You are on page 1of 5

MANAJEMEN IPAL RUMAH SAKIT

Sesuai dengan kegiatannya, air limbah dari seluruh ke-giatan Rumah Sakit
mengandung bahan-bahan organik, bahan-bahan anorganik/bahan kimia beracun,
mikroorganisme pathogen, dan sebagainya yang dapat mencemari lingkungan. Oleh
sebab itu, pengolahan terhadap air limbah sangat penting untuk dilakukan agar
lingkungan sebagai penerima limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan pelayanan
kesehatan tidak mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan , serta tidak
mengakibatkan dampak penyakit kepada masyarakat sekitarnya .
Pengolahan air limbah melalui IPAL merupakan cara/ upaya untuk meminimalkan
kadar pencemar yang terkandung dalam limbah cair tersebut sehingga dapat
memenuhi Baku Mutu dan layak untuk dibuang ke lingkungan maupun dimanfaatkan
kembali.
Mungkin anda pernah mendengar bahwa banyak rumah sakit telah memiliki
IPAL, namun yang dapat beropersi secara optimal masih sangat sedikit bahkan ada
beberapa diantaranya sudah tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, dengan kata
lain tidak ada pengelolaan air limbah yang berarti, padahal IPAL merupakan salah satu
fasilitas utama yang harus ada dan beroperasi dengan baik dengan efesiensi
pengolahan yang harus baik pula.
Mengenai seberapa pentingnya IPAL bagi sebuah rumah sakit dapat dilihat dari
Regulasi atau peraturan yang ada, yang diantaranya adalah Undang-undang 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,PP No.82/2001 tentang
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, UU 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit yaitu pada bagian ke empat pasal 11,Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 58 Th 1995 tentang Baku Mutu Limbah CairBagi Kegiatan
Rumah Sakit, Permenkes RI NOMOR 340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi
Rumah Sakit, PP 18/1999 Tentang : Pengelolaan Limbah B3 dimana pada Pasal 3
berbunyi “Setiap orang yang melakukan usaha dan/ atau kegiatan yang menghasilkan
limbah B3 dilarang membuang limbah yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam
media lingkungan hidup tanpa pengelolaan terlebih dahulu”.
Dengan sedemikian banyaknya peraturan yang didalamnya memerintahkan
kepada setiap Rumah Sakit untuk mengelola air limbahnya ternyata masih banyak
pengelola Rumah Sakit yang belum dan tidak melakukan upaya pengelolaan terhadap
air limbah yang mereka hasilkan. Kenapa hal ini bisa terjadi ? tidak lain karena tidak
tersedianya dana untuk membangun Sarana Pengolahan Air Limbah (SPAL) atau
sering disebut dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), dan bila ternyata sudah
memiliki SPAL/IPAL tetapi dana untuk kegiatan operasionalnya tidak tersedia dan atau
tidak mencukupi. Selain itu juga dapat disebabkan karena pengetahuan SDM yang
bertugas untuk mengawasi jalannya proses pengolahan air limbah yang masih kurang.
Untuk masalah SDM dapat ditanggulangi dengan melakukan
pelatihan/training/workshop mengenai proses pengolahan air limbah, namun untuk
ketersediaan dana operasional maka pihak manajemen suatu rumah sakit harus
melakukan perhitungan yang benar-benar matang. Jika ada anggapan bahwa IPAL
rumah sakit hanya sebagai sumber beban pengeluaran /tidak menghasilkan
keuntungan maka itu adalah anggapan yang salah besar, karena IPAL merupakan
salah satu dari prasarana yang telah diprasyaratkan dalam penentuan kelas rumah
sakit dan merupakan sarana yang penting dalam jalannya pelayanan kesehatan
terutama pelayanan rawat inap sehingga harus dimasukkan dalam unit cost tariff
pelayanan.
Jika dana operasional IPAL hanya diletakkan sebagai “Sumber” pengeluaran
tanpa diperhitungkan dalam unit cost suatu tariff pelayanan rumah sakit jelas akan
sangat memberatkan sumber keuangan rumah sakit, karena biaya perawatan peralatan
dan perlengkapan IPAL tidak dapat dikatakan murah apalagi jika harus melakukan
penggantian dengan peralatan yang baru maka cost yang dikeluarkan akan sangat
besar, namun akan terlalu mahal jika harus dibayar dengan rusaknya nama baik rumah
sakit karena menyandang predikat sebagai rumah sakit yang tidak peduli dengan
kesehatan lingkungan disekitarnya.
Saya yakin tim yang bertugas untuk membuat standar tariff pelayanan rumah
sakit sudah sangat mengerti tentang hal ini, selanjutnya tinggal datanya saja yang
harus valid. Serta perlu kedisiplinan para pengelola keuangan yang harus memasukkan
setiap cost yang terkumpul sesuai dengan unitnya.
Mungkin yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa setiap sumber penghasil
limbah cair merupakan pemakai jasa dari IPAL, karena setiap 100% air bersih yang
digunakannya 80%nya berpotensi untuk menjadi air limbah dan akan menjadi sumber
beban pengolahan air limbah di IPAL, maka sangatlah wajar jika operasional IPAL
dijadikan salah satu unit cost yang diperhitungkan dalam tariff pelayanan tertentu di
rumah sakit. Penghasil limbah cair di rumah sakit adalah Ruang Rawat Inap,
Laboratorium, Laundry, Dapur/Kitchen, Poli kesehatan, IGD, CSSD, Pencucian Boiler
dan lain-lain.
Berapa cost yang tepat untuk dimasukkan kedalam tarif jasa rawat inap ?
Anggaplah di rumah sakit terdapat 500 TT dan setiap TT dikenakan Cost Rp.1.500
perhari dengan asumsi TT terpakai 100% maka potensi dana operasional IPAL yang
bisa dikumpulkan perbulannya adalah berjumlah Rp. 22.500.000. saya kira untuk nilai
1.500 rupiah per hari tergolong sangat murah, karena jika kita bandingkan dengan tariff
pemakaian wc/toilet umum di pasar atau mall yang rata-rata mengenakan tariff
Rp.1.000 per sekali pakai dan mereka tidak peduli jika kita harus bolak balik
menggunakannya maka tetap harus membayar per sekali pakai dan itupun yang
menggunakannya rata-rata orang yang sehat, Sedangkan di rumah sakit yang
menggunakan rata-rata adalah orang yang sakit, baik itu penyakit infeksi ataupun non-
infeksi.
Jika dipandang dari sudut pandang efektif dan efesien maka dengan memiliki
IPAL sendiri akan lebih murah, karena jika menggunakan jasa pihak ketiga contohnya
PT.PAL maka Rumah Sakit harus membayar biaya pengelolaan air limbah beserta
lumpurya Rp.10.000/m3 (Tarif PT.PAL tahun 2012) dan jika di estimasi penghasilan
limbah cair untuk 500 TT adalah; 0.5 m3 x 500 = 250 m3/hari = 250 m3/bulan x 10.000
maka yang harus dibayar rumah sakit adalah Rp. 75.000.000/bulan.
Yang harus diperhitungkan dalam biaya operasional IPAL antara lain, Baya Pemakaian
Listrik, Biaya Perawatan Mesin, Biaya Perbaikan Mesin, Penggantian suku cadang,
Penyediaan Chemical, Penyediaan Nutrisi bakteri, penyediaan peralatan dan bahan
pemantauan parameter proses pengolahan air limbah, biaya pemantauan parameter di
titik pentaatan oleh laboratorium yang terakreditasi, penyediaan perlengkapan
pelindung diri (APD) operator, biaya jaminan kesehatan bagi petugas di IPAL baik
berupa medical checkup secara berkala dan pemberian ekstra fooding, dan gaji/insentif
untuk petugas.
Untuk pemberian ekstra fooding bagi pengelola/petugas IPAL banyak para
pengambil kebijakan yang masih ragu untuk memberikannya atau tidak, karena mereka
merasa tidak ada atau tidak menemukan regulasi / dasar hukum yang jelas yang
melegalkan pemberian ekstra fooding kepada petugas IPAL. Karena yang ada saat ini
hanyalah regulasi yang mengatur tentang pemberian ekstra fooding kepada
dokter,perawat, dan petugas medis lainnya yang beresiko tinggi terpapar sumber infeksi
dan terpapar bahan radioaktif dengan hitungan waktu tinggal beberapa jam.
Padahal, para petugas di IPAL juga memiliki resiko tinggi karena kontak
langsung dengan air limbah yang mengandung bibit penyakit atau bakteri pathogen
yang terkumpul di setiap bak-bak pengumpul limbah dari semua jenis ruangan dengan
berbagai jenis penyakit, dan tidak menutup kemungkinan juga mengandung bahan
radioaktif yang berasl dari ruang radiologi/radioterapi. Resiko lainnya adalah terjadi
paparan secara langsung dengan Chemical/bahan kimia yang digunakan dalam proses
pengolahan air limbah seperti chlor, untuk membunuh mikroorganisme pathogen
diperlukan sedikitnya 0,6 ppm, sedangkan bagi manusia ketika terjadi kontak jangka
pendek dapat mengakibatkan irritasi tinggi waktu gas itu dihirup dan dapat
menyebabkan kulit dan mata terbakar dan Jika berpadu dengan udara lembab, asam
hydroklorik dan hypoklorus “dapat mengakibatkan peradangan jaringan tubuh yang
terkena. Pengaruh s/d 21 ppm selama 30 s/d 60 menit menyababkan penyakit pada
paru – paru seperti pnumonitis, sesak nafas, emphisema dan bronchitis. Selain itu,
kontaminasi klor dengan kadar 0,2 ppm dapat menyebabkan hidung terasa gatal 1,0
ppm: krongkongan gatal atau rasa kering, batuk, susah nafas 1,3 ppm (untuk 30 menit):
sesak nafas berat dan kepala sangat pening 5 ppm : peradangan hidung, pengkaratan
gigi dan sesak nafas. 10,0 ppm: trakt respiratori (?) menjadi sangat diganggu 15-20
ppm: batuk lebih keras, terasa tercekik, sesak di dada 30 ppm: menimbulkan batuk
hebat, tercekik, sesak nafas dan muntah-muntah 250 ppm: dapat berakibat fatal
(kematian), 1000 ppm: pasti mati.
Melihat potensi resiko diatas dengan regulasi perlindungan pekerjapun sudah
dapat digunakan sebagai dasar untuk pemberian ekstra fooding bagi petugas IPAL dan
siapapun yang mengerti tentang prinsip K3 pasti akan dapat memakluminya.
Dari seluruh materi diatas diharapkan dengan adanya manajemen IPAL Rumah Sakit
yang baik maka semua komponen ada dalam siklus pelayanan rumah sakit dapat
terlindungi dengan optimal, Kegiatan pelayanan rumah sakit dapat terus berjalan tanpa
tersandung masalah hukum lingkungan hidup, pengunjung, pasien dan karyawan
rumah sakit terlindungi dari resiko infeksi nosokomial, serta masyarakat dan lingkungan
disekitar rumah sakit terbebas dari bahaya limbah yang dihasilkan oleh kegiatan Rumah
Sakit.

You might also like