kuman dan sirkulasi, dalam upaya menghentikan bertambah
beratnya proses penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi.
Dosis ditentukan berdasarkan tempat infeksi
- 20.000-40.000 unit diberikan iv, bila infeksi terjadi pada
pharyng dan laryng dalam waktu 48 jam.
- 40.000-60.000 unit, iv, bila infeksi terjadi pada nasopharyng
- 80.000-120.000 unit, iv, pada infeksi lanjut dan sudah tampak
adanya bull-neck.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 333


Toto Wisnu Hendrarto

Tes hipersensitif harus dilakukan sebelum memberikan antitoksin


difteri untuk mencegah timbulnya reaksi alergi/anafilaksis. Kasus
tetanus neonatorum dosis diberikan 500 U, diberikan secara im.

Antitoksin tetanus
Jika TIG tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal dari
serum binatang sebanyak 1.500 – 5.000 IU, pemberian harus didahului
dengan tes sensitifitas. Dosis tunggal antitoksin tetanus berkisar
antara 50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanus neonatorum
diberikan dengan dosis 40. 000 U, dengan cara pemberiannya adalah:
20.000 U dari antitioksin dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl
0,9%, diberikan IV dalam 35-45 menit. Setengah dosis yang tersisa
(20.000 U) diberikan secara im pada paha antero lateral.

Antitoksin botulinum

Dosis untuk anti toksin botulinum tergantung tingkat beratnya


penyakit, pada pasien dewasa dapat diberikan antara 2-4 vial,
secara im atau iv. Sebelum pemberian anti toksin botulinum
harus dilakukan uji sensitifitas yaitu pertama dilakukan scratch,
prick, atau puncture test. Bila hasilnya negatIf dilanjutkan dengan
tindakan kedua yaitu dengan melakukan tes intradermal, yang
menunjukan hasil positif bila terbentuk indurasi selebar 3 mm
dalam waktu 15-20 menit setelah tes dilakukan. Bila hasil tes
positif dan didapat riwayat alergi, antitoksin botulinum diberikan
melalui desensitisasi.

Indikasi antisera hewan

Penggunaan produk yang mengandung antibodi dari serum


hewan demikian terbatas dan dengan indikasi yang kuat, yaitu bila
preparat Ig dari manusia tidak tersedia, (misalnya untuk difteria
dan botulism).

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 334


Imunisasi Pasif

Reaksi

terhadap serum hewan


Sebelum pemberian serum hewan, sebaiknya dilakukan anamnesis
adanya atopi seperti asma, rinitis alergika, urtikaria, atau riwayat
pemberian serum hewan sebelumnya. Bila didapatkan atopi
tersebut, pemberian serum hewan sangat berbahaya, kecuali pada
kondisi tertentu.

Tes sensitivitas terhadap serum hewan

Tes Intradermal harus dilakukan sebelum pemberian serum hewan.


Tes Intradermal (ID) dilakukan dengan penyuntikan 0,02-0.1 ml dari
serum yang diencerkan dengan Nacl 0,9% 1:100, dan dibaca setelah
10 sampai 30 menit. Hasil positif bila terdapat pembengkakan.
Pada penderita yang berbakat alergi, cara yang dilakukan adalah
memberikan 0,05 ml serum yang diencerkan dengan Salin 1:1000
secara intradermal. Tes intradermal dapat menimbulkan kematian,
oleh karena itu persiapkan tindakan terapi reaksi anafilaksis
dengan mempersiapkan semprit yang berisi 1 ml 1:1000 epinefrin
yang secara cepat dapat diberikan, serta tersedianya personil yang
trampil, dan dapat memberikan medikasi/cairan infus secara
intravena bila diperlukan.
Bila tes kulit intradermal (id) berakibat fatal, cara lain yang cukup
aman adalah scratch test. Scratch, prick atau puncture test dilakukan
dengan pemberian satu tetes 1:100 serum yang diencerkan dengan
Salin pada kulit yang digores secara superfisial dan ditunggu 15–30
menit. Hasil yang positif menunjukkan kemerahan atau indurasi.
Cara lama yang pernah dilakukan dan sekarang mulai
ditinggalkan adalah tes mata. Tes mata dilakukan dengan cara
meneteskan satu tetes serum yang diencerkan dengan salin 1:10 pada
satu mata, sementara mata sisi lainnya diberi satu tetes Salin sebagai
kontrol. Hasil tes positif, apabila terdapat produksi airmata yang
berlebihan dan adanya reaksi kemerahan atau konjungtifitis setelah
10 sampai 30 menit pada sisi mata yang diberi serum. Beberapa ahli

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 335


Toto Wisnu Hendrarto

Alergi sudah meninggalkan cara ini dan lebih memilih Scratch tes
atau tes intradermal.
Apabila scratch test atau tes mata negatif, tes kulit dan tes mata
dapat diindikasikan sensitif. Tetapi bila hasilnya negatif tidak
menjamin bebas alergi. Apabila riwayat alergi tidak ada dan
sensitifitas keduanya negatif, dosis serum dapat diberikan secara
Intramuskular. Pemberian iv dapat dilakukan bila dosis antibodi
yang dibutuhkan dapat mencapai kadar lebih tinggi secara cepat.
Pada keadaan demikian dosis awal 0.5 ml yang diencerkan dengan
10 ml salin atau glukosa 5% diberikan secara intravena sepelan
mungkin dan ditunggu 30 menit untuk melihat reaksinya. Bila
reaksi tidak terjadi, sisa serum diencerkan 1:20 diberikan kembali
IV dengan kecepatan tidak lebih dari 1 ml per menit
Bila ada riwayat alergi, harus diputuskan apakah serum hewan
akan diberikan apa tidak. Apabila pemberian harus tetap dilakukan
dapat digunakan cara desensitisasi, tetapi sediakan epinefrin 1:1000
siap pakai didalam semprit, untuk tindakan antisipasi terhadap
terjadinya reaksi anafilaksis bila diperlukan. Cara desensitisasi
sebagai berikut:
1. 0.05 ml serum diencerkan 1:20 diberikan secara subkutan
2. 0.1 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan
3. 0.3 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan
4. 0.1 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan
5. 0.2 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan
6. 0.5 ml serum tidak diencerkan diberikan secara intra muskular
7. sisanya serum tidak diencerkan diberikan secara intra muskular

Jenis reaksi terhadap serum hewan


Reaksi yang terjadi dengan pemberian serum hewan melibatkan
antibodi IgE, yang dapat diprediksi dengan melakukan tes kulit.
1) Reaksi demam tiba-tiba, biasanya ringan karena semua serum
sudah dibuat tes pirogenisitas dan dapat diatasi dengan
antipiretik.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 336


Imunisasi Pasif

2) Seru
m
sickness. Gejala timbul mulai hari ke 7 sampai ke 10 (bisa sampai 3
minggu), setelah terpapar protein asing, yaitu demam, urtikaria,
ras makulopapuler, (90% kasus), arthritis atau artralgia, dan
limfadenopati. Reaksi edem lokal terjadi di tempat suntikan,
sebelum gejala sistemik muncul. Angioedema, glomerulonefritis,
sindromGuillain-Barré, neuritis perifer, dan miokarditis juga dapat
terjadi. Namun demikian serum sickness bisa timbul ringan dan
hilang spontan dalam beberapa hari sampai 2 minggu. Penderita
yang pernah mendapat injeksi serum ulangan sebelumnya, berisiko
terjadi serum sickness lebih cepat (terjadi dalam beberapa jam
sampai 3 hari). Antihistamin sangat membantu mengatasi gatal,
edem, dan urtikaria. Demam, rasa lemah, artralgia dan arthritis
dapat diatasi dengan pemberian asetosal atau anti inflamasi non
steroid lainnya. Bila tidak berhasil dapat diberikan kortikosteroid
(prednison atau predisolon) dengan dosis 1,5 sampai 2mg/kg per
hari, diberikan 5 sampai 7 hari.

3) Anafilaksis. Timbulnya dapat cepat dalam beberapa menit setelah


terpapar zat allergen. Semakin cepat timbul, semakin berat gejala
yang terjadi. Gejala utamanya adalah pada kulit gatal, merah,
urtikaria, dan angioedem. Gangguan pernapasan seperti serak
dan stridor, batuk, mengi, sesak nafas dan sianosis. Sistem
kardiovaskular: nadi cepat dan lemah, hipotensi, dan aritmia.
Gangguan pencernaan spasme dinding perut, muntah, diare,
dan mulut kering.

Anafilaksis sebagai kegawatan medis

Pengobatan reaksi anafilaksis

Tenaga medis yang memberikan produk biologis atau serum harus


siap menghadapi adanya reaksi anafilaksis. Obat-obatan, alat-alat
medis, dan personel yang terampil dalam resusitasi kardiopulmonal
harus siap untuk menghadapi reaksi anafilaksis.
Epinefrin adalah obat utama dalammenghadapireaksi anafilaksis.
Gejala ringan seperti gatal, eritema, urtikaria dan angioedem diatasi

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 337


Imunisasi Pasif

dengan injeksi epinephrin subkutan atau intramuskular, diikuti oleh


suntikan difenhidramin atau antihistamin lain yang diberikan per
oral atau parenteral. Pemberian epinefrin dapat diulang setiap 5-15
menit, sampai kondisi pasien membaik dan tanda vitalnya stabil.
Pengobatan anafilaksis sistemik berat dan mengancam jiwa
dengan gejala spasme bronkus, edem laring, renjatan dan gangguan
kardiovaskuler memerlukan tindakan lanjut. Lakukan tindakan
resusitasi dengan mempertahankan jalan nafas, beri oksigen, jaga
sirkulasi dengan memberikan cairan infuse. Bila perlu pemberian
tetesan cepat larutan kristaloid seperti garam fisiologis atau ringer
laktat dilakukan untuk mengatasi adanya renjatan. Epinefrin yang
diencerkan 1:1000, diberikan IV, merupakan indikasi pada keadaan
ini. Obat-obatan lain yang diperlukan adalah aminofilin IV untuk
mengatasi spasme bronkus, golongan inotropik seperti dopamine
untuk mempertahankan tekanan darah, kombinasi antihistamin
reseptor H1, H2 yang dapat memberikan efek sinergis, serta
kortikosteroid walaupun efeknya tidak diharapkan segera. Semua
penderita dengan gejala anafilaksis harus diobservasi antara 4
sampai 24 jam, karena adanya reaksi berulang. (lihat bab Cara
mengatasi syok anafilaksis)

Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. Active and passieve immunization. Dalam: Pickering
LK., penyunting. Red Book 2006, Report Committee on Infection Diseases. Edisi ke 27.
Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics. 2000. h 54-66.
2. Keller MA., danStiehmER. Passive Immunity in Prevention and Treatment of Infectious
Diseases. Vol.13-No.4, Clin.Microbiol.Rev. Oct. 2000. h. 602-614.
3. UNICEF, WHO. Immunization Summary: the 2007 edition. Geneva: WHO. 2007.
4. Grabenstein, JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis: Wolters
Kluwer Health, Inc. 2006.

338 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VIII-1

Vaksin Kombinasi (vaksin kombo)


Pen gantar

Pada saat ini makin banyak jenis vaksin baru dan pembuatan
vaksin yang telah diperbaharui dengan teknologi canggih berada
di pasaran. Diperkenalkannya vaksin baru di Indonesia, berakibat
pada penataan jadwal imunisasi yang sudah cukup rumit. Dalam
jadwal imunisasi rekomendasi IDAI edisi tahun 1999, seorang anak
sampai umur 5 tahun akan mendapat 13 kali suntikan vaksinasi yang
terpisah. Maka, untuk mengurangi jumlah suntikan telah dicoba
memberikan beberapa jenis vaksin secara bersama-sama pada satu
saat. Pemikiran tersebut menjadi dasar pembuatan vaksin kombinasi
(vaksin kombo, combined vaccine), yang merupakan salah satu
alternatif cara untuk mengurangi jumlah suntikan dan kunjungan
ke fasilitas kesehatan. Seperti telah diketahui bahwa tujuan akhir
dari vaksinasi adalah eradikasi penyakit, maka vaksin kombinasi
di pasaran berfungsi sebagai pelengkap vaksin monovalen dan
bukan sebaliknya.

339 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab VIII-1

Vaksin Kombinasi
Sri Rezeki S.Hadinegoro

Vaksin kombinasi adalah


· Gabungan beberapa antigen tunggal menjadi satu jenis
produk antigen untuk mencegah penyakit yang berbeda.
Misalnya vaksin kombinasi DTP/Hib adalah gabungan
antigen-antigen D-T-P dengan antigen Hib untuk mencegah
penyakit difteria, pertusis, tetanus, dan Hib.
· Gabungan dari antigen dari galur (strain) multipel suatu
organisme penyebab penyakit yang sama. Misalnya vaksin
polio terdiri dari antigen polio-1, polio-2, dan polio-3 untuk
pencegahan penyakit poliomielitis (galur 1, 2, dan 3).

Dasar vaksin kombinasi


Alasan utama pembuatan vaksin kombinasi adalah,
· Kemasan vaksin kombinasi lebih praktis dibandingkan
dengan vaksin vaksin monovalen, sehingga mempermudah
pemberian maka dapat lebih meningkatkan cakupan
imunisasi,
· Mengurangi frekuensi kunjungan ke fasilitas kesehatan
sehingga mengurangi biaya pengobatan,
· Mengurangi biaya pengadaan vaksin,
· Memudahkan penambahan vaksin baru ke dalam program
imunisasi yang telah ada,
· Untuk mengejar imunisasi yang terlambat (catch-up
immunization), dan
· Biaya lebih murah. Apabila dihitung seluruh pengeluaran
termasuk biaya berobat, transportasi, kecemasan anak dan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 340


Sri Rezeki S.Hadinegoro

orang tua, biaya pengadaan dan penyimpanan vaksin,


maka vaksin kombinasi lebih murah dibandingkan apabila
beberapa vaksin monovalen diberikan secara terpisah.

Di samping keuntungan tersebut, vaksin kombinasi mempunyai


beberapa kekurangan.
· Terjadinya incompatibility (ketidakserasian) kimiawi
maupun fisis, sebagai akibat percampuran beberapa antigen
beserta ajuvan, zat preservasi dan bufer.
· Sulit dihindari adanya perubahan respons imun
(imunogenitas), sebagai akibat interaksi antara antigen dengan
antigen lain atau antara antigen dengan ajuvan yang
berbeda.
· Pemakaian vaksin kombinasi dapat membingungkan para
dokter dalam menyusun jadwal imunisasi, apalagi bila
dipergunakan vaksin dari pabrik yang berbeda.

Diharapkan apabila seorang dokter akan mempergunakan


vaksin kombinasi, perlu membuat perencanaan dalam jadwal
imunisasi.

The Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), the


American Academy of Pediatrics (AAP) dan the American Academy
of Family Physicians (AAFP), merekomendasikan lebih baik
mempergunakan vaksin kombinasi yang telah dikemas dari pabrik
daripada memberikan dua jenis vaksin monovalen yang diberikan
secara terpisah pada saat bersamaan. Vaksin kombinasi yang
dianjurkan adalah vaksin yang telah mendapat persetujuan dari
pemerintah negara masing-masing, di Indonesia melalui izin dari
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI
(BPOM Depkes).

Daya Proteksi
Daya proteksi vaksin dinilai dari serokonversi kadar antibodi sebelum
dan setelah diberikan vaksinasi. Untuk mendapatkan kepastian

341 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

mengenai daya proteksi ini perlu dilakukan uji klinis secara random
dan tersamar. Laporan beberapa penelitian memberikan hasil yang
bervariasi. Beberapa hasil uji klinis pada vaksin kombinasi di Amerika
dan Eropa, mendapatkan titer antibodi salah satu antigen (atau
komponen) dari vaksin kombinasi lebih rendah apabila dibandingkan
dengan vaksin terpisah. Walaupun demikian kadar antibodi masih
berada di atas ambang pencegahan (protective level). Misalnya pada
kombinasi DTwP/HepB titer antiHBsAg lebih rendah dibandingkan
vaksin monovalen walaupun titernya di atas 10 IU/ml (ambang
pencegahan dicapai bila titer anti HbsAg >10 IU/ml). Titer antibodi
anti PRP dari Hib pada vaksin kombinasi DTaP/Hib dan DTap/Hib/
IPV dijumpai lebih rendah dari vaksin Hib yang diberikan terpisah.
Hal ini juga tampak pada vaksin kombinasi MMR/V, kadar anti bodi
anti varisella lebih rendah dibandingkan vaksin varisela terpisah.
Maka apabila mempergunakan vaksin kombinasi, tidak boleh lupa
memberikan vaksinasi ulangang (booster). Dilaporkan kadar antibodi
Hib meningkat sama dengan vaksin monovalen setelah diberikan
booster Hib pada umur 18 bulan.

Imunogenitas

Imunogenisitas dan efikasi vaksin berhubungan dengan titer


antibodi yang terbentuk sehingga dapat mencegah penyakit.
Pada pemberian vaksin monovalen, antibodi yang terbentuk akan
mengenal antigen melalui epitop protein atau polisakarida. Pada
vaksin kombinasi, akibat pembuatannya terjadi modifikasi epitop
antigen sel B sehingga secara teori dapat mengurangi kemampuan
vaksin membuat antibodi untuk mengikat antigen. Hal tersebut
akan mengurangi imunogenisitas yang berakibat mengurangi
efikasi vaksin. Sebagai contoh, komponen toksin pertusis akan
menjadi tidak aktif sebagai akibat proses kimiawi dari ajuvan
formaldehid, aluminium hidroksida, atau aluminium fosfat. Dapat
pula karena pada vaksin berisi antigen pertama dan ajuvan setelah
ditambah antigen lain kedua, respons imun antigen kedua akan

342 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Vaksin Kombinasi

berubah. Demikian juga buffer, stabilizer atau komponen lain akan


mempengaruhi komponen vaksin lain.
Namun, kekhawatiran tersebut tidak terbukti dari hasil
beberapa penelitian mengenai vaksin kombinasi. Penelitian
di Thailand menyimpulkan bahwa pada vaksin kombinasi
DTwP/hepB atau vaksin pentavalen DTwP/hepB/Hib terbukti
memberikan imunogenisitas yang tinggi terhadap semua antigen
(anti difteria, anti pertusis, anti tetanus, antiHBsAg, dan anti PRP)
tanpa mempengaruhi respons imun satu sama lainnya. Khususnya
antiHBsAg pada vaksin kombinasi DTwP/HepB memberikan
respons antibodi lebih baik daripada diberikan terpisah, sesuai
dengan penelitian Bio Farma Bandung. Diduga DTwP menjadi
ajuvan pada vaksin kombinasi DTwP/HepB sehingga akan
membantu meningkatkan kadar antibodi . Dalam penelitian
di Mexico, Santos J. melaporkan bahwa imunogenisitas vaksin
kombinasi DTwP/ HepB dibandingkan dengan pemberian terpisah
pada umur 3, 4, dan 5 bulan. Setelah pemberian dosis kedua,
proporsi titer antibodi anti HbsAg pada kelompok DTP/hepB lebih
tinggi (94,9%) dibandingkan pemberian terpisah (66,1%). Dilaporkan
juga bahwa pada penelitian serupa dari kelompok vaksin DTwP/
hepB/Hib mempunyai seroconversion rate (94,4%) sebanding dengan
kelompok vaksin DTwP/hepB terpisah dengan Hib (95,7%).

Reaktogenitas
Badan POM DepKes RI memberikan rekomendasi untuk peredaran
vaksin kombinasi di Indonesia berdasarkan studi imunogenitas dan
keamanan (reaktogenitas) vaksin kombinasi tersebut, dibandingkan
dengan vaksin monovalen atau kombinasi lain yang telah beredar
sebelumnya. Dari laporan beberapa uji kilins didapatkan bahwa
reaktogeni sitas yang timbul lebih banyak disebabkan oleh ajuvan
dari pada antigen yang berada di dalamnya. Kejadian ikutan pasca
imunisasi baik pada vaksin kombinasi DTwP/hepB tidak berbeda
dengan pemberian DTwP dan hepB terpisah. Pada pemberian

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 343


Sri Rezeki S.Hadinegoro

vaksin kombinasi DTwP/Hib didapatkan lebih banyak reaksi lokal


daripada DTwP dan Hib terpisah; sedangkan pada vaksin kombinasi
MMR/V, jumlah ruam morbili form akan lebih banyak dijumpai
walaupun jumlah ruam tidak lebih banyak dibandingkan vaksin
yang diberikan terpisah.

Angka Cakupan
Studi di Thailand melaporkan mengenai angka cakupan (coverage
rate) vaksin kombinasi DTwP/hepB dibandingkan dengan DTwP
dan hepB terpisah. Pada dosis ketiga didapatkan daya cakupan
yang lebih tinggi pada vaksin kombinasi (94%) daripada pemberian
terpisah (84%). Sedangkan pengalaman di Spanyol menggunakan
vaksin kombinasi dapat mengurangi total biaya 16% selama tahun
1998/1999. Kepraktisan pemberian vaksin yaitu pengurangan
jumlah suntikan atau jumlah kunjungan sehingga menurunkan
biaya dapat menjadi sebab meningkatkan angka cakupan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan


Vaksin kombinasi dari jenis pabrik vaksin yang berbeda

Secara umum vaksin untuk mencegah penyakit yang sama dari


pabrik yang berbeda dapat diberikan secara bergantian pada
seorang anak sesuai dengan jadwal imunisasinya, khususnya
untuk hepatitis B dan Hib. Namun, untuk vaksin kombinasi apabila
akan digunakan secara bergantian dengan vaksin monovalen
(interchangeability) sebaiknya memilih vaksin dari pabrik yang
sama. Demikian juga untuk vaksin kombinasi yang mengandung
DTaP, dianjurkan mempergunakan vaksin dari pabrik yang sama
oleh karena data penelitian dari pabrik yang berbeda sampai saat
ini belum ada, kecuali bila vaksin yang sama di negara tersebut
tidak beredar.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 344


Vaksin Kombinasi

Respons serologi vaksin kombinasi


Pemakaian jenis vaksin untuk mencegah penyakit yang sama dari
pabrik yang berbeda secara bergantian ditentukan oleh respons
serologi penyakit tersebut. Walaupun vaksin hepB, hepA, dan Hib
telah terbukti dapat diberikan bergantian dari pabrik yang berbeda,
komponen Hib akan menentukan dapat atau tidaknya vaksin
tersebut dipakai secara bergantian. Dari beberapa studi yang telah
dilakukan, ternyata komponen utama vaksin Hib dalam vaksin
kombinasi adalah PRP-T (polyribosyl ribitol phosphate konjugasi
dengan toksoid tetanus) dan bukan PRP-OMP (polyribosyl ribitol
phosphate konjugasi dengan outer membrane protein), jadi apabila
suntikan pertama PRP-OMP maka suntikan kedua sebaiknya PRP-T,
sedangkan suntikan ketiga boleh jenis vaksin Hib yang mana saja.

Pengadaan dan penyimpanan vaksin


Setiap fasilitas kesehatan seyogianya menyediakan semua jenis
vaksin yang telah direkomendasikan dalam jadwal imunisasi.
Namun dalam hal penyediaan, vaksin monovalen atau kombinasi
seringkali terjadi tumpang tindih maka perlu dipertimbangkan halhal
sebagai berikut, (a) apabila terlalu banyak variasi vaksin yang
disediakan, dapat membingungkan petugas imunisasi (khususnya
perawat) atau malahan dapat terjadi kesalahan dalam pengambilan
dan pemberian, (b) vaksin yang jarang dipergunakan akan mudah
kadaluwarsa, (c) memerlukan tempat penyimpanan lebih luas, dan
(d) memerlukan pendanaan yang lebih besar.

Pemberian dosis antigen berlebih

Bayi dan anak mungkin mendapat dosis ekstra dari vaksin atau
antigen padahal mereka telah imun (telah divaksinasi).
a. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi dasar kedua dan
ketiga sebenarmya telah terlindung secara imunologik terhadap
penyakit yang bersangkutan. Namun oleh karena pengukuran

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 345


Sri Rezeki S.Hadinegoro

kadar antibodi tidak dilakukan (tidak praktis dan mahal), maka


suntikan ulangan diberikan tanpa diketahui kadar antibodi yang
telah ada. Pemberian suntikan ulangan diberikan berdasarkan
pertimbangan klinis dan aspek kesehatan masyarakat guna
menurunkan jumlah anak yang rentan (susceptible) sehingga
meningkatkan daya pencegahan penyakit di masyarakat.
b. Dosis antigen tambahan tersebut kadangkala diberikan secara
tidak sengaja oleh karena tidak ada catatan imunisasi atau pada
saat dilakukan program imunisasi masal.
c. Pada saat dilakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN), imunisasi
polio dan campak diberikan pada anak yang terindikasi tanpa
memperhatikan status imunisasinya.
d. Kadangkala vaksin kombinasi berisi beberapa antigen yang
sebenarnya tidak seluruhnya dibutuhkan, namun terpaksa
diberikan oleh karena vaksin yang berisi antigen monovalen
yang diperlukan tidak tersedia. Misalnya, karena di Indonesia
tidak ada vaksin rubela monovalen maka diberikan MMR yang
merupakan vaksin kombinasi yang juga berisi vaksin campak.

Bagaimana KIPI pada dosis vaksin yang berlebih?

· Secara teori dikhawatirkan antigen tambahan (ekstra) yang


sebenarnya tidak diperlukan berhubungan dengan risiko
terjadinya KIPI. Namun, dari laporan penelitian yang ada tidak
dijumpai KIPI yang serius.
· Pemberian vaksin kombinasi pada umur yang tidak tepat dapat
menimbulkan KIPI. Misalnya, pemberian vaksin kombinasi
DTP/hepB-atau DTP/Hib tidak boleh diberikan sebelum umur 6
minggu mengingat antigen DTP atau Hib (PRP-T) mengandung
tetanus toksoid yang tidak direkomendasikan diberikan sebelum
umur 6 minggu.
· Studi lain melaporkan ternyata pemberian dosis ekstra
vaksin yang berisi virus hidup yaitu vaksin OPV, MMR, varisela,
dan rotavirus yang telah dilemahkan pada anak
imunokompeten

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 346


Sri Rezeki S.Hadinegoro

yang pernah mendapat imunitas baik dari vaksin sebelumnya


atau infeksi alamiah, tidak menunjukkan peningkatan KIPI.
· Berbeda dengan vaksin mati atau vaksin subunit
yang pada umumnya mengandung ajuvan garam
aluminium. Pada pemberian dosis tambahan jenis vaksin
ini, harus dipertimbangkan mengenai keuntungan dan
kerugian sehubungan dengan reaktogenisitas yang dapat
timbul.
· Secara klinis tampak efek samping ringan timbul pada
pemberian dosis tambahan vaksin hepB atau Hib dari komponen
vaksin kombinasi. Pemberian dosis tambahan dari vaksin
yang mengandung ajuvan garam aluminium dapat
meningkatlan reaksi hipersensitivitas, misalnya pemberian DT
pada anak, dT atau TT pada dewasa. Pemberian dosis
tambahan komponen toksoid tetanus yang ada di dalam
vaksin sebaiknya diberikan atas pertimbangan khusus, misalnya
seorang anak yang semula mendapat DT oleh karena di kemudian
hari harus diberikan perlindungan terhadap pertusis maka berikan
DPT oleh karena tidak tersedia antigen pertusis monovalen
sehingga anak tersebut kelebihan antigen difteria dan
tetanus.

Jenis Vaksin Kombinasi


Jenis vaksin kombinasi dibuat berdasarkan 4 kategori,
1. Pengembangan vaksin kombinasi yang paling lama diproduksi
yaitu DTwP (komponen whole-cell pertussis), disebut vaksin
kombinasi tradisional.
2. Vaksin kombinasi dengan dasar vaksin campak atau MMR.
3. Vaksin kombinasi dengan dasar DTaP (DTP dengan komponen
a-cellular pertussis) atau hepatitis B.
4. Vaksin kombinasi lain yang sedang dikembangkan.

30 0 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Jenis vaksin kombinasi tertera pada Tabel 8.1

Tabel 8.1. Jenis vaksin kombinasi

Vaksin Kombinasi Jenis Vaksin


1 Pengembangan vaksin DTwP DTwP /hepB
(DTP dengan komponen whole-cell DTwP /Hib
pertussis)
2 Penambahan vaksin baru pada Campak/ yellow fever
campak atau MMR MMR /varisela
3 Pertusis a-sellular (DTaP) atau hep-B sebagai dasar kombinasi
a. Dasar kombinasi pertusis a-se- DTaP /hep B
lular (DTaP) DTaP/Hib
DTaP/IPV
DTaP/hepB/Hib
DTaP/Hib/IPV
DTaP/hep-B/Hib/IPV
b. Dasar kombinasi hepatitis B Hep-B/ Hib
Hep-B/hep-A
4 Vaksin kombinasi lain (sedang DPwT/ Men
dikembangkan) DPaT/Men
IPV/Pneumo
IPV/Pneumo/Men
Hib/Pneumo/Men

Keterangan: DTwP = DTP whole cell , DTaP = DTP a-celluler, Hep-B = hepatitis B, Hib =
Haemophilus influenzae tipe b, IPV = inactived polio vaccine, Hep-A = hepatitis A,
Pneumo = pneumokokus, Men = meningitis

Jadwal Imunisasi pada Vaksin Kombinasi

Pemberian vaksin kombinasi DTwP/hepB, DTaP/Hib, DTaP/


Hib/IPV dapat dimasukkan dalam jadwal imunisasi IDAI dengan
beberapa pilihan jadwal.

a. Vaksin kombinasi DTwP/hepB

Apabila akan mempergunakan vaksin kombinasi DTwP/HB, maka


jadwal imunisasi dapat disusun sebagai berikut.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 348


Vaksin Kombinasi

Tabel 8.2. Vaksin DTwP/hepB dalam jadwal imunisasi PPI Depkes

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 349


Sri Rezeki S.Hadinegoro

Umur Pemberian vaksin Keterangan


Saat lahir HepB+BCG+OPV
2 bulan DTwP/hepB+OPV DTwP/hepB diberikan ≥ 6
minggu
3 bulan DTwP/hepB+OPV
4 bulan DTwP/hepB+OPV

DTwP/hepB = vaksin kombinasi DTwP dan hepB

Tabel 8.3. Vaksin kombinasi DTwP/hepB


Saat pemberian
Umur Pilihan 1 Pilihan 2
Saat lahir HepB+BCG+OPV HepB+BCG+OPV
2 bulan DTwP/ DTwP/hepB+Hib+OPV
hepB+Hib+OPV
4 bulan DTwP+Hib+OPV DTwP/hepB+Hib+OPV
6 bulan DTwP/hepB+Hib+OPV DTwP/hepB+Hib+OPV
DTwP/hepB = vaksin kombinasi DTwP dan hepB

b. Vaksin kombinasi DTP/Hib


Apabila mempergunakan vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/
Hib, maka jadwal imunisasi dapat disusun sebagai berikut.

Tabel 8.4. Vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/Hib dalam jadwal


imunisasi
Vaksin kombinasi
Umur
DTwP/Hib DTaP/ Hib
Saat lahir HepB + BCG + OPV HepB + BCG + OPV
2 bulan DTwP/Hib + hepB + OPV DTaP/Hib + hepB + OPV
4 bulan DTwP/Hib + OPV DTaP/Hib + OPV
6 bulan DTwP/Hib + hepB + OPV DTaP/Hib + hepB + OPV
DTwP/Hib = vaksin kombinasi DTwP dan Hib DTaP/Hib = vaksin kombinasi DTaP
dan Hib

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 350


Vaksin Kombinasi

c. Vaksin kombinasi DTaP/Hib/IPV

Tabel 8.5. Vaksin kombinasi DTaP/Hib/IPV dalam jadwal imunisasi


Umur Vaksin kombinasi DTaP/Hib/IPV

Saat lahir HepB + BCG + IPV


2 bulan DTaP/Hib/IPV + hepB
4 bulan DTaP/Hib/IPV

6 bulan DTaP/Hib/IPV + hepB


DTaP/Hib/IPV = vaksin kombinasi DTaP, Hib (PRP-T), dan IPV

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics. Combination vaccines for childhood immunisation:


recommendations of the Advisory Committee on Immunisation Practices, the American
of Pediatrics and the American Academy of Family Physicians. Pediatrics 1999;
103:1064-8.
2. Bogaaerts H. Clinical experience with a combined DTPw-HB vaccine in healthy infants.
Satellite symposium and regional meeting. The 9 th Asian Congress of Pediatrics,
Hongkong, 24 Maret 1997.
3. UNICEF. Combination vaccine juggling with option. Geneva: Children’s Vaccine
Initiative. 1998.
4. Decker MD, Edwards KM. Combination Vaccines. Dalam: Plotkin SA, Mortimer EA.,
penyunting. Vaccines. Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Company, 2004. h. 508
– 14.
5. Centers for Disease Control and Prevention U.S. Combination vaccines for chlidhood
immunization. Atlanta, Georgia: Department of Health & Human Services. Morbidity
and Mortality Weekly Report (MMWR) 1999; 48: RR-5.
6. World Health Organization. Combined vaccine for world’s children. Dalam: Ditmann,
penyunting. Progress towards implementing hepatitis B and Haemophillus influenzae
type b into childhood immunisation programmes. Geneva: WHO 1999.
7. Poovooravaan Y, Apiradee Theambooniers. Comparison study of combined DTwPHB
vaccines and separate administration of DTwP and HB vaccines in Thai children. Asian
Paed. J. Allergy Immunol 1999; 17:113-20.
8. Hadinegoro SR, Rusmil K, Mulyati S, Sampana E, Sundoro J, Kaligis B, Mahendra.
Efficacy and reactogenicity of DTwP/Hepatitis B (Bio Farma) combined vaccine.
Dipresentasikan pada Simposium Recent in Vaccinology. Bandung 4 September
2004.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 351


Bab IX
Imunisasi Kelompok
Berisiko
1. Imunisasi bayi berisiko
2. Imunisasi bayi pada Ibu berisiko

Pen gantar
Kelompok berisiko dibagi menjadi bayi yang berisiko dan ibu
yang berisiko. Pada bayi/anak yang mempunyai risiko tinggi
untuk mendapat infeksi atau perhatian khusus untuk pemberian
imunisasi berikut, diperlukan panduan. Kelompok ini termasuk
bayi/anak yang menderita defisiensi imun seperti bayi prematur,
anak dengan penyakit keganasan, anak yang mendapatkan
pengobatan imunosupresi, radioterapi, anak yang menderita infeksi
HIV, transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi; atau
mereka yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius
setelah imunisasi.
Kelompok ibu yang berisiko dapat menularkan infeksi
yang diderita terhadap bayi yang dilahirkan, perlu mendapat
pertimbangan saat bayi akan diimunisasi. Perhatian khusus
diperlukan pada ibu yang menderita hepatitis B, tuberkulosis, dan
HIV.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 352


Bab IX-1
Imunisasi pada Bayi dan Anak Berisiko
Sjawitri P. Siregar

Pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat
infeksi, harus diimunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya pada
bayi dan anak yang menderita imunokompromais, transplantasi
sumsum tulang/organ dan splenektomi serta bayi prematur,
imunisasi harus diatur.

Pasien imunokompromais
Penekanan respons imun (imunokompromais) dapat terjadi pada
penyakit defisiensi imun kongenital (primer) dan defisiensi imun
didapat (sekunder) yaitu pemakaian kortikosteroid sistemik dosis
tinggi dan lama, penyakit keganasan seperti leukemia, limfoma,
pasien dengan pengobatan alkilating agents, antimetabolik, radioterapi,
bayi/anak menderita HIV dan transplantasi sumsum tulang.

Defisiensi imun primer


Pada defisiensi imun primer humoral, defisiensi imun primer selular
dan kombinasi defisiensi keduanya seperti pada penyakit X-linked
agammaglobulinemia, Bruton, Wiskott-Aldrich, ataxia telangiectasia dan
sindrom di George , kontraindikasi untuk vaksinasi dengan vaksin
hidup. Dapat diberikan imunisasi pasif dengan gammaglobulin
spesifik atau dengan IGIV.
Pada defisiensi komplemen dapat diberikan semua jenis vaksin
baik hidup ataupun vaksin kuman mati/dilemahkan sedangkan
pada defisiensi fagosit misalnya pada penyakit granulomatosis,
tidak boleh diberikan vaksin bakteri hidup dan dianjurkan untuk
divaksinasi terhadap penyakit influenza dan pneumokokus.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 353


Sj awitr i P. Sir egar

Defisiensi imun sekunder


1. Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama
atau lebih dari 20 mg sehari atau 2 mg/kgBB/hari dengan
lama pengobatan >7 hari atau dosis 1 mg/kgBB/hari lama
pengobatan >1 bulan.
1. Pengobatan dengan alkylating agents, antimetabolik dan radioterapi.
Untuk penyakit keganasan seperti leukemia, dan limfoma.
Pada pasien dengan sistem imun tertekan tidak boleh
diberikan imunisasi vaksin hidup karena dapat berakibat fatal
disebabkan kuman akan bereplikasi hebat karena tubuh tidak
dapat mengontrolnya. Vaksin hidup misalnya vaksin polio oral,
MMR dan BCG. Vaksinasi dengan mikroorganisme hidup dapat
diberikan setelah penghentian pengobatan imunosupresif minimal
3 bulan.
Vaksinasi dengan mikroorganisme mati atau yang dilemahkan
dapat segera diberikan seperti hepatitis B, hepatitis A, DTP, influenza
danHib, dosis samadengan anaksehat. Respons imunyangtimbultidak
sama dengan anak sehat, sehingga bila kontak dengan pasien campak
harus diberikan imunisasi pasif dengan normal immunoglobulin (human)
NIGH dosis 0.2 ml/kgBB intramuskular. Untuk profilaksis varisela
dosis lebih besar 0.4-1.0 ml/kgBB, bila mungkin sebaiknya diberikan
imunisasi profilaksis (spesifik) dengan varicella-zoster immunoglobulin
(VZIG), namun pada saat ini belum ada di Indonesia.

Pengobatan kortikosteroid
· Pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid (1) topikal atau
obat semprot hidung, paru, salep kulit, salep mata, injeksi lokal
intra artikular, (2) kortikosteroid dosis rendah yang diberikan
setiap hari atau selang sehari, dapat diberikan imunisasi dengan
vaksin hidup.
· Sedangkan pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik
dosis tinggi setiap hari atau selang sehari dan lama pemberian
kurang dari 14 hari, dapat diberikan vaksinasi dengan vaksin

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 354


Imunisasi pada Bayi dan Anak
Berisiko

hidup segera setelah penghentian pengobatan, namun ada


pendapat yang menganjurkan setelah penghentian 14 hari.
· Pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi
setiap hari atau selang sehari selama >14 hari, dapat diberikan
vaksin hidup setelah penghentian pengobatan 1 bulan. Imunisasi
dengan vaksin hidup dapat diberikan pada pasien yang telah
menghentikan pengobatan imunosupresi selama 3 bulan atau 6
bulan dengan pertimbangan bahwa status imun sudah mulai
membaik dan penyakit primernya sudah dalam remisi atau
sudah dapat dikontrol.
· Keluarga pasien imunokompromais yang kontak langsung
(serumah) dianjurkan untuk mendapatkan vaksinasi polio
inaktif (inactivated polio vaccine), varisela dan MMR. Vaksin
varisela sangat dianjurkan untuk keluarga imunokompromais,
oleh karena walaupun dapat terjadi penularan tranmisi virus
varisela pada pasien tetapi gejala lebih ringan dari pada bila
infeksi alamiah yang akan berakibat lebih buruk dan dapat
fatal.
· Pengecualian untuk pasien leukemia limfositik akut dalam
keadaan remisi lebih dari 1 tahun, dapat diberikan imunisasi
dengan virus hidup varisela, oleh karena bila mendapat infeksi
alamiah dengan varisela keadaannya dapat fatal.
· Pasien defisiensi imun kongenital ataupun yang didapat,
imunisasi tidak akan memberikan respons maksimal yang
diinginkan, sehingga dianjurkan memeriksa titer antibodi serum
setelah imunisasi diberikan sebagai data untuk pemberian
imunisasi berikutnya.

Infeksi human immunodefisiensi virus (HIV)


Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan
infeksi sehingga diperlukan imunisasi, walaupun responsnya
terhadap imunisasi kurang optimal. Yang menjadi pertanyaan,
kapan pasien HIV harus diberikan imunisasi? Apabila diberikan
terlambat mungkin tidak akan berguna karena penyakit sudah lanjut

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 355


S jawi tri P. S iregar

dan efek imunisasi tidak ada atau kurang; namun apabila diberikan
dini, vaksin hidup akan mengaktifkan sistim imun yang dapat
meningkatkan replikasi virus HIV sehingga memperberat penyakit
HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang
dilemahkan atau yang mati. Vaksin pneumokok konjugasi (PCV7)
diberikan pada anak dengan HIV (+). Pada umur kurang dari 23
bulan mendapatkan imunisasi PCV7 3 kali dengan interval 2 bulan,
sedangkan anak umur 24-59 bulan karena mempunyai risiko tinggi
maka diberikan imunisasi dengan PCV7 2 kali dengan interval
2 bulan dan dilanjutkan dengan imunisasi ke 3 memakai vaksin
pnemumokok PCV23 (Tabel 9.1)

Tabel 9.1. Rekomendasi imunisasi untuk HIV anak

Vaksin Rekomendasi Keterangan

356 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi pada Bayi dan
Anak Berisiko
I P V Ya Pasien dan keluarga serumah
D P T Ya Sesuai dengan jadwal anak sehat
Hib Ya Secepat mungkin
Hepatitis B* Ya Sesuai jadwal anak sehat
Hepatitis A Ya Sesuai jadwal anak sehat
MMR** Ya Diberikan umur 12 bulan
Influenza Ya Tiap tahun diulang
Pneumokokus Ya Secepat mungkin
BCG ** Ya Dianjurkan untuk Indonesia
Varisela ** Ya/tidak Tergantung berat penyakit

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 357


Imunisasi pada Bayi dan Anak
Berisiko
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA, 2004
* Ada yang menganjurkan dosis Hepatitis B dilipat gandakan 2 X
** MMR, BCG dan Varisela dapat diberikan pada pasien HIV asimptomatik atau gejala
HIV ringan. Tidak diberikan pada kasus HIV berat dan kadar limfosit CD4+ <25%

Penyakit Hodgkin
• Pasien penyakit Hodgkin yang berumurlebih dari24bulandanorang
dewasa (close contact) dianjurkan mendapat imunisasi pneumokok
dan Hib, karena penderita ini berisiko terhadap kedua penyakit
tersebut. Respons antibodi paling baik bila imunisasi diberikan 10-

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 358


Imunisasi pada Bayi dan Anak
Berisiko

14 hari sebelum dilakukan imunoterapi. Apabila diberikan bersama


dengan imunoterapi hasilnya kurang efektif dan harus diulang 3
bulan setelah kemoterapi atau radioterapi dihentikan.
· Pada splenektomi dianjurkan untuk pemberian
imunisasi pneumokok dan Hib sebelum pengangkatan limpa.
Pemberian profilaksis antibiotik dengan penisilin dianjurkan
untukpenderita anemi sickle cell, thalasemia terhadap infeksi
pneumokok. Dosis yang dianjurkan 2 x 125 mg sehari untuk
anak kurang dari 5 tahun dan 2 kali 250 mg sehari untuk anak > 5
tahun. Dapat juga profilaksis dengan amoksilin 20 mg/kg
sehari.
· Harus dijelaskan kepada orang tua bahwa walaupun
sudah mendapat profilaksis antibiotika anaknya masih dapat
menderita infeksi oleh kuman lain, sehingga bila demam harus
segera berobat untuk menghindarkan sepsis.
· Pada pasien keganasan seperti leukemia dan limfoma
sebelum memulai pengobatan dengan kemoterapi sebaiknya
diberikan dahulu imunisasi (Tabel 9.2)

Tabel 9.2. Rekomendasi imunisasi pada pasien kanker

Vaksin Rekomendasi Keterangan

DPT Ya Penderita kanker anak


Polio (IPV)* Ya Penderita kanker
Pneumokok Ya Untuk limfoma
Hib Ya Penderita kanker anak
Influenza** Ya Tergantung musim**
Varisela* Ya Penderita seronegatif
MMR* Tidak
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA,2004
* Keluarga dekat / serumah juga harus diimunisasi dengan IPV,varisela & MMR
** Untuk daerah yang tidak tergantung musim, vaksin influenza diberikan pada bulan
Agustus-September tiap tahun

Pasien transplantasi sumsum tulang (TST)


Resipien transplantasi sumsum tulang (TST) alogenik akan menjadi
defisiensi imun disebabkan4komponen (1) pengobatan imunosupresi

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 359


Sj awitr i P. Sir egar

terhadap penyakit primer, (2) kemoterapi dan radioterapi yang


diberikan pada pejamu (3) reaktivitas imunologi antara graft
dan pejamu, serta (4) pengobatan imunsupresi yang diberikan
setelah tranplantasi dilakukan. Sedangkan pada transplantasi
sumsum tulang otolog hanya komponen (1) dan (2) yang berperan.
Rekomendasi yang dianjurkan pada pasien transplantasi sumsum
tulang tampak pada Tabel 9.3. Pada TST alogenik, sistem imun
resipien digantikan oleh sistem imun pejamu.
Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada pasien
diberikan imunisasi polio dan DTP terlebih dahulu; karena terbukti
setelah transplantasi, imunitas terhadap virus polio, tetanus dan
difteri hampir tidak ada. Penelitian klinis menunjukkan bahwa bila
donor diberikan imunisasi difteri dan tetanus sebelum transplantasi
dilakukan kemudian segera setelah itu diberikan imunisasi pada
resipien dengan antigen yang sama akan memberikan respons yang
baik. Hal yang sama dapat dilakukan dengan vaksin inaktif pertusis,
Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV (inactivated polio vaccine).
Pada TST otologus tidak terdapat perbedaan imunologik antara
graft dan pejamu, sehingga regenerasi sistem imun lebih cepat dan
bahaya infeksi pun tidak seperti pada transplantasi alogenik. Pada
transplantasi TST alogenik, sistem imun resipien digantikan oleh
sistem imun pejamu. Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan
diberikan imunisasi terlebih dahulu kepada resipien.
Imunisasi influenza dapat diberikan 1 tahun setelahtransplantasi,
dan diulangi setiap tahun sebelum epidemi tiba. Imunisasi dengan
hepatitis B diberikan setelah 1 tahun transplantasi. Pasien berumur
diatas 12 tahun yang akan mendapat organ transplantasi sebaiknya
diperiksa terlebih dahulu titer antibodi campak, rubela dan varisela.
Mereka yang berisiko tinggi harus mendapat imunisasi MMR
sebelum transplantasi dilakukan. Waktu terbaik adalah 1 bulan
sebelum transplantasi dilakukan. Titer antibodi setelah setahun
transplantasi sebaiknya diperiksa. Pada mereka yang rentan infeksi
bila kontak dengan pasien campak, varisela dan rubela sebaiknya
diberikan imunisasi pasif dengan imunoglobulin dan bila mungkin

360 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi pada Bayi dan Anak
Berisiko

titer antibodi diperiksa terlebih dahulu. Karena hanya sedikit


data mengenai imunisasi pada pasien transplantasi, setiap senter
mempunyai pengalaman dan cara yang berbeda.

Tabel 9.3. Rekomendasi imunisasi untuk pasien transplantasi sumsum


tulang
Vaksin Transplantasi Transplantasi Keterangan
SST alogenik SST otologus
DPT Ya Ya 2-3 dosis setelah 6-12 bulan
transplantasi.
Polio (IPV) Ya Ya 2-3 dosis setelah 6-12 bulan
transplantasi.
Campak Epidemik Hanya pada Tidak diberikan dalam 24
campak penderita bulan setelah tranplantasi.
anak Tidak pada GVHD.
Terutama wanita.
Rubela 2 dosis mulai 6-12 bulan
Ya setelah transplantasi.
Hib Ya
Ya 12 bulan setelah transplantasi.
Ya Hasil tidak baik pada GVHD.
Hepatitis B Tidak dalam masa 24 bulan
Pneumokok Ya Ya setelah trans-plantasi. Tidak
Ya ? pada GVHD.
Varisela
Tidak Anak dan
dewasa muda
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA, 2004.
Keterangan: TST = transplantasi sumsum tulang GVHD = graft versus host disease

Bayi prematur dan berat lahir rendah


Bayi prematur dapat diimunisasi sesuai dengan umur kronologisnya
dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan.
Vaksin DTwP atau DTaP, Hib dan OPV diberikan pada umur
2 bulan. Bila bayi masih dirawat pada umur 2 bulan sebaiknya
diberikan IPV, bila akan diberikan OPV sebaiknya pemberian ini
harus ditunda sampai saat bayi akan dipulangkan dari rumah
sakit/rumah bersalin untuk menghindarkan penyebaran virus polio

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 361


Sj awitr i P. Sir egar

kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada bayi prematur respons
imun kurang bila dibandingkan bayi matur terhadap imunisasi
hepatitis B, sehingga pemberian vaksin hepatitis B dapat dilakukan
dengan 2 cara sebagai berikut:
· Ibu positif HbsAg, berat lahir >2000 g: harus diberikan
hepatitis B bersamaan dengan HBIG pada 2 tempat yang
berlainan dalam waktu 12 jam. Dosis ke-2 diberikan 1 bulan
kemudian, dosis ke-3 dan ke-4 diberikan umur 6 dan 12 bulan.
Periksa titer anti-HBs dan HbsAg pada umur 9-15 bulan. Bila
HBSAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3 dosis
dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HbsAg dan
anti-HBs.
· Ibu positif HbsAg, berat lahir <2000 g: harus diberikan vaksin
Hepatitis B + HBIg pada 2 tempat suntikan yang berlainan
dalam waktu 12 jam. Imunisasi vaksin hepatitis B ke-2
diberikan umur 1 bulan dan berat badan mencapai 2000 g,
selanjutnya umur 2-3 bulan dan 6 bulan umur kronologis.
Periksa anti-HBs dan HbsAg pada umur 9-15 bulan. Bila
HbsAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3 dosis
dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HbsAg dan
anti-HBs.
· Ibu negatif HbsAg, berat lahir >2000 g: pemberian imunisasi
hepatitis B dosis pertama saat lahir, selanjutnya umur 1 dan
6 bulan umur kronologis.
· Ibu HbsAg negatif, berat lahir <2000 g: imunisasi pertama
saat berat badan telah mencapai 2000 g atau secara klinis
keadaannya stabil dalam 30 hari umur kronologis atau pada
saat keluar dari RS sebelum 30 hari.
· umur kronologis. Imunisasi hepatitis B dalam 3 dosis pada
umur 1-2 bulan, 2-4 bulan dan 6-18 bulan umur kronologis.
· Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir >2000 g:
diberikan vaksin hepatitis B dalam 12 jam. Periksa HBsAg
ibu segera. Bila hasil positif ditambahkan HBIg dalam waktu
7 hari.

362 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Imunisasi pada Bayi dan Anak
Berisiko

• Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir <2000 g: diberikan


vaksin hepatitis B. Periksa HBsAg ibu segera, bila tidak dapat
dilakukan dalam 12 jam, berikan HBIg dalam 12 jam.
Saat ini telah beredar vaksin kombinasi hepatitis B dengan
DTP, DTaP (DTP/HepB). Vaksin kombinasi baru dapat diberikan
pada umur kronologis setelah 6 minggu, jadi vaksin kombinasi
tidak dapat diberikan sebagai imunisasi pertama pada bayi
prematur.

Imunisasi pada anak dengan penyakit kronis


Anak dengan penyakit kronis peka terhadap infeksi, sehingga
harus diberikan imunisasi seperti anak sehat, kecuali sudah terjadi
defisiensi imun sekunder. Sangat dianjurkan untuk imunisasi
terhadap influenza dan pneumokokus.

Tabel 9.4. Imunisasi dan kondisi terpapar infeksi

Paparan infeksi Inkubasi Pemberian vaksinasi

Campak 8-12 hari 0-72 jam paparan


Varisela 14-16 hari 0-72 jam paparan
Rubela 14-23 hari Tidak perlu
Gondongan 12-25 hari Tidak perlu

Heptitis B 14-160 hari Perlu aktif dan pasif segera dlm 12 jam
Tetanus 24 jam - Perlu aktif dan pasif
beberapa bulan
Hepatitis A 15-50 hari Tidak perlu

Vaksinasi pada anak dengan reaksi efek samping


Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius
setelah imunisasi, harus diberikan imunisasi berikutnya di rumah
sakit dengan pengawasan dokter.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 363


Sj awitr i P. Sir egar

Air susu ibu dan imunisasi


Tidak terdapat kontra indikasi pada bayi yang sedang menyusui bila
ibunya diberikan imunisasi baik dengan kuman atau virus hidup
dan kuman yang dilemahkan. Sebaliknya air susu ibu tidak akan
menghalangi seorang bayi untuk mendapatkan imunisasi.

Daftar Pustaka
1. Atkinson W, Walfe C, Hamiston S, dkk. general recommendations on immunization.
Dalam: Atkinson W, penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable
diseases; edisi ke-6. Atlanta, 2000; 18-20.
2. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, editors. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders;
2004.
3. NHMRC (National Health and Medical Research Council). The Australian
Immunization Handbook, edisi ke-9. 2008.
4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 364


Bab IX-2
Imunisasi Bayi pada Ibu Berisiko
Toto Wisnu Hendrarto

Ibu menderita hepatitis B


Ibu yang menderita hepatitis B akut atau uji serologis HBsAg positif,
dapat menularkan hepatitis B pada bayinya. Imunisasi hepatitis B
pada bayi ditentukan oleh status HBsAg ibu sebagaimana tertulis
pada tabel 9.5 berikut ini.

Tabel 9.5. Skema Iimunoprofilaksis hepatitis B pada bayi berdasarkan status


HBsAg ibu.*

Status HBsAg ibu Berat lahir ≥2000 g Berat lahir <2000 g

HBsAg positif Vaksin Hepatitis B + HBIg Vaksin Hepatitis B + HBIg


(dalam umur 12 jam) (dalam umur 12 jam)
Imunisasi dengan 3 dosis Imunisasi dengan 4 dosis
vaksin pada 0, 1, dan 6 vaksin pada 0, 1, 2-3, dan 6
bulan umur kronologis. bulan umur kronologis.
Periksa anti-HBs dan Periksa anti-HBs dan
HBsAgpada umur 9–15 HBsAgpada umur 9–15
bulan + bulan +
Bila HBsAg dan anti-HBs
Bila HBsAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi
negatif, reimunisasi dengan dengan 3 dosis, dengan
3 dosis, dengan interval 2 interval 2 bulan, dan
bulan, dan periksa kembali periksa kembali HBsAg
HBsAg dan anti-HBs. dan anti-HBs.

HBsAg tidak Vaksin Hepatitis B (dalam Vaksin Hepatitis B + HBIg


diketahui 12 jam) + HBIg (dalam 7 (dalam 12 jam)
hari) bila hasil pemeriksaan
HBsAg ibu positif
Periksa HBsAg ibu segera Periksa HBsAg ibu segera,
bila tidak dapat dilakukan
dalam 12 jam, berikan
HBIg.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 365


Toto Wisnu Hendrarto

Status HBsAg ibu Berat lahir ≥2000 g Berat lahir <2000 g

HBsAg negatif Dianjurkan vaksin Hepatitis Vaksin Hepatitis B dosis


B saat lahir. 1 dalam 30 hari umur
kronologis, bila secara
klinis keadaannya stabil,
atau pada saat keluar dari RS
sebelum 30 hari umur
kronologis.

366 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


HBsAg negatif Imunisasi Hepatitis B Imunisasi Hepatitis B
dalam 3 dosis pada umur dalam 3 dosis pada umur
0–2, 1–4, dan 6–18 bulan 1–2, 2–4, dan 6–18 bulan
umur kronologis. umur kronologis.
Bila vaksinasi kombinasi Bila vaksinasi kombinasi
mengandung Hepatitis mengandung Hepatitis
B, berikan saat usia 6–8 B, berikan saat usia 6–8
minggu umur kronologis minggu umur kronologis
Evaluasi anti-HBs dan Evaluasi anti-HBs dan
HBsAg tidak perlu HBsAg tidak perlu
dilakukan dilakukan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 367


* Saat pemberian dosis vaksin Hepatitis B tidak mempertimbangkan masa gestasi dan
berat lahir.
+ Pendapat lain menganjurkan melakukan pemeriksaan serologis 1-3 bulan sesudah
pemberian jadwal vaksinasi Hepatitis B selesai.
Yakinkan ibu tetap menyusui ASI, apabila vaksin Hepatitis B sudah diberikan.

Ibu menderita tuberkulosis


Bayi dilahirkan ibu menderita (TB) paru aktif sesaat sebelum,
sesudah lahir, dan mendapat pengobatan kurang 2 bulan sebelum
melahirkan, tidak cukup terlindungi dengan vaksinasi BCG.
Tindakan yang dilakukan,
· Jangan diberi BCG pada saat setelah lahir.
· Beri pencegahan dengan isoniazid (INH) 5 mg/kg BB
sekali sehari per oral.
· Pada umur 8 minggu evaluasi bayi kembali, berat
badan, dan lakukan pemeriksaan uji tuberkulin dan foto dada bila
memungkinkan.
 Apabila ditemukan kemungkinan TB aktif, mulai diberi

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 368


Imunisasi Bayi pada Ibu Berisiko

pengobatan anti TB sesuaikan program pengobatan TB pada


bayi.
 Apabila kondisi bayi baik dan hasil uji tuberkulin negatif
lanjutkan pencegahan dengan isoniazid dalam waktu 6
bulan.
 Tunda pemberian BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan
selesai. Bila BCG sudahterlanjur diberikan, ulangi pemeriksaan
2 minggu setelah pengobatan INH selesai.
 Yakinkan ibu bahwa ASI tetap boleh diberikan dan catat berat
badan bayi tiap 2 minggu.

Ibu menderita HIV


· Tidak ada tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada
bayi saat lahir.
· Tanda klinis dapat ditemukan pada umur 6 minggu setelah
lahir, namun uji antibodi baru dapat dideteksi pada umur 18
bulan, untuk menentukan status HIV bayi.
· Bayi yang dilahirkan dari ibu HIV positif, lakukan
konseling pada keluarga rawat bayi seperti bayi yang lain dan
perhatian khusus pada pencegahan infeksi. Bayi tetap diberi
imunisasi rutin seperti layaknya bayi sehat lain.

Daftar Pustaka

1. DepartamenKesehatanR.I. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk


dokter, perawat, bidan di Rumah Sakit Rujukan Dasar. Kerja sama IDAI, MNH-
JHPIEGO, Departemen Kesehatan R.I. 2003.
2. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization.
Geneva: WHO. 2002.
3. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, eds. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.;
2004:745-81.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 369


Bab X
Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi
1. Klasifikasi KIPI
2. Pelaporan KIPI

Pen gantar
Reaksi lokal maupun sistemik yang tidak diinginkan dapat terjadi
pasca imunisasi. Sebagian besar hanya ringan dan bisa hilang sendiri.
Reaksi yang berat dan tidak terduga bisa terjadi meskipun jarang.
Umumnya reaksi terjadi segera setelah dilakukan vaksinasi, namun
bisa juga reaksi tersebut muncul kemudian. Sebagai pelaksana kita
harus mengetahui berapa besar insidensi dan bentuk kejadian yang
tidak diharapkan dari suatu imunisasi. Pasien dan keluarga harus
diberi informasi mengenai risiko dan keuntungan vaksinasi dan
tentunya tentang penyakit yang akan dicegah. Persetujuan tertulis
dari pasien atau keluarga tidak diperlukan, namun mereka selain
diberi informasi juga diberi kesempatan untuk bertanya. Perlu
dicatat di kartu imunisasi bahwa hal ini telah dilaksanakan.
Pasien dan keluarganya harus dinasihati agar melaporkan kepada
tempat imunisasi diberikan bila terjadi reaksi pasca imunisasi yang
serius, dan petugas harus melaporkan kejadian pasca imunisasi yang
serius ini ke instansi yang berwenang di daerah tersebut dengan
mengisi formulir KIPI yang telah tersedia.
Pelaporan kasus KIPI sangat penting dan harus selalu
dibuat dan dikirimkan kepada Komite Daerah (Komda) PP
KIPI yang berkedudukan di tiap provinsi. Dengan laporan yang
berkesinambungan, data KIPI Indonesia dapat dibuat dengan cermat
oleh Komite Nasional (Komnas) PP KIPI.

31 370 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab X-1
Kejadian Pasca Imunisasi (KIPI)
adverse events following immunization (AEFI)
Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Keamanan vaksin sudah menjadi perhatian sejak lama, dan masalah


medikolegal vaksin di Indonesia mulai mencuat di tahun 1990,
sehingga mulai dibentuklah KOMNAS pengkajian penanggulangan
KIPI/PP KIPI yang merupakan badan independen yang dibentuk
oleh Departemen Kesehatan dengan anggotanya terdiri dari IDAI,
Subdit Imunisasi Depkes, BPOM dan lain-lain. Pembentukan itu
kemudian diikuti oleh organisasi tingkat provinsi (Komda PP
KIPI)bahkan di tingkat kabupaten. Seiring dengan kewaspadaan
terhadap aspek medikolegal, imunisasi telah diakui sebagai upaya
pencegahan penyakit yang paling efektif yang berdampak terhadap
peningkatan kesehatan masyarakat.
Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam
pembuatan vaksin adalah keseimbangan antara imunogenisitas
(daya membentuk kekebalan) dengan reaktogenisitas (reaksi
simpang vaksin). Untuk mencapai imunogenisitas yang tinggi
vaksin harus berisi antigen yang efektif untuk merangsang respons
imun resipien sehingga tercapai nilai antibodi di atas ambang
pencegahan untuk jangka waktu yang cukup panjang. Vaksin harus
diupayakan agar tidak menimbulkan efek simpang yang berat, dan
jauh lebih ringan dibandingkan dengan gejala klinis penyakit secara
alami. Pada kenyataannya tidak ada vaksin yang benar-benar ideal,
namun dengan kemajuan bioteknologi saat ini telah dapat dibuat
vaksin yang efektif dan relatif aman.
Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi maka penggunaan
vaksin juga meningkat, dan akibatnya kejadian yang berhubungan
dengan imunisasi juga meningkat. Dalam menghadapi hal tersebut

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 371


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

penting diketahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan


vaksin yang diberikan ataukah secara kebetulan.
Reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah
kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa
efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek
farmakologis, atau akibat kesalahan program, koinsidensi, reaksi
suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.
Perlu juga dipertimbangkan adanya efek tidak langsung dari
vaksin yang disebabkan Kesalahan teknik pembuatan, pengadaan
dan distribusi vaksin, kesalahan prosedur, kesalahan teknik
imunisasi, atau kebetulan.
Untuk mengetahui hubungan antara imunisasi dengan KIPI
diperlukan pencatatan dan pelaporan dari semua reaksi simpang
yang timbul setelah pemberian imunisasi (yang merupakan kegiatan
dari surveilans KIPI). Surveilans KIPI tersebut sangat membantu
program imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan
masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan
penyakit yang paling efektif.

Definisi KIPI
Untuk kepentingan operasional maka Komnas PP KIPI menentukan
bahwa kejadian ikutan pasca imunisasi adalah sebagai reaksi
simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi
(KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah
kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa
efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek
farmakologis, atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan,
atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.
Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai
masa 42 hari (artritis kronik pasca vaksinasi rubela), atau bahkan
sampai 6 bulan (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien
imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 372


Kejadian pasca Imunisasi (KIPI)

infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi


atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat
merupakan reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang
bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin
antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects),
interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang
umumnya secara klinis sulit dibedakan satu dengan lainnya. Efek
farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya
terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi
merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan
latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein
telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning),
antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain
yang terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat
terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan
distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik
pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul
secara kebetulan.
Persepsi awam dan juga kalangan petugas kesehatan, mengang-
gap semua kelainan dan kejadian yang dihubungkan dengan
imunisasi sebagai reaksi alergi terhadap vaksin. Akan tetapi telaah
laporan KIPI oleh Vaccine Safety Comittee, Institute of Medicine
(IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi secara
kebetulan saja (koinsidensi). Kejadian yang memang akibat
imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik
pelaksanaan (programmatic errors).

Epidemiologi KIPI
Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin
dalamjumlahbesar. Penelitian efikasi dankeamananvaksin dihasilkan
melalui fase uji klinis yang lazim, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Uji klinis

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 373


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

fase 1 dilakukan pada binatang percobaan sedangkan fase selanjutnya


pada manusia. Uji klinis fase 2 untuk mengetahui keamanan vaksin
(reactogenicity and safety), sedangkan pada fase 3 selain keamanan juga
dilakukan uji efektivitas (imunogenisitas) vaksin.
Pada jumlah penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum
tampak, maka untuk menilai KIPI diperiukan uji klinis fase 4 dengan
sampel besar yang dikenal sebagai post-marketing surveilance (PMS),
Tujuan PMS adalah untuk memonitor dan mengetahui keamanan
vaksin setelah pemakaian yang cukup luas di masyarakat (dalam hal
ini program imunisasi). Data PMS dapat memberikan keuntungan
bagi program apabila semua KIPI (terutama KIPI berat) dilaporkan,
dan masalahnya segera diselesaikan. Sebaliknya akan merugikan
apabila program tidak segera tanggap terhadap masalah KIPI
yang timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadap efek
samping vaksin dengan segala akibatnya.
Menurut National Childhood Vaccine Injury dari Committee of the
Institute of Medicine (IOM) di USA sangat sulit mendapatkan data
KIPI oleh karena,
· Mekanisme biologis gejala KIPI kurang difahami
· Data KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan akurat
· Surveilans KIPI belum luas dan menyeluruh
· Surveilans KIPI belum dilakukari untuk jangka panjang
· Publikasi KIPI dalam jumlah kasus yang besar masih kurang.
Mengingat hal tersebut, maka sangat sulit menentukan jumlah
kasus KIPI yang sebenarnya. Kejadian ikutan pasca imunisasi dapat
ringan sampai berat, terutama pada imunisasi masal atau setelah
penggunaan lebih dari 10.000 dosis.

Klasifikasi KIPI
Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP KIPI )
mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi,
1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999 )
untuk petugas kesehatan di lapangan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 374


Kejadian pasca Imunisasi (KIPI)

2. Klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk


telaah Komnas PP KIPI.

1. Klasifikasi lapangan (WHO Western Pasific 1999)


Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka Komnas PP-KIPI
memakai kriteria WHO Western Pacific untuk memilah KIPI dalam
lima kelompok penyebab, yaitu kesalahan program, reaksi suntikan,
reaksi vaksin, koinsiden, dan sebab tidak diketahui. Klasifikasi
lapangan ini dapat dipakai untuk pencatatan dan pelaporan KIPI.
a. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmatic errors)

Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program


dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program
penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin.
Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur
imunisasi, misalnya,
· dosis antigen (terlalu banyak)
· lokasi dan cara menyuntik
· sterilisasi semprit dan jarum suntik
· jarum bekas pakai
· tindakan aseptik dan antiseptik
· kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
· penyimpanan vaksin
· pemakaian sisa vaksin
· jenis dan jumlah pelarut vaksin
· tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk
pemakaian, indikasi kontra dan lain-lain)
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan
apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada
petugas yang sama.

Mencegah program error (VSQ 1996)


· Alat suntik steril utk setiap suntikan
· Pelarut vaksin yg sudah disediakan oleh produsen vaksin
· Vaksin yg sudah dilarutkan segera dibuang setelah 6 jam

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 375


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

· lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin


· Pelatihan vaksinasi dan supervisi yg baik
· Program error dilacak, agar tidak terulang kesalahan yg
sama

b. Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik
baik langsung maupun tidak langsung dan harus dicatat sebagai
reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya nyeri sakit, bengkak
dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan
tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkop.
Reaksi ini tidak berhubungan dengan kandungan yang terdapat
pada vaksin, sering terjadi pada vaksinasi masal,
· Syncope/fainting
– Sering kali pada anak > 5 tahun ,
– Terjadi beberapa menit post imunisasi,
– Tidak perlu penanganan khusus.
– Hindari stres saat anak menunggu,
– Hindari trauma akibat jatuh/posisi sebaiknya duduk.
· Hiperventilasi akibat ketakutan
– Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell,
pingsan.
– Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (pasien
tersebut perlu diperiksa)
· Beberapa anak takut jarum, gemetar, dan histeria.
· Penting penjelasan dan penenangan
Pencegahan reaksi KIPI Reaksi suntikan:
– Teknik penyuntikkan yang benar
– Suasana tempat penyuntikan yang tenang
– Atasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar

c. Induksi vaksin (reaksi vaksin)


Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat
diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin

376 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi
gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko
kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan
tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai
indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai
tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan
interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan
dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

1. Reaksi lokal
+ Rasa nyeri di tempat suntikan.
+ Bengkak-kemerahan di tempat suntikan sekitar 10 %
+ Bengkak pada suntikan DPT dan tetanus sekitar 50%
+ BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi
dan sembuh setelah beberapa bulan.
2. Reaksi sistemik
+ Demam pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga
reaksi lain seperti iritabel, malaise, gejala sistemik.
+ MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus
vaksin. Terjadi demam dan atau ruam dan konjungtivitis pada
5%-15% dan lebih ringan dibandingkan infeksi campak tetapi
berat pada kasus imunodefisiensi.
+ Pada mumps terjadi reaksi vaksin pembengkaan kelenjar parotis,
rubela terjadi rasa nyeri sendi 15% dan pembengkakan limfe.
+ OPV kurang dari 1% diare, pusing dan nyeri otot.
3. Reaksi vaksin berat
· Kejang
· Trombositopenia
· Hypotonic hyporesponsive episode/HHE
· Persistent inconsolable screaming bersifat self-imiting dan tidak
merupakan masalah jangka panjang
· Anafilaksis, potential menjadi fatal tetapi dapat disembuhan
tanpa dampak jangka panjang
· Ensefalopati akibat imunisasi campak atau DTP

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 377


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Pencegahan terhadap reaksi vaksin


· Perhatikan indikasi kontra.
· Vaksin hidup tidak diberikan kepada anak dengan defisiensi
imunitas.
· Orang tua diajar menangani reaksi vaksin yg ringan
dan dianjurkan segera kembali apabila ada reaksi yg
mencemaskan.
· Parasetamol dapat diberikan 4x sehari untuk mengurangi
gejala demam dan rasa nyeri.
· Mengenal dan mampu mengatasi reaksi anafilaksis.
· Lainnya disesuaikan dengan reaksi ringan/berat yang terjadi
atau harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas lengkap.
d. Faktor kebetulan (koinsiden)

Kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah


imunisasi. Indikator faktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya
kejadian yang sama di saat bersamaan pada kelompok populasi
setempat dengan karakteristik serupa tetapi tidak mendapat
imunisasi.

d. Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat


dikelompokkan ke dalam salah satu penyebab maka untuk
sementara dimasukkan ke dalam keiompok ini sambi! menunggu
informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi
tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.
World Health Organization pada tahun 1991 meialui expanded
programme on immunisation (EPI) telah menganjurkan agar pelaporan
KIPI dibuat oleh setiap negara. Untuk negara berkembang
yang paling penting adalah bagaimana mengontrol vaksin dan
mengurangi programmatic errors, termasuk cara menggunakan alat
suntik dengan baik, alat yang sekali pakai atau alat suntik reusable,
dan cara penyuntikan yang benar sehingga transmisi patogen
melalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa untuk

378 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kejadian pasca Imunisasi (KIPI)

memperkecil terjadinya KIPI harus selalu diupayakan peningkatan


ketelitian pemberian imunisasi selama program imunisasi
dilaksanakan.

2. Klasifikasi kausalitas

Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit


berbeda dengan laporan Comnittee Institute of Medicine (1991) dan
menjadi dasar klasifikasi saat ini, yaitu
· Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated )
· Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan
kausal (unlikely)
· Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible)
· Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal
(probable)
· Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain)

Gejala klinis KIPI


Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan
dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf
pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat terjadi KIPI
makin berat gejalanya.
Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat.
Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya produk farmasi
diperuntukkan orang sakit sedangkan vaksin untuk orang sehat
terutama bayi. Karena itu toleransi terhadap efek samping vaksin
harus lebih kecil daripada obat obatan untuk orang sakit. Mengingat
tidak ada satu pun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka
apabila seorang anak telah mendapat imunisasi perlu diobservasi
beberapa saat, sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI (reaksi
cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi
pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus
dilakukan observasi selama 15 menit.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 379


Arwin P. Akib, Asri Purwanti
Arwin P. Akib, Asri Purwanti

328
Pedoman Imunisasi Pedoman
di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 380Ketiga Tahun 2008
2008 Imunisasi di Indonesia Edisi
Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 381


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang


dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu
timbulnya gejala klinis (Tabel 10.2).

Tabel 10.2. Gejala klinis menurut jenis vaksin dan saat timbulnya KIPI

Jenis vaksin Gejala klinis KIPI Saat timbul


KIPI

Toksoid tetanus Syok anafilaktik 4 jam


(DPT,DT.TT) Neuritis brakialis 2-28 hari
Komplikasi akut termasuk kecacatan Tidak ter-
dan kematian catat
Pertusis whole-cell Syok anaphilaktik 4 jam
(DPwT) Ensefalopati 72 jam
Komplikasi akut termasuk kecacatan Tidak ter-
dan kematian catat
Campak Syok anafilaktik 4 jam
Ensefalopati 5-15 hari
Trombositopenia 7-30 hari
Klinis campak pada resipien imuno- 6 bulan
kompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian Tidak ter-
catat
Polio hidup Polio paralisis
30 hari
(OPV) Polio paralisis pada resipien imuno- 6 bulan
kompromais
Komplikasi akut termasuk keca Tidak ter-
catan dan kematian catat
Hepatitis B Syok anafilaktik 4 jam
Komplikasi akut termasuk kecacatan Tidak ter-
dan kematian catat
BCG BCG-itis 4-6 minggu
Dikutip dengan modifikasi dari RT Chen, 1999.

382 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kejadian pasca Imunisasi (KIPI)

Angka kejadian
KIPI yang paling serius pada anak adalah reaksi anaflaktoid.
Angka kejadian reaksi anafilaktoid pada DTP diperkirakan 2
dalam 100.000 dosis , tetapi yang benar-benar reaksi anafilaktik
hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar
dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera
atau lambat. Episode hipotonik-hiporesponsif juga tidak jarang
terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi.
Kasus KIPI polio berat dapat terjadi pada 1 per 2,4 juta dosis
vaksin (CDC Vaccine Information Statement 2000), sedangkan kasus
KIPI hepatitis B pada anak dapat berupa demam ringan sampai
sedang terjadi 1/14 dosis vaksin, dan pada dewasa 1/100 dosis
(CDC Vaccine Information Statement 2000). Kasus KIPI campak
berupa demam terjadi pada 1/6 dosis, ruam kulit ringan 1/20
dosis, kejang yang disebabkan demam 1/3000 dosis, dan reaksi
alergi serius 1/1.000.000 dosis.

Tabel 10.3 dapat digunakan,


· Untuk mengantisipasi reaksi imunisasi.
· Mengidentifikasi kejadian yang tidak berhubungan
dengan immunisasi.
· Sebagai perbandingan kejadian/rates untuk kepentingan
pelaporan dan penyelidikan bila ternyata lebih besar
kejadiannya.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 383


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Tabel 10.3. Reaksi Vaksin, interval kejadian dan rasio KIPI.


Vaksin Reaksi Interval Rasio per
kejadian juta dosis
BCG Limfadenitis supuratif 2-6 bulan 100-1000
BCG-osteitis 1-12 bulan 1-700
BCG-it is deseminata 1-12 bulan 2
Hib Tidak diketahui - -
Hepatitis B Anafilaktik
Measles Kejang demam 0-4 jam 1-2
Trombositopenia 5-12 hari 333
OPV Anafilaktik 15-35 hari 33
0-1 jam 1-50
Tetanus VAPP (vaccine associated 4-30 hari 1,4-3,4 (b)
paraliytic poliomyelitis)
Neuritis Brakialis 2-28 hari 5-10
Anafilaktik 0-4 jam 1-6
Abses Steril 1-6 minggu 6-10
TD Sama dengan tetanus - -
DTP Persistent-inconsolable scream- 0-24 jam 1000-60.000
ing (menangis berkepanjan-
gan lebih dari 3 jam)
Kejang demam 0-3 hari 570 (c)
Episode hipotenik
hiporesponsif (ENH) 0-24 jam 570
Anafilaktik 0-4 jam 20
Ensefalopati 0-3 hari 0-1
Dikutip dari: Background rates of adverse events following immunization, supplementary
information on vaccine safety. Part 2 tahun 2000; WHO

Keterangan :
(a) Reaksi (kecuali syok anafilaktik) tidak terjadi bila anak sudah
kebal (± 90 % anak yang menerima dosis kedua) anak umur di
atas 6 tahun jarang mengalami kejang demam.
(b) Risiko VAPP lebih tinggi pada penerima dosis pertama (1 per
1,4 - 3,4 juta dosis), sedangkan risiko pada penerima dosis vaksin
selanjutnya 1 per 6,7 juta dosis.
(c) Kejang diawali dengan demam, frekuensi tergantung pada
riwayat kejang sebelumnya, riwayat dalam keluarga serta
umur.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 384


Kejadian pasca Imunisasi (KIPI)

Imunisasi pada kelompok berisiko


Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan
apakah resipien termasuk dalam kelompok risiko. Yang dimaksud
dengan kelompok risiko adalah,
1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi ter da hu lu.
2. Bayi berat lahir rendah. Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi
kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan pada bayi kurang bulan.
a. Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah
dari pada bayi cukup bulan.
a. Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi
ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram
atau berumur 2 bulan, kecuali untuk irnunisasi hepatitis B
pada bayi dengan ibu yang HBs Ag positif.
c. Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka
vaksin polio yang diberikan adaiah suntikan IPV bila vaksin
tersedia, sehingga tidak menyebabkan penyebaran virus
vaksin polio melalui tinja
3. Pasien imunokompromais
Pada pasien imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat
penyakit dasar atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan
(kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin hidup
merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais,
untuk polio dapat diberikan IPV bila vaksin tersedia. Imunisasi
tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil
dan pemberian dalam waktu pendek. Imunisasi harus ditunda
pada anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2
mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/hari selama
14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan
kortikosteroid dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian
kemoterapi selesai.
4. Pada resipien yang mendapatkan human immuno globulin
Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan
untuk menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 385


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

5. Responnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang


tetapi kasus HIV memerlukan imunisasi. Ada pertimbangan
bila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna
karena penyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak
ada atau kurang. Apabila diberikan dini, vaksin hidup
akan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan
replikasi virus HIV sehingga memperberat penyakit HIV.
Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang
dilemahkan atau yang mati Sesuai jadwal anak sehat.

Tabel 10.4. Rekomendasi imunisasi untuk pasien HIV anak

Vaksin Rekomendasi Keterangan


IPV Ya Pasien dan keluarga serumah
DPT Ya Pasien dan keluarga serumah
Hib Ya Pasien dan keluarga serumah
Hepatitis B * Ya Sesuai jadwal anak sehat
Hepatitis A Ya Sesuai jadwal anak sehat
MMR ** Ya Diberikan umur 12 bulan
Influenza Ya Tiap tahun diulang
Pneumokok Ya Secepat mungkin
BCG *** Ya Dianjurkan untuk Indonesia
Varisela Tidak
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA, 2004.
Keterangan:
* Ada yang menganjurkan dosis hepatitis B dilipatgandakan dua kali
** MMR dapat diberikan pada pasien HIV yang asimtomatik atau HIV dengan gejala ringan.
*** Tidak diberikan pada HIV yang berat.

386 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Tabel 10.5. Indikasi Kontra dan perhatian khusus untuk Imunisasi


Indikasi kontra dan perhatian khusus Bukan indikasi kontra
(imunisasi dapat dilaku-
kan)
Berlaku umum untuk semua vaksin
DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B
Indikasi kontra Bukan indikasi kontra
Ensefalopati dalam 7 hari pasca DPT sebelumnya
Perhatian khusus
Demam >40,5 C dalam 48 jam pasca DPT Demam <40,5 C pasca
sebelumnya, yang tidak berhubungan dengan DPT sebelumnya
penyebab lain Riwayat kejang dalam
Kolaps dan keadaan seperti syok (episode keluarga
hipotonik-hiporesponsif) dalam 48 jam pasca Riwayat SIDS dalam
DPT sebelumnya keluarga
Kejang dalam 3 hari pasca DPT sebelumnya Riwayat KIPI dalam kelu-
Menangis terus>3 jam dalam 48 jam pasca DBT arga pasca DPT
sebelumnya
Sindrom guillain-barre dalam 6 minggu pasca
vaksinasi
Vaksin polio
Indikasi kontra Bukan indikasi kontra
Infeksi HIV atau kontak HIV serumah Menyusui
Imunodefisiensi (keganasan hermatelogi atau Sedang balam terapi anti
tumor padat, imuno-defisiensi kongenital, terapi biotik
imunosupresan jangka panjang) Diare ringan
Imunodefisiensi penghuni serumah
Perhatian khusus
Kehamilan
Campak
Perhatian khusus
Mendapat transfusi darah/produk darah atau
imunoglobulin (dalam 3-11 bulan, tergantung
produk darah dan dosisnya)
Trambositopenia
Riwayat purpura trombositopenia
Hepatitis B
Indikasi kontra Bukan indikasi kontra
Reaksi anafilaktoid terhadap ragi Kehamilan
Dikutip dari rekomendasi ACIP dan AAP dalam JC Watson, G. Petr, 1999.
Keterangan:
D = vaksin difteria DT = vaksin difteria dan tetanus
T = vaksin tetanus untuk anak Td = vaksin tetanus untuk dewasa
P = vaksin pertusis whole cell aP = vaksin pertusis aselular
SIDS = sudden infant death syndrome KIPI = kejadian ikutan pasca imunisasi
HIV = human immunodeficiency virus PPD = purified protein derivative

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 387


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

388 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 337


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

390 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kejadian pasca Imunisasi (KIPI)

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 391


Arwin P. Akib, Asri Purwanti

Daftar Pustaka

1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pemantauan dan Penanggulangan


KejadianIkutanPaska Imunisasi, DepartemenKesehatan Republik Indonesia, Jakarta
2005.
2. Reporting and Compensation Tables, National Childhood Vaccine Injury Act 1986,
Comittee from the Institute of Medicine, National Academy of Science USA, dalam
Atkinson W, Wolfe CS, Humiston S, Nelson R,2000.
3. WHO: Background rates of adverse events following immunization, supplementary
information on vaccine safety. Part 2 , 2000.

392 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Bab X-2
Pelaporan KIPI
Hindra Irawan Satari

Vaksinasi bertujuan untuk melindungi individu dan masyarakat


terhadap serangan penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
vaksinasi. Vaksin mutakhir cenderung lebih aman walaupun
demikian tidak ada vaksin yang tanpa risiko. Maka walaupun
jarang, sebagian orang dapat mengalami reaksi ringan sampai
mengancam jiwa setelah imunisasi. Pada beberapa kasus reaksi
disebabkan oleh vaksin, pada kasus lain penyebabnya adalah
kesalahan pemberian vaksin, tetapi sebagian besar umumnya
tidak berhubungan dengan vaksin. Apapun penyebabnya, apabila
timbul kejadian ikutan pasca imunisasi masyarakat selalu bersikap
menolak untuk pemberian imunisasi berikutnya, sehingga anak
tersebut akan rentan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi, sehingga dapat timbul kecacatan/kematian. Untuk itu,
pelaporan KIPI yang cepat dan tepat diikuti dengan tindak lanjut
yang benar dapat membantu pelaksana program mengatasi masalah
di lapangan sehingga masyarakat tidak resah dan tetap mendukung
program imunisasi.

Deteksi dan pelaporan KIPI

Kejadian ikutan pasca imunisasi adalah insiden medik yang


terjadi setelah imunisasi dan dianggap disebabkan oleh imunisasi.
Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI menetapkan
bahwa KIPI adalah semua kejadian penyakit atau kematian dalam
kurun waktu 1 bulan setelah imunisasi. Meskipun masyarakat
seringkali beranggapan bahwa insiden medik setelah imunisasi
selalu disebabkan oleh imunisasi, insiden umumnya terjadi

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 393


Hindra Irawan Satari

secara kebetulan (koinsiden). Sebagian yang beranggapan bahwa


vaksin sebagai penyebab KIPI juga keliru. Penyebab sebenarnya
adalah kesalahan program yang sebetulnya dapat dicegah. Untuk
menemukan penyebab KIPI kejadian tersebut harus dideteksi dan
dilaporkan.

KIPI yang harus dilaporkan


Semua kejadian yang berhubungan dengan imunisasi seperti:
· Abses pada tempat suntikan.
· Semua kasus limfadenitis BCG.
· Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau
masyarakat berhubungan dengan imunisasi.
· Semua kasus rawat inap, yang diduga oleh petugas
kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan
imunisasi.
· Insiden medik berat atau tidak lazim yang diduga oleh
petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan
imunisasi.

Pelapor KIPI
Pelapor KIPI adalah
· Petugas kesehatan yang melakukan pelayanan imunisasi.
· Petugas kesehatan yang melakukan pengobatan di pelayanan
kesehatan, rumah sakit serta sarana pelayanan kesehatan
lain.
· Peneliti yang melakukan studi klinis atau penelitian
lapangan.
Hal-hal yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan
· Apabila orang tua membawa anak sakit yang baru
diimunisasi, petugas kesehatan harus dapat mengenal KIPI
dan menentukan apakah perlu dilaporkan dan perlu tindakan
lebih lanjut.

394 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pelaporan KIPI

· Petugas harus mengetahui faktor pencetus dan harus mampu


menggunakan definisi kasus.
· Pada kasus ringan, petugas kesehatan harus tenang dan
memberi nasehat pada orang tua untuk mengobati pasien.
Reaksi ringan, seperti limfadenitis BCG dan abses kecil pada
tempat suntikan, tidak perlu dilaporkan kecuali apabila
tingkat kepedulian orang tua cukup bermakna.
· Para orang tua dan anggota masyarakat harus mengetahui
reaksi yang diharapkan terjadi setelah imunisasi dan
dianjurkan untuk melapor serta membawa dengan segera
anak yang sakit yang dikhawatirkan ke rumah sakit atau
fasilitas kesehatan.

Pelapo ran
· Laporan dibuat dengan mengisi formulir laporan yang
disediakan.
· Menyerahkannya ke instansi kesehatan tingkat
Kabupaten/ Daerah Tingkat II, dengan tembusan ke Sekretariat
KOMDA PP KIPI yang berkedudukan di provinsi.
· Petugas kesehatan di tingkat II harus merekapitulasi
kejadian serta menetapkan kasus tersebut termasuk KIPI atau
tidak, serta meneruskannya ke Instansi Kesehatan Propinsi /
Daerah Tingkat I sampai ke Subdit Imunisasi Dirjen PPM & PLP
Depkes dengan tembusan kepada KOMNAS PP KIPI.
· Dalam hal mendesak, pelaporan dapat disampaikan melalui
tele-
pon atau faxsimili, formulir pelaporan harus diisi kemudian.
· Data demografi

Data yang harus dilaporkan


1. Data pasien
· Riwayat perjalanan penyakit
· Riwayat penyakit sebelumnya

395 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pelaporan KIPI

· Riwayat imunisasi
· Pemeriksaan penunjang yang berhubungan
2. Data pemberian vaksin
· Nomor batch-vaccine
· Masa kadaluwarsa
· Nama pabrik pembuat vaksin
· Kapan dan dari mana vaksin dikirim
· Pemeriksaan penunjang tentang vaksin, apabila ada atau
berhubungan
3. Data yang berhubungan dengan program
· Perlakuan umum terhadap rantai dingin vaksin,
+ Penyimpanan vaksin, membeku? Kadaluwarsa?
+ Perlakuan terhadap vaksin, misalnya mengocok vaksin
sebelum disuntikkan
+ Perlakuan setelah vaksinasi, misal pembuangan vaksin
setelah selesai pelaksanaan imunisasi?
· Perlakuan mencampur serta melakukan imunisasi
+ Apakah pelarut yang dipakai sudah benar?
+ Apakah pelarut steril?
+ Apakah dosis sudah benar?
+ Apakah vaksin diberikan dengan cara dan tempat yang
benar?
· Ketersediaan jarum dan semprit
+ Apakah setiap semprit steril digunakan oleh satu
orang?
+ Perlakuan sterilisasi peralatan apakah telah dilakukan?
4. Data sasaran lain
· Jumlahpasien yang menerima imunisasi denganvaksinnomor
batch sama atau pada masa yang sama atau keduanya, dan
berapa jumlah pasien yang sakit serta bagaimana gejalanya.
· Jumlah sasaran yang diimunisasi dengan nomer batch lain
(dari produsen sama atau berlainan) atau masyarakat yang
tidak diimunisasi tetapi terkena penyakit dengan gejala yang
sama.

396 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pelaporan KIPI

Waktu pelaporan

Kematian dan rawat inap merupakan kasus yang harus segera


diperhatikan dan dilaporkan. Meski demikian kasus lain, seperti abses,
limfadenitis BCG dan KIPI lain harus juga segera dilaporkan. Gunakan
media komunikasi tercepat, seperti telepon, faksimili dan lain-lain.

Cara pelaporan
· Semua kolom formulir yang dapat diisi, harus dilengkapi.
Apabila perlu, jangan ragu untuk menuliskan laporan tambahan
pada formulir tersebut.
· Laporan bulanan harus dibuat, sekalipun tidak ada
kasus (tuliskan jumlah kasus 0, zero report).
· Petugas kesehatan di tingkat II/kabupaten harus
mengidentifikasi masalah dan menilai, sehingga dapat
terlihat,
 Apakah kejadian ini berlangsung di Puskesmas/tempat yang
sama setiap bulan.
 Apakah beberapa Puskesmas/tempat yang berbeda
melaporkan hal yang sama.
 Bagaimana perbandingan laporan yang dibuat oleh
Puskemas/tempat yang berbeda dilaporkan.

Tindakan selanjutnya
Pelacakan harus dilakukan segera setelah laporan diserahkan tanpa
ditunda. Pelacakan dimulai oleh petugas kesehatan yang mendeteksi
KIPI, atau oleh supervisor yang melihat pola tertentu di daerah
binaannya. Di lain fihak, dalam beberapa keadaan untuk KIPI
tertentu tidak perlu dilakukan tindak lanjut, seperti penyakit yang
tidak berhubungan dengan imunisasi, seperti pneumonia setelah
penyuntikan DPT. Meskipun demikian apabila orang tua pasien
atau fihak keluarga menganggap kejadian tersebut berhubungan
dengan imunisasi, berikan kesempatan kepada mereka untuk
mendiskusikan masalah tersebut dengan petugas kesehatan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 397


Hindra Irawan Satari
Ba b 1 0
-2. P e la p

Diisi oleh KOMNAS PP KIPI


FORM ULIR PELAPORAN Kode ......................................
KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI (KIPI) Tanggal terima.........................:
Pasien
Nama Tanggal lahir .../.../.... Dokter penanggung jawab
Nama orang tua · Laki-laki Alamat (RS, Puskesmas, Klinik)
Alamat: · Perempuan 0 RT/RW: Kel:
Kota: Wanita usis subur (WUS) Kota Kode pos:
Provinsi.: · Hamil 0 Provinsi:
Tilpon: · Tidak hamil 0 Pemberi imunisasi: dokter/ bidan/ perawat/ jurim
Daftar vaksin yang pernah diberikan 4 minggu terakhir, termasuk imunisasi terakhir
Pemberian
Nomer Tetes oral/ Tempat
Jenis vaksin Pabrik Jumlah Tanggal
Batch subkutan i.m/ Imunisasi (*)
intrakutan dosis imunisasi
1
2
(*) 1. RS 2. RB 3. Puskesmas 4. Dokter praktek 5. Bidan praktek 6. Balai Pengobatan
7. Posyandu 8. Balai imunisasi 9. Sekolah
Manifestasi kejadian ikutan
Waktu
Keluhan, gejala klinis gejalatim Lama gejala Keterangan lanjutan/ Hasil akhir
bul menit jam hari
Reaksi alergi Tindakan darurat
* gatal Rawat inap/jalan
* bengkak bibir Sembuh/tidak
* urtikaria Meninggal (tgl.........)
Muntah Gejala sisa
Diare Diagnosis
Pingsan Ensefalitis/ ensefalopati
Kejang Sindrom Guillain-Barre
Sesak nafas Hipotensif hiporesponsif
Demam tinggi (>39°C) Abses
Bengkak Neuritis brakhialis
Pembesaran kel limf Syok anafilaksis
Kelemahan/ kelumpuhan Polio paralitik
Kesadaran menurun Trombositopenia purpura
Riwayat reaksi simpang obat/ vaksin yang pernah dialami
Obat-obatan yang diberikan bersamaan 0...................................... 0 Data laboratorium (bila ada)
Penyakit yang diduga diderita pada saat imunisasi (spesifik) Diagnosis dokter ................................
Pengobatan yang diberikan 0 0 0

Penerimaan laporan KIPI .................tanggal / /


Tanggal: / / Tanda tangan pelapor,

398 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Pelaporan KIPI

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Petunjuk teknis kejadian ikutan
pasca imunisasi. Edisi ke-4. Jakarta, Subdit Imunisasi, Ditjen PPM & PLP 2004.
2. American Academy of Pediatrics. Vaccine safety and contra indication: reporting of
adverse events. Dalam: PickeringLK., penyunting. Red Book 2000, Report Committee
on Infectious Diseases. Edisi ke-25. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics
2000.h.30-1.
3. Plotkin SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccine safety. Dalam: Vaccine. Edisi ke-4.
Philadelphia: W.B. Saunders 2004.
4. National Health and Medical Research Council. Reporting adverse reactions. Dalam:
Watson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Canberra:
NHMRC 2008.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 399


Bab XI
Miskonsepsi dan Kontroversi
Dalam Vaksinasi
1. Miskonsepsi
2. Kontroversi

Pen gantar

Tak dapat diragukan bahwa imunisasi telah membawa perubahan


yang sangat dramatik di dunia kedokteran. Suatu program kesehatan
yang paling efektif dan efisien dalam menurunkan angka kematian
dan angka kesakitan. Namun demikian, ternyata masih banyak
kontroversi yang berasal dari faktor program imunisasi, vaksin
atau resipien yang menerima imunisasi. Pada suatu saat masalah
tersebut menjadi sangat intens, pada saat lain menyurut, tergantung
pada adanya pemicu yang timbul di masyarakat. Masalahnya
makin mencuat, karena imunisasi dilakukan pada anak yang sehat,
sehingga bila terjadi reaksi betapapun kecilnya, akan memicu rasa
tidak aman pada orang tua. Cara pemberian imunisasi sebenarnya
menirukan kejadian sakit karena suatu infeksi secara alamiah,
sehingga menimbulkan “infeksi ringan” yang tidak berbahaya,
namun cukup menyiapkan respon imun dan kekebalan. Dengan
demikian apabila ada paparan penyakit yang sesungguhnya anak
tidak menjadi sakit.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 400


Bab XI-1
Miskonsepsi Imunisasi
Hartono Gunardi, Ismoedijanto

Di masyarakat sering terdengar pendapat yang salah atau


miskonsepsi mengenai imunisasi. Tidak jarang dijumpai orangtua
yang ragu atau bahkan menolak imunisasi dengan berbagai
alasan. Ketakutan atau penolakan imunisasi mungkin berdasarkan
pandangan religi, filosofis tertentu, anggapan imunisasi sebagai
intervensi pemerintah. Alasan lain adalah berhubungan dengan
keamanan dan efikasi vaksin atau pandangan bahwa penyakit yang
dapat dicegah oleh vaksinasi tidak menimbulkan masalah kesehatan
yang berbahaya.
Keraguan tentang manfaat dan keamanan imunisasi perlu
ditanggapi secara aktif. Apabila orangtua mendapat jawaban
akurat dan informasi yang benar, maka orangtua dapat membuat
keputusan yang benar tentang imunisasi.

Miskonsepsi imunisasi yang sering dijumpai,

1. Penyakit telah menghilang sebelum vaksin diperkenalkan,


akibat perbaikan sanitasi dan higiene.

Pengamatan difteria di Eropa setelah perang dunia ke II menunjukkan


adanya penurunan insidens penyakit, sejalan dengan perbaikan
sanitasi dan higiene. Namun penurunan kejadian penyakit yang
permanent baru tampak setelah program imunisasi dijalankan
secara luas. Kondisi sosial ekonomi yang membaik mempunyai
dampak positif bagi penyakit. Nutrisi yang cukup, penemuan
antibiotik dan pengobatan lain, telah meningkatkan angka harapan
hidup bagi pasien. Kepadatan penduduk yang berkurang, telah
menurunkan transmisi penyakit. Angka kelahiran yang menurun

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 401


Hartono Gunardi, Ismoedijanto

juga telah menurunkan jumlah anak yang rentan dan menurunkan


transmisi antar keluarga. Pengamatan insidens penyakit jangka
panjang dapat menerangkan dampak vaksin dalam menurunkan
penyakit.
Pengalaman negara maju, seperti Inggris, Swedia dan Jepang,
menunjukkan bahwa penghentian program imunisasi pertusis
karena kekhawatiran terhadap efek samping vaksin, menimbulkan
dampak peningkatan penyakit. Di Inggris, penurunan imunisasi
pertusis pada tahun 1974 diikuti oleh epidemi dengan lebih dari
100.000 kasus dan 36 meninggal pada tahun 1978. Di Jepang pada
kurun waktu yang hampir sama, terjadi penurunan cakupan
imunisasi pertusis dari 70% menjadi 20%-40%. Hal itu diikuti dengan
peningkatan kasus pertusis dari 393 dan tanpa kematian pada tahun
1974 menjadi 13.000 kasus dan 41 meninggal pada tahun 1979. Di
Swedia, incidence rate per 100.000 anak umur 0-6 tahun meningkat
dari 700 kasus pada tahun 1981 menjadi 3.200 pada tahun 1985.
Untuk penyakit difteria, dapat disajikan data dari propinsi
Ontario yang mempunyai data morbiditas, mortalitas dan case
fatality rate untuk kurun waktu 1880-1940. Sebelum ditemukan
antitoksin difteria, mortalitas difteria melampaui 50 per 100.000
populasi pada masa tersebut. Mortalitas menurun menjadi sekitar
15 per 100.000 pada Perang Dunia I, meskipun angka morbiditas
tidak menurun. Setelah penggunaan toksoid difteri secara luas pada
akhir tahun 1920, penyakit difteria menurun drastis.
Dari pengalaman tersebut jelas bahwa dampak imunisasi lebih
besar daripada perbaikan sanitasi. Penghentian imunisasi akan
meningkatkan kembali angka kejadian penyakit.

2. Mayoritas anak yang sakit telah divaksinasi

Pendapat yang salah ini sering dijumpai dalam rumor maupun


dalam literatur kelompok anti vaksin. Memang dalam suatu kejadian
luar biasa (KLB) jumlah anak yang sakit dan pernah diimunisasi
mungkin lebih banyak dibandingkan jumlah anak sakit dan belum
diimunisasi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 402


Miskonsepsi
Imunisasi

Ketimpangan ini dapat diterangkan dengan 2 faktor, yaitu


tidak ada vaksin yang efektif 100%. Supaya aman, maka bakteri
atau virus dimatikan atau dilemahkan (attenuated) terlebih dahulu.
Efektivitas sebagian besar vaksin pada anak adalah sebesar 85%-
95%, tergantung respon individu. Faktor kedua adalah jumlah anak
yang diimunisasi lebih banyak dibanding jumlah anak yang belum
diimunisasi di negara telah yang menjalankan program imunisasi.
Bagaimana kedua faktor terebut berinteraksi diilustrasikan dalam
contoh hipotetis sebagai berikut.
Satu sekolah mempunyai 1000 murid. Semua murid pernah
diimunisasi campak 2 kali, kecuali 10 yang tidak pernah sama
sekali. Ketika semua murid terpapar campak, 10 murid yang belum
diimunisasi, semuanya menderita campak. Dari kelompok yang telah
diimunisasi campak 2 kali, sakit 25 orang. Kelompok anti imunisasi
akan mengatakan bahwa persentase murid yang sakit adalah 71,4%
(25/35) dari kelompok yang pernah imunisasi dan 28,6% (10/35)
dari kelompok yang tidak pernah imunisasi. Padahal bila dihitung
efek proteksi, maka imunisasi memberikan perlindungan sebesar
(990– 25)/990 = 97,5%. Yang tidak diimunisasi, efek proteksi sebesar
0/10 = 0%. Dengan kata lain, 100% murid yang tidak mendapat
imunisasi akan sakit campak; dibanding kurang dari 2% murid
yang mendapat imunisasi campak 2 kali akan menderita sakit
campak. Dengan demikian jelas bahwa imunisasi berguna untuk
melindungi anak.

3. Vaksin menimbulkan efek samping yang berbahaya,


kesakitan dan bahkan kematian.

Vaksin merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua


efek simpang vaksin bersifat ringan dan sementara seperti nyeri di
lengan pada bekas suntikan atau demam ringan. KIPI secara definitif
mencakup semua kejadian sakit pasca imunisasi. Prevalensi dan
jenis sakit yang tercantum dalam KIPI dengan sendirinya hampir
sama dengan prevalensi dan jenis sakit dalam keadaan sehari-
hari tanpa adanya program imunisasi. Hanya sebagian kecil yang

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 403


Hartono Gunardi, Ismoedijanto

memang berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya, sebagian besar


akan bersifat ko-insidens. Kematian yang disebabkan oleh vaksin
sangat sedikit. Sebagai ilustrasi semua kematian yang dilaporkan
di Amerika sebagai KIPI pada tahun 1990 – 1992, hanya 1 yang
mungkin berhubungan dengan vaksin. Institute of Medicine tahun
1994 menyatakan bahwa risiko kematian akibat vaksin adalah amat
rendah (extra-ordinarily low).
Besarnya risiko harus dibandingkan dengan besarnya manfaat
vaksin. Bila satu efek simpang berat terjadi dalam sejuta dosis vaksin
namun tidak ada manfaat vaksin, maka vaksin tersebut tidak berguna.
Manfaat imunisasi akan lebih jelas bila risiko penyakit dibandingkan
dengan risiko vaksin seperti yang terlihat pada Tabel 11.1.

Tabel 11.1. Risiko morbiditas dan mortalitas akibat penyakit dan akibat
vaksin

Penyakit Vaksin

404 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Miskonsepsi Imunisasi
Campak MMR
Pneumonia: 6: 100 Ensefalitis atau reaksi
Ensefalitis: 1 : 1.000 alergi yang berat
Meninggal: 2: 1.000
Rubela
Sindrom
rubela 1: 4 (jika
kongenital ibu terinfeksi
pada awal
kehamilan

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 405


Hartono Gunardi, Ismoedijanto

Difteria DTaP
Meninggal 1 : 20 Menangis terus lalu pulih
kembali
Tetanus Kejang/renjatan lalu
Meninggal 2: 10 pulih kembali
Ensefalopati akut
Pertussis Kematian
Pneumonia 1:8
Ensefalitis 1 : 20
Kematian 1 : 200

1: 1.000.000

1:1.000

1:14.000

0 - 1 0 . 5:
1.000.000
Tidak
terbukti

406 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Miskonsepsi
Imunisasi

Fakta menunjukkan bahwa penyakit lebih banyak menimbulkan


risiko komplikasi maupun kematian pada anak dibanding imunisasi.
Anak akan menderita lebih banyak sakit jika tidak mendapat
imunisasi.

4. Penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin telah tidak ada di


negara kita, sehingga anak tidak perlu imunisasi

Angka kejadian beberapa penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin


memang telah menurun drastis. Namun kejadian penyakit tersebut
masih cukup tinggi di negara lain. Siapapun, termasuk wisatawan,
dapat membawa penyakit itu secara tidak sengaja dan dapat
menimbulkan wabah.
Hal tersebut serupa dengan KLB polio di Indonesia pada
tahun 2005 yang lalu. Sejak tahun 1995, tidak ada kasus polio
yang disebabkan oleh virus polio liar. Pada bulan April 2005,
Laboratorium Biofarma di Bandung mengkonfirmasi adanya virus
polio liar tipe 1 pada anak berusia 18 bulan yang menderita lumpuh
layu akut pada bulan Maret 2005 yang tidak pernah diimunisasi
polio sebelumnya. Virus polio selanjutnya menyebabkan wabah
merebak ke 10 propinsi, 48 kabupaten. Sampai bulan April 2006
tercatat 349 kasus polio, termasuk 46 kasus VDPV ( vaccine derived
polio virus) di Madura dan 2 kasus yang terjadi pada tahun 2006.
Dari analisis genetik virus, diketahui bahwa virus berasal dari
Afrika barat. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa virus sampai
ke Indonesia melalui Nigeria Sudan dan sama seperti virus yang
diisolasi di Arab Saudi dan Yaman.

Dari pengalaman tersebut, terbukti bahwa anak tetap harus


mendapat imunisasi karena dua alasan. Alasan pertama adalah anak
harus diindungi. Meskipun risiko terkena penyakit adalah kecil, bila
penyakit masih ada, anak yang tidak terproteksi tetap masih dapat
terinfeksi. Alasan kedua imunisasi anak penting untuk melindungi
anak lain di sekitarnya. Terdapat sejumlah anak yang tidak dapat
diimunisasi (misalnya karena alergi berat terhadap komponen
vaksin) dan sebagian kecil anak yang tidak memberi respon terhadap

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 407


Hartono Gunardi, Ismoedijanto

imunisasi. Anak-anak tersebut rentan terhadap penyakit dan


perlindungan yang diharapkan adalah dari orang-orang di sekitarnya
yang tidak sakit dan tidak menularkan penyakit kepadanya.

5. Pemberian vaksin kombinasi (multipel) untuk berbagai


penyakit pada waktu tertentu meningkatkan risiko efek
simpang yang berbahaya dan dapat membebani sistem
imun

Anak-anak terpapar pada banyak antigen setiap hari. Makanan


dapat membawa bakteri yang baru ke dalam tubuh. Sistem imun
juga akan terpapar oleh sejumlah bakteri yang hidup di mulut dan
hidung. Infeksi saluran napas bagian atas akan menambah paparan
4-10 antigen, sedangkan infeksi streptokokus pada tenggorokan
memberi paparan 25-50 antigen. Tahun 1994 Institute of Medicine
menyatakan bahwa dalam keadaan normal, penambahan jumlah
antigen dalam vaksin tidak mungkin akan memberikan beban
tambahan pada sistem imun dan tidak bersifat imunosupresif.
Data penelitian menunjukkan bahwa imunisasi simultan dengan
vaksin multipel tidak membebani sistem imun anak normal. Pada
tahun 1999 Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP)
dan American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Academy of
Family Physicians (AAFP) merekomendasi pemberian vaksin
kombinasi untuk imunisasi anak. Keuntungan pemberian vaksin
kombinasi adalah mengurangi jumlah suntikan yang diperlukan
untuk melindungi anak terhadap penyakit infeksi. Keuntungan
lain adalah mengurangi biaya penyimpanan dan pemberian vaksin,
mengurangi biaya kunjungan ke fasilitas kesehatan dan memfasilitasi
penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi.

Kombinasi vaksin menjadi satu tidak meningkatkan efek


simpang secara keseluruhan. Vaksin kombinasi misalnya dengan
DTaP, frekuensi efek simpang lebih rendah disbanding vaksin
diberikan terpisah. Schmitt dkk membandingkan respon antibodi
dan efek simpang vaksin pada kelompok anak yang mendapat
vaksin DTaP-HBV-IPV-Hib dalam satu suntikan dengan kelompok

408 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Miskonsepsi
Imunisasi

anak yang mendapat Hib dalam suntikan berbeda. Tidak ditemukan


perbedaan bermakna dalam efek simpang vaksin pada regimen
yang berbeda.
Dua alasan praktis dalam memberikan beberapa vaksin
dalam satu kunjungan, yaitu anak mendapat perlindungan
sedini mungkin dalam awal kehidupannya. Alasan lain adalah
pemberian vaksin simultan akan menghemat waktu dan biaya
serta mungkin kurang traumatis bagi anak.

6. Vaksin MMR menyebabkan autisme

Autisme adalah kelainan perkembangan kronis yang ditandai


dengan gangguan interaksi, komunikasi serta perhatian dan
aktivitas yang repetitif dan restriktif.

Dr. Andrew Wakefield bersama peneliti lain dari Royal Free


Hospital London, tahun 1993 melaporkan adanya hubungan antara
virus campak dan vaksin campak dengan Inflammatory Bowel
Syndrome (IBD). Penelitian dilakukan pada 25 anak dengan penyakit
Crohn dibandingkan dengan 22 anak normal. Tahun 1998 peneliti
yang sama melaporkan sindrom baru dari IBD yang berhubungan
dengan gangguan perkembangan seperti autism. Peneliti menduga
vaksin MMR menyebabkan IBD dan menurunkan absorpsi
vitamin dan nutrien esensial dari saluran cerna, yang selanjutnya
menimbulkan autism. Hubungan kausal dalam penelitian ini,
dinilai lemah dan mengandung beberapa kekurangan. Kekurangan
pertama adalah penelitian dilakukan pada pasien yang sangat
selektif yaitu yang dirujuk ke Royal Free Hospita,lLondon; sehingga
tidak mewakili populasi pasien secara umum (bias rujukan atau
referral bias). Seri kasus tidak dapat menentukan adanya hubungan
kausal. Kelemahan yang terpenting adalah hubungan vaksin dan
autisme dibuat berdasarkan ingatan orangtua (parental recall).
Orangtua cenderung menghubungkan gangguan perilaku dengan
kejadian yang mudah diingat seperti imunisasi. Tidak ada bukti
ilmiah yang mendasari teori tersebut. Lebih lanjut, 4 dari 12 kasus,
menunjukkan gangguan perilaku sebelum timbul gejala IBD.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 409


Miskonsepsi
Imunisasi

Wakefield dan kawan-kawan, mempublikasi penelitian lain


tentang pemeriksaan virus campak pada pasien inflammatory bowel
disease, dugaan mekanisme terjadinya autism setelah vaksin MMR,
yang mengandung vaksin campak, tidak terbukti karena tidak
mengandung virus campak.
Telaah yang dilakukan oleh pakar Kanada dan WHO
menyimpulkan bahwa dari data epidemiologi yang ada saat
sekarang, tidak menunjukkan adanya hubungan kausal antara virus
campak dan IBD. Tahun 1998, para pakar kedokteran Inggris, WHO
dan internasional berkumpul untuk membahas masalah tersebut
dan berkesimpulan bahwa berdasarkan bukti yang ada saat itu,
tidak ada hubungan antara campak, vaksin campak dengan penyakit
Crohn (IBD) ataupun autisme.

7. Thimerosal menimbulkan gangguan perkembangan


Thimerosal (disebut thiomersal di Inggris dan di negara
persemakmuran) merupakan preservasi (pengawet) vaksin
yang mengandung etilmekuri, suatu senyawa organik yang
dimetabolisme menjadi merkuri. Thiomersal mengandung 49,6%
merkuri, dan berguna untuk mencegah kontaminasi bakteri dan
jamur pada vaksin multidosis. Thimerosal telah digunakan di dalam
vaksin sejak tahun 1930an.
Imunisasi berulang dengan vaksin yang mengandung thimerosal,
pada bayi baru lahir terutama bayi kurang bulan, secara teoritis
dapat meningkatkan kadar merkuri dalam darah. Namun penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan kadar merkuri itu masih dalam
rentang ‘normal’ yang diacu oleh US Department of Health & Human
Services. Sejauh ini tidak ada bukti ilmiah bahwa thimerosal vaksin
mengakibatkan gangguan perkembangan anak. Penelitian di
Denmark yang membandingkan insidens autism dalam periode waktu
pemberian vaksin berthimerosal dengan insidens autism dalam periode
pemberianvaksin bebas thimerosal. Ternyata setelah tahun 1992, yaitu
saat pemberian vaksin bebas thimerosal, insidens autisme meningkat
tajam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa vaksin dengan

410 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Miskonsepsi
Imunisasi

thimerosal tidak berkorelasi dengan insidens autisme. Penelitian di


Inggris yang melibatkan lebih dari 13.000 anak yang mendapat vaksin
mengandung thimerosal, menunjukkan bahwa tidak ada bukti tentang
paparan thimerosal pada umur dini menimbulkan efek buruk pada
perkembangan saraf maupun psikologis.
Namun demikian, pada tahun 1999 Food and Drug Authority
(FDA) menghimbau semua produsen vaksin agar menghilangkan
atau mengurangi thimerosal dari vaksin. Demikian pula American
Academy of Pediatrics (AAP) dan United States Public Health Service
(USPHS) mengeluarkan pernyataan bersama untuk mengurangi atau
menghilangkan thimerosal dari vaksin. Pada tahun 2000 diluncurkan
vaksin hepatitis B baru tidak mengandung thimerosal.
Selain miskonsepsi yang dikemukakan oleh WHO dan CDC di
atas, ada beberapa pandangan salah yang sering dijumpai pada
masyarakat Indonesia. Dapat diketahui pada bab Tanya Jawab
Orangtua Mengenai Imunisasi.
8. Bila anak tidak demam setelah divaksinasi, berarti vaksinnya
tidak bekerja

Perlu dibedakan antara imunogenitas vaksin dan reaktogenitas


vaksin. Imunogenitas adalah kemampuan vaksin tertentu
untuk membentuk imunitas atau kekebalan pada individu yang
menentukan daya proteksi vaksin. Reaktogenitas adalah respons
tubuh yang tidak nyaman yang timbul setelah imunisasi.
Penelitian imunogenitas atau daya proteksi vaksin DTP setelah
penyuntikan pertama kali adalah 6%-29%, dan setelah penyuntikan
ketiga adalah 68%-81%. Reaktogenitas vaksin DTP menyebabkan
demam menetap setelah penyuntikan sekitar 46,9%.

9. Setelah imunisasi vaksin polio oral, bayi tidak boleh minum


ASI selama beberapa jam

Dalam masyarakat termasuk di kalangan paramedis, terdapat isu


bahwa setelah imunisasi polio oral, pemberian ASI perlu ditunda
untuk jangka waktu tertentu. Ada yang menganjurkan untuk

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 411


Hartono Gunardi, Ismoedijanto

menunda 15 menit, ada yang menganjurkan penundaan sampai 1


jam. Pendapat tersebut tidak beralasan.
Efek ASI pada serokonversi terhadap vaksin polio oral diteliti
oleh John dan kawan-kawan, pada 300 bayi berusia 6 - 51 minggu
di India. Bayi dibagi dalam 6 kelompok dan mendapat vaksin polio
oral (OPV) trivalen. Grup pertama mendapat ASI on demand, namun
wajib mendapat ASI dalam interval 30 menit sebelum sampai 15
menit sesudah OPV. Pada grup kedua, tiga, empat, lima pemberian
ASI ditunda selama 3, 4, 5 dan 6 jam sesudah dan sebelum OPV.
Grup ke enam mendapat susu formula. Sampel darah diambil
pada saat sebelum imunisasi dan dari 227 bayi pada 4 minggu
setelah OPV pertama dan/atau OPV ketiga. Dilakukan pengukuran
antibodi terhadap virus polio tipe 1,2 dan 3 setelah dosis pertama
dan ketiga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons rate sama
pada seluruh kelompok yang mendapat ASI, tidak tergantung
pada jadwal pemberian ASI, demikian pula pada kelompok susu
formula. Dengan demikian, ASI tidak memperlihatkan hambatan
pada pembentukan antibodi terhadap OPV pada bayi setelah
periode neonatus.

Daftar Pustaka

1. WHO. Six common misconceptions about immunization. Diunduh dari http://www.


who.int/immunization_safety/aefi/immunization_misconceptions/en/print.html tanggal
19 Februari 2007.
2. CDC Publications. Six Common Misconceptions about vaccination and how to respond
to them. Diunduh dari : http://www.cdc.gov/nip/publications/6mishome.htm tanggal 19
Februari 2007.
3. McKinnon NE. Diptheria prevented. Dalam: Cruickshank R(ed). Control of the
common fevers. Lancet: 1942; 41-56. Dikutip dari Wharton M, Vitek CR. Diphtheria
Toxoid. Dalam Plotkin SA, Orenstein WA (eds) Vaccines. Philadelphia, Saunders,
2004:211-28.
4. Macintyre CR, Gidding H. Myths & Realities. Responding to arguments against
immunization. A guide for provider. Edisi ke-3. Canbera, Department of Health and
Aged Care, 2001.

412 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Miskonsepsi
Imunisasi

5. Heron J, Golding J, the ALSPAC Study Team. Thimerosal Exposure in Infants and
Developmental Disorders: A Prospective Cohort Study in the United Kingdom Does
Not Support a Causal Association. Pediatrics 2004;114:577–83.
6. Anne-Marie Plesner, Peter H. Andersen and Preben B. Mortensen Kreesten M.
Madsen, Marlene B. Lauritsen, Carsten B. Pedersen, Poul Thorsen, Thimerosal and the
Occurrence of Autism: Negative Ecological Evidence From Danish Population-Based
Data. Pediatrics 2003;112;604-6.
7. Joint statement of the American Academy of Pediatrics (AAP) and the United States
Public Health Services (USPHS). Pediatrics 1999: 104; 568-9.
8. Schmitt HJ, Knuf M, Ortiz E, Sänger R, Uwamwezi MC, Kaufbold A. Primary
vaccination of infants with diphtheria-tetanus-acellular pertussishepatitis B virus-
inactivated polio virus and Haemophilus influenzae type b vaccines given as either
separate or mixed injections. J Pediatr 2000;137:304-12.
9. David Elliman. Safety and efficacy of combination vaccines. Combinations reduce
distress and are efficacious and safe. Editorial. BMJ 2003;326:995–6.
10. WHO. Outbreak of polio in Indonesia. Updated 10 April 2006. Diunduh dari http://
www.searo.who.int/vaccine/linkfiles/polioupdate.pdf tanggal 13 Maret 2007.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 413


Miskons
epsi
Imunisa
si

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 414


Bab XI-2
Kontroversi dalam Imunisasi
Ismoedijanto

Imunisasi telah membawa perubahan yang sangat dramatik di


dunia kedokteran. Program kesehatan yang paling efektif dan efisien
dalam menurunkan angka kematian dan angka kesakitan. Namun
demikian, masih banyak kontroversi yang muncul dari faktor
penerapan program imunisasi, vaksin dan bahan di dalamnya atau
resipien penerima imunisasi. Pada suatu saat sangat intens, pada
saat lain menyurut, tergantung pada ada-tidaknya pemicu yang
timbul di masyarakat Masalahnya dapat makin mencuat, karena
imunisasi dilakukan pada anak yang sehat, sehingga betapapun
kecilnya reaksi yang terjadi akan memicu rasa tidak aman pada orang
tua. Konsep imunisasi pada dasarnya adalah menggugah respons
tubuh dengan sengaja, agar anak kebal terhadap paparan penyakit
yang dituju di kemudian hari. Pada perjalanan sejarah imunisasi,
keseimbangan antara imunitas dan reaktogenitas ini sering berubah-
ubah, tergantung pada vaksin ataupun interaksi yang terjadi antara
vaksin dan resipiennya. Perubahan keseimbangan ini dapat memicu
kontroversi imunisasi, terutama bila skala besaran program menjadi
sangat besar, misalnya imunisasi global. Meskipun proporsi
reaktogenitas tetap, namun besaran program menyebabkan jumlah
kasus menjadi lebih menonjol, dan menjadi lebih menakutkan.

Imunisasi jangan hanya diperlakukan sebagai upaya klinik saja


namun harus dipandang sebagai tindakan epidemiologik dan dinilai
keberhasilannya dengan parameter epidemiologik, yaitu berapa
banyak kasus dan berapa banyak penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi.
Masalah epidemiologik yang berbeda pada setiap benua bahkan
setiap negara, mengakibatkan perbedaan kebutuhan akan imunisasi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 415


Kontroversi dalam Imunisasi

Beban penyakit di suatu negara atau region tertentu merupakan


acuan utama pada saat kita merencanakan dan memutuskan
upaya imunisasi. Selanjutnya berkembang praktek imunisasi yang
menekankan pada perlindungan individu, selaras dengan konsep
penghargaan pada individu di negara Barat. Praktek imunisasi
menggunakan segala teknologi kedokteran yang ada, vaksin yang
efektif dan efisien, yang menurunkan probabilitas kemungkinan
menjadi sakit.
Kenyataan bahwa penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi masih berada di sekitar kita, mengancam kematian dan
kecacatan, merupakan alasan menempatkan imunisasi sebagai
ujung tombak kesehatan anak. Setiap anak harus mendapat
manfaat imunisasi, sampai ada bukti ilmiah yang menghentikannya.
Kembali keseimbangan akan imunitas dan reaktogenitas merupakan
pertimbangan yang harus dikaji, melebihi pertimbangan lain seperti
pertimbangan keuntungan dan sebagainya.

Beberapa kontroversi yang timbul


1. Pelaksanaan program imunisasi

Perbedaan pendapat seringkali terjadi di antara para ilmuwan


dengan para penentu kebijakan di masa yang lampau dan bahkan
sampai saat ini. Dari sejarah kita ketahui adanya pertentangan
program imunisasi di masyarakat, yaitu sejak masa Pasteur
mengenalkan imunisasi rabies, sampai keputusan imunisasi demam
tifoid semasa perang Boer. Demikian pula penentang imunisasi cacar
di Inggris yang sampai membawa masalah tersebut ke parlemen,
bahkan perseteruan juga terjadi saat imunisasi telah menjadi
program global. Para ibu di Jepang dan Inggris menolak imunisasi
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 416
Kontroversi dalam Imunisasi

DTP karena menyebabkan reaksi panas. Setelah Perang Dunia II,


vaksin berkembang sangat pesat, sejalan dengan berkembangnya
teknologi biakan pada sel hidup yang semula dianggap tidak etis.
Untuk beberapa waktu keberhasilan imunisasi mencegah kejadian
penyakit dan bahkan mampu menghilangkan penyakit cacar dari

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 417


Ismoedijanto

bumi, telah menenangkan para penentang imunisasi, yang kemudian


muncul kembali pada permulaan tahun 2000-an, yaitu dengan
masih banyaknya orang tua yang menentang program imunisasi
melalui media massa. Vaksin DTaP yang kurang menyebabkan
panas dapat meredam sikap anti imunisasi sampai timbul kasus
autisme yang menurut penelitian Montgomery disebabkan oleh
karena suntikan MMR. Kelompok penentang imunisasi pada saat
ini menggunakan media maya (internet) untuk memicu isu-isu anti
imunisasi dengan bukti ilmiah yang tingkat evidence-nya rendah
namun sensasional

Masalah yang dilontarkan adalah:


a. Imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah telah merampas
hak warganegara untuk memilih tidak diimunisasi (hak
untuk sakit dan menjadi sumber penularan). Khusus di
Indonesia, Undang Undang Wabah memberikan sanksi pada
siapapun yang melalaikan atau menghalangi pelaksanaan
penganggulangan wabah.
a. Imunisasi pada anak mementingkan kekebalan jangka pendek
terhadap beberapa penyakit menular tertentu dan menggangu
kekebalan jangka panjang, penyakit tersebut pindah ke usia
yang lebih tua.
c. Imunisasi memindahkan satu penyakit dari satu masa ke
penyakit lain pada usia lain dan juga menghilangkan satu
penyakit tetapi menimbulkan penyakit lain. Bagi para
ilmuwan yang menghargai hak hidup kuman dan virus di
bumi, isu ini bukan merupakan masalah baru.

2. Vaksin dan keamanannya

Vaksin adalah suatu bahan yang dapat merangsang kekebalan


dan dibuat dengan menggunakan teknologi kedokteran yang
paling maju. Vaksinologi telah menyerap begitu banyak teknologi
kedokteran yang terbaik, sehingga sulit mencari tandingan vaksin
ini. Bahkan Katz, 1999, menyebutnya sebagai the best science can
give. Meskipun minimal ada kelemahan dari metode imunisasi

418 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kontroversi dalam Imunisasi

ini.

Kelemahan metode imunisasi ini tidak berarti vaksin tersebut tidak


aman. Kelemahan ini mungkin baru terungkap setelah vaksin
digunakan dalam jangka waktu yang lama. Masalah yang kemudian
muncul adalah siapa yang berminat untuk membiayai penelitian
yang membuktikan adanya efek samping yang minimal setelah 20-40
tahun pemberian imunisasi? Vaksin adalah substansi biologik hidup
yang aman sampai suatu saat dapat dibuktikan cacat. Kontroversi
berasal dari

a. Jenis dan bahan vaksin


Vaksin digolongkan menjadi beberapa jenis (vaksin mati-hidup,
vaksin polisakarida, vaksin rekombinan) semuanya dibuat
dengan cara yang berbeda dan memberikan “kelemahan” yang
berbeda pula. Vaksin hidup paling banyak menuai tuduhan,
karena atenuasi atau proses pelemahan yang kurang kuat akan
menyebabkan penyakit atau menyimpangnya respon imun
penerima.

b. Bahan dalam vaksin


Bahan dalam vaksin terutama adalah bahan pengawet, bahan
antibeku, bahan pewarna dan bahan yang ikut dalam proses
pembuatan vaksin. Bahan ini bermanfaat untuk penyimpanan
vaksin dosis multipel, sehingga biaya imunisasi dapat ditekan.
Bahan merkuri merupakan bahan yang paling digunjingkan
merusak otak, seperti kasus keracunan merkuri di Minimata.
Tiomersal mengandung 49.6% Hg dari beratnya, dalam tubuh
dimetabolisir menjadi etilmerkuri dan thiosalisilat. Waktu
paruh tubuh adalah 50 hari. Paparan merkuri secara menahun
bersifat neurotoksik dan nefrotoksik, Meskipun bahan ini dalam
vaksin selama imunisasi sampai usia 6 bulan (150 mcg) masih
lebih rendah dari batas minimal yang direkomendasikan oleh

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 419


Ismoedijanto

WHO, bahan ini akan dihilangkan dengan risiko harga vaksin


akan per dosis meningkat. Vaksin yang bebas merkuri adalah
MMR, OPV, campak, BCG dan HB yang dosis tunggal dan DTaP
dosis tunggal. Bahan yang ada dalam vaksin lainnya adalah

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 420


Ismoedijanto

sisa formaldehid, bahan antibeku etilen glikol, gelatin dan


glutamat pada vaksin cacar air, neomisin dan streptomisin untuk
mencegah tumbuhnya kuman dalam biakan sel, dan sebagainya.
Bahan ini dianggap beracun, namun perlu informasi ambang
kadarnya yang berbahaya. Bahan makanan dan minuman yang
dikomsumsi sehari-hari mungkin juga mengandung bahan ini,
tergantung pada kondisi lingkungannya. Formaldehid sisa tidak
boleh lebih dari 0.02% w/v (British Pharmacopeia) atau 0.004%
w/v (Australia Therapeutic Good Administration).
c. Manfaat dan efikasi vaksin:

Efikasi vaksin harus lebih besar dari reaktogenisitas vaksin,


dinyatakan pada perbandingan besaran outcome dan besaran
reaksi imunisasi. Outcome atau komplikasi yang terjadi pada
penyakit campak di negara berkembang adalah kejadian
pneumonia 1 kasus dari tiap 25 kasus klinik dan ensefalitis
1 kasus setiap 2000 kasus atau 500 kasus setiap 1.000.000
penderita. Reaksi samping yang terjadi pada suntikan campak
adalah bengkak tempat suntikan , demam, meriang 1 diantara
10 suntikan, ruam pada 1 anak diantara 100 suntikan dan
kemungkinan ensefalitis 1 diatara 1.000.000 dosis. Pada penyakit
gondongan komplikasi mungkin terjadi kasus ensefalitis 1
kasus tiap 200 kasus atau 15.000 kasus diantara 3.000.000
kasus, sementara pada imunisasi kemungkinanan ensefalitis
kasus terjadi pada 1 kasus diantara 3.000.000 dosis . Komplikasi
pada rubella yang paling berat adalah adanya sindrom rubela
kongenital pada 9 kasus diantara 10 kehamilan bila serangan
terjadi pada 10 minggu pertama, inflamasi otak pada 1 diantara
6000 pasien, nyeri sendi pada 1 diantara 2 pasien yang sudah
remaja, sementara bengkak, demam, meriang mungkin terjadi
pada 1 kasus setiap 10 dosis, kemungkinan terjadinya nyeri
sendi, pembesaran kelenjar pada 5 kasus setiap 100 dosis. Angka
diatas menunjukkan manfaat lebih besar dari risiko imunisasi.

421 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Ismoedijanto

d. Kecenderungan genetik yang menyimpang


Tiap individu mempunyai probabilitas hidup dengan pola
genetik yang menyimpang, sehingga seringkali tidak dapat
memberikan respons imun yang diharapkan. Semakin tinggi
cakupan imunisasi, semakin banyak pula populasi yang tercakup
dalam imunisasi yang mempunyai kecenderungan genetik tidak
semestinya.
KIPI yang merupakan rekaman kasus apapun setelah imunisasi
sangat bermanfaat untuk memperbaiki kualitas program
imunisasi namun peningkatan kasus KIPI (Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi) akan menyebabkan peningkatan sikap anti imunisasi,
menurunkan angka cakupan dan akan menaikkan risiko wabah
kembali.

3. Respon imun penerima vaksin

Resipien atau si-penerima vaksinasi yang sakit berat atau yang


pertahanan tubuhnya tidak normal besar kemungkinannya akan
menjadi sakit, atau menjadi karier sehat. Anak yang mendapat
kortikosteroid, penderita HIV, anak dengan malnutrisi berat,
merupakan contoh anak bermasalah. Imunisasi polio oral pada
anak dengan defisiensi imun akan mengakibatkan pengeluaran virus
polio lebih lama dibanding dengan anak normal. Banyak keadaan
yang mempengaruhi kinerja vaksin dan terutama berakibat pada
rendahnya keberhasilan menggugah respon imun.
Pada sisi yang lain juga terdapat respon imun yang menyimpang
sebagai akibat kecenderungan genetik yang dimiliki bayi. Reaksi
samping atau akibat dari imun respon yang menyimpang ini,
sering ditimpakan pada kualitas atau kuantitas antigen (vaccine
safety) dalam vaksin atau bahan lain yang ada dalam vaksin, karena
penapisan (screening) anak dengan indikasi kontra masih belum
dijalankan secara rutin, karena metode pemeriksaan yang sederhana
dan akurat belum ada. Sebaiknya sebelum memberikan imunisasi,
indikasi kontra dan kewaspadaan (precautions) dibaca sekali lagi.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 422


Kontroversi dalam Imunisasi

4.

Adanya pemicu

Seringkali suatu masalah menjadi hangat kembali setelah ada


pemicu yang hadir. Beberapa pemicu masalah besar antara lain,

Autisme
Wakefield dan Montgomerry telah mengajukan laporan penelitian
yang menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara vaksin
MMR dan kejadian autisme pada anak. Banyak hipotesis yang
diajukan, hipotesis mekanisme imunologik, biologik, opioid excess,
autoimmune, virus campak dalam usus. Kebanyakan hipotesis yang
diajukan tidak menggunakan paradigma epidemiologik, tetapi
paradigma imunologi atau biomolekuler dan belum memberikan
bukti yang sahih. Penelitian epidemiologik menunjukkan tidak jelas
ada hubungan antara suntikan MMR dengan autism. Penelitian
dan pengamatan epidemiologik tidak dapat menyokong adanya
hubungan sebab-akibat antara ASD (autistic syndrome disorder) dan
MMR, pengamatan juga tidak mendapatkan dukungan hubungan
temporal antara awitan ASD dan pemberian suntikan MMR., tidak
memberikan dukungan hubungan suntikan MMR dengan kejadian
regresi, tidak jelas hubungan patogenetik yang berbasis bukti antara
suntikan MMR dan kejadian ASD. Adanya genome virus campak
belum disertai bukti bahwa virus itu berasal dari vaksin campak
monovalen atau MMR atau virus campak liar.
IBD (inflammatory bowel disease) akibat infeksi persisten bisa
terjadi secara alamiah, pada anak dengan kelainan genetic, seperti
adanya kelainan kromosom 7. Jenis bahan apa saja yang lolos
lewat usus dan menyebabkan gangguan perilaku, belum dapat
ditentukan. Hubungan yang diyakini ada baru sebatas gagasan
hipotetik yang perlu bukti lebih lanjut. Berapa jumlah bahan yang

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 423


Ismoedijanto

akan menyebabkan kelainan perilaku belum mendapat kesepakatan


yang jelas. Berapa proporsi anak yang mempunyai infeksi virus
campak yang persisten setelah imunisasi dan berapa proporsi anak
yang dengan IBD menjadi autis, perlu pengamatan lebih lanjut. Bukti

424 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Ismoedijanto

hasil penelitian baru sepotong-potong yang belum utuh, belum


dapat dirangkai menjadi kesimpulan yang sahih. Banyak bagian
dari jigsaw puzzle ilmiah yang belum terisi. Baik pengadilan London
maupun redaksi majalah yang memuat tulisan Wakefield akhirnya
menyesal dan menyatakan bukti yang diajukan lemah dan kabur.

Reaksi neurologik

Beberapa vaksin diduga menyebabkan reaksi pada susunan saraf.


Reaksi ini sangat jarang dan belum jelas patogenesisnya. Kelainan
nerologik yang diduga akibat vaksin terbagi menjadi:
· demyelinating disease (ADEM dan GBS).
· non demyelinating disease (encephalopathy, SSPE, neuropathy,
brachial neuritis).

Reaksi imunologik

Vaksin dapat menimbulkan penyimpangan respons imun sebagai


reaksi tubuh terhadap bahan tambahan maupun bahan dasar
vaksinnya sendiri. Reaksi pasca imunisasi terutama mengarah
pada hipersensitivitas, dari tipe 1-4, dari reaksi anafilaksis, reaksi
antibodi dengan antigen jaringan, reaksi Arthus dan delayed type
hypersensitivity. Reaksi pasca imunisasi seharusnya dapat diketahui
dengan memperhatikan butir-butir kewaspadaan dan indikasi
kontra sebelum memberikan imunisasi.

Autoimun

Semakin banyak tulisan yang menghubungkan kenaikan kejadian


autoimun dengan kenaikan cakupan vaksin. Perimbangan Th1
dan Th2 dicoba dipakai sebagai alat untuk menjelaskan hubungan
ini. Namun sampai kini belum jelas model mana yang pasti dan
mempunyai evidence-based yang tinggi yang cukup dipakai sebagai
alasan menghentikan imunisasi dan memberikan metode lain untuk
mencegah wabah penyakit menular. Menggugah respon imun yang
berlebihan akan menyebabkan beberapa bagian dari komponen
imunologik menyerang bagian dari tubuh sendiri. Meskipun

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 425


Ismoedijanto

paradigma ini sudah dikenal, namun belum ada pengamatan jangka


panjang yang membuktikannya. Beberapa makalah biomolekuler
menandai kenaikan insidens penyakit autoimun searah dengan
kenaikan cakupan imunisasi, tanpa memberikan penjelasan yang
sahih mengenai pengaruh perubahan gaya hidup dan lingkungan
terhadap kenaikan insidens penyakit autoimun.

Diabetes

Semula terdapat bukti bahwa ada hubungan sebab akibat antara


infeksi virus (gondong, rubella) dan IDDM (insuline dependent
diabetic mellitus). Kini banyak diajukan hipotesis hubungan antara
IDDM dengan vaksin HB, MMR, DTP, HIb, pneumokokus. Selain
virus yang menyerang pankreas, juga terjadi proses autoimun
yang menyerang sel pankreas, sehingga terjadi gangguan produksi
insulin.

Jalan keluar dan anjuran apa yang harus dilakukan


Masalah yang dikemukakan tersebut telah memicu beberapa
perdebatan dan perbedaan pendapat antara pada pakar yang makin
membingungkan orangtua. Ada beberapa tip yang bisa membantu
para sejawat mencari jalan keluar masalah kontroversi imunisasi.

• Penjelasan yang jujur


Penjelasan yang jujur dan benar kepada orang tua sangat
diperlukan untuk mengimbangi segala informasi penentang
imunisasi yang seolah-olah berdasar alasan yang kuat dan
disertai dengan riset yang mendalam. Penjelasan harus dilakukan
secara proaktif, diberikan pada setiap orang tua bayi yang akan
diimunisasi dengan vaksin tertentu, meskipun orangtua tidak
menanyakannya secara aktif. Selain membangun komunikasi
yang baik antara dokter dan orang tua, kesempatan ini akan
memancing mereka sehingga mampu atau tidak malu-malu
menanyakan perihal imunisasi. Penjelasan mencakup manfaat

426 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kontroversi dalam Imunisasi

imunisasi dan kemungkinan adanya reaksi samping. Bilamana


orangtua menunjukkan penolakan atau keraguan, sebaiknya
imunisasi ditunda dulu sampai orang tua yakin akan tindakan
yang kita lakukan pada bayinya.

· Menunjukkan empati dan perhatian y ang besar


Membeberkan kelemahan alasan anti-imunisasi saja tidak
cukup, orang tua harus diyakinkan bahwa dokter juga sangat
memperhatikan dan membantu orang tua dalam upaya
membesarkan anak. Kepercayaan pada dokter akan memperkuat
penerimaan orangtua pada imunisasi, sehingga keraguan dan
kemungkinan ikut hanyut secara emosional pada kelompok
penentang imunisasi dapat dibatasi.

· Menghindari pertempuran emosi


Pertempuran emosi akan mengurangi kemampuan analitis
dan rasional. Menghadapi orangtua yang kecewa atau marah
dengan kegeraman kita atas tidak rasionalnya pikiran yang
digunakan sangat tidak bermanfaat. Sebaliknya mendengarkan
akan membawa hasil yang lebih baik.

· Membekali diri dengan pengetahuan


Membekali diri dengan pengetahuan yang cukup perihal pokok-
pokok dasar imunisasi. Termasuk diantaranya pengetahuan
tentang sifat tiap vaksin yang kita gunakan.

Daftar Pustaka

1. Stratton KR, Gable A, Shetty P, McCormick, M (editor) Immunization safety review:


Measles-Mumps-Rubella vaccine and autism , Immunization Safety Review

427 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Committee, Institute of Medicine, national Academy Press, Washington DC, 2001
2. Chen RT, De Stefano F, Mootrey G, Kramarz P, Hibbs B. Vaccine recommendation
challenges and controversies, challenges and controversies in immunization safety.
Infectious Disease Clinic of North America 2001; 15: 1-16.

428 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kontroversi dalam Imunisasi

3. Wakefield, A.J. Montgomery SM, Measles, Mumps, rubella vaccine: through a glass,
darkly, Adverse Drug React: 2000; 19:1-19.
4. Dales L, Hammer SJ, Smith NJ. Time trends in autism and MMR immunization coverage
in California JAMA;285(9):1183-5.
5. Black,C, Kyae JA, Jick H, Relation of childhood gastrointestinal disorder to autism:
nested case control study using data from the UK general practice Research Database
BMJ 2002;325:419-421.
6. Madsen KM, HVIID A, Vestergaar M, schendel D, et al, A population based study of
measles, Mumps, and Rubella vaccination and auitism N Engl J Med;347:1477-1482
7. Campion EW 2002 Suspicion about the safety of vaccine N Engl j Med
347;19:1474-6.
8. WHO 2001, Statement on the use of MMR vaccine,24 January, 2001
9. Cave S dan Mitchell D : Apa yang orang tua harus tahu tentang vaksinasi pada anak.
Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.

429 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kontrove
rsi dalam
Imunisasi

430 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Kontroversi dalam Imunisasi

Pen gantar

Setiap pemberi imunisasi harus siap untuk menerangkan dengan


jelas kepada orang tua atau anak yang telah besar mengenai
berbagai hal yang ditanyakan. Pemberi imunisasi harus selalu siap
dengan jawaban yang sering ditanyakan oleh mereka. Pengetahuan
mengenai imunisasi pada umumnya terutama keuntungan yang
didapatkan oleh si anak, akan jauh lebih besar daripada kerugian
apabila dia harus menderita penyakit. Pada umumnya efek samping
merupakan hal yang terbanyak ditanyakan, namun adanya isu-isu
negatif terhadap imunisasi perlu mendapat perhatian para dokter.
Kunci komunikasi dalam advokasi imunisasi adalah dengarkan
pertanyaan dan keluhan mereka dengan penuh perhatian, kemudian
jelaskan dengan bahasa awam yang mudah dimengerti.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 431


Kontroversi dalam Imunisasi

Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Jadwal imunisasi
Mengapa jadwal imunisasi di beberapa praktek dokter, klinik
atau rumah sakit berbeda-beda ?

Perbedaan jadwal imunisasi pada kurun waktu yang berbeda di


beberapa praktek dokter antara lain karena: sumber rujukan yang
berbeda, adanya modifikasi untuk memudahkan orangtua, atau
pertimbangan khusus berdasarkan keadaan bayi dan anak pada
saat itu. Sebaiknya menggunakan jadwal imunisasi terbaru yang
direkomendasikan oleh Satgas Imunisasi IDAI, karena dievaluasi
secara periodik dengan mempertimbangkan perubahan epidemiologi
penyakit tertentu, adanya vaksin-vaksin baru yang resmi beredar di
Indonesia dan negara tetangga serta memperhatikan anjuran dari
WHO (Badan Kesehatan Dunia),

Jadwal imunisasi mana yang terbaik ?


Jadwal yang terbaik adalah yang masih di dalam rentang umur
Jadwal Imunisasi PPI Depkes maupun Rekomendasi Satgas Imunisasi
PP IDAI (baca Bab IV tentang Jadwal Imunisasi). Namun harus
dipertimbangkan pula hal-hal lain: keadaan dan riwayat bayi/anak
yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan
pasca imunisasi, serta permintaan orangtua (misalnya vaksinasi
cacar air sebelum umur 10 tahun). Berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut dokter dapat melakukan penyesuaian untuk
kepentingan bayi / anak, disertai penjelasan kepada orangtua.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 432


Tanya Jawab Orangtua Mengenai Imunisasi

Jika umur bayi atau anak sudah lebih dari umur yang dianjurkan dalam
jadwal imunisasi, apakah boleh divaksin sesuai jadwal tersebut ?

Boleh, tidak berbahaya, karena anak yang belum mendapat


imunisasi sesuai jadwal, berarti belum mempunyai kekebalan
terhadap penyakit tersebut. Tetapi kalau umurnya sudah terlewat
jauh beberapa tahun, untuk beberapa penyakit tertentu mungkin
kurang penting, karena kemungkinan tertular semakin kecil. Tetapi
ada penyakit tertentu yang tetap penting, walaupun sudah terlewat
jauh. Untuk itu diskusikan dengan dokter, untuk mengejar imunisasi
yang terlewatkan.

Jika sudah diimunisasi lengkap pada usia balita, apakah di


sekolah perlu diimunisasi lagi ? Mengapa perlu ?

Imunisasi yang perlu diberikan ulangan pada sekolah dasar yaitu


imunisasi campak dan DT (kelas 1), dan TT (kelas 2, 3, dan 6).
Banyak anak yang sudah divaksinasi campak ketika bayi ternyata
pada umur 5 - 7 tahun 28.3% masih terkena campak. Pada umur > 10
tahun masih banyak dijumpai kasus difteri. Untuk pemberantasan
tetanus neonatorum sedikitnya dibutuhkan 5 kali suntikan tetanus
toksoid sejak bayi sampai dewasa, sehingga kekebalan pada umur
dewasa akan berlangsung sekitar 20 tahun lagi (lihat Bab IV tentang
Jadwal Imunisasi)

Bayi prematur, apakah imunisasi harus ditunda ?


Ya, vaksin polio oral sebaiknya diberikan sesudah bayi prematur
berumur 2 bulan, demikian pula DTP, hepatitis B dan Hib.

Bayi/anak sedang sakit atau sedang dalam pengobatan


Bayi/anak sedang pilek batuk bolehkah diimunisasi ?
Boleh. Batuk pilek ringan tanpa demam boleh diimunisasi, kecuali bila
bayi sangat rewel, imunisasi dapat ditunda 1 - 2 minggu kemudian.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 433


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Jika sedang minum antibiotik bolehkah diimunisasi ?


Boleh, karena antibiotik tidak mengganggu potensi vaksin. Yang
harus dipertimbangkan adalah penyakit dan keadaan bayi/anak
sesuai pedoman umum vaksinasi.

Jika sedang minum obat lain apakah boleh diimunisasi ?


Apabila anak sedang minum obat prednison 2 mg/kgbb/
hari, dianjurkan menunda imunisasi 1 bulan setelah selesai
pengobatan.

Jika sering menggunakan steroid inhalasi bolehkah diimunisasi ?


Boleh, karena steroid inhalasi tidak menekan sistem imun, asalkan
digunakan sesuai dosis yang dianjurkan.

Penderita epilepsi bolehkan diimunisasi ?


Kelainan neurologik yang stabil dan riwayat kejang atau epilepsi
di dalam keluarga bukanlah indikasi kontra untuk memberikan
vaksinasi DPT. Orangtua atau pengasuh harus diingatkan bahwa
sesudah vaksinasi dapat timbul demam, oleh karena itu dianjurkan
untuk segera memberikan obat penurun panas. Harus diingatkan
pula bahwa demam pasca vaksinasi campak baru timbul 5 - 10 hari
setelah imunisasi.

Penderita alergi bolehkah diimunisasi ?


Pasien asma, eksim dan pilek alergi boleh diimunisasi, tetapi kita
harus sangat berhati-hati jika anak alergi berat terhadap telur.
Jika ada riwayat reaksi anafilaktik terhadap telur (urtikaria luas,
pembengkakan mulut atau tenggorok, kesulitan bernapas, mengi,
penurunan tekanan darah atau syok) merupakan indikasi kontra
untuk vaksin influenza, demam kuning dan demam Q. Sedangkan
untuk vaksin MMR karena kejadian reaksi anafilaktik sangatjarang,
masih boleh diberikan dengan pengawasan.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 434


Tanya Jawab Orangtua Mengenai Imunisasi

Bengkak, kemerahan setelah disuntik vaksin apakah akibat salah


suntik ? Atau vaksinnya kadaluarsa ? Apakah berbahaya ?

Setelah penyuntikkan vaksin dapat timbul reaksi lokal di tempat


penyuntikan misalnya bengkak, kemerahan, gatal, nyeri, selama 2
sampai 3 hari. Hal itu tidak berbahaya karena merupakan reaksi
normal dari tubuh terhadap vaksin yang bersifat individual.
Kompres hangat dapat mengurangi keadaan tersebut. Kadang-
kadang teraba benjolan kecil yang agak keras selama beberapa
minggu atau lebih, tetapi umumnya tidak perlu dilakukan tindakan
apapun.
Terkadang diserta reaksi umum berupa demam, rewel,
tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan,
mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan akan hilang dalam
1 - 2 hari.

Obat penurun panas, bolehkah diberikan sebelum dan sesudah


imunisasi ? Apakah tidak mengurangi potensi vaksin ?

Boleh. Sebaiknya 30 menit sebelum imunisasi suntik, terutama


DPT/DT, boleh diberikan obat penurun panas (berisi parasetamol)
kepada bayi/anak untuk mengurangi nyeri dan demam pasca
vaksinasi. Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam bila masih panas
atau nyeri, maksimal 6 kali dalam 24 jam. Obat penurun panas
tidak menmpengaruhi potensi vaksin. Jika keluhan masih berlanjut,
diminta segera kembali kepada dokter.

Kekebalan setelah diimunisasi


Sesudah diimunisasi apakah pasti tidak akan tertular penyakit
tersebut ?

Bayi/anak yang telah diimunisasi masih dapat tertular penyakit


tersebut, namun jauh lebih ringan dibanding terkena penyakit
secara alami.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 435


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Apabila bayi/anak sudah pernah sakit campak, rubela atau batuk


rejan bolehkah di imunisasi untuk penyakit-penyakit tersebut?

Boleh, walaupun ada riwayat pernah menderita penyakit tersebut


vaksinasi tidaklah berbahaya. Vaksinasi bayi/anak dengan
riwayat pernah sakit campak akan meningkatkan kekebalan dan
tidak menimbulkan risiko. Diagnosis campak dan rubella tanpa
konfirmasi laboratorium banyak yang meragukan. Anak dengan
riwayat pernah sakit tersebut sebaiknya tetap diberikan MMR.

Polio
Setelah pemberian vaksin polio tetes, apakah dapat timbul panas,
mencret ?

Walaupun sangat jarang terjadi, tetapi kadang-kadang dapat terjadi


mencret ringan, tanpa demam.

Pemberian vaksin polio lebih dari 2 tetes apakah berbahaya ?


Tidak berbahaya, karena virus vaksin polio sudah dilemahkan,
artinya tidak dapat menimbulkan kelumpuhan, tetapi masih bisa
berkembang biak dan bisa merangsang kekebalan didalam usus
maupun di dalam darah bayi dan anak. Namun bila meneteskan
terlalu banyak sebaiknya dicatat identitas bayi/anak, kemudian
dilakukan pengamatan selama beberapa minggu.

Berapa lama jarak antara pemberian ASI atau susu formula dengan
pemberian vaksin polio oral ?

ASI dapat diberikan segera setelah imunisasi polio oral pada umur
lebih dari 1 minggu. Hanya di dalam kolostrum terdapat antibodi
dengan titer tinggi yang dapat mengikat vaksin polio oral. Susu
formula boleh segera diberikan setelah vaksinasi polio oral.

436 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Bagaimana jika bayi memuntahkan vaksin polio ?


Jika muntah terjadi sebelum 10 menit segera berikan lagi vaksin
polio dengan dosis sama. Jika muntah berulang, berikan lagi pada
keesokan harinya.

Mana yang lebih bagus : vaksin polio yang diteteskan di mulut


(polio oral) atau yang disuntikkan ?

Vaksin polio yang diteteskan dimulut adalah virus polio vaksin yang
masih hidup tetapi dilemahkan, sehingga masih bisa berkembang biak
di usus, dan dapat merangsang usus dan darah untuk membentuk
zat kekebalan (antibodi) terhadap virus polio liar. Artinya, bila ada
virus polio liar masukke dalamusus bayi/anaktersebut, maka virus
polio liar tersebut akan diikat dan dimatikan oleh zat kekebalan
tersebut yang dibentuk di usus dan di dalam darah, sehingga tidak
dapat berkembang biak, tidak membahayakan bayi/anak tersebut,
dan tidak dapat menyebar ke anak-anak sekitarnya.
Vaksin polio suntik, isinya virus polio mati yang disuntikan
di otot lengan atau paha, sehingga tidak dapat berkembang biak
di usus dan tidak menimbulkan kekebalan diusus, namun dapat
menimbulkan kekebalan di dalam darah. Oleh karena itu, bila ada
virus polio liar yang masuk ke dalam usus bayi/anak yang disuntik
vaksin polio, maka virus polio liar masih bisa berkembang biak di
ususnya (karena tidak ada kekebalan di dalam ususnya) tetapi ia
tidak sakit, karena ada kekebalan di dalam darahnya. Tetapi karena
virus polio liar masih bisa berkembang biak diususnya, maka bisa
menyebar melalui tinja ke anak-anak lain, dan dapat menyebabkan
kelumpuhan pada anak-anak disekitarnya. Oleh karena itu, di negara
atau wilayah yang masih ada transmisi polio liar semua bayi dan anak
balita harus diberi virus polio yang diteteskan ke dalam mulut, agar
ususnya mampu mematikan virus polio liar, sehingga menghentikan
proses penyebaran. Bila selama 5 tahun atau lebih tidak ditemukan
lagi virus polio liar, maka secara bertahap dapat menggunakan virus
polio suntik.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 437


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Virus polio suntik boleh diberikan pada pasien yang kekebalannya


rendah, misalnya karena sedang mendapat pengobatan kortikosteroid
dosis tinggi dalam jangka lama, mendapat obat-obat anti kanker,
menderita HIV AIDS, atau didalam rumahnya ada pasien
tersebut.

Hepatitis B
Setelah vaksinasi Hepatitis B apakakah bisa timbul demam atau
bengkak ?

Walaupun sangat jarang, tetapi dapat timbul demam yang tidak


tinggi, pada tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan,
nyeri, rasa mual dan nyeri sendi. Orangtua/pengasuh dianjurkan
untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika
demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat
dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb
setiap 3 - 4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh
mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi tersebut
menjadi berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir,
bawalah bayi/anak ke dokter.

BCG
Setelah suntikan vaksin BCG, mengapa sebulan kemudian timbul
bisul yang menjadi koreng ? Apakah itu akibat salah suntik ?

Bisul yang timbul 2 minggu setelah imunisasi BCG adalah normal,


karena merupakan reaksi tubuh terhadap vaksin BCG. Bisul
kecil (papula) dapat membesar dan terjadi korengi selama 2-4
bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan
jaringan parut. Bila ulkus mengeluarkan cairan orangtua dapat
mengkompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan bertambah
banyak atau koreng semakin membesar orangtua harus
membawanya ke dokter.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 438


DTPTanya Jawab Orangtua Mengenai Imunisasi

Apa beda vaksin DTP dan DTaP ? Mengapa vaksin DPaT jauh
lebih mahal ?

Vaksin DTP dan DTaP kedua-duanya untuk mencegah penyakit


difteri, pertusis dan tetanus. Perbedaan utama pada komponen
antigen untuk pertusis. Vaksin DTP berisi sel bakteri Pertusis utuh
yang berisi ribuan antigen, termasuk antigen yang tidak diperlukan,
sehingga sering menimbulkan reaksi panas tinggi, bengkak, merah,
nyeri ditempat suntikan. Sedangkan vaksin DTaP berisi bagian
bakteri pertusis yang tidak utuh dan hanya mengandung sedikit
antigen yang dibutuhkan saja, sehingga jarang menimbulkan
reaksi tersebut. Karena proses pembuatan DTaP lebih rumit, maka
harganya jauh lebih mahal.

Setelah pemberian vaksin DTP , apa yang dapat terjadi pada bayi ?

Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DTP antara lain
demam tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri
dan pembengkakan, yang akan hilang dalam 2 hari. Orangtua/
pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak
(ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas
suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan
parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal
6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air
hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau jika
orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.

Campak dan MMR


Setelah vaksinasi campak dan MMR, apa yang dapat terjadi pada
bayi ?

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 439


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR


berupa rasa tidak nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain

440 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


DTPTanya Jawab Orangtua Mengenai Imunisasi

itu
dapat
terjadi
gejala-
gejala
lain
yang
timbul 5 - 12 hari setelah penyuntikan selama kurang dari 48 jam
yaitu demam tidak tinggi, erupsi kulit kemerahan halus/tipis yang tidak
menular, pilek. Pembengkakan kelenjar getah bening kepala dapat
terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR. Orangtua/pengasuh
dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air
buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan
yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan
parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan,
maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka
dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap,
atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke
dokter.

Bayi yang pernah sakit campak apakah perlu divaksin campak


pada umur 9 bulan ?

Boleh. Karena beberapa penyakit virus lain gejalanya mirip


campak, sehingga orangtua bahkan dokter keliru, bahwa
penyakit yang disebabkan oleh virus lain dianggap sebagai
campak. Seandainya benar-benar pernah menderita campak,
bayi tetap boleh diberikan vaksin campak, tidak merugikan
bayi, karena kekebalannya hanya bertahan beberapa tahun.
Oleh karena itu semua anak balita dan usia sekolah di daerah
yang banyak kasus campak dan cakupan imunisasinya masih
rendah harus mendapat imunisasi campak ulangan (penguat)
agar kekebalannya bisa berlangsung lama.

Apakah imunisasi MMR menyebabkan anak menderita autisme ?

Sampai saat ini belum ada bukti yang menyokong bahwa imunisasi
(jenis imunisasi apapun) dapat menyebabkan autisme. Badan
Kesehatan Dunia (WHO) maupun Departemen Kesehatan tetap
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 441
Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

merekomendasikan pemberian imunisasi sesuai jadwal yang telah


ditentukan.

442 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Influenza
Setelah mendapat vaksinasi influenza apakah anak tidak akan
batuk pilek lagi ?

Imunisasi Influenza hanya untuk mencegah penyakit influenza


berat yang disebabkan oleh virus Influenza A dan B jenis tertentu
yang berbahaya. Vaksin influenza tidak dapat mencegah batuk pilek
karena alergi, iritasi atau oleh virus lain yang tidak berbahaya.

HIB (haemophilus influenza tipe B)

Apakah vaksin Hib untuk mencegah influenza ?

Bukan. Vaksin Hib adalah untuk mencegah penyakit yang dise-


babkan oleh kuman Hib, yang dapat menyebabkan radang otak
(meningitis), radang paru (pneumonia), infeksi telinga (otitis media)
dan lain lain.
Setelah divaksinasi Hib yang dapat mencegah meningitis dan
pneumonia, apakah tidak perlu divaksin pneumokokus ?

Vaksin Hib hanya dapat mencegah meningitis (radang otak) dan


pneumonia (radang paru) yang disebabkan oleh kuman Hib.
Sedangkan meningitis dan pneumonia yang disebabkan oleh kuman
Pneumokokus tidak dapat dicegah dengan vaksin Hib, tetapi harus
dicegah vaksin Pneumokokus. Oleh karena itu sebaiknya bayi
mendapat kedua vaksin tersebut sesuai jadwal.

Tifoid
Anak yang sudah pernah sakit demam tifoid apakah perlu
divaksin tifoid ?

Perlu, karena kekebalan setelah sembuh dari demam tifoid tidak


berlangsung lama.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 443


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Cacar air
Bila anak timbul beberapa gelembung cacar air, dapatkah
vaksinasi cacar air untuk mencegah bertambah banyaknya
gelembung cacar air ?

Tidak bisa, sudah terlambat. Bila sudah timbul gelembung cacar air,
berarti anak tersebut sudah tertular 3 - 7 hari yang lalu, virus cacar air
sudah berkembang biak dan menyebar keseluruh tubuh anak, sehingga
vaksinasi cacar air tidak dapat menghentikan proses tersebut.

Bila di dalam rumah atau sekolah ada penderita cacar air, apakah
anak lain harus segera divaksin untuk mencegah penularan ?

Apabila belum lewat 48 jam anak sehat kontak dengan pasien


cacar air kemungkinan besar anak sehat tersebut dapat dicegah
dengan vaksinasi cacar air agar tidak tertular. Tetapi bila lebih dari
48 jam, kemungkinan anak sudah tertular virus cacar air tersebut,
kemudian sudah mulai berkembang biak di dalam tubuh anak
tersebut, sehingga vaksinasi tidak mampu mencegah kelanjutan
penyakit tersebut.

Anak yang pernah sakit cacar air apakah perlu divaksinasi cacar air ?

Tidak perlu. Umumnya anak yang telah sakit cacar air akan
mempunyai kekebalan sampai dewasa, sehingga tidak perlu
divaksin cacar air lagi

Jarak antar vaksinasi dan bagian tubuh yang


disuntik
Apabila jarak antar imunisasi lebih lama dari jarak yang
dianjurkan, apakah vaksinasi perlu diulang ?

Tidak perlu diulang, karena sistem imunitas tubuh dapat


“mengingat” rangsangan vaksin terdahulu. Lanjutkan dengan
vaksinasi yang belum diberikan dengan jarak sesuai anjuran.

444 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Apabila anak diberi beberapa jenis vaksin sekaligus apakah tidak


berbahaya?

Tidak berberbahaya, asalkan imunisasi dilakukan di bagian


tubuh yang letaknya berjauhan, menggunakan alat suntik yang
berlainan dan memperhatikan ketentuan umum tentang pemberian
vaksin.

Beberapa dokter menyuntikkan vaksin di tempat yang berbeda


walaupun vaksinnya sama. Apakah ada perbedaan kekebalan?
(Misalnya penyuntikan vaksin BCG ada yang dilengan atau
pinggul, campak, hepatitis B, Hib, DTP di lengan atau paha).

Pemilihan tempat penyuntikan vaksin berdasarkan beberapa


pertimbangan antara lain untuk mendapatkan kekebalan optimal,
cedera yang minimal pada jaringan, pembuluh darah, saraf di
sekitarnya, memperkecil kemungkinan rasa tidak nyaman pada
bayi dan anak akibat gerakan, tekanan, sentuhan, terutama apabila
bayi sudah dapat berjalan, atau sekedar pertimbangan estetis.
Perbedaan tempat penyuntikan tidak menimbulkan perbedaan
kekebalan, asalkan kedalaman penusukan jarum atau jaringan yang
disuntik vaksin sesuai dengan ketentuan untuk setiap jenis vaksin
(intrakutan, subkutan, intramuskular).

Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)


Jika pada imunisasi terdahulu timbul kejadian ikutan pasca
imunisasi, bagaimana jadwal vaksinasi selanjutnya ?

Jika kejadian ikutan pasca imunisasi hanya ringan, vaksinasi


berikutnya dilanjutkan sesuai jadwal. Jika mengalami KIPI berat
sebaiknya dosis berikutnya tidak dilanjutkan. Jika kejadian ikutan
pasca imunisasi DTP cukup berat, dosis berikutnya menggunakan
vaksin DT.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 445


Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka

Untuk mengurangi kemungkinan KIPI, apakah dibenarkan


mengurangi dosis menjadi setengahnya atau menjadi dosis terbagi
(split doses) ?

Pengurangan dosis menjadi setengahnya, atau membagi dosis


sangat tidak dibenarkan, karena tidak mengurangi kemungkinan
KIPI dan kekebalan yang ditimbulkan tidak memadai.

Daftar Pustaka
1. Watson C (editor). The Australian Immunisation Handbook 9th ed. NHMRC, 2008.
2. Peter G, Lepow ML, McCracken GH, Phillips CF. Report of the Committee on Infectious
Diseases. American Academy of Pediatrics, Illinois 2004.
3. Satgas Imunisasi IDAI. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI. Sari Pediatri 2:1, Juni
2000.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 446


Daftar Vaksin yang Beredar di Indonesia
Vaksin
Nama Dagang dari Produsen Vak
Bio Sanofi
Pasteu GSK BERNA MSD
Farma Wyeth
r
BCG BCG

Polio

OPV Polio

IPV Imovax

DTwP

Mono DTP

Kombo DTP-HB* Tetract-Hib

DTaP

Mono Tripacel Infanrix


Pediacel
(DTaP-Hib- Infanri
Kombo IPV) x / Hib
(DTaP-
Hib)

DT DT

TT TT
DT DT
dT
dT (adult
type
Hepatitis
B
Mono Uniject Euvax-B Engerix Hepavax-

Gene
Hepatitis B
(MDV)*
Twinrix
Kombo (Hep
B~ Hep
A)

Campak Campak

MMR Trimofax MMR II

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008 447


Bio Wyeth
Vaksin Sanofi GSK BERNA MSD
Farma Pasteur

Hib

PRP-T Act-Hib Hiberix

Tifoid Typhim-Vi Thypherix


Hepatitis Avaxim Havrix
A 720

Varisela Okavax Varilrix

Influenza Vaxigrip Fluarix

Pneumo Pneumo 23 Prevenar


- kokus (PPV) (PCV)
Meningo- Menceva
kokus x
Kolera
Kolera

Rabies Rabies Verorab

HPV Cervarix Gardasil

Ket* MDV = multidose vial

448 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2008

You might also like