You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Teori adalah sekumpulan dalil yang berkaitan secara sistematis yang menetapkan kaitan
sebab akibat diantara variabel yang saling bergantung. Belajar adalah perubahan tingkah laku
yang relatif tetap terjadi sebagai hasil latihan atau pengalaman. Perubahan yang dimaksud
harus relatif permanen dan tetap ada untuk waktu yang cukup lama. Oleh karena itu sangat
dibutuhkan teori-teori belajar.
Memasuki abad ke-19
beberapa ahli psikologi mengadakan penelitian eksperimental tentang teori belajar, walau
pada waktu itu para ahli menggunakan binatang sebagai objek penelitian didasarkan pada
pemikiran bahwa apabila binatang yang kecerdasannya dianggap rendah dapat melakukan
eksperimen teori belajar, maka sudah dapat dipastikan bahwa eksperimen itu pun dapat
berlaku bahkan dapat lebih berhasil pada manusia, karena manusia lebih cerdas daripada
binatang.
Teori belajar yang secara umum dapat dikelompokkan dalam empat kelompok atau aliran
meliputi (a) teori belajar behaviouristik, (b) teori belajar kognitif, (c) teori belajar humanistik,
(d) teori belajar sibernetik. Keempat aliran teori belajar tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda, yakni aliran behaviouristik menekankan pada “hasil” daripada proses belajar. Aliran
kognitif menekankan pada “proses” belajar. Aliran humanistik menekankan pada “isi” atau
apa yang dipelajari. Aliran sibernetik menekankan pada “sistem informasi” yang dipelajari.
Implikasi teori belajar dalam pendidikan merupakan suatu usaha yang harus dilakukan,
khususnya yang didasarkan atas pengembangan pendidikan dengan bertitik tolak untuk
perbaikan pendidikan, sangat besar perannya untuk peningkatan pendidikan, baik dilihat dari
segi pendidikan secara umum maupun dalam perspektif Islam.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan. Adapun
permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah teori belajar behavioristik, kognitif, humanistik, dan sibernetik itu?
2. Bagaimanakah implikasi dari teori belajar behavioristik, kognitif, humanistik, dan
sibernetik di dalam kelas?
3. Bagaimanakah implementasi teori belajar perspektif Islam?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui teori belajar behavioristik, kognitif, humanistik, dan sibernetik.
2. Mengetahui implikasi dari teori belajar behavioristik, kognitif, humanistik, dan sibernetik
di dalam kelas.
3. Mengetahui implementasi teori belajar perspektif Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
TEORI-TEORI BELAJAR DAN IMPLIKASINYA
1.1 Teori Belajar
Belajar merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dengan binatang. Belajar yang
dilakukan manusia merupakan bagian hidupnya dan berlangsung seumur hidup. Dalam
belajar, pebelajar yang lebih penting sebab tanpa pebelajar tidak ada proses belajar. Oleh
karena itu tenaga pengajar perlu memahami terlebih dahulu teori belajar, karena membantu
pengajar untuk memahami proses belajar yang terjadi didalam diri pebelajar, dengan kondisi
ini pengajar dapat mengerti kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi,
memperlancar atau menghambat proses belajar.
Teori ini merupakan sumber hipotesis atau dugaan-dugaan tentang proses belajar yang dapat
diuji kebenarannya melalui eksperimen atau penelitian, dengan demikian dapat meningkatkan
pengertian seseorang tentang proses belajar mengajar.
Secara umum semua teori belajar dapat kita kelompokkan menjadi empat golongan atau
aliran yaitu:
a. Teori Belajar Behavioristik
b. Teori Belajar Kognitif
c. Teori Belajar Humanistik
d. Teori Belajar Sibernetik

A. Aliran Behaviouristik
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku, tidak lain adalah perubahan dalam
tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Atau dengan kata
lain,belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah
laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons. Para ahli
yang banyak berkarya dalam aliran ini antara lain: Thorndike, (1911); Watson, (1963); Hull,
(1943); dan Skinner, (1968).
a. Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses
interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons
(yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan).
b. Watson
Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah Thorndike,
stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang “bisa diamati” (Observable)
. Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi
dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui.
c. Clark Hull
Menurut Hull, tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup. Oleh
karena itu, dalam teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis
menempati posisi sentral. Kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan, seperti lapar, haus,
tidur, hilangnya rasa nyeri, dan sebagainya. Stimulus hampir selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis ini, meskipun respons mungkin bermacam-macam bentuknya.
d. Skinner
Menurut Skinner, deskripsi hubungan antara stimulus dan repons untuk menjelaskan
perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi Watson
adalah deskripsi yang tidak lengkap. Respons yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana
itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan juga menghasilkan berbagai
konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa.

B. Aliran Kognitif
Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar
daripada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekadar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses
berpikir yang sangat kompleks.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses
interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpatah-
patah, terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung,
menyeluruh.
Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan” yang
diusulkan oleh Jean Piaget, “belajar bermakna”nya Ausubel, dan “belajar penemuan secara
bebas” (free discovery learning) oleh Jerome Bruner.
a. Piaget
Menurut Jean Piaget (1975), bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni
(1) asimilasi, (2) akomodasi, (3) equilibrasi (penyimpangan) . Proses asimilasi adalah proses
penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi
adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Equilibrasi adalah
penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
b. Ausubel
Menurut Ausubel (1968), siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur
kemajuan (belajar)” (Advance Organizers) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan
tepat kepada siswa.
Ausubel percaya bahwa “advance organizers” dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni:
1. dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari
oleh siswa;
2. dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari
siswa “saat ini” dengan apa yang “akan” dipelajari siswa;
3. mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
c. Bruner
Menurut Bruner, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi,
dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang
menjadi sumbernya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara secara induktif untuk
memahami suatu kebenaran umum.
C. Aliran Teori Humanistik
Bagi penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri.
Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya “isi” dari proses belajar, dalam kenyataan
teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang
paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang
paling ideal daripada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang biasa kita amati dalam
dunia keseharian.

Teori ini terwujud dalam teori Bloom dan Krathwohl dalam bentuk Taksonomi Bloom.
Selain itu, empat pakar lain yang juga termasuk ke dalam kubu teori ini adalah Kolb, Honey,
dan Mumford, serta Hibermas, yang masing-masing pendapatnya akan dibahas berikut ini.
a. Bloom dan Krathwohl
Dalam hal ini, bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasasi oleh siswa,
yang tercakup dalam tiga kawasan berikut.
1. Kognitif
Kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu
1) pengetahuan (mengingat, menghafal);
2) pemahaman (menginterpretasikan);
3) aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah);
4) analisis (menjabarkan suatu konsep);
5) sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh);
6) evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode, dan sebagainya).
2. Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu
1) peniruan;
2) penggunaan;
3) ketepatan;
4) perangkaian;
5) naturalisasi.
3. Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan, yaitu
1) pengenalan;
2) merespons;
3) penghargaan;
4) pengorganisasian;
5) pengamalan.
Pada tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak membantu praktisi pendidikan
untuk memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami,
operasional, serta dapat diukur.
b. Kolb
Sementara itu, seorang ahli lain yang bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat
tahap, yaitu
1) pengalaman konkret;
2) pengamatan aktif dan reflektif;
3) konseptualisasi;
4) eksperimentasi aktif.
Pada tahap pertama dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekadar ikut
mengalami suatu kejadian.
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap
kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau “teori” tentang sesuatu
hal yang pernah diamatinya.
Pada tahap akhir, siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang
baru.
c. Honey dan Mumford
Berdasarkan teori ini,mereka menggolongkan empat macam tipe siswa, yakni (1) aktivis, (2)
reflektor, (3) teoris, dan (4) pragmatis.
Ciri siswa yang bertipe aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-
pengalaman baru. Mereka cenderung berpikiran terbuka dan mudah diajak berdialog.
Untuk siswa yang bertipe reflektor, sebaliknya , cenderung sangat berhati-hati mengambil
langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini cenderung “konservatif” dalam
arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat, baik buruk suatu keputusan.
Sedangkan siswa yang bertipe teoris biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak
menyukai pendapat, atau penilaian yang sifatnya subjektif. Bagi mereka, berpikir secara
rasional adalah sesuatu yang sangat penting.
Untuk siswa yang bertipe pragmatis biasanya menaruh perhatian besar pada aspek-aspek
praktis dari segala hal. Teori memang penting kata mereka. Kebanyakan siswa dengan tipe
ini tidak suka berlarut-larut dalam membahas aspek teoritis filosofis dari sesuatu. Bagi
mereka, sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik jika hanya bisa dipraktikkan.
d. Habermas
Menurutnya belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun
dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, Habermas mengelompokkan tipe belajar
menjadi tiga bagian yaitu
1. belajar teknis (technical learning);
2. belajar praktis (practical learning);
3. belajar emansipatoris (emancipatory learning).
Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya.
Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan
pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
Dalam belajar praktis,siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahap ini yang lebih
dipentingkan adalah interaksi antara dia dengan orang-orang sekelilingnya. Pada tahap ini,
pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti, sebagai suatu pemahaman yang kering dan
terlepas kaitannya dengan manusia.
Sedangkan dalam belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran
yang sebaik mungkin tentang perubahan kulturasi dari suatu lingkungan. Bagi Habermas,
pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini dianggap tahap belajar yang
paling tinggi, sebab transformasi kultural inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan
yang paling tinggi.
D. Teori belajar Sibernetik
Teori ini masih baru jika dibandingkan dengan ketiga teori yang telah dijelaskan sebelumnya
. Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu informasi. Menurut teori ini
belajar adalah pengolahan informasi . Teori ini berasumsi bahwa tidak ada satupun jenis cara
belajar yang ideal untuk segala situasi, sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem
informasi.
Teori ini dikembangkan oleh Landa (dalam bentuk pendekatan algoritmik dan Neuristik)
serta Pask and Scott dengan pembagian tipe siswa yaitu tipe Wholist dan tipe Ferialist.
Teori sibernetik ini dikritik karena lebih menekankan pada sistem informasi yang akan
dipelajari, tetapi kurang memperhatikan bagaimana proses belajar berlangsung sehingga
untuk selanjutnya banyak yang berasumsi bahwa teori ini sulit untuk dipraktikkan.

2.2 Implikasi Teori Belajar dalam Pembelajaran


Implikasi teori belajar merupakan suatu bagian terpenting dari teknologi pendidikan yang
memiliki potensi cukup besar dalam mengoptimalisasikan peningkatan pendidikan dengan
memanfaatkan faktor-faktor yang tersedia yaitu sarana dan prasarana. Dengan memfungsikan
hubungan antara keterkaitan antar sistem berbagai sarana maupun prasarana yang tersedia
menjadi suatu kesatuan dalam sisitem pendidikan akan menghasilkan suatu sistem pendidikan
yang dapat mengefisiensikan pengembangan pendidikan. Adapun implikasi teori-teori belajar
dalam pembelajaran di kelas atau dalam dunia pendidikan adalah:
A. Implikasi Teori Behaviouristik
Implikasi teori belajar behavioristik dalam pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pelopor terpenting teori ini antara lain adalah : Pavlov, Watson,
Skinner, Thorndike, Hull, dan Guthrie .
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur
dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada
melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan
dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami
oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu
dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar, pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga
hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat
otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti
kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai
dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,
maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan
ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang
perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk
perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku
sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar
diri pebelajar.
B. ImplikasiTeori Kognitif
Implikasi teori belajar kognitif dalam pembelajaran, guru harus memahami bahwa siswa
bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah
dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa sangat
dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari
sederhana ke kompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatian
perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa.
C. Implikasi Teori Humanistik
Implikasi teori humanistik dalam pembelajaran, guru lebih mengarahkan siswa untuk berpikir
induktif, mementingkan pengalaman serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif
dalam proses belajar.
D. Implikasi Teori Sibernetik
Implikasi teori sibernetik terhadap proses pembelajaran hendaknya menarik perhatian,
memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa, merangsang kegiatan pada prasyarat
belajar, menyajikan bahan perangsang, memberikan bimbingan belajar, mendorong untuk
kerja, dan menilai unjuk kerja.
2.3 Implementasi Teori-Teori Belajar dalam Perspektif Islam
Berkenaan dengan teori belajar pendidikan agama Islam, dalam membahas tentang teori
pendidikan dalam Alquran, Abdurrahman Saleh Abdullah (1994:23) menyatakan bahwa
secara nyata, Alquran merupakan sebuah kitab yang banyak menunjukkan verifikasi-
verifikasi ilmiah. Alquran surat Al-Baqarah [2]:3 menyatakan bahwa beriman kepada yang
gaib merupakan bagian dari iman yang mendahului petunjuk tingkah laku yang dapat diamati
secara nyata.
Selanjutnya Abdurrahman (1994:24) menyatakan bahwa karena asas-asas dasarnya
dipadukan antara satu dengan yang lain, maka teori pendidikan Islam (termasuk teori belajar
pendidikan agama Islam) dapat dinyatakan sebagai teori terpadu dan menyeluruh dimana
asas-asas dasar Alquran membentuk inti prima. Sejauh Alquran mengandung satu kesatuan
pandangan terhadap manusia dan alam semesta, maka teori pendidikan Islam harus terletak
pada dasar satu kesatuan tersebut.10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teori behaviouristik menekankan pada “hasil” daripada proses belajar. Teori kognitif
menekankan pada “proses” belajar. Teori humanistik menekankan pada “isi” atau apa yang
dipelajari. Teori sibernetik menekankan pada “sistem informasi” yang dipelajari.
3.2 Saran
Sebagai seorang pengajar perlu sekali mengetahui teori-teori belajar agar pendidikan di
Indonesia menjadi semakin lebih baik di masa sekarang dan yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Uno, Hamzah.B .2006. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Tohirin. 2011. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
http://mohamad-haris.blogspot.com/2011/10/teori-belajar-dan-aplikasinya.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik#Teori_Belajar_Menurut_Edwin_Gu
thrie

You might also like