Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Tumor merupakan suatu benjolan atau struktur yang menempati area tertentu
pada tubuh dan merupakan neoplasma yang dapat bersifat jinak atau ganas. Usus besar
adalah bagian dari sistem pencernaa dimana materi yang dibuang disimpan. Rektum
adalah ujung dari usus besar dekat dengan anus. Bersamaan mereka membentuk suatu
pipa panjang yang berotot yang disebut usus besar. Tumor – tumor usus besar dan
rektum adalah pertumbuhan-pertumbuhan yang datangnya dari dinding dalam dari usus
besar. 1
Peningkatan insidens dan mortalitas kanker kolorektal (KKR) terjadi terutama di
kalangan masyarakat makmur, termasuk di wilayah Asia. Walaupun perubahan pola diet
dan gaya hidup dipercaya sebagai penyebab mendasar peningkatan insidens, interaksi
antara faktor-faktor dan karakter genetik pada populasi Asia memegang peranan
penting. Lesi non-polipoid dan neoplasma kolorektal tanpa adenoma lebih sering
ditemukan pada populasi Asia. Tidak adanya polip adenoma sebelum timbulnya
keganasan menyulitkan deteksi awal baik melalui pemeriksaan radiologi maupun
endoskopi.
Di Indonesia tidak terdapat angka insidens dan mortalitas KKR, sebagian besar
penderita datang dalam stadium lanjut, sehingga angka harapan hidupnya rendah.3
Terdapat beberapa faktor pemicu KKR; secara garis besar dapat dibagi dua, yakni faktor
yang tidak dapat dimodifi kasi dan yang dapat dimodifi kasi. Faktor risiko yang tidak
dapat dimodifi kasi adalah riwayat KKR atau polip adenoma baik individual maupun
keluarga, dan riwayat individual penyakit kronis infl amatorik usus. Faktor risiko yang
dapat dimodifi kasi adalah kurangnya aktivitas fisik yang menyebabkan obesitas,
konsumsi tinggi daging merah, diet rendah serat, merokok, konsumsi alkohol, dan
diabetes.2
Di Indonesia, menurut laporan registrasi kanker nasional, didapatkan angka yang
berbeda. Didapatkan kecenderungan untuk umur yang lebih muda dibandingkan dengan
laporan dari negara barat. Untuk usia di bawah 40 tahun data dari Bagian Patologi
Anatomi FKUI didapatkan angka 35,36%.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Gambar 1. Pada minggu ketiga masa gestasi, usus primitif terbagi menjadi tiga
bagian, foregut (F) pada bagian kepala, hindgut (H) pada bagian ekor, dan midgut (M)
diantara hindgut dan foregut. Tahap perkembangan midgut: herniasi fisiologis (B),
kembali ke abdomen (C), fiksasi (D). Pada minggu keenam masa gestasi, septum
urogenital bermigrasi kea arah kaudal (E) dan memisahkan traktus urogenital dan
intestinal (F, G). (Sumber: Corman ML [ed]: Colon & Rectal Surgery, 4th ed.
Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998, p 2.)
b. Anatomi Kolon4
3
Kolon transversum dan kolon sigmoid bergantungan di rongga
peritoneal. Dinding dari kolon dan rektum terdiri dari lima lapisan: mukosa,
submukosa, otot sirkular dalam, otot longitudinal luar, dan tunika serosa. Pada
kolon, otot longitudinal luarnya terbagi menjadi tiga taeniae coli, yang bertemu
dengan apendiks pada ujung proksimal dan rektum pada bagian distal. Pada
rektum distal, lapisan otot polos dalam saling menggabung sehingga membentuk
sfingter anus internal pada minggu ke duabelas masa gestasi. Kolon
intraperitoneal dan sepertiga proksimal rektum terlapisi oleh serosa; sedangkan
bagian tengah dan bawah rektum kurang mengandung serosa.
c. Posisi Kolon4,5
Kolon mulai berjalan dari awal ileus terminal dan sekum dan berjalan
sepanjang 3 sampai 5 kaki sampai ke rektum. Perbatasan rektosigmoid dapat
ditentukan yaitu ketika tiga taeniae coli membentuk otot polos longitudinal luar
rektum. Sekum mempunyai diameter kolon yang paling lebar (7,5 – 8,5 cm) dan
mempunyai dinding otot yang tipis. Hal ini membuat sekum menjadi rentan
terhadap perforasi dan yang paling jarang terjadi obstruksi. Kolon asenden
bagian posterior menempel pada retroperitoneum, sedangkan bagian lateral dan
anteriornya merupakan bagian dari struktur intraperitoneal. “White line of Toldt”
merupakan gabungan antara mesenterium dengan peritoneum posterior. Bagian
yang halus ini membuat pembedah sebagai panduan untuk memobilisasi kolon
dan mesenterium dari retroperitoneum.
Flexura hepatica (flexura coli dextra) menjadi penanda transisi kolon
asenden (panjang 15 cm) menjadi kolon transversum (panjang 45 cm). Kolon
transversum intraperitoneal relatif dapat bergerak, namun terikat dengan
ligamentum gastrokolika dan mesenterium kolon. Omentum majus menempel
pada ujung anterior/superior kolon transversum, hal inilah yang menyebabkan
gambaran seperti segitiga pada kolon tranversum ketika dilihat pada
kolonoskopi.
Fleksura splenika (flexura coli sinistra) menjadi penanda transisi kolon
transversum menjadi kolon desendens (panjang 25 cm). Ikatan antara fleksura
kolika dan limpa (ligamentum ileokolika) merupakan ligamen yang pendek dan
tebal, yang akibatnya membuat kolektomi menjadi cukup sulit. Kolon desenden
4
umumnya menempel pada retroperitoneum. Kolon sigmoid bagian dari kolon
dengan panjang yang bervariasi (15 – 50 cm, rata-rata 38 cm) dan diameter yang
sempit namun mempunyai pergerakan yang luas. Meskipun kolon sigmoid
terletak pada kuadran kiri bawah, akbiat mobilitasnya yang hebat dapat
berpindah ke kuadran kanan bawah. Pergerakan ini menjelaskan mengapa
volvulus umum ditemukan di kolon sigmoid dan mengapa penyakit yang
mengenai kolon sigmoid, contohnya divertikulitis, dapat mempunyai gejala
nyeri pada kuadran kanan bawah. Diameter yang sempit pada kolon sigmoid
membuat bagian ini sangat rentan terhadap obstruksi.
d.
Vaskularisasi Kolon4
Gambar 3. Drainase vena pada kolon. Dan rektum (Sumber: Gordon PH, Nivatvongs S
[eds]: Principles and Practice of Surgery for the Colon, Rectum, and Anus, 2nd ed. St.
Louis, Quality Medical Publishing, 1999, p 30)
5
Suplai arteri pada kolon mempunyai banyak variasi seperti gambar di
atas. Arteri mesenterika superior bercabang menjadi arteri ileokolika
(sebanyak 20% populasi tidak memiliki arteri ini), yang menyuplai darah ke
ileus terminalis dan kolon asenden proksimal, arteri kolika dekstra, yang
menyuplai darah ke kolon asenden, dan arteri kolika media yang menyuplai
kolon tranversum. Arteri mesenterika inferior (SMA) bercabang menjadi
arteri kolika sinistra yang menyuplai kolon desenden, beberapa cabang arteri
sigmoid, yang menyuplai kolon sigmoid, dan arteri rektal superior yang
menyuplai rektum proksimal.
Pengecualian pada vena mesenterika inferior, vena-vena pada kolon
mempunyai terminologi yang sama seperti arteri. Vena mesenterika inferior
berjalan naik pada retroperitoneum melewati muskulus psoas dan berjalan
posterior ke pancreas untuk bergabung dengan vena splenika. Pada kolektomi,
vena ini di gerakkan secara independen dan di ligasi pada ujung inferior
pankreas. Drainase vena pada kolon transversum proksimal menuju ke vena
mesenterika superior yang begabung dengan vena splenika untuk membentuk
vena porta. Kolon transversum distal, kolon desenden, kolon sigmoid, dan
sebagian besar rektum terdrainase oleh vena mensenterika inferior yang
bergerak ke atas menuju vena splenika.
Drainase limfatik juga dinamakan sesuai dengan arterinya. Drainase
lmimfatik bermulai dari jaringan-jaringan limfatik dari muskularis mukosa.
Pembuluh limfa dan limfonodusnya dinamakan sesuai dengan arteri regional
yang ada. Limfonodus epikolik ditemukan pada dinding usus dan pada
epiploika. Nodus yang berdekatan pada arteri disebut limfonodus parakolika.
Limfonodus intermediet terletak pada cabang utama pembuluh darah besar;
limfonodus primer rerletak pada arteri mesenterika superior atau inferior.
6
Gambar 4. Drainasi limfatik pada kolon (Sumber: Corman ML [ed]: Colon & Rectal Surgery,
4th ed. Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998, p 21)
e. Saraf Kolon4
Kolon terinervasi oleh saraf simpatis (inhibisi) dan saraf parasimpatis
(eksitasi/stimulasi), yang keduanya berjalan paralel dengan arteri. Saraf simpatis
muncul dari T6 – T12 dan preganglion lumbal splanchnikus L1 – L3. Inervasi
parasimpatis pada bagian kanan dan kolon transversum dan berasal dari nervus
vagus dextra (N. X). Sedangkan inervasi parasimpatik untuk kolon bagian kiri
bermulai dari nervi erigentes S2 – S4. Nervus preganglion parasimpatis
bergabung dengan nervus postganglion simpatis yang muncul pada akhir
foramina sakralis. Serat-serat saraf ini, melalui pleksus pelvis, mengelilingi dan
menginervasi prostat, uretra, vesika semilunaris, vesika urinaria, dan otot dasar
panggul. Diseksi rektal dapat mengganggu pleksus pelvis dan subdivisinya,
menyebabkan disfungsi neurogenik vesika urinaria dan seksual (sebanyak 45%
kasus). Derajat dan tipe disfungsi tergantung pada derajat keparahan cedera
neurologinya. Ligasi arteri mesenterika inferior yang menyuplai nervus
hipogastrium menyebabkan disfungsi saraf simpatis yang dicirikan sebagai
7
ejakulasi retrograde dan disfungsi vesika urinaria. Cedera pada saraf simpatis
dan parasimpatis akan menghasilkan impotensi dan atonia vesika urinaria.
8
barrier dan menyebabkan gangguan neurotransmiter, dimana akan menyebabkan
koma hepatik.
c. Absorpsi4
Total luas absorpsi kolon kurang lebih sekitar 900 cm2 dan air yang
masuk kedalam kolon perharinya mencapai 1000 – 1.500 mL. Air yang tersisa di
kolon hanya sekitar 100 – 150 mL/hari. Absorpsi natrium per harinya juga cukup
tinggi, yaitu dari sebanyak 200 mEq/L natrium per hari yang masuk ke kolon,
pada feses hanya tersisa 25 – 50 mEq/L.
Epitel kolon dapat memakai berbagai macam sumber energi; namun, n-
butirat akan teroksidasi ketika ada glutamin, glukosa, atau badan keton. Karena
sel mamalia tidak bisa menghasilkan n-butirat, epitel kolon bergantung pada
bakteri lumen untuk memproduksinya dengan cara fermentasi. Kurangnya n-
butirat disebabkan oleh inhibisi fermentasi akibat antibiotik spektrum luas, yang
menyebabkan kurangnya absorpsi sodium dan air sehingga menyebabkan diare.
Sebagai penyeimbang akibat kehilangan natrium dan air, mukosa kolon
menyerap asam empedu. Kolon menyerap asam empedu yang lolos terserap dari
ileus terminalis, sehingga membuat kolon menjadi bagian sirkulasi
enterohepatika. Ketika absorpsi asam empedu pada di kolon melewati batas,
bakteri akan mengkonjugasi asam empedu. Asam empedu yang terkonjugasi
akan mengganggu absorpsi natrium dan air, sehingga menyebabkan diare
sekretoris atau diare koleretik. Diare sekretoris dapat dilihat saat setelah
hemikolektomi sebagai fenomena transien dan lebih permanen reseksi ileus
ekstensif.
d. Motilitas4
Fermantasi pada kolon terbentuk sesuai morfologi-morfologi kolon.
Kolon dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomis: kolon dextra, kolon sinistra,
dan rektum. Kolon dextra merupakan ruangan fermentasi pada traktus GI,
dengan sekum sebagai segmen kolon yang memiliki aktivitas bakteri yang aktif.
Kolon bagian kiri merupakan tempat penyimpanan sementara dan dehidrasi
feses. Transit pada kolon diatur oleh system saraf autonom. Sistem saraf
parasimpatis mensuplai kolon melalui nervus vagus dan nervus pelvikus. Serat-
serat saraf saat mencapai kolon akan membentuk beberapa pleksus;pleksus
9
subserosa, pleksus myenterika (Auerbach), submukosa (Meissner), dan pleksus
mukosa.
Motilitas usus berbeda-beda tiap segmen anatomi. Pada kolon sebelah
kanan, gelombang antiperistaltik, atau retropulsif, menimbulkan aliran retrograd
sehingga isi dari usus terdorong kembali ke sekum. Pada kolon sebelah kiri, isi
dari lumen usus terdorong ke arah kaudal oleh kontraksi tonis, sehingga
terpisah-pisah menjadi globulus-globulus. Kontraksi yang ketiga, mass
peristaltic, merupakan gabungan antara gerakan retropulsif dan tonis.
10
Gambar 5. Distribusi kanker kolorektal menurut lokasi di kolon sebanyak 73%
dapat dideteksi dengan pemeriksaan rektosigmoidoskopi (Data Unit Endoskopi, Divisi
Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakartta 2005)
a. Usia2
Usia merupakan faktor risiko yang dominan pada kanker kolorektal, dengan
insidens yang meningkat pada umur >50 tahun (sebanyak 90% kasus). Umur ini
dijadikan dasar rasionalitas untuk melakukan skrining pada orang dengan gejala
yang asimptomatis. Namun kanker kolorektal dapat terjadi pada seluruh usia.
b. Faktor Herediter3
Kira-kira, sebanyak 20% kanker kolorektum muncul dengan adanya riwayat
keluarga yang pernah menderita kanker kolorektal. Pemahaman dan penelitian
yang lebih luas terhadap pemeriksaan genetik dapat berkontribusi untuk
diagnosis dini. Karena pertimbangan medikolegal dan etika yang terlibat dengan
pemeriksaan ini, seluruh pasien harus dilakukan konseling genetik jika memang
ada suspek keluarga yang dulunya terkena kanker kolorektal.
11
d. Faktor Risiko Lain2
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena adenoma kolon, terutama ketika
merokok lebih dari 35 tahun. Pasien dengan uterosigmoidestomi juga
mempunyai peningkatan faktor risiko adenoma maupun karsinoma (Woodhouse
CR, 2002). Akromegali, dimana terjadi peningkatan growth hormone dan
insulin-like growth factor I, juga menambah faktor risiko.
Awal dari proses terjadinya kanker kolon yang melibatkan mutasi somatik
terjadi pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC). Gen APC mengatur kematian sel
dan mutasi pada gen ini menyebabkan pengobatan proliferasi yeng selanjutnya
berkembang menjadi adenoma. Mutasi pada onkogen K-RAS yang biasnya terjadi pada
adenoma kolon yang berukuran besar akan menyebabkan gangguan pertumbuhan sel
yang tidak normal.
Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen
supresor tumor p53. Dalam keadaan normal protein dari gen p53 akan menghambat
proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA, mutasi gen p53 menyebabkan sel
dengan kerusakan DNA tetap dapat melakukan replikasi yang menghasilken sel-sel
dengan kerusakan DNA yang lebih parah. Replikasi sel-sel dengan kehilangan sejumlah
14
segmen pada kromosom yang berisi beberapa alele (misal loss of heterizygosity), hal ini
dapat menyebabkan kehilangan gen supresor tumor yang lain seperti DCC (Deleted in
Colon Cancer) yang merupakan transformasi akhir menuju keganasan.
Gambar 7. Perubahan genetik yang terjadi selama evolusi kanker kolorektal (Abdullah,
Murdani. 2006. Tumor Kolorektal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV jilid
I. FKUI : Jakarta hal: 374)
15
timbul pada sebagian kasus. Tumor yang terletak lebih distal umumnya disertai
hematoseczhia atau darah tumor dalam feses, tapi tumor yang proksimal sering disertai
dengan anemia defisiensi besi. Invasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus,
hematuria, infeksi saluran kemih berulang dan obstruksi uretra. Abdomen akut dapat
terjadi bilamana tumor tersebut menimbulkan perforasi. Kadang timbul fistula antara
kolon dengan lambung atau usus halus. Asites maligna dapat terjadi akibat invasi tumor
ke lapisan serosa dan sebaran ke peritoneal. Metastasis jauh ke hati dapat menimbulkan
nyeri perut, ikterus dan hipertensi portal
16
atau perubahan defekasi oleh sebab itu perlu segera dilakukan pemeriksaan endoskopi
atau radiologi. Temuan darah samar di feses memperkuat dugaan neoplasma namun bila
tidak ada darah samar tidak dapat menyingkirkan lesi neoplasma.
2.11 Diagnosis Radiologi
Berdasarkan bukti sampai dengan saat ini, pemeriksaan penunjang yang efektif
didalam diagnosis kanker kolorektal yaitu barium enema dan endoskopi saluran
intestinal bagian bawah ( sigmoidoskopi atau kolonoskopi )3,8. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan lain seperti USG, CT-Scan, dan MRI.8,9,10
Deteksi dini pada masyarakat luas dilakukan dengan beberapa cara, seperti : tes
darah samar dari feses, dan sigmoidoskopi. Pilihan lain berdasarkan waktu antara lain:
FOBT (Fecal Occult Blood test) setahun sekali, sigmoidokopi fleksibel setiap 5 tahun,
enema barium kontras ganda setiap 5 tahun dan kolonoskopi setiap 10 tahun.3
Barium Enema
Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi 50% polip
kolon dengan spesifitas 85%. Bagian rektosigmoid sering untuk divisualisasi oleh
karena itu pemeriksaan rektosigmoideskopi masih diperlukan. Bilamana ada lesi yang
mecurigakan pemeriksaan kolonoskopi diperlukan untuk biopsi. Pemeriksaaan lumen
barium teknik kontras ganda merupakan alternatif lain untuk kolonoskopi namun
pemeriksaan ini sering tak bisa mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema barium cukup
efektif untuk memeriksa bagian kolon di balik striktur yang tak terjangkau dengan
pemeriksaan kolonoskopi.Keuntungannya sensitivitas untuk KKR 65-95 % , tidak
memerlukan sedasi, keberhasilan prosedur sangat tinggi, dan tersedia hampir diseluruh
rumah sakit akan tetapi l esi T 1 sering tidakterdiagnosa, lesi direktosigmoid dengan
divertikulosis dan sekum, dan untuk Poiip dengan ukuran < 1 cm. Sensitivitasnya hanya
70-95%, serta terkena paparan radiasi.
17
Gambar 9. Gambaran Barium Enema Kontras Ganda, sekum, kolon asending dan
kolon transversum normal10
(A) (B)
Gambar 11. (A) karsinoma di kolon asenden dan flexura limpatik (B) karsinoma kolon
transversum dengan polip 2cm di kolon sigmoid9
(A) (B)
Gambar 12. (A) Polip pedunculated (B) polip sessile pada sigmoid kolon10
18
Gambar 13..
A. Ca Sekum,
B. Polip pedunkulata
C. Applecore lession
A. B. C.
Gambar 14.
Divertikulosis A.
Sigmoid B. Fleksura
Limfatik
C.Transversum 11
Kolonoskopi
19
Kolonoskopi merupakan cara pemeriksaan mukosa kolon yang sangat akurat dan
dapat sekaligus melakukan biopsi pada lesi yang mencurigakan. Pemeriksaan kolon
yang lengkap dapat mencapai >95% pasien. Rasa tidak nyaman yang timbul dapat
dikurangi dengan pemberian obat penenang intravena meskipun ada risiko perforasi dan
perdarahan. Kolonoskopi dengan enema barium terutama untuk mendeteksi lesi kecil
seperti adenoma. Kolonoskopi merupakan prosedur terbaik pada pasien yang
diperkirakan menderita polip kolon. Kolonskopi mempunyai sensitivitas 95% dan
spesitivitas 99% paling tinggi untuk mendeteksi polip adenomatous, di samping itu
dapat melakukan biopsi untuk menegakkan diagnosis secara histologis dan tindakan
polipektomi penting untuk mengangkat polip.3 Salah satu tujuan utama dari kolonoskopi
adalah screenning untuk polip. Untuk selanjutnya dapat dilakukan endoscopicaly
dengan polypectomy.12
20
Diagnosis kanker kolon melalui sigmoidoskopi, barium enema atau kolonoskopi
dengan biopsi harus diikuti dengan prosedur penentuan stadium untuk menentukan
luasnya tumor. Pemeriksaan CT scan abdomen dan radiografi dada harus dilakukan.
Adanya tumor yang terloksalisir biasanya mengharuskan pembedahan radikal untuk
mengeksisi tumor secara total dengan tepi minimal 6 cm dan dengan reseksi en bloc
pada semua kelenjar getah bening di akar mesenterium.
Ultrasonografi (USG)
Dapat menetapkan tingkat infiltrasi perirektal tumor primer dengan akurasi 81-
96% dan menetapkan metastasis kelenjar getah bening perirektal. Digunakan terutama
pada T1 yang akan dilakukan eksisi transanal, pada T3-T4 untuk terapi neo-adjuvan.8
Teknik ini tidak memerlukan radiasi pengion dan relatif murah untuk melakukan.
Akurasi adalah 84,6% lebih tinggi dari CT 70,5%. Meskipun tidak terutama digunakan
sebagai pementasan modalitas utama, metastase hati dari tumor primer usus dapat
dideteksi sebagai massa hyperechoic. 9
(A) (B)
Gambar 16. (A) USG lobus kanan hati menunjukkan metastasis dari kanker kolon
(B) Adenocarcinoma kolon dengan metastasis ke hati (hypoechoic)
21
dibanding MRI 59%. Spesifisitas CT Scan pelvis 90% dan sensitifitasnya 40%
dibanding MRI 13%.8
Tumor kolon dapat didiagnosis pada CT scan sebagai temuan insidental atau
pada pasien dengan gejala akut berhubungan dengan komplikasi tumor kolon, seperti
perforasi.9 MRI memiliki akurasi terbatas dalam menentukan keterlibatan nodal, ketika
hanya mengandalkan kriteria anatomi.9
(A) (B)
Gambar 18. MRI hati pada hepatitis C, ditemukan adenokarsinoma kolon dengan
metastasis hati
22
2.1 Penatalaksanaan Tumor Kolon 3
Meskipun adenoma kolon merupakan lesi premaligna, namun perjalanan
menjadi adenokarsinoma belum diketahui. Pengamatan jangka panjang menunjukkan
bahwa perkembangan menjadi adenokarsinoma dari polip 1 cm 3% setelah 5 tahun, 8%
setelah 10 tahun dan 24% setelah 20 tahun diagnosis ditegakkan. Pertumbuhan dan
potensi ganas bervariasi secara substansial. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk
perubahan adenoma menjadi adebikarsinoma adalah 7 tahun, laporan lain menunjukkan
polip adenomatous dengan atipia berat menjadi kanker membutuhkan waktu rata-rata 4
tahun dan bila atipia sedang 11 tahun.
Kemoprevensi
Obat Anti Inflamatori Steroid (OAIN) termasuk aspirin dianggap berhubungan
dengan penurunan motalitas kanker kolon. Bebrapa OAIN seperti sulindac dan
celecoxib telah terbukti sewcara efektif menurunkan insidens berulangnya adenoma
pada pasien dengan Familial Adenomatous Polyposis (FAP). Data epidemiologi
menunjukkan adanaya penurunan risiko kanker di kalangan pemakai OAIN namun
bukti yang mendukung manfaat pembrian aspirin dan OAIN lainnya untuk mencegah
kanker kolon sporadik masih lemah. (FKUI)
Endoskopi dan operasi
Umumnya polip adenomentasi dapat diangkat dengan tingkat polipektomi. Bila
ukuran <5mm maka pengangkatan cukup dengan biopsi atau elektrokoagulasi bipolar.
Di samping polipektomi dapat diatasi dengan operasi, indikasi untuk hemikolektomi
adalah tumor di caecum, kolon ascenden, kolon transversum tetapi lesi di fleksura
lienalis dan kolon desenden di atasi dengan hemikolektomi kiri. Tumor di sigmoid dan
rektum proksimal dapat diangkat dengan tindakan Low Anterior Resection (LAR).
Angka mortalitas akibat operasi sekitar 5% tetapi bila operasi dikerjakan secara
emergensi maka angka mortalitas menjadi lebih tinggi. Reseksi terhadap metastasis di
hepar dapat memberikan hasil 23-35% rata-rata bebas tumor.
Terapi ajuvan
Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalami rekurensi.
Kemoterapi ajuvan dimaksudakan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker kolon
setelah operasi. Pasien dengan kriteria Dukes C yang mendapat levamisol dan 5 FU
secara signifikan meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas tumor.
23
Kemoterapi ajuvan tidak berpengaruh pada pasien dengan kriteria Dukes B. Irinotecan
(CPT11) inhibitor topoisomer dapat memperpanjang masa harapan hidup. Oxaliplatin
analog platinum juga memperbaiki respon setelah diberikan 5FU dan leucoverin.
Manajemen kanker kolon yang tidak reseksibel meliputi : Nd-YAG foto koagulasi laser
dan self expanding metal endoluminal stent.
24
BAB III
KESIMPULAN
Tumor merupakan suatu benjolan atau struktur yang menempati area tertentu
pada tubuh dan merupakan neoplasma yang dapat bersifat jinak atau ganas. Rektum
adalah ujung dari usus besar dekat dengan anus. Bersamaan mereka membentuk suatu
pipa panjang yang berotot yang disebut usus besar. Tumor usus besar dan rektum adalah
pertumbuhan-pertumbuhan yang datangnya dari dinding dalam dari usus besar. 1
Di Indonesia tidak terdapat angka insidens dan mortalitas KKR, sebagian besar
penderita datang dalam stadium lanjut, sehingga angka harapan hidupnya rendah. 2 Di
Menurut laporan registrasi kanker nasional, didapatkan angka yang berbeda. Didapatkan
kecenderungan untuk umur yang lebih muda dibandingkan dengan laporan dari negara
barat. Untuk usia di bawah 40 tahun data dari Bagian Patologi Anatomi FKUI
didapatkan angka 35,36%.3
Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik
dan faktor lingkungan. Kanker kolorektal yang sporadik muncul setelah melewati
rentang masa yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang menimbulkan
berbagai perubahan genetik yang berkembang menjadi kanker. Pada pasien dengan
gejala keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali dari beberapa tanda seperti : anemia
mikrositik, hematozesia, nyeri perut, berat badan turun atau perubahan defekasi oleh
sebab itu perlu segera dilakukan pemeriksaan endoskopi atau radiologi. Temuan darah
samar di feses memperkuat dugaan neoplasma namun bila tidak ada darah samar tidak
dapat menyingkirkan lesi neoplasma.
Berdasarkan bukti sampai dengan saat ini, pemeriksaan penunjang yang efektif
didalam diagnosis kanker kolorektal yaitu barium enema dan endoskopi saluran
intestinal bagian bawah ( sigmoidoskopi atau kolonoskopi )3,8. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan lain seperti USG, CT-Scan, dan MRI.8,9,10
Deteksi dini pada masyarakat luas dilakukan dengan beberapa cara, seperti : tes
darah samar dari feses, dan sigmoidoskopi. Pilihan lain berdasarkan waktu antara lain:
FOBT (Fecal Occult Blood test) setahun sekali, sigmoidokopi fleksibel setiap 5 tahun,
enema barium kontras ganda setiap 5 tahun dan kolonoskopi setiap 10 tahun.3
25
DAFTAR PUSTAKA
26