You are on page 1of 12

32

4. 2 Analisis Data
Jenis Perlakuan Total
Jumlah telur menetas
Persilangan Penyinatan perlakuan
Strain UV (menit) U1 U2 U3 kombinasi
0 96 98 80 274
3 59 64 49 172
♂N ><♀N 6 48 67 45 160
9 37 55 41 133
12 50 39 41 130
0 93 90 65 248
3 64 53 54 171
♂ w >< ♀w 6 38 49 49 136
9 25 52 65 142
12 57 37 39 133
Total Kelompok/ulangan 567 604 528 1699
Perhitungan Jumlah Kuadrat :
1. Faktor Koreksi (FK)
(1699)2
FK = 30
2886601
= 30
= 96220,033

2. JK Total
JK Total = (96)2+(98)2+(80)2+.............+(98)2 – FK
= 106527 - 96220,033
= 10306, 967

3. JK Ulangan
(567)2 +(604)2 +(528)2
JK Ulangan = – FK
10
965089
= – FK
10
= 96508,9 – 96220,033
= 288,867

4. JK Perlakuan Kombinasi
(274)2 +(172)2 + ⋯+(133)2
JK Per.Komb = – FK
3
311943
= – FK
3
= 103981 - 96220,033
= 7760,967

5. JK Galat
JK Galat = JK Total – JK Ulangan – JK Perlakuan Kombinasi
= 10306, 967 - 288,867 - 7760,967
= 2257,133
33

Tabel Dua Arah


Jenis Perlakuan lama Penyinaran UV
Persilangan Total Strain
0 3 6 9 12
Strain
♂N ><♀N 274 172 160 133 130 869
♂ w ><♀w 248 171 136 142 133 830
Total
Perlakuan 522 343 296 275 263 1699
sinar UV

6. JK Jenis Strain
(869)2 +(830)2
JK S = – FK
5x3
1444061
= – FK
15
= 96270,733 - 96220,033
= 50,7

7. JK Lama Penyinaran UV
(522)2 +(343)2 +(296)2 ++(275)2 +(263)2
JK UV = – FK
2x3
622543
= – FK
6
= 103757,168 – 96220,033
= 7537,133

8. JK Interaksi Strain – Lama Penyinaran UV


JK Interaksi = JK Perlakuan Kombinasi – JK S – JK UV
= 7760,967 – 50,7 – 7537,133
= 173,133

SK db JK KT F hitung F0,05 F0,01


Ulangan 2 288,867 144,433
Perlakuan
9 7760,967 862,329
Komb.
S 1 50,7 50,7 0,40432 4,41387 8,28542
UV 4 7537,133 1884,283 15,02663 2,92774 4,57904
S-UV 4 173,133 43,283 0,34517 2,92774 4,57904
Galat 18 2257,133 125,396
Total 29 10306,967 355,413
34

 Rujukan :
1. F tabel 0,05
a. F Hitung S (0,40432) < F0,05 (4,41387), H0 diterima, hipotesis penelitian
ditolak berarti macam strain tidak berpengaruh terhadap persentase penetasan
telur D. melanogaster hasil persilangan strain ♂N >< ♀N dan ♂w ><♀w
b. F Hitung UV (15,02663) > F0,05 (2,92774), H0 ditolak, hipotesis penelitian
diterima berarti lama radiasi sinar ultraviolet berpengaruh terhadap persentase
penetasan telur D. melanogaster hasil persilangan strain ♂N >< ♀N dan ♂w
><♀w
c. F Hitung S – UV (0,34517) < F0,05 (2,92774), H0 diterima, hipotesis
penelitian ditolak berarti Interaksi antara lama radiasi ultraviolet terhadap jenis
strain D. melanogaster tidak berpengaruh terhadap persentase penetasan telur
D. melanogaster hasil persilangan strain ♂N >< ♀N dan ♂w ><♀w

2. F tabel 0,01
a. F Hitung S (0,40432) < F0,05 (8,28542), H0 diterima, hipotesis penelitian
ditolak berarti macam strain tidak berpengaruh terhadap persentase penetasan
telur D. melanogaster hasil persilangan strain ♂N >< ♀N dan ♂w ><♀w
b. F Hitung UV (15,02663) > F0,05 (4,57904), H0 ditolak, hipotesis penelitian
diterima berarti lama radiasi sinar ultraviolet berpengaruh terhadap persentase
penetasan telur D. melanogaster hasil persilangan strain ♂N >< ♀N dan ♂w
><♀w
d. F Hitung S – UV (0,34517) < F0,05 (4,57904), H0 diterima, hipotesis
penelitian ditolak berarti tidak ada interaksi antara lama radiasi ultraviolet dan
jenis strain D. melanogaster terhadap persentase penetasan telur D.
melanogaster hasil persilangan strain ♂N >< ♀N dan ♂w ><♀w
 UJI Lanjut BNT
2KTGalat
1. Nilai BNT 0,05 UV = t0,05(db galat=18) x√ rxs

2x125,39630
= 2,101 x √ 3x2
= 2,101 x 6,465
= 13,583
2KTGalat
2. Nilai BNT 0,01 UV = t0,01(db galat=18) x√ rxs

2x125,39630
= 2,878 x √ 3x2
= 2,878 x 6,465
= 18,609
35

UV Total Rerata Notasi BNT 0,05 Notasi BNT 0,01


12 263 43,8333333 a a
9 275 45,83333333 a a
6 296 49,33333333 a a
3 343 57,16666667 a a
0 522 87 b b

Kesimpulan dari Uji BNT:


1. Lama radiasi sinar ultraviolet berpengaruh terhadap persentase penetasan
telur D. melanogaster hasil persilangan strain ♂N >< ♀N dan ♂w ><♀w.
Perlakuan interval 0 menit menghasilkan rerata penetasan telur Drosophila
melanogaster paling besar dan berbeda nyata dengan perlakuan interval
waktu lainnya
2. Macam strain tidak berpengaruh terhadap persentase penetasan telur D.
melanogaster hasil persilangan strain ♂N >< ♀N dan ♂w ><♀w.
3. Tidak ada interaksi antara lama radiasi ultraviolet dan jenis strain D.
melanogaster terhadap persentase penetasan telur D. melanogaster hasil
persilangan strain ♂N >< ♀N dan ♂w ><♀w.
36

BAB V
PEMBAHASAN

Pada dasarnya peristiwa mutasi dapat terjadi secara spontan dan terinduksi.
Mutasi spontan terjadi tanpa adanya penyebab yang jelas, sedangkan mutasi
terinduksi terjadi karena adanya agen mutagen seperti radiasi sinar X, sinar
ultraviolet dan bahan kimia yang bereaksi dengan DNA (Gardner, dkk, 1991).
Dalam penelitian ini digunakan sinar ultraviolet yang berperan sebagai faktor
penyebab mutasi terinduksi dalam lingkungan yang bersifat fisik. Kemudian
menurut Corebima (2008) yang menyatakan bahwa penggunaan sinar ultraviolet
dimaksudkan karena radiasi sinar tersebut memiliki panjang gelombang 254-269
nm yang dapat diserap secara maksimal oleh DNA. Dari pernyataan tersebut
semakin jelas bahwa penggunaan sinar ultraviolet lebih efektif dibandingkan
dengan jenis sinar-sinar yang lain dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini digunakan telur Drosophila melanogaster dan bukan
tahapan lain dari proses metamorfosis lalat buah seperti fase larva, pupa dan
imago karena telur adalah salah satu tahapan dimana sel-selnya pada saat itu aktif
membelah dan tumbuh sehingga memiliki tingkat sensitivitas yang sangat tinggi
jika terpapar sinar ultraviolet. Pernyataan tersebut ditambah oleh Barror (1992)
yang menyatakan bahwa telur Drosophila melanogaster dilapisi oleh dua lapisan,
yaitu satu selaput vitellin tipis yang mengelilingi sitoplasma dan suatu selaput
tipis tapi kuat (khorion) dibagian luar dan di anteriornya terdapat dua tangkai tipis
sehingga memungkinkan sinar ultraviolet dapat menembus lapisan tersebut.
Kemudian didukung oleh pendapat Suryo (2010) bahwa dalam kurun waktu 2 hari
setelah persilangan, Drosophila melanogaster betina akan menghasilkan telur
sebanyak 50-75 telur perhari. Secara otomatis dengan jumlah telur yang banyak
akan semakin memudahkan penelitian yang ada.

5.1 Lama Penyinaran Ultraviolet terhadap Persentase Penetasan Telur


Drosophila melanogaster
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan untuk mengetahui ada atau
tidaknya pengaruh lama penyinaran UV terhadap persentase penetasan telur

36
37

Drosophila melanogaster, diperoleh hasil F hitung penyinaran UV (15,02663) > F


tabel 0,05 (2,928) maka Ho ditolak, Hipotesis penelitian diterima. Artinya lama
radiasi sinar UV berpengaruh terhadap persentase penetasan telur D.
melanogaster. Berdasarkan data yang didapat diketahui bahwa jumlah persentase
telur yang menetas pada perlakuan UV 0 ,3, 6, 9, dan 12 menit terdapat perbedaan
persentase penetasannya. Adanya variasi lama waktu penyinaran ini bertujuan
untuk melihat pengaruh lama radiasi sinar UV terhadap persentase telur yang
menetas pada masing-masing strain. Dapat diketahui bahwa pada perlakuan UV 0
menit menghasilkan rerata penetasan telur Drosophila melanogaster paling besar
dan berbeda nyata dengan perlakuan interval waktu lainnya. Hal ini disebabkan
karena pada perlakuan kontrol, telur tidak mengalami mutasi akibat dari radiasi
sinar UV. Sedangkan jika dilihat dari perlakuan UV 12 menit tampak sangat
berbeda hasilnya dengan perlakuan UV 0 menit dimana pada perlakuan ini
menghasilkan rerata penetasan telur paling rendah dikarenakan telur mendapatkan
paparan sinar UV dalam waktu yang cukup lama.
Hasil dari penelitian tersebut diketahui bahwa berbanding lurus dengan
teori yang ada. Berdasarkan penelitian Sa'adah (2000) tentang pengaruh radiasi
sinar ultraviolet terhadap penetasan telur yang menyatakan bahwa radiasi sinar
UV yang diberikan pada telur Drosophila melanogaster dapat mempengaruhi
jumlah penetasan telur. Hal tersebut terkait dengan sensitivitas telur terhadap
radiasi sinar ultraviolet yang berkenaan dengan adanya kerusakan materi genetik
akibat perlakuan yang diberikan. Telur yang tidak dapat menetas adalah telur yang
memiliki sensitivitas tinggi terhadap radiasi sinar ultraviolet dan kerusakan materi
yang terjadi belum dapat diperbaiki.
Pada dasarnya radiasi sinar ultraviolet memiliki bentuk radiasi non
pengion yang dapat meningkatkan reaktifitas molekul DNA. Reaktifitas molekul
DNA meningkat disebabkan karena sinar UV membebaskan energinya kepada
atom-atom yang dijumpai sehingga dapat meningkatkan elektron-elektron pada
orbit luar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Atom-atom yang memiliki elektron
demikian dinyatakan tereksitasi atau tergiatkan. Molekul yang mengandung atom
yang berada dalam keadaan tereksitasi, secara kimiawi lebih reaktif dibandingkan
molekul yang memiliki atom-atom yang berada dalam keadaan stabil. Reaktivitas
38

yang meningkat dari atom-atom pada molekul DNA merupakan dasar dari efek
mutagenik radiasi sinar UV(Gardner, dkk, 1991).
Kemudian terdapat pendapat yang mendukung hasil penelitian yaitu
pernyataan dari Corebima (2008) yang mengatakan bahwa sinar ultraviolet dapat
menghasilkan pengaruh, baik letal maupun mutagenik, pada semua jenis virus dan
sel. Pengaruh ini disebabkan oleh terjadinya perubahan kimia pada basa DNA
akibat absorpsi energi dari sinar tersebut. Pengaruh terbesar yang ditimbulkan
oleh radiasi sinar UV adalah terbentuknya pirimidin dimer, khususnya timin
dimer, yaitu saling terikatnya dua molekul timin yang berurutan pada sebuah untai
DNA. Dengan adanya timin dimer, replikasi DNA akan terhalang pada posisi
terjadinya timin dimer tersebut.
Timin dimer ini menimbulkan mutasi secara tidak langsung yaitu
dengan cara menggangu double helix DNA serta menghambat pembentukan
replikasi DNA. Dalam hubungannya dengan molekul DNA, senyawa yang
paling utama adalah purin dan pirimidin, karena kedua senyawa tersebut menyerap
cahaya pada panjang gelombang 254-269 nm yang merupakan panjang gelombang
dari sinar UV. Pirimidin terutama timin sangat kuat menyerap sinar pada panjang
gelombang 254 nm sehingga menjadi sangat reaktif. Unting dan perlengkapan
sintesis unting DNA maupun RNA menjadi terhalang dengan adanya tapak-tapak
yang ditempati dimer tadi. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya keletalan apabila
tidak ada perbaikan (Sa’adah, 2000).
Mekanisme mutasi pada telur Drosophila melanogaster setelah terpapar
sinar ultraviolet menyabakan ketidaknormalan pada telur tersebut. Berikut ini
penjelasan M. Bownes dan K. Sander pada tahun 1976 , tentang perkembangan
embrio Drosophila melanogaster setelah terpapar sinar ultraviolet :
1. Setelah terpapar sinar ultraviolet, nukleus sel telur tidak bisa bermigrasi ke
area yang terpapar radiasi UV, sehingga menyebabkan blastoderm hanya
terbentuk pada daerah posterior telur saja.
2. Karena balstoderm hanya terbentuk pada bagian posterior sacara otomatis
pembentukan blastoderm pada daerah anterior terhambat
3. Ketika efek dari paparan sinar ultraviolet berhenti, inti sel bermigrasi
menuju daerah yang mengalami radiasi ultraviolet namun blastoderm tetap
39

tidak terbentuk di daerah tersebut. Karena nantinya blastoderm ini akan


bergerak untuk membentuk lapisan blastoderm yang lengkap.
4. Dalam proses pembentukan lapisan blastoderm yang lengkap,tentunya
dibutuhkan energi dan untuk menfasilitasi hal tersebut maka dilakukan
pemotongan sebagian kecil yolk dalam prosesnya. Hal ini menyebabkan
pembentukan kepala embrio yang abnormal dan bagian mulut tidak
terbentuk.
Jadi dapat diartikan bahwa lama penyinaran UV berpengaruh pada
perkembangan embrio, khususnya pada saat terjadi pembentukan blastoderm.
Embrio yang memiliki viabilitas rendah dan sensitivitas tinggi terhadap sinar UV
akan mengalami kerusakan yolk, yang akhirnya akan membuat embrio tersebut
cacat dan tidak bisa menetas menjadi larva.
Akan tetapi pada saat pengamatan pada perlakuan 3 menit, 6 menit , 9
menit dan 12 menit diketahui ada beberapa telur yang tetap dapat menetas
walaupun diberikan paparan sinar ultraviolet. Hasil tersebut didukung oleh
pernyataan Corebima (2008) yang menyatakan bahwa sebelum terjadi kerusakan
yang parah pada jaringan telur, telah terjadi perbaikan DNA akibat mutasi induksi
yang disebabkan sinar ultraviolet tersebut. Sel-sel prokariot dan eukariot memiliki
sejumlah sistem perbaikan yang berhubungan dengan kerusakan DNA. Semua
sistem itu melakukan perbaikan secara enzimatis. Kerusakan DNA akibat radiasi
sinar ultraviolet dapat diperbaiki antara lain dengan cara fotoreaktivasi dimmer
pirimidin dan perbaikan melalui pemotongan (excision repair).
Melalui proses fotoreaktivasi dimmer pirimidin, bentukan dimmer akan
langsung berbalik menjadi seperti bentukan asli dengan menggunakan bantuan
cahaya pada panjang gelombang 320-370 nm (cahaya biru). Fotoreaktivasi ini
dikatalisasi oleh enzim fotoliase. Enzim fotoliase akan menyingkirkan dimmer
jika diaktivasi oleh suatu foton. Tampaknya, enzim ini berfungsi sebagai
“pembersih” sepanjang double helix untuk mencari bonggolan yang terbentuk
akibat dimerisasi yang ada. Enzim ini rupanya sangat efektif, karena biasanya
hanya sedikit dimer yang tersisa setelah fotoreaktivasi. Dewasa ini, enzim
fotoliase sudah ditemukan pada berbagai organisme yang pernah dikaji
(Corebima, 2008).
40

Perbaikan melalui pemotongan (excision repair) disebut juga sebagai


perbaikan gelap atau dark repair, karena tidak dibutuhkan cahaya. Proses ini juga
memperbaiki (menghilangkan) dimmer pirimidin yang terbentuk akibat induksi
cahaya ultraviolet (Corebima, 2008). Mekanisme perbaikan ini ditemukan pada
tahun 1964 oleh R. P. Boyce dan P. Howard-Flanders serta oleh R. Setlow dan W.
Carrier. Kelompok-kelompok peneliti itu mengisolasi beberapa mutan E. coli
yang sensitif terhadap ultraviolet. Sesudah radiasi ultraviolet, mutan-mutan
memperlihatkan laju mutasi dalam gelap yang lebih tinggi daripada normal.
Selain itu, mekanisme perbaikan yang lain dapat dibantu oleh aktivitas
enzim polimerase DNA, perbaikan kerusakan akibat alkilasi dengan
menggunakan enzim yang disebut dengan metiltransferase O6-metilguanin yang
dikode oleh gen “ada”. Dalam prosesnya enzim membutuhkan O6 metilguanin
pada molekul DNA kemudian menyingkirkan gugus metil tersebut dan dengan
demikian molekul DNA kembali pulih (Corebima, 2008). Perbaikan dengan
bantuan Glikosilase, Enzim glikosilase mendeteksi basa yang tidak lazim dan
selanjutnya penyingkirannya dari gula deoksiribosa. Aktivitas katalitik ini
menyebabkan adanya lubang pada DNA. Posisi ini disebut dengn tapak AP atau
AP site. Pada lubang tersebut ditemukan enzim khusus yang disebut endonuklease
AP. Enzim tersebut memotong ikatan fosfodiester di samping basa yang lepas.
Pemotongan ini memungkinkan terjadinya aktivitas enzim polimerase I DNA
(Corebima, 2008).
Jenis perbaikan yang lain yaitu melalui koreksi pasangan basa yang salah,
yang mana perbaikan dengan koreksi pasangan basa yang salah dikode oleh 3 gen
yaitu mut H, mut L, dan mut S. Enzim tersebut mencari pasangan basa yang salah
dan setelah ditemukan akan dikatalisasi penyingkiran suatu segmen DNA (unting
tunggal) yang mengandung pasangan basa salah. Mekanismenya adalah diawali
dengan enzim koreksi pasangan yang salah bekerja dengan mengenali unting
DNA baru yang belum mengalami metilasi kemudia menyingkirkan pasangan
basa yang salah tersebut dan selanjutnya berlangsung polimerisasi yang dikatalik
polimerase I DNA dimana hasilnya akan disambung oleh enzim ligase (Corebima,
2008).
41

5.2 Perbedaan Macam Strain terhadap Persentase Penetasan Telur


Drosophila melanogaster
Berdasarkan analisis data, macam strain tidak mempengaruhi penetasan
telur D.melanogaster. Hal tersebut dapat dibuktikan dari perhitungan analisis data
yang diperoleh. Pada analisis data diperoleh hasil F hitung (0,40432) < F tabel
(8,28542) maka Ho diterima, sedangkan Hipotesis penelitian (H1) ditolak. Artinya
tidak ada pengaruh macam strain terhadap penetasan telur lalat D.melanogaster.
Karena jika dilihat dari persentase telur yang menetas dari strain N ataupun strain
W pada perlakuan sinar ultraviolet 0 menit, 3 menit, 6 menit, 9 menit, maupun
yang 12 menit didapatkan hasil persentase penetasan telur yang tidak berbeda jauh
satu sama lain.
Pada penelitian ini, macam strain tidak mempengaruhi persentase
penetasan telur D.melanogaster. Karena kedua jenis strain mengalami penurunan
jumlah penetasan, ditandai dengan jumlah telur yang menetas lebih sedikit dari
jumlah telur awal sebelum perlakuan UV. Menurut Sa’adah (2000), rendahnya
jumlah penetasan telur serta tingginya tingkat kematian telur D. Melanogaster,
berhubungan dengan sensitivitas telur terhadap radiasi sinar UV. Selain itu,
seperti yang telah dikemukakan oleh Crowder (1990) bahwa embrio lebih sensitif
terhadap perubahan kondisi lingkungannya. Sel yang aktif tumbuh dan membelah
lebih sensitif terhadap radiasi. Dalam hal ini ada kemungkinan bahwa telur yang
berhasil menetas adalah telur yang mempunyai viabilitas cukup tinggi terhadap
radiasi sinar UV. Secara lebih spesifik, sensitivitas telur terhadap radiasi dan
viabilitas telur D. Melanogaster berkaitan dengan perubahan materi genetik akibat
radiasi yang diterimanya. Telur kedua jenis strain sama-sama mudah terpengaruh
dengan adanya penyinaran UV
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan macam strain tidak berpengaruh
karena pada dasarnya mutasi yang diinduksi oleh sinar ultraviolet terjadi secara
acak. Pernyatan tersebut diperkuat oleh Ayala (1984) yang menyatakan bahwa
mutasi merupakan kejadian yang acak karena tidak ada cara untuk mengetahui
apakah suatu gen tertentu akan bermutasi dan tidak dapat diramalkan individu
mana yang akan mengalami mutasi. Jadi tidak dapat diramalkan macam strain
yang mana yang akan mengalami paling banyak mutasi.
42

5.3 Interaksi Antara Lama Penyinaran UV dan Macam Strain terhadap


Persentase Penetasan Telur Drosophila melanogaster
Berdasarkan analisa data yang menyatakan bahwa F hitung Interaksi
(0,34517) < F Tabel 0,05 (4,57904) yang berarti tidak ada interaksi antara lama
penyinaran dengan macam strain terhadap persentase penetasan telur D.
melanogaster. Hal tersebut karena terjadinya mutasi tidak terarah dan terjadi
secara acak. Pernyataan tersebut disempurnakan oleh Corebima (2008) bahwa
tidak ada cara untuk mengetahui apakah suatu gen tertentu akan bermutasi pada
suatu sel tertentu atau pada suatu generasi tertentu. Untuk suatu gen, kita tidak
bisa meramalkan individu mana yang akan mengalami mutasi dan mana yang
tidak mengalami mutasi. Dalam hal ini, terjadinya mutasi pada telur D.
melanogaster tidak dipengaruhi oleh interaksi antara lama penyinaran dengan
macam strain. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah telur yang menetas paling
banyak umumnya pada perlakuan UV 0 menit, sedangkan jumlah telur paling
sedikit umumnya pada perlakuan UV 12 menit. Hal tersebut berlaku pada semua
jenis strain baik strain N maupun strain w.
43

BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
1. Lama radiasi sinar ultraviolet berpengaruh terhadap persentase
penetasan telur D. melanogaster hasil persilangan strain ♂N >< ♀N
dan ♂w ><♀w.
2. Macam strain tidak berpengaruh terhadap persentase penetasan telur
D. melanogaster hasil persilangan strain ♂N >< ♀N dan ♂w ><♀w.
3. Tidak ada pengaruh interaksi antara lama radiasi ultraviolet dan jenis
strain D. melanogaster terhadap persentase penetasan telur D.
melanogaster hasil persilangan strain ♂N >< ♀N dan ♂w ><♀w.

6.2 Saran
1. Sebaiknya pada saat penelitian dilakukan dengan sabar, tekun dan teliti
untuk mendapatkan data yang lengkap dan benar.
2. Sterilisasi tempat, medium dan perlakuan harus selalu dijaga agar
terhindar dari kontaminan seperti jamur dan kutu sehingga mendapat
hasil yang akurat.
3. Konsultasi dengan asisten harus sering dilakuakan agar penelitian
berjalan lancar.
4. Sebaiknya perlu diperhatikan ketelitian dalam menghitung jumlah telur
awal dan larva yang menetas selama tujuh hari

43

You might also like