Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Telinga luar terdiri dari aurikula atau pinna dan kanalis auditoris eksternus, di
pisahkan oleh telinga tengah oleh struktur seperti cakram yang di namakan
mambran timpani (gendang telinga). Telinga terletak pada kedua sisi kepala kurang
lebih setinggi mata. Aurikulus melekat kesisi kepala oleh kulit tersusun terutama
oleh kartilago kecuali lemak dan jaringan bawah kulit pada lobus telinga (
Hyaifuddin, 2009).
Serumen adalah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, efitel kulit
yang terlepas dan partikel debu. Dalam keadaan normal serumen terdapat di
sepertiga luar liang telinga karena kelenjar tersebut hanya ditemukan di daerah ini.
konsistensinya biasanya lunak, tetapi kadang-kadang kering. Di pengaruhi oleh
faktor keturunan, iklim, usia dan keadaan lingkungan. Serumen dapat keluar
sendiri dari liang telinga akibat migrasi epitel kulit yang bergerak dari arah
mambran timpani menuju keluar serta dibantu oleh gerakan rahang sewaktu
mengunyah ( Alfian, 2007).
Dunia, menurut perkiraan WHO pada tahun 2005 terdapat 278 juta orang
menderita impaksi serumen, 75 - 140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara.
Sedangkan pada anak-anak , terdapat 0,1 – 0,2% menderita impaksi serumen. Di
indonesia pada tahun 2007 menunjukkan angka yang cukup besar pada penderita,
impaksi serumen pada anak usia sekolah dasar. Sekitar 29,55 % anak SD kelas 1di
kota Semarang ditemukan adanya serumen obsturan, jadi diperkirakan dari total
25.471 anak SD kelas 1 di kota semarang, 7.526 anak mengalami serumenserumen.
Angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan hasilpenelitian yang
menunjukkan insidensi inpaksiserumen sebesar 21,4% (Boiees, 2000).
Dampak dari impaksi adalah otitis media, otitis media akut, otitis media supuratif
kronis, otitis media non supuratif, vertigo, disfagia, hematoma, perikondritis,
pseudokista, otossklerosis.
Peran perawat sebagai edukator pada impaksi serumen adalah menjelaskan kepada
pasien tidak boleh terlalu sering membersihkan telinga dengan menggunakan
benda-benda seperti korek api, jepit rambut atau alat lain yang berbahaya.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat pada makalah ini adalah bagaimana konsep teoritis
Asuhan Keperawatan Ny. K dengan Impaksi Serumen di RSUD Raden Mattaher
Jambi.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep teoritis dan asuhan keperawatan pada Ny. K
dengan Impaksi Serumen di RSUD Raden Mattaher Jambi.
2. Tujuan Khusus
D. Manfaat Penulisan
Sebagai masukan rumah sakit dalam peningkatan mutu dan layanan kesehatan
di RSUD Raden Mattaher Jambi.
Sebagai tamabahan referensi dan bahan pustaka bagi sekolah tinggi ilmu kesahatan
harapan ibu jambi mengenai asuhan keperawatan dengan impaksi serumen
3. Manfaat bagi Mahasiswa
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Telinga
1. Telinga Luar
Telinga luar atau pinna( aurikula = daun telinga) merupakan gabungan dari rawan
diliputi kulit. Bentuk rawan ini unik dan dalam merawat trauma telinga luar, harus
diusahakan untuk mempertahankan bangunan ini. Kulit dapat terlepas dari rawan
dibawahnya oleh hematom atau pus, dan rawan yang nekrosis dapat menimbulkan
deformitas kosmetik pada pinna (telinga kembang kol) (Syafuddin, 2006).
Liang telinga memiliki tulang rawan pada bagian lateral namun bertulang
disebelah medial. Seringkali ada penyempitan liang telinga pada perbatasan tulang
dan rawan ini. Sendi temporoman dibularis dan kelenjar parotis terletak didepan
terhadap liang telinga sementara prosesus mastoideus terletak dibelakangnya. Saraf
facialis meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalan ke lateral menuju
prosesus stilo mastoideus di postero inferior liang telinga, dan kemudian berjalan
dibawah liang telinga untuk memasuki kelenjar karotis. Rawan liang telinga
merupakan salah satu patokan pembedahan yang digunakan untuk mencari saraf
parsial; patokan lainnya adalah sutura timpano mastoideus (Syafuddin, 2006 ).
2. Membran Timpani
Membrana timpani atau gendang telinga adalah suatu bangunan berbentuk kerucut
dengan puncaknya, umbo, mengarah ke medial. Membran timpani umumnya bulat.
Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum
yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas melampaui batas atas
membrana timpani, dan bahwa ada bagian hipotimpanum yang meluas melampaui
batas bawah membrana timpani (Syafuddin, 2006 ).
Membrana timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis dibagian luar, lapisan
fibrosa dilapisan tengah dimana tangkai maleus dilekatkan,dan lapisan mukosa
bagian dalam. Lapisan fibrosa tidak terdapat diatas prosesus lateralis maleus dan
ini menyebabkan bagian membrana timpani yang disebut shrapnell menjadi
lemas(plaksid) (Syafuddin, 2006 ).
Lamina propria yang terdiri dari dua lapisan anyaman penyabung elastis yaitu:
a. Pars tensa
Letaknya dibagian atas muka danlebih tipis dari pars tensa dan pars flasida dibatasi
oleh 2 lipatan yaitu :
Membran timpani terletak dalam saluran yang dibentuk oleh tulang dinamakan
sulkus timpanikus. Akan tetapi bagian atas muka tidak terdapat sulkus ini dan
bagian ini disebut insisura timpanika (Syafuddin, 2006 ).
3. Telinga Tengah
Telinga tengah yang terisi udara dapat di bayangkan sebagai suatu kotak dengan
enam sisi. Dindin g posteriornya lebih luas daripada dindin anterior sehingga kotak
tersebut berbentuk baji. Promontorium pada dinding medial meluas ke lateral ke
arah umbo dari membrana timpani sehingga kotak tersebut lebih sempit pada
bagian tengah (Syafuddin, 2006 ).
Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fossa cranii media. Pada
bagian atas dinding posterior terdapat aditus ada antrum tulang mastoid dan
dibawahnya adalah saraf fasialis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf fasialis
dan tendonnya menembus melalui suatu piramid tulang menuju ke leher stapes.
Saraf korda timpani timbul dari saraf fasialis di bawah stapedius dan berjalan ke
lateral depan menuju incus tetapi di medial maleus , untuk keluar dari telinga lewat
sutura petrotimpanika. Korda timpani kemudian bergabung dengan saraf lingualis
dan menghantarkan serabut-serabut sekretomotorik ke ganglion submandibularis
dan serabut-serabut pengecap dari dua per tiga anterior lidah (Syafuddin, 2006 ).
Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang disebelah superola lateral
menjadi sinus sigmodeus dan lebih ke tengah menjadi sinus transversus. Keduanya
adalah muara tuba eustakius dan otot tensor timpani yang menempati daerah
superior tuba kemudian membalik ,melingkari prosesus kokleariformis dan
berinsersi pada leher maleus (Syafuddin, 2006 ).
Dinding lateral dari telinga tengah adalah dnding tulang epitimpanum di bagian
atas, membrana timpani, dan dinding tulang hipotimpanum di bagian bawah
(Syafuddin, 2006 ).
Bangunan yang paling menonjol pada dinding medial adalah promontorium yang
menutup lingkaran koklea yang pertama. Saraf timpanikus berjalan melintas
promontorium ini. Fenestra rotundum terletak di posterior inferior dari
promontorium, sedangkan kaki stapes terletak di atas fenestra ovalis mulai dari
prosesus kokleariformis di anterior hingga piramid stapedius di posterior
(Syafuddin, 2006 ).
4. Tuba Eustachius
Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring
di atas otot konstriktor superior. Bagian ini biasanya tertutup tapi dapat dibuka
melalui konstraksi otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-
masing disarafi fleksus faringealis dan saraf mandibularis. Tuba eustachius
berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani
(Syafuddin, 2006 ).
5. Telinga Dalam
Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut sebagai labirin.
Deriva vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membran yang
terisi endolimfe, satu-satunya cairan ekstraselular dalam tubuh yang tinggi kalium
dan rendah natrium. Labirin membran dikelilingi oleh cairan perilimfe (tinggi
natrium, rendah kalium) yang terdapat dalam kapsula otika bertulang. Labirin
tulang dan membran memiliki memiliki bagian vestibular dan bagian koklear (pars
inferior) merupakan organ pendengaran kita (Tarwoto, 2009).
Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah putaran. Aksis
dari spinal tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri
dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina
tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ
corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian olehduktus koklearis
yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas adalahskala vestibuli,
berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearisoleh membraneReissner yang
tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung perilimfedan
dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrane basiliaris. Perilimfe pada
keduaskala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu
duktuskoklearis melalui celah yang dikenal sebagai helikotrema. Membran
basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada
rendah) (Tarwoto, 2009).
1. Fisiologi Pendengaran
Stapes yang bergetar oleh karena gelombang suara akan menggetarkanjendela oval
lalu cairan perilimfe akan bergerak menuju jendela bundar
melewatihelikotremadan pada saatstapes tertarik dari jendela oval maka cairan
akan kembalimenuju jendela oval dari jendela bundar. Gelombang tekanan
frekuensi yangberkaitan dengan penerimaan suara mengambil jalan pintas.
Gelombang tekanan diskala vestibule akan menembus membrane Reissner masuk
ke dalam duktus koklearisdan kemudian melalui membrane basiliaris ke skala
timpani, tempat gelombangtersebut menyebabkan jendela bundar menonjol keluar
masuk bergantian. Perbedaanutama jalur ini adalah bahwa transmisi gelombang
tekanan melalui membranbasiliaris menyebabkan membrane ini bergerak naik
turun(Syafuddin, 2006 ).
Pada saat membranbasiliaris bergerak naik, maka akan membuka saluran – saluran
ion gerbang mekanisdi sel – sel rambut terbuka sehingga akan menyebabkan
Ca2+ dan K+ masuk kedalam sel sehingga terjadi depolarisasi sedangkan pada saat
membran basiliarisbergerak turun, maka akan menutupsaluran – saluran ion
gerbang mekanis di sel –sel rambut tertutup sehingga akan menyebabkan Ca2+ dan
K+ tidak dapat masuk kedalam sel sehingga terjadi hiperpolarisasi.Adanya gerakan
naik turun dari membranbasiliaris akan menyebabkan depolarisasi hiperpolarisasi
secara bergantian sehinggatimbullah aksi potensial berjenjang pada sel – sel
reseptor yang akan menghasilkanneourotansmitter yang bersinaps pada ujung –
ujung serat saraf aferen yangmembentuk saraf koklearis(Syafuddin, 2006 ).
2. Fisiologi Keseimbangan
Aparatus vestibularis terdiri dari dua set struktur yang terletak di dalamtulang
temporalis dekat kokleayaitu kanalis semisirkularis dan organ otolit (sakulusdan
utrikulus). Fungsi dari apparatus vestibularis adalah untuk memberikan
informasiyang penting untuk sensasi keseimbangan dan untuk koordinasi gerakan–
gerakankepala dengan gerakan mata dan postur tubuh(Tarwoto, 2009).
Sel rambut pada aparatus vestibularis terdiri dari satu kinosilium dan 20 –50
streosilia. Pada saat streosilia bergerak searah dengan kinosilium akan
meregangkan tip link , yang menghubungkan streosilia dengan kinosilium. Tip
link yang teregangakan membuka saluran – saluran ion gerbang mekanis di sel –
sel rambut sehinggaakan menyebabkan Ca2+ dan K+masuk ke dalam sel sehingga
terjadi depolarisasisedangkan pada saat streosilia bergerak berlawanan arah dengan
kinosilium makatip link tidak teregang dan saluran – saluran ion gerbang mekanis
di sel – sel rambut akan tertutup sehingga akan menyebabkan Ca2+ dan K+tidak
dapat masuk ke dalam sel sehingga terjadi hiperpolarisasi. Sel rambut akan
bersinaps pada ujung saraf aferen dan akan masuk ke dalam saraf vestibular. Saraf
ini akan bersatu dengan sarafkoklearis menjadi saraf vestibulokoklearis dan akan
dibawa ke nukleus vestibularis dibatang otak. Dari nukleus vestibularis akan ke
serebellum untuk pengolahankoordinasi, ke neuron motorik otot – otot ekstremitas
dan badan untuk pemeliharaankeseimbangan dan postur yang diinginkan, ke
neuron motorik otot – otot mata untukcontrol gerakan mata, dan ke SSP untuk
persepsi gerakan dan orientasi(Tarwoto, 2009).
Pada sakulus dan utrikulus, sel – sel rambut di organ otolit ini juga menonjolke
dalam satu lembar gelatinosa diatasnya, yang gerakannya menyebabkan
perubahanposisi rambut serta menimbulkan perubahan potensial di sel tersebut.
Proses ini samadengan paa kanalis semisirkularis hanya saja pada sakulus dan
utrikulus terdapatotolith yang mengakibatkan gerakan akan menjadi lebih
lembam.Utrikulus berfungsidalam posisi vertikal dan horizontal sedangkan sakulus
berfungsi dalam kemiringankepala menjauhi posisi horizontal(Tarwoto, 2009).
C. Impaksi Serumen
1. Definisi
Serumen adalah sekret kelenjar sebasea dan apokrin yang terdapat pada bagian
kartilaginosa liang telinga. Ada dua tioe dasar,yaitu basah dan kering. (Elizabeth,
2010).
2. Etiologi
3. Patofisiologi
4. Manifestasi klinis
Menurut Boies (2000), Gejala klinis yang umumnya dirasakan oleh penderita
penyakit impaksi serumen, antara lain :
a. Pendengaran berkurang.
b. Nyeri di telinga karena serumen yang keras membatu menekan dinding liang
telinga.
5. Pemeriksaan Penunjang
f. Ketajaman Auditorius.
Perkiraan umum pendengaran pasien dapat disaring secara efektif dengan mengkaji
kemampuan pasien mendengarkan, bisikan kata atau detakan jam tangan, bisikan
lembut dilakukan oleh pemeriksa, yang sebelumnya telah melakukan ekshalasi
penuh. Masing-masing telinga diperiksa bergantian. Agar telinga yang satunya tak
mendengar,pemeriksa menutup telinga yang tak diperiksa dengan telapak
tangan.Dari jarak 1 sampai 2 kaki dari telinga yang tak tertutup dan di luar batas
penglihatan, pasien dengan ketajaman normal dapat menirukan dengan tepat apa
yang dibisikkan. Bila yang digunakan detak jam tangan, pemeriksa memegang jam
tangan sejauh 3 inci dari telinganya sendiri (dengan asumsi pemeriksa mempunyai
pendengaran normal) dan kemudian memegang jam tangan pada jarak yang sama
dari aurikulus pasien. Karena jam tangan menghasilkan suara dengan nada yang
lebih tinggi daripada suara bisikan, maka kurang dapat dipercaya dan tidak dapat
dipakai sebagai satu-satunya cara mengkaji ketajaman auditorius.
g. Uji Weber
h. Uji Rinne
Gagang garpu tala yang bergetar ditempatkan di belakang aurikula pada tulang
mastoid (kon¬duksi tulang) sampai pasien tak mampu lagi mendengar suara.
Kemudian garpu tala dipindahkan pada jarak 1 inci dari meatus kanalis auditorius
eksternus (konduksi uda-ra). Pada keadaan normal pasien dapat terus
mendengar¬kan suara, menunjukkan bahwa konduksi udara berlang-sung lebih
lama dari konduksi tulang. Pada kehilangan pendengaran konduktif, konduksi
tulang akan melebihi konduksi udara begitu konduksi tulang melalui tulang
temporal telah menghilang, pasien sudah tak mampu lagi mendengar garpu tala
melalui mekanisme konduktif yang biasa. Sebaliknya kehilangan pendengaran
sensorineural memungkinkan suara yang dihantarkan melalui udara lebih baik dari
tulang, meskipun keduanya merupakan konduktor, yang buruk dan segala suara
diterima seperti sangat jauh dan lemah.
6. Komplikasi
Menurut Bruner & Sudarth, (2002) komplikasi yang dapat terjadi pada impaksi
serumen, diantaranya :
a. Otalgia
b. Vertigo
c. Otitis media
d. Resiko infeksi
7. Penatalaksanaan
a. Pengkajian
1. Identitas klien
Inspeksi : lesi, tragus tampak merah, ada darah atau sekret yang keluar, membran
timpani, serumen, benda asing dalam liang telinga.
b. Diagnosa Keperawatan
Intervensi
1 Nyeri akut b/d Inflamasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Kaji ulang
pada liang telinga rasa nyeri klien berkurang atau hilang karakter dan int
KH : 2. Berikan p
5. Kolaboras
indikasi
KH : 3. Menggun
Ekspresi wajah
1. Pasien dapat mendengar dengan
baik 4. Anjurkan
klien untuk ting
2. Pasien tidak meminta untuk
mengulang setiap pertanyaan yang 5. Anjurkan
diajukan mematuhi prog
3 Resiko infeksi b/d lesi pada Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Kaji tanda
lliang telinga diharapkan tidak terjadi tanda – tanda
2. Pantau TT
infeksi
3. Ajarkan te
KH :
4. Cuci tang
1. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi
keperawatan ke
seperti kalor, dubor, tumor, dolor dan
fungsiniolasia
IMPAKSI SERUMEN
BAB I
KONSEP TEORI
· Telinga adalah organ pendengaran. Saraf yang melayani indra ini adalah
saraf cranial ke-8 atau nervus auditorius. Telinga terdiri atas 3 bagian : telinga luar,
telinga tengah, telinga dalam.
· Telinga luar terdiri atas aurikel atau pina, yang pada binatang rendahan
berukuran besar serta dapat bergerak dan membantu mengumpulkan gelombang
suara dam meatus auditorius externa yang menjorok kedalam menjauhi pina serta
menghantakan suara menuju membrane timpani.
· Telinga tengah atau rongga timpani adalah bilik kecil yang mengandung
udara. Rongga itu terletak sebelah dalam membrane timpani atau gendang telinga,
yang memisahkan rongga itu dari meatus auditorius externa. Rongga itu sempit
serta memiliki dinding tulang dan dinding membranosa, sementara pada bagian
belakangnya bersambung dengan antrum mastoid dalam prosesus mastoideus pada
tulang temporalis, melalui sebuah celah yang disebut aditus.
B. Difinisi
- Serumen adalah cairan pada canalis externus yang bersifat lengket, kental,
berwarna, dan, berbau, yang khas. Fungsi serumen itu sendiri adalah sebagai
proteksi telinga terhadap debu, kotoran, pasir bahkan serangga dan bakteri/kuman.
Serumen, yang kerap disebut kotoran telinga, merupakan produksi alami telinga.
Substansi itu dibentuk oleh kelenjar seruminosa yang terletak disepertiga luar liang
telinga.
C. Etiologi
Adapun faktor penyebab dari impaksi serumen, antara lain:
D.Patofisiologi
A. Patway Terlampir
B. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang umumnya dirasakan oleh penderita penyakit impaksi serumen,
antara lain :
· Pendengaran berkurang.
· Nyeri di telinga karena serumen yang keras membatu menekan dinding liang
telinga.
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Audiometri
2. Audiogram
3. Pemeriksaan sinar X mastoid
4. Tes garputala
5. Pemeriksaan otologis
6. Otoskopi
7. Timpanometri
8. Elektronistagmografi
9. CT Scan
10. MRI
11. Laboratorium : Kultur terhadap patogen
I. Komplikasi
· Otitis eksterna
· Perikondritis
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Biodata Pasien
Meliputi : nama, alamat, umur, pekerjaan, status, jenis kelamin, hub. dengan pasien
2. Riwayat kesehatan
- Pola napas
- Pola berpakaian
- Pola komunikasi
- Pola beribadah
- Pola produktivitas
- Pola rekreasi
B. Diagnosa Keperawatan
C. Intervensi
- Dx. 1
Intervensi :
R : teknik relaksasi dan distrakasi yang diajarkan kepada pasien, dapat membantu
mengurangi persepsi pasien terhadap nyeri yang dideritanya
R : obat analgetik dapat mengurangi atau menghilangkan nyeri yang diderita oleh
pasien
- Dx. 2
Intervensi :
- Dx. 3
Intervensi :
Rasional : untuk mengetahui apakah pasien menerima dirinya saat situasi tersebut
1. Berikan respon positif terhadap segala tindakan yang dapat dilakukan oleh
pasien secara mandiri dan kemajuan perkembangan kesehatannya
- Dx. 4
- Pasien dan keluarganya tidak terus menerus menanyakan tentang penyakit yang
diderita oleh pasien
- Pasien dan keluarganya memahami tentang penyakit dan proses penyakit yang
diderita oleh pasien
Intervensi :
1. Evaluasi tingkat ansietas pasien dan keluarganya, catat respon verbal dan
non-verbal.
D. Evaluasi
Dx. 1
Dx. 2
Dx. 3
Dx. 4
DAFTAR PUSTAKA
www. iranichi.multiply.com
www.blogdokter.net/2008
Beranda
Contact
Dokumentasi
Admin
Power Point
Organisasi
Hiburan
IMPAKSI SERUMEN
LAPORAN PENDAHULUAN
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks
(pendengaran dan keseimbanga Anatominya juga sangat rumit . Indera
pende¬ngaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan
pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui
bicara tergantung pada kemampuan mendengar.
Deteksi awal dan diagnosis akurat gangguan otologik sangat penting. Di antara
mereka yang dapat membantu diagnosis dan atau menangani kelainan otologik
adalah ahli otolaringologi, pediatrisian, internis, perawat, ahli audiologi, ahli
patologi wicara dan pendidik. Perawat yang terlibat dalam spesialisasi
otolaringologi, saat ini dapat raemperoleh sertifikat di bidang keperawatan
otorinolaringologi leher dan kepala (CORLN= cerificate in otorhinolaringology-
head and neck nursing).
Usaha untuk mengeluarkan (mengorek) dengan batang korek, jepit rambyt atau
benda lain akan dapat berbahaya karena dapat mengakibatkan kotoran terdorong ke
dalam (dapat menyumbat karena bagian dalam lebih sempit), serta adanya trauma
terhadap kulit dan dapat menyebabkan infeksi dan kerusakan gendang telinga dan
akhirnya dapat menyebabkan impaksi,otalgia (nyeri pada telinga) atau bahkan
kehilangan pendengaran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2. Etiologi
Adanya impaksi serumen dan benda asing diliang telinga, secara umum terdapat
beberapa faktor predisposisi, antara lain: dermatitis kronik pada telinga luar, liang
telinga sempit, produksi serumen terlalu banyak dan kental, benda asing diliang
telinga, terdorongnya serumen ke lubang lebih dalam (karena kebiasaan mengorek
telinga).
3. Patofisiologi
Kadang-kadang pada kanalis dapat terjadi impaksi, yang dapat menyebabkan
otalgia, rasa penuh dalam telinga dan atau kehilangan pendengaran. Penumpukan
serumen terutama bermakna pada populasi geriatrik sebagai penyebab defisit
pendengaran. usaha membersihkan kanalis auditorius dengan batang korek api,
jepit rambut, atau alat lain bisa berbahaya karena trauma terhadap kulit bisa
menyebabkan infeksi. Anak-anak sering memasukkan benda-benda kecil ke dalam
saluran telinganya, terutama manik-manik, penghapus karet atau kacang-kacangan.
4. Manifestasi Klinis
Manisfestasi klinis yang sering dirasakan oleh penderita impaksi serumen adalah :
Penumpukan serumen.
Gatal, rasa nyeri, dan rasa penuh ditelinga.
Gangguan pendengaran (ditemukan dengan pemeriksan ketajaman pendengaran)
Telinga berdengung (tinitus)
Pusing dimana pasien merasakan lingkungan di sekitarnya berputar (vertigo)
5. Penatalaksanaan
Kotoran telinga (serumen) bisa menyumbat saluran telinga dan menyebabkan
gatal-gatal, nyeri serta tuli yang bersifat sementara dan dokter akan membuang
serumen tersebut dengan cara menyemburnya secara perlahan dengan
menggunakan air hangat (irigasi). Tetapi jika dari telinga keluar nanah, terjadi
perforasi gendang telinga atau terdapat infeksi telinga yang berulang, maka irigasi
tidak dapat dilakukan karena air bisa masuk ke telinga tengah dan kemungkinan
akan memperburuk infeksi. Pada keadaan ini, serumen dibuang dengan
menggunakan alat yang tumpul atau dengan alat penghisap. Biasanya tidak
digunakan pelarut serumen karena bisa menimbulkan iritasi atau reaksi alergi pada
kulit saluran telinga dan tidak mampu melarutkan serumen secara adekuat.
Adapun cara-cara untuk mengeluarkan serumen yang menumpuk di liang telinga,
antara lain:
Serumen yang lembek dibersihkan dengan kapas yang dililitkan pada aplikator
(pelilit).
Serumen yang keras dikeluarkan dengan pengait atau kuret.
Serumen yang sangat keras (membatu), dilembekkan terlebih dahulu dengan
karbogliserin 10%, 3 x 5 tetes sehari, selama 3 – 5 hari, setelah itu dikeluarkan
dengan pengait atau kuret dan bila perlu dilakukan irigasi telinga dengan air yang
suhunya sesuai dengan suhu tubuh.
Serumen yang terlalu dalam dan mendekati membran timpani dikeluarkan dengan
cara mengirigasi liang telinga dengan menggunakan air hangat bersuhu 37 oC agar
tidak menimbulkan vertigo karena terangsangnya vestibuler.
6. Pemeriksaan Penunjang
a) CT-Scan tulang tengkorak, mastoid terlihat kabur, ada kerusakan tulang
b) Scan Galium-67, terlihat focus inf akut yg akan kembali normal dgn resolusi inf.
c) Scan Tekhnetium-99, terlihat aktifitas osteoblastik yg akan kembali normal
beberapa bulan setelah resolusi klinik
d) MRI, monitor serebral, pembuluh darah yang terkait
e) Tes Laboratorium,sample nanah untuk kultur dan tes sensitivitas antibiotik
f) Ketajaman Auditorius.
Perkiraan umum pendengaran pasien dapat disaring secara efektif dengan
mengkaji kemampuan pasien mendengarkan
Bisikan kata atau detakan jam tangan.
Bisikan lembut dilakukan oleh pemeriksa, yang sebelumnya telah melakukan
ekshalasi penuh. Masing-masing telinga diperiksa bergantian. Agar telinga yang
satunya tak mendengar,
Pemeriksa menutup telinga yang tak diperiksa dengan telapak tangan.Dari jarak 1
sampai 2 kaki dari telinga yang tak tertutup dan di luar batas penglihatan, pasien
dengan ketajaman normal dapat menirukan dengan tepat apa yang dibisikkan. Bila
yang digunakan detak jam tangan, pemeriksa memegang jam tangan sejauh 3 inci
dari telinganya sendiri (dengan asumsi pemeriksa mempunyai pendengaran
normal) dan kemudian memegang jam tangan pada jarak yang sama dari aurikulus
pasien. Karena jam tangan menghasilkan suara dengan nada yang lebih tinggi
daripada suara bisikan, maka kurang dapat dipercaya dan tidak dapat dipakai
sebagai satu-satunya cara mengkaji ketajaman auditorius.
g) Uji Weber
Memanfaatkan konduksi tulang untuk menguji adanya lateralisasi suara. Sebuah
garpu tala dipegang erat pada gagangnya dan pukulkan pada lutut atau pergelangan
tangan pemeriksa. Kemudian diletakkan pada dahi atau gigi pasien. Pasien ditanya
apakah suara terdengar di tengah kepala, di telinga kanan atau telinga kiri. Individu
dengan pendengaran normal akan mende¬ngar suara seimbang pada kedua telinga
atau menjelaskan bahwa suara terpusat di tengah kepala. Bila ada kehilang¬an
pendengaran konduktif (otosklerosis, otitis media), suara akan lebih jelas terdengar
pada sisi yang sakit. Ini disebabkan karena obstruksi akan menghambat ruang
suara, sehingga akan terjadi peningkatan konduksi tulang. Bila terjadi kehilangan
sensorineural, suara akan meng-alami lateralisasi ke telinga yang pendengarannya
lebih baik. Uji Weber berguna untuk kasus kehilangan pende¬ngaran unilateral.
h) Uji Rinne
Gagang garpu tala yang bergetar ditempatkan di belakang aurikula pada tulang
mastoid (kon¬duksi tulang) sampai pasien tak mampu lagi mendengar suara.
Kemudian garpu tala dipindahkan pada jarak 1 inci dari meatus kanalis auditorius
eksternus (konduksi uda-ra). Pada keadaan normal pasien dapat terus
mendengar¬kan suara, menunjukkan bahwa konduksi udara berlang-sung lebih
lama dari konduksi tulang. Pada kehilangan pendengaran konduktif, konduksi
tulang akan melebihi konduksi udara begitu konduksi tulang melalui tulang
temporal telah menghilang, pasien sudah tak mampu lagi mendengar garpu tala
melalui mekanisme konduktif yang biasa. Sebaliknya kehilangan pendengaran
sensorineural memungkinkan suara yang dihantarkan melalui udara lebih baik dari
tulang, meskipun keduanya merupakan konduktor, yang buruk dan segala suara
diterima seperti sangat jauh dan lemah.
Hal-hal yang perlu dikaji pada klien dengan impaksi serumen yaitu :
Integritas Ego
o Gejala :
o Tanda : jarang bergaul
Neurosensori
o Gejala : Kesulitan mendengar, penurunan kemampuan
pendengaran
o Tanda : Gangguan lingkup perhatian Disorientasi Letargi/pingsan
Nyeri/Kenyamanan
o Gejala : Nyeri pada daerah telinga tengah.
o Tanda : Wajah meringis
Keamanan
o Gejala : riwayat infeksi
o Tanda : Demam derajat rendah
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan dinding liang telinga
b. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan transmisi bunyi
c. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan stigma
berkenaan dengan kondisi
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan dinding liang telinga
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan rasa nyeri pasien
berkurang dan pasien tampak rileks.
Intervensi Keperawatan :
1. Kaji ulang keluhan nyeri, perhatikan lokasi atau karakter dan intensitas.
R : Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau
keefektifan intervensi.
2. Berikan posisi yang nyaman pada pasien.
R : Untuk meningkatkan relaksasi.
3. Tingkatkan periode tidur tanpa gangguan
R : Dapat mengurangi rasa nyeri pasien
4. Dorong menggunakan teknik manajemen nyeri, seperti nafas dalam, distraksi.
R : Meningkatkan relaksasi dan mengurangi nyeri
I. PENGKAJIAN
1. Data Umum
Identitas Klien
Nama : Ny. X
Tempat/Tanggal Lahir : Kendari, 2 mei 1986
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Tolaki
Pekerjaan : Dosen
Alamat : Jl. Stikbad No. 09
Diagnosa medis : Impaksi Serumen
Tanggal masuk RS : 31 mei 2010
Ruangan : Stikbad
Penanggung Jawab
Nama : Tn. Y
Umur : 30 Tahun
Pekerjaan : Dosen
Hubungan dengan klien : Rekan Kerja
Alamat : Jl. Stikbad No. 10
Genogram :
KET
= pasien / klien
= laki-laki
= perempuan
X = meninggal
? = umur tidak diketahui
= tinggal serumah
Klien berusia 23 tahun tinggal bersama kedua orang tuanya dan dua orang
saudaranya. Kakek dan nenek klien dari ibunya sudah meninggal dengan sebab
tidak diketahui, sedangkan nenek dari ayah klien berusia 70 tahun.
5. Riwayat Psiko-Sosio-Spiritual
Psikososial
1. Pola Koping
Klien tidak menerima dapat menerima penyakitnya yang dideritanya.
2. Harapan klien tentang penyakitnya
Klien berharap agar penyakitnya cepat sembuh sehingga dapat melakukan aktivitas
sebagaimana biasanya.
3. Konsep diri
Klien merasa malu atas penyakitnya.
4. Pengetahuan klien tentang penyakitnya
Klien sedikit mengetahui tentang penyakitnya.
5. Adaptasi
Klien merasa kurang beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit.
Sosial
1. Hubungan dengan anggota keluarga
Hubungan dengan keluarga cukup baik, terlihat dari keakraban sewaktu klien di
rumah sakit.
2. Hubungan dengan masyarakat
Hubungannya cukup baik terlihat dari antusias warga masyarakat dan rekan-rekan
sewaktu menjenguk.
3. Perhatian terhadap orang lain/lawan bicara
Klien kurang dapat memperhatikan isi pembicaraan.
4. Aktivitas sosial
Klien kurang aktif dalam kegiatan di lingkungan tempat tinggal.
5. Bahasa yang digunakan
Sehari-hari klien menggunakan bahasa Tolaki.
6. Keadaan lingkungan
Lingkungan tempat tinggal klien bersih dan nyaman.
Spiritual
1. Kegiataan keagamaan/pola ibadah
Klien cukup rajin melaksanakan ibadah.
2. Keyakinan akan kesehatan
Klien merasa yakin akan segera sembuh dari penyakitnya.
2. Minum
Sebelum MRS : Minum 2000-2500 cc/ hari, jenis air putih, teh
Setelah MRS : Tidak ada perubahan
3. Tidur
Sebelum MRS : Jarang tidur siang. Tidur malam 6-7 jam.
Setelah MRS : Tidak ada perubahan
4. Eliminasi BAB
Sebelum MRS : Frekuensi 1-2 hari. Warna kuning, konsistensi lunak, kesulitan
tidak ada.
Setelah MRS : Tidak ada perubahan.
5. Eliminasi Urin/BAK
Sebelum MRS : Volume tidak teridentifikasi, warna kuning jernih.
Setelah MRS : Tidak ada perubahan
7. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Kehilangan BB : Pada saat MRS BB klien 70 Kg setelah di rawat BB klien
tidak ada perubahan.
Vital sign :
TD : 100/80 mmHg
N : 68 X/menit
S : 37,5 oC
P : 18 X/menit
Tingkat kesadaran : Gelisah
2. Pengkajian Persistem
• Kepala dan rambut
Simetris kanan dan kiri, rambut pendek dan ikal.
• Wajah
Simetris, tidak ada ikterik.
• Hidung
Simetris, fungsi penciuman baik, perdarahan (tidak ada), peradangan (tidak ada),
polip (tidak ada).
• Telinga
Bentuk simetris kiri dan kanan, tampak ada penumpukan serumen, pendengaran
terganggu, dan ada nyeri, serta fungsi pendengaran menurun.
• Kuku
Tampak bersih
• Mulut dan gigi
Bentuknya simetris, warna tidak ikterik, gigi dalam susunan normal dan rapi.
• Leher
Tidak ada distensi pada vena jugularis, leher dapat digerakan dengan bebas dan
tidak ada pembesaran kelenjar limfe dan kelenjar tiroid.
• Dada
Gerakan dada simetris kiri dan kanan.
• Abdomen
Simetris kiri dan kanan dan tidak ada nyeri tekan
• Kulit
Kuning langsat, Lembab dan tidak ada sianosis
8. Klasifikasi Data
Data Subjektif
o Klien mengatakan nyeri pada telinganya
o Klien mengatakan kurang mendengar suara orang lain ketika berbicara
o Klien mengatakan malu akan penyakitnya
Data Objektif
o Wajah klien tampak meringis.
o Klien tampak bingung ketika diajak berbicara,
o Klien tampak jarang bergaul
Vital sign :
TD : 100/80 mmHg
N : 68 X/menit
S : 37,5 oC
P : 18 X/menit
Tingkat kesadaran : Gelisah
9. Prioritas Data
a. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan dinding liang telinga
DS : Klien mengatakan nyeri pada telinganya
DO : Wajah klien tampak meringis
b. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan gangguan transmisi bunyi
DS : Klien mengatakan kurang mendengar suara orang lain ketika berbicara
DO : Klien tampak selalu memegang telinganya
c. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan stigma
berkenaan dengan kondisi
DS : Klien mengatakan malu akan penyakitnya
DO : Klien tampak bingung karena kurang mendengar pembicaraan
09.40
09.50
10.00
10.15 1
1. mengkaji ulang keluhan nyeri, perhatikan lokasi atau karakter dan intensitas.
Hasil : nyeri pada daerah telinga, dengan skala 7/10.
2. Memberikan posisi yang nyaman pada pasien
Hasil : Klien merasa nyaman saat tidur.
3. meningkatkan periode tidur tanpa gangguan
Hasil : klien tidur dalam periode yang lama.
4. mendorong penggunaan teknik manajemen nyeri, seperti napas dalam, distraksi.
Hasil : klien dapat mengatur nyeri
5. Kolaborasi : memberikan obat sesuai indikasi (analgetik)
Hasil : Klien mengikuti intruksi yang diberikan.
08.05
08.15
08.25
08.35 2
1. Memandang ketika sedang bicara.
Hasil : Klien merasa dihargai
2. mengkaji ketajaman pendengaran pasien.
Hasil : klien mengalami penurunan pendengaran.
3. Menggunakan tanda-tanda nonverbal (mis. Ekspresi wajah, menunjuk, atau
gerakan tubuh) dan bentuk komunikasi lainnya.
Hasil : klien mengerti dengan isyarat yang diberikan.
4. menganjurkan kepada keluarga atau orang terdekat klien untuk tinggal bersama
klien.
Hasil : keluarga mengikuti anjuran yang diberikan.
5. menganjurkan kepada pasien dan keluarga untuk mematuhi program teraphy.
Hasil : klien mengikuti anjuran yang diberikan.
S : Klien mengatakan kurang mendengar suara orang lain ketika berbicara
O : Klien tampak tidak lagi bingung ketika diajak berbicara
A : Masalah teratasi
P : --
3 2 Juni 2010
08.00
08.10
08.25
08.35
3
1. Mengkaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan derajat
ketidakmampuannya.
Hasil : klien mengalami penurunan pendengaran.
2. mendorong klien untuk mengeksplorasi perasaan tentang kritikan orang lain.
Hasil : klien mengikuti instruksi yang diberikan.
3. menidentifikasi arti kehilangan/disfungsi/perubahan pada pasien.
Hasil : klien tidak mengalami kehilangan akibat dari penurunan fungsi
pendengaran.
4. menganjurkan pasien untuk mengekspresikan perasaannya termasuk rasa
bermusuhan dan perasaan marah.
Hasil : klien mengikuti anjuran yang diberikan.
S : Klien mengatakan malu akan penyakitnya
O : Klien tampak jarang bergaul
A : Masalah teratasi
P : --